Anda di halaman 1dari 24

pengantar redaksi

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena perkenan-Nya jugalah Buletin Tata Ruang dan Pertanahan edisi pertama ini dapat hadir di tengah-tengah pembaca. Di dalam edisi perdana ini, redaksi mengangkat tema Kebijakan Tata Ruang dan Pertanahan dengan tujuan memberikan pengantar dan pandangan umum (overview) mengenai isu-isu terkini di bidang tata ruang dan pertanahan. Tata ruang dan pertanahan adalah isu lintas sektoral yang penanganannya membutuhkan penanganan khusus pula. Beragam kepentingan politik, ekonomi, sosial dan budaya bercampur-baur di dalam menentukan wujud ruang dan kebijakan pertanahan yang akan diimplementasikan. Demi menjaga keseimbangan dan keadilan di dalam pemenuhan kepentingan-kepentingan tersebut, maka pelaku dan para pengambil kebijakan di bidang tata ruang dan pertanahan harus mampu memainkan peran sentral yang dapat menjadi titik temu. Di dalam menjalankan perannya itulah, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Bappenas mencoba menghadirkan ruang publik ini sebagai wadah dialog dan diseminasi isu-isu terkait tata ruang dan pertanahan. Besar harapan kami Buletin Tata Ruang dan Pertanahan ini dapat menjadi media tematik alternatif yang dapat berkontribusi tidak hanya bagi perluasan khasanah wawasan para pelaku kegiatan bidang tata ruang dan pertanahan, namun juga bagi perbaikan kebijakan bidang tata ruang dan pertanahan di Indonesia. Semoga!
Pelindung Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah Direktur Tata Ruang dan Pertanahan Nana Apriyana Rinella Tambunan Dwi Hariyawan S Mia Amalia Lusi Silviani Hernydawati Santi Yulianti Aswicaksana Agung Dorodjatoen Kiki Rachmawati Idham Khalik Adhitya Wirayasa Ester Fitrinika Micania Camillang Indra Ade Saputra Akhmad Gunawan Dodi Rahadian Sylvia Krisnawati Sukino Yulia Hartati Jl. Taman Suropati No. 2 Gedung Madiun Lt. 3 021 - 392 66 01 trp@bappenas.go.id landspatial.bappenas.go.id Penanggung Jawab Pemimpin Redaksi Dewan Redaksi

Editor

Redaksi

Desain & Tata Letak

Desain Sampul Distribusi & Administrasi Alamat Redaksi

Redaksi Buletin Tata Ruang dan Pertanahan

Buletin Tata Ruang & Pertanahan

Buletin

Tata Ruang & Pertanahan

daftar isi

4 4

11 6

15

Tata Ruang dalam Konteks Perencanaan Pembangunan


Wawancara dengan Dr. Ir. Max H. Pohan, CES, MA

Concepts, Principles, and Guidlines for Land Policy Formulation and Development Planning
Dr. Gerhardus Schultink

11
Kompaksi Perkotaan: Prinsip dan Potensi Pengembangannya dalam Pengembangan Kawasan Perkotaan yang Lebih Berkelanjutan
Dr. Iwan Kustiwan

14
Sosialisasi Peraturan Pemerintah terkait Penataan Ruang

edisi I tahun 2010


3 daftar isi 18 melihat dari dekat 23 agenda 15 koordinasi trp 19 kajian 16 ringkas buku 21 dalam berita

Buletin Tata Ruang & Pertanahan

Tata Ruang dalam Konteks Perencanaan Pembangunan


Wawancara dengan Dr. Ir. Max H. Pohan, CES, MA

i siang hari itu, redaksi Buletin TRP mendapat kesempatan untuk berbincang dengan Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Bapak Dr. Ir. Max Pohan, CES, MA. mengenai pelaksanaan perencanaan pembangunan dan isu-isu nasional yang sedang hangat dibicarakan saat ini. Ketika ditemui, Pak Max terlihat sedang sibuk di antara berkas-berkas yang menggunung. Tetapi begitu melihat kami datang, beliau langsung tersenyum dan meninggalkan pekerjaannya sejenak untuk berdiskusi dengan kami. Berikut petikan wawancara redaksi Buletin TRP (TRP) dengan Bapak Max Pohan (MP). TRP: Salah satu fokus Bidang Wilayah dan Tata Ruang dalam RPJMN 2010-2014 adalah pengurangan kesenjangan antar wilayah. Bagaimana hal itu bisa dicapai dalam 5 tahun ke depan? MP: Usaha untuk mengurangi kesenjangan antar wilayah adalah usaha jangka panjang yang sudah tertuang dalam RPJPN UU No. 17/2007 dan tahapannya telah dijabarkan 5 tahunan dalam RPJMN yang saat ini sudah memasuki tahap ke 2 tahun 2010-2014. Usaha ini adalah usaha yang continuous, terus menerus. Mungkin dalam 5 tahun ke depan kita membangun koridornya dahulu, 5 tahun kemudian tahapan berikutnya, begitu seterusnya, seperti building bricks yang pada akhirnya bertujuan untuk mengatasi kesenjangan ini. Kesenjangan wilayah adalah masalah ekonomi yang diukur melalui berbagai indikator, salah satunya PDRB. Dari sisi pemerintah, untuk mendorong investasi dan pembangunan ekonomi di daerah dalam rangka mengurangi kesenjangan dilaksanakan melalui instrumen fiskal seperti pengelolaan APBN dengan DAK (Dana Alokasi Khusus) dan DAU (Dana Alokasi Umum) yang lebih berpihak kepada Luar Jawa, serta kebijakan non fiskal berupa penyiapan berupa peraturan insentif bagi daerah di Luar Jawa sebagai pusat pertumbuhan. Hal ini dapat dicapai apabila ada kebijakan nasional yang lebih radikal (affirmative policy) dan kemauan politik yang besar yang didukung oleh semua komponen bangsa.

TRP: Penataan Ruang merupakan salah satu aspek kunci untuk mencapai misi pengembangan wilayah dalam 5 tahun ke depan. Menurut Bapak bagaimanakah penataan ruang dapat digunakan untuk mencapai tujuan tersebut? MP: Penataan Ruang adalah sesuatu yang prerequisite, mutlak ada terlebih dahulu sebelum semua pembangunan ekonomi, sosial dan lingkungan dilaksanakan, serta menjadi panduan untuk investasi. Dalam kaitannya dengan pengurangan kesenjangan antar wilayah, RTRWN (Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Red) telah memberi arahan pembangunan yang memberi keberpihakan kepada kawasan di luar Jawa, melalui rencana pengembangan berbagai infrastruktur baru untuk mendorong investasi di kawasan tersebut. Percepatan penyelesaian Perda RTRW Provinsi juga dapat mengakselerasi pertumbuhan investasi di berbagai daerah. Yang juga penting untuk diperhatikan adalah harmonisasi fungsi ruang antara kawasan budidaya dan kawasan lindung agar dampak penataan ruang dapat dirasakan secara optimal. TRP: Salah satu isu yang hangat saat ini adalah cara mengatasi kemacetan DKI Jakarta yang semakin kronis. Dalam salah satu wawancara dengan stasiun TV, menurut Bapak opsi untuk pemindahan Ibukota RI bukan prioritas jangka pendek, bagaimana menurut Bapak penanganan yang paling cocok diterapkan bagi Jakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia? MP: Kita harus dapat melihat secara jernih akar permasalahan Jakarta ini terlebih dahulu, jangan langsung mengambil solusi instan yang sebenarnya tidak menjawab permasalahan. Masalah DKI sekarang adalah kemacetan, kualitas hidup dan daya dukung lingkungan yang rendah. Berbagai masalah ini terjadi karena seluruh pusat kegiatan perekonomian nasional bertumpu di Jakarta. Jakarta memiliki daya tarik (pull factors) yang sangat besar bagi warga pendatang karena menjanjikan kesempatan yang lebih besar untuk mencari kehidupan yang lebih baik dan memiliki prestise tinggi. Hal ini ditambah dengan daya dorong (push factors) dari kota asal mereka dimana pekerjaan kurang menjanjikan pendapatan yang layak, serta pencitraan media terhadap Jakarta memiliki pull Jakarta yang seakan-akan hidup factors bagi warga dan bekerja di Jakarta sangat nyaman yang semakin pendatang karena mendorong penduduk menjanjikan berbondong-bondong ke Jakarta. kesempatan yang Sebenarnya akar permasalahan ini adalah kesenjangan wilayah, lebih besar untuk bukan karena adanya kegiatan mencari kehidupan pemerintah di Ibukota. Oleh yang lebih baik. karena itu solusi memindahkan ibukota tidak akan menjawab permasalahan, karena tarikan yang paling besar adalah dari kegiatan ekonomi. Solusi yang lebih tepat adalah melalui pengembangan wilayah dan melaksanakan rencana tata ruang secara nasional agar pembangunan merata dan daya tarik kota-kota yang lain juga berkembang.

Sumber: Sumber: www.swisscontact.org www.swisscontact.org

Buletin Tata Ruang & Pertanahan

TRP: Saat ini pengembangan wilayah juga dilakukan dengan pendekatan kawasan seperti KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) dan KAPET (Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu). Bagaimana implementasi pendekatan ini dan instrumen apa yang perlu dipersiapkan? MP: Intinya adalah bagaimana mengembangkan daya tarik di wilayah KEK terpilih untuk mengurangi kesenjangan wilayah yang saat ini terjadi melalui instrumen fiskal, moneter, dan terutama infrastruktur. Untuk KEK, sampai saat ini, masih dalam tahap pemilihan lokasi dan tahapan administratif karena berdasarkan RPJMN 2010-2014, sampai akhir tahun 2014 akan ada 5 lokasi yang ditetapkan menjadi KEK dan penetapannya menjadi kewenangan Dewan Nasional KEK. Jadi, sekarang kita masih menunggu keputusan Dewan Nasional KEK. TRP: Dalam berbagai kesesempatan Musrenbang atau konsultasi dengan Daerah bahkan DPR juga mengindikasikan bahwa pembangunan saat ini kurang terkoordinasi, salah satunya karena peran Bappenas yang kurang optimal? Menurut Bapak, bagaimana kita menyikapi tantangan tersebut? MP: Bappenas telah berperan banyak dalam koordinasi perencanaan pembangunan. Bappenas bisa dikatakan menjadi garda depan atau punggawa dalam pencapaian sasaran RPJMN agar bisa dicapai nasional maupun daerah. Saat ini sudah era desentralisasi dan demokratisasi, dan di dalam PP No. 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan telah diatur hal-hal yang menjadi kewenangan pusat dan daerah sehingga sudah jelas tugas kita masing-masing. Mungkin masih ada beberapa daerah yang mengacu pada hirarki yang tertera pada UU No. 22/1999 bahwa Bupati tidak bertanggung jawab langsung pada Gubernur, yang menyebabkan penilaian terhadap koordinasi masih kurang baik. Saya anggap ini sebagai tantangan yang harus kita (Bappenas, Red.) sikapi dengan lebih berani dan all-out, terutama dalam memahami tugas pokok dan fungsi kita dalam koordinasi, monitoring dan evaluasi mulai dari urusan pusat, propinsi dan kabupaten/kota sehingga tercapai sinergi pembangunan. TRP: Bagaimana prospek unit kerja yang menangani desentralisasi dan otonomi daerah ke depan? Juga peran apa yang harus diemban oleh provinsi untuk meningkatkan sinergi pembangunan antara pusat dan daerah? MP: Provinsi berperan sebagai mediator antara pemerintah pusat dan pemerintah kabupaten/kota dengan ditetapkannya PP No. 19/2010 (Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi, Red). Gubernur harus memiliki blue print dalam bentuk RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, Red.) yang harus menggambarkan pembagian wewenang antara provinsi, kabupaten dan kota. RPJM dan RTRW merupakan panduan koordinasi pelaksanaan dan pencapaian pembangunan di daerah. Hal-hal yang telah kita lalui sampai saat ini adalah proses pembelajaran yang harus kita lakukan secara cermat dan yang terpenting adalah harus dilakukan terus menerus dan tidak boleh letih. Lebih lanjut lagi, dalam desentralisasi ini ada pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Kewenangan pusat yang ada di daerah adalah konsekuensi logis dan harus dievaluasi kembali. Dulu pada saaat penyusunan UU No. 22/1999 ada hal-hal yang sangat emosional, hal-hal ekstrim dan dianggap sangat sentralisasi harus dihapuskan, contohnya menghapus Kanwil-Kanwil. Padahal, fakta saat ini memang ada kebutuhan untuk hal-hal

itu (Kanwil, Red.), yang disebabkan kurangnya kapasitas daerah dalam penanganan pembangunan. Jadi adanya kecenderungan beberapa kementerian untuk menghidupkan kembali Kanwil, tidak akan mengancam keberlangsungan proses desentralisasi dan otonomi daerah. Namun demikian hal ini juga menjadi PR terutama Kemendagri, Kementerian Keuangan, dan Bappenas untuk melakukan evaluasi dan mengawal pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah ke arah yang lebih baik. TRP: Sekitar 3 (tiga) tahun terkahir ini, Pelayanan Pertanahan di Provinsi Kalimantan Tengah terhambat karena belum adanya kesepakatan batasan kawasan hutan dan non hutan serta belum disahkannya RTRW Provinsi. Permasalahan tersebut menyangkut kewenangan lintas sektor dan pusat-daerah, apa yang menurut Bapak perlu dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut? MP: Menurut saya, konflik seperti ini sebaiknya diselesaikan dalam forum BKPRN yang merupakan forum lintas institusi. Parlemen juga sebaiknya diminta keterlibatannya dalam usaha penyelesaian konflik ini. Akan tetapi, yang paling penting, sekali lagi saya tegaskan, adalah keberadaan Rencana Tata Ruang Wilayah itu sendiri. Solusi pasti ada dan seharusnya telah diatur dalam RTRW ini. TRP: Salah satu amanat Inpres 1/2010 adalah Pengembangan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Karakteristik yang menonjol di Papua umumnya adalah kepemilikan tanah adat. Menurut Bapak upaya apa yang sejak dini perlu dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan munculnya konflik berkenaan dengan tanah adat tersebut? MP: Tanah adat memiliki nilai historis bahkan magis. Komunitas adat menganggap tanah ini memberi kehidupan secara komunal. Pengelolaannya berbeda, tidak ada sertifikasi. Sampai kapanpun akan dianggap ...tetap menjunjung milik adat dan hanya bisa dipinjamkan atau dialihkan tinggi dan penggunaannya melalui proses menghormati hak- atau ritual tertentu. Hukum adat hak adat... yang mengatur tanah ulayat sudah ada terlebih dahulu dibandingkan Agrarian Law yang mendorong pelaksanaan sertifikasi. Oleh karena itu sebaiknya kita tetap menjunjung tinggi dan menghormati hak-hak adat terhadap tanah ulayat serta melakukan pendekatan dengan komunitas adat setempat agar tercapai kesepakatan mengenai pengelolaan tanah adat mereka dan menghindarkan terjadinya konflik horizontal maupun vertikal. Pendataan mau tidak mau harus tetap ada.

Sumber: jrpurba.wordpress.com; mhayang.wordpress.com; rumamemet.com; tentanghanny.multiply.com

Buletin Tata Ruang & Pertanahan

Concepts, Principles, and Guidelines for Land Policy Formulation and Development Planning
Dr. Gerhardus Schultink*)

ny systematic attempt to address sustainable development planning should include baseline performance indicators and representative productivity indices. In rural areas, this means defining the productivity of the renewable land resource base and its derived uses, such as represented by the products and services from the agricultural, forestry, and tourism sectors, as well as outputs (ecological functions and derived social values) from natural ecosystems. Realistically, this should reflect both sustainable resource production capacity and economic feasibility. In rural sector planning, this may include the following assessment phases: 1. Assessment of basic agro-ecological production capacity on a cropping system or commodity-specific basis; 2. Assessment of sustainable productivity levels using adjustment for locally relevant production opportunities and input constraints (e.g. irrigation, fertilization, technology, capital); and the 3. Economic viability of production options (input costs and product prices). This relationship is further identified in Figure 1, below. Assessment of sustainable natural resource productivity levels includes yield adjustment for locally relevant production opportunities and input constraints (e.g. irrigation, fertilization, technology, and capital). In essence, this includes a compilation of : 1. Additional biophysical factors indirectly affecting crop moisture availability, such as soil depth/texture, organic content, net irrigation application, rooting depth, water
AGROECOLOGICAL RESOURCE PRODUCTION CAPACITY INDICES
SOIL RESOURCES Soil physical and chemical properties Topography CLIMATE RESOURCES Use-specific carrying capacity index (e.g. rangeland) Length of growing period Crop moisture availability Crop-specific productivity index Use-specific (farming system) suitability indices AQUATIC RESOURCES Irrigation potential Aquatic Ecosystem properties (biotic and abiotic) Water quality indices (organic and inorganic) Eutrophication index Wetland resources and productivity indices Aquifer vulnerability and recharge indices Surface and subsurface supply and cost PLANT RESOURCES Ecosystem classes and productivity indices Vegetation association and biomass productivity Biodiversity indices (species) Genetic resource indices (biomedical) WILDLIFE RESOURCES Ecosystem and carrying capacity indices Species, environment and human resource competition indices NON-RENEWABLE RESOURCES Mineral Resource Oil an gas resources Strategic mineral index (for all, calculate self-sufficiency and economic supply index)

infiltration rate based on slope/textural classes, and crop nutrient availability; and 2. Socioeconomic conditions that effect the farm input level and long-term effectiveness of management practices (e.g., fertilizer and pesticide inputs, cropping intensity, labor or capital constraints, profit margins, land degradation), which effect sustainable productivity; and 3. Off-farm impacts such as environmental externalities resulting from soil erosion, fertilizer impacts, pesticide applications or general impacts on water quality and availability. This resource productivity assessment must be further expanded into a socioeconomic evaluation of needs and suitability. Here, need addresses the social demand resulting from expressed social expectations related to the quality of life and associated availability and price or goods and services, while suitability reflects the economic viability of production opportunities, such as land use types or farming systems under prevailing input costs and commodity price scenarios. The use of the comprehensive and relevant indicators, suggested above, must be incorporated into the larger decisionsupport framework for policy analysis and rural development planning. In essence, this transforms the reductionistic

HUMAN-INDUCED LAND AND ECOSYSTEM DEGRADATION IMPACTS AND INDICES


LAND DEGRADATION IMPACTS Soil erosion (wind, water) and compaction Desertification index Salinization (Irrigation and saltwater intrusion) WATER RESOURCE IMPACTS (In)Organic pollution Use rates and water scarcity ECOSYSTEM QUALITY AND BIODIVERSITY Ecosystem productivity, diversity and stability

SOCIOECONOMIC NEED AND SUITABILITY INDICES


Resource Status, Depletion Rates, Supplies (stock and flow resources Projected Resource Quality, Physical and Economic Scarcity and Prices Mix of Resource Products and Services Political/Administrative District Impacts Natural System (e.g. ecosystem, agroecological zone, watershed) Impacts Planning districtsIntegrated impacts

Figure 1 Relevant indicators, derived indices and linkages in natural resource production capacity assessment.

Buletin Tata Ruang & Pertanahan

Approach reducing problem solving to a segmentation of the problem by using descriptive indicators to a holistic or systems approach. A holistic approach uses composite indicators of social preferences and performance and can, therefore, accommodate a variety of social assumptions, opinions, and group desires, accounting for public policy tradeoffs involving complex costs, benefits, and risk.

quality, and denote intervention needs and development opportunities, representing various land use types as natural or managed production ecosystems. Fundamentally, resource use capacity is reflected in land quality indicators representing a potential sustainable use condition of landscape units on a comparative basis and may also expressed at the aggregate level at the local, regional or national scales. Focusing Land Policy and Development Initiatives: Applying the Concept of Unrealized Production Potential Comparative advantage, expressed as relative measure of productivity or economic performance, can be defined on an agro-ecological zone basis. An agro-ecological zone reflects a relatively homogeneous mapping unit -- based on soil characteristics (primarily soil texture or particle size reflecting soil moisture holding capacity), climate and topographic variables. This so-called Resource Production Unit (RPU) will provide a given level of crop productivity (output) based on its agro-ecologically defined production capacity for specific cropping options and its associated inputs. The theoretical maximum is based on local agro-ecological constraints. This
P U B L I C B E N E F I T S UNREALIZED PRODUCTION POTENTIAL NET SOCIOECONOMIC BENEFITS MAXIMUM POTENTIAL SUSTAINABLE LAND USE CURRENT LAND USE NET SOCIO-ECONOMIC BENEFITS MAXIMUM

SUSTAINABLE ECONOMIC DEVELOPMENT PLANNING SUSTAINABLE NATURAL RESOURCE MANAGEMENT HOLISM SUSTAINABLE ECOSUSTEM AND (TERRESTRIAL AND AQUATIC) BIODIVERSITY MANAGEMENT SUSTAINABLE AGRICULTURAL SECTOR MANAGEMENT (CROPPING SYSTEMS AND LIVESTOCK) SUSTAINABLE AGRO-ECOLOGICAL ASSESSMENT AND CROP PRODUCTION MANAGEMENT SUSTAINABLE SOIL MANAGEMENT (LAND DEGRADATION, SOIL MOISTURE AND NUTRIENT BALANCE)

Figure 2 Sustainable Environmental Management and Planning using Descriptive Suitability Indicators and Composite Indices of Social Preferences, Performance and Impact

A key requirement in this process is that environmentallyreferenced indicators, reflecting economic productivity opportunities and environmental impacts, by agro-ecological zones, watersheds or major ecosystems, must be directly related to political or administrative regions for the comparative analysis of relevant socioeconomic impacts, and as the basis for strategic planning and implementation. As pointed out earlier, this relationship (Figure 2) among indicators is reflected in the hierarchy of planning and management and may also be illustrated in the analytical resource use capacity sequence of single issue is reflected in land resource management or quality indicators comprehensive planning. The representing a poten- key challenge, then, is to define specific management tial sustainable use objectives at each level that condition of landscape operationalize private and units on a comparative public development goals. basis and may also This involves seeking complimentarity of expressed at the aggre- socioeconomic and gate level at the local, environmental goals that are regional or national specifically identified as scales. indicators representing needs and opportunity, as well as measures of performance and impact. For example, in sustainable land management and policy formulation this involves indicators that measure land degradation trends and

REDUCTIONISM

DEVELOPMENT STRATEGY PLANNING TIME FRAME Figure 3 - The Concept of Unrealized Production Potential -- the Difference between Current Constrained Land Use Outputs (Total Production of Goods and Services subject to Input and Performance Constraints) and the Theoretical Maximum (Unconstrained) Outputs. Were the Difference is the Greatest, the largest Constraint Conditions exists and the Greatest Potential exists to improve Productivity.

maximum can be compared with the actual productivity level and the difference expressed as Unrealized Production Potential (UPP). Where the UPP is the largest (Figure 3) the largest set of local production constraints exist (e.g. input availability, cost, land access, technology, etc.) and the greatest opportunity exist to increase productivity in the context of an agrarian reform program. This provides the spatial analytical framework for the prioritization of integrated rural development and planning initiatives at the regional or national level. Land Information Systems and Indicators for Land Policy and Development Initiatives One of the most significant challenges in development planning is to derive information cost-effectively and ensure that it is thematically, spatially, and temporally relevant in supporting policy analysis and decision making. Beyond the traditional data

Buletin Tata Ruang & Pertanahan

The use of relevant, descriptive qualitative and quantitative diagnostic indicators in the problem identification;
DECISION MAKING AND POLICY IMPLEMENTATION

INDICESperformance Performance and Risk Assessment Monitoring Aggregate Impact Quality of life

Problem-oriented fact finding involving the use of primary and secondary data sets compiled in a spatially referenced information system (GIS), linked with analytical performance assessment models, such as agronomic productivity forecasting and socioeconomic impact assessment models; The compilation of single indicators or composite prescriptive indices that identify potential solutions and alternative problem solving approaches; and The selection of planning and implementation alternatives based on composite performance indices that reflect planning impacts, intended public policy consequences, and the aggregate impact on the quality of life over time, by location and the populations affected. The formulation of the latter two categories - involving the identification of potential solutions, the selection of preferred alternatives, and implementation strategies - must be addressed effectively by the compiled information. To this end, consideration should be given to the formulation of a National Spatial Data Infrastructure (NSDI) that may be viewed as a network of Spatial Data Infrastructures (SDI) linked to address specific applications by specific government agencies. The primary purpose of a SDI is to provided improved access to spatial data (reflecting time, cost, quality, relevancy, and standardization issues) and support NSDI policy analysis needs on a economic sector or issue basis (e.g. environmental impact analysis, rural development planning, transportation planning or agricultural or tourism sector analysis). If a truly integrated national data base infrastructure is envisioned, the principal users may include the National Mapping Agency, BPN, BAPPENAS, the Ministries of Public Works, Agriculture, Forestry, Environment, and agencies with responsibilities for public health and safety. The institutional role of LIS/GIS in inter-agency collaboration and public policy support is outlined below (Figure 5). It is essential to form an inter-agency task force to develop a National Spatial Data Information (NSDI) infrastructure with centralized data capture and archiving, universally accepted standards, networked data
FEEDBACK

INDICATORSprescriptive Intervention Opportunities Planning Guidelines Land Suitability Comparative Advantage


Sustainability Carrying Capacity

POLICY INFORMATION

ENVIRONMENTAL ASSESSMENT APPROACHES AND IMPACTS ASSESSMENT MODELS (thematic examples) Crop Productivity Climate Change Air Quality Water Quality Biodiversity Urban Quality Soil Degradation Coastal Zone Management Wildlife Management

COMPREHENSIVE DATA BASE COMPILATION Environmental Information System (GIS) Primary Data Capture Secondary Data Capture

PROBLEM IDENTIFICATION Problem Indicatorsthematic, quantitative and qualitative measures Need indicatorsmeasures of intervention need and opportunity
Figure 4 Hierarchical information flow and use of basic data, indicators and Figure indices in development planning flow and public policy 4 Hierarchical information and use offormulation basic data, indicators and

quality standards of precision and accuracy, it is important to identify the MINIMUM information content necessary to meet decision-support objectives, at a given point in time. It may be argued that any redundant information constitutes inefficient use of human and capital resources. In the process of compiling information a distinction has to be made with regard to the sequence and characteristics of basic data capture and analysis and the use and distribution of relevant information. This process sequence is illustrated above (Figure 4). It is especially important to differentiate among the various information compilation steps, namely:

PUBLIC WORKS

PUBLIC SAFETY

GIS
PLANNING

BUILDING

Figure 5 Integration of National GIS Support Functions based on mandates of the national Mapping Agency, BPN, Bappenas, Ministries of Public Works, Agriculture, Forestry, Environment and Tourism, and agencies with responsibilities for public health and safety

Buletin Tata Ruang & Pertanahan

access, down and upload capacities based on unique needs (such as the cadastral information used by BPN). This will not only create a cost-effective national spatial information system capacity but will also permit networked data base linkages with dedicated abilities and security features based on specific It is essential to form an agency needs. The NSDI involves the identification of critical qualitative and quantitative indicators and derived indices, as viewed from the perspective of the various national or regional agencies with associated mandates in economic development and environmental protection. Environmental quality and public health risk are directly associated with the impacts of land use policy on quality of life and are receiving increased attention, world-wide. Land policy initiatives should not only address economic development but also deterio-rating air and water quality, restoration of ecosystems functions, and nature preservation needs. It is important to seek legislative agreement and support for these initiatives in the early stages of environmental degradation. We view this as critically important in Indonesia. Intervention scenarios will be much more cost efficient that retroactive mitigation efforts. This represents a critical opportunity for Indonesia to address significant environmental concerns, particularly in land and water quality management. The primary need exists to establish harmony among laws and regulations, and to develop the political willingness to create an effective environmental policy agenda for the 2010, and beyond. Environmental and land use policy should be primarily directed toward the prevention of water and air pollution and reflects proactive, comprehensive laws and regulations regarding the impacts of land use (including deforestation and mining) on environmental quality. The challenge is to evolve an integrated systems approach to natural resource evaluation and impact assessment that fosters the development of a decision support system which is effective in making informed public policy choices. Such a policy analysis system, as outline below (Figure 6) consists of three major functional components, comprising diagnostic, prescriptive, and performance (monitoring) indicators and their derived resulting indices. It includes: A comprehensive Resource Evaluation System to assess primary production capacities (agro-ecological productivity) A Land Use Evaluation System the assess comparative land suitability (economic viability and environmental and public risk variables), and A Public Policy Analysis System to conduct macro socioeconomic analysis

inter-agency task force to develop a National Spatial Data Information (NSDI) infrastructure with centralized data capture and archiving, universally accepted standards, networked data access, down and upload capacities

Public interests largely reflect the long-term environmental stewardship principle that includes public interests in resource conservation and environmental quality. Private interests largely reflect more short-term economic interests that are directly affected by ownership rights, laws, and regulations. In this regard, the goal of public land use policy is to balance public and private interest (reduce human risks, preserve environmental quality and stimulate economically viable production opportunities) by the formulation of multijurisdictional (e.g. national regional and local), resource policy systems that include the institutional controls and capacity to: a) Identify the comparative advantage of resource use opportunities (e.g., resource endowment, use capacity and use efficiencies) in the context of environmental constraints (e.g., carrying capacity and resource depletion rates) the resource evaluation framework b) Evolve guidelines and decision-support systems to evaluate public and private sector benefits (e.g., benefit/cost, benefit/risk) of land use alternatives and associated environmental impacts the policy analysis framework c) Development implementation and evaluation through effective development strategies, land use plans, laws and regulations, and performance monitoring the policy implementation framework In general, public development policy attempts to guide the identification and selection of best resource use options reflecting both public land use alternatives and the aggregate socioeconomic and environmental impacts of private land use choices. It aims to mobilize the production of goods and services as resource outputs to meet societal needs and to improve resource productivity, input, and management efficiency, while attempting to optimize product distribution and availability. In this context, natural resource assessment is a systematic process of fact finding, interpretation, and identification of development alternatives and associated impacts. This process is by nature holistic of ecosystems and the linkages among a complex set of biotic and abiotic factors.

public development policy attempts to guide the identification and selection of best resource use options reflecting both public land use alternatives and the aggregate socioeconomic and environmental impacts of private land use choices

Sustainable development fundamentally reflects this understanding and, therefore, the perceived opportunities and environmental limits that provide guidelines for improved decision making, environmental management, and development planning. This understanding is never absolute, lacking essential knowledge about complex ecological relationships, complicated by spatial and temporal inaccuracies, affected by adaptive impacts and policy changes, and influenced by changing valuations of public benefits, costs and, risks.

Buletin Tata Ruang & Pertanahan

PUBLIC POLICY SYSTEM (EVALUATION OF QUALITY-OF-LIFE IMPACTS) AGGREGATE SOCIOECONOMIC PERFORMANCE MODELS AND SPATIAL INDICATORS LAND USE SELECTION BASED ON SOCIOECONOMIC PERFORMANCE AND ENVIRONMENTAL CAPACITY AND QUALITY INDICATORS POLICY IMPLEMENTATION THROUGH SELECTIVE DEVELOPMENT STRATEGIES, INCENTIVES, LAND USE PLANS AND CONTROLS

01/TAHUN I/2010 (and its use) varies in its bio-physical and EDISI socio-economic properties and that for each use a suitability determination can be made and expressed in physical and/or economic terms. This suitability assessment for agricultural, forestry (or any other land use including industrial or tourism) provide a parcel-based and aggregate (political or administrative district-based) comparative framework that provide users and decision makers -- such as land use planners, state institutions, politicians and agricultural support services with spatial information to make predictions and guide land use decisions and policy formulation.
*) Professor, International Resource Development and Planning. College of Agriculture and Natural Resources, MICHIGAN STATE UNIVERSITY. Email: schultin@msu.edu

NATURAL RESOURCE SYSTEM Bio-physical diagnostic and prescriptive indicators: ecological resource base quality, production capacities and constraints

SUSTAINABLE PRODUCTIVITY CONSTRAINTS: Agro-ecological, Technological, Socioeconomic, Institutional, Cultural, and Political. COMPARATIVE OPPORTUNITY INDICATORS (e.g. crop yields and economic return

LAND USE SYSTEM (viable) Land Use Types (LUTs) evaluated on the basis of resource capacity and socio-economic performance and prognostic indicators - development guidelines and strategies

Figure 6 Major system linkages of resource assessment, land evaluation, economic development planning and land use policy formulation

Tahukah Anda???
Tahapan kegiatan pendaftaran untuk pertama kali
Pengukuran, Pemetaan Bidang Tanah & Pembuatan Peta Pendaftaran Tanah

To effectively challenge this decision-making complexity, a systems approach to economic development and environmentalassessment is needed. The approach should be: 1) Issue-oriented to improve ability to identify the qualitative and quantitative dimensions of the problem(s), 2) Diagnostic in its analytical approach to identifying potential solutions that are sustainable and economically viable , and 3) Focus on problem solving by providing the minimum information needed to make informed decisions.

Pembuatan Peta Dasar Pendaftaran Tanah Sistematik Sporadik

Penetapan Batas Bidang Tanah

Pembuatan Daftar Tanah

Penerbitan Sertipikat

Pembuktian Hak & Pembukuan

Pembuatan Surat Ukur

Land Evaluation and Suitability Assessment for Land Policy and Development Planning The critical analytical process that determines the comparative land suitabilities associated with different production options if referred to as Land Evaluation for Development Planning. Land evaluation is designed to: Identify inappropriate land uses that lead to inefficient use or exploitation of natural resources resulting in the degradation or destruction of land resources and undermine the long-term productive capacity of our natural resources based, and eventually lead to poverty and scarcity of products and ecosystem services; identify the best land use alternatives for a given parcel of land given prevailing inputs, costs, technology and public preference, thereby seeking the long-term creation and preservation of prosperity develop rational land use planning and select appropriate and sustainable uses of natural and human resources on a parcel and administrative district basis Land evaluation is the assessment of land performance for a specified land use the land use objective or alternative the so-called Land Utilization Type (LUT) subject to local constraints and input regimes. Land evaluation reflects the notion that land

Penyajian Data Fisik & Yuridis

Penyimpanan Daftar Umum & Dokumen

Sumber: PP No. 24/ 1997 tentang Pendaftaran Tanah

Larasita adalah Layanan Rakyat untuk Sertifikasi Tanah

10

Buletin Tata Ruang & Pertanahan

Kompaksi Perkotaan: Prinsip dan Potensi Penerapannya dalam Pengembangan Kawasan Perkotaan yang Lebih Berkelanjutan
Dr. Iwan Kustiwan

Wheeler (2004) mengidentifikasi 5 prinsip bentuk perkotaan yang berkelanjutan, yaitu: bentuk kompak yang membatasi suburban sprawl, menerus, terhubungkan, beragam, dan ekologis. Compact city dinilai sebagai bentuk perkotaan yang paling berkelanjutan, karena paling sesuai dengan prinsip anti-sprawl dibandingkan dengan 3 tipe/bentuk lainnya yang selama ini diakui sebagai kota yang berkelanjutan neotraditional development, urban containment, compact city, dan eco-city. Compact city sebagai strategi pengembangan kota diarahkan untuk meningkatkan kawasan terbangun dan kepadatan penduduk perumahan; mengintensifkan kegiatan ekonomi, sosial dan budaya perkotaan; memanipulasi ukuran kota, bentuk dan struktur perkotaan, serta sistem permukiman melalui pemusatan fungsi-fungsi perkotaan (Jenk, 2000). Keterkaitan Bentuk Perkotaan dengan Keberlanjutan Lingkungan Bentuk perkotaan pada skala neighborhood, diukur dari dimensi kepadatan, diversitas (penggunaan lahan dan tipe hunian), aksesibilitas, serta desain jaringan jalan . Hasil analisis keterkaitan bentuk perkotaan dengan pola perjalanan menegaskan beberapa faktor yang mempengaruhi kebutuhan perjalanan yaitu: kepadatan, ukuran kawasan, penggunaan
Bentuk Perkotaan Manfaat terhadap keberlanjutan lingkungan

Sumber: www.mori.co.jp

Pendahuluan Pertumbuhan perkotaan di Indonesia, terutama di kota besar dan metropolitan, secara fisik ditandai oleh pesatnya pertumbuhan kawasan pinggiran kota yang dikenal sebagai proses suburbanisasi. Suburbanisasi yang terjadi cenderung menjadikan kawasan perkotaan secara fisik meluas secara acak/terpencar (urban sprawl), dan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, sehingga mengarah pada kompaksi perkotaan perkembangan perkotaan yang tidak berkelanjutan. Urban sprawl, menyangkut bentuk perkotaan (urban form ukuran, shape dan intensitas permukiman perkotaan) yang merupakan salah satu isu keberlanjutan pada skala spasial kota/lokal (Wheeler, 2004; Knaap et al., 2007). Hasil kajian empirik di negara-negara maju menunjukkan keterkaitan antara bentuk perkotaan dan keberlanjutannya. Pemahaman terhadap keterkaitan ini diperlukan dalam pengembangan strategi untuk mewujudkan struktur dan pola ruang kawasan perkotaan yang lebih berkelanjutan. Dalam kaitan dengan kota-kota di Indonesia yang sedang mengalami pertumbuhan pesat, kompaksi perkotaan (urban compaction) yang diterapkan dalam konteks pembangunan wilayah yang selama ini cenderung ekspansif dan bersifat sprawl, mempunyai potensi untuk mengurangi ecological footprint. Tulisan ini secara singkat memaparkan prinsipprinsip kompaksi perkotaan dan potensi penerapannya dalam konteks perkembangan kawasan metropolitan di Indonesia. Bentuk Perkotaan yang Berkelanjutan Perdebatan mengenai bentuk perkotaan (urban form) yang berdampak positif terhadap keberlanjutan perkotaan, berkembang pada isu terkait bentuk perkotaan terbaik untuk memfasilitasi transportasi berkelanjutan yang mencakup: pengurangan panjang dan waktu perjalanan; pengurangan ketergantungan pada kendaraan bermotor, peningkatan transportasi umum secara efisien, promosi untuk berjalan kaki dan bersepeda, serta pengurangan emisi (Breheny, 1992; Williams et.al, 2000; de Roo dan Miller, 2000; Williams, 2005).

yang diterapkan dalam konteks pertumbuhan perkotaan yang cenderung ekspansif, berpotensi mengurangi ecological footprint.

Gambar 1. Kompaksi terhadap Unsur-unsur Bentuk Perkotaan, Pengaruhnya terhadap Keberlanjutan Lingkungan Perkotaan

lahan campuran, dan lokasi pengembangan. Faktor-faktor tersebut menggambarkan derajat kekompakan (compactness) suatu kawasan. Hal ini berarti kompaksi bentuk perkotaan, melalui unsur-unsurnya (densitas, diversitas penggunaan lahan, desain kawasan, dan aksesibilitas), dapat mempengaruhi pola/ perilaku perjalanan, terutama panjang perjalanan dan konsekuensinya terhadap konsumsi energi, emisi yang dihasilkan dan kualitas udara (Gambar 1). Prinsip-prinsip Kompaksi Perkotaan Dari aspek pengembangan lahan, perkembangan kawasan perkotaan yang bersifat sprawl mengancam keberadaan kawasan pertanian subur dan ruang terbuka hijau di pinggiran kota, yang merupakan unsur kota yang berkelanjutan. Dengan menerapkan prinsip-prinsip kompaksi perkotaan melalui intervensi terhadap unsur-unsur bentuk perkotaan (densitas,

11

Buletin Tata Ruang & Pertanahan

Lingkungan Densifikasi perumahan Densitas Diversifikasi penggunaan lahan Diversitas Penggunaan Lahan Design Ukuran kawasan, tata letak, tipe hunian Aksesibilitas
Distance, Destination

1. Pengurangan kebergantungan pada kendaraan bermotor. 2. Pengurangan tekanan thd alih fungsi kawasan pertanian/RTH. 3. Pengurangan konsumsi energi, emisi dan pencemaran udara.

Intensifikasi penggunaan lahan Residentialisation Diversifikasi tipe hunian & bangunan Proximity thd pusat kota dan sistem angkutan umum Prinsip-prinsip Kompaksi Perkotaan

Sosial
1. Peningkatan interaksi sosial. 2. Interaksi sosial/kohesivitas masyarakat. 3. Akses thd fasilitas sosial.

Ekonomi
1. Komplementaritas antar kegiatan. 2. Efisiensi ruang dan prasarana. 3. Regenerasi/revitalisasi kawasan pusat/ dalam kota.

Bentuk Perkotaan

Manfaat terhadap Keberlanjutan

Gambar 2. Prinsip Kompaksi Perkotaan dan Manfatnya terhadap Keberlanjutan Perkotaan

diversitas penggunaan lahan, desain kawasan, dan aksesibilitas), diharapkan akan diperoleh manfaat dalam konteks keberlanjutan perkotaan secara lingkungan, sosial, dan ekonomi. Prinsip-prinsip kompaksi perkotaan ini meliputi: densifikasi perumahan, diversifikasi penggunaan lahan, intensifikasi penggunaan lahan, residentialisation, diversifikasi tipe bangunan, dan kedekatan (proximity) terhadap pusat kota dan sistem angkutan umum. Secara diagmatis, kaitan unsurunsur bentuk perkotaan, prinsip-prinsip kompaksi perkotaan, dan manfaat potensialnya terhadap keberlanjutan perkotaan, dapat disajikan melalui Gambar 2. Potensi Penerapan Kompaksi Perkotaan Berdasarkan model yang dikembangkan oleh Holden (2003), diidentifikasi 4 bentuk perkotaan yang mengacu pada kecenderungan perkembangan (sprawl, atau terkonsentrasi) dan upaya/strategi untuk mengubahnya (sentralisasi atau desentralisasi), yakni: urban sprawl, compact city, green city, strategi kompaksi di dan decentralized concentration. pusat kota dapat Bentuk konsentrasi terdesentralisasi (decentralized ditempuh melalui concentration) merupakan pengembangan strategi pengembangan spasial yang pengembangannya perumahan difokuskan pada pusat-pusat pengembangan baru di kawasan pinggiran, pusat-pusat baru berkepadatan tinggi, berlokasi baik dalam sistem transportasi umum metropolitan sehingga dapat dicapai efisiensi energi dan minimasi dampak lingkungan. Dengan kata lain, konsentrasi terdesentralisasi dapat dipandang sebagai perluasan dari konsep compact city dalam konteks wilayah metropolitan, yang mempunyai karakteristik pertumbuhan pesat dengan daya dukung lingkungan yang terbatas. Di kawasan pusat kota, strategi kompaksi yang dapat ditempuh adalah regenerasi kawasan melalui pengembangan perumahan yang lebih kompak (berkepadatan tinggi, penggunaan lahan campuran, dan aksesibilitas tinggi). Penerapan strategi kompaksi di pusat kota memberi manfaat: (1) pengurangan ancaman terhadap alih fungsi kawasan pertanian subur dan ruang terbuka hijau; dan (2) efisiensi penggunaan ruang melalui intensifikasi kawasan terbangun yang sudah ada. Sementara itu, di kawasan pinggiran kota, strategi yang dapat ditempuh adalah pengembangan dengan pola konsentrasi terdesentralisasi melalui pengembangan perumahan yang lebih kompak (berkepadatan tinggi dan penggunaan lahan campuran) pada pusat-pusat primer dan sekunder serta koridor transportasi umum sebagai kawasan yang mempunyai aksesibilitas tinggi.

Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan Kompaksi perkotaan dapat diadopsi dalam perencanaan tata ruang kawasan perkotaan yang bersifat lintas-wilayah administratif. Untuk itu perlu adanya sinergi perencanaan tata ruang wilayah Kota dan Kabupaten dalam menerapkan prinsipprinsip kompaksi perkotaan, baik dalam rencana struktur maupun rencana pola ruang wilayah. Dalam rencana struktur ruang, kompaksi perkotaan diakomodir dalam penetapan hirarki pusat-pusat permukiman (dalam lingkup kabupaten) dan pusatpusat pelayanan perkotaan kompaksi perkotaan serta sistem jaringan menjadi strategi prasarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan peningkatan sosial ekonomi masyarakat penyediaan ruang yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional, terbuka hijau sehingga dapat mengintegrasikan kepentingan antar-wilayah. Sedangkan dalam rencana pola ruang, perlu adanya sinergi pada kawasan pinggiran yang menjadi perbatasan Kota dan Kabupaten, baik untuk pengembangan kawasan perumahan maupun kawasan pertanian dan ruang terbuka hijau. Kompaksi perkotaan yang merekomendasikan pengembangan perumahan yang lebih kompak perlu diakomodasikan dalam peraturan zonasi sebagai instrumen utama dalam pengendalian pemanfaatan ruang. Rekomendasi tersebut dapat ditempuh melalui penerapan ketentuan peruntukan pada zona/kawasan campuran yang lebih luwes dan adanya insentif untuk melakukan pengembangan secara lebih kompak. Pada kawasan pusat kota, perlu dikembangkan peraturan zonasi yang memberikan insentif untuk pengembangan kegiatan/ penggunaan lahan campuran perumahan pada zona komersial secara intensif dalam bentuk vertikal. Residentialisation merupakan upaya untuk mengembalikan vitalitas pusat kota yang mengalami kemunduran. Selain itu, kompaksi perkotaan mempunyai implikasi terhadap perlunya menerapkan insentif zoning, berupa izin peningkatan intensitas dan kepadatan pembangunan (tinggi bangunan) yang diberikan kepada pengembang dengan imbalan penyediaan fasilitas publik. Dalam konteks ini, kompaksi perkotaan dapat menjadi strategi untuk meningkatkan penyediaan ruang terbuka hijau dan fasilitas publik. Sementara itu, untuk kawasan pinggiran, perlu dikembangkan peraturan zonasi yang memberikan insentif untuk pengembangan kegiatan/penggunaan lahan campuran komersial pada zona perumahan. Pengembangan

12

Buletin Tata Ruang & Pertanahan

penggunaan campuran ini merupakan upaya untuk mengurangi kebutuhan perjalanan yang selama ini menjadi konsekuensi pengembangan perumahan baru yang bersifat monofungsional. Glossary Neotraditional development (Jabareen, 2006) adalah konsep pengembangan yang didasarkan pada bentuk perkotaan tradisional untuk menahan kecenderungan suburban sprawl dan penurunan kawasan pusat kota. Urban containment (Jabareen, 2006) adalah konsep/strategi untuk mencegah perluasan kawasan perkotaan ke arah luar dan mendorong perkembangan ke dalam kawasan perkotaan, dengan pelestarian bentang alam dan kawasan pertanian. Eco-city (Jabareen, 2006) adalah bentuk perkotaan ekologis yang dimaksudkan untuk mencapai keberlanjutan perkotaan, baik secara lingkungan, sosial, ekonomi dan kelembagaan. Daftar Pustaka Burton, Elizabeth. 2001. The compact city and social justice, Housing Studies Association Spring Conference, Housing, Environment and Sustainability, University of New York, New York Holden, Erling. 2004. Ecological footprints and sustainable urban form, Journal of Housing and the Built Environment, 19. Jabareen, Y.R. 2006. Sustainable urban forms. Their typologies, models, and concepts, Journal of Planning Education and Research, 26. Jenks, M., R. Burgess. 2000. Compact cities: sustainable urban form for developing counties. SPON Press, London. Jenks, M., C. Jones (eds). 2010. Dimensions of the sustainable city. Springer, London.
*) Ringkasan dari disertasi yang berjudul Bentuk dan Pengembangan Kawasan Perkotaan Berkelanjutan (Kajian Potensi Kompaksi di Kawasan Perkotaan Bandung) pada Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia. **) Ketua Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota; Ketua Kelompok Keahlian Perencanaan dan Perancangan Kota Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan ITB.

Status Penyelesaian Peraturan Daerah RTRW Provinsi


B No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Bengkulu Sumatera Selatan Lampung Kep. Riau Kep. Bangka Belitung DKI Jakarta Banten Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Sulawesi Barat Gorontalo Nusa Tenggara Timur Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua JUMLAH 33 25 22 11 10 11 7 6
Sumber : Sekretariat BKPRN, September 2010

C D E F

Provinsi

B1 B2 C1 C2

Tahukah Anda???
Perencanaan tata ruang menghasilkan: 1. Rencana umum tata ruang a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) ditetapkan melalui PP No. 26/2008. b. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) ditetapkan melalui Peraturan Daerah. c. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK) ditetapkan melalui Peraturan Daerah. 2. Rencana rinci tata ruang a. RTR Pulau/Kepulauan dan RTR Kawasan Strategis Nasional ditetapkan melalui Peraturan Presiden. b. Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi ditetapkan melalui Peraturan Daerah.. c. Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten/Kota dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Kabupaten/Kota ditetapkan melalui Peraturan Daerah. Sumber: UU 26/2007; PP 15/2010.

KETERANGAN:
A : Proses Revisi B : Proses Persetujuan Substansi B1 : Proses Persetujuan Kementerian PU B2 : Proses Persetujuan Kementerian Kehutanan C : Memperoleh Persetujuan Substansi C1 : Memperoleh Persetujuan Substansi Kementerian PU C2 : Memperoleh Persetujuan Substansi Kehutanan

D : Pembahasan DPRD E : Evaluasi di Kementerian Dalam Negeri F : Penetapan Perda RTRW

Buletin Tata Ruang & Pertanahan

13

Sosialisasi Peraturan Pemerintah terkait Penataan Ruang

PP No. 10/2010 dan PP No. 24/2010 Sementara PP kehutanan mengatur mengenai ketentuan, persyaratan, dan prosedur bagi pemerintah, pemerintah daerah, ataupun kelompok masyarakat yang membutuhkan ruang untuk kegiatan pembangunan yang berada di dalam kawasan hutan. Melalui kedua PP kehutanan ini, dibuka kemungkinan pemanfaatan kawasan hutan untuk pemanfaatan di luar kehutanan dengan tetap menjaga keseimbangan manfaat lingkungan, sosial budaya, dan ekonomi. Pemanfaatan kawasan hutan harus mempertimbangkan fungsi pokok hutan, jenis dan intensitas kegiatan, batasan luas, jangka waktu dan upaya reboisasi dan reklamasi, yang bertujuan untuk tetap menjaga manfaat kawasan hutan secara lestari dan berkelanjutan.
Sumber: Dokumentasi Dit. Tata Ruang dan Pertanahan, Bappenas, 2010.

ementerian PPN/Bappenas menggelar acara Sosialisasi Peraturan Pemerintah terkait Penataan Ruang pada Selasa, 13 Juli 2010 di Jakarta. Peraturan Pemerintah (PP) yang disosialisasikan adalah PP No. 15/2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, PP No. 10/2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, dan PP No. 24/2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan. Acara dibuka dengan Keynote Speech oleh Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Dr. Ir. Max Pohan, CES, MA dilanjutkan dengan pemaparan setiap PP dan diskusi yang dimoderatori oleh Direktur Tata Ruang dan Pertanahan Ir. Deddy Koespramoedyo, MSc. Hadir sebagai narasumber adalah Direktur Jenderal Penataan Ruang, Kementerian PU, Ir. Imam Santoso Ernawi, MCM, MSc., Direktur Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan, Kementerian Kehutanan, Dr. Ir. Dwi Sudharto, Msi., dan Kasubdit Informasi Kawasan Hutan, Kementerian Kehutanan, Ir. Chaerudin Mangkudisastra, MSc. Acara tersebut mengundang perwakilan deputi dan direktorat terkait di Bappenas, perwakilan Lembaga Swadaya Masyarakat, dan perwakilan Perguruan Tinggi. Penataan ruang merupakan upaya pengalokasian ruang bagi kegiatan pembangunan untuk menjaga keberlanjutan fungsi ruang. Penerbitan ketiga PP ditujukan untuk mewujudkan harmonisasi dan keterpaduan penyelenggaraan penataan ruang di berbagai kawasan, termasuk pengaturan pembangunan di kawasan hutan. PP No. 15/2010 PP Penyelenggaraan Penataan Ruang memberi perhatian pada pentingnya sinkronisasi antara rencana pembangunan dengan rencana tata ruang serta pentingnya rencana detail tata ruang di Sumber: Kementerian PU, 2010. wilayah perkotaan yang akan menjadi dasar pemberian izin pemanfaatan ruang. Kebijakan mengenai insentif dan disinsentif juga diperlukan dalam rangka mendukung upaya pemanfaatan ruang yang sejalan dengan rencana tata ruang.

Poin-poin Penting Pentingnya sinkronisasi indikasi program dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dengan program dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP)/Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) di pusat dan daerah. Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan diakomodasi pada proses penyusunan RTRW dengan memperhatikan kelestarian fungsi hutan. Penilaian kawasan hutan yang Sumber: Kementerian Kehutanan, 2010. tercakup dalam kajian Tim Terpadu bertujuan untuk menginventarisasi penggunaan kawasan hutan dengan mempertimbangkan prinsip sosial, ekonomi, dan ekologi. Hasil inventarisasi digunakan untuk menahan laju deforestasi, bukan untuk mendukung akselerasi perubahan kawasan hutan. PP No. 10/2010 mengamanatkan kewajiban untuk menyediakan lahan pengganti sebagai penukar kawasan hutan dengan rasio 1:1 untuk kepentingan umum dan rasio 1:2 untuk kepentingan komersil. Lahan pengganti tersebut harus dapat dihutankan kembali dengan cara konvensional. Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang diamanatkan oleh UU No. 32/2009 sudah diterapkan dalam proses penyusunan RTRW dan dalam proses perubahan peruntukan kawasan hutan. Kebijakan insentif/disinsentif fiskal tengah dipersiapkan, termasuk di dalamnya kewenangan pemerintah daerah dalam penerapan insentif/disinsentif tersebut. Untuk kelancaran pelaksanaan ketiga PP tersebut perlu peningkatan koordinasi antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota.

14

Buletin Tata Ruang & Pertanahan

koordinasi trp
Institution Building for the Integration of National-Regional Development and Spatial Planning

istem perencanaan pembangunan di Indonesia diatur melalui UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional melalui penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) serta UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang melalui penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Kedua aturan ini memiliki keterkaitan erat yang semestinya terintegrasi dan saling menguatkan. Proses integrasi kedua rencana ini masih menghadapi tantangan dan permasalahan, terkait dengan aspek peraturan pendukung, kelembagaan pelaksanaan, dan aspek-aspek sektoral yang (terkadang) saling bertentangan. Pada tingkat nasional telah dilakukan upaya integrasi antara RPJP Nasional dengan RTRW Nasional melalui RPJM Nasional 2010-2014 (RPJM ke-2 dari RPJP 2005-2025). Pemerintah Provinsi/ Kabupaten/Kota juga diharapkan dapat melaksanakan integrasi kedua rencana ini sehingga dapat memenuhi 4 (empat) aspek integrasi, yaitu: integrasi muatan, integrasi antarsektor, integrasi antarwilayah, serta integrasi antarwaktu. Bappenas bekerja sama dengan DSF (Decentralization Support Facility) - The World Bank berupaya untuk membantu melalui pendampingan dan pelatihan kepada pemerintah daerah dalam hal mengintegrasikan rencana pembangunan dan rencana tata ruang melalui kegiatan Institution Building for the Integration Of National-Regional Development and Spatial Planning. Kegiatan ini berlangsung dari bulan Mei 2010-Mei 2011, di 9 lokasi pilot project, yaitu Provinsi Sumatera Barat,

Kota Padang, Kabupaten Pesisir Selatan, Provinsi Jawa Timur, Kabupaten dan Kota Mojokerto, Provinsi Gorontalo serta Kabupaten dan Kota Gorontalo. Kegiatan ini dilaksanakan dalam 2 (dua) kelompok kegiatan, yaitu: 1. Kegiatan pendampingan, melalui penyertaan tenaga ahli pendamping di setiap lokasi untuk menggali permasalahan dan kebutuhan sebagai masukan untuk kegiatan pelatihan; Kegiatan pelatihan, melalui penyiapan modul-modul pelatihan berdasarkan tipologi permasalahan dalam pengintegrasian dan dilanjutkan dengan pelatihan pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan pemahaman aparat pemerintah daerah dalam pelaksanaan integrasi rencana pembangunan dengan rencana tata ruang.

2.

Di awal kegiatan pendampingan, diketahui masih terdapat perbedaan muatan dan jangka waktu penyusunan RPJP, serta perbedaan pemahaman dari pemangku kepentingan di daerah mengenai pelaksanaan integrasi RPJP yang telah disusun ke dalam RTRW yang sedang disusun. Kegiatan ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah pusat untuk menyusun kebijakan yang lebih tepat dalam upaya pengintegrasian rencana pembangunan dengan rencana tata ruang, baik secara vertikal maupun horizontal.

Audit Pemanfaatan Ruang Nasional (Stock Taking)

ndang undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengamanatkan agar seluruh provinsi di Indonesia menyesuaikan/merevisi Rencana Tata Ruang Wilayah-nya sesuai dengan muatan dan ketentuan yang berlaku dalam UU Penataan Ruang tersebut dan Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak UU tersebut diterbitkan. Namun hingga saat ini masih banyak RTRW Provinsi yang belum ditetapkan menjadi Peraturan Daerah (Perda). Keterlambatan penetapan Perda tentang RTRW Provinsi salah satunya disebabkan karena masih banyaknya permasalahan tumpang tindih perizinan dan pemanfaatan ruang. Oleh karena itu, dalam rangka percepatan penyelesaian Perda RTRW Provinsi dan resolusi konflik pemanfaatan ruang, Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) memutuskan untuk melakukan audit pemanfaatan ruang nasional ( stock taking). Kegiatan stock taking bertujuan untuk mengambil potret dari pemanfaatan ruang terkini dan tumpang tindih berbagai penetapan ijin/status kawasan yang dilekatkan pada ruang tersebut. Hasil dari kegiatan stocktaking diharapkan

dapat menjadi bahan pertimbangan BKPRN dalam memberikan rekomendasi penyelesaian konflik pemanfaatan ruang dalam rangka mempercepat penyelesaian RTRW Provinsi. Stock taking dilakukan dengan cara: (i) melakukan pemetaan eksisting tutupan lahan (landcovering) dan membandingkannya dengan berbagai penetapan kawasan dan pemberian izin kawasan pemanfaatan ruang, dan (ii) mengklasifikasi tipologi-tipologi permasalahan tumpang tindih dan konflik pemanfaatan ruang antarsektor. Stock taking dilakukan pada provinsi-provinsi yang dinilai memiliki permasalahan tumpang tindih pemanfaatan ruang antarsektor paling mendesak dan perlu diprioritaskan. Pada tahun 2009 stock taking dilakukan untuk Provinsi Kalimantan Tengah, dan pada tahun 2010 dilanjutkan untuk Provinsi Sumatera Utara, Jambi, Riau, Kepulauan Riau, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Hingga saat ini, BKPRN masih merumuskan rekomendasi keluaran dari kegiatan stock taking tersebut.

15

Buletin Tata Ruang & Pertanahan

ringkas buku:

Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi

namun demikian, pengulangan materi tidak dapat dihindari karena setiap artikel ditulis dan dipublikasikan secara terpisah dalam media massa yang berbeda. Bab 1, Bumi Semakin Panas menjelaskan tentang pencemaran gas rumah kaca yang dampaknya dapat dirasakan secara global (h.14-15; h.20; h.30; h.35). Dalam bab ini konflik yang terjadi di forum internasional dijelaskan secara detail namun mudah dimengerti, termasuk di dalamnya proses negosiasi antara negara maju dan berkembang (h.18-19). Selain itu Pak Emil menjabarkan juga berbagai ketidakadilan yang dituntut oleh negara maju dari negara-negara berkembang. Contohnya seperti tuntutan negara maju agar negara berkembang harus menurunkan emisi ... seharusnya pembangunan gas rumah kaca masyarakat dunia dilaksanakan (GRK) dalam daftar berdasarkankan prinsip setingkat dengan negara maju (h.5). Penataan ruang dapat menjadi salah satu langkah mitigasi bagi negara dengan luasan hutan besar seperti Indonesia, sayangnya perencanaan jaringan jalan cenderung menerabas kawasan hijau yang mengurangi daya serap GRK secara alami (h.14). Hal lain yang dapat dilakukan adalah menghilangkan distorsi harga yang pro pada energi terbarukan (h.16) serta kontra pada energi fosil. Selain langkah mitigasi, masyarakat juga harus didorong untuk beradaptasi dengan cara meningkatkan ketahanan masyarakat agar mampu berproduksi menghasilkan kebutuhan pokok seperti pangan, kesehatan dan pendidikan (h.16; h.25-27) dalam iklim yang berbeda.

tanggung jawab yang sama namun dengan pembedaan pemikulannya (common but differentiated responsibility) (h.87).

uku Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi adalah kumpulan tulisan Prof. Emil Salim dalam surat kabar dan majalah lingkungan. Tulisan Pak Emil selalu konsisten menggabungkan antara prinsip pengelolaan lingkungan hidup dengan menggunakan berbagai instrumen ekonomi. Pak Emil betul-betul menyadari bahwa manusia adalah makhluk ekonomi, Homo economicus, (h.144) yang selalu berpikir untung-rugi dalam setiap tindakannya (h.214). Dengan demikian, segala eksploitasi lingkungan dan sumberdaya alam yang berakar dari pencarian keuntungan semata hanya dapat dikendalikan dengan instrumen ekonomi. Instrumen ekonomi secara tidak langsung dapat memaksa pengguna sumberdaya alam dan lingkungan untuk berpikir ulang dan mempertimbangkan kembali biaya yang harus dia keluarkan (h.xxv). Pemikiran utama ini konsisten dipertahankan, manfaat harus lebih tinggi dari biaya pembangunan. Namun demikian, bila menyangkut nyawa, setinggi apapun manfaat pembangunan, tidak dapat diterima bila mengorbankan nyawa manusia (h.9; h.100) dan memperparah kemiskinan yang diderita oleh rakyat (h.xvii). Buku ini merangkum seluruh tulisan Pak Emil dan menggolongkannya ke dalam enam tema utama. Penjelasan dan rangkuman seluruh tema ini dijabarkan dalam Kata Pengantar. Dasar pemikiran pembentukan tema dapat dimengerti dengan baik setelah membaca Kata Pengantar,

Bab 2, Pengelolaan Sumberdaya Alam, dibagi pembahasan pada sumberdaya alam strategis seperti pertambangan, air, hutan dan pesisir. Industri pertambangan yang sangat penting bagi Indonesia karena telah membuka banyak lapangan kerja dan meningkatkan kegiatan ekonomi di daerah terpencil (h.43) serta meningkatkan pendapatan negara dari negara berpenghasilan rendah menjadi negara berpenghasilan menengah (h.44) ternyata memiliki dampak negatif pada lingkungan dan masyarakat lokal (h.44; h.47). Strategi khusus untuk mengkonversi hasil dari sumberdaya pertambangan yang tidak terbarukan menjadi sumberdaya terbarukan (h.46) dan digunakan untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas kehidupan masyarakat lokal. Untuk mencegah dampak negatif dari industri pertambangan pada masyarakat lokal, pemerintah harus mengkoreksi pasar agar industri pertambangan memperhitungkan biaya pencemaran dalam biaya produksinya (h.47). Untuk hutan, Pak Emil melakukan tinjauan kritis atas penerbitan peraturan yang mengorbankan lingkungan (h.64-69) seperti penambangan di kawasan lindung yang diperbolehkan oleh Perpu No. 1 Tahun 2004 yang dalam penetapannya tidak memenuhi ketentuan hukum yang berlaku, termasuk asas hal ihwal kegentingan yang memaksa (h.65). Menurut Pak Emil, penggunaan hutan secara adil dan berkelanjutan perlu memperhatikan: (1) penggunaan hutan untuk mengentaskan kemiskinan; (2) perlindungan dan imbalan bagi penduduk lokal

16

Buletin Tata Ruang & Pertanahan

yang memiliki plasma nutfah; (3) pengakuan hak penduduk yang hidup di hutan yang kehidupannya sangat sinergi dengan lingkungan; (4) perlindungan akses masyarakat lokal pada hutan; serta (5) penerapan teknologi penebangan hutan dengan dampak kerusakan sekecil mungkin walaupun dengan biaya tinggi (h.72-73). Bab 3, Menata Ruang Pembangunan difokuskan pada alokasi ruang dalam pembangunan nasional. Khusus untuk UU No. 26 Tahun 2007, Pak Emil menuliskan kritik yang cukup tajam terkait dengan fungsi penataan ruang untuk mengalokasikan penggunaan sumberdaya alam dan ekosistem bagi sebesarbesarnya kesejahteraan rakyat. Untuk itu, menurut Pak Emil, tanggung jawab penataan ruang nasional seharusnya diemban oleh seorang menteri yang tidak memikul tugas sektoral, melainkan koordinatif seperti menteri koordinator dan lintas sektor (h.91) seperti yang tercantum dalam UU No. 24 Tahun 1992: Presiden menunjuk menteri yang bertugas mengkoordinasikan penataan ruang bukan seperti dalam UU No. 26 Tahun 2007: Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam bidang penataan ruang (h.92). Catatan khusus untuk penataan ruang Pulau Jawa yang paling subur dengan tanah vulkanis, curah hujan berlimpah dan iklim yang tidak ekstrem fluktuasinya (h.93) sehingga perlu diselamatkan untuk menjamin ketersediaan pangan di masa yang akan datang. Karena itu tanah subur Jawa tidak boleh dialihkan fungsinya untuk jalan, industri atau permukiman (h.98). Caranya adalah dengan mengalihkan dana pembangunan jalan yang memakan lahan sawah produktif untuk merehabilitas jalan desa, agar terbuka aksesibilitas penduduk desa untuk memasarkan hasil kerjanya melalui pelabuhan yang mempertautkan berbagai provinsi kita ke dalam satu pasar nasional (h.105). Bab 4, Pengelolaan Lingkungan, prinsip keterpaduan antara ekonomi dan lingkungan (h.133) yang dianut oleh Pak Emil terlihat sangat jelas. Alasan pentingnya memadukan kedua bidang yang dinilai memiliki prinsip yang berlawanan sangatlah jelas: lingkungan yang rusak mematikan pembangunan ekonomi (h.133). Untuk itu diperlukan perubahan dalam cara membangun yaitu dengan cara lingkungan yang rusak menggunakan sumberdaya mematikan alam yang lebih sedikit, menurunkan jumlah energi pembangunan yang digunakan, menggunakan ekonomi (h.133) ruang lebih kecil, membuang limbah dan sampah lebih sedikit dan dengan mendaur ulang hasil produksi yang telah selesai dikonsumsi (h.135). Pembangunan ekonomi konvensional yang berhasil menaikkan PDB tahun 2000 sampai dengan tujuh kali PDB tahun 1950 tidak memberi tempat bagi pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan yang membutuhkan perencanaan jangka panjang namun dimarjinalkan oleh kepentingan ekonomi berjangka pendek (h.145; h.146; h.149). Terbukti pada Tahun 2000, hampir 40 persen penduduk masih hidup di bawah garis kemiskinan (h.145). Hal ini disebabkan karena pola pembangunan konvensional ini memiliki tiga kelemahan : (1) kegagalan pasar untuk menampung kebutuhan sosial, jasa lingkungan yang dianggap sebagai hal lumrah dan tidak bernilai ekonomi; (2) kegagalan institusi yang dapat dikoreksi oleh pemerintah dan lembaga resmi tingkat internasional; (3) kegagalan kebijakan untuk melaksanakan pembangunan secara simultan dan lintas sektoral (h.149). Bab 5, Alam Terkembang jadi Guru, menjelaskan secara logis pergeseran cara pandang manusia pada alam, khususnya Manusia Indonesia yang awalnya berguru pada alam (h.206), menghormati dan memperlakukan alam dengan kasih sayang

sehingga nenek moyang kita memiliki kearifan untuk membaca tanda-tanda alam (h.208). Kemudian, saat rasionalitas meningkat, alam tidak lagi untuk dihormati tapi untuk ditundukkan dengan modal uang dan peralatan (h.xxvii; h.209). Menurut Pak Emil, rasionalitas dan kasih sayang harus saling melengkapi, yang berarti daya nalar rasional harus diimbangi oleh kearifan lokal. Untuk itu, perlu dikembangkan pengakuan pada hak masyarakat adat dan penghargaan pada jasa lingkungan yang tidak dapat dinilai harganya oleh pasar (h.214). Dengan demikian maka diharapkan tekanan pada lingkungan akan dapat diturunkan bila masyarakat hidup serasi dengan alam (h.217) serta perencanaan pembangunan yang memperhitungkan dampaknya pada lingkungan (h.236). Bab 6, Membangun Manusia Seutuhnya, membahas cukup banyak tema, salah satunya adalah pembangunan manusia. Pembangunan manusia, seperti menjaga kecukupan nilai gizi, air minum, pelayanan kesehatan, angkutan, permukiman serta lapangan kerja, pada awalnya mendapatkan tentangan karena dianggap mengalihkan perhatian dunia keluar dari pembangunan ekonomi (h.255). Seluruh langkah yang diperlukan untuk membangun manusia membutuhkan jangka waktu yang cukup panjang sehingga diperlukan alokasi anggaran tinggi yang konsisten dari pemerintah karena peran swasta untuk ...namun demikian, saat investasi jangka seperti ini rasionalitas meningkat, alam panjang sulit untuk tidak lagi untuk dihormati diharapkan (h.259). tapi untuk ditundukkan Padahal, dampak akhirnya sangat dengan modal uang dan jelas, meningkatnya peralatan (h.209). produktivitas (h.267). Untuk itu, menurut Pak Emil, kebijakan pemerintah sangat penting dalam memilih mana yang lebih dominan antara kepentingan bersama (common interests) dalam pembangunan sosial dan lingkungan atau kepentingan diri dalam ekonomi (h.264-265). Walaupun buku ini sarat nilai, pengetahuan, dan pengalaman beliau yang sangat berharga, namun Pak Emil berhasil menuliskannya dengan bahasa yang ringan, mudah dimengerti bahkan cenderung jenaka. Salah satu artikel jenaka sekaligus mengharukan adalah artikel Sompret yang didedikasikan kepada Prof Koesnadi Hardjasoemantri. Keahlian mengolah konsep sulit dengan bahasa yang mudah memperlihatkan bahwa walaupun Pak Emil banyak berkecimpung di

Tahukah Anda???
Apa saja hak masyarakat dalam penataan ruang? 1. Masyarakat dapat melihat dokumen dan peta rencana tata rang di Kantor Kelurahan atau kantor yang menyususn rencana tata ruang. Pemanfaatan ruang yang baik dapat meningkatkan nilai ruang seperti kenaikan harga tanah, kemudahan akses dan kenyamanan lingkungan. Masyarakat dapat memperoleh ganti rugi atas pembebasan tanah miliknya untuk kepentingan pembangunan. Masyarakat dapat mengajukan keberatan dan menuntut pembatalan izin jika ada pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.

2.

3.

4.

Sumber: PP 15/2010

Buletin Tata Ruang & Pertanahan

17

melihat dari dekat:

Provinsi Sumatera Barat

enyusuri Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) yang terletak di pantai barat Pulau Sumatera, maka kita akan mendapati keindahan alam khas yang terbentang dari utara hingga ke selatan di provinsi tersebut. Pesona keindahan tersebut berbaur dengan bangunanbangunan khas yang menjadi landmark di Provinsi Sumatera Barat. Kali ini, tim ekspedisi Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Bappenas mengunjungi Kota Padang, Kabupaten Padang Pariaman dan Kabupaten Pesisir Selatan dalam rangka pemantauan pembangunan bidang tata ruang dan pertanahan, khususnya pelaksanaan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2010. Kota Padang dan Kabupaten Padang Pariaman dipilih karena dianggap sebagai wilayah yang cukup parah terkena dampak gempa bumi tahun 2008 dan telah mulai dapat bangkit dari kerusakan. Kabupaten Pesisir Selatan (Pessel) sendiri dipilih untuk mewakili sebuah kabupaten yang agak terpencil namun masih berbatasan dengan Kota Padang. Pemantauan bidang tata ruang difokuskan pada Kota Padang dan Kabupaten Pessel dengan tema sinkronisasi rencana pembangunan dan rencana tata ruang; sementara, pemantauan bidang pertanahan difokuskan pada Kota Padang dan Kabupaten Padang Pariaman dengan titik berat pemantauan pada tanah hak ulayat. Pemantauan Bidang Tata Ruang Kabupaten Pesisir Selatan Kabupaten Pesisir Selatan adalah salah satu laboratorium bencana di Indonesia. Beragam potensi bencana terdapat di kabupaten tersebut, mulai dari longsor, puting beliung, banjir dan gempa. Delapan belas sungai yang bermuara di pantai barat Pulau Sumatera melewati kabupaten ini. Di samping itu, Kabupaten Pessel adalah salah satu kabupaten termiskin di Indonesia, di mana jumlah KK miskinnya terbanyak di Provinsi Sumatera Barat. Dengan latar belakang kondisi seperti itu, maka Pemkab Pessel telah mengusulkan alih fungsi kawasan hutan seluas 14.000 ha di Kecamatan Indrapulo untuk diubah fungsinya menjadi kawasan hutan yang dapat dikonversi. Di samping itu,ada pula usulan perubahan fungsi di lahan seluas 56.000 ha karena sudah dibudidayakan. Hal ini dilakukan karena pada kondisi eksisting, areal yang tidak dapat dibudidayakan di Kabupaten Pessel, karena ditetapkan sebagai kawasan hutan, mencapai 76% dari total luas area. Di Kabupaten Pessel sendiri, seringkali yang menjadi kendala adalah belum kuatnya komitmen politik untuk melaksanakan dokumen rencana pembangunan (RPJPD, RPJMD dan RKPD) dan dokumen rencana tataruang (RTRW). Oleh sebab itu, dua hal dilakukan Pemkab Pessel: (1) menetapkan Perda penyusunan rencana tata ruang dan rencana pembangunan, dengan tujuan memberikan landasan bagi pelaksanaan dokumen rencana pembangunan dan rencana tata ruang yang telah ditetapkan; dan (2) menyusun RPJPD dan RTRW secara swakelola untuk menjamin keterpaduan kedua rencana tersebut.

Kota Padang RTRW Kota Padang disusun dengan bantuan dana bantuan teknis Kementerian Pekerjaan Umum. Sebelumnya, telah ada RTRW Kota Padang periode 2008-2028, namun kemudian dokumen tersebut diubah karena adanya gempa. Rancangan RTRW yang baru diharapkan selesai pada bulan Agustus 2010, dengan mengakomodasi aspek mitigasi bencana. Dokumen rencana pembangunan Kota Padang juga relatif cukup lengkap; di mana RPJPD periode 2003-2023 telah ada dan RPJMD terakhir masih akan berlaku hingga tahun 2010. Oleh sebab itu, mengingat RPJMD yang baru akan segera disusun, Pemkot Padang menganggap penting isu keselarasan antara dokumen rencana pembangunan dan rencana tata ruang. Adapun hal menarik terkait Bappeda Kota Padang adalah bahwa di samping menyusun dokumen RTRW, institusi tersebut juga menyusun beberapa rencana induk, seperti transportasi, pusat pemerintahan, pendidikan, dan sebagainya. Rencana induk ini kemudian diterjemahkan ke dalam rencana rinci/detil dan Detailed Engineering Design (DED) oleh SKPD yang bersangkutan. Pemantauan Bidang Pertanahan Kegiatan pengelolaan pertanahan di Provinsi Sumatera Barat memiliki corak tersendiri dan secara umum belum dapat mencerminkan kegiatan pertanahan secara nasional terutama karena adanya pemberlakuan sistem adat (ulayat) dalam tanah komunal, sehingga kerap memunculkan dilema antara mereduksi sistem kekerabatan dengan meningkatkan kepastian hukum hak atas tanah individual. Kepemilikan tanah adat tersebut mempengaruhi pelaksanaan beberapa kegiatan contohnya seperti Proyek Operasi Nasional Pertanahan (PRONA), Redistribusi Tanah dan Konsolidasi Tanah, yang sering terkendala oleh munculnya berbagai sengketa tanah adat, baik dalam tahap pelaksanaan maupun menjelang atau tidak lama setelah terbitnya sertipikat tanah. Sampai tahun 2010 tercatat sekitar 6.000 sengketa tanah yang terjadi di Sumbar. Bahkan ada kantor pertanahan yang lebih banyak menerima pengaduan sengketa tanah daripada permohonan sertifikasi tanah, umumnya yang berlokasi di bagian tengah wilayah Sumbar. Sengketa tanah adat relatif

Gambar 1. Kondisi Sebagian dari Kantor Pertanahan Padang Pariaman

18

Buletin Tata Ruang & Pertanahan

EDISI I/2010 di wilayah perbatasan Sumbar yang lebih01/TAHUN rendah jumlahnya masyarakatnya relatif lebih heterogen, salah satunya seperti di Kabupaten Damas Raya. Walaupun telah diterbitkan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Sumatera Barat No. 16 tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya, gugatan-gugatan tanah adat masih tetap berlangsung sehingga turut menyebabkan kurang kondusifnya iklim investasi. Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumatera Barat, Ir. Tri Suprijanto, SH, MSi, mengangkat usulan pendekatan untuk dapat mengakomodasi atau mempertemukan sistem kepemilikan tanah adat/ulayat dengan sistem hukum tanah nasional (tidak dengan mempertentangkan kedua sistem hukum tersebut), yakni dengan cara pemberian Hak Guna Bangunan (HGB) atau Hak Pakai (HP) di atas tanah adat/ulayat. Kerjasama dengan pemda setempat juga sangat penting bagi kelancaran pengelolaan pertanahan. Dalam kegiatan konsolidasi tanah, contohnya, diperlukan sinergi pemda setempat terutama dalam penyediaan prasarana permukiman. Apabila tidak didukung prasarana yang memadai, kawasan yang telah dikonsolidasikan menjadi terbengkalai karena belum layak huni. Kegiatan yang berjalan relatif cukup lancar di Sumbar salah satunya adalah pembuatan peta pertanahan. Peta pertanahan merupakan data spasial yang sangat penting untuk akurasi/kepastian lokasi tanah, sehingga turut mereduksi resiko sengketa tanah. Kesadaran pentingnya penataan sistem informasi pertanahan sangat perlu ditanamkan, baik untuk kemudahan pemantauan, penentuan baseline dan indikator kinerja. Kualitas pelayanan pertanahan amat dipengaruhi oleh kapasitas sumberdaya manusia serta ketersediaan dan kelayakan sarana-prasarana, salah satunya kondisi kantor pertanahan. Kantor Pertanahan Kabupaten Padang Pariaman dan Kota Padang mengalami kerusakan akibat musibah gempa bumi tahun 2008 lalu. Kerusakan bangunan dan ruang arsip pertanahan mempengaruhi kualitas layanan pertanahan, padahal permintaan layanan dari masyarakat terus berdatangan. Mengingat ketersediaan anggaran pada tahun 2010 ini belum memadai, perbaikan kedua kantor tersebut direncanakan dapat dilakukan pada tahun 2011. [rt/ik/ad]

Apa itu WTPD? Peringatan World Town Planning Day dicetuskan pertama kali pada tahun 1949 oleh Professor Carlos Maria della Paolera dari Universitas Buenos Aires di Argentina. Sejak tahun 1995 peringatan WTPD dikoordinasikan oleh International Society of City and Regional Planners (IsoCaRP) yang berkedudukan di Den Haag, Belanda. Sejak saat itu diperkirakan lebih dari 30 negara di dunia memperingatinya setiap tahun, termasuk negara - negara Malaysia, Singapura, dan Australia. Sejak kapan WTPD diperingati di Indonesia? Peringatan WTPD pertama diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum pada tahun 2008 di Jakarta. Pada peringatan kedua tahun 2009, diperkenalkan istilah Hari TARU sebagai bentuk adaptasi lokal terhadap istilah WTPD dan dilakukan secara serentak di Jakarta dan Semarang Jawa Tengah. Apa Tujuan Peringatan Hari TARU (WTPD)? Peringatan Hari TARU (WTPD) dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi publik dan pemangku kepentingan terhadap aspek penataan ruang (kawasan perkotaan) serta mengkampanyekan isu-isu dan kebijakan-kebijakan di bidang penataan ruang kepada masyarakat luas. Kapan peringatan WTPD 2010 dilaksanakan? Launching peringatan WTPD 2010 akan dilakukan di Jakarta pada bulan Agustus 2010, sedangkan puncak Perayaan WTPD 2010 akan dilaksanakan di Denpasar pada tanggal 6-8 November 2010. Penyelenggaraan acara perayaan dalam rangka WTPD 2010 dapat dilaksanakan antara bulan Agustus hingga akhir Oktober 2010. Selain itu akan diselenggarakan National Side Events di Banjarmasin pada 24 - 25 September 2010.

Gambar 2. Salah Satu Ruang di Kantor Pertanahan Kota Padang paska gempa bumi 2008

19

Buletin Tata Ruang dan Pertanahan

kajian:

Arah Kebijakan dan Indikator Bidang Tata Ruang dan Pertanahan

erdasarkan tahapan ke-2 pencapaian visi dan misi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, RPJMN 2010-2014 memiliki prioritas agenda pembangunan yang difokuskan pada pemantapan penataan kembali Indonesia dengan penekanan pada upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia, perkembangan kemampuan ilmu dan teknologi, serta penguatan daya saing perekonomian. Dalam arahan RPJPN 2005-2025 bidang tata ruang dan pertanahan tercakup dalam misi ke-5 yaitu mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan, dan misi ke-6 yaitu mewujudkan Indonesia yang asri dan lestari. Tantangang yang dihadapi adalah kompetisi dalam perekonomian yang semakin ketat oleh daerah-daerah di Indonesia melalui peningkatan efisiensi pemanfaatan ruang, maksimasi potensi wilayah dan sinkronisasi program lintas sektor yang dapat menghasilkan penyediaan infrastruktur yang memadai di seluruh wilayah Indonesia. Tantangan lain yang harus dihadapi adalah dari isu lingkungan, mengingat fenomena global warming dan perubahan iklim yang terjadi di seluruh dunia akibat kegiatan manusia yang terlalu banyak merusak alam dan menghasilkan polusi, tentunya penataan ruang harus mampu merespon hal tersebut. Pelanggaran-pelanggaran dalam penataan ruang yang telah terjadi saat ini masih mungkin dapat terjadi dalam 5 tahun mendatang jika penataan ruang tidak mampu memenuhi tuntutan untuk meningkatkan pengawasan dan penertiban terhadap pelanggaran tata ruang. Dalam bidang pertanahan, tanah merupakan sumber daya penting dan strategis karena menyangkut hajat hidup seluruh masyarakat Indonesia yang sangat mendasar. Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam

yang terkandung di dalamnya digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Prinsip tersebut telah diakomodasikan dalam UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (disingkat UUPA), dimana negara menjamin hak-hak masyarakat atas tanahnya dan memberikan pengakuan atas hak-hak atas tanah yang ada, termasuk hak ulayat. Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, telah menetapkan prinsipprinsip dan arah kebijakan pembaruan agraria dan pemanfaatan sumber daya alam secara berkeadilan dan berkelanjutan. Ketetapan tersebut memberikan mandat kepada Pemerintah Indonesia untuk melakukan penataan peraturan perundang-undangan maupun penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, sebagaimana yang juga digariskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJPN) 2005-2025. Untuk mengantisipasi tantangan tersebut, sasaran Pembangunan Bidang Penataan Ruang 1. Terpenuhinya peraturan perundang-undangan untuk mendukung implementasi UU No. 26 Tahun 2007. 2. Terlaksananya pembinaan penataan ruang kepada pemangku kepentingan. 3. Terwujudnya peningkatan peran kelembagaan yang andal mencakup SDM dan sistem informasi. 4. Terwujudnya peningkatan kualitas produk Rencana Tata Ruang yang disertai dengan peningkatan layanan peta dasar dan tematik, 5. Terwujudnya sinkronisasi program pembangunan antarsektor dan antarwilayah yang mengacu kepada RTRW. 6. Terwujudnya kesepakatan kerjasama pembangunan antarwilayah. 7. Terlaksananya pengendalian pemanfaatan ruang dan pengawasan teknis. Sedangkan sasaran Pembangunan Bidang Pertanahan adalah: 1. Bertambahnya cakupan wilayah yang memiliki peta pertanahan seluas 10.500.000 ha. 2. Bertambahnya luas tanah yang telah terdaftar. 3. Meningkatnya kepastian hukum hak atas tanah, termasuk di dalamnya bagi masyarakat kurang mampu, untuk mengakses sumberdaya produktif. 4. Meningkatnya penerapan sistem informasi dan manajemen pertanahan. 5. Meningkatnya ketersediaan informasi mengenai kesesuaian pola tata guna tanah dengan RTRW. 6. Terlaksananya pemberian aset tanah yang layak terutama bagi kalangan kurang mampu sebanyak 1.050.000 bidang. 7. Meningkatnya pengendalian penguasaan tanah terlantar. 8. Terlaksananya pertanahan. penataan dan penegakan hukum

9. Meningkatnya kualitas SDM dalam pengelolaan pertanahan.

20

Buletin Tata Ruang & Pertanahan

EDISI 01/TAHUN I/2010

dalam berita
kawasan hutan lindung yang telah beralih fungsi tanpa izin ke dalam tata ruang provinsi. Demikian disampaikan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan dalam jumpa pers program kerja 100 hari di Jakarta. Dia didampingi pejabat eselon I dan II Kementerian Kehutanan. (Kompas, 10/02/2010). Bencana tanah longsor di perkebunan teh, Desa Tenjolaya, Kabupaten Bandung, bagaikan puncak gunung es dari beberapa kejadian musibah pada musim hujan, tahun ini. Provinsi Jawa Barat adalah yang paling parah, dengan banyaknya peristiwa bencana di wilayah ini. (Kompas, 01/03/2010). Maret 2010 Saat ini masih banyak daerah yang belum menyelesaikan rencana umum tata ruang dan wilayah. Padahal, hal tersebut sangat dibutuhkan dalam pembangunan daerah. Akibat ketidakberesan itu, yang tidak jarang menimbulkan konflik, menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa, pembangunan lebih dari 400 infrastruktur terbengkalai dan potensi pertambangan tak bisa dimanfaatkan. (Kompas,08/03/2010). April 2010 Kalangan aktivis lingkungan di Maluku Utara (Malut) mengkhawatirkan kelestarian hutan menjadi terancam sehubungan cukup banyaknya perusahaan tambang yang beroperasi di Kabupaten Kepulauan Sula (Kepsul). "Sekarang ini sudah ada 128 perusahaan tambang yang telah mendapatkan izin kuasa pertambangan (IKP) dari Pemkab Kepsul untuk menggarap potensi tambang di daerah itu. Ini jelas merupakan ancaman bagi kelestarian kawasan hutan," kata Djafar, seorang aktivis lingkungan di Malut, kepada pers di Ternate.(Media Indonesia,08/04/2010). Mei 2010 Sebanyak 62 daerah aliran sungai (DAS) di Indonesia dengan seluas 18,5 juta hektare (ha) dalam kondisi kritis. Kondisi itu memicu penurunan cadangan sumber air, fluktuasi debit air, serta tingginya laju sedimentasi dan erosi. Selain itu juga menurunkan kualitas air yang tajam karena polusi pada badan air. Akibatnya, biaya pengolahan air meningkat dan memperburuk sanitasi publik. (Media Indonesia, 07/05/2010). DPRD DKI Jakarta mendesak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta agar segera menuntaskan penyegelan ratusan bangunan yang melanggar peruntukan lahan. Meskipun sudah disegel selama lebih dari tiga bulan, ratusan pengusaha tetap memfungsikan bangunan yang sudah disegel. (Kompas,18/05/2010).

ahun 2010 dapat dikatakan penataan ruang sedang banyak diberitakan, hampir tiap bulan terutama harian kompas dan media indonesia banyak memberitakan tentang penataan ruang. Namun demikian pemberitaan masih berorientasi pada sisi gelap penataan ruang antara lain masalah kurang berfungsinya rencana tata ruang sebagai arahan pembangunan dan sebagai alat pengendaliaan pemanfaat ruang guna tercapainya pembangunan berkelanjutan. Berikut beberapa kliping berita terkait penataan ruang yang kami ambil dari berberapa koran yang terbit di Jakarta: Januari 2010 Kerusakan lingkungan dan pencemaran akibat masifnya kuasa penambangan batu bara di wilayah Kalimantan membutuhkan penegakan hukum. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dinilai lebih bergigi atau lebih kuat untuk menindak. (Kompas, 27/01/2010). Praktik penambangan batu bara di Kalimantan saat ini sudah sangat memprihatinkan. Tak hanya hutan produksi yang habis digarap secara membabi buta, tetapi juga kawasan konservasi dan lahan pertanian masyarakat (Kompas, 25/01/2010). Ahli tata kota Jakarta meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melibatkan partisipasi warga dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah 2010-2030. Keterlibatan warga sangat penting karena mereka ikut menentukan wajah kota 20 tahun mendatang. (Kompas, 22/01/2010) Februari 2010 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral akan segera menertibkan ribuan izin kuasa pertambangan yang telah diterbitkan pemerintah daerah dalam 10 tahun terakhir. Hal ini akan dilakukan setelah empat peraturan pemerintah turunan UndangUndang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara diberlakukan.(Kompas,05/02/2010). Masyarakat bisa melihat tata kota DKI Jakarta tahun 2030

dengan mengunjungi galeri perencanaan kota yang terletak di lantai III Gedung Dinas Teknis Abdul Muis, Jakarta Pusat.Galeri bernama Jakarta City Planning Gallery itu diresmikan Gubernur Fauzi Bowo, Jumat (29/1). Galeri dibuka gratis untuk umum setiap Senin hingga Jumat pukul 08.00-16.00. (Kompas,05/02/2010). Proses revisi tata ruang di beberapa provinsi masih terhambat sikap pemerintah daerah. Pemda bersikeras memasukkan

Proses penataan ruang di Pulau Sumatera, termasuk Provinsi Jambi, belum mempertimbangkan aspek keselamatan warga dan lingkungan. Lahan yang ada cenderung dibagi habis untuk kawasan berbasis industri modern. Praktik ini berlangsung masif.(Kompas,18/05/2010).

21

Buletin Tata Ruang dan Pertanahan

Juni 2010 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus menghentikan proses reklamasi pantai utara Jakarta setelah Mahkamah Agung mengabulkan kasasi Kementerian Lingkungan Hidup. Reklamasi pantai utara Jakarta dinilai telah merusak lingkungan sehingga tidak boleh dilanjutkan. (Kompas,02/06/2010) Wakil Presiden Boediono terpaksa harus turun tangan mengurusi lambatnya penyelesaian Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) setiap daerah yang harus diselesaikan pada tahun ini juga. Pasalnya, hingga 18 Juni lalu, dari 33 provinsi di Indonesia, tercatat baru lima provinsi yang menyelesaikan RUTR-nya. Kelima daerah itu adalah Provinsi Bali, Sulawesi Selatan, Lampung, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Nusa Tenggara Barat (NTB). (Kompas, 22/06/2010).

EDISI 01/TAHUN I/2010

Sumber: www.bkprn.org

Agustus 2010 Indonesia setiap tahun berpotensi mengalami kerugian hingga Rp300 triliun akibat kegagalan dalam penataan tata ruang. Demikian catatan organisasi pemerhati lingkungan.(Media Indonesia, 11/08/2010). Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) disinyalir masih jauh dari target. Hal ini disebabkan oleh adanya konflik pemanfaatan ruang baik antarsektor maupun antarwilayah. (Media Indonesia, 11/08/2019). Menteri Kehutanan, Zulkifili Hasan, mengungkapkan hingga kini penyelesaian persoalan perubahan tata ruang wilayah provinsi baru selesai 50 persen. Provinsi yang sudah selesai itu antara lain Kalimantan Selatan, Gorontalo, Jawa Tengah, Lampung, Daerah Istimewa Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat, dan Banten.(Republika, 12/06/2010). Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah, mengatakan, daerahnya akan mempertahankan areal sawah yang ada agar tidak

pertumbuhan yang cepat. Jadi, kemacetan bukan karena ibu kota,tetapi kecepatan mobilitas tak sebanding jalan. Hal lain memindahkan ibu kota hanya mengurangi sedikit penduduk. Pegawai pemerintah pusat yang pindah mungkin sekitar 200.000 orang lebih, 5 persen dari jumlah pegawai negeri sipil. (Kompas,31/08/2010). September 2010 Pengusaha kelapa sawit, yang bergabung dalam Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, meminta bantuan Komisi IV DPR untuk menengahi masalah rencana tata ruang dan wilayah provinsi. Para pengusaha itu merasa menjadi korban kebijakan pemerintah tahun 2000-2006 soal status lahan.(Kompas, 01/09/2010).

Sumber: www.bkprn.org

Wacana pemindahan ibukota Indonesia terus bergulir. Menurut ahli tata kota Universitas Trisakti (Usakti), Yayat Supriyatna, syarat utama pemindahan ibukota yaitu lokasi ibukota baru harus dekat dengan Jakarta dan dipindahkan secara bertahap. (Detik.com,06/09/2010). Jakarta terancam tenggelam. Kalimat ini tak berlebihan. Setidaknya berkaca pada pengalaman banjir besar yang pernah melanda Ibu Kota pada beberapa tahun silam. Saat itu, sebagian besar wilayah Jakarta terendam banjir. Jika disaksikan dari udara, nyaris lebih dari 50 persen wilayah Jakarta tampak terendam. Wilayah Jakarta Utara merupakan wilayah administrasi di Ibu Kota yang paling sering mengalami musibah banjir. Sebagian wilayah Jakarta Utara telah mengalami perubahan wajah yang sangat drastis. (Media Indonesia, 20 September 2010). Amblesnya Jakarta yang ditandai dengan miringnya gedunggedung bertingkat, amblesan tanah, kemunculan rongga di gedung, dan amblesnya ruas jalan adalah konsekuensi logis pengambilan air tanah berlebihan secara terus- menerus, serta makin besarnya beban tanah akibat berat bangunan yang mendorong terjadinya pemampatan lapisan tanah.Di Jakarta, layanan air leding perpipaan belum mampu melayani seluruh penduduk. Hal ini membuat sebagian besar penduduk Jakarta bergantung pada penggunaan air tanah untuk kebutuhan sehari-hari sehingga mendorong ekstrasi air tanah dalam jumlah besar. (Kompas, Senin, 20 September 2010).

Sumber: www.bkprn.org

berubah fungsi menjadi bangunan lainnya. Oleh karena itu Pemprov Banten melarang alih fungsi sawah menjadi lahan lainnya.(Republika). Kampung turis Ubud, Provinsi Bali yang meraih penghargaan "The Best City in Asia" layak menjadi contoh penataan ruang bagi kota lain, kata Dirjen Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum Imam Ernawi. (Republika,12/08/2010). M JUSUF KALLA Wakil Presiden (2004-2009): Ibukota sekaligus kota besar tidak selalu macet selama diatur dengan baik.Lihatlah Tokyo dan London. Bangkok pernah macet hebat, tetapi setelah dibangun jalan layang dan monorel ia menjadi lebih baik. Begitu pulakota besar yang bukan ibu kota juga tidak dijamin tanpa macet.Surabaya, Bandung, Makassar dan Medan, juga Mumbai di India sudah macet karena

22

Buletin Tata Ruang & Pertanahan

agenda
TRP dalam Gambar
Oktober 2010
Pertengahan Oktober: Diskusi terfokus dan terbatas untuk uji coba kajian Toolkit Sosialisasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah untuk Tata Ruang dan Pertanahan. Mengikuti rapat kerja Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) Provinsi dan Kabupaten/Kota seIndonesia di Batam. Raker ini diselenggarakan oleh Kementerian Dalam Negeri (Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah) sebagai anggota Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN). Rakerda ini akan diikuti oleh instansi-instansi pusat anggota BKPRN, para Gubernur seluruh Indonesia, Bappeda tingkat provinsi dari seluruh Indonesia serta perwakilan dari kabupaten/kota terpilih. Akhir Oktober: Diskusi terfokus dengan beberapa nara sumber tata ruang dan pertanahan untuk finalisasi substansi kajian Toolkit Sosialisasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah untuk Tata Ruang dan Pertanahan.

November 2010
Awal November: Berkoordinasi dengan mitra kerja Kementerian/Lembaga Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan (Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Dalam Negeri, dll) untuk mulai menyusun Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2012. Pertengahan November: Mengikuti peringatan Hari Tata Ruang Nasional yang diadakan oleh Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum. Kegiatan-kegiatan peringatan Hari Tata Ruang Nasional ini berupa seminar, perlombaan-perlombaan dan pameran.

Desember 2010
Awal Desember:
Sumber: Dokumentasi Dit.Tata Ruang & Pertanahan, Bappenas, 2010

Pembahasan lanjutan penyusunan RKP tahun 2012 dengan mitra kerja Kementerian/Lembaga. Akhir Desember: Diseminasi hasil kajian strategi sosialisasi RPJMN Bidang Tata Ruang dan Pertanahan.

Buletin Tata Ruang & Pertanahan

23

Runa

Tarna

Nyiur melambai di Pulau Sabang.... Pulau indah yang dikelilingi lautan... Patuhilah rencana tata ruang... Untuk kehidupan yang berkelanjutan...

Anda mungkin juga menyukai