Anda di halaman 1dari 39

SKRINING PENDENGARAN PADA ANAK

PENDAHULUAN Gangguan pendengaran pada anak perlu dideteksi seawal mungkin mengingat pentingnya peranan fungsi pendengaran dalam proses perkembangan bicara. Fungsi pendengaran dan perkembangan bicara & bahasa sudah termasuk dalam program evaluasi perkembangan anak secara umum yang dilakukan oleh profesi di bidang kesehatan.1 Identifikasi gangguan pendengaran pada anak secara awal dengan cara pengamatan reaksi anak terhadap suara atau tes fungsi pendengaran dengan metode dan peralatan yang sederhana, perlu difahami oleh semua profesi di bidang kesehatan yang banyak menghadapi bayi dan anak. Dokter Puskesmas, petugas Posyandu atau bidan di klinik Ibu dan Anak perlu mengetahui cara identifikasi gangguan fungsi pendengaran secara awal dan kondisi klinis yang perlu dicurigai akan mengakibatkan gangguan pendengaran. Untuk membantu program penanganan awal, identifikasi awal gangguan pendengaran dan bagaimana proses perkembangan bicara pada anak perlu ditingkatkan dengan penyuluhan atau seminar kepada para orang tua.1 Untuk mengetahui adanya gangguan pendengaran pada anak diperlukan pemeriksaan fungsi pendengaran yang lebih sulit dibandingkan orang dewasa. Proses pendengaran pada anak sangat kompleks dan bervariasi karena menyangkut aspek tumbuh kembang, perkembangan embriologi, anatomi, fisiologi, neurologi, dan audiologi. Pada sisi lain pemeriksa diharapkan dapat mendeteksi gangguan pada kelompok usia sedini mungkin.2 Penilitian terakhir menyebutkan bahwa anak dengan kelainan pendengaran membutuhkan tindakan rehabilitasi sesegera mungkin, bahkan juga anak usia 6 bulan yang telah diidentifikasi memiliki kelainan pendengaran. Pemberian amplifikasi perlu dipertimbangkan untuk memberikan rangsang stimulus pendengaran namun harus diperhatikan faktor penguatannya sehingga tidak menimbulkan kerusakan yang permanen.3

Pemeriksaan skrining pendengaran sangat penting dilakukan untuk mendeteksi gangguan pendengaran secara dini, yaitu dengan melalui beberapa tahap pemeriksaan untuk menilai ambang dengarnya. Selain pemeriksaan rutin secara subyektif dengan menggunakan noise maker, Audiometri, Behavioural Observation Audiometry (BOA), juga telah diperkenalkan pemeriksaan secara obyektif menggunakan Oto Accoustic Emmision (OAE) dan Automated Auditory Brainstem Response (AABR). Pemeriksaan skrining pendengaran di masa kini dapat dilakukan dengan cepat, aman dan nyaman. Melalui teknologi terbaru, pemeriksaan pendengaran memungkinkan dilakukan sekalipun pada bayi atau anak yang kurang kooperatif, sehingga dapat ditentukan apakah terdapat gangguan pendengaran yang disebabkan oleh faktor fisik ataupun psikologis. Gangguan fungsi pada jalur pendengaran mulai dari telinga luar (perifer), koklea sampai ke batang otak (brain stem) dapat diketahui secara dini. Untuk itu kiranya penting diperkenalkan Program Deteksi dan Intervensi Dini yang ditujukan sejak bayi baru lahir sampai anak dipastikan tidak mengalami keterlambatan dalam perkembangan bicara dan berbahasa.4

ANATOMI Untuk memahami tentang gangguan pendengaran dan cara pemeriksaan pendengaran, perlu diketahui anatomi telinga dan fisiologi pendengaran. Anatomi telinga terbagi menjadi tiga bagian, yaitu : telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam.5

Gambar 1. Anatomi telinga 5

1. Telinga Luar Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran timpani. Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya kira-kira 2 -3 cm. Pada sepertiga bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak rambut dan kelenjar serumen yang merupakan modifikasi kelenjar keringat. Kelenjar keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Pada dua pertiga bagian dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen.5,6,7
3

2. Telinga Tengah Telinga tengah berbentuk kubus dengan batas luar : membran timpani, batas depan : tuba eustachius, batas bawah : vena jugularis (bulbus jugularis), batas belakang : aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis, batas atas : tegmen timpani (mening/otak), batas dalam : berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semi sirkularis horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong (oval window), tingkap bundar (round window) dan promontorium. 5 Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut pars flaksida (membran Shrapnell), sedangkan bagian bawah pars tensa (membran propria). Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel mukosa saluran napas. Pars tensa mempunyai satu lapisan lagi di tengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan secara radial di bagian luar dan sirkuler di bagian dalam. 5,6,7 Tulang pendengaran di dalam telinga tengah saling berhubungan. Prosessus longus maleus melekat pada membran timpani, maleus melekat pada inkus, dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan dengan koklea. Hubungan antar tulang-tulang pendengaran merupakan persendian. Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah yang menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga tengah. 5,6

3. Telinga Dalam Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala vestibuli.5,6,7 Kanalis semisirklularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak skala
4

Gambar 2. telinga dalam

vestibuler sebelah atas, skala timpani di sebelah bawah dan skala media (duktus koklearis) di antaranya. Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media berisi endolimfe. Ion dan garam yang terdapat di perilimfa berbeda dengan endolimfa. Hal ini penting untuk pendengaran. Dasar skala vestibuler disebut sebagai membran vestibuli (Reissners membrane) sedangkan dasar skala media adalah membran basalis. Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut membran tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar, dan kanalis corti, yang membentuk organ corti.5,6,7

FISIOLOGI PENDENGARAN Suara adalah sensasi yang timbul apabila getaran longitudinal molekul di lingkungan eksternal, yaitu fase pemadatan dan pelonggaran molekul yang terjadi berselang-seling, mengenai membran timpani. Plot gerakan-gerakan ini sebagai perubahan tekanan di membran timpani per satuan waktu adalah serangkaian

gelombang, dan gerakan semacam itu dalam lingkungan secara umum disebut gelombang suara. Gelombang berjalan melalui udara dengan kecepatan sekitar 344 m/det (770 mil/jam) pada 20oC setinggi permukaan laut. Kecepatan suara meningkat seiring suhu dan ketinggian.8

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani, diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Oleh karena luas permukaan membran timpani 22 kali lebih besar dari luas tingkap oval, maka terjadi penguatan tekanan gelombang suara 15-22 kali pada tingkap oval. Selain karena luas permukaan membran timpani yang jauh lebih besar, efek dari pengungkit tulang-tulang pendengaran juga turut berkontribusi dalam peningkatan tekanan gelombang suara.5,7 Energi getar yang telah diamplifikasikan ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong. Sehingga cairan perilimfa pada skala vestibuli bergerak. Getaran ini diteruskan melalui membran Reissner yang mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basalis dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsangan mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis.5,7 Secara umum, kekerasan suara berkaitan dengan amplitudo gelombang suara dan nada berkaitan dengan frekuensi (jumlah gelombang persatuan waktu). Semakin besar amplitudo, semakin keras suara; dan semakin tinggi frekuensi, semakin tinggi nada. Namun, nada juga ditentukan oleh faktor-faktor lain yang belum sepenuhnya di pahami selain frekuensi, dan frekuensi mempengaruhi kekerasan, karena ambang pendengaran lebih rendah pada frekuensi tertentu dibandingkan dengan frekuensi lain. Gelombang suara yang memiliki pola berulang, walaupun masing-masing gelombang bersifat kompleks, didengar sebagai suara musik; getaran periodik yang tidak berulang menyebabkan sensasi bising.8

Gambar 3. Anatomi telinga

AUDIOLOGI DASAR Aspek diagnostik audiologi makin hari makin merupakan bagian yang integral pada praktek THT. Dasar evaluasi pendengaran merupakan cara cepat yang efektif untuk mengetahui kepekaan sistem pendengaran dan fungsi telinga tengah. Jumlah pemeriksaan audiologi untuk membedakan masalah otologi pun memang banyak termasuk salah satunya yaitu audiometri nada tutur.7,9 Sebelum membahas lebih lanjut mengenai audiometri nada tutur, kita harus memahami dulu hal mengenai audiologi dasar yang meliputi: sifat bunyi, intensitas bunyi, batas pendengaran manusia, dan audiogram.7,9 1. Sifat Bunyi Bunyi di udara merupakan hasil penekanan dan pengembangan partikel udara secara bergantian. Kecepatan terjadinya penekanan dan pengembangan udara ini disebut frekuensi bunyi. Satu penekanan dan pengembangan disebut satu siklus. Frekuensi adalah jumlah siklus dalam satu detik. Satuan frekuensi adalah Hertz dan disingkat jadi Hz. Jadi bunyi 1000 Hz terdiri dari 1000 siklus lengkap penekanan dan pengembangan tiap detik.9 2. Intensitas Bunyi

Jajaran tekanan suara yang dapat diterima oleh telinga normal sangat luas sehingga sukar untuk mengetahui angkanya. Dekat dengan ambang dengar, bunyi mempunyai tekanan sebesar kurang lebih 2/10.000 dyne/cm2. Tekanan ini harus dikalikan 10 juta kali untuk dapat menyebabkan rasa nyeri di telinga.9 Skala dengan titik awal 0,0002 dyne/cm2 disebut skala tingkat tekanan bunyi (Sound Pressure Level = SPL). Jadi 60 dB SPL berarti tekanan 60 dB diatas 0,0002 dyne/cm2. Sedangkan skala berdasarkan ambang rata-rata pendengaran normal disebut skala tingkat ambang dengar (Hearing Threshold Level) atau skala ambang dengar (Hearing Level = HL). Jadi 60 dB HL berarti tekanan 60 dB diatas ambang tekanan standar pembanding yang sesuai dengan pendengaran normal rata-rata pada frekuensi ini. Tanda dB pada angka gangguan pendengaran suatu audiometer mengikuti skala ambang dengar (HL).5,9 3. Batas Pendengaran Manusia Manusia dapat mendengar pada jarak frekuensi antara 20-20.000 Hz. Tapi ini hanya nilai rata-rata karena kemampuan mendengar frekuensi tinggi menurun sesuai pertambahan usia. Penurunan ini telah dimulai pada umur dekade 2 atau 3 dan dapat menurunkan batas atas sampai 10.000 Hz atau kurang pada umur dekade ke-6.5,9 Batas intensitas pendengaran manusia dapat ditentukan dengan tepat. Tingkat tekanan bunyi dari nada yang nyaris dapat didengar bervariasi pada berbagai frekuensi. Pada daerah yang sangat sensitif (1000-4000 Hz), hampir mendekati 0,0002 dyne/cm2. Batas intensitas tertinggi kira-kira 140 dB diatas 0,0002 dyne/cm2. Pada tingkat ini, suara dari frekuensi manapun akan menimbulkan rasa nyeri. Apabila terlalu lama mendengar suara di atas 85 dB dapat mengakibatkan kerusakan pendengaran. 9 4. Audiogram Bentuk yang umum digunakan untuk menggambarkan hasil uji pendengaran disebut audiogram. Tujuan audiogram adalah untuk memperoleh grafik gangguan pendengaran pasien dalam ambang sensitifitasnya pada tiap frekuensi yang diuji. Jajaran frekuensi yang biasa diuji adalah oktaf dan semioktaf antara 250-8000 Hz.9,10,11

PEMERIKSAAN PENDENGARAN Ada tiga jenis gangguan pendengaran yang dapat dikenali dengan uji pendengaran yaitu tuli konduktif, tuli saraf (sensorineural deafness) serta tuli campuran (mixed deafness). Pada tuli konduktif terdapat gangguan hantaran suara, disebabkan oleh kelainan atau penyakit di telinga luar atau di telinga tengah. Pada tuli saraf (perseptif, sensorineural) kelainan terdapat pada koklea (telinga dalam), nervus VIII atau di pusat pendengaran, sedangkan tuli campuran, disebabkan oleh kombinasi tuli konduktif dan tuli saraf. Tuli campur dapat merupakan satu penyakit, misalnya radang telinga tengah dengan komplikasi ke telinga dalam atau merupakan dua penyakit yang berlainan, misalnya tumor nervus VIII (tuli saraf) dengan radang telinga tengah (tuli konduktif). Jadi jenis ketulian sesuai dengan letak kelainan.5 Suara yang didengar dapat dibagi dalam bunyi, nada murni dan bising. Bunyi (frekuensi 20Hz-18.000Hz) merupakan frekuensi nada murni yang dapat didengar oleh telinga normal. Nada murni (pure tone), hanya satu frekuensi, misalnya dari garpu tala, piano. Bising (noise) dibedakan antara NB (narrow band), terdiri atas beberapa frekuensi, spektrumnya terbatas dan WN (white noise), yang terdiri dari banyak frekuensi.5,7 Pemeriksaan pendengaran dilakukan secara kualitatif dengan mempergunakan garpu tala dan kuantitatif dengan menggunakan audiometer. Untuk pemeriksaan kuantitatif gangguan pendengaran dilakukan pemeriksaan audiometri. Dari audiogram dapat dilihat apakah pendengaran normal atau tuli, kemudian jenis dan derajat ketuliannya. Derajat ketulian dihitung dengan index flechter, yaitu rata-rata ambang pendengaran pada frekuensi 500, 1.000, 2.000, 4.000 Hz.12 Untuk membedakan tuli koklea dan tuli retrokoklea diperlukan pemeriksaan audiologi khusus yang terdiri dari audiometri khusus (tes Tune decay, tes short Increment, Sensitivity Index (SISI), tes Alternate Binaural Loudness Balance (ABLB), audiometri tutur, audiometric Bekessy), audiometri obyektif (audiometri

impedans,elektrokokleograf, brain evoked response audiometry/BERA), pemeriksaan tuli organik, dan pemeriksaan audiometri anak.12
9

GEJALA GANGGUAN PENDENGARAN PADA ANAK Beberapa gejala pada anak dengan kemungkinan mengalami

gangguan pendengaran yang bisa diamati sehari-hari oleh orang tua untuk anak usia prasekolah atau usia yang lebih besar dari 24 bulan:1 Kurang responsif terhadap suara-suara yang ada di sekitarnya: vacuum cleaner , klakson mobil, petir. Anak kelihatannya kurang perhatian terhadap apa yang terjadi disekitarnya, kecuali yang bisa dinikmati dengan melihat. Anak tidak mudah tertarik dengan pembicaraan atau suara-suara yang ada di sekelilingnya. Cenderung berusaha melihat muka lawan bicara dengan tujuan mencari petunjuk dari gerak bibir dan ekspresi muka guna mendapat informasi tambahan apa yang diucapkan. Anak kurang responsif apabila diajak bicara tanpa diberi kesempatan melihat muka lawan bicara. Sering minta kata-kata diulang lagi. Jawaban yang salah dengan pertanyaan atau perintah sederhana. Kesulitan menangkap huruf mati atau konsonan. Anak hanya memberikan respons terhadap suara tertentu atau dengan kekerasan tertentu. Anak memberikan respons yang tidak konsisten pada waktu yang berbeda, kemungkinan mengalami gangguan pendengaran yang hilang timbul sebagai akibat otitis media serosa. Orang tua sering menganggap karena anak cuek atau bandel, hanya memberikan respons kalau anak sedang mau saja. Kesulitan menangkap pembicaraan di dalam ruangan yang ramai. Anak dengan gangguan pendengaran ringan atau sedang masih mampu menangkap pembicaraan di lingkungan yang ribut seperti di kelas atau di rumah dengan suara-suara TV yang cukup mengganggu. Anak dengan pendengaran yang normal mempunyai kemampuan mengatasi kesulitan dilingkungan mendengar yang sulit. Ucapan anak yang sulit dimengerti merupakan salah satu kemungkinan anak mengalami gangguan pendengaran. Hal ini disebabkan anak tidak mampu menangkap semua elemen pembicaraan dengan jelas sehingga anak akan mengalami kesulitan meniru ucapan dengan
10

betul dan baik.. Anak juga akan mengalami gangguan pola berbicara yang sering rancu dengan masalah intelegensinya. Bicara anak lemah atau bahkan terlalu keras. Hal ini menunjukkan bahwa anak tidak mendengar suaranya sendiri. Anak yang bicaranya pelan kemungkinan mengalami tuli konduktif karena anak dapat menangkap suaranya sendiri melalui jalur hantaran tulang sekalipun hantaran udaranya mengalami gangguan. Anak dengan tuli sensorineural akan berbicara lebih keras supaya bisa menangkap suaranya sendiri. Kemampuan berbicara dan pemahaman kata-kata terbatas. Anak dengan gangguan pendengaran akan mengalami penurunan kemampuan mendengar dan memahami arti katakata sehingga menghambat proses perkembangan bicara. Nilai di sekolah menurun atau di bawah rata-rata kelas. Masalah tingkah laku, baik di sekolah maupun di rumah.

PEMERIKSAAN PENDENGARAN PADA ANAK Pada prinsipnya tuli kongenital harus diketahui sedini mungkin. Walaupun derajat ketulian yang dialami seorang anak hanya bersifat ringan, namun dalam perkembangan selanjutnya akan mempengaruhi kemampuan berbicara dan berbahasa. Untuk menegakkan diagnosis sedini mungkin maka diperlukan skrining pendengaran pada anak.13 Perubahan perilaku anak terhadap stimulus suara tergantung pada beberapa faktor antara lain faktor usia, status mental yang mencakup kondisi mental anak, kemauan melakukan tes, rasa takut, status neurologik yang berhubungan dengan perkembangan motorik dan persepsi.1 Selama ini masih ada yang beranggapan bahwa tes pendengaran tidak bisa dilakukan saat masih bayi, harus menunggu hingga anak bisa berbicara (usia 5-6 tahun), padahal kini tes pendengaran bahkan sudah bisa dilakukan saat beberapa jam setelah anak lahir. Bahkan 10 negara bagian di Amerika Serikat telah mewajibkan tes pendengaran dilakukan pada bayi baru lahir.1 Beberapa pemeriksaan pendengaran yang dapat dilakukan adalah: 1. Behavioral Observation Audiometry (BOA) 2. Otoacoustic Emission (OAE) 3. Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA) 4. Timpanometri
11

5. ASSR 6. PTA 1) Behavioural Observation Audiometry 1 Teknik BOA sudah lama dikembangkan untuk evaluasi pendengaran anak-anak usia <18 bulan, sejak belum tersedia alat-alat elektrofisiologik. Tes ini berdasarkan pada respon aktif pasien terhadap stimulus bunyi dan merupakan respon yang disadari (voluntary respon). Metoda ini dapat mengetahui seluruh sistem auditorik termasuk pusat kognitif yang lebih tinggi. Behavioural Audiometry penting untuk mengetahui respons subyektif sistem auditorik pada bayi dan anak, dan juga bermanfaat untuk penilaian habilitasi pendengaran yaitu pada pengukuran alat bantu dengar (hearing aid fitting). Pemeriksaan ini dapat digunakan pada semua usia mulai bayi baru lahir dengan mempertimbangkan usia dan status perkembangan anak secara umum. Pemeriksaan dilakukan pada ruangan yang cukup tenang (bising lingkungan tidak lebih dari 60 dB), idealnya pada ruangan kedap suara. Sebagai sumber bunyi dapat digunakan tepukan tangan, tambur, bola plastik berisi pasir, remasan kertas, minyak, bel, terompet karet, dan bendabenda lain yang telah dikalibrasi frekuensi dan intensitasnya. Bila tersedia bisa digunakan alat noisemaker buatan pabrik yang frekuensi dan intensitasnya bisa dipilih. Tes behaviour cukup dapat memberikan nilai ketepatan, efisiensi dan cukup obyektif apabila dilakukan oleh klinikus yang berpengalaman. Selain itu tes BOA cukup relibel, cukup menyenangkan bagi anak-anak, serta efisien dari segi waktu dan biaya. Dinilai kemampuan bayi dalam memberikan respon terhadap sumber bunyi tersebut. Pemeriksaan Behavioral Observation Audiometry dibedakan menjadi:5

1. Behavioral Reflex Audiometry Dilakukan pengamatan respons behavioral yang bersifat reflex sebagai reaksi terhadap stimulus bunyi. Respon behavioral yang dapat diamati antara lain: mengejapkan mata (auropalpebral reflex), melebarkan mata (eye widening), mengerutkan wajah (grimacing), berhenti menyusu (cessation reflex), denyut jantung meningkat, reflex moro (paling konsisten). Refleks auropalpebral dan moro rentan terhadap efek habituasi, maksudnya bila stimulus diberikan berulang-ulang bayi menjadi bosan sehingga tidak
12

memberi respon walaupun dapat mendengar. Bila kita mengharapkan terjadinya Refleks Moro dengan stimulus bunyi keras sebaiknya dilakukan pada akhir prosedur karena bayi akan terkejut, takut dan menangis, sehingga menyulitkan observasi selanjutnya. 2. Behavioral Response Audiometry Pada bayi normal sekitar usia 5- 6 bulan, stimulus akustik akan menghasilkan pola respon khas berupa menoleh atau menggerakkan kepala kerah sumber bunyi diluar lapangan pandang. Awalnya gerakan kepala hanya pada bidang horizontal, dan dengan bertambahnya usia bayi dapat melokalisir sumber bunyi dari arah bawah. Selanjutnya bayi mampu mencari sumber bunyi dari bagian atas. Pada bayi normal kemampuan melokalisir sumber bunyi dari segala arah akan tercapai pada usia 13 16 bulan. Teknik yang sering dipakai ada dua macam, yakni Tes Distraksi dan Visual Reinforcement Audiometry (VRA). Pada tes distraksi, pemeriksaan dilakukan pada ruang kedap suara, menggunakan stimulus nada murni. Bayi dipangku oleh ibu atau pengasuh. Diperlukan 2 orang pemeriksa, pemeriksa pertama bertugas untuk menjaga konsentrasi bayi, misalnya dengan memperlihatkan mainan yang tidak terlalu menarik perhatian, selain memperhatikan respon bayi. Pemeriksa kedua berperan memberikan stimulus bayi, misalnya dengan audiometer yang terhubung dengan pengeras suara. Respon terhadap bunyi adalah

menggerakkan bola mata atau menoleh kearah sumber bunyi. Bila tidak ada respon terhadap stimulasi bunyi, pemeriksaan diulangi sekali lagi. Kalau tetap tidak berhasil, pemeriksaan ketiga dilakukan lagi 1 minggu kemudian. Seandainya tetap tidak ada respon, harus dilakukan pemeriksaan audiologik lanjutan yang lebih lengkap. Teknik Visual Reinforcement Audiometry mulai dapat dilakukan pada bayi usia 4-7 bulan dimana kontrol neuromotor berupa kemampuan mencari sumber bunyi sudah berkembang. Pada masa ini, respon unconditioned beralih menjadi respon conditioned. Stimulus bunyi diberikan bersamaan dengan stimulus visual, bayi akan memberi respon orientasi atau melokalisir bunyi dengan cara menoleh kearah sumber bunyi.
13

2) Otoacoustic Emission (OAE) Pemeriksaan tidak harus diruang kedap suara, cukup di ruangan yang tenang. Pada mesin OAE generasi terakhir nilai OAE secara otomatis akan dikoreksi dengan noise yang terjadi selama pemeriksaan. Artefak yang terjadi akan diseleksi saat itu juga (real time). Hal tersebut menyebabkan nilai sensitifitas dan spesifitas OAE yang tinggi. Untuk memperoleh hasil yang optimal diperlukan pemilihan probe (sumbat liang telinga) sesuai ukuran liang telinga. Sedatif tidak diperlukan bila bayi

koperatif.Pemeriksaan OAE juga dimanfaatkan untuk memonitor efek negatif dari obat ototoksik, diagnosis neuropati audiotorik, membantu proses pemilihan alat bantu dengar, skrining pemaparan bising (noise induced hearing loss) dan sebagai pemeriksaan penunjang pada kasus-kasus yang berkaitan dengan gangguan koklea, seprti neuropati auditori.5,6 Pemeriksaan OAE dapat dilakukan di ruang biasa yang cukup tenang sehingga tidak memerlukan ruang kedap suara (sound proof room). Juga tidak memerlukan obat penenang (sedatif) asalkan bayi/ anak tidak terlalu banyak bergerak. 5 Prinsip pemeriksaan OAE adalah mengukur emisi yang dikeluarkan oleh telinga saat suara menstimulasi koklea. Teknik ini sensitif untuk mengetahui kerusakan pada OHC, dapat pula digunakan untuk memeriksa telinga tengah dan dalam. Kriteria hasil pemeriksaan yaitu pass atau refer. Jika terdapat gelombang OAE maka bayi dapat melewati tes OAE (pass), berarti bayi tersebut tidak mengalami gangguan pendengaran. Jika tidak ditemukan gelombang OAE berarti ada gangguan pendengaran (refer), maka harus dilakukan tes lanjutan. 6

Gambar 16 OAE
14

Cara kerja alat ini dengan memberikan stimulus bunyi yang masuk ke liang telinga melalui insert probe, dengan bagian luarnya dilapisi karet lunak (probe tip) yang ukurannya dapat dipilih sesuai besarnya liang telinga, menggetarkan gendang telinga, selanjutnya melalui telinga tengah akan mencapai koklea. Saat stimulus bunyi mencapai OHC koklea yang sehat, OHC akan memberikan respon dengan memancarkan emisi akustik yang akan dipantulkan ke arah luar (echo) menuju telinga tengah dan liang telinga. Emisi akustik yang tiba di liang telinga akan direkam oleh mikrofon mini yang juga berada dalam insert probe, selanjutnya diproses oleh mesin OAE sehingga hasilnya dapat ditampilkan pada layar monitor mesin OAE. Kerusakan pada OHC misalnya akibat virus, obat-obat ototoksik, kuranganya oksigenasi dan perfusi yang menuju koklea menyebabkan OHC tidak dapat memproduksi gelombang OAE. OAE tidak muncul pada hilangnya pendengaran lebih dari 30-40 dB. Pemeriksaan OAE dapat menentukan penilaian klinik telinga perifer/jalur preneural, namun tidak dapat memeriksa adanya gangguan saraf pendengaran atau respon otak/jalur neural terhadap suara. OAE dipengaruhi oleh verniks kaseosa, debris, dan kondisi telinga tengah (cavum tympani). Neonatus usia kurang dari 24 jam liang telinga terisi verniks kaseosa yang akan keluar dalam 24-48 jam setelah lahir, sehingga hasil refer 5-20% bila skrining dilakukan 24 jam setelah lahir. Angka refer <3% dicapai bila skrining dilakukan usia 24-48 jam Karena perjalanan stimulus bunyi menuju koklea maupun emisi akustik yang dipancarkan oleh koklea ke liang telinga harus melewati telinga tengah; maka sebelum pemeriksaan OAE harus dipastikan bahwa telinga tengah dalam kondisi normal dengan pemeriksaan timpanometri. Kelainan pada telinga tengah akan memberikan hasil positif palsu. 1 Faktor lain yang mempengaruhi hasil tes OAE yaitu ukuran probe (harus sesuai dengan ukuran liang telinga), posisi penempatan probe (tidak ada kebocoran atau celah udara dan posisi probe harus lurus ke arah gendang telinga) serta kebisingan eksternal maupun internal1

15

Gambar 17 Hasil Tes Pemeriksaan OAE1 Pemeriksaan OAE sensitif untuk mengetahui adanya kerusakan pada disfungsi outer haircell pada koklea. Pemeriksaan OAE juga cukup efektif sebagai alat screening karena selain sensitif juga cukup murah. Minesota Newborn Hearing Screening Program memakai OAE sebagai standar pemeriksaan awal, apabila didapatkan abnormalitas baru diperiksa dengan ABR. Otoacoustic Emission atau OAE merupakan skrining pendengaran secara obyektif, namun tidak dapat memberikan informasi tentang derajat gangguan pendengaran seorang bayi atau anak. 1

JENIS PEMERIKSAAN OAE Dikenal 2 jenis pemeriksaan OAE, yaitu Spontan dan Evoked OAE. Spontan OAE dapat timbul tanpa adanya stimulus bunyi, namum tidak semua manusia memiliki Spontan OAE sehingga manfaat klinisnya tidak diketahui. Evoked OAE adalah OAE yang terjadi pasca pemberian stimulus, dibedakan menjadi Stimulus Frequency OAE (SFOAE), Transient Evoked OAE (TEOAE) dan Distortion Product OAE (DPOAE). 5,22 1. SFOAE Merupakan respon yang dibangkitkan oleh nada murni yang panjang dan terus menerus, jenis ini tidak mempunyai arti klinis, dan jarang digunakan. 5 2. TEOAE Untuk memperoleh emisi TEOAE digunakan stimulus bunyi click yang onsetnya sangat cepat (milidetik) dengan intensitas sekitar 40 desibel. Secara otomatis akan diperiksa 46 jenis frekuensi. Spektrum frekuensi yang dapat diperiksa TEOAE adalah
16

500 - 4500 Hz untuk orang dewasa dan 50006000 Hz pada bayi. TEOAE tidak terdeteksi pada ketulian >40 dB. Bila TEOAE pass berarti tidak ada ketulian kohlea, sebaliknya bila TEOAE reffer berarti ada ketulian kohlea lebih dari 40 dB. Umumnya hanya digunakan untuk skrining pendengaran bayi/anak.5,22 3. DPOAE Mempergunakan 2 buah stimulus bunyi nada murni sekaligus, yang berbeda frekuensi maupun intensitasnya. Spektrum frekuensi yang dapat diperiksa lebih luas dibandingkan dengan TEOAE, dapat mencapai frekuensi tinggi (10.000 Hz). DPOAE (+BERA) digunakan untuk mendiagnosis auditori neuropati, monitoring pemakain obat ototoksik dan pemaparan bising,menentukan prognosis tuli mendadak (sudden deafness) dan gangguan pendengaran lainnya yang disebabkan oleh kelainan koklea.5

3) Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA) BERA merupakan pemeriksaan elektrofisiologik untuk menilai integritas sistem auditorik, bersifat obyektif, tidak invasif. Dapat memeriksa bayi, anak, dewasa, penderita koma. BERA merupakan cara pengukuran evoked potential (aktivitas listrik yang dihasilkan N.VIII, pusat-pusat neural dan traktus didalam batang otak) sebagai respon terhadap stimulus auditorik. Stimulus bunyi yang digunakan berupa bunyi click atau toneburst yang diberikan melalui headphone, insert probe, bone vibrator. Respon terhadap stimulus auditorik berupa evoked potential yang sinkron, direkam melalui elektroda permukaan (surface electrode) yang ditempelkan pada kulit kepala (dahi dan prosesus mastoideus), kemudian diproses melalui program komputer dan ditampilkan sebagai 5 gelombang defleksi positif (gelombang I sampai V) yang terjadi sekitar 2 12 ms setelah stimulus diberikan. Analisis gelombang BERA berdasarkan morfologi gelombang, masa laten, dan amplitude gelombang.5 Mekanisme Kerja Pemeriksaan BERA BERA mengarah pada pembangkitan potensial yang ditimbulkan dengan suara singkat atau nada khusus yang ditransmisikan oleh transduser akustik dengan menggunakan earphone atau headphone (headset). Bentuk gelombang yang ditimbulkan
17

dari respon tersebut dinilai dengan menggunakan elektrode permukaan yang biasannya diletakkan pada bagian vertex kulit kepala dan pada lobus telinga.18

Gambar 5 Newborn Hearing Screening with Brainstem Auditory Evoked Potentials19

Pencatatan rata-rata grafiknya diambil berdasarkan panjang gelombang atau amplitudo (microvoltage) dalam waktu (millisecond). Puncak dari gelombang yang timbul ditandai dengan I-VII. Bentuk gelombang tersebut normalnya muncul dalam periode waktu 10 millisecond setelah rangsangan suara (click) pada intensitas tinggi (7090 dB) tingkat pendengaran normal atau normal hearing level [nHL]).18

Gambar 6 Method of recording brainstem evoked auditory potentials (BAEPs)5

Brainstem Evoke Response Audiometri (BERA) dilakukan dengan menggunakan rangsangan suara klik yang menghasilkan respon dari regio basilar koklea. Setiap telinga dapat dievaluasi secara terpisah, dengan intensitas rangsangan yang diberikan sebesar 35-40 dB nHL. BERA yang dirangsang oleh suara klik sangat berhubungan dengan sensitivitas pendengaran dalam kisaran frekuensi dari 1000-4000
18

Hz.

Sinyalnya berjalan melalui jalur pendengaran atau auditory pathway dari kompleks inti koklear, proksimal ke colliculus inferior. Sebuah elektroda aktif ditempatkan pada titik kepala yang memungkinkan untuk pencatatan potensi pendengaran yang ditimbulkan dari saraf pendengaran dan batang otak (potensi awal pada gelombang I-V), dan struktur pendengaran yang lebih dalam yaitu pada thalamo-korteks. BERA memiliki latensi yang pendek (<10 ms), saat ini digunakan secara klinis untuk menguji jalur pendengaran sampai ke tingkat colliculus inferior.5,18

Gambar 7 Jalur pendengaran dan lokasi anatomi yang berkaitan dengan gelombang yang ditimbulkan oleh BERA. Saraf pendengaran (gelombang I-inti koklea, gelombang II- nucleus kokhlea, gelombang III-Superior olive, gelombang IV-Lateral lemniscus, gelombang V- Colliculus inferior) Thalamus dan lobus temporal membentuk gelombang tengah dan akhir dari BERA20

Gelombang BERA I dan II berkaitan dengan potensial aksi yang benar. Gelombang selanjutnya mungkin menggambarkan aktivitas postsinaptik pada pusat auditori batang otak utama yang secara bersamaan menimbulkan bentuk gelombang puncak dan palung. Puncak positif dari bentuk gelombang menunjukkan aktivitas aferen kombinasi (dan kemungkinan juga eferen) dari jalur axonal pada batang otak auditory.6

19

Gambar 15 Ambang audiometri didefinisikan sebagai intensitas minimum yang diperlukan untuk mendapatkan gelombang V yang jelas, yaitu biasanya pada 20 dB. Pada 70 dB tercatat 5 gelombang yang jelas, respon latensi meningkat dan amplitudo gelombang berkurang21

Di Ameriksa Serikat, bentuk gelombang biasanya di plot dengan elektroda pada vertex dengan amplifier tegangan input positif, sehingga menimbulkan gelombang puncak pada I, III, dan V. Di negara-negara lainnya, gelombangnya di plot dengan tegangan negatif. 21 Reaksi yang timbul sepanjang jaras-jaras saraf pendengaran dapat

dideteksi berdasarkan waktu yang dibutuhkan (satuan milidetik) mulai dari saat pemberian impuls sampai menimbulkan reaksi dalam bentuk gelombang. Gelombang yang terjadi sebenarnya ada 7 buah, namun yang penting dicatat adalah gelombang I, III,dan V.18 Komponen Bentuk Gelombang 18 1. Gelombang I : Respon gelombang BERA I merupakan gambaran yang luas dari potensial aksi saraf auditori gabungan pada bagian distal dari nervus kranialis VIII. Respon tersebut berasal dari aktivitas aferen dari serabut saraf VIII (neuron urutan pertama) saat meninggalkan koklea dan masuk ke kanalis auditori internal. 2. Gelombang II : gelombang BERA II ditimbulkan oleh nervus VIII proksimal saat memasuki batang otak.

20

3. Gelombang III : gelombang BERA III ditimbulkan pada bagian caudal dari pons auditori. Nukleus koklearis mengandung hampir 100.000 neuron, kebanyakan dipersarafi oleh sembilan serabut saraf. 4. Gelombang IV : gelombang BERA IV, memiliki puncak yang sama dengan gelombang V, muncul dari neuron urutan ketiga pontin yang kebanyakan terletak pada kompleks olivary superior, tetapi kontribusi tambahan untuk terbentuknya gelombang IV dapat datang dari nukleus koklearis dan nucleus dari

lemniskus lateral. 5. Gelombang V : pembentukan gelombang V terbentuk dari aktivitas dari struktur auditori anatomik multipel. Gelombang BERA V merupakan komponen yang paling sering di analisa pada aplikasi klinis BERA. Meskipun terdapat beberapa data mengenai hal yang tepat dalam pembentukan gelombang V, gelombang V berasal dari sekitar kollikulus inferior. Aktivitas neuron urutan kedua mungkin secara sekunder mempengaruhi beberapa hal dalam pembentukan gelombang V. Kollikulus inferior merupakan sebuah struktur yang kompleks, dengan lebih dari 99% akson dari regio auditori batang otak bawah melewati lemniskus lateral ke kollikulus inferior. 6. Gelombang VI dan VII : Gelombang VI dan VII dianggap berasal dari thalamus (medial geniculate body), tetapi tempat pembentukan sebenarnya masih diragukan.

Evaluasi Pemeriksaan BERA Gelombang I, yang ditimbulkan oleh ujung koklear CN VIII, memberikan informasi yang berharga mengenai aliran darah ke koklea. Karena iskemik merupakan penyebab kehilangan pendengaran yang berkaitan dengan pembedahan, gelombang I di monitor secara seksama untuk melihat adanya perubahan pada latensi atau penurunan amplitudo.18 Interval puncak gelombang I-II dan I-III dapat memberikan informasi distal dan proksimal selama pembedahan CN VIII. Gelombang V dan latensi interval puncak gelombang I-V di monitor untuk melihat adanya perubahan pada latensi dan amplitudo. Latensi gelombang I-V memberikan informasi mengenai integritas CN VIII terhadap batang otak auditori.18
21

Dalam hal patologi retrokoklear, banyak faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan BERA, termasuk derajat kehilangan pendengaran sensorineural, kehilangan pendengaran asimetris, batasan pengujian, dan faktor-faktor pasien lainnya. Pengaruh ini dapat terjadi saat melakukan pemeriksaan maupun saat menganalisa hasil pemeriksaan BERA.18 Penemuan yang menandakan adanya patologi retrokoklear dapat meliputi satu atau lebih dari tanda berikut ini: 18 1. Perbedaan latensi gelombang V interaural absolut (IT5) memanjang 2. Interval antar puncak gelombang I-V interaural-memanjang 3. Latensi absolut dari gelombang V memanjang dibandingkan dengan data normatif 4. Latensi absolut dan latensi interval antar puncak gelombang I-III, I-V, III-V memanjang dibandingkan dengan data normatif 5. Tidak adanya respon auditori batang otak pada telinga yang dilakukan pemeriksaan.

4) Timpanometri Pemeriksaan ini diperlukan untuk menilai kondisi telinga tengah. Gambaran timpanometri yang abnormal (adanya cairan atau tekanan negative di telinga tengah) merupakan pentunjuk adanya gangguan pendengaran konduktif. Melalui probe tone (sumbat liang telinga) yang dipasang pada liang telinga dapat diketahui besarnya tekanan di liang telinga berdasarkan energi suara yang dipantulkan kembali (ke arah luar) oleh gendang telinga. Pada orang dewasa atau bayi berusia diatas 7 bulan digunakan probe tone frekuensi 226 Hz. Khusus untuk bayi dibawah usia 6 bulan tidak digunakan probe tone 226 Hz karena akan terjadi resonansi pada liang telinga sehingga harus digunakan probe tone frekuensi tinggi (668, 678, atau 1000 Hz).5

22

Liden (1969) dan Jerger (1970) mengembangkan suatu klasifikasi timpanogram. Tipe-tipe klasifikasi yang diilustrasikan adalah sebagai berikut:5,6 1. Tipe A 16 terdapat pada fungsi telinga tengah yang normal. mempunyai bentuk khas, dengan puncak imitans berada pada titik 0 daPa dan penurunan imitans yang tajam dari titik 0 ke arah negatif atau positif. Kelenturan maksimal terjadi pada atau dekat tekanan udara sekitar, memberi kesan tekanan udara telinga tengah yang normal.

Gambar 8.Timpanogram Normal16


23

2.

Tipe As. 5,6,16 Terdapat pada otosklerosis dan keadaan membran timpani yang berparut. Timpanogram kelihatan seperti tipe A (normal), di mana puncak berada atau dekat titik 0 daPa, tapi dengan ketinggian puncak yang secara signifikan berkurang. Huruf s di belakang A berarti stiffness atau shallowness. Kelenturan maksimal terjadi pada atau dekat tekanan udara sekitar, tapi kelenturan lebih rendah daripada tipe A. Fiksasi atau kekauan sistem osikular seringkali dihubungkan dengan tipe As.

Gambar 9.Timpanogram Tipe As16 3. Tipe Ad. 5,16 Terdapat pada keadaan membran timpani yang flaksid atau diskontinuitas pendengaran. Timpanogram kelihatan seperti tipe A (normal), tetapi dengan puncak lebih tinggi secara signifikan dibandingkan normal. Huruf d di belakang A berarti deep atau discontinuity. (kadang-kadang sebagian) dari tulang-tulang

24

Kelenturan maksimum yang sangat tinggi terjadi pada tekanan udara sekitar, dengan peningkatan kelenturan yang amat cepat saat tekanan diturunkan mencapai tekanan udara sekitar normal. Tipe Ad dikaitkan dengan diskontinuitas sitem osikular atau suatu membrana timpani mono metrik.

Gambar 10.Timpanogram Tipe Ad16 4. Tipe B 5,6,16 Timpanogram tidak memiliki puncak melainkan pola cenderung mendatar, atau sedikit membulat yang paling sering dikaitkan dengan cairan di telinga tengah (kavum timpani), misalnya pada otitis media efusi. ECV dalam batas normal, terdapat sedikit atau tidak ada

mobilitas pada telinga tengah. Bila tidak ada puncak tetapi ECV > normal, ini menunjukkan adanya perforasi pada membran timpani.

25

Gambar 11.Timpanogram Tipe B16

5.

Tipe C Terdapat pada keadaan membran timpani yang retraksi dan malfungsi dari tuba Eustachius. Tekanan telinga tengah dengan puncaknya di wilayah tekanan negatif di luar -150 mm H2O indikatif ventilasi telinga tengah miskin karena tabung estachius disfungsi. Pola timpanometrik, dalam kombinasi dengan pola audiogram, ijin diferensiasi antara dan klasifikasi gangguan telinga tengah.

Gambar 12.Timpanogram Tipe C16


26

Pada bayi kurang dari

bulan ketentuan jenis timpanogram tidak

mengikuti ketentuan diatas. Timpanometri merupakan pemeriksaan pendahuluan sebelum tes OAE, dan bila terdapat gangguan pada telinga tengah maka pemeriksaan OAE harus ditunda sampai telinga tengah normal.5

5) Auditory Steady-State Response (ASSR) ASSR merupakan tes yang bersifat objektif untuk mengukur kemampuan mendengar anak yang masih belum mampu menjalani prosedur tes subjektif seperti play audiometri atau audiometri nada murni. Mayoritas anak anak baru lahir saat ini dirujuk untuk dilakukan tes ASSR jika diidentifikasi mengalami gangguan pendengaran. Intervensi dini seperti alat bantu dengar, cochlear implant sangat diperlukan untuk perkembangan bahasa dan bicara anak yang mengalami gangguan pendengaran. Hasil pemeriksaan ASSR dapat digunakan sebagai estimasi hasil dari pemeriksaan audiometri nada murni perilaku atau Behavioral Obervation Audiometry. Selama pemeriksaan, supaya hasil yang diperoleh akurat, pasien idealnya dalam kondisi tidur. Tes ASSR bisanya memerlukan waktu lebih lama dari ABR kira-kira 6090 menit. ASSR adalah tes obyektif yang digunakan untuk evaluasi kemampuan mendengar pada anak-anak terlalu muda untuk pengujian audiometri tradisional. Kebanyakan anak dirujuk untuk ASSR setelah layar pendengaran bayi yang baru lahir di rumah sakit menunjukkan kemungkinan gangguan pendengaran. Strategi intervensi dini, seperti alat dengar atau implantasi koklea, diperlukan untuk perkembangan bicara dan kemampuan bahasa pada anak tunarungu. Hasil yang diperoleh dari pengujian ASSR dapat digunakan untuk memperkirakan audiogram murni-nada perilaku. Informasi ini sangat penting dalam pengelolaan anak-anak dengan gangguan pendengaran. Orang yang sedang diuji harus sangat tenang dan masih dalam rangka untuk mendapatkan hasil ASSR handal. Seringkali, pengujian dilakukan dengan sedasi atau tidur alami jika seseorang berada di bawah usia 6 bulan. Hasil yang diperoleh dengan mengukur aktivitas otak saat orang mendengarkan nada frekuensi yang berbeda-beda (pitch) dan intensitas (kenyaringan).

27

Aktivitas otak dicatat menggunakan elektroda ditempelkan pada dahi dan di belakang telinga masing-masing. Penggunaan elektroda menghilangkan kebutuhan untuk partisipasi aktif dari pasien (misalnya, menekan tombol respon setiap kali nada diaktifkan). Hasil terdeteksi obyektif menggunakan formula statistik yang menentukan ada atau tidak adanya respon yang benar. Mirip dengan pengujian audiometri tradisional, ambang batas ditentukan sebagai tingkat terendah pada setiap frekuensi di mana respon hadir. ASSR memberikan, akurat frekuensi-spesifik perkiraan audiogram murni-nada perilaku.15

6) Pure Tone Audiometry (PTA) Adalah tes yang dilakukan untuk mengetahui ambang dengar dengan memberikan stimulus suara berfrekuensi murni pada telinga yang dites. Frekuensi tes biasanya mulai dari 125Hz sampai dengan 8000Hz. Tes Audiometri Nada Murni bisa dilakukan melalui audiometer yang otomatis ataupun manual, akan tetapi esensi proses pemeriksaannya sama. Sebelum tes, pasien diminta untuk melepas perlengkapan yang mungkin menganggu kenyamanan pemeriksaan misalnya kacamata, giwang dan semacamnya. Pemeriksa harus memberikan instruksi kepada pasien berupa permintaan bahwa pasien harus berkonsentrasi dan mendengarkan bunyi pada telinga yang sedang dites, jika pasien mendengar walaupun kecil pasien diminta untuk menekan tombol tertentu yang mengindikasikan kepada pemeriksa bahwa pasien mendengar. Headphone/Speaker dipasangkan pada kedua telinga dan kemudian pemeriksaan segera di mulai pada masing-masing telinga, umumnya telinga yang lebih baik mendengarnya akan diperiksa terlebih dahulu. Pemeriksaan dilakukan dengan pertama-tama pemeriksa memberikan stimulus suara pada frekuensi 1kHz pada intensitas atau kekerasan tertentu yang diukur dalam dB (decibell). Jika pasien tidak mendengar, maka intensitas dinaikan secara berkala sampai pasien mampu mendengar suara. Namun, jika pasien sudah mendengar, pemeriksa harus menurunkan intensitas suara dan terus diulang naik turun stimulus suara sampai pasien memberikan respons mendengar yang konstan pada pada suara terkecil yang pasien mampu mendengar. Prosedur diatas diulang untuk frekuensi berikutnya seperti 2kHz, 4KHz, 8kHz, 250Hz dan 500Hz.Setelah selesai dengan telinga
28

satu, selanjutnya pemeriksaan audiometri dilakukan untuk telinga sebelahnya dengan memakai prosedur yang sama seperti di atas. Akurasi Pemeriksaan Audiometri Nada Murni tergantung kepada beberapa hal, diantaranya adalah Audiometer atau alat pemeriksaan yang diapakai, Pemasangan Headphone/Speaker yang tidak pas, Kondisi kekedapan ruang pemeriksaan, Pasien tidak dalam kondisi tidak nyaman Pemeriksaan Audiometri Nada Murni membutuhkan waktu kira-kira 20-40 menit.
16

INTERPRETASI AUDIOGRAM Terdapat ambang dengar menurut konduksi udara (AC) dan menurut konduksi tulang (BC). Apabila ambang dengar ini dihubungkan dengan garis, baik AC maupun BC, maka akan didapatkan didalam audiogram.5,17

1. Audiogram Normal Secara teoritis, bila pendengaran normal, ambang dengar untuk hantaran udara maupun hantaran tulang tercatat sebesar 0 dB. Pada anakpun keadaan ideal seperti ini sulit tercapai terutam pada frekuensi rendah bila terdapat bunyi lingkungan (ambient noise). Pada keadaan tes yang baik, audiogram dengan ambang dengar 10 dB pada 250,500 Hz 0 dB pada 1000, 2000,4000, 10000 Hz pada 8000 Hz dapat dianggap normal. 17

Gambar 5. Gambar audiogram pada orang normal17 2. Tuli Konduktif


29

Diagnosis gangguan dengar konduktif ditegakkan berdasarkan prinsip bahwa gangguan konduktif (telinga tengah) menyebabkan gangguan hantaran udara yang lebih besar daripada hantaran tulang. Pada keadaan tuli konduktif murni, keadaan koklea yang baik (intak) menyebabkan hantaran tulang normal, yaitu 0 dB pada audiogram.5,17 Pengecualian adalah pada tuli konduktif karena fiksasi tulang stapes (misalnya pada otosklerosis). Disini terdapat ambang hantaran tulang turun menjadi 15 dB pada 2000Hz. Diperkiran keadaan ini bukan karena ketulian sensorineural, tapi belum diketahui sebabnya. Penyebab ketulian koduktif seperti penyumbatan liang telinga, contohnya serumen, terjadinya OMA, OMSK, penyumbatan tuba eustachius. Setiap keadaan yang menyebabkan gangguan pendengaran seperti fiksasi kongenitalm fiksasi karena trauma, dislokasi rantai tulang pendengaran, juga akan menyebabkan peninggian amabang hantaran udara dengan hantaran tulang normal. Gap antara hantran tulang dengan hantaran udara menunjukkan beratnya ketulian konduktif. 17 Derajat ketulian yang disebabkan otitis media sering berfluktuasi. Eksarsebasi dan remisi sering terjadi pada penyakit telinga tenga terutama otitis media serosa. Pada orang tua sering mengeluhkan pendengaran anaknya bertambah bila sedang pilek, sesudah berenang atau sedang tumbuh gigi. dapat juga saat perubahan pada musim tertentu karena alergi.Penurunan Pendengaran akan menetap sekitar 55-60 dB pada pasien otitis media. Selama koklea normal, gangguan pendengaran maksimum tidak melebihi 60 dB. Konfigurasi audiogram pada tuli konduktif biasanya menunjukkan pendengaran lebih pada frekuensi rendah. Dapat pula berbentuk audiogram yang datar.5

30

Gambar 6. Audiogram tuli konduktif 17 3. Tuli Sensorineural (SNHL) Tuli sensorineural terjadi bila didapatkan ambang pendengaran hantaran tulang dan udara lebih dari 25 dB. Tuli sensorineural ini terjadi bila terdapat gangguan koklea, N.auditorius (NVIII) sampai ke pusat pendengaran termasuk kelainan yang terdapat didalam batang otak.2 Kelainan pada pusat pendengaaran saja (gangguan pendengaran sentral) biasanya tidak menyeababkan gangguan dengar untuk nada murni, namun tetap terdapat gangguan pendengaran tertentu. Gangguan pada koklea terjadi karena dua cara, pertama sel rambut didalam koklea rusak, kedua karena stereosilia dapat hancur. Proses ini dapat terjadi karenainfeksi virus, obat ototoxic, dan biasa terpapar bising yang lama, dapat pula terjadi kongenital. Istilah retrokoklea digunakan untuk sistem pendengaran sesudah koklea, tetapi tidak termasuk korteks serebri (pusat pendengaran), maka yang termasuk adalah N.VIII dan batang otak. 17 Berdasarkan hasil audiometrik saja tidak dapat membedakan jenis tuli koklea atau retrokoklea. Maka perlu dilakukan pemeriksaan khusus. Pada ketulian Meniere, pendengaran terutama berkurang pada frekuensi tinggi. Tuli sensorineural karena presbikusis dan tuli suara keras biasanya terjadi pada nada dengan frekuensi tinggi.7 Apabila tingkat konduksi udara normal, hantaran tulang harusnya normal pula. Bila konduksi udara dan konduksi tulang keduaduannya abnormal dan pada level yang
31

sama, maka pastilahnya masalah terletak pada koklea atau N. VIII, sedangkan telinga tengah normal.5,17

Gambar 7. Audiogram tuli sensorineural 17

4. Tuli Campuran Kemungkinan tarjadinya kerusakan koklea disertai sumbatan serumen yang padat dapat terjadi. Level konduksi tulang menunjukkan gangguan fungsi koklea ditambah dengan penurunan pendengaran karena sumbatan konduksi udara mengambarkan tingkat ketulian yang disebabkan oleh komponen konduktif.2 Perbedaan anatara level hantaran udara dan tulang dikenal sebagai jarak udara- tulang atau air-bone gap. Jarak udara-tulang merupakan suatu ukuran dari komponen konduktif dari suatu gangguan pendengaran. Level hantaran udara menunjukkan tingkat patologi koklea, kadang disebut sebagai cochlear reserve atau cabang koklea.5

32

Gambar 8. Audiogram tuli campuran17

KESIMPULAN Gangguan pendengaran pada anak perlu dideteksi seawal mungkin mengingat pentingnya peranan fungsi pendengaran dalam proses perkembangan bicara. Identifikasi gangguan pendengaran pada anak secara awal dengan cara pengamatan reaksi anak terhadap suara atau tes fungsi pendengaran dengan metode dan peralatan yang sederhana, perlu difahami oleh semua profesi di bidang kesehatan yang banyak menghadapi bayi dan anak. Penilaian fungsi pendengaran pada anak-anak memerlukan pemahaman, latihan dan pengalaman klinis yang cukup luas. Hasil pemeriksaan berdasarkan pengamatan tingkah laku anak terhadap stimulus suara sangat dipengaruhi oleh keterbatasan perkembangan dan kematangan bayi/ anak. Dengan demikian pemilihan jenis tes BOA perlu disesuaikan dengan situasi dan kondisi masing-masing anak secara individu Saat ini sudah banyak metode untuk menilai fungsi pendengaran anak baik secara subyektif maupun obyektif Tes pendengaran secara obyektif dibidang audiologi dengan peralatan elektrofisiologik saat ini sudah banyak dikembangkan di beberapa Rumah Sakit dan klinik seperti ABR yang sangat berharga dalam diagnostik fungsi pendengaran . Keuntungan pemeriksaan- pemeriksaan tersebut tidak tergantung usia , sehingga masalah gangguan pendengaran dapat dideteksi secara dini. Tes pendengaran
33

pada anak tidak bisa ditunda hanya dengan alasan usia anak belum memungkinkan untuk dilakukan tes pendengaran. Yang perlu dipertimbangkan adalah penilaian fungsi pendengaran pada anakanak merupakan proses yang dilakukan secara berkelanjutan dan harus dipandang sebagai bagian yang integral dalam menangani gangguan pendengaran pada anak .

34

DAFTAR PUSTAKA

1. American academy of audiology. Childhood hearing screening guidelines. [online]url:http://www.cdc.gov/ncbddd/hearingloss/documents/aaa_childhoodhearing-guidelines_2011.pdf [diakses tanggal 16 juli 2013]. 2. Hendarmin H, Suwento R. Gangguan pendengaran pada bayi dan anak. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, edisi keenam. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007. 32-36. 3. Bashiruddin J, et al. Gangguan pendengaran genetik. Dalam : Jurnal Otolaringology Vol.36 No.3, Juli-September 2006 4. Feldman M.H. Children Evaluation and Management of Language and Speech Disorders in Preschool. In : pediatrics in review. Vol 26. American academy of pediatrics.page 131-142. 5. Soepardi, Efiaty Arsyad et al. Gangguan Pendengaran dan Kelainan Telinga. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala Leher. Jakarta. Balai Penerbit FKUI; 2008; 10-22. 6. Moller, Aage R. Hearing : Anatomy, Physiology, and Disorders of The Auditory System. 2nd ed. United States of America: Elsevier. 2006. 7. Dhingra PL. Assesment of Hearing. In: Disease of Ear, Nose and Throat.4th Edition. New Delhi: Elsevier; 2007. Page 22-29 8. Sherwood, Lauralee. Fisiologi manusia dari sel ke sel. Edisi 2. EGC: Virginia; 2001. Hal.176-189 9. Feldman AS, Grimes CT. Audiologi. Dalam: Ballenger JJ. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi 13. Jilid 2. Jakarta: Binarupa Aksara; 1997. Hal.273-303. 10. Lassman AS, Grimes CT. Audiologi. Dalam: BOIES. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC; 1997. Hal. 46-73. 11. Lalwani AK. In Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology - Head and Neck Surgery. 2nd Edition. McGraw-Hill; 2008. Page 595-600. 12. Mansjoer, Arif, Kuspuji T, Rakhmi S, Wahyu I, Wiwiek. Kapita Selekta. Edisi III Jilid 1. Jakarta : Media Aesculapius 3. 2001. Hal. 85-87
35

13. Workshop proceedings. National workshop on mild and unilateral hearing loss.[online] url: www.cdc.gov/ncbddd/ehdi [diakses tanggal 16 juli 2013] 14. California Ear Institute. Auditory Steady State Response (ASSR).

http://www.californiaearinstitute.com/audiology-services-assr-bay-area-ca.php [diakses tanggal 4 juli 2013.] 15. Sowita Hearing Center. Audiometri Nada Murni.

http://pedulipendengaran.com/index.php/aunm [diakses tanggal 4 juli 2013.] 16. Hidayat, B. Hubungan Antara Gambaran Timpanometri dengan Letak dan Stadium Tumor pada Penderita Karsinoma Nasofaring di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan [online] 2009 [cited 2010 November 4th]. Available from URL:

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6424/1/09E01722.pdf 17. Kutz, Joe Walter ; Meyers, Arlend ; Bauer, Carol A, et al. Audiology Pure-Tone Testing. [cited on 22th Mei 2012]. Available from: http://www.emedicine.medscape.com/article/1822962-overview 18. Bhattacharyya, Neil,Auditory Brainstem Response Audiometry , dikutp darisitus: http://emedicine.medscape.com, 2008 19. Emcap. Newborn Hearing Screening with Brainstem Auditory Evoked Potentials. Available at http://emcap.iua.upf.edu/babylab.html 20. P,Minary.,S.Blatrix. Audiometry. Available at http://www.neuroreille.com/ promenade/english/audiometry/ex_ptw/fexplo_ptw.htm 21. Ajnr. 2012. Progressive Calvarial and Upper Cervical Pneumatization Associated with Habitual Valsalva Maneuver in a 70 Year Old Man. [ Di akses pada tanggal 13 juli 2012]; Available from http://www.ajnr.org/content/25/3/491/F3.expansion.html 22. Tiffany. OtoAcoustic Emission (OAE). 2010 [Diakses pada tanggal 4 Juli 2012]; Available from:
http://audiologiku.wordpress.com/2010/10/17/otoacoustic-emissionoae/

23.

36

37

38

39

Anda mungkin juga menyukai