DAFTAR ISI.............................................................................1
BAB I...................................................................................... 3
PENDAHULUAN.......................................................................3
BAB II..................................................................................... 4
INFEKSI PRIMER AIDS..............................................................4
2.1 EPIDEMIOLOGI.........................................................................4
2.2 INFEKSI VIRUS HIV...................................................................4
2.3 KELAINAN NEUROLOGI PADA INFEKSI HIV..................................7
2.4 PENATALAKSANAAN HIV/AIDS..................................................9
BAB III.................................................................................. 10
INFEKSI SEKUNDER PADA PASIEN AIDS...................................10
3.1 INFEKSI VIRAL SEKUNDER ......................................................12
3.1.1 ENSEFALITIS SITOMEGALOVIRUS.......................................................12
3.1.2 Rabies................................................................................................ 13
3.1.3 LEUKOENSEFALITIS MULTIFOKAL PROGRESIF....................................15
3.2 INFEKSI NON VIRAL SEKUNDER...............................................17
3.2.1 ENSEFALITIS TOKSOPLASMA (TOKSOPLASMOSIS OTAK)....................17
3.2.2 MENINGITIS KRIPTOKOKUS................................................................18
3.2.2.1 Etiologi........................................................................................... 18
3.3. DIAGNOSIS BANDING INFEKSI OPORTUNISTIK SSP PADA PASIEN
AIDS..................................................................................................20
BAB IV.................................................................................. 22
KESIMPULAN......................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA.................................................................23
BAB I
PENDAHULUAN
Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan
banyak negara di seluruh dunia. Saat ini tidak ada Negara yang terbebas dari
HIV/AIDS. HIV/AIDS menyebabkan krisis dalam berbagai krisis secara bersamaan,
menyebabkan krisis kesehatan, krisis pembangunan negara, krisis ekonomi,
pendidikan dan juga krisis kemanusiaan.
Infeksi HIV pada manusia dianggap sebagai pandemi oleh World Health
Organization (WHO). Dari penemuan pada tahun 1981 sampai 2006, AIDS telah
membunuh lebih dari 25 juta orang. HIV menginfeksi sekitar 0,6% dari populasi
dunia. Pada tahun 2005 saja, penderita AIDS lebih dari 570.000 adalah anak-anak.
Dengan pertumbuhannya yang semakin pesat, perlu untuk kita mengetahui apa
saja komplikasi neurologis yang dapat terjadi.
Dampak AIDS terhadap sel saraf yaitu dimana virus tampaknya tidak
menyerang sel saraf secara langsung tetapi membahayakan fungsi dan kesehatan
sel saraf. Peradangan yang diakibatkan dapat merusak otak dan saraf tulang
belakang. Penelitian menunjukkan bahwa infeksi HIV secara bermakna dapat
mengubah struktur otak tertentu yang terlibat dalam proses belajar dan
pengelolaan informasi.
HIV mungkin juga secara langsung menginfeksi sel-sel saraf, menyebabkan
kerusakan neurologis. 31-60% pasien AIDS memiliki kelainan neurologis. Kelainan
ini mengenai SSP dan sedikit ke sistem saraf tepi. Infeksi yang mengenai SSP pada
AIDS ada dua jenis yaitu infeksi opportunis sekunder atas imunosupresi yang
diinduksi oleh hilangnya imunitas sel-T, dan infeksi HIV langsung yang tampil
sebagai meningitis atau kompleks dementia AIDS, manifestasi ensefalitis HIV yang
secara klinis dan biologis berjangkauan luas.
Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh pada
penderita HIV/AIDS, akibatnya mudah terkena penyakit-penyakit lain seperti
penyakit infeksi disebabkan oleh virus, bakteri, protozoa dan jamur dan juga mudah
terkena penyakit keganasan.
Dalam referat ini, akan dibahas secara singkat mengenai beberapa jenis infeksi
oportunistik susunan saraf pusat pada pasien AIDS yang disebabkan oleh patogen
viral : ensefalitis sitomegalovirus dan leukoensefalopati multifokal progresif, serta
yang disebabkan oleh patogen non-viral : ensefalitis toksoplasma dan meningitis
kriptokokus.
BAB II
INFEKSI PRIMER AIDS
2.1 EPIDEMIOLOGI
Aquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) pertama kali diidentifikasi pada
tahun 1981, dan Human Immunodeficiency Virus (HIV) telah diketahui sebagai
penyebab pada tahun 1984. Desember 2002, WHO (World Health Organization)
memperkirakan sebanyak 42 juta penduduk mengidap HIV. Dari penemuan pada
tahun 1981 sampai 2006, AIDS telah membunuh lebih dari 25 juta orang. HIV
menginfeksi sekitar 0,6% dari populasi dunia.
Di Indonesia, kasus pertama HIV/AIDS ditemukan pada tahun 1987. Hingga
Maret 2010 tercatat terjadi 20.564 kasus AIDS dengan 3.936 orang korban
meninggal dunia. Jumlah tersebut semakin bertambah seiring dengan banyaknya
faktor dan sarana penularan HIV/AIDS yaitu penggunaan narkotika jenis suntik
(Injection Drug User/IUD).
Infeksi HIV primer dapat bersifat asimptomatik, atau pada 50-70% penderita
muncul dalam bentuk akut, self-limiting mononucleosis-like illness dengan demam,
nyeri kepala, mialgia, malaise, lethargi, sakit tenggorokan, limfadenopati, dan bintik
makulopapular. Infeksi akut ditandai dengan viremia, dijumpai angka replikasi virus
yang tinggi, mudahnya isolasi virus dari limfosit darah perifer dan level serum
antigen virus yang tinggi.
AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) didefinisikan sebagai suatu
sindrome atau kumpulan gejala penyakit dengan karakteristik defisiensi imun yang
berat, dan merupakan manifestasi stadium akhir infeksi HIV.
(b)
HIV merupakan virus yang bersifat imunotropik dan neurotropik yang berarti
organ targetnya selain sel imun juga menyerang sistem saraf. HIV melewati sawar
darah otak melalui aksis makrofag-monosit. Mekanisme yang memungkinkan
mencakup transport intraseluler melewati blood-brain barrier dalam makrofag yang
terinfeksi, penempatan virus bebas pada leptomeningens, atau virus bebas setelah
replikasi dalam pleksus khoroideus atau epithelium vaskular.
Infeksi virus herpes sering terlihat pada pasien AIDS. Pada orang yang terpajan
dengan herpes zoster, virus dapat tidur di jaringan saraf selama bertahun-tahun
hingga muncul kembali sebagai ruam. Reaktivasi ini umum pada orang yang AIDS
karena sistem kekebalannya melemah.
Neurosifilis, akibat infeksi sifilis yang tidak diobati secara tepat, tampak lebih
sering dan lebih cepat berkembang pada orang terinfeksi HIV. Neurosifilis dapat
menyebabkan degenerasi secara perlahan pada sel saraf dan serat saraf yang
membawa informasi sensori ke otak
Seperti halnya penyakit infeksi yang lainnya, tuberkulosis pada penyakit
AIDS juga infeksius ada individu sehat. Gejala klinisnya bervariasi tergantung pada
tahap penyakit HIV-nya. Pada stadium awal, dimana relatif ada kekebalan dalam sel
(cell mediated immunity), maka penyakit tuberkulosisnya akan menunjukkan
gambaran penyakit primer klasik seperti pada orang dewasa yakni dengan adanya
infiltrat di lobus atas dan adanya kavitasi; dimana tes tuberkulin biasanya akan
positif. Bila penyakit HIV-nya melanjut maka cell mediated immunity akan rusak
disertai
gejala
non
spesifik,
yaitu
demam,
turunnya
berat
badan
dan fatigue (kelelahan), dengan atau tanpa adanya gejala batuk.
BAB III
INFEKSI SEKUNDER PADA PASIEN AIDS
CD4 adalah sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel-sel
darah putih manusia, terutama sel-sel limfosit. Sel ini berfungsi dalam memerangi
infeksi yang masuk ke dalam tubuh. Pada orang dengan sistem kekebalan yang
baik, jumlah CD4 berkisar antara 1400-1500 sel/L. Pada penderita HIV/AIDS jumlah
CD4 akan menurun dan dapat menyebabkan terjadinya infeksi oportunistik.
Umumnya muncul jika dijumpai keadaan immunodefisiensi berat (jumlah limfosit
CD4 < 200 sel/mm3).
Hubungan infeksi oportunistik dan jumlah sel CD4 pada penderita HIV (secara
Infeksi Oportunistik SSP Pada Pasien AIDS | 10
JUMLAH SEL
CD4
200-500/mcl
100-200/mcl
50-100/mcl
umum) :
PATOGEN
S.pneumoniae,
H.influenzae
M.tuberculosis
C.albicans
HSV 1 dan 2
Community-Aquired
Pneumonia(CAP)
TB paru
Sariawan, candida vagina
Herpes
orolabial,
genital,
perirectal
Ruam pada saraf
Oral hairy leukoplakia
Sarkoma Kaposi
Virus Varicela-Zoster
Virus Epstein-Barr
Human Hervesvirus 8
Semua
di
atas,
ditambah :
P.carinii
Pneumonia
C.parvum
Diare kronik
Semua
di
ditambah :
T.gondii
C.albocans
C.neoformans
H.capsulatum
Microsporidia
M.tuberculosis
atas,
R.equi
HSV 1 dan 2
Virus Varicella-Zoster
Virus Epstein-Barr
<50/mcl
MANIFESTASI
Semua
di
ditambah :
M.avium complex
Cytomegalovirus
Ensefalitis
Ensefalitis
Meningitis
Penyakit diseminata
Diare kronik
TB diseminata/
Ekstrapulmoner
Pneumonia
HSV diseminata
VZV diseminata
Limfoma primer SSP
atas,
MAC diseminata
Retinitis, diare, ensefalitis
Infeksi oportunistik pada SSP muncul secara tidak langsung sebagai akibat dari
proses immunosupresi konkomitan berupa infeksi opportunistik dan neoplasma.
Dapat dibedakan menjadi
Patogen viral
Ensefalitis sitomegalovirus
Leukoensefalopati multifokal progresif
Infeksi Oportunistik SSP Pada Pasien AIDS | 11
Patogen non-viral
Ensefalitis toksoplasmas
Meningitis kriptokokus
3.1.1.3 Diagnosis
Pemeriksaan tambahan yang diperlukan untuk membantu menegakkan
diagnosis ensefalitis CMV :
1. Pungsi Lumbal dan pemeriksaan cairan serebrospinal
Hasil pemeriksaan cairan menunjukkan cairan yang jernih, tekanannya tinggi,
banyak mengandung sel darah putih dan protein, kadar gulanya normal.
2. Elektroensefalografi (EEG)
Hasil EEG yang abnormal, kemungkinan adalah suatu ensefalitis, tetapi hasil
EEG yang normal tidak bisa menyingkirkan diagnosis ensefalitis.
Infeksi Oportunistik SSP Pada Pasien AIDS | 12
3.1.1.4 Penatalaksanaan
Pengobatan ensefalitis sitomegalovirus pada pasien dengan AIDS
membutuhkan obat khusus terhadap CMV dan pemulihan fungsi kekebalan melalui
penggunaan terapi anti retroviral (ART). Untuk virus CMV nya dapat diberikan
asiklovir (5mg/kgBB 2 kali sehari parenteral selama 14-21 hari, selanjutnya
5mg/kgBB sekali sehari dianjurkan sampai CD4>100 sel/ml). Sedangkan
pengobatan kausatif dapat diberikan diazepam 10-20 mg iv untuk mengatasi
kejang, dan dapat pula diberikan manitol 20% untuk anti udem serebri.
3.1.2 Rabies
Rabies atau penyakit anjing gila adalah penyakit zoonosis yang ditularkan
Infeksi Oportunistik SSP Pada Pasien AIDS | 13
3.1.2.1 Etiologi
Rabies merupakan penyakit infeksi pada system saraf pusat yang disebabkan
oleh virus RNA yang tergolong dalam family Rhabdoviridae. Virus rabies bersifat
sangat neurotropic. Virus akan memperbanyak diri dan menyebar melalui sel saraf
motoric dan sensorik. Di saraf pusat virus akan menyebar dan bertanggung jawab
pada infeksi di kelenjar ludah, kornea, kulit, jantung, pancreas, medulla adrenalis
dan organ lain yang menimbulkan infiltrate dan nekrosis seluler.
Stadium Prodromal
Gejala awal berupa demam, malaise, mual, dan rasa nyeri di
tenggorokan selama beberapa hari
Stadium sensoris
Nyeri dan rasa panas di sertai kesemutan pada tempat bekas luka.
Disusul dengan gejala cemas dan reaksi berlebihan terhadap rangsang
sensorik.
Stadium eksitasi
Tonus otot dan aktibitas simpatis menjadi meninngi dengan gejala
hyperhidrosis, hipersalivasi,hiperlakrimasi dan pupil dilatasi. Pada stadium ini
penyakit mencapai puncaknya yang sangat khas pada stadium ini adalah
munculnya macam-macam fobi seperti contohnya hidrofobi.
Stadium Paralysis
Sebagian besar penderita meninggal pada stadium eksitasi. Kadang
ditemukan juga kasus tanpa gejala eksitasi, melainkan paresis otot yang
bersifat progresif.
3.1.2.4 Penatalaksanaan
Terapi setelah terpapar virus rabies dapat dilakukan dengan memberikan
Infeksi Oportunistik SSP Pada Pasien AIDS | 14
vaksin antirabies (VAR) saja atau dengan serum antirabies (SAR). VAR diberikan bila
ada gigitan dengan luka yang tidak berbahaya (jilatan,eskoriasi,lecet) disekitar
tangan atau kaki. VAR dan SAR diberikan jika luka berbahaya (luka pada muka,
kepala, bahu).
3.1.3.1
Etiologi
3.1.3.2.
3.1.3.4.
Penatalaksanaan
3.2.1.3 Diagnosis
Pemeriksaan Serologi
Didapatkan seropositif dari anti-T.gondii IgG dan IgM. Deteksi juga dapat
dilakukan dengan indirect fluorescent antibody (IFA), aglutinasi, atau enzyme
linked immunosorbent assay (ELISA). Titer IgG mencapai puncak dalam 1-2
Infeksi Oportunistik SSP Pada Pasien AIDS | 17
3.2.1.4 Penatalaksanaan
Toksoplasmosis otak diobati dengan kombinasi pirimetamin dan sulfadiazin.
Kedua obat ini dapat melalui sawar-darah otak. Toxoplasma gondii membutuhkan
vitamin B untuk hidup. Pirimetamin menghambat pemerolehan vitamin B oleh
tokso. Sulfadiazin menghambat penggunaannya. Dosis normal obat ini adalah 5075mg pirimetamin dan 2-4g sulfadiazin per hari. Kedua obat ini mengganggu
ketersediaan vitamin B dan dapat mengakibatkan anemia. Orang dengan
toksoplasmosis biasanya memakai kalsium folinat (semacam vitamin B) untuk
mencegah anemia.
Kombinasi obat ini sangat efektif terhadap toksoplasmosis. Lebih dari 80%
orang menunjukkan kebaikan dalam 2-3 minggu. Orang yang pulih dari
toksoplasmosis seharusnya terus memakai obat antitokso dengan dosis rumatan
yang lebih rendah. Jelas bahwa orang yang mengalami toksoplasmosis sebaiknya
mulai terapi antiretroviral (ART) secepatnya. Bila CD4 naik menjadi di atas 200
selama lebih dari tiga bulan, terapi rumatan toksoplasmosis dapat dihentikan.
3.2.2.4 Penatalaksanaan
Meningitis kriptokokus diobati dengan obat antijamur. Beberapa klinisi
memakai flukonazol namun ada juga yang memilih kombinasi amfoterisin B dan
kapsul flusitosin. Amfoterisin B adalah yang paling manjur, tetapi obat ini dapat
merusak ginjal.
Walau jarang, meningitis kriptokokus tampaknya dapat kambuh atau menjadi
lebih berat bila terapi antiretroviral (ART) dimulai dengan jumlah CD4 yang rendah.
Hal ini disebabkan karena adanya pengembangan sindrom pemulihan kekebalan
(immune reconstruction inflammatory syndrome/IRIS). Hal ini karena obat anti-HIV
dapat memulihkan kemampuan sistem kekebalan untuk menanggapi infeksi dan
menghasilkan pemberantasan bakteri secara cepat. ART sering ditunda hingga
terapi awal untuk mengobati infeksi sudah diselesaikan.
3.2.2.5 Pencegahan
Memakai flukonazol waktu jumlah CD4 di bawah 50 dapat membantu mencegah
meningitis kriptokokus. Tetapi ada beberapa alasan sebagian besar dokter tidak
Infeksi Oportunistik SSP Pada Pasien AIDS | 19
meresepkannya:
Sebagian besar infeksi jamur mudah diobati
Flukonazol adalah obat yang sangat mahal
Memakai flukonazol jangka panjang dapat menyebabkan infeksi jamur ragi
(seperti kandidiasis mulut, vaginitis, atau infeksi kandida berat pada
tenggorokan) yang kebal (resistan) terhadap flukonazol. Infeksi yang resistan
ini hanya dapat diobati dengan amfoterisin B.
IMAGING
PEM.PENUNJANG LAIN
Infeksi Oportunistik SSP Pada Pasien AIDS | 20
Ensefalitis
Lesi massamultipel/kdg-kdg
IgG
serum
terhadap
toksoplasmos single
toksoplasmosis (+)
is, CD4<100 pada CT/MRI, biasanya pada
basal
ganglia,
ring
enhancement pada CT
Meningitis
Nonspesifik
LCS : tekanan tinggi, kadar glucosa
criptokokus,
rendah, protein,
antigen
CD4<100
kriptokokus (+) kultur (+)
Lainnya : antigen serum biasanya
juga (+)
Meningitis
Nonspesifik
(lesiLCS:
protein,
kadar
glucosa
Tuberkulosis massa jarang)
rendah, pleositosis, kultur acid-fast
dengan abnormalitas padabacteria (+) sediaan hapus selalu
CXR
(-)
Sifilis
Nonspesifik
LCS: protein dan WBC,VDRL(+)
Ensefalitis
edema, focal haemorrhage
LCS: limfositik, pleositosis, protein,
HSV
biasanya pada lobus medialPCR HSV
temporal/inferior frontal
Ensefalopati Normal pada awalnya,
LCS: Nonspesifik
HIV,
atrofi
difus,
patchy/diffuseLainnya: beta-2 mikroglobulin LCS,
CD4<200
white matter changes on T2-HIV RNA tinggi pada semua kasus
weighted MRI pd stadium
lanjut
PML,CD4<10 Single/multiple
focal/diffuseLCS: PCR untuk virus JC DNA
0
white matter lesions
tanpa ring enhancement
Limfoma
Single/multiple
lesions pdBiopsi otak/LCS sitologi (+),
primer SSP, CT/MRI,
LCS PCR EBV (+)
CD4<100
ring enhancementpd CT
BAB IV
KESIMPULAN
Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan
banyak negara di seluruh dunia. Infeksi HIV pada manusia dianggap sebagai
pandemi oleh World Health Organization (WHO). Dari penemuan pada tahun 1981
sampai 2006, AIDS telah membunuh lebih dari 25 juta orang. HIV menginfeksi
sekitar 0,6% dari populasi dunia. Pada tahun 2005 saja, penderita AIDS lebih dari
570.000 adalah anak-anak. Dengan pertumbuhannya yang semakin pesat, perlu
untuk kita mengetahui apa saja komplikasi neurologis yang dapat terjadi.
31-60% pasien AIDS memiliki kelainan neurologis. Kelainan ini mengenai SSP
dan sedikit ke sistem saraf tepi. Infeksi yang mengenai SSP pada AIDS ada dua jenis
yaitu infeksi opportunis sekunder atas imunosupresi yang diinduksi oleh hilangnya
imunitas sel-T, dan infeksi HIV langsung yang tampil sebagai meningitis atau
kompleks dementia AIDS, manifestasi ensefalitis HIV yang secara klinis dan biologis
berjangkauan luas.
Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh pada
penderita HIV/AIDS, akibatnya mudah terkena penyakit-penyakit lain seperti
penyakit infeksi disebabkan oleh virus, bakteri, protozoa dan jamur dan juga mudah
terkena penyakit keganasan.
Pengobatan untuk infeksi oportunistik bergantung pada penyakit infeksi yang
ditimbulkan. Pengobatan status kekebalan tubuh dengan menggunakan immune
restoring agents, diharapkan dapat memperbaiki fungsi sel limfosit, dan menambah
jumlah limfosit.
Penatalaksanaan HIV/AIDS bersifat menyeluruh terdiri dari pengobatan,
perawatan/rehabilitasi dan edukasi. Pengobatan pada pengidap HIV/penderita AIDS
ditujukan terhadap: virus HIV (obat ART), infeksi opportunistik, kanker sekunder,
status kekebalan tubuh, simptomatis dan suportif.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
Aru W. Sudoyo, dkk. HIV/AIDS di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
III. Edisi IV. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006
3.
Sindrome).
Patofisiologi
Konsep
Klinis
Proses-Proses
Patric Davey. Infeksi HIV dan AIDS. At a Glance Medicine. Jakarta: EMS. 2006
5.
6.
Gilroy J. Basic Neurology. Mc Graw-Hill. 3rd edition. New York. 2000 : 482-90.
7.
8.
9.
Howard L. Weiner, dkk. AIDS dan system saraf. Buku Saku Neurologi. Jakarta:
EGC. 2001
10. HIV
and
Hepatitis.
2008.
Di
unduh
dari
http://www.hivandhepatitis.com/recent/2008/09c.html
11. HIV insite. 2003. Di unduh dari http://hivinsite.ucsf.edu/InSite?page=kb-04-010
12. Yayasan
Spirita.2009.
Neuropati
Perifer.
Diunduh
dari
http://spiritia.or.id/hatip/pdf/h01331.pdf
13.