Anda di halaman 1dari 23

Rinitis atrofi (Ozaena) merupakan penyakit infeksi hidung yang kronis (rinitis kronis) dan ditandai oleh atrofi

mukosa dan tulang konka hidung. Rinitis atrofi (Ozaena) lebih banyak ditemukan pada wanita, usia 1-35 tahun (terbanyak usia pubertas). Juga lebih sering terdapat pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi lemah dan lingkungan yang buruk. Penyebab rinitis atrofi (Ozaena) belum diketahui sampai sekarang. Namun ada beberapa keadaan yang dianggap berhubungan dengan terjadinya rinitis atrofi (Ozaena), yaitu : Infeksi setempat.Paling banyak disebabkan oleh Klebsiella Ozaena. Selain golongan Klebsiella, kuman spesifik penyebab lainnya antara lain Stafilokokus, Streptokokus, dan Pseudomonas aeuruginosa. Defisiensi.Defisiensi Fe dan vitamin A. Infeksi sekunder.Sinusitis kronis. Kelainan hormon. Penyakit kolagen. Penyakit kolagen yang termasuk penyakit autoimun. Perubahan histopatologi dalam hidung pada rinitis atrofi (Ozaena), yaitu : Mukosa hidung. Berubah menjadi lebih tipis. Silia hidung. Silia akan menghilang. Epitel hidung. Terjadi perubahan metaplasia dari epitel torak bersilia menjadi epitel kubik atau epitel gepeng berlapis. Kelenjar hidung. Mengalami degenerasi, atrofi (bentuknya mengecil), atau jumlahnya berkurang.

Gejala klinik rinitis atrofi (Ozaena), antara lain : Napas. Napas berbau busuk. Ingus / sekret. Ingus / sekret kental. Kerak / krusta. Kerak / krusta berwarna hijau dan berbau busuk. Penciuman. Penciuman menurun. Hidung. Hidung rasa tersumbat. Kepala. Kepala rasa sakit. Pemeriksaan THT pada kasus rinitis atrofi (Ozaena) dapat kita temukan :

Rongga hidung. Rongga hidung sangat lapang. Konka hidung. Konka nasi media dan konka nasi inferior mengalami hipotrofi atau atrofi. Sekret. Sekret purulen dan berwarna hijau. Krusta. Berwarna hijau. Pemeriksaan penunjang pada kasus rinitis atrofi (Ozaena) yang dapat kita lakukan antara lain : Transiluminasi. Foto Rontgen. Foto sinus paranasalis. Pemeriksaan mikroorganisme. Uji resistensi kuman. Pemeriksaan darah tepi. Pemeriksaan Fe serum. Pemeriksaan histopatologi. Terapi rinitis atrofi (Ozaena) bertujuan untuk menghilangkan penyebab dan gejalanya. Ada 2 cara yang dapat kita lakukan untuk mengatasi rinitis atrofi (Ozaena), yaitu : Pengobatan konservatif. Meliputi pemberian antibiotik, obat cuci hidung, dan simptomatik. Operatif. Meliputi tindakan implantasi dan menutup. Pemberian antibiotik pada rinitis atrofi (Ozaena) sebaiknya menggunakan antibiotik spektrum luas dan menyesuaikannya dengan hasil uji resistensi kuman. Pemberian obat cuci hidung pada rinitis atrofi (Ozaena) bertujuan untuk menghilangkan bau busuk, dan membersihkan sekret & krusta. Bahan obat cuci hidung tersebut terdiri atas 3 pilihan, yaitu : Betadin. Larutan betadin 1 sdm dalam air hangat 100 cc. NaCl, NH4Cl, NaHCO3 aaa 9, & aqua 300 cc. Keempat larutan ini dicampur dan diambil 1 sdm lalu dicampur dalam 9 sdm air hangat. Larutan ini dihirup melalui hidung dan dikeluarkan dengan dihembuskan kuat-kuat atau dikeluarkan melalui mulut bila larutan masuk ke dalam nasofaring. Hal ini dilakukan 2 kali sehari. Larutan garam dapur yang hangat. Pemberian obat simptomatik pada rinitis atrofi (Ozaena) biasanya dengan pemberian preparat Fe. Tindakan operatif dengan implantasi untuk menyempitkan rongga hidung. Tindakan menutup lubang hidung dilakukan pada nares anterior. Penutupan pada koana menggunakan palatal flap. Penutupan ini berguna untuk mengistirahatkan mukosa hidung. Hal ini dilakukan selama 2

tahun. Daftar Pustaka Endang Mangunkusumo & Nusjirwan Rifki. Rinorea, Infeksi Hidung dan Sinus dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5. dr. H. Efiaty Arsyad Soepardi, Sp.THT & Prof. dr. H. Nurbaiti Iskandar, Sp.THT (editor). Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006.

HIDUNG BERBAU (FOETOR EX NASI) 1. PENDAHULUAN Indera penghidu yang merupakan fungsi dari nervus olfaktorius, erat hubungannya dengan indera pengecap yang dilakukan oleh nervus trigeminus, karena keduanya bekerja bersama-sama. Stimulusnya berupa rangsangan kimiawi. Reseptor organ penghidu terdapat di regio olfaktorius di bagian hidung sepertiga atas. Serabut saraf olfaktorius berjalan melalui lubang-lubang pada lamina kribrosa os etmoid menuju ke bulbus olfaktorius di dasar fossa kranii posterior.1 Partikel bau dapat mencapai reseptor penghidu bila menarik nafas dengan kuat atau partikel tersebut larut dalam lendir yang selalu ada di permukaan mukosa daerah olfaktorius. Berdasarkan survei data di Amerika Serikat tahun 1994 sekitar 2,7 juta orang mempunyai masalah dengan penciuman, salah satu diantaranya adalah hidung berbau (foetor ex nasi). Foetor ex nasi berarti bau busuk dari dalam hidung. Dalam kepustakaan disebut sebagai offensive odor, fetid odor, stinkende afscheiding, a stench. Ini merupakan suatu gejala (simptom), bukan diagnosis. Sebagai simptom, foetor ex nasi sering disertai gejala hidung lainnya, misalnya hidung tersumbat, keluar cairan dari hidung, kadang disertai dengan darah. Penelitian yang dilakukan di RS dr. Kariadi Semarang tahun 1975-1976 tentang jenis penyakit yang paling banyak menimbulkan gejala foetor ex nasi di poliklinik Telinga Hidung Tenggorok adalah korpus alienum dan sinusitis.1,2,3 Dalam kenyataannya, masih sering dijumpai penderita datang ke dokter dengan keluhan hidung berbau, yang penting diperhatikan adalah bagaimana menentukan diagnosis secara praktis, apalagi bagi seorang dokter yang tidak mempunyai alat yang lengkap untuk memeriksa keadaan dalam hidung. Untuk keperluan ini maka penulis tertarik untuk menulis referat tentang Hidung Berbau (foetor ex nasi) bagaimana patogenesis, anamnesis, cara pemeriksaan secara klinis yang sederhana dan pedoman diagnostik berdasarkan diagnosis banding dari kelainan atau beberapa penyakit yang dapat memberikan gejala foetor ex nasi. 2. ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG 2.1 Hidung Luar Hidung luar berbentuk piramida dengan bagian-bagiannya yaitu pangkal hidung (bridge), dorsum nasi, puncak hidung, ala nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan dan menyempitkan lubang hidung. Rangka hidung bagian luar terdiri dari dua os nasal, prosesus frontal os maksila, kartilago lateralis superior, sepasang kartilago lateralis inferior (kartilago ala mayor) dan tepi ventral (anterior) kartilago septum nasi. Tepi medial kartilago lateralis superior menyatu dengan kartilago septum nasi dan tepi kranial melekat erat dengan permukaan bawah os nasal serta prosesus frontal os maksila.4,5

Gambar 1. Anatomi Hidung Luar (dikutip dari: kepustakaan 5) Pada tulang tengkorak, lubang hidung yang berbentuk segitiga disebut apertura piriformis. Tepi laterosuperior dibentuk oleh kedua os nasal dan prosesus frontal os maksila. Dasarnya dibentuk oleh prosesus alveolaris maksila. Di garis tengah ada penonjolan (prominentia) yang disebut spina nasalis anterior.4

2.2 Hidung Dalam Struktur hidung dalam membentang dari os internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dengan nasofaring. Septum nasi merupakan struktur tulang di garis tengah, secara anatomi membagi organ menjadi dua hidung. Pada dinding lateral hidung terdapat konka dengan rongga udara yaitu meatus superior, media dan inferior.5,6 Ujung-ujung saraf olfaktorius menempati daerah kecil pada bagian medial dan lateral dinding hidung dalam dan ke atas hingga kubah hidung. Deformitas struktur demikian pula penebalan atau edema mukosa berlebihan dapat mencegah aliran udara untuk mencapai daerah olfaktorius dan dengan demikian dapat mengganggu penciuman.6 Gambar 2. Anatomi hidung dan cavum nasi (dikutip dari: kepustakaan 5) 2.3 Fisiologi Hidung Fungsi hidung antara lain untuk jalan nafas, alat pengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, indera penghidu, resonansi suara, membantu proses bicara dan reflek nasal.4,7,8 a. Sebagai jalan nafas Saat inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media kemudian turun kearah nasofaring, sehingga udara berbentuk lengkungan atau arkus. Saat ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti saat inspirasi, di bagian depan aliran udara memecah sebagian melalui nares anterior dan sebagian lagi ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran udara nasofaring.8 b. Pengatur kondisi udara Fungsi ini dilakukan dengan cara mengatur kelembaban udara dan mengatur suhu. c. Sebagai penyaring dan pelindung Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan dilakukan oleh rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, palut lendir dan enzim yang dapat menghancurkan beberapa bakteri yang disebut lisozim.8 d. Indera penghidu Hidung bekerja sebagai indera penghidu karena adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum nasi. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan kuat.4,7 Epitel olfaktorius adalah epitel berlapis semu berwarna kecoklatan dan terdiri dari tiga macam sel-sel saraf yaitu sel penunjang, sel basal dan sel olfaktorius. Lamina propia di daerah olfaktorius mengandung kelenjar olfaktorius Bowman. Sel penunjang dan kelenjar Bowman (Graziadei) yang menghasilkan mukus cair.4,7 Diantara sel-sel penunjang terdapat sel olfaktorius yang bipolar, sedangkan di bagian puncak sel terdapat dendrit yang telah berubah bentuk dan melanjutkan diri ke permukaan epitel, kemudian membentuk bulatan disebut vesikel olfaktorius. Menurut teori stereokimia untuk penghidu setiap bau dari ketujuh bau-bauan kimia atau dasar, indera penciuman mempunyai molekul yang ukuran dan bentuknya unik dan bersifat elektrofilik atau nukleofilik. Epitel olfaktorius diduga mempunyai reseptorreseptor yang bentuk dan dimensinya tertentu sehingga satu molekul bau yang spesifik membutuhkan

partikel reseptor tersendiri. Bau-bauan primer seperti bau-bauan eterial, kamper, musky, wangi bunga, bau permen, pedas dan busuk. Bau tambahan termasuk bau amandel, merupakan kombinasi yang ditimbulkan oleh pertautan molekul-molekul dengan dua atau lebih reseptor primer.4 Teori lain berpendapat bahwa kualitas molekul yang dianggap sebagai bau adalah interaksi antara vibrasi dengan organ reseptor. Kemungkinan besar, permulaan perjalanan impuls pada nervus olfaktorius adalah rangsangan pada batang olfaktorius atau silia, mungkin oleh larutan partikel baubauan dalam lendir. Pada perangsangan sel reseptor, akan timbul perubahan potensial listrik yang menghasilkan penjalaran impuls ke bulbus olfaktorius untuk merangsang sel mitral. Bulbus olfaktorius mempunyai aktivitas listrik yang menetap dan terus-menerus.4 Ujung proksimal sel olfaktorius menipis sampai hanya berbentuk filamen setebal 1 mikrometer, yakni akson. Bersama-sama akson lainnya berkumpul membentuk gabungan 20 filamen disebut fila olfaktoria, yang berjalan melalui lubang pada lamina kribrosa dan memasuki bulbus olfaktorius di otak. Fila ini tidak bermielin.4 Di dalam bulbus olfaktorius akson dari nervus olfaktorius akan berhubungan dengan sel-sel mitral dan akson ini meninggalkan bulbus untuk membentuk traktus olfaktorius yang berjalan sepanjang dasar lobus frontalis untuk kemudian masuk ke korteks piriformis, komisura anterior, nukleus kaudatus, tuberkulus olfaktorius dan limbus anterior kapsula interna dengan hubungan sekunder.4

Gambar 3. Hubungan langsung dari mukosa olfaktorius ke bulbus olfaktorius di Central Nervus System. (dikutip dari: kepustakaan 4) e. Resonansi suara Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia).8 f. Proses bicara Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal (m, n, ng) rongga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.8 g. Refleks nasal Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh: iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks bersin dan nafas berhenti. Rangsangan bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.8

3. HIDUNG BERBAU (FOETOR EX NASI) 3.1 Definisi Hidung berbau (foetor ex nasi) berarti bau busuk dari dalam hidung. Dalam kepustakaan disebut sebagai offensive odor, fetid odor, stinkende afscheiding, a stench. Ini merupakan suatu gejala (simptom), bukan diagnosis. Sebagai simptom, foetor ex nasi sering disertai gejala hidung lainnya, misalnya hidung

tersumbat, keluar cairan dari hidung, yang kadang-kadang disertai dengan darah.3,9 3.2 Etiologi Ada beberapa penyakit yang memberikan gejala foetor ex nasi antara lain: 3 a. Korpus alienum b. Rinolit c. Difteri hidung d. Sinusitis e. Rinitis atrofi (Ozaena) f. Nasofaringitis kronis g. Rinitis kaseosa

3.3 Patogenesis Menurut BOIES adanya foetor dalam hidung berarti terjadinya nekrosis dari mukosa dan adanya organisme saprofit. Pus yang kronis dan berbau dalam sinus maksilaris mungkin juga berasal dari gigi. Menurut BOYD, nekrosis dapat disebabkan oleh: (1) berkurangnya aliran darah (blood supply), (2) toksin bakteri, dan (3) iritasi secara fisik maupun kimiawi. Dikatakan pula bahwa sel-sel yang mati akan mengalami pembusukan oleh organisme saprofit.3 Berdasar pendapat tersebut di atas, maka foetor ex nasi dapat disebabkan oleh:3 1. Pembusukan sel-sel mati (benda-benda organik) atau korpus alienum oleh kuman saprofit. 2. Pembusukan sel-sel jaringan yang nekrotis, sebagai akibat dari : a. Trauma, mengakibatkan kerusakan jaringan sampai matinya jaringan karena tidak mendapat suplai darah. Terjadilah nekrosis dan infeksi sekunder sehingga timbul foetor. b. Radang oleh iritasi fisik atau kimiawi. c. Toksin bakteri. d. Neoplasma maligna dengan bagian-bagian yang nekrotik. 3.4 Diagnosis Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti sangat membantu untuk menentukan diagnosis etiologi dari foetor ex nasi, karena banyak penyakit yang memberikan gejala foetor ex nasi. Meskipun hidung adalah organ pembau, apabila dalam rongga hidung terjadi bau busuk, bau ini mungkin tidak disadari oleh penderita. Apabila penderita dapat membau, kita beri tanda (+), dan bila tidak membau kita beri tanda (-), maka kemungkinan yang dapat terjadi pada pasien adalah: 3 1. Penderita sendiri (+), orang lain (+) 2. Penderita sendiri (+), orang lain (-) 3. Penderita sendiri (-), orang lain (+) Bila penderita sendiri tidak dapat membau, berarti ia mengalami anosmia. Bila orang lain tidak membau, berarti bau tersebut subjektif. Keluhan bau busuk dari hidung anak sering dikeluhkan oleh orang tua atau pengasuhnya. Gejala nasal discharge dengan foetor dapat bersifat unilateral atau bilateral. Hal ini perlu sekali ditanyakan dalam anamnesis oleh karena anamnesis yang teliti dan terarah akan sangat membantu kita dalam mencari kemungkinan diagnosis.3

Anamnesis perlu disesuaikan dengan pemeriksaan, salah satu pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah menentukan apakah discharge purulent atau sanguinous, dan apakah discharge sangat banyak (profuse). Berdasarkan adanya macam-macam kelainan/penyakit yang dapat menimbulkan gejala foetor, dapatlah disusun diagnosis banding sebagai berikut : 1. Korpus alienum 2. Rinolit 3. Difteri hidung 4. Sinusitis 5. Rinitis atrofi (Ozaena) 6. Nasofaringitis kronis 7. Rinitis kaseosa 8. Radang kronis spesifik : sifilis tertier, tuberkulosis 9. Neoplasma maligna 1. Korpus alienum Kebanyakan benda-benda kecil misalnya biji buah, manik-manik, kancing, karet penghapus, kelereng, kacang polong, batu dan kacang tanah. Kebanyakan ditemukan pada anak-anak dan biasanya unilateral. Bila benda tersebut belum lama dimasukkan, maka tidak atau hanya sedikit mengganggu, kecuali bila benda yang dimasukkan tajam atau sangat besar. Gejala yang muncul antara lain obstruksi yang bersifat unilateral dan sekret yang berbau. Benda asing umumnya ditemukan pada bagian anterior vestibulum atau pada meatus inferior sepanjang dasar hidung. Karena penderita kebanyakan adalah anak-anak, apakah penderita sendiri dapat membau atau tidak hal ini tidak jelas.3,6,10

Gambar 4. Korpus alienum pada hidung (dikutip dari: kepustakaan 10) 2. Rinolit Rinolit juga dianggap sebagai benda asing tipe khusus yang biasanya terdapat pada orang dewasa. Garam-garam tak larut dalam sekret hidung membentuk suatu masa berkapur sebesar benda asing yang tertahan lama atau bekuan darah. Warna sedikit abu-abu, agak coklat atau hitam kehijau-hijauan. Konsistensi dapat lunak sampai keras dan rapuh atau porus. Seperti halnya dengan korpus alienum, biasanya terdapat unilateral. Sekret sinus kronik dapat mengawali terbentuknya masa seperti itu di dalam hidung.3,6,10

Gambar 5. Rinolit (dikutip dari: kepustakaan 10) 3. Difteri hidung Ada 2 tipe difteri hidung yaitu: (1) primer: terbatas dalam hidung, bersifat benigna, 2%, (2) sekunder: berasal atau bersama-sama dengan difteri faring, bersifat maligna karena biasanya disertai gejala konstitusional. Discharge biasanya bilateral, sanguinous, sering disertai ekskoriasi vestibulum nasi. Berdasarkan adanya difteri hidung benigna dan maligna, maka jangan lupa memeriksa keadaan faring. Bila masih ragu, sebaiknya dilakukan pemeriksaan laboratorium terhadap sekret hidung dan tenggorok.3

4. Sinusitis Dapat terjadi pada anak-anak ataupun dewasa, dapat unilateral, atau bilateral. Pada anak-anak, discharge yang banyak sering disertai infeksi pada adenoid dan alergi hidung. Pada anak-anak gejala yang sering ditemukan ialah: nasal obstruction, persistent mucopurulent discharge, frequent colds. Berdasarkan adanya infeksi adenoid dan alergi hidung, maka pada anak-anak gejala discharge tentunya lebih sering bilateral. Pada anak-anak diragukan apakah penderita sendiri membau atau tidak, jadi penderita sendiri (), orang lain (+). Penderita dewasa sering menyadari adanya bau yang tidak enak dalam hidungnya, tetapi kadang-kadang hiposmia bila ada obstruksi dan bersifat temporer.3,9,10 Gambar 6. Sinusitis (dikutip dari: kepustakaan 10) 5. Ozaena Disebut juga rhinitis chronica atrophicans cum foetida. Karakteristiknya adalah adanya atropi mukosa dan jaringan pengikat submukosa struktur fossa nasalis, disertai adanya krusta yang berbau khas. Untuk kepentingan klinis perlu ditetapkan derajat ozaena sebelum diobati, yaitu ringan, sedang atau berat, karena derajat ozaena menentukan terapi dan prognosisnya. Biasanya diagnosis ozaena secara klinis tidak sulit. Adanya discharge yang berbau, bersifat bilateral, terdapat krusta kuning kehijau-hijauan. Penyakit ini lebih banyak menyerang wanita dari pada pria, terutama pada umur sekitar pubertas. Penderita sendiri mengalami anosmia, sedang orang lain tidak tahan baunya.3 6. Nasofaringitis kronis Di nasofaring terdapat jaringan limpoid, kadang-kadang adenoid, dimana banyak tinggal bakteribakteri didalam kripti. Bila ada infeksi virus maka bakteri tersebut menjadi virulen dan dapat meluas ke semua arah. Pada kebanyakan kasus penyakit ini bersifat self limiting, bila daya tahan tubuh baik penyakit segera sembuh. Tetapi dapat juga penyakit menjadi kronis dan discharge nasofaring menjadi purulen serta mulai timbul bau, hal ini mulai dirasakan oleh penderita sendiri. Penderita sering berusaha mengeluarkan discharge di nasofaring yang dirasakan sangat mengganggu. Discharge pada nasofaringitis kronis bersifat bilateral.3 7. Rinitis kaseosa Adalah perubahan kronis inflamatoar dalam hidung dengan adanya pembentukan jaringan granulasi dan akumulasi massa seperti keju yang menyerupai kolesteatoma. Ada banyak teori tentang etiologi penyakit ini, diantaranya bahwa penyakit ini adalah akibat radang kronis dan nasal stenosis sekunder yang menyumbat nasal discharge. Oleh perubahan mekanis dan kimiawi dan deskuamasi mukosa secara terus-menerus, terjadilah penumpukan massa seperti keju yang menyerupai kolesteatoma. Kebanyakan bersifat unilateral, dapat terjadi pada segala umur, tetapi terbanyak antara 30-40 tahun. Karena kelainan ini adalah akibat sinusitis, penderita sendiri membau (+), orang lain (+).3 8. Radang kronis spesifik a. Sifilis tertier Berupa gumma yang sering mengenai septum bagian tulang, yaitu pada vomer dan sering mencapai palatum durum. Bila terjadi nekrosis yang mengenai tulang dan meluas ke kartilago septum terjadilah

perforasi septum. Foetor bersifat bilateral. Penyakit ini sekarang jarang dijumpai.3 b. Tuberkulosis Dalam hidung sebagai tuberkuloma yang banyak mengenai septum bagian kartilago. Untuk membedakan sifilis tertier dari tuberkulosis lebih baik dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan biopsi. Pada tuberkulosis perlu dilakukan foto rontgen toraks dan nasal swab. Pada tuberkulosis, bila tuberkuloma pada septum bagian kartilago mengalami nekrosis, dapat juga terjadi perforasi septum, foetor dapat dirasakan bilateral. Penyakit itu sekarang juga jarang dijumpai. 9. Neoplasma maligna Gejala yang menyolok ialah nasal obstruction yang bersifat unilateral dan nasal bleeding. Kadangkadang ulserasi awal dan nasal bleeding terlihat lebih dulu sebelum nasal obstruction, terutama pada tumor kavum nasi yang anaplastik. Diagnosis ditegakkan dengan biopsi yang diambil dari bagian yang tidak nekrotis. Perlu diagnosis sedini mungkin, maka bila ada kecurigaan kearah malignansi, biopsi perlu segera dilakukan.3

3.5 Pedoman Diagnostik Pada anak-anak 1. Korpus alienum: discharge unilateral. 2. Difteria hidung: discharge sanguinous bilateral. 3. Sinusitis: discharge profuse bilateral. 3 Dewasa 1. Sinusitis: discharge bilateral, penderita (+), orang lain (+) 2. Ozaena: discharge bilateral, Penderita (-), orang lain (+) 3. Nasofaringitis kronis: discharge postnasal bilateral, penderita (+), orang lain (-) 4. Rinitis kaseosa: discharge unilateral, penderita (+), orang lain (+) 5. Sifilis tertier: discharge bilateral, septum bagian tulang, penderita (+), orang lain (+) 6. Tuberkulosis: discharge bilateral, septum bagian kartilago, penderita (+), orang lain (+) 7. Neoplasma maligna: discharge uni/bilateral, penderita (+), orang lain (+). 8. Rinolit: discharge unilateral, penderita (+), orang lain (+).3 Pedoman diagnostik tersebut diatas akan mempermudah penentuan diagnosis secara klinis. Bila diagnosis masih meragukan dilakukan pemeriksaan khusus dan laboratorium. 3 3.6 Terapi Terapi yang diberikan tergantung dari diagnosis : a. Korpus alienum/ rinolit Terapinya ialah mengangkat korpus alienum atau rinolit. b. Nasal difteria Diberikan antibiotika, Anti Difteri Serum (ADS), dan salep antibiotika untuk mencegah dermatitis akibat nasal discharge.

c. Sinusitis dan rinitis kaseosa Prinsip terapi ialah membersihkan discharge, memperbaiki ventilasi dan drainase, pemberian antibiotika yang sesuai, dan bila tidak berhasil baru dilakukan operasi. d. Ozaena Terapi konservatif atau kombinasi dengan operatif. e. Nasofaringitis kronis Terapi ialah dengan mengisap discharge yang lengket di nasofaring, pemberian antibiotika dan obat tetes hidung. f. Sifilis tertier dan tuberkulosis Terapinya sesuai dengan terapi spesifik untuk sifiilis dan tuberkulosis pada umumnya. g. Neoplasma maligna Terapi operasi, radiasi atau kombinasi operasi dan radiasi. 3 3.7 Prognosis Prognosis untuk korpus alienum dan rinolit setelah pengangkatan korpus alienum dan rinolit pada umumnya baik. Prognosis untuk radang pada umumnya baik. Adanya bermacam-macam antibiotika dapat memperkecil insidens, komplikasi dan mortalitas.3 Khusus untuk ozaena, prognosis tergantung dari derajat ozaena sebelum diobati.3 Ozaena ringan, dengan terapi konservatif atau kombinasi konservatif dan operatif, prognosis baik, dapat sembuh 100%. Ozaena sedang, dengan terapi kombinasi konservatif dan operatif sekitar 75% - 83% berhasil baik, dapat residif. Ozaena berat, dengan terapi konservatif maupun operatif tidak berhasil, atau hasilnya 0%. Oleh sebab itu dianjurkan untuk tidak melakukan operasi pada ozaena berat.

2.4.8 Pencegahan Pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya foetor ex nasi adalah dengan: a. menjaga kebersihan b. mempertinggi daya tahan tubuh agar tidak mudah terkena infeksi c. mencegah terjadinya infeksi kronis 3

DAFTAR PUSTAKA 1. Mangunkusumo E. Gangguan Penghidu dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Soepardi EA, Iskandar N (ed). Jakarta: Balai Penerbit FKUI,2001;130. 2. Leopold DA. Disorder of Taste and Smell. http://www.emedicine.com. [diakses tanggal 14 Februari 2009]. 3. Soedarjatni. Foetor ex nasi. Maj Cermin Dunia Kedokt. 1977;21-24. 4. Ballenger JJ. Hidung dan Sinus Paranasal dalam: Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Jakarta: Binarupa Aksara,1994;1-2. 5. Encarta. Anatomy of The Nose. http://www.encarta.msn.com/Anatomy of The Nose.html. [diakses tanggal 19 Februari 2009]. 6. Hilger PA. Hidung: Anatomi dan Fisiologi Terapan dalam: Boeis Buku Ajar Penyakit THT. Adam, Boeis, Highler (eds). Jakarta: EGC.1997;174-176. 7. Dhingra PL. Disease of Ear, Nose and Throat. 4th ed. India: Elsevier. 2007;131. 8. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sumbatan Hidung dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Soepardi EA, Iskandar N (ed). Jakarta: Balai Penerbit FKUI,2001;88-94. 9. RS Dhillon, East CA. Ear Nose and Throat and Head and Neck Surgery. 2nd ed. London: Churchill Livingstone, 1999;32.

10. Ghorayeb BY. Otolaryngology Houston. http://www.ghorayeb.com. [diakses tanggal 19 Februari 2009].

PENDAHULUAN Rinitis atrofi merupakan suatu penyakit yang jarang secara umum ditemui pada masa sekarang ini. Meskipun kekerapannya sering dijumpai pada negara-negara berkembang, rinitis atropi juga cukup sering didapatkan sebagai suatu sekuele dari tindakan-tindakan medis.1 Rinitis atrofi merupakan istilah yang sering dipakai dalam dunia kedokteran. Rinitis atrofi juga dikenal sebagai suatu rinitis kering, rinitis sika atau ozaena. Penyakit ini dikenal dengan cirinya yang khas yaitu bau yang muncul dari rongga hidung.2 Foetor ex nasi berarti bau busuk dari dalam hidung. Gejala ini termasuk salah satu penyebab seorang pasien mencari pertolongan pada dokter. Namun, pada rinitis atrofi, foetor ex nasi tidak dirasakan oleh penderita sehingga perasaan tidak nyaman dirasakan oleh orang sekitarnya, bukannya oleh pasien. Terlebih lagi penyakit ini lebih sering menyerang perempuan, sehingga menimbulkan keluhan tersendiri bagi pasien. Rinitis atrofi mempunyai etiologi dan patogenesis yang sampai sekarang belum dapat diterangkan dengan memuaskan, sehingga pengobatannya belum ada yang baku. Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab dan untuk menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau jika tidak menolong dilakukan operasi.3 Oleh karena itu, pada makalah ini akan dibahas mengenai rinitis atrofi. RINITIS ATROFI DEFINISI Rinitis atrofi adalah penyakit hidung kronik yang ditandai atrofi progresif mukosa hidung dan tulang penunjangnya disertai pembentukan sekret yang kental dan tebal yang cepat mengering membentuk krusta, menyebabkan obstruksi hidung, anosmia, dan mengeluarkan bau busuk.4,5 Rinitis atrofi disebut juga rinitis sika, rinitis kering, sindrom hidung-terbuka, atau ozaena.1 INSIDENSI Rinitis atrofi merupakan penyakit yang umum di negara-negara berkembang. Penyakit ini muncul sebagai endemi di daerah subtropis dan daerah yang bersuhu panas seperti Asia Selatan, Afrika, Eropa Timur dan Mediterania. Pasien biasanya berasal dari kalangan ekonomi rendah dengan status higiene buruk. Rinitis atrofi kebanyakan terjadi pada wanita, angka kejadian wanita : pria adalah 3:1.2,4 Penyakit ini dikemukakan pertama kali oleh dr.Spencer Watson di London pada tahun 1875.1 Penyakit ini paling sering menyerang wanita usia 1 sampai 35 tahun, terutama pada usia pubertas dan hal ini dihubungkan dengan statusestrogen (faktor hormonal).5,6 KLASIFIKASI Rinitis atrofi berdasarkan gejala klinis diklasifikasikan oleh dr. Spencer Watson (1875) sebagai berikut:1

1. Rinitis atrofi ringan, ditandai dengan pembentukan krusta yang tebal dan mudah ditangani dengan irigasi. 2. Rinitis atrofi sedang, ditandai dengan anosmia dan rongga hidung yang berbau. 3. Rinitis atrofi berat, misalnya rinitis atrofi yang disebabkan oleh sifilis, ditandai oleh rongga hidung yang sangat berbau disertai destruksi tulang. Berdasarkan penyebabnya rinitis atrofi dibedakan atas:1 1. Rinitis atrofi primer, merupakan bentuk klasik rinitis atrofi yang didiagnosis pereksklusionam setelah riwayat bedah sinus, trauma hidung, atau radiasi disingkirkan. Penyebab primernya merupakan Klebsiella ozenae. 2. Rinitis atrofi sekunder, merupakan bentuk yang palng sering ditemukan di negara berkembang. Penyebab terbanyak adalah bedah sinus, selanjutnya radiasi, trauma, serta penyakit granuloma dan infeksi. ETIOLOGI Etiologi rinitis atrofi dibagi menjadi primer dan sekunder.1Rinitis atrofi primer adalah rinitis atrofi yang terjadi pada hidung tanpa kelainan sebelumnya, sedangkan rinitis atorfi sekunder merupakan komplikasi dari suatu tindakan atau penyakit.3,4 Rinitis atrofi primer adalah bentuk klasik dari rinitis atrofi dimana penyebab pastinya belum diketahui namun pada kebanyakan kasus ditemukan klebsiella ozaenae.1 Rinitis atrofi sekunder kebanyakan disebabkan oleh operasi sinus, radiasi, trauma, penyakit infeksi, dan penyakit granulomatosa atau. Operasi sinus merupakan penyebab 90% rinitis atrofi sekunder. Prosedur operasi yang diketahui berpengaruh adalah turbinektomi parsial dan total (80%), operasi sinus tanpa turbinektomi (10%), dan maksilektomi (6%). Penyakit granulomatosa yang mengakibatkan rinitis atrofi diantaranya penyakit sarkoid, lepra, dan rhinoskleroma. Penyebab infeksi termasuk tuberkulosis dan sifilis. Pada negara berkembang, infeksi hanya berperan sebanyak 1-2% sebagai penyebab rinitis atrofi sekunder. Meskipun infeksi bukan faktor kausatif pada rinitis atrofi sekunder, namun sering ditemukan superinfeksi dan hal ini menjadi penyebab terbentuknya krusta, sekret, dan bau busuk. Terapi radiasi pada hidung dan sinus hanya menjadi penyebab pada 2-3% kasus, sedangkan trauma hidung sebanyak 1%.1 Selain faktor diatas, beberapa keadaan dibawah ini juga diduga sebagai penyebab rinitis atrofi: 1,3 ,5 1) Infeksi kronik spesifik oleh kuman lain Yakni infeksi oleh Stafilokokus, Streptokokus danPseudomonas aeruginosa, Kokobasilus, Bacillus mucosus, Diphteroid bacilli, Cocobacillus foetidus ozaena. Telahdilaporkan terjadinya rinitis atrofi pada seorang anak 7 tahun dari satu keluarga setelah anak dari tetangga keluarga tersebut yang diketahui menderita rinitis atrofi menginap bersamanya. 2) Defisiensi besi dan vitamin A

Dilaporkan terjadi perbaikan pada 50% pasien yang mendapat terapi besi dan pada 84% pasien yang diterapi dengan vitamin A mengalami perbaikan simptomatis. Adanya hiperkolesterolemia pada 50% pasien rinitis atrofi menunjukkan peran diet pada penyakit ini. 3) Perkembangan Dilaporkan adanya pengurangan diameter anteropsterior hidung dan aliran udara maksiler yang buruk pada penderita rinitis atrofi. 4) Lingkungan Dilaporkan telah terjadi rinitis atrofi pada pasien yang terpapar fosforit dan apatida. 5) Sinusitis kronik 6) Ketidakseimbangan hormon estrogen Dilaporkan adanya perburukan penyakit saat hamil atau menstruasi. 7) Penyakit kolagen yang termasuk penyakit autoimun 8) Teori mekanik dari Zaufal 9) Ketidakseimbangan otonom 10) Variasi dari Reflex Sympathetic Dystrophy Syndrome (RSDS) 11) Herediter Dilaporkan adanya rinitis atrofi yang diturunkan secara dominan autosom pada sebuah keluarga dimana ayah serta 8 dari 15 anaknya menderita penyakit ini. 12) Supurasi di hidung dan sinus paranasal 13) Golongan darah PATOGENESIS Analisis terhadap mukosa hidung menemukan hal yang sama baik pada rinitis atrofi primer maupun sekunder. Mukosa hidung yang normal terdiri atas epitel pseudostratifikatum kolumnar, dan glandula mukosa dan serosa. Pada rinitis atrofi, lapisan epitel mengalami metaplasia squamosa dan kehilangan silia. Hal ini mengakibatkan hilangnya kemampuan pembersihan hidung dan kemampuan membersihkan debris. Glandula mukosa mengalami atrofi yang parah atau menghilang sama sekali sehingga terjadi kekeringan. Selain itu terjadi juga penyakit pada pembuluh darah kecil, andarteritis obliteran (yang dapat menjadi penyebab terjadinya rinitis atrofi atau sebagai akibat dari proses penyakit rinitis atrofi itu sendiri).1,3,5

Secara patologis, rinitis atrofi dapat dibagi menjadi dua, yakni tipe I, adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriola terminal akibat infeksi kronik yang membaik dengan efek vasodilator dari terapi estrogen; dan tipe II, terdapat vasodilatasi kapiler yang bertambah jelek dengan terapi estrogen.1,3,5 Sebagian besar kasus merupakan tipe I. Endarteritis di arteriola akan menyebabkan berkurangnya aliran darah ke mukosa. Juga akan ditemui infiltrasi sel bulat di submukosa. Selain itu didapatkan sel endotel bereaksi positif dengan fosfatase alkali yang menunjukkan adanya absorbsi tulang yang aktif. Atrofi epitel bersilia dan kelenjar seromusinus menyebabkan pembentukan krusta tebal yang melekat. Atrofi konka menyebabkan saluran nafas jadi lapang. Ini juga dihubungkan dengan teori proses autoimun, dimana terdeteksi adanya antibodi yang berlawanan dengan surfaktan protein A. Defisiensi surfaktan merupakan penyebab utama menurunnya resistensi hidung terhadap infeksi. Fungsi surfaktan yang abnormal menyebabkan pengurangan efisiensi klirens mukus dan mempunyai pengaruh kurang baik terhadap frekuensi gerakan silia. Ini akan menyebabkan bertumpuknya lendir dan juga diperberat dengan keringnya mukosa hidung dan hilangnya silia. Mukus akan mengering bersamaan dengan terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta yang merupakan medium yang sangat baik untuk pertumbuhan kuman.3 GEJALA KLINIS Pemeriksaan fisik terhadap rinitis atrofi dapat dengan mudah dikenali. Tanda pertama sering berupa bau (foeter ex nasi) dari pasien. Pada beberapa kasus, bau ini bisa berat. Hal ini akan menyebabkan ganggguan pada setiap orang kecuali pasien, karena pasien mengalami anosmia. Beberapa pasien juga memperlihatkan depresi yang terjadi sebagai implikasi sosial dari penyakit. 1 Pasien biasanya mengeluh obstruksi hidung (buntu), krusta yang luas, dan perasaan kering pada hidung.3, 7 Gejala klinis rinitis atrofi secara umum adalah : 3, 5 Gejala : - obstruksi hidung (buntu) - sakit kepala - epistaksis pada pelepasan krusta - bau busuk pada hidung (foeter ex nasi) yang dikeluhkan oleh orang lain yang ada di sekitarnya. Bau ini tidak diketahui oleh pasien karena atrofi dari mukosa olfaktoria. - Faringitis sikka - Penyumbatan yang terjadi karena lepasnya krusta dari nasofaring masuk ke orofaring. Tanda : - foeter ex nasi - krusta dihidung berwarna kuning, hijau, atau hitam

- pelepasan kusta akan memperlihatkan ulserasi dan perdarahan mukosa hidung

Mukosa secara umum atrofi, dengan metaplasia epitel skuamosa. Volume kavum nasi terlihat membesar, yang mungkin terjadi karena adanya laserasi dinding lateral hidung. 1 Sutomo dan Samsudin membagi ozaena secara klinik dalam tiga tingkat : 3 a. Tingkat I : Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan berlendir, krusta sedikit. b. Tingkat II : Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering, warna makin pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas. c. Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai garis, rongga hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta di nasofaring, terdapat anosmia yang jelas. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis rinitis atrofi : 3,5,7 apusan hidung . radiologi dan kultur punksi sinus untuk meniyingkirkan sepsis pada sinus. test serologi (VDRL test dan Wasserman test) untuk menyingkirkan sifilis. tes serologi yang lain : protein Serum. pemeriksaan Fe serum pemeriksaan darah rutin ANA dan anti-DNA antibodi.

CT scan dianjurkan jika diagnosis meragukan Pemeriksaan radiologis rinitis atrofi dapat dilakukan pada penyakit primer maupun sekunder, tapi tidak ada tanda yang dapat membedakan di antara keduanya. Perubahan kavum hidung bisa ditemukan dengan foto sederhana atau CT scan. Foto sederhana dapat menunjukkan membusurnya dinding lateral hidung yang, berkurang atau tidak adanya aliran, atau hipoplastik sinus maksilaris. 1 Pada CT scan dapat ditemukan : 1, 4, 5 penebalan mukoperiosteum sinus paranasal kehilangan ketajaman dari kompleks sekunder osteomeatal untuk meresobsi bula etmoid dan proses uncinate. hipoplasia sinus maksilaris pelebaran kavum hidung dengan erosi dan membusurnya dinding lateral hidung . resopsi tulang dan atrofi mukosa pada konka media dan inferior.

DIAGNOSIS Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan : anamnesis, dan perubahan yang terjadi pada hidung seperti adanya pelebaran kavum hidung, atrofi mukosa dan terdapatnya perlekatan, penebalan dan krusta hijau kuning, pemeriksaan mikrobiologi dengan isolasi bakteri seperti K. ozaenae dari kultur hidung . 3,4 DIAGNOSIS BANDING Diagnosis banding rinitis atrofi sebagai berikut : 2 1. Rinitis atrofi: sekret bilateral dan berbau dengan krusta berwarna kuning kehijauan, penderita tidak membau, sedangkan orang lain membau. Lebih banyak menyerang wanita daripada pria, terutama sekitar usia pubertas.

2. Sinusitis: sekret melimpah dapat bilateral atau unilateral, penderita dan orang lain disekitarnya membau. Dapat terjadi baik pada anak-anak maupun orang dewasa. Terkadang ditemukan hiposmia karena adanya obstruksi. 3. Nasofaringitis kronis: sekret post nasal bilateral, penderita membau, sedangkan orang lain tidak membau. Tidak ada perbedaan frekuensi antara pria dan wanita PENATALAKSANAAN Pada rinitis atrofi terdapat tiga macam teknik penatalaksanaan yaitu secara topikal, sistemik dan pembedahan. Keseluruhan teknik ini bertujuan untuk pemulihan hidrasi nasal dan meminimalisir terbentuknya krusta.1 Terapi Topikal Salah satu teknik penatalaksanaan yang dipakai secara luas ialah dengan irigasi nasal. Irigasi nasal lebih tepat disebut sebagai suatu terapi pencegahan atau sebagai suatu terapi yang bersifatrumatan. Fungsi dari irigasi nasal sendiri ialah mencegah terbentuknya pengumpulan krusta dalam rongga hidung. Terdapat beberapa variasi tipe dari bahan irigasi yang dianjurkan namun tak ada literatur yang menunjukan akan kelebihan bahan yang satu dengan lainnya.1 Adapun bahan-bahan itu antara lain:1,3,6 1. Betadin solution dalam 100 ml air hangat atau larutan NaCl NH4Cl NaHCO3 aaa9 Aqua ad 300 cc 1 sendok makan dicampur 9 sendok makan air hangat 2. Larutan garam dapur 3. Campuran Na bikarbonat 28,4 g Na diborat 28,4 g NaCl 56,7 g dicampur 280 ml air hangat 4. Larutan antibiotik berupa Gentamisin 80 mg dalam satu liter NaCl

Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan menghembuskan kuat-kuat, air yang masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut, dilakukan dua kali sehari. Beberapa literatur juga menyarankan untuk menambahkan minyak mawar (rose oil) atau mentol untuk menutupi bau yang terdapat pada rinitis atropi. Perlu diingat bahwa pengobatan topikal rinitis atropi dengan irigasi nasal tidak berfungsi untuk menghilangkan penyakit, melainkan sekedar mencegah penyakit hingga harus dilakukan secara berkelanjutan. Ketidak patuhan dalam melanjutkan terapi biasnya berdampak dengan kambuhnya penyakit dalam sebagian besar kasus.1 Terapi Sistemik Terapi sistemik biasa digunakan secara simultan dengan terapi topikal. Terapi yang biasa digunakan ialah dengan pemberian antibiotik. Diberikan antibiotik berspektrum luas atau sesuai dengan uji resistensi kuman, dengan dosis yang adekuat sampai tanda-tanda infeksi hilang. Penelitian terakhir merujuk pengobatan akan terjadinya infeksi akut dengan menggunakan antibiotik aminoglikosida oral atau streptomisin injeksi. Meskipun penggunaannya seringkali cukup efektif, efek toksisitas dari obat akan muncul setelah kurun waktu 2 tahun pemakaian.1,6 Beberapa terapi sistemik lain juga dianjurkan diantaranya ialah adjuvan berupa vitamin A yang terbukti berhasil mengalami peningkatan >80% dalam sebuah penelitian dan adjuvan berupa besi yang juga berhasil mengalami peningkatan >50%. Penggunaan kortikosteroid juga pernah diajukan sebagai suatu adjuvan namun beberapa ahli menyatakan penggunaan kortikosteroid merupakan kontra indikasi bagi pasien dengan rinitis atropi. Vasokontriksi untuk kongesti nasal juga merupakan kontra indikasi karena berhubungan dengan berkurangnya vaskularisasi di mukosa.1 Terapi Bedah Pada kebanyakan kasus meskipun dengan terapi medikamentosa yang maksimal, pasien akan selalu mengeluhkan krusta yang terbentuk dan bau dari rongga hidung yang muncul meskipun sudah seringkali melakukan terapi lanjutan. Dalam rangka mencegah pasien untuk bergantung pada terapi medikamentosa sepanjang hidupnya perlu dilakukan terapi bedah. Secara umum terapi bedah terdiri dalam 3 bagian kategori antara lain denervasi, reduksi volume rongga hidung dan penutupan nasal1 Beberapa teknik operasi yang dilakukan antara lain:3 1. Operasi Young Penutupan total rongga hidung dengan flap. Telah dilaporkan hasil yang baik dengan penutupan lubang hidung sebagian atau seluruhnya dengan menjahit salah satu hidung bergantian masing-masing selama periode tiga tahun. 2. Operasi Young yang dimodifikasi Penutupan lubang hidung dengan meninggalkan 3 mm yang terbuka. 3. Operasi Lautenschlager

Dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari etmoid, kemudian dipindahkan ke lubang hidung. 4. Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit, bahan sintetis seperti teflon, campuran triosite dan lem fibrin. 5. Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksila (operasiWittmack) dengan tujuan membasahi mukosa hidung. Adapun operasi yang bertujuan sebagai denervasi nasal antara lain:5 1. Simpatektomi servikal 2. Blokade ganglion Stellata 3. Blokade atau ekstirpasi ganglion sfenopalatina Beberapa penelitian melaporkan operasi penutupan koana menggunakan flap faring pada penderita rinitis atrofi anak berhasil dengan memuaskan. Penutupan ini juga dapat dilakukan pada nares anterior yang bertujuan untuk mengistirahatkan mukosa hidung.3,6 PROGNOSIS Dengan operasi diharapkan perbaikan mukosa dan keadaan penyakitnya. Pada pasien yang berusia diatas 40 tahun, beberapa kasus menunjukkan keberhasilan dalam pengobatan.3,5 PENUTUP Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi progresif mukosa dan tulang konka disertai pembentukan krusta. Etiologi dan patogenesis rinitis atrofi sampai sekarang belum dapat diterangkan dengan memuaskan. Oleh karena etiologinya belum pasti, maka pengobatannya belum ada yang baku. Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab dan untuk menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau operatif. DAFTAR PUSTAKA 1. Cowan, Alan MD. Atrophic Rhinitis. Grand Round Presentation, UTMB, Dept.of Otolaryngology 2005 ii 2. Soedarjatni, dr. Foetor Ex Nasi, Cermin Dunia Kedokteran . 1997; 9 : 21 24 3. Asnir, Rizalina Arwinati. Rinitis Atrofi, Cermin Dunia Kedokteran2004;144: 5 7 4. Yucel, Aylin et al. Atrophic Rinitis: A Case Report, Turk J Med Sci2003;33: 405 407 5. Anonim. Atrophic Rhinitis. [online] tersedia di URL:http://www.yasser-nour.com/atrophic-rhinitis.pdf.

6. Mangunkusumo, Endang. Infeksi Hidung Dalam: Soepardi EA, Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi Kelima. Jakarta, 2003 h. 110 114 7. Michel, Jean Pr. Management Of Chronic Rhinitis, Mp ORL Anglais2005; 87: 44 58

Anda mungkin juga menyukai