A. Pengertian Sindroma nefrotik adalah status klinis yang ditandai dengan peningkatan permeabilitas membrane glomerolus terhadap protein, yang mengakibatkan kehilangan protein urinarius yang massif (Wong, 2003). Sindrom nefrotik (SN) adalah sekumpulan gejala yang terdiri dari proteinuri massif, hipoalbuminemia yang disertai atau tidak dengan edema dan hiperkolestrolemia Secara klinis SN terdiri dari: 1. Edema massif 2. Proteinuria 3. Hipoalbuminemia 4. Hiperkolestrolemia atau mormokolestrolemia Menurut Kliegman (2011), Sindrom nefrotik ditandai dengan proteinuria, hipoproteinemia, edema, dan hiperlipidemia
B. Etiologi Menurut Kliegman (2011), kebanyakan (90%) anak yang menderita nefrosis mempunyai beberapa bentuk sindrom nefrotik idopatik; penyakit lesi minimal ditemukan pada sekitar 85%, proliferasi mesangium pada 5%, dan sclerosis setempat 10%. Pada 10% anak sisanya menderita nefrosis, sindrom nefrotik sebagian besar diperantarai oleh beberapa bentuk glomerulonefritis, dan yang tersering adalah membranosa dan membranoproliferatif. Sebab yang pasti belum diketahui. Akhir-akhir ini di anggap suatu penyakit auto immune. Jadi merupakan suatu reaksi antigen-anti bodi. Umumnya para ahli membagi etiologinya menjadi: 1. Sindroma nefrotik bawaan Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternotetal. Resisten terhadap semua pengobatan. Gejalanya adalah edema pada masa neonatus. Pengcangkokan ginjal dalam masa neonatus telah dicoba tetapi tidak berhasil.
Prognosis buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya. 2. Sindroma nefrotik sekunder disebabkan oleh : a. Malaria kuartana atau parasit lain b. Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid c. Glomerulonefritis akut, glumerulonefritis kronis, thrombosis vena renalis d. Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamain, garam, emas , sengatan lebah, racun oak, air raksa. e. Amilodosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membrano proliferative hipokomplementemik 3. Sindrom nefrotik idiopatik (tidak diketahui penyebabnya) Berdasarkan histopatologi yang tampak pada biopsi ginjal dengan pemeriksaan mikroskop biasa dan mikroskop elektron, Churg dkk. membagi dalam empat golongan yaitu: a. Kelainan minimal Dengan mikroskop biasa glomerulus tampak normal, sedangkan dengan mikroskop electron tampak foot processus sel terpadu. Dengan cara imunofluoresensi kternyata tidak terdapat IgG atau immunoglobulin beta-IC pada dinding kapiler glomerulus. Golongan ini lebih banyak terdapat pada anak dari pada orang dewasa. Prognosis lebih baik dibandingkan dengan golongan lain. b. Nefropati membranosa Semua glomerulus menunjukkan penebalan dinding kapiler yang terrsebar tanpa proliferasi sel. Tidak sering ditemukan pada anak. Prognosis kurang baik c. Glomerulonefritis proliferative. Glomerulonefritis proliferatif eksudatif difus Terdapat proliferasi sel mesangial dan infiltrasi sel polimorfonukleus. Pembengkakan sitoplasma endotel yang menyebabkan kapiler tersumbat. Kelainan ini sering ditemukan pada nefritis yang timbul setelah infeksi dengan Streptococcus yang berjalan progresif dan pada sindrom nefrotik
Prognosis jarang baik, tetapi kadang-kadang terdapat penyembuhan setelah pengobatan yang lama. Dengan penebalan batang lobular (lobular stalk thickening). Terdapat poliferasai sel mesangial yang tersebar dan penebalan batang lobular.
Dengan bulan sabit (crescent) Terdapat poliferasi sel mesangial dan poliferasi sel epitel simpai (kapsular) dan visceral. Prognosis buruk. Glomerulonefritis membranoproliferatif. Proliferasi sel mesengial dan penempatan fibrin yang meneyerupai membrana basalais di mesangium. Titer globulin beta-1C atau beta-1A rendah. Lain-lain. Misalnya perubahan proliferasi yang tidak khas. d. Glomerulosklerosis fokal segmentalis. Pada kelainan ini yang menyolok glomerulus. Sering disertai dengan atrofi tubulus. Prognosis buruk.
C. Patofisiologi Kelainan patogenik yang mendasari nefrosis adalah proteinuria, akibat dari kenaikan permeabilitas dinding kapiler glomnerulus. Mekanisme dari kenaikan permeabilitas dinding kapiler glomerulus. Mekanisme dari kenaikkan permeabnilitas ini belum diketahui tetapi mungkin terkait, setidak-tidaknya sebagian, dengan hilangnya muatan negative glikoprotein dalam dinding kapiler. Pada status nefrosis, protein yang hilang biasanya melebihi 2 g/24 jam dan terutama terdiri dari albumin; hipoproteinemianya pada dasarnya adalah hipoalbuminemia. Umumnya, edema muncul bila kadar albumin serum turun di bawah 2,5 g/dl. Mekanisme pembentukkan edema pada nefrosis tidak dimengerti sepenuhnya. Kemungkinanya adalah bahwa edema didahului oleh timbulnya hipoalbuminemia. Akibat kehilangan protein urin. Hipoalbunemia ,menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma, yang memungkinkan transudasi cairan dari ruang intravaskuler ke ruang interstisial. Penurunan volume intravaskuler menurunkan tekanan perfusi ginjal; mengaktifkan system rennin-angitensin-aldosteron, yang merangsang reabsorbsi natrium di tubulus distal. Penurunan volume intravaskuler juga merangsang pelepasan hormone antidiuretik, yang mempertinggi rearbsorbsi masuk ke ruang instertisial, memperberat edema. Adanya factor-faktor lain yang juga memainkan peran pada pembentukan edema dapat ditunjukkan melalui observasi bahwa beberapa penderita sindrom nefrotik mempunyai volume intravaskuler yang normal atau meningkat dan kadar rennin serta aldosteron plasma normal atau menurun. Penjelasan secara hipotesis meliputi defek
intrarenal dalam eksresi natrium dan air atau adanya agen dalam sirkulasi yang menaikkan permeabilitas dinding kapile di seluruh tubuh, serta dalam ginjal. Pada status nefrosis, hmpir semua kadar lemak dan lipoprotein serum meningkat. Sekurang kurangnya ada dua factor yang memberikan sebagian penjelasan: 1. hipoproteinemia merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati, termasuk lipoprotein 2. katabolisme lemak menurun, karena penurunan kadar lipoprotein lipase plasma, system enzim utama yang mengambil lemak dari plasma. Reaksi antigen antibody menyebabkan permeabilitas membrane basalis glomerulus meningkat dan diikuti kebocoran sejumlah protein (albumin). Tubuh kehilangan albumin lebih dari 3,5 gram/hari menyebabkan hipoalbuminemia, diikuti gambaran klinis sindrom nefrotik seperti sembab, hiperliproproteinemia dan lipiduria. Patofisiologi beberapa gejala dari sindrom nefrotik : 1. Proteinuria (albuminuria) Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya sindrom nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar. Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus. Terdapat peningkatan permeabilitas membrane basalis kapiler-kapiler glomeruli, disertai peningkatan filtrasi protein plasma dan akhirnya terjadi proteinuria(albuminuria). Beberapa faktor yang turut menentukan derajat proteinuria(albuminuria) sangat komplek. a. Konsentrasi plasma protein b. Berat molekul protein c. Electrical charge protein d. Integritas barier membrane basalis e. Electrical charge pada filtrasi barrier f. Reabsorpsi, sekresi dan katabolisme sel tubulus g. Degradasi intratubular dan urin 2. Hipoalbuminemia Plasma mengandung macam-macam protein, sebagian besar menempati ruangan ekstra vascular(EV). Plasma terutama terdiri dari albumin yang berat molekul 69.000.
Hepar memiliki peranan penting untuk sintesis protein bila tubuh kehilangan sejumlah protein, baik renal maupun non renal. Mekanisme kompensasi dari hepar untuk meningkatkan sintesis albumin, terutama untuk mempertahankan komposisi protein dalam ruangan ekstra vascular(EV) dan intra vascular(IV). Walaupun sintesis albumin meningkat dalam hepar, selalu terdapat hipoalbuminemia pada setiap sindrom nefrotik. Keadaan hipoalbuminemia ini mungkin disebabkan beberapa factor : a. kehilangan sejumlah protein dari tubuh melalui urin (prooteinuria) dan usus (protein losing enteropathy) b. Katabolisme albumin, pemasukan protein berkurang karena nafsu makan menurun dan mual-mual c. Utilisasi asam amino yang menyertai penurunan faal ginjal Bila kompensasi sintesis albumin dalam hepar tidak adekuat, plasma albumin menurun, keadaan hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia ini akan diikuti oleh hipovolemia yang mungkin menyebabkan uremia pre-renal dan tidak jarang terjadi oligouric acute renal failure. Penurunan faal ginjal ini akan mengurangi filtrasi natrium Na+ dari glomerulus (glomerular sodium filtration) tetapi keadaan hipoalbuminemia ini akan bertindak untuk mencegah resorpsi natrium Na+ kedalam kapiler-kapiler peritubular. Resorpsi natrium na+ secara peasif sepanjang Loop of Henle bersamaan dengan resorpsi ion Cl- secara aktif sebagai akibat rangsangan dari keadaan hipovolemia. Retensi natrium dan air H2O yang berhubungan dengan system rennin-angiotensin-aldosteron (RAA) dapat terjadi bila sindrom nefrotik ini telah memperlihatkan tanda-tanda aldosteronisme sekunder. Retensi natrium dan air pada keadaan ini (aldosteronisme) dapat dikeluarkan dari tubuh dengan pemberian takaran tinggi diuretic yang mengandung antagonis aldosteron. 3. Sembab Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik dari kapilerkapiler glomeruli, diikuti langsung oleh difusi cairan kejaringan interstisial, klinis dinamakan sembab. Penurunan tekanan onkotik mungkin disertai penurunan volume plasma dan hipovolemia. Hipovolemia menyebabkan retensi natrium dan air. (lihat skema) Proteinuria masih menyebabkan hipoalbuminemia dan penurunan tekanan onkotik dari kapiler-kapiler glomeruli dan akhirnya terjadi sembab.
Mekanisme sembab dari sindrom nefrotik dapat melalui jalur berikut : a. Jalur langsung/direk Penurunan tekanan onkotik dari kapiler glomerulus dapat langsung menyebabkan difusi cairan ke dalam jaringan interstisial dan dinamakan sembab. b. Jalur tidak langsung/indirek Penurunan tekanan onkotik dari kepiler glomerulus dapat menyebabkan penurunan volume darah yang menimbulkan konsekuensi berikut: Aktivasi system rennin angiotensin aldosteron Kenaikan plasma rennin dan angiotensin akan menyebabkan rangsangan kelenjar adrenal untuk sekresi hormone aldosteron. Kenaikan konsentrasi hormone aldosteron akan mempengaruhi sel-sel tubulus ginjal untuk mengabsorbsi ion natrium sehingga ekskresi ion natrium menurun. Kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan circulating cathecolamines. Kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan konsentrasi katekolamin, menyebabkan tahanan atau resistensi vaskuler glomerulus meningkat. Kenaikan tahanan vaskuler renal ini dapat diperberat oleh kenaikan plasma rennin dan angiotensin.
D. Tanda dan Gejala 1. Retensi cairan edema, edema biasanya terjadi pada muka (mata), dada , perut, tungkai dan genetalia. Biasanya lunak dan cekung bila ditekan (piting). Sembab ringan: kelopak mata bengkak. Sembab berat: anasarka, asites, pembengkakan skrotum/labia, hidiotoraks, sembab paru 2. Penurunan jumlah urineurine gelap, berbuih atau berbusa. Proteinuria > 3,5 g/hr pada dewasa atau 0,05 g/kgBB/hr pada anak-anak 3. Anoreksia (nafsu makan menurun) 4. Berat badan meningkat 5. Gagal tumbuh kembang & pelisutan otot (jangka panjang) 6. Malaise dan tanda khas: Hipoalbuminemia < 30 g/l, Hiperlipidemia, umumnya ditemukan hiperkolesterolemia, Hiperkoagulabilitas yang akan meningkatkan resiko trombosis vena dan arteri 7. Diare karena edema mukosa 8. Kulit pucat
9. Kadang-kadang sesak karena hidrotoraks atau diafragma letak tinggi (asites) 10.Kadang-kadang hipertensi
E. Pemeriksaan Penunjang Dilakukan pemeriksaan urin dan darah untuk memastikan proteinuria, proteinemia, hipoalbuminemia, dan hiperlipedemia. Diperiksa fungsi ginjal dan hematuria. Biasanya ditemukan penurunan kalsium plasma. Diagnosis pasti melalui biopsi ginjal.
F. Manajemen Terapi Penatalaksaan medis untuk sindom nefrotik mencakup komponen perawatan berikut ini: 1. Pemberian kortikosteroid (prednison) dengan dosis 2 mg/kg/per hari sesuai program 2. Penggantian protein (dari makanan atau 25% albumin) 3. Pengurangan edema melalaui terapi diuretic dan restriksi narium (diuretic hendaknya dilakukan secara cermat untuk mencegah terjadinya penurunan volume intravaskuler, pembentukan thrombus dan ketidakseimbangan elektrolit) 4. Rumatan keseimbangan elektrolit 5. Inhibitor enzim pengkonverensiangiotensin (menurunkan banyaknya proteinuria pada glomerulonefritis membrosa) 6. Agens pengalkilasi (sitotoksik) klorambusil dan siklofostamid (untuk sindroma nefrotik tergantung steroid dan pasien yang seering mangalami kekambuhan) 7. Obat nyeri (untuk mangatasi ketidaknyamanan berhubungan dengan edema dan terapi invasive) 8. Antibiotic untuk mencegah infeksi 9. Terapi albumin jika oral dan output urin kurang 10. Pembatasan sodium jika anak hypertensi 11. Istirahat sampai edema tinggal sedikit 12. Diet protein 3 4 gram/kg BB/hari 13. Diuretikum : furosemid 1 mg/kgBB/hari. Bergantung pada beratnya edema dan respon pengobatan. Bila edema refrakter, dapat digunakan hididroklortiazid (25 50 mg/hari), selama pengobatan diuretik perlu dipantau kemungkinan hipokalemi, alkalosis metabolik dan kehilangan cairan intravaskuler berat. 14. Kortikosteroid : Selama 28 hari prednison diberikan per oral dengan dosis 60 mg/hari luas permukaan badan (1bp) dengan maksimum 80 mg/hari.
Kemudian dilanjutkan dengan prednison per oral selama 28 hari dengan dosis 40
mg/hari/1bp, setiap 3 hari dalam satu minggu dengan dosis maksimum 60 mg/hari. Bila terdapat respon selama pengobatan, maka pengobatan ini dilanjutkan secara intermitten selama 4 minggu 15. Antibiotika bila ada infeksi 16. Punksi ascites 17. Digitalis bila ada gagal jantung.
A. Pengkajian 1. Identitas Umur : lebih sering pada anakanak usia antara 34 tahun
Jenis kelamin : lebih banyak menyerang pria dengan perbandingan presentase pria:wanita 2:1 2. Keluhan utama a. Edema atau sembab, biasanya pada daerah mata, dada, perut, tungkai, dan genitalia b. Malaise c. Sesak nafas d. Kaki terasa berat dan dingin karena adanya edema e. Sakit kepala f. Diare g. Urine sedikit, gelap, dan berbusa h. Berat badan meningkat i. Kulit pucat 3. Riwayat penyakit dahulu Anak pernah menderita penyakit infeksi ginjal (glumerulonefritis) sebelumnya 4. Riwayat penyakit keluarga Apakah ada anggota keluarga yang pernah menderita penyakit ini atau diabetes mellitus 5. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan Terjadi peningkatan berat badan karena adanya edema & sering tidak masuk sekolah sehingga prestasi belajarnya terganggu 6. Riwayat nutrisi Diet kaya protein terutama protein hewani 7. Dampak hospitalisasi Perpisahan & lingkungan baru 8. Pemeriksaan fisik Kesadaran Kepala : disorentasi, gelisah, apatis, letargi, somnolent sampai koma : edema muka terutama daerah orbita, mulut bau khas ureum
Dada Perut
: pernafasan cepat dan dalam, nyeri dada : adanya edema anasarka (asites)
Ekstrimitas : edema pada tungkai. Kulit : sianosis, akral dingin, turgor kulit menurun
Tanda vital : peningkatan suhu tubuh, nadi cepat dan lemah, hipertensi, nafas cepat dan dalam (kusmaul), dyspnea 9. Pemeriksaan penunjang UJI URINE Protein urine meningkat Urinalis cast hialin dan granular, hematuria Dipstick urine positif untuk protein dan darah Berat jenis urine meningkat UJI DARAH Albumin serum menurun Kolesterol serum meningkat Hemoglobin dan hematokrit meningkat (hemokonsentrasi) Laju endap darah (LED) meningkat Elektrolit serum bervariasi dengan keadaan penyakit per orang UJI DIAGNOSTIK Biopsy ginjal merupakan uji diagnostic yang tidak dilakukan secara rutin
B. Diagnosa Keperawatan 1. Excess Fluid Volume (00026) 2. Risiko kekurangan volume cairan (00028) 3. Risiko kerusakan integritas kulit (00047) 4. Risiko Infeksi (00004) 5. Intoleransi Aktivitas (00092) 6. Imbalance Nutrition: less than body requirements (00002)
D. Discharge Planning 1. Konsumsi dosis kecil obat steroid rutin untuk mencegah relaps 2. Pemantauan berat badan 3. Pemantauan keadaan klinik (edema, tekanan darah, efek sampiing kortikosteroid), air kemih (protein), pengobatan (medikamentosa dan diet), control sebulan sekali kecuali ada pertimbangan khusus. 4. Edukasi nutrisi meliputi makanan yang boleh dan tidak diberikan. Dengan prinsip: a. Diet dengan jumlah kalori yang cukup sesuai dengan umur dan berat badan anak b. Protein/zat pembangun tinggi seperti daging, telur dan ikan c. Jumlah garam dibatasi dan dikurangi, 2-3 g/kg/BB d. Makanan disediakan dalam keadaan hangat
DAFTAR PUSTAKA
Bets & Sowden. 2002. KeperawatanPediatri, ed 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedoktera EGC Brenner, Bary M. 2008. The Kidney Brenner & Rectors 8th Edition Vol 1. USA:Saunder Elsevier. Bulechek, Gloria M., Butcher Howard K., Joahne M.D. 2008. Nursing Interventions Classification (NIC) Fifth Edition. USA:Mosby Elsevier Clarkson, Michael R., Clara N. Magee., Barry M. Brenner. 2010. Pocket Companion to Brenner & Rectors The Kidney 8th Edition. USA:Saunder Elvesier. Herdman, H (ed). 2012. Nursing Diagnoses Definitions and Classification 2012-2014. Oxford:Wiley-Blackwell Jameson, J. Larry., Joseph Losclzo. 2010. Horisons Neprology and Acid Base Disorder. USA:The Mc Graw-Hill Companies Kliegman, Robert M., Bonita F. Stanton., Nina F. Schor., Joseph W., Ricrad E. Behrman. 2011. Nelson Textbook of Pediatric 19th Edition. USA:Sounders Elsevier. Moorhead, Sue., Marion Johnson., Maridean L. Maas., Elizabeth Swanson. 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC) Fourth Edition. USA:Mosby Elsevier Rehnke, Helmut G., Bradley M. Denker. 2010. Renal pathopysiologi The essentials Third Edition. Philadelphia:Wolters Kluwer (health) Uppicort Williams & Wilkins Wong, Donna. L. 2003. Pedoman Klinis Perawatan Pediatrik Ed. 4. Jakarta: PEnerbit Buku Kedokteran EGC