Anda di halaman 1dari 5

A. Pengertian Poliuretan Poliuretan adalah jenis polimer yang sangat unik dan luas pemakaiannya.

Poliuretan dibuat dengan mereaksikan molekul yang memiliki gugus isosianat dengan molekul yang memiliki gugus hidroksil, sehingga jenis dan ukuran setiap molekul pembentuk akan memberikan efek terhadap sifat poliuretan yang dihasilkan. Hal inilah yang menyebabkan poliuretan menjadi salah satu polimer yang sangat fleksibel baik dalam sifat mekanik maupun

aplikasinya. Aplikasi poliuretan paling banyak saat ini adalah sebagai bahan busa, kemudian diikuti oleh elastomer, perekat, dan pelapis dan lain-lain. Dalam dunia industri cat, poliuretan merupakan salah satu jenis cat yang memiliki banyak kelebihan dibanding jenis cat lainnya, antara lain daya tahan terhadap cuaca, daya kilap tinggi, tingkat kekerasan yang cukup baik, dan daya rekat yang baik pada berbagai jenis bahan (logam, plstik, dan kayu). Konsumsi poliuretan dunia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dengan kenaikan rata-rata 5,1% sampai dengan tahun 2005. Pasar poliuretan dunia untuk aplikasi coating, adhesive, sealant, dan elastomer diperkirakan mencapai 3,1 juta ton pada tahun 2000 dengan total isosianat 900 ribu ton dan poliol 1,5 juta ton. Permintaan tertinggi dari empat jenis aplikasi tersebut adalah untuk aplikasi coating (cat) sebesar 44%. Konsumsi poliuretan di Indonesia dari tahun 1989 sampai dengan tahun 1995 mengalami kenaikan kurang lebih 37% dari 1.160 ton menjadi 6.159 ton. Kebutuhan poliuretan Indonesia pada tahun 2004 telah mencapai 17.465 ton/tahun dan diprediksi mencapai 35 ribu ton pada tahun 2014. B. Sejarah Poliuretan Usaha menciptakan polimer poliuretan pertama kali dirintis oleh Otto Bayer dan rekan-rekannya pada tahun 1973 di labolatorium I.G. Farben di Leverkusen, Jerman. Mereka menggunakan prinsip polimerisasi adisi untuk menghasilkan poliuretan dari diisosianat cair dan polieter cair atau diol poliester seperti menunjuk ke berbagai kesempatan spesial, khususnya saat dibandingkan dengan berbagai plastik yang dihasilkan dari olefin, atau dengan polikondensasi. Awalnya, usaha difokuskan pada produksi serat dan busa yang fleksibel. Kendati pengembangan terintangi oleh Perang Dunia II (saat itu PU digunakan dalam skala terbatas sebagai pelapisan pesawat), poliisosianat telah menjadi tersedia secara komersial sebelum tahun 1952. Produksi komersialnya busa poliuretan yang fleksibel dimulai pada 1954, didasarkan pada toluena diisosianat (TDI) dan poliol poliester. Penemuan busa ini (yang awalnya dijuluki keju Swiss imitasi oleh beberapa penemu) adalah berkat jasa air yang tak sengaja dicampurkan ke dalam campuran reaksi. Bahan-bahan ini digunakan pula untuk memproduksi busa kaku, karet gom, dan elastomer. Serat linear diproduksi dari heksametilena diisosianat (HDI) dan 1,4-butanadiol (BDO).

Poliol polieter yang tersedia secara komersial untuk pertama kalinya, poli(tetrametilena eter) glikol, diperkenalkan oleh DuPont pada 1956 dengan mempolimerisasikan tetrahidrofuran. Glikol polialkilena yang tak begitu mahal diperkenalkan BASF dan Dow Chemical setahun selanjutnya, 1957. Poliol polieter menawarkan sejumlah keuntungan teknis dan komersial seperti biaya yang rendah, penanganan yang mudah, dan stabilitas hidrolitik yang lebih baik; dan poliol poliester bisa digantikan dengan cepat dalam pembuatan barang-barang dari poliuretan. Pada 1960, lebih dari 45.000 ton busa poliuretan yang fleksibel diproduksi. Seiring dengan perkembangan zaman, tersedianya bahan tiup klorofluoroalkana, poliol polieter yang tak mahal, dan metilena difenil diisosianat (MDI) menjadi bukti dan penggunaan busa kaku poliuretan sebagai bahan isolator berkinerja tinggi. Busa kaku yang didasarkan pada MDI polimerik menawarkan karakteristik pembakaran dan stabilitas suhu yang lebih baik daripada busa kaku berbasis TDI. Dalam 1967, diperkenalkan busa kaku poliisosianurat yang termodifikasi uretana, menawarkan sifat yang tak mudah terbakar serta stabilitas termal yang jauh lebih baik kepada berbagai produk isolator berdensitas rendah. Selain itu, dalam era 1960-an diperkenalkan pula sejumlah komponen pengaman bagian dalam otomotif seperti panel pintu dan instrumen yang dihasilkan dengan kulit termoplastik isian penguat dengan busa semikaku. Pada 1969, Bayer AG memamerkan sebuah mobil yang semua komponennya dari plastik di Dusseldorf, Jerman. Komponen-komponen mobil itu dibuat dengan menggunakan sebuah proses baru bernama RIM (Reaction Injection Molding). Teknologi RIM menggunakan tumbukan bertekanan tinggi dari komponen cair yang dilanjutkan dengan mengalirkan campuran reaksi dengancepat ke dalam rongga cetak. Bagian-bagian berukuran besar, seperti panel bodi dan fasia otomotif, bisa dicetak dengan cara tersebut. Polyurethane RIM lambat laun berkembang menjadi berbagai macam produk serta proses. Penggunaan teknologi trimerisasi dan pemuai rantai diamina memberikan poli(uretana urea), poli(uretana isosianurat), dan poliurea RIM. Penambahan bahan pengisi, seperti kaca berigi (milled glass), mika, dan serat mineral olahan menghasilkan RRIM (reinforced RIM atau RIM yang diperkuat) yang memberikan berbagai peningkatan dalam modulus lendut (kekakuan) dan stabilitas termal. Modulus lendut semakin ditingkatkan dengan memasukkan glas mat praletak ke dalam rongga cetak RIM, yang juga dikenal sebagai SRIM, atau structural RIM. Elastomer poliuretan yang sangat terisi maupun yang tak terisi kini digunakan dalam penerapan saringan minyak suhu-tinggi. C. Poliuretan busa (Foam) Sekitar 70% aplikasi dari poliuretan adalah foam. Foam didefinisikan sebagai substansi yang dibentuk dengan menjebak gelembung gas di dalam cairan atau padatan. Polyurethane foam diklasifikasikan ke dalam 3 tipe, yaitu flexible foam, rigid foam dan semi rigid foam. Perbedaan sifat fisik dari 3 tipe polyurethane foam tersebut berdasarkan pada perbedaan berat molekul, fungsionalitas polyol dan fungsionalitas isocyanate. Berdasarkan struktur selnya, foam dibedakan menjadi dua, yaitu closed cell (sel tertutup) dan opened cell (sel terbuka). Foam dengan struktur closed cell merupakan jenis rigid

foam sedangkan foam dengan struktur opened cell adalah flexible foam. (Cheremisinoff,1989) Polyurethane foam biasanya dibuat dengan menambahkan sedikit bahan volatile yang dinamakan sebagai bahan pengembang (blowing agent) untuk mereaksikan campuran. Acetone, methylene chloride dan beberapa chlorofluorocarbon (CFCl3) yang sering digunakan sebagai bahan pengembang (blowing agent) pada pembuatan polyurethane. a. Pembentukan poliuretan foam Terdapat dua sistem yang dapat digunakan untuk membentuk polyurethane yaitu sistem one-step (one-shot process) dan Sistem two-step (prepolymer process). Sistem onestep umumnya digunakan dalam pembentukan polyurethane foam, sedangkan sistem twostep diaplikasikan pada produksi elastomer. Sistem one-step (one-shot process) adalah semua bahan baku untuk menghasilkan polimer dicampur bersama-sama. (Klempner, 2001) Ada dua reaksi kimia penting pada pembentukan polyurethane foam, reaksi pertama adalah antara isocyanate dengan polyol membentuk polyurethane (reaksi 2.1). Reaksi kedua adalah reaksi antara air dan isocyanate menghasilkan polyurea dan gas CO2 sebagai chemical blowing agent. (Wang,1998) Reaksi kimia secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut: Reaksi pembentukan polyurethane : RNCO + HOR1 Isocyanate alkohol RNHCOOR1 + 24 kcal/mol Urethane (1)

Reaksi pembentukan gas dan urea : Tahap I: R-NCO + H2O Isocyanate Air RNH2 + CO2 + 22 kcal/mol Amine Karbondioksida (2)

Tahap II : R-NH2 + R-NCO R-NH-CO-NH-R + 22 kcal/mol (3) Amine Isocyanate Urea Adanya senyawa hidrogen aktif dalam air akan mempercepat reaksi antara air dan isocyanate, dimana reaksi tersebut diawali dengan memproduksi asam karbamat yang tidak stabil sehingga cepat terdekomposisi menjadi amine dan melepaskan gas CO2 sebagai blowing agent. Selanjutnya amine akan bereaksi dengan isocyanate yang belum terkonversi untuk menghasilkan urea sebagai hard segment. Berdasarkan sifat sifat yang dimiliki oleh masing masing bahan yang digunakan, dalam pembuatan polyurethane foam memberikan pengaruh interaksi antar bahan. Oleh karena itu urutan pemasukan bahan dapat menjelaskan mekanisme reaksi yang terjadi diantaranya adalah :

1. Pembentukan emulsi air polyol (Polypropylene Glycol/Castor Oil) oleh surfaktan Surfaktan berperan dalam proses pembentukan emulsi. Gugus hidrofil surfaktan akan mendorong molekul molekul air sedangkan gugus hidrofob memecah tegangan permukaan polyol sehingga terbentuk miscelle. Dengan terbentuknya miscelle, air akan mudah tersebar didalam campuran. Gugus hidrofilik akan memberikan efek proteksi terhadap air karena akan mengurangi difusifitas antar muka (Lim dkk, 2008). 2. Blending Emulsi Polyol dengan Ethylene Glycol dan Triethylene Diamine Pada sistem miscelle air - polyolethylene glycol akan kalah berkompetisi dalam hal pengaktifan atom hidrogen. Hal ini dikarenakan ethylene glycol berjumlah sedikit dan tidak dapat tercampur sempurna karena ethylene glycol lebih bersifat polar dibandingkan polyol yang sudah membentuk sistem emulsi terlebih dahulu. Hal ini disebabkan karena rantai alkana ethylene glycol lebih pendek dan memiliki gugus hidroksil. (Fessenden,1986) 3. Pengaktifan hidroksil pada parsial Castor Oil (C.O) oleh Stannous Octoate (S.O) Pada tahap ini castor oil tidak mendapatkan competitor untuk berikatan dengan stannous octoate sehingga stannous octoate pada campuran ini seluruhnya mengaktifkan hidrogen castor oil (Steven,2011). 4. Tahap reaksi dengan Toluene diisocyanate (TDI) Gugus isocyanate yang paling reaktif pada TDI adalah gugus nomor 2 atau yang dekat dengan gugus fungsi toluene yaitu gugus metil (Sparrow,1996). Pada awal TDI dimasukkan ke dalam reaktor, castor oil cenderung hanya bereaksi dengan gugus isocyanate yang lebih reaktif. Sedangkan PPG berkompetisi bereaksi dengan TDI menutup gugus isocyanate yang ada sehingga akan terbentuk dua jenis dimer urethane. Setelah konsentrasi polyol berkurang karena telah bereaksi dengan TDI, ethylene glycol molekul kecil yang dapat bergerak karena adanya tolak menolak dan tarik menarik dari polaritas campuran akan mudah menumbuk TDI untuk bereaksi. Kemudian proteksi miscelle pada air akan mulai renggang dan menaikkan difusifitas antar muka sehingga air akan bereaksi dengan TDI membentuk urea. Kedua reaksi tersebut akan membentuk hard segment pada rantai polimer. Dimer castor oil akan cenderung mencari urea dan bereaksi membentuk prepolimer. Hal ini disebabkan oleh gaya tarik yang dihasilkan oleh urea lebih besar karena keelektronegatifan atom atomnya yang tinggi (Fessenden,1986). Sedangkan dimer PPG akan bereaksi dengan ethylene glycol TDI. Kedua jenis prepolimer ini dapat terhubung dengan satu sama lain dengan dijembatani oleh hard segment urethane linkage dan urea linkage sehingga dapat terbentuk polyurethane (Wang,1998). Proses foaming Pada proses foaming gas yang terbentuk terlarut di dalam polimer hingga mencapai batas saturasi. Saat proses foaming terjadi proses nukleasi yaitu terbentuknynuklei nuklei yang akan tumbuh menjadi bubble. Proses nukleasi ini terjadi pada kondisi supersaturasi yang tinggi karena kenaikan suhu yang disebabkan oleh kalor yang tergenerasi sehingga menyebabkan gas berada di luar batas kelarutan. Hal ini mengakibatkan konsentrasi gas di dalam polimer berkurang karena gas berdifusi ke dalam nuklei sehingga tumbuh dan berkembang menjadi bubble. Oleh karena itu terjadi ekspansi volume polyurethan foam.

Menurut Luis D. Artavia dan Christopher W. Macosko, perubahan material struktur sel selama foaming terbagi menjadi 4 tahap : 1. Nukleasi gelembung gas (Bubble nucleation) 2. Foam liquid 3. Pemisahan fase 4. Foam Elastomer Beberapa bahan tambahan yang dapat digunakan untuk membentuk foam poliuretan, diantaranya adalah 1. Bahan pengembang (blowing agent) Bahan pengembang (blowing agent) terbagi menjadi dua yaitu: - Blowing agent fisika: gas-gas (udara, nitrogen atau karbondioksida) yang oleh tekanan larut dalam polimernya. - Blowing agent kimia yang terurai oleh pemanasan untuk melepaskan gas, contoh: cairan bertitik didih rendah seperti metilen clorida, aseton, dan CFCl3. 2. Katalis Katalis poliuretan diklasifikasikan menjadi dua katagori yaitu: - Senyawa amina fungsinya untuk mempercepat reaksi isosianat-air dan reaksi isosianat-poliol. Contoh: trietilamina, trietilen diamina, dll - Kompleks organologam sebagai katalis yang kuat untuk reaksi isosianat-poliol. Contoh: stannous oleate, dan stannous octoate. 3. Surfaktan Surfaktan adalah senyawa yang molekul-molekulnya mempunyai dua ujung yang berbeda interaksinya. Surfaktan yang dapat digunakan merupakan surfaktan berbasis silicon oil. Surfaktan, berfungsi untuk menurunkan tegangan permukaan antara liquidliquid atau liquid-solid, mencampur komponen-komponen yang tidak saling larut, memperbaiki penampilan struktur sel, untuk stabilitasi ekspansi foam saat mengembang, pengontrol ukuran sel, menghasilkan tipe struktur sel yang diinginkan seperti sel terbuka (opened cell) atau sel tertutup (closed cell) 4. Chain extender Penambahan chain extender dapat meningkatkan panjang hard segment agar diperoleh pemisahan mikrofase yang lebih sempurna. Tanpa penambahan chain extender, poliuretan yang dihasilkan biasanya memiliki properti mekanis yang kurang baik dan menunjukkan adanya pemisahan mikrofase yang tidak sempurna. Chain extender dapat dikategorikan menjadi dua kelas, yaitu diol dan diamina. Secara umum, chain extender yang berupa diol atau diamina alifatik akan menghasilkan material yang lebih lembut daripada chain extender aromatik.

Anda mungkin juga menyukai