Anda di halaman 1dari 2

Aku melayang. Berayun naik turun. Segala sesuatu di depanku terlihat sama. Tapi aku tak peduli.

Aku benar-benar menikmatinya. Potongan cokelat terakhir yang kulahap menyebarkan rasa manis yang hangat. Matahari yang terlihatdi antara lengkungan cabang dan ranting mengirimkan bayangan dedaunan di wajahku. Senyumku melebar. Kalau saja hidup sesederhana ini, kurasa aku tak akan pernah melewatkan sedetikpun dalam hidupku. Meresapi segala kenikmatan yang tersimpan dan menunggu untuk ditemukan. Ismail! kata Emir. Aku menghentikan papan ayunanku, menoleh padanya. Dia duduk di papan satunya lagi. Tangannya yang putih bersih terampil membuka kertas timah yang tampak berkilat. Sebatang cokelat utuh dan tampak menggoda terbuka di pangkuannya. Ia membagi kudapan itu menjadi dua bagian, memberikan dua potongan besar untukku. Makanlah! katanya. Hidup sudah cukup pahit. Cokelat membuat perasaanmu lebih baik, bukan? Aku tahu dia akan berkata seperti itu. Kalimat itu sering kudengar saban hari sejak kami mulai bersahabat. Aku dilahirkan dari keluarga sederhana. Ibuku hanya lulus SMP, ayahku bekerja serabutan, dan rumah mungil kami hanya sedikit perabot. Hidup kami bisa dibilang sempurna. Ibuku wanita bahagia yang tidak pernah kehilangan lelucon dan ledakan tawa. Setiap hari ia bekerja di dapur, berkutat dengan aroma bumbu dan dentingan spatula. Ibu membagi waktunya dengan sempurna untukku, untuk ayah, dan untuk pekerjaan sambilannya. Namun bertahun-tahun berlalu, aku menyaksikan dengan cemas tawa di wajah ibuku perlahan-lahan padam, hilang sama sekali. Seandainya saja seorang pengemudi setengah mabuk tidak menabrak ayahku hingga tewas, hidupku tidak akan pernah terasa pahit. Bagaimana rasanya? Emir menghentikan kakinya ke tanah, berayun dengan kencang di sampingku. Aku menggigit batangan cokelat yang renyah dan garing. Kehangatan kembali menyebar di tubuhku. Aku suka cokelat kataku. Seandainya saja aku kaya, aku akan membuat Istana Cokelat dan hidup di dalamnya hingga dunia kiamat. Emir tertawa. Kupikir aku akan melakukan hal yang sama. Itu keren! Aku berpaling padanya, menyaksikan jemarinya yang mencengkeram rantai ayunan, wajahnya yang tersenyum pada langit, dan matanya yang terpejam menikmati angin. Tiba-tiba gelombang rasa sakit menerpaku. Pertama kali aku bertemu dengannya, aku menyadari kesamaan di antara kami berdua : nasib buruk. Ia kehilangan ibunya dan menjalani hari-hari yang suram bersama ayahnya yang tempramen. Aku kehilangan ayahku dan hidup dalam ketidakpastian. Ayah Emir seorang lurah kaya raya dengan mobil mengkilap dan rumah mewah yang mengundang pertanyaan para warga. Perutnya terlihat bengkak, raut wajahnya kaku dan seram. Ia pernah membuat warga panik dengan letusan senjata apinya yang membahana, gara-gara hal sepele yang melibatkan bayangan kucing di halaman belakang. Sejak saat itu ia bersumpah, bahwa ia tak akan segan-segan mengosongkan amunisinya jika melihat bayangan penyusup lagi di pekarangan rumahnya. Satu hal yang membuaitnya begitu, ia benar-benar kikir. Ia memimpin desa dengan buruk dan kejam. Berbeda dengan janjinya semasa kampanye dulu, janji-janji dan kaleng sarden yang ditinggalkan di pintupintu rumah. Emir membenci ayahnya. Membenci segala hal yang ia dapatkan sejak rumor tentang korupsi dan kebobrokan ayahnya mencuat. Ia sering berkata padaku bahwa ia benar-benar menyesal

dengan darah yang mengalir di tubuhnya. Aku mencoba menghentikannya, tapi sayangnya itu tidak banyak berpengaruh. Orang-orang dewasa sering memanggilnya, membelai wajahnya yang tampan, dan mengamati lekat-lekat matanya yang berbinar, hanya untuk mengatakan satu hal : Kau benarbenar mirip ayahmu, Emir. Pada awalnya hal itu tidak pernah mengganggu. Namun sejak kami beranjak remaja, sejak kami bisa menilai berbagai hal dan menentukan apa saja yang kami inginkan, Emir tidak menyukai hal itu. Suatu hari, demi menentang pernyataan orang-orang dewasa, ia berdiri di depan cermin dan berdandan seperti anak perempuan. Ia mengenakan kerudung, rok dan sepatu anak perempuan yang dipinjamnya dari seorang teman. Ia berjalan ke sekolah, menggegerkan semua orang, dan jujur saja membuatku malu. Apa yang kamu lakukan? Aku menarik tangannya, menyeretnya ke kamar mandi. Aku berharap orang-orang melihatku dan berkata betapa miripnya aku dengan ibuku. Ia terdengar malu dan pasrah. Aku tidak suka mereka bilang aku mirip ayah. Bahuku tiba-tiba merosot. Aku membiarkannya terpaku di depan cermin, lalu masuk ke dalam bilik kloset dan mengunci diri di dalamnya. Aku menyalakan keran keras-keras. Emir tak perlu tahu aku sedang menangis. Kapan ibumu pulang? Emir mengagetkanku. Ibuku sudah tiga tahun di Arab Saudi. selama

Anda mungkin juga menyukai