Anda di halaman 1dari 20

BAB I LAPORAN PENDAHULUAN

A. PERDARAHAN INTRAKRANIAL 1. Definisi Perdarahan intrakranial adalah perdarahan di dalam tulang tengkorak yang bisa terjadi di dalam atau di sekeliling otak. Perdarahan intrakranial adalah perdarahan yang tiba-tiba dalam jaringan otak merupakan bentuk yang menghancurkan pada stroke hemoragik dan dapat terjadi pada semua umur dan juga akibat trauma kepala seperti kapitis,tumor otak dan lain-lain. (Suzanne C Smeltzer,, 2002) Perdarahan intrakranial neonatus adalah perdarahan patologis dalam rongga kranium dan isinya pada bayi sejak lahir sampai umur 4 minggu. (Wiknjosastro H, 2010) 2. Klasifikasi berdasarkan lokasi perdarahan Perdarahan yang paling bermakna terjadi setelah lahir pada bayi kurang bulan, namun demikian perdarahan intrakranial pada bayi cukup bulan juga mungkin terjadi. Perdarahan intrakranial tersebut antara lain: a. Perdarahan Subdural Perdarahan subdural hampir selalu disebabkan trauma kepala pada bayi baru lahir cukup bulan. Beberapa faktor merupakan predisposisi terjadinya trauma yaitu ukuran kepala yang relatif besar dibandingkan jalan lahir, rigiditas jalan lahir, persalinan terlalu cepat atau terlalu lama, dan persalinan sulit misalnya letak sungsang atau ekstraksi vakum maupun forseps. Gejala klinis Gejala klinis perdarahan subdural menggambarkan adanya gejala kehilangan darah seperti pucat, gawat nafas, ikterus akibat hemolisis atau menunjukkan gejala peninggian tekanan intrakranial

seperti iritabel, kejang, letargi, tangis melengking, hipotonia, ubunubun menonjol, atau sutura melebar. Diagnosis Diagnosis perdarahan subdural didasarkan pada riwayat kelahiran bayi disertai gambaran klinis yang ditemukan. Bila dalam riwayat kelahiran ditemukan adanya kesukaran lahir dan pada bayi ditemukan kejang fokal, kelemahan otot fokal, ubun-ubun menonjol, sutura melebar, maka mungkin sekali bayi mengalami perdarahan subdural. b. Perdarahan subaraknoid primer Perdarahan subaraknoid primer sebagian besar terjadi akibat trauma lahir, sebagian lain diduga terjadi akibat proses hipoksia janin akhibat asfiksia. Perdarahan ini umumnya ditemukan pada bayi prematur. Perdarahan subaraknoid primer merupakan perdarahan dalam rongga subaraknoid yang bukan merupakan akibat sekunder dari perluasan perdarahan subdural, intraventrikular, atau

intraserebelar. Perdarahan umumnya terjadi akibat ruptur pada jembatan vena dalam rongga subaraknoid atau akibat ruptur pembuluh darah kecil di daerah leptomeningeal. Timbunan darah umumnya terkumpul di lekukan serebral bagian posterior dan fosa posterior. Gejala klinis Gejala klinis berupa tanda kehilangan darah dan gangguan fungsi neurologik. Gambaran yang timbul berupa perdarahan yang umumnya kecil saja dan tidak sampai menimbulkan keadaan yang buruk, sedangkan gejala neurologik berupa iritabilitas dan kejang. Diagnosis Didasarkan pada riwayat kelahiran yang sukar, dengan ditemukan adanya riwayat kejang. Hasil pemeriksaan cairan

serebrospinal menunjukkan adanya perdarahan dan kenaikan kadar protein. Pemeriksaan ultrasonografi kurang peka untuk menegakkan diagnosis perdarahan subaraknoid. Darah yang terlihat di rongga subaraknoid merah. c. Perdarahan intraserebelar Perdarahan intraserebelar relatif jarang terjadi, lebih sering dijumpai pada bayi kurang bulan dibandingkan dengan bayi cukup bulan. Secara klinis perdarahan ini sukar ditemukan, walaupun dengan sarana penunjang alat penatahan kepala, umumnya ditemukan pada pemeriksan autopsi. Angka kejadian pada bayi kurang bulan dengan masa gestasi kurang dari 32 minggu atau berat lahir kurang dari 1500 g berkisar antara 15-25%. Angka kejadian pada pemeriksaan autopsi ini terlihat lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil pemeriksaan klinis dengan penatahan kepala. Diagnosis Diagnosis perdarahan ini berdasarkan gambaran klinis serta riwayat kesukaran pada kelahiran letak sungsang, tarikan forsep, atau keduanya, dan adanya riwayat hipoksia. Gejala dapat timbul pada hari pertama atau kedua setelah lahir, bahkan setelah umur tiga minggu. Gejala neurologik yang dijumpai umumnya berupa gejala kompresi batang otak, terutama serangan apnea atau iregularitas pernapasan. Kadang disertai bradikardi, obstruksi aliran cairan serebrospinal disertai kenaikan tekanan intrakranial, ubun-ubun menonjol, dan sutura melebar. Pada pemeriksaan USG kepada terlihat pembesaran ventrikel. d. Perdarahan periventrikular-intraventrikular (PPV-IV) Matriks germinal subependimal merupakan daerah dengan vaskularisasi tinggi karena berbatasan dengan daerah ventrikel otak mungkin saja berasal dari sumber perdarahan intrakranial lain. Pungsi lumbal dapat menunjukkan adanya sel darah

yang ada sampai kira-kira usia kehamilan 35 minggu. Jenis perdarahan ini merupakan salah satu perdarahan intrakranial yang sering ditemukan pada bayi kurang bulan. Kejadian PPV-IV pada bayi cukup bulan lebih jarang terjadi bila dibandingkan dengan bayi prematur atau kurang bulan. Pada bayi cukup bulan, perdarahan yang terjadi sebagian besar berasal dari perdarahan pleksus koroid, hanya sebagian kecil berasal dari matriks germinal subependimal. Faktor resiko Faktor intravaskular, terdiri atas fluktuasi aliran darah serebral, peningkatan aliran darah serebral, peninggian tekanan vena serebral, penurunan aliran darah serebral yang diikuti perfusi, kelainan sistem pembekuan, dan kelainan trombosit. Faktor vaskular, terdiri atas kelemahan integritas vaskular dan kerentanan kapiler matriks terhadap trauma hipoksik-iskemik. Faktor ekstravaskuler terdiri atas kelemahan sistem penyangga vaskular, aktifitas fibrinolitik pada bayi premature, dan penurunan tekanan jaringan ekstravaskular. Gejala klinis Tergantung dari berat ringannya perdarahan, gejala klinis PPV-IV yang timbul dapat dibagi dalam tiga kumpulan gejala atau sindrom, yaitu : Sindrom perburukan katastrofik, pada keadaan ini terlihat perburukan terjadi cepat yang ditandai antara lain dengan penurunan kesadaran menjadi sopor atau koma, gangguan respirasi, kejang tonik umum, posisi deserebrasi, refleks cahaya negatif, reflek vestibular negatif, ubun-ubun besar menonjol, hipotensi, bradikardia, asidosis metabolic dan kelainan homeostasis.

Sindrom perburukan saltatorik, terlihat gejala penurunan kesadaran, gerakan berkurang, hipotonia, perubahan gerak dan bola mata serta dapat disertai gangguan nafas. Perburukan klinis dapat bertahap dalam beberapa hari. Gambaran klinis tenang, pada kejadian ini secara klinis tidak dijumpai kelainan neurologik yang berarti walaupun gambaran radiologik-ultrasonografi menunjukkan adanya PPV-IV. Diagnosis Diagnosis berdasarkan kemampuan untuk mengenal

kemungkinan terjadinya PPV-IV, yaitu dengan cara mengenal kasus risiko untuk timbulnya perdarahan. Risiko tersebut antara lain adalah bayi kurang bulan, bayi dengan berat lahir kurang dari 1500 gram, persalinan sulit, dan nilai Apgar rendah. Bila tidak ada sarana USG, maka dapat dilakukan pungsi lumbal yang menunjukkan cairan serebrospinal yang berwarna xantokrom. Pemeriksaan USG secara serial akan dapat mengetahui awal terjadinya perdarahan, sekaligus untuk memantau perkembangan proses perdarahan. 3. Etiologi a. Trauma kelahiran 1. partus biasa pemutaran/penarikan kepala yang berlebihan serta disproporsi antara kepala anak dan jalan lahir sehingga terjadi molase yang dapat memicu terjadinya perdarahan. 2. partus buatan (ekstraksi vakum, forsep, cunam) Pada penggunaan ekstraksi vakum, terjadi kompresi negatif pada kepala bayi di daerah fronto oksipital dan mengakibatkan pemanjangan diameter fronto oksipital dari kepala bayi. Akibatnya, terjadi renggangan yang berlebihan dengan tendensi laserasi tentorium atau falks serebri, rupturnya vena Galen, sinus strait, sinus sagitalis inferior, sobeknya ateri - vena meningia

media dan vena superfisial serebri serta rupturnya bridging veins di subaraknoid. Ruptur pada salah satu pembuluh darah ini akan mengakibatkan perdarahan intrakranial. Perdarahan intrakranial sering terjadi apabila lamanya teraksi lebih dari 10 menit 12 dan frekuensi lepasnya cup ekstraktor sebanyak lima kali atau lebih. b. Bukan trauma kelahiran Pada umumnya ditemukan pada bayi kurang bulan. Faktor dasar ialah prematuritas dan yang lain merupakan faktor pencetus perdarahan intrakranial seperti hipoksia dan iskemia otak yang dapat timbul pada syok, infeksi intrauterin, asfiksia, kejang-kejang, kelainan jantung bawaan, hipotermin serta

hiperosmolalitas/hipernatremia. Ada pula perdarahan intrakranial yang disebabkan oleh penyakit perdarahan/gangguan pembekuan darah. 4. Manifestasi klinik Berikut ini adalah tanda dan gejala yang dapat ditemukan pada neonatus yang mengalami perdarahan intrakranial. a. Muntah b. Sakit kepala c. Diplopia d. Papil edema e. Pembesaran lingkar kepala f. Ubun ubun besar membonjol g. Trias Cushing :bradikardi, hipertensi, pernafasan ireguler. h. Herniasi otak 5. Insidensi dan prognosis Dilaporkan angka berbeda-beda tentang insidensi perdarahan intrakranial neonatus. Bayi yang premature dan persalinan lama menunjukan insiden perdarahan intracranial lebih sering terjadi. Angka kematian perdarahan intrakranial pada bayi prematur 5 kali lebih tinggi daripada bayi cukup bulan. Prognosis perdarahan intrakranial neonatus bergantung pada lokasi dan luasnya perdarahan, cepatnya penegakan

diagnosa yang tepat dan penanganan medis. perdarahan intrakranial dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan kompresi batang otak jika tidak segera mendapat pertolongan hingga neonatus dapat meninggal hanya dalam beberapa jam. Pada neonatus yang bertahan hidup beberapa dijumpai dengan, palpsi serebral spastik, retardasi mental, spastik hemiplegia, atau hidrosefalus. 6. Patofisiologi Pada trauma kelahiran, perdarahan terjadi oleh kerusakan/ robekan pembuluh - pembuluh darah intrakranial secara langsung. Pada perdarahan yang bukan karena trauma kelahiran, faktor penyebabnya ialah prematuritas pada bayi-bayi tersebut, pembuluh darah otak masih embrional dengan dinding tipis, jaringan penunjang sangat kurang dan pada beberapa tempat tertentu jalannya berkelok kelok, kadang - kadang membentuk huruf U sehingga mudah sekali terjadi kerusakan bila ada faktor - faktor pencetus (hipoksia/iskemia). Keadaan ini terutama terjadi pada perdarahan intraventrikuler/periventrikuler. Perdarahan epidural/ ekstradural terjadi oleh robekan arteri atau vena meningika media antara tulang tengkorak dan duramater. Keadaan ini jarang ditemukan pada neonatus. Tetapi perdarahan subdural merupakan jenis perdarahan intrakranial yang banyak dijumpai pada bayi cukup bulan. Di sini perdarahan terjadi akibat pecahnya vena-vena kortikal yang menghubungkan rongga subdural dengan sinus-sinus pada duramater. Perdarahan subdural lebih sering pada bayi cukup bulan daripada bayi kurang bulan sebab pada bayi kurang bulan vena-vena superfisial belum berkembang baik dan mulase tulang tengkorak sangat jarang terjadi. Perdarahan dapat berlangsung perlahan-lahan dan membentuk hematoma subdural. Pada robekan tentorium serebeli atau vena galena dapat terjadi hematoma retroserebeler. Gejala-gejala dapat timbul segera dapat sampai berminggu-minggu, memberikan gejala gejala kenaikan tekanan intrakranial. Dengan kemajuan dalam bidang obstetri, insidensi perdarahan subdural sudah sangat menurun.

Pada perdarahan subaraknoid, perdarahan terjadi di rongga subaraknoid yang biasanya ditemukan pada persalinan sulit. Adanya perdarahan subaraknoid dapat dibuktikan dengan fungsi likuor. Pada perdarahan intraserebral/intraserebeler, perdarahan terjadi dalam parenkim otak, jarang pada neonatus karena hanya terdapat pada trauma kepala yang sangat hebat (kecelakaan). Dari semua jenis perdarahan intrakranial, perdarahan

periventrikuler memegang peranan penting, karena frekuensi dan mortalitasnya tinggi pada bayi prematur. Sekitar 75-90% perdarahan periventrikuler berasal dari jaringan subependimal germinal

matriks/jaringan embrional di sekitar ventrikel lateral. Pada perdarahan intraventrikuler, yang berperanan penting ialah hipoksia yang

menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah otak dan kongesti vena. Bertambahnya aliran darah ini, meninggikan tekanan pembuluh darah otak yang diteruskan ke daerah anyaman kapiler sehingga mudah ruptur. Selain hipoksia, hiperosmolaritas pula dapat menyebabkan perdarahan intraventrikuler. hipernatremia Hiperosmolaritas akibat pemberian antara lain terjadi bikarbonat karena yang

natrium

berlebihan/plasma ekspander. Keadaan ini dapat meninggikan tekanan darah otak yang diteruskan ke kapiler sehingga dapat pecah. Perdarahan ini berhubungan dengan luasnya kerusakan jaringan otak. Massa perdarahan menyebabkan destruksi dan kompresi langsung terhadap jaringan otak sekitarnya.Volume perdarahan menyebabkan tekanan dalam otak meninggi dan mempunyai efek terhadap perfusi jaringan otak serta drainage pembuluh darah. Perubahan pembuluh darah ini lebih nyata/berat pada daerah perdarahan karena efek mekanik langsung, menyebabkan iskhemik dan jeleknya perfusi sehingga terjadi kerusakan sel-sel otak. Volume perdarahan merupakan hal yang paling menentukan dari hasil. Akhirnya hal lain yang paling menentukan yaitu status neurologis dan volume darah didalam ventrikel. B. PATHWAY

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Pemeriksaan likuor terutama untuk perdarahan subaraknoid dan intraventrikuler/periventrikuler. Pada pemeriksaan likuor dapat dijumpai tekanan yang meninggi, warna merah/santokrom, kadar protein meninggi, kadar glukosa menurun. Bila cairan likuor berwarna merah/santokrom berarti terdapat beberapa ribu sel darah merah/mm3 maka dianjurkan CT scan untuk mengetahui lokasi dan luasnya perdarahan. 2. Pemeriksaan darah dapat ditemukan tanda-tanda anemi posthemoragik, analisa gas darah, gangguan pembekuan darah karena rendahnya fibrinogen, trombosit, atau antitrombin terutama pada perdarahan intrakranial neonatus non traumatik. Namun faktor-faktor ini akan menjadi normal bila keadaan bayi membaik. 3. Foto kepala tidak dapat menunjukkan adanya perdarahan, hanya fraktur yang sukar dibedakan dengan sutura, lipatan-lipatan kulit kepala dan molase. 4. Pemeriksaan ultrasonograf (USG) kerap kali digunakan untuk menentukan derajat perdarahan intraventrikuler sebagai berikut: Derajat 0 : tidak ada perdarahan intrakranial Derajat I : perdarahan hanya terbatas pada daerah sub ependimal Derajat II : perdarahan intraventrikuler Derajat III: perdarahan intraventikuler hingga terjadi dilatasi ventrikel Derajat IV: perdarahan intraventrikuler hingga terjadi dilatasi ventrikel dengan perluasan ke parenkim otak 5. Pemeriksaan computerized tomography (CT scan) dapat digunakan untuk mengetahui lokasi dan luasnya perdarahan intrakranial pada semua jenis perdarahan intrakranial neonatus. Pada CT Scan tampak daerah hipodensity disekitar hematome, ini disebabkan karena extravasasi serum dari hematome tersebut. Sementara itu MRI dapat digunakan untuk menentukan umur perdarahan dan akhibat perdarahan terhadap proses melinisasi otak.

D. PENGKAJIAN KEPERAWATAN Pengkajian dilakukan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik maupun penunjang untuk mendapatkan data secara lengkap atas keadaan klien. 1. Identitas Identitas sangat diperlukan dalam dokumentasi, karena sebelum melakukan segala bentuk tindakan medis termasuk tindakan keperawatan perlu dipastikan kembali identitas klien agar tidak terjadi kesalahan. Karena klien adalah neonatus maka identitas orang tua atau penanggungjawab juga perlu dicantumkan. 2. Riwayat Keperawatan a. Keluhan utama. b. Riwayat penyakit sekarang c. Riwayat persalinan sekarang. riwayat penyakit menular seksual, riwayat perawatan antenatal, riwayat persalinan seperti ada/tidaknya ketuban pecah dini, partus lama atau sangat cepat (partus presipitatus). d. Riwayat persalinan dahulu. e. Riwayat kesehatan keluarga. f. Riwayat kesehatan lingkungan. g. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan. h. Imunisasi. 3. Pengkajian fisik a. Kesadaran dan keadaan umum Adanya gangguan kesadaran antara lain apati, somnolen, sopor atau bahkan koma. Biasanya neonatus tidak mau minum, menangis lemah dan merintih (cephalic cry). Nilai tertinggi dari pemeriksaan GCS adalah 15 dan terendah adalah 3. Berdasarkan nilai GCS, cedera kepala dapat dibagi atas: Cedera kepala ringan (mild head injury) GCS 14-15 Cedera kepala sedang (moderate head injury) GCS 9-13 Cedera kepala berat (severe head injury) GCS 8

Respons Mata 4 3 2 1 Respons Motorik 6 5 4 3 2 1 Respons Verbal 5 4 3 2 1

1 tahun Membuka mata dengan spontan Membuka mata oleh perintah Membuka mata oleh nyeri Tidak membuka mata 1 tahun Mengikuti perintah Melokalisasi nyeri Menghindari nyeri Fleksi abnormal (decortikasi) Ekstensi abnormal (deserebrasi) Tidak ada respons 2-5 tahun Menyebutkan kata-kata yang sesuai Menyebutkan kata-kata yang tidak sesuai Menangis dan menjerit Mengeluarkan suara lemah Tidak ada respons

0-1 tahun Membuka mata dengan spontan Membuka mata oleh perintah Membuka mata oleh nyeri Tidak membuka mata 0-1 tahun Belum dapat dinilai Melokalisasi nyeri Menghindari nyeri Fleksi abnormal (decortikasi) Ekstensi abnormal (deserebrasi) Tidak ada respons 0-2 tahun Menangis kuat Menangis lemah Kadang-kadang menangis/ menjerit lemah Mengeluarkan suara lemah Tidak ada respons

b. Tanda-tanda vital Nadi fluktuatif dapat teraba lambat maupun cepat, serta kadang disertai dengan hipotermi. c. Head to toes - Kulit Turgor elastis, hiper/hipopigmentasi tidak ada, kulit pucat, ikterus, tumor dan oedema tidak ditemukan. - Kepala Bentuk kepala relatif simertis, sutura belum menutup. Bentuk tulang kepala cenderung melebar pipih pada tulng parietal (ship shape). Teraba cephalhematoma dan atau caput succadeum,

moulage relatif. Fontanel tegang dan menonjol karena peningkatan tekanan intrakranial - Mata Mata terbuka dan hanya memandang ke satu arah tanpa reaksi. Pupil melebar, refleks cahaya lambat sampai negatif. Kadangkadang ditemukan perdarahan pada retina, nistagmus, dan eksoftalmus. - Hidung Simetris, bersih, mungkin terlihat ada pernafasan cuping hidung. - Telinga : Simetris, bersih, tidak ada tanda radang telinga/mastoid. Membrana timphani utuh. - Mulut : Bibir tidak cyanosis, mukosa mulut lembab, bibir tremor tidak ditemukan, tonsil tidak membesar. Suara tangisan lemah namun melengking. Gejala gerakan lidah menjulur keluar di sekitar bibir biasanya menunjukkan perdarahan yang luas dengan kerusakan pada korteks. - Leher : Tidak terdapat pembesaran kelenjar thiroid dan kelenjar submandibular. Tidak ditemukan distensi vena jugularis. - Thorax : Inspeksi Palpasi Perkusi : Lingkar dada tidak membesar, bentuk simetris : Gerak dada simetris, taktil fremitus simetris. : Tidak ditemukan pekak abnormal dan ronchii. - Abdomen : Inspeksi Palpasi : tidak ada lesi, massa dan distensi vena abdominal : teraba supel Auskultasi : bising usus terdengar Suara jantung S1S2 tanpa split/ suara

Auskultasi : Suara napas lapang paru vesikuler tanpa wheezing jantung tambahan.

Perkusi abnormal

terdengar

timpani,

tidak

ditemukan

pekak

- Ekstremitas Bentuk simetris tanpa ada lesi/bekas lesi, tidak ditemukan deformitas, krepitasi. Akral mungkin teraba dingin namun tidak ada oedema pada ektremitas. - Genital Labia mayora sudah menutupi labia minora, simetris, tidak terdapat pembesaran abnormal, tidak terdapat fimosis. - Anus Lubang anus ada, posisi simetris - Refleks : Reflek Moro: Reflek memeluk saat bayi dikejutkan dengan tangan Sucking reflek: Reflek menghisap pada bayi Grasping reflek: Reflek memegang pada bayi Rooting reflek: Bayi menoleh saat tangan ditempelkan ke sisi pipi 4. Pemeriksaan diagnostik dan hasil. Pemeriksaan laboratorium seperti likuor dan darah rutin perlu dilakukan untuk menunjang penetapan diagnosis dan intervensi keperawatan yang tepat.

E. INTERVENSI KEPERAWATAN DAN KOLABORASI 1. Pembatasan tindakan untuk mencegah cedera yang lebih parah. 2. Perawatan neonatus dalam ikubator dengan suhu 33 untuk mencegah hipotermi 3. Pemberian terapi O2 agar bayi tidak mengalami asfiksia dan hipoksia. Serta menjaga patensi jalan napas apalagi jika neonatus dalam keadaan koma maka diposisikan lateral untuk mencegah aspirasi serta penyumbatan laring oleh lidah dan kepala ditinggikan untuk mengurangi tekanan vena cerebral.

4. Observasi tingkat kesadaran, reaksi dan besarnya pupil, aktivitas motorik, frekuensi pernapasan, denyut nadi, suhu tubuh dan diuresis. Diuresis kurang dari 1ml/kg BB/jam menunjukkan penurunan fungsi ginjal sementara diuresis lebih dari nilai tersebut menunjukkan fungsi ginjal tidak mengalami gangguan. 5. Pemberian cairan parenteral untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan elektrolit neonatus berupa larutan glukosa 5-10%, NaCl 0.9%, atau glukosa 5% dan Nabik 1.5% dengan perbandingan 4:1. 6. Pemberian terapi obat sesuai dosis yang dianjurkan Kortikosteroid seperti dexametason untuk anti inflamasi dan immuneregulator Antibiotik berupa cephalosporin seperti ceftriaxone atau aminoglikosida seperti gentamicin untuk mencegah infeksi patogen maupun bakteri gram positif atau negatif Valium atau luminal bila ada kejang, dosis pemberian valium 0.30.5mg/kgBB jika dalam 15 menit kejang belum berhenti ulangi dosis yang sama, jika kejang berhenti berikan luminal 10mg/kgBB. 4 jam kemudian berikan luminal 8mg/kgBB/12jam dalam 2 hari, selanjutnya 4mg/kgBB/12jam. 7. Prosedur pungsi lumbal dilakukan untuk menurunkan tekanan intrakranial, mengeluarkan darah, mencegah terjadinya obstruksi aliran likuor dan mengurangi efek iritasi pada permukaan korteks. 8. Tindakan bedah darurat Penatalaksanaan perdarahan subdural tindakan explorative

burrhole dilanjutkan dengan kraniotomi, pembukaan durameter, evakuasi hematoma dengan irigasi menggunakan cairan garam fisiologik. Penatalaksanaan perdarahan subaraknoid umumnya bersifat simptomatik, misalnya pengobatan terhadap kejang atau

gangguan nafas. Selanjutnya perlu dilakukan observasi terhadap kadar darah tepi dan sistem kardiovaskular serta kemungkinan

terjadinya hiperbilirubinemia. Selain itu perlu diawasi terhadap kemungkinan terjadinya komplikasi hidrosefalus. Penatalaksanaan perdarahan intrasereberal umumnya sulit

dilakukan karena tidak mudah menegakkan diagnosis dini perdarahan intraserebelar. Tindakan intervensi bedah hanya dilakukan pada bayi cukup bulan bila dengan pengobatan konservatif keadaan neurologik bayi tetap tidak menunjukkan perbaikan. Pada bayi kurang bulan tindakan bedah akan menghadapi masalah lebih sulit. Penatalaksanaan PPV-IV sering dilakukan shunt antara ventrikel lateral dan atrium kanan karena sering terjadi obstruksi cairan likuor.

F. DAFTAR PUSTAKA Doenges, M.E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta: EGC. Markum, AH.1999. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jilid II. Jakarta: Gaya baru. Muttaqin, Arif. 2008. Pengantar Asuhan Keperawatan klien dengan gangguan sistem persarafan. Jakarta : Salemba Medika. IDAI. 2004. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Ed. I. Jakarta: PP IDAI Smeltzer, Suzanne C., Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah Brunner & Suddarth Ed. 8. Jakarta : EGC. Snel, Ricard S. 2006. Neuroanatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta : EGC Tarwoto, Wartonah, Eros Siti Suryati. 2007. Keperawatan Medikal Bedah : Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta : CV. Sagung Seto. Underwood, J. C. E. 1999. Patologi Umum dan Sistematik. Vol 2. Jakarta : EGC Wiknjosastro H. 2010. Perdarahan pada neonatus, dalam Buku Ajar Ilmu Kebidanan dan Kandungan. Edisi 3. Jakarta: Penerbit Yayasan bina pustaka sarwonohardjo. Wong, Donna L. 2004. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Ed 4. Jakarta: EGC

G. PATHWAY
Persalinan dengan tindakan Deselerasi kepala

Partus lama

trauma kepala

trauma jaringan lunak

trauma jaringan serebral Perubahan cairan intra dan ekstra sel vasodilatasi

Sutura belum menutup sempurna

cephalohematoma

suplai darah ke daerah trauma Risiko cedera Menekan jaringan sekitar Perdarahan intrakranial

Tekanan intrakranial

cairan intrakranial

Sirkulasi serebral

Gangguan perfusi jaringan serebral

Merangsang hipotalamus Produksi ADH

Hipoksia jaringan Pemberian terapi oksigen

Retensi Na Gangguan keseimbangan elektrolit Pemberian cairan parenteral intravena umbilikal Risiko tinggi infeksi

BAB III PEMBAHASAN A. ANALISA Perdarahan menyebabkan intrakranial merupakan yang berat suatu pada kondisi penderita yang dan

ketidakmampuan

mempunyai tingkat mortality yang tinggi bila tidak dilakukan penatalaksanaan yang cepat dan tepat. Penyebab utama dari perdarahan intrakranial pada neonatus adalah trauma. Faktro predisposisi yang dapat meningkatkan kejadian perdarahan intrakranial diantaranya bayi

premature, presipitatus, persalinan sulit atau persalinan lama dimana terjadi molase yang begitu kuat pada kepala, persalinan dengan alat (vakum atau forcep), disproporsi cepalopelvik, presentasi abnormal. Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa setiap jenis perdarahan intrakranial memiliki karakteristik dan tanda gejala khas masing-masing. Meskipin demikian secara fisiologis ruang di dalam tulang tengkorak sangat terbatas, sehingga perdarahan jenis apapun akan menyebabkan bertambahnya tekanan intrakranial. Hingga akhirnya perdarahan tersebut akan menimbulkan kerusakan pada sel-sel otak dan menyebabkan kompresi batang otak. Maka dari itu tindakan dekompresi dan evakuasi hematoma adalah penanganan yang paling efektif untuk mengurangi massa abnormal dalam rongga intrakranial sehingga memungkinkan terjadinya perbaikan. Pada kasus ini bayi Y mengalami perdarahan intrakranial dengan tanda-tanda kepala mengalami pembesaran, kepala teraba lunak, fontanel menonjol, sutura belum menutup dan melebar, selain itu pernapasan juga melambat, kulit pucat dan kesadaran letargis yang muncul pada hari kedua post natal. Riwayat persalinan lama sehingga harus dilakukan ekstraksi vakum kemungkinan besar menjadi penyebab terjadinya perdarahan intrakranial pada klien, mengingat faktor-faktor lain yang menyebabkan perdarahan intrakranial seperti gangguan pembekuan darah, syok, infeksi intrauterin, asfiksia, kelainan jantung bawaan,

kelahiran preterm, bayi dengan berat badan lahir rendah, persalinan sulit maupun apgar score rendah ternyata tidak ditemukan pada klien. Berdasarkan pemeriksaan darah ditemukan kadar hemoglobin, hematokrit, eritrosit yang berada dibawah rentang nilai normal, disamping itu jumlah leukosit darah di atas rentang nilai normal. Hal ini dapat diartikan klien mengalami anemia posthemoragik dan berisiko terjadi infeksi. Maka dari itu dilakukan transfusi darah PRC (package red cell) yang sebagian besar mengandung eritrosit namun masih mengandung sedikit leukosit dan trombosit untuk mencegah kegawatan karena anemia. Selain itu tindakan kolaborasi yang dilakukan adalah pemberian terapi obat antara lain: antibiotik (ceftriaxon, gentamicin); koagulasia (phytomenadione, transamin); antikonvulsi (phenobarbital); cerebral activator (soholin); diuretik (lasix, furosemide), terapi oksigen melalui nasal kanul sebanyak 1 liter, terapi cairan parenteral NaCl atau D5, dan fototerapi 2x 6jam jika didapati ikterus pada klien. Tindakan keperawatan yang diterapakan pada bayi Y antara lain pemantauan tanda-tanda vital (nadi, suhu, dan pernapasan), monitor intake dan output cairan, penilaian kesadaran, modifikasi lingkungan yang aman dan nyaman (inkubator bersuhu 33.0), menjaga sterilitas prosedur invasif, dan seterusnya. Semua tindakan tersebut bertujuan untuk memaksimalkan perfusi serebral, pengaturan fungsi secara optimal/ mengembalikan ke fungsi normal, mencegah komplikasi seperti cedera dan infeksi, serta pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana pengobatan, dan rehabilitasi kepada keluarga. Pemeriksaan penunjang CT scan dan MRI seharusnya dilakukan agar diagnosa perdarahan intrakranial yang lebih spesifik pada lokasi perdarahan, akan tetapi sarana ini tidak tersedia sehingga seharusnya klien dirujuk ke fasilitas pengobatan yang lebih memadahi. Meskipun telah dilakukan motivasi kepada keluarga agar klien mendapatkan penanganan yang lebih lanjut namun keluarga menolak karena berbagai pertimbangan dan keterbatasan. Sehingga perawatan klien saat ini difokuskan agar tidak terjadi komplikasi dan cedera.

B. EVALUASI Tindakan keperawatan terhadap By Y dengan perdarahan intrakranial telah dilakukan selama 3x24 jam. Dalam perjalanannya tidak semua masalah keperawatan yang ada pada klien dapat diatasi dengan tuntas. Bahkan ada komplikasi yang muncul yaitu peningkatan bilirubin (hiperbilirubinemia) sehingga memerlukan tindakan kolaborasi berupa fototerapi semenjak klien terlihat ikterik. Meskipun demikian setelah dilakukan fototerapi masalah dapat teratasi setelah dilakukan fototerapi selama 2 kali 6 jam dalam kurun waktu 2 hari. Pemantauan juga harus selalu dilakukan mengingat kondisi klien yang masih belum stabil dan bisa terjadi komplikasi sewaktu-waktu. Saat melakukan tindakan keperawatan pada klien juga harus memperhatikan faktor keamanan, mengingat klien mengalami trauma pada kepala sehingga klien tidak boleh diangkat-angkat dan berhati-hati. Selain itu sebelum dan sesudah melakukan kontak dengan klien juga harus mencuci tangan agar tidak terjadi infeksi nosokomial.

Anda mungkin juga menyukai