Anda di halaman 1dari 13

Teori bunuh diri Emile Durkheim

Posted In Social Politic | Jumat, Januari 06, 2012 | No Comments be the first

Emile Durkheim lahir di Epinal, Prancis pada tanggal 15 April 1858. Ia adalah seorang yang memiliki keturunan dari orang yahudi. Dia menolak karier akademis tradisional di bidang filsafat dan berusaha memperoleh pelatihan ilmiah yang diperlukan untuk memandu moral masyarakat. Walaupun dia tertarik pada sosiologi ilmiah, namun dimasa itu belum ada disiplin sosiologi, sehingga antara tahun 1882 sampai 1887 dia mengajar filsafat dibeberapa sekolah propinsi di sekitar Paris. Durkheim melakukan perjalanan ke Jerman dimana ia berkenalan dengan psikologi ilmiah yang dirintis oleh Wilhelm Wundt. Durkheim menerbitkan beberapa karya yang melukiskan pengalamannya di Jerman. Publikasipublikasi ini membantunya memperoleh posisi di departement filsafat di Universitas Bordeaux pada tahun 1887.

Tahun 1893 ia menerbitkan tesis doktoral dalam bahasa Prancis, The Division of Labour in Society dan tesisnya dalam bahasa latin Montesquieu. Pernyataan metodologis utamanya, The Rules of Sociologycal Method yang terbit tahun 1895. Pada tahun 1897 diikuti oleh penerapan metode-metode tersebut dalam study empiris dalam buku Le Suicide. Tahun1896 ia menjadi profesor penuh di Bordeaux. Kini Durkheim sering kali disebut sebagai seorang yang berhaluan politik konservatif dan pengaruhnya dalam bidang sosiologi jelas-jelas konservatif. Namun pada zamannya ia dipandang sebagai seorang liberal dan ini tercermin ketika ia secara aktif berperan dalam membela Alfret Dreyfus yang divonis mati karena penghinaan terhadap Tuhan. Durkheim wafat pada tanggal 15 November 1917.

Dalam studinya Le Suicide durkheim bermaksud untuk menyelidiki sampai sejauh mana dan bagaimana individu-individu dalam masyarakat modern masih tergantung dan berada di bawah pengaruh masyarakat. Dalam studi ini Durkheim merumuskan beberapa tipe bunuh diri, antara lain : 1). Egoistik Egoisme merupakan sikap seseorang yang tidak berintegrasi dengan kelompoknya dan memilih untuk menyendiri dari kehidupan sekitar yang berinteraksi dengan dirinya, kelompok disini merupakan tempat untuk berhubungan antara individu yang satu dengan individu yang lainnya, terdiri dari keluarga, teman-teman yang dekat, dan masyarakat luas. Biasanya tipe bunuh diri semacam ini didasari oleh sikap yang tidak terbuka kepada orang lain, sehingga akan menyebabkan perasaan

terasing dari masyarakat dan akan menyebabkan orang tersebut untuk memikirkan dan mengusahakan kebutuhannya sendiri tanpa memperhatikan kebutuhan maupun bantuan dari orang lain ataupun masyarakat. Dalam kehidupannya pasti ia tidak memiliki tujuan tujuan bersama dalam kehidupan kelompoknya selain kepentingannya sendiri, sehingga ia akan merasa tersudut yang disebabkan oleh egoisme yang berlebihan dan akan mengakibatkan terjadinya bunuh diri. Dari beberapa hal tersebut dapat di analisis bahwa kondisi integrasi antara pelaku bunuh diri tersebut dengan kelompoknya dapat dikatakan rendah. Misalnya : siswa yang bunuh diri karena tidak lulus sekolah. 2). Altruistik Apabila bunuh diri egoistik disebabkan oleh kurangnya integrasi dengan kelompoknya, sementara bunuh diri altruistik adalah kebalikan dari tipe bunuh diri egoistik. Pengintegrasian antara individu yang satu dan lainnya berjalan secara lancar sehingga menimbulkan masyarakat yang memiliki integrasi yang kuat. Apabila kelompoknya menuntut bahwa mereka harus mengorbankan diri mereka, maka mereka tidak mempunyai jalan lain selain melakukannya karena mereka telah menjadi satu dengan kelompok mereka. Sehingga integrasi yang kuat tersebut akan menekan individualisme anggota kelompoknya ketitik dimana individu dipandang tidak pantas atau tidak penting dalam kedudukannya sendiri. Misalnya : perjuanagan pahlawan Indonesia dalam meraih kemerdekanaan Indonesia. 3). Anomik Anomi adalah keadaan moral dimana orang yang bersangkutan kehilangan cita-cita, tujuan, dan norma dalam hidupnya. Nilai-nilai yang semula memberi motivasi dan arah kepada perilakunya tidak berpengaruh lagi. Keadaan moral dimana orang bersangkutan kehilangan cita-cita, tujuan, dan norma dalam hidupnya sehingga akan menimbulkan kebimbangan pada diri seseorang. Keadaan anomi ini bisa melanda seluruh masyarakat ketika terjadi perubahan pada masyarakat tersebut secara cepat, tetapi di lain pihak masyarakat tersebut belum bisa mererima perubahan tersebut dikarenakan nilai-nilai lama pada masyarakat tersebut belum begitu mereka pahami sementara nilai-nilai yang baru belum jelas. 4). Fatalistik Tipe bunuh diri ini tidak terlalu banyak dibahas oleh Dukheim. Kalau bunuh diri anomik terjadi dalam situasi di mana nilai dan norma yang berlaku di masyarakat melemah, namun sebaliknya bunuh diri fatalistik ini terjadi ketika nilai dan norma yang berlaku di masyarakat meningkat, sehingga menyebabkan individu ataupun kelompok tertekan oleh nilai dan norma tersebut. Dukheim menggambarkan seseorang yang melakukan bunuh diri fatalistik seperti seseorang yang masa depanya telah tertutup dan nafsu yang tertahan oleh nilai dan norma yang menindas.
- See more at: http://reszha6days-7hardways.blogspot.com/2012/01/teori-bunuh-diri-emiledurkheim.html#sthash.hKbvvcNK.dpuf

Skenario Bunuh Diri II Bunuh Diri Altruistik

Berbeda dengan sebelumnya, yang satu ini terjadi karena rasa sosial yang kuat, dan umumnya berkonotasi positif. Orang yang melakukan bunuh diri altruistik dianggap telah berkorban untuk kepentingan orang lain. Sedemikian hingga pengorbanannya jadi nilai plus tersendiri. Contoh yang bagus di sini adalah orangtua yang mengorbankan diri untuk keselamatan anak. Namanya orang tua, sudah pasti tidak ingin anaknya terluka. Katakanlah misalnya sang anak hendak tertabrak mobil, maka orangtua akan mendorong anak supaya menjauh. Akan tetapi justru ini mengakibatkan orangtua tertabrak dan meninggal secara teknis orangtua telah bunuh diri, akan tetapi, bunuh diri di sini dipandang sebagai suatu kemuliaan. Seorang yang melakukan bunuh diri altruistik adalah orang yang bunuh diri untuk kepentingan orang lain atau masyarakat. Dalam kasus ekstrem misalnya pilot Kamikaze atau aktivis bom bunuh diri. Biarpun tahu akan tewas, mereka percaya pengorbanannya tidak sia-sia dan masyarakat yang dibela pun menghormati. Pada akhirnya bunuh diri di sini jadi bersifat utilitarian dan pragmatis.

Skenario Bunuh Diri III Bunuh Diri Anomik

Manusia adalah makhluk yang menginginkan kontrol. Orang pada umumnya gentar menjalani hidup yang tidak pasti. Oleh karena itu, diusahakan agar hidup dapat dikontrol untuk memenuhi kebutuhannya. Sebagai contoh, orang bekerja untuk mendapatkan keamanan finansial (= kontrol keuangan). Sama halnya dengan orang membangun rumah untuk mengamankan dari marabahaya umpamanya perampok atau hewan liar (= kontrol keselamatan diri).

Problemnya adalah ketika kontrol yang biasa dimiliki itu tiba-tiba hilang. Dalam sekejap rasa aman yang sudah dibangun hancur berantakan. Di sini akan timbul sebuah gejala psikologis yang disebut anomi rasa gentar di manaorang takut tidak mampu mengatur jalan kehidupannya. Tanpa kemampuan regulasi orang merasa tidak berdaya. Di sinilah kecenderungan untuk bunuh diri itu mengintai. Anomi terjadi manakala orang tak siap menghadapi perubahan sosial. Sebagai contoh orang yang mengalami post-power syndrome. Dia yang sebelumnya berpangkat mendadak tak punya orang untuk disuruh. Pada akhirnya dia terjangkit stres.[3] Begitu pula dengan veteran perang yang mengalami PTSD, atau orang kaya yang mendadak jatuh miskin. Pada dasarnya orang yang tak siap menerima perubahan berpotensi terkena anomi. Dan dari situ, jadi cenderung terdorong untuk mengakhiri hidup. (cf: bunuh diri egoistis di skenario I)

Skenario Bunuh Diri IV Bunuh Diri Fatalistik

Yang terakhir adalah skenario bunuh diri keempat, yakni bunuh diri fatalistik. Durkheim menyebut bunuh diri fatalistik ini sebagai kebalikan bunuh diri anomik dalam artian, hidup orang dikacaukan regulasi eksternal yang ketat. Orang yang melakukan bunuh diri fatalistik pada umumnya adalah orang yang merasa kalah dalam hidup. Setiap kali dia berusaha, selalu gagal. Cita-citanya untuk maju selalu terhambat; ke mana pun dia pergi selalu dihantui nasib buruk. Singkat cerita orang ini merasa bahwa dunia selalu kejam padanya. Sebab memang menurutnya semua yang dialami buruk-buruk terus. Dalam hal ini orang tersebut telah mengambil posisi fatalistik. Ia tidak lagi hendak berusaha, melainkan menyerahkan saja apa yang akan terjadi nanti. Dia memiliki ekspektasi buruk pada dunia. Oleh karena itu orang jenis ini jadi terdorong untuk pergi saja dengan kata lain, mengakhiri hidup di dunia yang kejam. Ada banyak contoh orang yang melakukan bunuh diri fatalistik. Barangkali kalau boleh dibilang, hampir semua orang bunuh diri yang masuk berita melakukan bunuh diri jenis ini. Menyerah pada himpitan ekonomi; menyerah karena tak kunjung tamat kuliah; atau lain sebagainya. Kasar-kasarnya: orang yang sudah menyerah dalam hidup jadi terdorong untuk bunuh diri; dia ingin secepat mungkin mengakhiri penderitaannya. *** Singkat cerita, demikianlah Durkheim merumuskan empat tipe bunuh diri ditinjau secara sosial. Menurut Durkheim orang bunuh diri tidak melulu dipengaruhi bawaan psikologisnya melainkan juga oleh faktor sosial. Hanya dengan mengamati dinamika sosial di sekelilingnya, maka kita dapat memahami rasa frustrasi orang yang hendak mengakhiri hidup. Demikian kira-kira kesimpulan tersirat Durkheim.

Penutup: Bunuh Diri dan Lingkungan Sosial

Sebagaimana telah kita lihat bersama, pada dasarnya gagasan Durkheim akan bunuh diri cukup simpel: bunuh diri itu diakibatkan oleh tekanan batin akibat situasi sosial. Dua hal yang krusial mempengaruhinya yakni faktor komunitas dan stabilitas. Seorang yang memiliki ikatan baik ke masyarakat akan jauh dari kemungkinan bunuh diri. Adapun di sisi lain, bunuh diri itu juga bisa dipicu oleh perubahan landscape sosial. Ketika orang tidak siap menghadapi perubahan sosial, maka di situlah stres menyergap. Pada akhirnya itu berpotensi mendorong orang melakukan bunuh diri. Barangkali, kalau saya boleh menafsirkan seenaknya, sebenarnya Durkheim hendak menyampaikan satu hal: bunuh diri itu adalah gejala sosial, oleh karena itu, pemecahannya juga harus bersifat sosial. Orang tidak mengentaskan dirinya dari depresi atau anomi dengan seorang diri. Problem itu harus diselesaikan secara sosial: melalui interaksi dengan masyarakat, maka orang terhindar dari suatu rasa frustrasi dan alienasi.[4] Adapun bunuh diri itu sendiri akhirnya tereduksi jadi pergulatan antara pribadi melawan persepsinya akan dunia. Apakah dunia ini layak dijalani? Atau lebih baik kalau ditinggalkan saja? Kenyataannya tidak ada jawaban mutlak untuk itu. Yang ada hanyalah seberapa penting dunia dan lingkungan sosial itu berarti di mata orang

Teori-teori Emile Durkheim


BAB I

PENDAHULUAN
1.

Latar Belakang

Emile Durkheim lahir di Epinal, Provinsi Lorraine, Perancis Timur pada April 1858. Durkheim boleh disebut sosiologi pertama yang sepanjang hidupnya menempuh jenjang ilmu sosiologi ang paling akademis. Dialah juga yang memperbaiki metode berfikir sosiologis yang tidak hanya berdasarkan pemikiran-pemikiran logika filosofis tetapi sosiologi akan menjadi ilmu pengetahuan yang benar katanya apabila mengangkat gejala sosial sebagai fakta-fakta yang dapat di observasi. A thing definite as anything that could be observed. Social phenomena, he said, must be treated as things, If Sosiology was to be made a science. Dan Durkheim pula dengan kukuh menolak interpretasi yang biologistik dan psikologistik terhadap masalah-masalah sosial. Itulah sebabnya Sorikin memasukkan Durkheim masuk kedalam aliran sosiologistik. Dia lahir dalam keluarga agamis namun pada usia belasan tahun terhadap agama lebih akademis daripada teologis. Pada usia 21 tahun Durkheim di terima di Ecole Normale Superieure setelah sebelumnya gagal dalam ujian masuk. Di Universitas tersebut dia merupakan mahasiswa yang serius dan kritis, kemudian pemikiran Durkheim di pengaruhi oleh dua orang profesor di universitasnya itu (Fustel De Coulanges dan Emile Bouttroux). Setelah menamatkan pendidikan di Ecole Normale Superieure, Durkheim mengajar filsafat di salah satu sekolah menengah atas (Lycees Louis-Le-Grand) di Paris pada tahun 1882 sampai 1887. Kemudian masih pada tahun 1887 (29 tahun) di samping prestasinya sebagai pengajar dan pembuat artikel dia juga berhasil mencetuskan sosiologi sebagai disiplin ilmu yang sah dibidang akademik karena prestasinya itu dia dirgai dan diangkat sebagai ahli ilmu sosial di fakultas pendidikan dan fakultas ilmu sosial di universistas Bourdeaux. Tahun 1893 Durkheim menerbitkan tesis doktoralnya dalam bahasa perancis yaitu The Division Of Labour in Society dan tesisnya dalam bahasa latin tentang Montesqouieu. Kemudian tahun 1895 menerbitkan buku keduanya yaitu The Rules of Socological Method. Tahun 1896 diangkat menjadi profesor penuh untuk pertama kalinya di Prancis dalam bidang ilmu sosial. Tahun 1897 menerbitkan buku ketiganya yang berjudul Suicide (Lesucide) dan mendirikan Socologique (jurnal ilmiah pertama tentang sosiologi). Tahun 1899 Durkheim ditarik ke Sorbonne dan tahun 1906 dipormosikan sebagai profesor penuh dalam ilmu pendidikan. Enam tahun kemudian (1912) menerbitkan karya keempatnya yaitu The Elementary Forms of Religious Life. Satu tahun setelahnya (1913) kedudukannya diubah menjadi profesor ilmu pendidikan dan sosiologi. Pada tahun ini sosiologi resmi didirikan dalam lembaga pendidikan yang sangat terhormat di Prancis. Tahun 1915 Durkheim mendapat musibah, putranya (Andre) cedera parah dan meninggal. Pada 15 November 1917 (pada usia 59 tahun) Durkheim meninggal sesudah menerima penghormatan dari orang-orang semasanya untuk karirnya yang produktif dan bermakna, serta setelah dia mendirikan dasar sosiologi ilmiah.

2. 1. 2. 3. 1. 2.

Rumusan Masalah Apa saja teori-teori yang dikemukakan oleh Emile Durkheim? Bagaimana kritik terhadap teori-teori Emile Durkheim? Tujuan Mengetehui dan memahami tentang teori-teori Emile Durkheim. Mengetahui kelemahan serta kritikan akan teori-teori Emile Durkheim.

BAB II PEMBAHASAN
1. 1.

Teori-teori Emile Durkheim Teori solidaritas (The Division of Labour in Society)

Dalam buku ini menerangkan bahwa masyarakat modern tidak diikat oleh kesamaan antara orang-orang yang melakukan pekerjaan yang sama, akan tetapi pembagian kerjalah yang mengikat masyarakat dengan memaksa mereka agar bergantung satu sama lain. Solidaritas menunjuk pada suatu keadaan hubungan anatara individu dan kelompok yang di dasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. 1. Solidaritas mekanis Masyarkat yang ditandai dengan solidaritas mekanis menjadi satu padu karena seluruh orang adalah generalis. Ikatan dalam masyarakat seperti ini terjadi karena mereka terlibat dalam aktivitas yang sama dan memiliki tanggung jawab yang sama. Oleh karena itu hubungan antar masyrakatnya sangat erat satu sama lain. Solidaritas mekanis dibetuk oleh hukum represif karena anggota masyarakat jenis ini memiliki kesamaan satu sama lain, dan karena mereka cenderung sangat percaya pada moralitas bersama, apapun pelanggaran terhadap sistem nilai bersama tidak akan dinilai maian-main oleh setiap individu. Pelanggar akan di hukum atas pelanggarannya terhadap sistem moral hanya pelanggaran kecil namun mungkin saja akan dihukum dengan hukuman yang berat. 2. Solidaritas organis

Masyarakat yang ditandai oleh solidaritas organis brtahan bersama justru dengan perbedaan yang ada didalamnya, dengan fakta bahwa semua orang memiliki pekerjaan dan tanggung jawab berbeda-beda. Karena masyarakat modern relatif memperlihatkan lapangan pekerjaan yang sempit, maka mereka membutuhkan banyak orang untuk bertahan. Keluarga modern membutuhkan penjual makanan, tukang roti, tukang daging, montir, guru, polisi, akuntan dan lain sebagainya. Masyrakat tersebut pada gilirannya membutuhkan bermacam-macam jasa dari orang lain agar dapat bertahan hidup di era modern ini. Dalam pandangan durkheim, masyrakat modern dipertahankan bersama oleh spesialisasi orang dan kebutuhan mereka akan jasa sekian banyak orang. Spesialisasi ini tidak hanya pada tingkat individu saja, akan tetapi juga kelompok, struktur, dan institusi

Masyarakat solidaritas organis dibentuk oleh hukum restitutif. Dimana seseorang yang melanggar harus melakukan restitusi untuk kejahatan mereka, pelanggaran dilihat sebagai serangan terhadap individu tertentu atau segmen tertentu dari masyarakat bukannya terhadap sistem moral itu sendiri. Dalam hal ini,

kurangnya moral kebanyakan orang tidak melakukan reaksi exstra emosional terhadap pelanggaran hukum. Durkeim berpendapat masyarakt modern bentuk solidaritas moralnya mengalami perubahan bukannya hilang. Dalam masyarakat ini, perkembangan kemandirian yang diakibatkan oleh perkembangan pembagian kerja menimbulkan kesadaran-kesadaran individu yang lebih mandiri, akan tetapi sekaligus menjadi semakin tergantung satu sama lain, karena masing-masing individu hanya merupakan suatu bagian saja dari suatu pembagian pekerjaan sosial. 2.

Sosiologi Agama

Menurut Durkheim sosiologi agama , agama terdiri dari usaha mengidentifikasi hakikat agama yang selalu ada sepanjang zaman dengan menganalisis bentuk-bentuk agama yang paling primitif . Singkat kata dia menemukan hakikat agama dengan cara memisahkan yang sakral dari provan . Yang sakral tercipta melalui ritual-ritual yang mengubah kekuatan moral masyarakat menjadi simbol-simbol religius yang mengikat individu dalam suatu kelompok . Durkheim mengatakan bahwa ikatan moral ini dapat berubah menjadi ikatan kognitif karena kategori-kategori pemahaman semisal klasifikasi waktu , tempat dan penyebab semuanya berasal dari ritual keagamaan . Masyarakat melalui individu menciptakan agama dengan mendefinisikan fenomena tertentu sebagai sesuatu yang sakral sementara yang lain sebagai provan . Aspek realitas sosial yang didefinisikan dan dianggap sakral inilah yaitu sesuatu yang terpisah dari peristiwa sehari-hari yang membentuk esensi agama . Sementara itu provan adalah suatu yang bisa dipakai aspek kehidupan duniawi . Durkheim tidak percaya bahwa agama itu tidak ada sama sekali karena tak lebih dari sekedar sebuah ilusi setiap fenomena sosial yang mudah menyebar pasti memiliki kebenaran . Namun kebenarannya tersebut belum tentu sama dengan yang diyakini oleh para penganutnya . Sebenarnya , sebagai orang agnostik Durkheim tidak percaya dengan realitas supranatural apapun yang menjadi sumber perasaan agama tersebut . Agama adalah sistem simbol yang dengannya masyarakat dapat menyadari dirinya , inilah satu-satunya cara yang bisa menjelaskan kenapa setiap masyarakat memiliki kepercayaan agama , akan tetapi masing-masing kepercayaan berbeds satu sama lain . Masyarakat merupakan kekuatan yang lebih besar dari kekuatan kita yang melampaui kita menuntut pengorbanan kita , menekan sifat egois kita dan mengisi kita dengan energi . Mastyarakat menurut Durkheim menggunakan kekuatan melalui representasi , Durkheim melihat tak lebih dari sekedar hasil pengejawantangan wujud Tuhan dan simbolisnya . Dengan kata lain masyarakat adalah sumber dari kesakralan itu sendiri . Kepercayaan Ritual dan Gereja , perbedaan antara yang sakral dan provan serta terangkatnya beberapa aspek kehidupan sosial ke level yang sakral memang merupakan syarat mutlak bagi keberadaan agama , namun belum cukup sebagai syarat kemungkinannya . kepercayaan adalah representasi yang mengekspresikan hakikat hal yang sakral dan hubungan yang mereka miliki, baik dengan sesama hal yang sakral dengan hal yang profan. Kedua mesti ada ritual agama yaitu aturan tingkah laku yang mengatur bagaimana yang mengatur bagaimana seorang manusia mesti bersikap terhadap hal-hal yang sakral tersebut. Ketiga agama membutuhkan tempat ibadah atau suatu komunitas moral yang melingkupi seluruh anggotanya. Hubungan timbal balik antara yang sakral, kepercyaan, ritual dan gereja mendorong durkheim untuk mengemukakan defini agama sebagai berikut : agama adalah kesatuan sistem kepercayaan dan praktik yang menyatu dalam sebuah komunitas moral tunggal yang dinamai gereja, semua yang melekat kepadanya. Durkheim sering berasumsi bahwa arus sosial dengan mudah di serap oleh individu melalui bentuk penularan akan tetapi disini ia merinci bagaimana proses tersebut bisa terjadi. Individu mempelajari sesuatu yang sakral dan kepercayaan yang berbaur melalui keikutsertaan dia dalam ritual dan komunitas gereja. Sebagaimana yang akan kita lihat berikut, juga bagaimana mempelajari kategori pemahaman. Lagi pula ritual dan gereja menjaga representasi masyrakat dari kehilangan tekanan mereka dengan mengulangi reaksi ingatan kelompok kolektif secara dramatis. Terakhir mereka menghhubungkan kembali individu dengan sosial, sumber kekuatan paling tinggi yang memberi inspirasi mereka kembali pada kesenangan dunia mereka.

Semangat kolektif. Momen yang aling bagus dalam sejarah adalah ketika kolektifitas menerima kegairahan kolektif baru yang levelnya lebih tinggi yang kemudian bisa mendorong terjadinya perubahan yang baik dalam struktur masyrakat semangat kolektif menentukan momen perkembangan sosial. Semangat kolektif adalah fakta sosial sejak awal. Durkheim menyatakan bahwa masyrakat adalah sumber agama, konsep tentang tuahan, dan segala sesuatu yang dianggap sakral. Dalam pengertian yang riil kita dapat menyimpulkan bahwa yang sakral, tuhan dan masyrakat adalah satu dan sama. Agama adalah sesuatu yang menghubungkan masyrakat dan individu , karena melalui ritual terhadap yang sakrallah kategori sosial menjadi dasar bagi konsep individu. Durkheim percaya bahwa problem utama masyrakat modern adalah moral alami dan bahwa solusi satusatunya hanya ada dalam penguatan daya moralitas kolektif. Meskipun durkheim bahwa tidak mungkin mengembalikan kekuatan kesadaran kolektif masyrakat solidaritas mekanis, namun dia yakin kalau bentuk modern solidaritasnya dapat diwujudkan. Individualisme moral berasal dari masyrakat , individualisme adalah produk sosial sama seperti moralitas dan agama. Bahkan dari masyrakat individu menerima keyakinan moral yang membuatnya menjadi tuhan. Pembelaan terhadap individu adalah pembelaan terhadap masyarakat, dan politik yang di dasarkan diatasnya memiliki kualitas religius. Kepercayaan terhadap seorang individu adalah satu-satunya kesadaran kolektif yang tersisa dalam masyrakat modern. Inilah sebabnya kepercayaan durkheim terhadap individu tidak berlawanan dengan teori sosiologinya.

Kasus dreyfus, individualisme, dan cendekiawan


Pada tahun 1894, seorang opsir perancis bernama dryfus dinyatakan bersalah melakukan pengkhianatan karena di duga membocorkan dokumen rahasia perancis kepada kedutaan besar jerman. Hal yang membuat kasusu ini menarik adalah dreyfus adalah seorang yahudi dan militer perancis memiliki reputasi buruk karena anti-semitismenya. Dua tahun kemudian ketika bukti-bukti sudah ditemukan justru malah membebaskan dreyfus, militer tetap mencoba menahannya. Untuk merespons hal ini emile zola menulis surat terkenal yang menuduh pemerintah perancis telah menghukum orang yang tidak bersalah. Banyak pemimpin intelektual perancis membela kasusu dreyfus dan mengutuk tradisi anti-semitisme dan otoriterisme dalam militer. Karena besarnya keprihatinan publik, kasusu ini kemudian segera menjadi konflik antara hak-hak individu dengan otoritas tradisional. Meski seorang yahudi dan karena itu secara pribadi turut peduli dengan masalah anti-semitisme, namun durkheim melihat perdebatan di pihak dreyfus dari posisi yang lebih abstrak. Dalam esainya berjudul individualisme and the intellectuals dia sepenuhnya mengembangkan idenya tentang individualisme moral. Dia dengan jelas menunjukkan bagaimana pembelaan hak individu adalah cara yang paling tepat untuk memeperkuat tradisi kita dan untuk menjaga masyarakat dari ancaman egoisme. Individualisme menjadi tradisi modern kita, dan menyerangnya tidak hanya berarti mengambil resiko kekacauan sosial, tetapi juga pemfitnahan.

3.

Teori Bunuh Diri (Suicide)

Emile Durkheim memilih studi bunuh diri karena persoalan ini relative merupakan fenomena kongkrit dan sfesifik, dimana tersedia data yang bagus cara komperatif .akan tetapi , alasan utama Durkheim untuk melakukan studi bunuh diri ini adalah untuk menunjukkan kekuatan disiplin sosiologi . Dia melakukan penelitian tentang angka bunuh diri di beberapa negara di Eropa . Secara statistik hasil dari data-data yang dikumpulkannya menunjukkan kesimpulan bahwa gejala-gejala /psikologi sebenarnya tidak berpengaruh terhadap kecenderungan untuk melakukan bunuh diri . Menurut Durkheim peristiwa-peristiwa bunuh diri merupakan kenyataan-kenyataan sosial tersendiri yang karena itu dapat dijadikan srana penelitian dengan menghubungkannya terhadap struktur sosial dan derajat integrasi sosial dari suatu kehidupan masyarakat .

dalam bukunya yaqng verjudul suicide di kemukakan dengan jelas hubungan integrasi sosial terhadap kecendrungan melakukan bunuh diri. Durkheim dengan tegas menolak anggapan lama tentang penyebab bunuh diri disebabkan oleh penyakit kejiwaan sebagaimana teori-teori psikologi mengatakannya. Dia juga menolak anggapan sarjana perancis gabriel tarde yang menyatakan bahwa bunuh diri akibat dari imitasi atau peniruan. Dia juga menolak teori iklim yang menghubungkan bunuh diri dengan alkoholisme dan dia juga menolak orang bunuh diri karena kemiskinan. dengan angka-angka statistik dari hasil penelitiannya di banyak negara ternyata kenyataan orang-orang dari lapisan atas ( kaya ) justru lebih tinggi tingkat bunuh dirinya di bandingkan dengan orang-orang di lapisan bawah atau miskin ( miskin ). Hal itu ditunjukkan dengan negara miskin di eropa seperti italy dan spanyol , justru memiliki angka bunuh diri yang lebih rendah di bandingkan dengan negera-negara eropa yang lebih makmur seperti perancis, jerman dan negara-negara skandinavia, demikian juga di negara-negara tersebut kels-kelas sosial di atas kota-kota justru lebih besar angka bunuh dirinya dibandingkan kelas bawah. Durkheim memusatkan perhatiannya pada 3 macam kesatuan sosial yang pokok dalam masyarakat : 1. Bunuh diri dalam kesatuan agama

Dari data yang dikumpulkan Durkheim menunjukkan bahwa angka bunuh diri lebih besar di negaranegara protestan dibandingkan dengan penganut agama katolik atau lainnya . .Penyebabnya terletak di dalam perbedaan kebebasan yang diberikan oleh masingmasing agama tersebut kepada para penganutnya . penganut agama protestan memperoleh kebebasan yang jauh lebih besar untuk menacari sendiri hakekat ajaran kitab suci, sedangkan dengan agama khatolik tafsir agama lebih ditentukan oleh pater ( pemuka-pemuka gereja ), sebaliknya agama protestan menolak ajaranajaran tradisional sebagaimana ditafsirkan oleh pemuka-pemuka gereja.akibatnya ialah bahg wa kepercayaan bersama dari orang-orang protestan menjadi berkurang sehingga timbul suatu keadaan di mana penganut ajaran protestan tidak lagi menganut ajaran-ajaran atau tafsir yang sama sehingga sekarang ini terdapat banyak sekte-sekte gereja protestan. Atau dengan kata lain ada perbedaan derajat integrasi sosial di antara penganut agama khatolik. Integrasi yang rendah dari agama protestan itu menyebabkan angka laju bunuh diri dari penganut ajaran ini lebih besar kecenderungannya melakukan bunuh diri dibhandingkan penganut ajaran khatolik. 2. Bunuh diri dalam kesatuan keluarga

Dari penelitian Durkheim disimpulkan bahwa semakin kecil jumlah anggota dalam suatu keluarga , maka akan semakin kecil pula einginan untuk hidup . Kesatuan sosial yang semakin besar mengikat orang dalam kegiatan-kegiatan sosial diantara anggota-anggota kesatuan tersebut . 3. Bunuh diri dalam Kesatuan Politik . Dari data ,yang ber hasil dihimpun , Durkheim menyimpulkan bahwa dalam situasi perang , golongan militer lebih terintegrasi dengan baik , dibandingkan dalam keadaan damai . sebaliknya dengan masyarakat sipil . Kemudian data tahun 1829-1848 disimpulkan bahwa angka bunuh diri ternyata lebih kecil dari masa revolusi atau pergolakan politik , dibandingkan dengan masa tidaj terjadi pergolakan politik . Durkheim membagi tipe bunuh diri ke dalam 4 macam : 1. Bunuh diri Egoistis

Tingginya angka bunuh diri egoitis dapat ditemukan dalam masyarakat atau kelompok dimana individu tidak berinteraksi dengan baik dalam unit sosial yang luas . Lemahnya integrasi ini melahirkan perasaan bahwa individu bukan bagian dari masyarakat , dan masyarakat bukan pula bagian dari individu . Lemahnya integrasi sosial melahirkan arus sosial yang khas , dan arus tersebut melahirkan perbedaan angka bunuh diri . Misalnya , pada masyarakat yang disintegrasi akan melahirkan arus depresi dan kekecewaan. Kekecewaan yang melahirkan situasi politik didominasi oleh perasaan kesia-siaan, moralitas di lihat sebagai pilihan individu, dan pandangan hidup masyarakat luas menekan ketidakmaknaan hidup, begitu sebaliknya. Durkheim menyatakan

bahwa ada faktor paksaan sosial dalam diri individu untuk melakukan bunuh diri, di mana individu menganggap bunuh diri adalah jalan lepas dari paksaan sosial. 4. Bunuh Diri Altruistis Terjadi ketika intergrasi sosial yang sangat kuat, secara harfiah dapat di katakan individu terpaksa melakukan bunuh diri. Salah satu contohnya adalah bunuh diri massal dari pengikut pendeta Jim Jones di jonestown, Guyana pada tahun 1978. Contoh lain bunuh diri di jepang (harakiri). Bunuh diri ini makin banyak terjadi jika makin banyak harapan yang tersedia, karena dia bergantung pada keyakinan akan adanya sesuatu yang indah setelah hidup di dunia. Ketika integrasi mengendur seseorang akan melakukan bunuh diri karena tidak ada lagi kebaikan yang dapat di pakai untuk meneruskan kehidupannya, begitu sebaliknya.

5.

Bunuh Diri Anomic

Bunuh diri ini terjadi ketika kekuatan regulasi masyarakat terganggu. Gangguan tersebut mungkin akan membuat individu merasa tidak puas karena lemahnya kontrol terhadap nafsu mereka, yang akan bebas berkeliaran dalam ras yang tidak pernah puas terhadap kesenangan. Bunuh diri ini terjadi ketika menempatkan orang dalam situasi normal lama tidak berlaku lagi sementara norma baru di kembangkan (tidak ada pegangan hidup). Contoh: bunuh diri dalam situasi depresi ekonomi seperti pabrik yang tutup sehingga para tenagah kerjanya kehilangan perkerjaan, dan mereka lepas dari pengaruh regulatif yang selama ini mereka rasakan. Contoh lainnya seperti booming ekonomi yaitu bahwa kesuksesan yang tiba-tiba individu menjauh dari struktur tradisional tempat mereka sebelumnya melekatkan diri. 6. Bunuh Diri Fatalistis

Bunuh diri ini terjadi ketika regulasi meningkat. Durkheim menggambarkan seseorang yang mau melakukan bunuh diri ini seperti seseorang yang masa depannya telah tertutup dan nafsu yang tertahan oleh disiplin yang menindas. Contoh: perbudakan.

KESIMPULAN
2.

Teori-teori Emile Durkheim

Solidaritas menunjuk pada suatu keadaan hubungan anatara individu dan kelompok yang di dasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Solidaritas mekanis Masyarkat yang ditandai dengan solidaritas mekanis menjadi satu padu karena seluruh orang adalah generalis. Ikatan dalam masyarakat seperti ini terjadi karena mereka terlibat dalam aktivitas yang sama dan memiliki tanggung jawab yang sama. Oleh karena itu hubungan antar masyrakatnya sangat erat satu sama lain. Solidaritas organis Masyarakat yang ditandai oleh solidaritas organis brtahan bersama justru dengan perbedaan yang ada didalamnya, dengan fakta bahwa semua orang memiliki pekerjaan dan tanggung jawab berbeda-beda. Karena masyarakat modern relatif memperlihatkan lapangan pekerjaan yang sempit, maka mereka membutuhkan banyak orang untuk bertahan.

Sosiologi Agama
Menurut Durkheim sosiologi agama , agama terdiri dari usaha mengidentifikasi hakikat agama yang selalu ada sepanjang zaman dengan menganalisis bentuk-bentuk agama yang paling primitif . Singkat kata dia menemukan hakikat agama dengan cara memisahkan yang sakral dari provan . Yang sakral tercipta melalui ritual-ritual yang mengubah kekuatan moral masyarakat menjadi simbol-simbol religius yang mengikat individu dalam suatu kelompok .

Teori Bunuh Diri (Suicide)


kesimpulan bahwa gejala-gejala /psikologi sebenarnya tidak berpengaruh terhadap kecenderungan untuk melakukan bunuh diri . Menurut Durkheim peristiwa-peristiwa bunuh diri merupakan kenyataan-kenyataan sosial tersendiri yang karena itu dapat dijadikan srana penelitian dengan menghubungkannya terhadap struktur sosial dan derajat integrasi sosial dari suatu kehidupan masyarakat

Anda mungkin juga menyukai