Islam Dan Postmodernisme
Islam Dan Postmodernisme
Ketika postmodernisme dikaitkan dengan Islam, kita juga bisa meniliknya dari dua
arah tersebut. Tapi di sini kita sulit mencari sosok pemikir yang secara spesifik dan
intens terlibat dalam wacana postmodernisme sebagai sebuah agenda filosofis-
intelektual. Barangkali hanya dua nama yang mudah disebutkan, yakni Mohamed
Arkoun dan Hassan Hanafi. Yang pertama seorang intelektual muslim kelahiran
Aljazair yang tinggal di Perancis, dan yang kedua berasal dari Mesir yang juga
banyak mengenyam pendidikan di Perancis. Keduanya memiliki keterlibatan
intelektual secara langsung dengan isu dan gerakan postmodernisme di Eropa. Dari
keduanya itu kelihatannya Arkoun lebih terlibat jauh. Berbagai karyanya, yang
sebagian besar masih dalam edisi Perancis, memang secara eksplisit
memperkenalkan konsep "dekonstruksi" dari Derrida dalam memahami Al-Qur'an,
meskipun dalam segi yang amat fundamental Arkoun berbeda dari Derrida dan
pemikir postmodernis yang lain.
Namun begitu kedua buah buku ini setidaknya memberikan pengantar bagi kita
untuk memasuki arena diskusi mengenai kaitan Islam dengan persoalan modernitas
dan postmodernitas.
Enam, semakin terbukanya peluang bagi klas-klas sosial atau kelompok untuk
mengemukakan pendapat secara lebih bebas. Dengan kata lain, era
postmodernisme telah ikut mendorong bagi proses demokratisasi.
Paradoks yang digaris bawahi Ahmed antara lain ialah: masyarakat mengajukan
kritik pedas terhadap materialisme, tapi pada saat yang sama pola hidup
konsumerisme semakin menguat; masyarakat bisa menikmati kebebasan individual
yang begitu prima yang belum pernah terjadi dalam sejarah, namun pada saat yang
sama peranan negara bertambah kokoh; dan masyarakat cenderung ragu terhadap
agama, tetapi pada saat yang sama terdapat indikasi kelahiran metafisika dan
agama.
Kontak kedua yang juga amat menentukan dalam perkembangan Islam terjadi pada
awal abad ke-20 ini. Gerakan pembaharuan dan modernisasi dalam Islam merebak
setelah Islam berjumpa dengan Barat modern. Hampir semua tokoh modernis dalam
Islam adalah mereka yang memiliki apresiasi kritis terhadap intelektualisme Barat.
Pada fase ini kontak dengan Barat memberikan pencerahan dalam pemikiran politik
dan apresiasi teknologi. Pada penghujung abad 20 ini, setelah Perang Dunia I dan II
kelihatannya pola hubungan Islam-Barat melahirkan nuansa-nuansa baru. Pada fase
ketiga inilah postmodernisme masuk sebagai salah satu agenda, meskipun bagi
mayoritas pemikir muslim, ia tetap merupakan bagian tak terpisahkan dari
paradigma westernisme-modernisme.
Sebagai akibat dari penjajahan itu, jika dalam agenda percaturan peradaban
mondial umat Islam berada di luar panggung permainan, hal itu--di samping karena
kelelahan intelektual yang menimpa dunia Islam--dikarenakan Barat memang tidak
ingin ada kelompok lain yang tampil menyainginya. Kelelahan intelektual dan
psikologis akibat penjajahan ini telah menyebabkan umat Islam merasa kurang
bertanggungjawab atas krisis dunia dan kemanusiaan yang sebagian besar
disebabkan oleh perilaku masyarakat Barat.
Secara psikologis, tidaklah mudah untuk menghapus begitu saja pengalaman pahit
akibat penjajahan Barat atas dunia Islam. Dengan meminjam istilah Josiah Royce,
jika konsep komunitas itu ditentukan oleh kenangan bersama tentang masa lalu
serta nilai-nilai yang dihayati bersama yang kemudian diproyeksikan ke masa depan,
maka kenangan anti Barat merupakan nilai dan memori yang berkembang secara
turun temurun dari generasi ke generasi umat Islam. Perkembangan ini bahkan oleh
Samuel Huntington dinilai semakin menguat, karena Barat sendiri melihat dunia
Islam sebagai ancaman terutama setelah jatuhnya komunisme.
Penilaian Huntington ini, menurut hemat saya, bukan mengada-ada, karena dia
sekedar membaca secara jeli terhadap denyut anatomi dan psikologi hubungan
Barat-Islam. Implikasi sinyalemen Huntington ini bagaikan bahan bakar yang
berfungsi mengawetkan api konflik atau "perang terbuka" antara Barat versus Islam.
Dan oleh karenanya pihak diplomat dan beberapa intelektual Amerika lainnya dibuat
sibuk berupaya "menutupi", "meralat" atau "membantah" deklarasi Huntington yang
jujur dan bisa merugikan mereka sendiri.
Di dalam dunia Islam sendiri isu anti Barat ini kadangkala dijadikan semacam
komoditi "legitimasi" untuk membangun popularitas dan keabsahan bagi munculnya
"pahlawan pembela umat". Dengan cara melancarkan serangan terhadap Barat,
meskipun secara retorik, seseorang akan mendapat applaus dari umatnya.
Sebaliknya, seorang muslim yang dinilai begitu dekat dengan Barat akan diragukan
ketokohan dan loyalitasnya pada kepentingan Islam. Di Indonesia, juga di beberapa
negara di Timur Tengah, gejala ini tidaklah sulit untuk diamati.
Dari uraian di muka, satu hal yang ingin saya tegaskan di sini ialah, perasaan
terancam dan luka historis dunia Islam akibat penjajahan cenderung menutupi bagi
terciptanya wacana yang jujur antara Barat dan Islam untuk melihat proyek
"modernitas" dan "postmodernitas". Hubungan antara keduanya lebih diwarnai
dengan kepentingan politis-ekonomis, yaitu relasi kuasa untuk saling menaklukkan
ketimbang dialog peradaban yang saling isi mengisi secara suka rela.
Tatanan realitas yang dibangun oleh cara pandang modernisme harus dibongkar,
mulai dari tataran epistemologinya. Mengapa? Karena dengan epistemologilah kita
memandang dan mendefinisikan realitas, dan pada urutannya di atas definisi yang
kita susun itulah kita bangun realitas kehidupan. Jika fondasinya sudah salah, maka
fondasinya akan membahayakan kehidupan itu sendiri.
Ayat yang pertama diturunkan bunyinya adalah: "Bacalah! Bacalah atas nama
Tuhanmu apa-apa yang telah Dia ciptakan" (Q.S. 96:1). Jadi, sejak pertama umat
Islam sudah ditantang untuk membaca teks berupa alam raya. Alam itu sendiri
artinya "tanda" yang menunjuk kepada realitas di luarnya. Kemudian Al-Qur'an
memperkenalkan "Ada" (Being) yang mendasari "semua yang ada" (beings) dengan
berbagai cara yang bersifat dialogis dan relasional, bukannya definitif positivistik.
Dengan mendasarkan pada Al-Qur'an, Al-Ghazali dalam bukunya, Sembilan Puluh
Sembilan Asma Tuhan, secara jelas membedakan antara name, naming dan the
named. Tuhan sebagai Realitas Absolut tidak mungkin dipahami oleh manusia
kecuali secara tidak langsung, parsial dan relasional, yaitu melalui "jejak-jejak"
karya-Nya yang kemudian menghubungkan manusia untuk mengapresiasi Tuhan
sesuai dengan tingkat intelegensianya serta situasi etis-psikologisnya.
Jadi, fungsi 99 nama Tuhan itu kira-kira merupakan "jendela" ataupun "tangga" bagi
orang yang beriman untuk mendekati dan menyapa Tuhan, bukannya
mendefinisikan-Nya. Jika Tuhan sebagai Realitas Absolut bisa difahami secara
"natural" atau bisa "dipresentasikan" sebagaimana kaum positivistik menghadirkan
realita, maka berarti Tuhan telah "dikuasai" oleh yang relatif, dan berarti dia tidak lagi
sebagai Ada Mutlak.
Pertama, Kitab Suci sebagai firman Tuhan diturunkan dalam penggalan ruang dan
waktu, sementara manusia yang menjadi sasaran atau "pemakai jasa" senantiasa
berkembang terus dalam membangun peradabannya. Dengan warisan kulminasi
peradaban yang turun temurun masyarakat modern bisa berkembang tanpa rujukan
kitab suci sehingga posisi kitab suci bisa saja semakin asing meskipun secara
substansial dan tanpa disadari berbagai ajarannya dilaksanakan oleh masyarakat.
Kedua, bahasa apa pun juga, termasuk bahasa kitab suci, memiliki keterbatasan
yang bersifat lokal karena bahasa adalah realitas budaya. Sementara itu pesan dan
kebenaran agama yang termuat dalam bahasa lokal tadi mempunyai klaim universal.
Di sini sebuah bahasa agama akan diuji kecanggihannya untuk menyimpan pesan
agama tanpa harus terjadi anomali atau terbelenggu oleh kendaraan bahasa yang
digunakannya.
Kelima, ketika masyarakat dihadapkan pada krisis epistemologi, kembali pada teks
Kitab Suci yang "disakralkan" tadi akan lebih menenangkan ketimbang mengambil
faham dekonstruksi yang mengarah pada relativisme-nihilisme.
Dari berbagai pertimbangan di atas, dan tentu saja bisa diperpanjang, maka antara
seorang muslim, kitab suci, sejarah kenabian, dan alam raya ini, terjadi semacam
lingkaran hermeneutik yang berdiri secara sejajar. Semakin cerdas kita mengajak
berdialog, maka akan semakin cerdas pula kitab suci, sejarah dan alam ini
memberikan jawaban balik pada kita.
Tetapi, barangkali berbeda dengan Derrida, proses dialog dan dekonstruksi ini hanya
mungkin dan bermakna jika di sana terdapat prinsip yang diterima bersama. Prinsip
itu ialah adanya semua yang ada (beings) dan Ada (Being), adanya "ciptaan" dan
"Pencipta". Secara konseptual kata "ciptaan" tidak bisa difahami kalau tak ada
hubungan relasional dengan konsep "Pencipta", dan sebaliknya. Di sini pengakuan
terhadap sesuatu yang bersifat "meta-eksistensi" memang mengesankan loncatan.
Tetapi lebih sulit lagi kalau kita menolak pengakuan ini.