Anda di halaman 1dari 15

PROGRAM STUDI KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARBARU 2010

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, atassegala rahmat dan karunia-Nya lah, makalah yang berjudul Pemanfaatan Hutan Gambut Yang Berwawasan Lingkungan ini telah dapat disusun dan diselesaikan tepat pada waktunya. Terima kasih saya ucapkan kepada kaka Lilik Nofianti, atas pengarahan dan dukungan yang telah diberikan, dan semua pihak yang telah membantu saya dalam penyusunan makalah ini. Saya berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Saya sadar bahwa makalah ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu untuk penyemprnaannya, kritik dan saran dari berbagai pihak untuk perbaikan isi makalah ini saya sambut dengan senang hati.

Banjarbaru, Oktober 2010

penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................ i DAFTAR ISI...................................................................................................... ii BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang...................................................................................... 1 1.2 Batasan Masalah.................................................................................. 2 1.3 Tujuan Penulisan Makalah.................................................................... 2 1.4 Metode Penulisan................................................................................... 2 BAB II. ISI 2.1 Pengertian Gambut................................................................................. 3 2.2 Penyebaran Lahan Gambut.................................................................... 3 2.3 Sifat-sifat Tanah Gambut....................................................................... 4 2.3.1 Sifat fisika...................................................................................... 5 2.3.2 Sifat Kimia..................................................................................... 5 2.4 Proses Pembentukan Gambut................................................................. 6 2.5 Dampak Pembukaan Gambut................................................................. 7 2.6 Strategi Pemanfaatan Hutan Gambut..................................................... 8 2.6.1 Kawasan Non Budidaya................................................................. 9 2.6.2 Konsep Tampung Hujan................................................................. 9 2.6.3 Pendekatan Agro-Manajemen Terpadu..........................................10 2.6.4 Pendekatan Teknis Budidaya.........................................................10 BAB III. PENUTUP 3.1 Kesimpulan............................................................................................11 3.2 Saran.......................................................................................................12 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang mempunyai potensi gambut nomer 4 terbesar di dunia setelah Rusia, Kanada dan Amerika Serikat dengan luasan sekitar 26 juta hektar dan di Indonesia terbanyak ditemukan di Pulau Sumatra (yaitu Sumatra bagian timur). Dari seluruh potensi tersebut, gambut yang mempunyai ketebalan kurang dari 1 meter seluas 16 juta hektar, dan yang mempunyai ketebalan 2 meter atau lebih sebesar 8,8 juta hektar. Dalam membuka hutan gambut harus hati-hati karena sifat hutan gambut yang sangat fragil (rapuh) dimana sekali dibuka akan merubah ekosistem dan untuk mengembalikan ke ekosistem semula memakan waktu yang sangat lama, karena ekosistem hutan gambut merupakan ekosistem yang telah stabil sebagai hasil dari interaksi ribuan tahun antara komponen biotik dan lingkungannya. Kestabilan ini menghasilkan tata air yang seimbang dan mempertahankan keberadaan flora dan faunanya. Dengan demikian pembukaan hutan gambut tidak boleh sewenang-wenang. Pembukaan vegetasi penutup lahan gambut akan mengakibatkan dipercepatnya proses dekomposisi, terjadinya subsidensi (amblesan) dan akan mengubah ciri dari ekosistem hutan gambut. Ketidak mampuan lahan gambut yang telah berubah untuk menyerap air, akan mengakibatkan banjir, oksidasi berlebihan akan merubah unsur sulfur menjadi sulfat dan sulfit yang merupakan racun tanaman, sehingga lahan gambut menjadi masam dan tidak subur. Dengan demikian apabila hutan gambut yang telah dibuka dan langsung dimanfaatkan untuk budidaya tanaman akan memberikan hasil yang rendah, sehingga umumnya sering dijumpai lahan tidur yang disebabkan oleh keadaan teknologi, sumberdaya manusia, maupun sosial ekonomi yang rendah. Disadari bahwa pengembangan lahan gambut menghadapi banyak kendala, antara lain berkaitan dengan sifat tanah gambut yaitu sering

mengalami penurunan permukaan (surut) dan kekeringan sehingga pada musim kering mudah terbakar. Bila ada banjir atau aliran air horisontal tinggi menyebabkan retensi air sangat rendah dan mudah hanyut. Berdasarkan sifat kimianya, lahan gambut mempunyai pH dan kejenuhan basa sangat rendah, hara tanah juga mudah tercuci dan nisbi C/N yang tinggi (Karama, 1996).

1.2

Batasan Masalah Batasan masalah pada makalah ini terbatas pada informasi mengenai strategi pemanfaatan hutan gambut dan metode penelitiannya.

1.3

Tujuan Penulisan Makalah Penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang pemanfaatan hutan gambut yang berwawasan lingkunagn agar tidak terjadi kerusakan lahan gambut dan upaya untuk memperbaiki lahan tersebut.

1.4

Metode Penulisan Metode penulisan makalah berdasarkan pengumpulan bahan referensi dari media internet yang berbentuk jurnal.

BAB II ISI

2.1

Pengertian Gambut Gambut terdiri dari tumpukan bahan organik yang belum

terdekomposisi (tidak terdekomposisi dengan baik), yang memerangkap dan menyerap karbon di dalamnya dan membentuk lahan dengan profil yang disusun oleh bahan organik dengan ketebalan mencapai lebih dari 20 meter. Tanaman-tanaman yang tumbuh di atas gambut membentuk ekosistem hutan rawa gambut yang mampu menyerap karbondioksida dari atmosfer untuk berfotosintesis dan menambah simpanan karbon dalam ekosistem tersebut.

2.2 Penyebaran Lahan Gambut Lahan gambut mempunyai penyebaran di lahan rawa, yaitu lahan yang menempati posisi peralihan diantara daratan dan sistem perairan. Lahan ini sepanjang tahun/selama waktu yang panjang dalam setahun selalu jenuh air (water logged) atau tergenang air. Tanah gambut terdapat di cekungan, depresi atau bagian-bagian terendah di pelimbahan dan menyebar di dataran rendah sampai tinggi. Yang paling dominan dan sangat luas adalah lahan gambut yang terdapat di lahan rawa di dataran rendah sepanjang pantai. Lahan gambut sangat luas umumnya menempati depresi luas yang menyebar diantara aliran bawah sungai besar dekat muara, dimana gerakan naik turunnya air tanah dipengaruhi pasang surut harian air laut. Luas lahan rawa yang terdiri tanah gambut dan tanah mineral (nongambut) di Indonesia diperkirakan seluas 39,4 -39,5 juta hektar, yakni kurang lebih seperlima (19,8 %) luas daratan Indonesia. Dari luasan tersebut tanah gambut terdapat sekitar 13,5-18,4 juta hektar atau rata-rata 16,1 juta hektar. Berdasarkan tingkat kesuburan alami, gambut dibagi dalam 3 kelompok yakni eutrofik (kandungan mineral tinggi, reaksi gambut netral

atau alkalin), oligotrofik (kandungan mineral, terutama Ca rendah dan reaksi masam) dan mesotrofik ( terletak diantara keduanya dengan pH sekitar 5, kandungan basa sedang). Ketebalan atau kedalaman gambut juga menentukan tingkat kesuburan alami dan potensi kesesuaiannya untuk tanaman. (Widjaja-Adhi, et al,1992) dan Subagyo, et al, (1996) membagi gambut dalam 4 kelas, yaitu dangkal (50-100 cm), agak dalam (100-200 cm), dalam (200-300 cm) dan sangat dalam (lebih dari 300 cm). Berdasarkan lingkungan tumbuh dan pengendapannya gambut di Indonesia dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu (1) gambut ombrogenous, dimana kandungan airnya hanya berasal dari air hujan. Gambut jenis ini dibentuk dalam lingkungan pengendapan dimana tumbuhan pembentuk yang semasa hidupnya hanya tumbuh dari air hujan, sehingga kadar abunya adalah asli (inherent) dari tumbuhnya itu sendiri (2) gambut topogenous, dimana kandungan airnya hanya berasal dari air permukaan. Jenis gambut ini diendapkan dari sisa tumbuhan yang semasa hidupnya tumbuh dari pengaruh elemen yang terbawa oleh air permukaan tersebut. Daerah gambut topogenous lebih bermanfaat untuk lahan pertanian dibandingkan dengan gambut ombrogenous, karena gambut topogenous mengandung relatif lebih banyak unsur hara (Rismunandar, 2001).

2.3 Sifat-sifat Tanah Gambut Sifat tanah gambut berbeda dengan tanah mineral. Menurut Jones (1984), nilai pH rendah itu disebabkan oleh asam-asam organik dan ion hidrogen dapat ditukar (H-dd) yang tinggi terkandung dalam tanah gambut. Menurut Buckman dan Brady (1982), secara umum kompleks koloid gambut dipengaruhi oleh hidrogen yang menyebabkan pH tanah gambut lebih rendah daripada tanah mineral. Bahan organik yang telah mengalami dekomposisi mengandung gugus- gugus reaktif yang mendominasi kompleks tukaran dan dapat bertindak sebagai asam lemah sehingga dapat terdisosiasi dan menghasilkan ion H+ dalam jumlah banyak, tergantung pada jumlah gugus fungsional dan derajat disosiasi. Diperkirakan 85 sampai 95 %

muatan pada bahan organik disebabkan oleh gugus karboksil dan fenol (Rachim, 1995).

2.3.1 Sifat Fisik Gambut tropis umumnya berwarna coklat kemerahan hingga coklat tua (gelap) tergantung tahapan dekomposisinya. Kandungan air yang tinggi dan kapasitas memegang air 15-30 kali dari berat kering, rendahnya bulk density (0,05-0,4 g/cm3) dan porositas total diantara 75-95% menyebabkan terbatasnya penggunaan mesin-mesin pertanian dan pemilihan komoditas yang akan diusahakan (Ambak dan Melling, 2000). Sebagai contoh di Malaysia, tiga komoditas utama yaitu kelapa sawit, karet dan kelapa cenderung pertumbuhannya miring bahkan ambruk sebagai akibat akar tidak mempunyai tumpuan tanah yang kuat (Singh et al, 1986). Sifat lain yang merugikan adalah apabila gambut mengalami pengeringan yang berlebihan sehingga koloid gambut menjadi rusak. Terjadi gejala kering tak balik (irreversible drying) dan gambut berubah sifat seperti arang sehingga tidak mampu lagi menyerap hara dan menahan air (Subagyo et al, 1996). Gambut akan kehilangan air tersedia setelah 4-5 minggu pengeringan dan ini mengakibatkan gambut mudah terbakar.

2.3.2 Sifat-sifat Kimia Ketebalan horison organik, sifat subsoil dan frekuensi luapan air sungai mempengaruhi komposisi kimia gambut. Pada tanah gambut yang sering mendapat luapan, semakin banyak kandungan mineral tanah sehingga relatif lebih subur. Tanah gambut tropis mempunyai kandungan mineral yang rendah dengan kandungan bahan organik lebih dari 90%. Secara kimiawi gambut bereaksi masam (pH di bawah 4) Andriesse (1988). Gambut dangkal pH lebih tinggi (4,0-5,1), gambut dalam (3,1-3,9). Kandungan N total tinggi tetapi tidak tersedia bagi tanaman karena rasio C/N yang tinggi. Kandungan unsur mikro khususnya Cu, B dan Zn sangat rendah ( Subagyo et al, 1996).

2.4

Proses pembentukan Gambut Gambut terbentuk karena pengaruh iklim terutama curah hujan yang merata sepanjang tahun dan topografi yang tidak merata sehingga terbentuk daerah-daerah cekungan. Vegetasi hutan berdaun lebar dapat tumbuh dengan baik, sehingga menghalangi masuknya sinar matahari yang akhirnya menyebabkan kelembaban tanah sangat tinggi. Ketinggian daerah tersebut biasanya kurang daripada 50 meter di atas permukaan air laut (berupa dataran rendah), tetapi dapat juga terdapat di dataran tinggi dengan ketinggian lebih daripada 2000 meter di atas permukaan air laut dengan bentuk wilayah datar sampai bergelombang dengan suhu rendah. Pada daerah cekungan dengan genangan air terdapat longgokan bahan organik. Hal ini disebabkan suasana yang langka oksigen menghambat oksidasi bahan organik oleh jasad renik, sehingga proses hancurnya jaringan tanaman berlangsung lebih lambat daripada proses tertimbunnya. Dengan demikian terbentuklah gambut. Agar lahan gambut dapat dimanfaatkan secara lestari dan berwawasan lingkungan maka perlu dilakukan strategi dalam pengelolaan gambut yaitu dengan melalui beberapa model pendekatan dan konsep antara lain pendekaan konservasi, kawasan non budidaya, pendekatan tampung hujan, pendekatan agro-manajemen terpadu dan pendekatan teknik budidaya. Gambut merupakan aset potensial untuk dapat digunakan baik langsung maupun tidak langsung bagi kemaslahatan dan kesejahteraan manusia. Fungsi gambut, selain sebagai penyangga lingkungan adalah penghasil berbagai produk seperti kayu, flora dan fauna. Daerah Kalimantan dan Sumatera memiliki kawasan hutan gambut sekitar 34 -58 jenis pohon

sebagai penghasil kayu. Jenis kayu yang mempunyai nilai ekonomi tinggi antara lain ramin, meranti, pulai, terantang. Makin sempitnya lahan-lahan subur dan makin meningkatnya jumlah penduduk, maka pengembangan pertanian dan perkebunan bergeser ke lahan-lahan piasan seperti gambut. Lahan gambut lebih diperuntukkan bagi pengembangan pertanian di kawasan Asia termasuk Indonesia (Noor, 2001).

2.5

Dampak Pembukaan Gambut Konversi lahan gambut menjadi lahan pertanian pada dasarnya merupakan konversi total, mulai dari pergantian jenis kehidupan menjadi ekosistem lain yang tidak lagi memiliki sifat-sifat gambut yang asli (indigen). Perubahan sifat ekologi yang paling tampak adalah perubahan pH, kadar garam dan penguraian bahan organik yang cenderung meningkat. Di lapangan memperlihatkan bahwa pembukaan hutan gambut yang paling menonjol adalah bukannya dilakukan untuk membuat lahan pertanian tetapi dilakukan untuk mengambil kayunya saja tanpa memperdulikan keberadaan dan ketebalan gambut apalagi manfaat gambut. Untuk itu kegiatan yang demikian harus dikendalikan dan diberhentikan melalui peraturan-peraturan daerah dan pemberian sanksi. Sedangkan di daerah dimana gambut dibakar untuk dijadikan lahan pertaniansering menimbulkan danau-danau kecil yang kemudian tumbuh rumput-rumputan dan gulma, sedangkan daerah yang kering yang ditinggalkan petani menjadi lahan tidur yang ditumbuhi oleh jenis Melaleuca atau Macaranga. Daerah gambut bekas pakai, dapat menjadi lebih tandus lagi dan hanya dapat ditumbuhi belukar yang banyak ditumbuhi oleh tumbuhan kantong semar (Nepenthus). Pemakaian lahan gambut untuk pembangunan pemukiman, sarana dan prasarana, penambangan minyak, penempatan bangunan industri dan sebagainya, meningkatkan resiko kebakaran. Di daerah dimana dilakukan tebang habis pada hutan gambut, suhu rata-rata naik 4oC, air tanah naik lebih tinggi lagi dan kelembaban nisbi turun menjadi 70%, pH meningkat menjadi 4,5-5,5. Kehilangan plasma nutfah adalah yang paling besar yang disebabkan oleh hancurnya siklus ekologi seperti siklus materi dan energi, siklus hara, siklus udara dan siklus hidrologis. Pengaruh langsung terhadap penurunan jenis kehidupan di daerah gambut adalah biosida yang digunakan dalam pertanian dan industri perkayuan. Biosida tersebut menyebar luas dalam lahan gambut yang

mengandung banyak air dan masuk ke dalam rantai makanan dengan cepat sehingga berakibat fatal terhadap keberadaan jasad hidup.

2.6

Strategi Pemanfaatan Hutan Gambut Telah diketahui bahwa ekosistem hutan gambut merupakan ekosistem yang telah stabil sebagai hasil dari interaksi ribuan tahun antara komponen biotik dan lingkungannya. Kestabilan ini menghasilkan tata air yang seimbang dan mempertahankan keberadaan flora dan faunanya. Selain itu, hutan gambut mempunyai sifat fisik dapat menyerap air yang berlipat ganda (fungsi alami dari bahan organik), dengan hilangnya hutan gambut akan menghilangkan fungsi penyerapan air ini. Sehingga pada waktu musim hujan karena hilangnya hutan gambut dalam jumlah besar (yang dapat berfungsi sebagai konservasi air) akan mengakibatkan banjir. Jadi, dalam suatu DAS yang memiliki areal hutan gambut yang sangat luas, harus berhati-hati dalam mentransformasi hutan gambut dalam bentuk lainnya dan diperlukana peraturan yang menetapkan boleh tidaknya hutan gambur dibuka dan harus transparan. Dengan demikian tidak seluruh hutan gambut boleh diubah fungsinya, melainkan harus ada strategi dalam pemanfaatan hutan gambut. Untuk itu diperlukan beberapa strategi dalam pemanfaatan lahan gambut agar tidak merubah lingkungan secara drastis, karena dampak negatif yang ditimbulkan dengan pembukaan hutan rawa yaitu (a) hilangnya berbagai jenis flora dan fauna spesifik gambut, (b), rusaknya habitat dan tempat mencari makan beberapa jenis fauna, (c) kemungkinan timbulnya intrusi air asin dari laut lewat saluran-saluran yang dibangun, (d) kenaikan keasaman tanah secara mencolok sebagai akibat teroksidasinya pirit, (e) timbulnya banjir di daerah hilir, (f) keterbatasan sumber air bersih khususnya untuk kebutuhan air minum, (g) secara global, berkurangnya kandungan oksigen di udara sebagai akibat semakin berkurangnya areal hutan dan (h) terjadinya penurunan muka tanah sebagai akibat proses dekomposisi dan pemanfaatan tanah (Budianta, 2003). Mengingat hutan gambut termasuk ekosistem yang fragil, maka pembukaan hutan gambut jangan dilakukan secara besar-besaran dan harus dilakukan skala prioritas.

Gambut tebal tidak direkomendasikan untuk dibuka sebagai lahan budidaya tetapi sebagai gambut konservasi untuk air dan flora, fauna serta menyimpan cadangan karbon. Gambut konservasi dipertahankan sebagai wilayah cadangan dan dipertahankan untuk mengantisipasi perubahan iklim dunia dan mempertahankan plasma nutfah rawa, untuk mengawetkan fauna dan flora serta memberikan yang cukup luas untuk pemanfaatan dan penelitian di masa mendatang. Sehingga gambut konservasi didiamkan dalam bentuk hutan. Konservasi dalam hal ini diartikan sebagai pengelolaan penggunaan biosfer oleh manusia sedemikian sehingga memberikan manfaat lestari tertinggi bagi generasi sekarang sementara mempertahankan potensinya untuk memenuhi keutuhan dan aspirasi generasi mendatang (Hanson dan Manuel, 1987).

2.6.1 Kawasan Non Budidaya Kawasan pewakil untuk tujuan preservasi alam perlu ditentukan sebelum membuka hutan gambut. Distribusi, jumlah dan luasan kawasan pewakil perlu ditentukan alokasinya secara seimbang sehingga tujuan preservasi alam tercapai. Daerah yang dicadangkan untuk tujuan preservasi dijadikan kawasan non budidaya (buffer zone). Kawasan non budidaya terdiri atas jalur hijau sepanjang pantai dan sungai, dan kawasan non budidaya luasnya kira-kira sepertiga dari wilayah yang dibuka, walaupun gambut tersebut boleh dibuka karena ketebalannya memungkinkan sebagai lahan budidaya. Kawasan non budidaya juga bermanfaat untuk melindungi kerusakan lahan terhadap erosi maupun abrasi oleh air sungai/pasang

2.6.2 Kosep Tampung Hujan Sistem saluran yang sekarang digunakan di daerah gambut dapat dikatakan sudah efektif sebagai saluran drianase. Hanya di beberapa tempat agak kurang lancar karena adanya pendangkalan. Misalnya banyak lahan gambut yang telah dibuka menjadi sawah kering, tidak ada genangan air, walau musim hujan (contoh di Air Sugihan).

2.6.3 Pendekatan Agro-Manajemen Terpadu Lahan gambut selain mempunyai kesuburan yang sangat rendah untuk budidaya tanaman, juga wilayah untuk mencapai lahan gambut mempunyai akses ekonomi yang sangat jelek juga. Untuk mensukseskan kegiatan agribisnis di lahan gambut, maka harus seimbang antara kegiatan on farm dan off farm dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Kegiatan on farm telah dilakukan semenjak membuka gambut tetapi sampai sekarang belum menampakan keberhasilan yang menonjol untuk budidaya di lahan gambut. Karena budidaya di lahan gambut memerlukan modal yang sangat tinggi untuk mengoptimalisasikan lahan.

2.6.4 Pendekatan Teknis Budidaya Teknik budidaya ini dapat dilakukan untuk meningkatkan kondisi lahan marjinal menjadi lahan subur. Akan tetapi dalam prakteknya harus dipilih teknologi yang tepat. Tindakan untuk memperbaiki tubuh tanah diharapkan mengarah kepada perbaikan sifat-sifat tanah baik sifat fisik, kimia maupun biologi yang disebut ameliorasi. Ameliorasi ini dapat dilakukan dengan berbagai teknik antara lain teknik hidrologi, teknik kimiawi, dan bioteknologi. Dalam prakteknya ketiga teknik tersebut harus berjalan bersama-sama. mencegah terjadinya oksidasi pirit dan akhirnya dapat mencegah penurunan pH secara drastis. Indonesia mempunyai potensi gambut yang sangat besar (26 juta ha), tetapi luasan gambut di Indonesia ini perlu dilakukan inventarisasi ulang untuk mengetahui luas yang sebenarnya dan untuk menyusun strategi pengelolaan, karena pada tahun 1997 terjadi kebakaran hutan secara besarbesaran, sehingga diduga luasan gambut akan menurun.

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan Hutan gambut merupakan ekosistem yang fragil maka setiap pemgembangan dan pemanfaatan memerlukan perencanaan yang teliti, penerapan teknologi yang sesuai dan pengelolaan yang tepat. Untuk itu strategi yang dapat diusulkan adalah pendekatan konservasi, kawasan non budidaya, pendekatan tampung hujan, pendekatan agro-manajemen terpadu dan pendekatan teknik budadiya. pembukaan hutan gambut jangan dilakukan secara besar-besaran dan harus dilakukan skala prioritas. Gambut tebal tidak direkomendasikan untuk dibuka sebagai lahan budidaya tetapi sebagai gambut konservasi untuk air dan flora, fauna serta menyimpan cadangan karbon. Gambut konservasi dipertahankan sebagai wilayah cadangan dan dipertahankan untuk mengantisipasi perubahan iklim dunia dan mempertahankan plasma nutfah rawa, untuk mengawetkan fauna dan flora serta memberikan yang cukup luas untuk pemanfaatan dan penelitian di masa mendatang. Sehingga gambut konservasi didiamkan dalam bentuk hutan. Konservasi dalam hal ini diartikan sebagai pengelolaan penggunaan biosfer oleh manusia sedemikian sehingga memberikan manfaat lestari tertinggi bagi generasi sekarang sementara mempertahankan potensinya untuk memenuhi keutuhan dan aspirasi generasi mendatang.

3.2 Saran Sebagaimana yang telah diuraikan, makalah ini masih memiliki banyak kekurangan. Sehingga sangat perlu dilakukan perbaikan-perbaikan didalamnya. Perlu dilakukan analisis lebih lanjut dengan metode analisis yang lain nya.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2003. Strategi pemanfaatan hutan gambut yang berwawasan lingkungan 1. Bidang Kajian Utama Pengelolaan lahan, Universitas Sriwijaya. http://www.peat-portal.net/view-file.cfm?fileid=306 Anonim. 2009. Pengaruh Bioaktivator terhadap Pertumbuhan Sukun (Artocarpus communis Forst) dan Perubahan Sifat Kimia Tanah Gambut. Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. http://www.Journal.ipb.ac.id/index.php/jurnalagronomi/article/view/1674/720

Anda mungkin juga menyukai