Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

Sebelum lebih jauh memasuki wilayah Hukum Pidana Islam


telah di uraikan dalam pembahasan makalah sebelum kelompok
kami tentang pengertian filsafat Hukum Islam dan aspek-
aspeknya , kita ketahui bahwa wilayah kajian filsafat hukum
islam termasuk di dalamnya segala aspek filsafat yang lebih di
khususkan pada hukum-hukum islam sesuai Al-Qur’an dan
Hadist, seperti Tasyri, Syari’ah, Fiqh, Filsafat Hukum, dan Filsafat
Hukum Islam. selanjutnya pada bagian ini kami akan sedikit
membahas tentang Filsafat Hukum Pidana Islam, apabila kita
lihat dari pengertian Hukum Pidana sudah pasti adalah sebuah
Hukuman untuk orang-orang yang telah melanggar hukum, atau
kalau dalam hukum islam lebih dikenal dengan Jarimah dan
semacamnya. Dan untuk lebih jelasnya insaya Allah akan di
uraikan oleh Kelompok kami.

BAB II

PEMBAHASAN
1
A. Pengertian Hukum Pidana

Pengertian hukum pidana secara tradisional adalah


“Hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengandung
keharusan dan larangan terhadap pelanggarnya yang diancam
dengan hukuman berupa siksa badan”1

Pengertian lain adalah, “Hukum pidana adalah peraturan


hukum tentang pidana”. Kata “pidana” berarti hal yang
“dipidanakan”, yaitu hal yang dilimpahkan oleh instansi yang
berkuasa kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak
dirasakan dan juga hal yang tidak dilimpahkan sehari-hari.
Sedangkan Prof. Dr. Moeljatno, SH menguraikan berdasarkan dari
pengertian istilah hukum pidana bahwa “Hukum pidana adalah
bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara,
yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:

1. Menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh


dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman
atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa
yang melanggar larangan tersebut;
2. Menentukan dan dalam hal apa kepada mereka yang
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan
atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah
diancamkan;
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan
pidana itu dapat dilakasanakan apabila orang yang
disangkakan telah melanggar larangan tersebut “.2

1
Samidjo, SH., Ringkasan dan Tanya Jawab hukum Pidana, (Bandung: CV
Armico, 1985), h 1
2
Prof. Moeljatno, SH, Asas-Asas hukum Pidana, (Jakarta: PT Rineka Cipta,
2002), h 1

2
Berkenaan dengan pengertian dari hukum pidana, C.S.T.
Kansil juga memberikan definisi sebagai berikut: “Hukum pidana
adalah hukum yang mengatur pelanggaran-pelanggaran dan
kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan
yang diancam dengan hukuman yang merupakan suatu
penderitaan atau siksaan, selanjutnya ia menyimpulkan bahwa
hukum pidana itu bukanlah suatu hukum yang mengandung
norma-norma baru, melainkan hanya mengatur pelanggaran-
pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap norma-norma
hukum mengenai kepentingan umum“.

Adapun yang termasuk kepentingan umum menurut C.S.T kansil


adalah:

a) Badan peraturan perundangan negara, seperti


negara, lembaga-lembaga negara, pejabat negara,
pegawai negeri, undang-undang, peraturan
pemerintah dan sebagainya.
b) Kepentingan umum tiap manusia yaitu, jiwa, raga,
tubuh, kemerdekaan, kehormatan, dan hak
milik/harta benda3

Selanjutnya apabila dikaitkan dengan Hukum Islam sudah


jelas bahwa Al-Qur’an juga memerintahkan kepada kita untuk
taat dan patuh kepada Pemimpin (pemerintah) dan segala
aturan-aturan yang dibuat, selama aturan tersebut tidak
berlawanan dengan Al-Qur’an dan Assunnah. Antara pengertian
Pidana fositif dengan hukum islam Sebenarnya sama saja, Cuma
berbeda Istilah dan dalam hukum Pidana Islam Lebih identik
dengan kata Jarimah baik pengertian jarimah menurut bahasa
maupun istilah, pengertian jarimah tersebut tidak jauh beda
dengan pengertian tindak pidana (peristiwa pidana, delik) pada
3
http://www.pta-banjarmasin.net/index.php?content=mod_artikel&id=29

3
Hukum Pidana Fositif. Para fuqaha sering memakai kata-kata
“Jinayah” untuk “Jariamah” . semula pengertian jinayah adalah
hasil perbuatan seseorang yang dilarang oleh syara, baik
perbuatan itu mengenai jiwa atau harta benda ataupun lainnya.

Kata jinayah juga dipakai dalam Kitab UU Hukum Pidana


Republik Persatuan Arab (KUHP RPA) akan tetapi dengan
pengertian berbeda yaitu dengan pengertian yang berlaku
dikalangan Fuqaha yaitu lebih identik dengan perbuatan
mengenai jiwa orang atau anggota badan, seperti membunuh ,
melukai, memukul, mengguurkan kandungan dan sebagainya.

Jadi pada dasarnya syari’at hukum Islam sama


pendiriannya dengan Hukum Positif (hukum Umum) dalam
menetapkan perbuatan Jarimah beserta hukum-hukumnya, yaitu
memelihara kepentinagn dan ketentraman masyarakat, serta
menjamin kelangsungan hidupnya.

Meskipun demikian, terdapat perbedaan yang jauh antara


keduanya, yaitu bahwa syari’at menganggap ahlak yang tinggi
sebagai sandi masyarakat. Oleh karena itu syariat sangat
memperhatikan soal ahlak, dimana tiap-tiap perbuatan yang
bertentangan dengan ahlak yang tinggi tentu diancam dengan
hukuman. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan hukum
fositif yang boleh dikatakan telah mengabaikan soal-soal ahlak
sama sekali, dan baru mengambil tindakan, apabila perbuatan
tersebut membawa kerugian langsung bagi perseorangan atau
ketentuan masyarakat. 4

B. Filsafat Hukum Pidana Islam

Filsafat hukum pidana pada hakekatnya merenungkan nilai-


nilai hukum pidana, berusaha merumuskan dan menyerasikan
4
Ahmad hanafi, “ Asas-Asas Hukum Pidana Islam” Bulan bintang, Jakarta
Indonesia 1967. Hal 1-4

4
nilai-nilai yang berpasangan, tetapi yang mungkin bertentangan.
Objek dalam dogmatik hukum pidana adalah hukum pidana
positif, yang mencakup kaidah-kaidah dan sistem sanksi. Ilmu
tersebut bertujuan untuk mengadakan analisis dan sistematisasi
kaidah-kaidah hukum pidana untuk kepentingan penerapan yang
benar. Ilmu tersebut juga berusaha untuk menemukan asas-asas
hukum pidana yang menjadi dasar dari hukum pidana positif,
yang kemudian menjadi patokan bagi perumusan serta
penyusunan secara sistematis.
Dalam hukum Islam, tindak pidana diartikan sebagai perbuatan-perbuatan
yang dilarang oleh syara’ yang diancam oleh Allah dengan hukuman hudud atau
ta’zir. Pensyari’atan hukuman terhadap setiap tindak pidana dalam hukum islam
bertujuan untuk mencegah manusiamemperbuat tindakan tersebut. Dasar
pelarangan perbuatan pidana dan penetapan hukumnya dalam hukum islam adalah
demi melindungi kemaslahatan manusia memeliharan peraturan atau sistem yang
ada, serta terjaminnya keberlangsungan yang kuat dan berakhlak mulia. Penetapan
hukuman cenderung mengarah keapada hal-hal yang tidak disukai manusia, yakni
selama hukuman itu memberikan kemaslahatan masyarakat dan mencegah hal-hal
yang disukai mereka, selama hal itu dapat merusak mereka. Berdasarkan al-
Qur’an, perbuatan pidana yang dilakukan oleh seseorang yang bertanggungjawab
diberi hukuman yang tertentu sesuai dengan keadilan menurut petunjuk Allah.
Dasar daripada siapa yang berbuat pidana, perbuatan kejahatan apa yang dapat
dipidana dan bagaimana hukumannya. Pertama didasarkan kepada keimanan
kepada Allah dan wahyu Allah al-Qur’an dan kedua didasarkan kepada akal sehat
manusia untuk mendapatkan kemaslahatan di dunia dan kebahagiaan di akhirat.
Ajaran islam memandang bahwa hukuman yang dijatuhkan di dunia
menghapuskan dosa dan sisanya di akhirat. Sabda Rasulullah SAW., ”Hukuman di
dunia menghapuskan dosa di akhirat”.
Kejahatan-kejahatan pidana merupakan kejahatan:
1. Kejahatan terhadap jiwa dan raga manusia berupa pembunuhan dan
mencederai anggora badan (jarah), Allah SWT berfirman:
5
          
            
         
            
        
         
           
    
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang
merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa
yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar
(diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian
itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa
yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih . Dan
dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang
yang berakal, supaya kamu bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 178-179)
2. Kejahatan terhadap harta berupa pencurian terdapat dalam Firman
Allah SWT:
          
         
Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS.
Al-Maidah: 38)
3. Kejahatan terhadap kehormatan seperti berupa qadzaf. Allah
berfirman:
      
      
            
  
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat
zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka

6
(yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima
kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang
fasik. (QS. An-Nur: 4)
4. Kejahatan terhadap keluarga yaitu berbuat sesuatu yang tidak
diperbolehkan karena tidka menjadi suami isteri; yaitu kejahatan zina
seperti yang tercantum dalam al-Qur’an:
           
           
         
      

Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-
tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan
kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu
beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman
mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. (QS. An-Nur: 2)
5. kejahatan terhadap akal berupa perbutan merusakkan akal seperti yang
tercantum dalam firman-Nya: Artinya: Hai orang-orang yang
beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah , adalah termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan. (QS. Al-Maidah: 90.
Dan hukumanya didapat dari hadits Nabi bahwa Rasulullah SAW.,
menghukum peminum khamar dengan cambuk sebanyak 40 kali, demikian pula
Abu Bakar mencambuk peminum khamar 40 kali, sedangkan Umar
mencambuknya 80 kali.
6. Kejahatan terhadap agama, yang berupa murtad sebagaimana yang
ditunjuki oleh Allah dalam Firman-Nya: Artinya: Mereka bertanya
kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah:
"Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi
(manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk)
Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih

7
besar (dosanya) di sisi Allah . Dan berbuat fitnah lebih besar
(dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya
memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari
agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup.
Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia
mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di
dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka
kekal di dalamnya. (QS. Al-Baqarah: 217)
Hukuman duniawi terhadap murtad di dadapat dari hadits yang berbeda-
beda.
Kejahatan terhadap kepentingan umum, seperti perbuatan perampokkan dan
membuat kerusakan di muka bumi seprti yang terdapat dalam firman Allah SWT.,
Artinya: Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah
dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh
atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik , atau
dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu
penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang
besar. (QS. Al-Maidah: 33)
A. Macam-macam Hukuman
Ajaran Islam menetapkan hukuman:
1) Hukuman akhirat, sebagaimana di cantumkan dalam al-Qur’an
2) Hukuman duniawi yang diputuskan oleh hakim dan dilaksanakan hukumnnya
di dunia.
Hukuman duniawi ada dua, ada yang berdasarkan nas, dan adayang tidak
berdasarkan nas, melainkan diserahkan pada kebijaksanaan hakim untuk
mewujudkan kemaslahatan (’Uqubah tafwidiyah). Yang berupa ’uqubah nas, ada
yang berupa qisas, diyat, dan hadd, sedangkan hukuman ’uqubah tafwidiyah
berupa ta’zir yang bentuk dan sifatnya diserahkan kepada hakim. Hukuman
akhirat akanhapus apabila hukuman dunia telah dilaksanakan sesuai dengan
syari’at (hadd).

8
Dalam masalah kejahatan terhadap jiwa-jiwa manusia selain masalah
publik mengandung masalah perdata yang hukumannya diserahkan kepada ahli si
korban; apakah dengan qisas, apakah dengan diyat (mengganti kerugian kepada
famili) si korban, ataukah si famili mema’afka, tidak menuntut balas terhadap si
pembuat pidana. Hal ini memberikan rasa keadilan kepada keluarga yang mati
dibunuh orang. Karena terdapat kerugian keluarga yagn diakibatkan dari
hilangnya dalam keluarga itu. Hukuman qisas dan diyat terhadap pembunuhan ini
menghilangkan rasa dendam dari keluargasiterbunuh terhadap pembunuh dan
keluarganya.
Keluarga/wali si terbunuh diberi kekuasaan untuk menentukan hukuman
alternatif sebgai yang disebut dalam al-Qur’an, bahkan sampai memaafkannya
tidak memberi hukuman terhadap pembunuh. Apabila keluarga memaafkannya,
maka hak hakim yang mempunuai wewenang memberi hukuman ta’zir terhadap si
pembunuhg apabila hakim memandang si pembunh harus di hukum, hukuman
ta’zir menurut para ulama (Hanabilah) dapat berupa hukuman mati.
Bentuk hukuman qisas tentang mati yaitu dengan hukuman mati, sedangkan cara
bagaimana menghukum mati adalah termasuk masalah duniawiyah, yang
berhubungan denganmasalah kultur atau budaya.
B. Hukum Hadd
Yang termasuk dihukum dengan had menurut ahli fiqh: Murtad,
Zina,Khadzf, Pencuri, Merampok, Minum Khamer.
Hukuman-hukuma yang telah tersebut dalam nas, merupakan hukuman
hadd yang ditetapkan oleh Allah. Dari segi rasional dalam hukuman hadd,
hukuman yang ditetapkan oleh Allah mengandung masalah suprarasional yang
tidak cukup dengan penalaran akal karena keterbatasan akal untuk memahami
kebenaran yang ada di balik kemampuan akal. Yang paling nampak bahwa
masalah perbuatan dan akibatnya yang akan diterima di akhirat. Ajaran Islam
mencanangkan bahwa apabila hukuman telah dilaksanakan di dunia ia bebas dari
hukuman di akhirat.
C. Hukuman Ta’zir

9
Ta’zir hukuman yang tidak terdapat dalam nas, melainkan didasarkan
kepada pertimbangan akal sehat dan keyakinan hakim untuk mewujudkan
maslahat dan menimbulkan rasa keadilan. Ulama sepakat ta’zir dapat diterapkan
pada setiap maksiat pelanggaran yang tidak ada hukuman haddnya.Adanya ta’zir
dalam hukum Islam menjamin rasa keadilan masyarakat untuk mewujudkan
maslahat. Yang sifat dan bentuk hukuman ta’zir diserahkan kepada kebijaksanaan
akal sehat, keyakinan dan rasa keadilan hakim yang didasarkan kepada rasa
keadilan masyarakat.
C. Beberapa Prinsip dalam Pidana Islam
Adapun secara terminologinya Hasbi Ash-Shiddiqie mengungkapkan
bahwa hukum Islam sebagai hukum yang lain mempunyai azas dan tiang pokok
sebagai berikut :
a) Azas Nafyul Haraji yaitu meniadakan kepicikan, artinya hukum Islam dibuat
dan diciptakan itu berada dalam batas-batas kemampuan para mukallaf.
Namun bukan berarti tidak ada kesukaran sedikitpun sehingga tidak ada
tantangan, sehingga tatkala ada kesukaran yang muncul bukan hukum Islam
itu digugurkan melainkan melahirkan hukum Rukhsah;
b) Azas Qillatu Taklif yaitu tidak membahayakan taklifi, artinya hukum Islam
itu tidak memberatkan pundak mukallaf dan tidak menyukarkan;
c) Azas Tadarruj yaitu bertahap (gradual), artinya pembinaan hukum Islam
berjalan setahap demi setahap disesuaikan dengan tahapan perkembangan
manusia;
d) Azas Kemuslihatan Manusia yaitu Hukum Islam seiring dengan dan
mereduksi sesuatu yang ada dilingkungannya;
e) Azas Keadilan Merata yaitu artinya hukum Islam sama keadaannya tidak
lebih melebihi bagi yang satu terhadap yang lainnya;
f) Azas Estetika yaitu artinya hukum Islam memperbolehkan bagi kita untuk
mempergunakan/memperhatiakn segala sesuatu yang indah;
g) Azas Menetapkan Hukum Berdasar Urf yang Berkembang Dalam
Masyarakat yaitu Hukum Islam dalam penerapannya senantiasa
memperhatikan adat/kebiasaan suatu masyarakat;

10
h) Azas Syara Menjadi Dzatiyah Islam yaitu artinya Hukum yang diturunkan
secara mujmal memberikan lapangan yang luas kepada para filusuf untuk
berijtihad dan guna memberikan bahan penyelidikan dan pemikiran dengan
bebas dan supaya hukum Islam menjadi elastis sesuai dengan perkembangan
peradaban manusia.
Sedangkan lebih khusus lagi tentang Pidana Islam; Pertama, hukuman
ditimpakan kepada orang berbuat jarimah atau pidana, tidak boleh orang yang
tidak berbuat jahat dikenai hukuman sesuai dengan Firman Allah:
          
        
         
       

Artinya: Katakanlah: "Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah,


padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. Dan tidaklah seorang membuat
dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang
yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain . Kemudian kepada
Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu
perselisihkan." (QS. Al-An’am: 164)
Kedua, adanya kesenjangan, seseorang dihukum karena kejahatan apabila
ada unsur kesengajaan berarti karena kelalaian, terasalah atau keliru atau terlupa,
walau tersalah, keliru, atau lupa ada hukumannya namun bukan hukuman karena
kejahatan, melainkan untuk kemaslahatan dan bersifat mendidik, Allah Berfirman:
            
      
            
           
        
        
           
   
             

Artinya: Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang


mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja) , dan barangsiapa
11
membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan
seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan
kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh)
bersedekah . Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai)
antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang
diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya
yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya , maka hendaklah ia (si
pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari
pada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.(QS. An-
Nisaa: 92)
Ketiga, hukuman hanya dijatuhkan apabila kejahatan tersebut secara
meyakinkan telah diperbuat. Dalam masalah yang meragukan hukuman tidak
boleh dijatuhkan, sebagaimana menurut Hadits Nabi SAW., ” Tinggalkanlah
menghukum dalam masalah yang syubhat, karena sesungguhnya hakim itu apabil
bersalah karena memaafkan lebih baik daripada bersalah karena menghukum”.
Keempat, berhati-hati menghukum, membiarkan tidak menghukum dan
menyerahkannya kepada Allah apabila kekurangan bukti.

BAB III
KESIMPULAN

Filsafat hukum pidana pada hakekatnya merenungkan nilai-


nilai hukum pidana, berusaha merumuskan dan menyerasikan
nilai-nilai yang berpasangan, tetapi yang mungkin bertentangan.
Objek dalam dogmatik hukum pidana adalah hukum pidana
positif, yang mencakup kaidah-kaidah dan sistem sanksi. Ilmu
tersebut bertujuan untuk mengadakan analisis dan sistematisasi
kaidah-kaidah hukum pidana untuk kepentingan penerapan yang
benar. Ilmu tersebut juga berusaha untuk menemukan asas-asas
hukum pidana yang menjadi dasar dari hukum pidana positif,
yang kemudian menjadi patokan bagi perumusan serta
penyusunan secara sistematis.
12
DAFTAT PUSTAKA

Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. ”Falsafah Hukum Islam”. Semarang:


PT. Pustaka Rizki Putra, 2001

Bakri, Asafri Jaya. ”Konsep Maqashid Syari’ah Menurut Al-Syatibi”. Jakarta: PT.
Grafindo Persada, 1996

Nurul Hakim. ”Prinsip-prinsip dan Asas-asas Hukum Islam”.


(http://www.badilag.net/) Artikel ini diakses pada 22 Desember 2008 dari
http://jodisantoso.blogspot.com/2008/01/prinsip-prinsip-dan-asas-asas-
hukum.html

Syah, Ismail Muhammad, dkk. ”Filsafat Hukum Islam”. Jakarta: Departemen


Agama, 1992

http://eka548.blogspot.com/2008/12/filsafat-pidana-islam.html

13
http://www.pta-
banjarmasin.net/index.php?content=mod_artikel&id=29

Prof. Moeljatno, SH, Asas-Asas hukum Pidana, (Jakarta: PT Rineka


Cipta, 2002), hal 1

Samidjo, SH., Ringkasan dan Tanya Jawab hukum Pidana,


(Bandung: CV Armico, 1985), hal 1

Ahmad hanafi, “ Asas-Asas Hukum Pidana Islam” Bulan bintang,


Jakarta Indonesia 1967. Hal 1-4

FILSAFAT HUKUM PIDANA ISLAM


MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Pada Mata Kuliah

Filsafat Hukum Islam

Oleh:

14
Rizal Firdaus
Septian Faturahman
Tatang kusnadi
Ujang Shalihuddin
Fuzy Dwi Fitri Imaniyar
Yedi Suryadi
Yeti Susanti

JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSIYAH


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2009

15

Anda mungkin juga menyukai