Anda di halaman 1dari 14

1

BANK KONVENSIONAL DAN BANK ISLAM:


PILIHAN DILEMATIS

Oleh : Adang Djumhur S.

Kehidupan umat manusia dewasa ini tidak dapat dipisahkan dari dunia

perbankan. Bank telah menjadi bagian integral dari kegiatan ekonomi masyarakat

dunia, dalam segala lapisannya, baik individual maupun kelembagaan, pegawai

negeri maupun karyawan swasta, konglomerat maupun petani kecil, sektor

perdagangan maupun jasa, baik langsung maupun tidak langsung semuanya terkait

dengan bank. Bahkan, termasuk kegiatan keagamaan seperti ibadah haji.

Dilihat dari misi dan pola operasionalnya, bank dapat dibedakan menjadi dua

macam: bank konvensional dan bank Islam. Bank (konvensional) adalah lembaga

keuangan yang fungsi utamanya menghimpun dan menyalurkan dana kepada yang

memerlukan, baik perorangan maupun badan untuk investasi dalam usaha-usaha

produktif dan lain-lain, dengan sistem bunga. Sedangkan bank Islam adalah lembaga

keuangan yang dalam operasionalisasinya berusaha menyesuaikan dengan norma

ajaran Islam, dan karenanya menghindari sistem bunga yang diduga mengandung

unsur riba’1 yang diharamkan menurut syari’at Islam.2

1
Secara harfiah, riba berarti tambahan (al-ziyadah). Secara istilah berarti “tambahan pembayaran
tanpa ada imbalan, yang disyaratkan bagi salah satu dari dua orang yang melakukan transaksi”. Lihat
Al-jurjani, al-Ta’rifat, Kairo : Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1938, hal. 97.

Terdapat definisi yang menyatakan bahwa bank Islam ialah bank yang kebanyakan pendirinya
orang-orang Islam dan seluruh atau sebagian sahamnya milik umat Islam, sehingga kewenangan
administrasi maupun lainnya terletak di tangan mereka. Lihat Fuad Mohd. Fachruddin, Riba dalam
Bank, Koperasi, Perseroan dan Asuransi, Al-Ma’arif: Bandung, l985: 112.
2

Kedua jenis bank itu secara yuridis, teknis, atau psikologis masing-masing

masih memiliki masalah, sehingga memilih bank yang tidak bermasalah bukan

pilihan yang mudah. Idealnya, lembaga keuangan tersebut secara teknis sehat, secara

psikologis aman dan dapat dipercaya bahwa ia mampu memberikan keamanan dan

kenyamanan untuk melakukan inverstasi dan kemitrausahan bersama; kemudian

secara ideologis yuridis sah dan halal sehingga bebas dari perasaan dosa karena telah

melakukan riba yang diharamkan agama.

Fenomena yang ada memperlihatkan bahwa dunia perbankan masih belum

sepenuhnya sesuai dengan kriteria ideal itu. Ada bank yang sehat tetapi tidak steril

dari riba, sementara bank yang satunya bebas dari kekhawatiran riba namun

kondisinya kurang sehat dan tidak menjanjikan. Untuk itu, masih diperlukan berbagai

upaya yang serius, agar lembaga keuangan yang menjadi hajat hidup orang banyak ini

mencapai pilihan ideal, bukan pilihan yang dilematis.

II

Kontroversi Bank Konvensional

Bank konvensional merupakan bank yang berkembang atas dasar sistem

ekonomi kapitalis, yang menempatkan sistem bunga sebagai urat nadi kehidupannya.

Sistem tersebut telah menyimpan problem yang sampai sekarang belum dapat

diselesaikan. Selain problem likuiditas, yang tengah diderita oleh dunia perbankan

nasional sejak dua tahun terakhir ini, problem lainnya adalah problem yuridis-

ideologis (normatif) yang dilatari oleh belum tuntasnya status hukum bank ditinjau
3

dari perspektif Syari’ah. Hingga saat ini status hukumnya masih kontroversial.

Sebagian umat Islam membolehkan, sedangkan sebagian lainnya mengharamkan.

Akar kontroversi bermula dari adanya perbedaan persepsi tentang kebolehan

dan keharaman0 bunga (rente) bank, setelah mereka sepakat tentang haramnya riba’.

Persoalan itu bermuara pada pertanyaan apakah bunga bank identik dengan riba atau

tidak ? Jawaban atas pertanyaan ini berbeda-beda.3 Ada yang mempersamakan antara

keduanya secara mutlak, sehingga bunga bank dalam segala jenisnya dihukumi

haram. Ia hanya boleh dipungut dalam keadaan darurat, seperti karena belum ada

bank Islam yang bebas dari sistem bunga. Itu pun harus ditekan serendah-rendahnya,

harus berdasar musyawarah ulama dengan pakar ekonomi; tidak bolek ditetapkan

secara perorangan.

Ada yang berpendapat bahwa bunga bank tidak sama secara mutlak dengan

riba’. Hanya bunga konsumtif yang sama dengan riba’’, dan bunga demikianlah yang

haram. Sedangkan bunga produktif tidak sama dengan riba’’’, karenanya bunga jenis

ini halal. Termasuk kategori yang halal, bunga untuk kepentingan bersama seperti

bunga simpan pinjam koperasi, yang besarnya ditetapkan sebelumnya secara umum

melalui musyawarah. Bunga deposito dan bunga bank lainnya, yang besarnya sesuai

dengan ketetapan pemerintah, baik untuk keperluan produktif maupun konsumtif,

menurut pendapat ini, juga termasuk dalam kategori yang dibolehkan.

Di samping itu terdapat pendapat poros tengah yang berpendapat bahwa

bunga bank termasuk perkara yang mutasyabihat, yakni diragukan kehalalan dan

keharamannya. Sebenarnya pendapat ini tidak netral betul. Ia agak cenderung pada
4

pendapat pertama, sebab ada klausul hadits “Barangsiapa yang melakukan syubhat,

berarti terjerumus pada haram”.

Dengan demikian, secara garis besar perbedaan pendapat tentang bungan bank

dan implikasinya terhadap hukum bank dapat dikelompokkan ke dalam 3 kategori3

sebagai berikut :

1. Haram. Pendapat ini dikemukakan antara lain oleh Abu Zahrah, Guru Besar pada

Fakultas Hukum Universitas Cairo, Abdul A’la al-Maududi (Pakistan), dan

Muhamad Abdullah al A’rabi, Penasehat Hukum pada Islamic Congress Cairo,

yang menyatakan bahwa bunga bank itu sama dengan nasiah, yang dilarang oleh

Islam.1 Karena itu umat Islam dilarang bermuamalah dengan bank yang memakai

sistem bunga, kecuali dalam keadaan darurat atau terpaksa.

2. Boleh. Pendapat ini dikemukakan antara lain oleh A. Hasan, pendiri dan

pemimpin Pesantren Bangil (Persis), yang menyatakan bahwa bunga bank seperti

di negara kita bukanlah riba’ yang diharamkan, karena tidak berlipat ganda

sebagaimana dinyatakan dalam Surat Ali Imran ayat 1304..

3
Lihat Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jakarta : Gunung Agung, 1996, hal. 112.
1
4 Untuk mendalami pendapat ini, lihat Abu Sura’I Abdul Hamid, Al-Riba wa al-
Qurudl. Terjemahan M.Thalib, Bunga Bank dalam Persoalan dan Bahayanya
terhadap Masyarakat, Yogyakarta: Pustaka LSI, l99l dan Isa Abduh, Wadl’u al-
Riba’ fi al-Bina’I al-Iqtishadi, Kuwait: Dar al-Buhuts al-Ilmiyah, 1973.
4
5 Yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah, supaya kamu mendapat keberuntungan”. Riba yang
dimaksud pada ayat ini adalah riba masi’ah. Lihat MT. Hasbi Ashshiddiqi dkk. Al-Qur’an dan
terjemahannya Gema Risalah Press, Bandung: 1992 : 97.

5

3. Syubhat. Pendapat ini dikemukakan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah di

Sidoarjo Jawa Timur tahun 1968, yang memutuskan bahwa bunga bank yang

diberikan oleh bank kepada para nasabahnya dan sebaliknya, adalah termasuk

syubhat atau musytabihat, artinya belum jelas halal/haramnya. Maka sesuai

dengan petunjuk Hadis, kita dianjurkan berhati-hati menghadapi masalah-masalah

yang masih syubhat. Karena itu, bermuamalah dengan bank hanya dibolehkan

jika dalam keadaan terpaksa atau dalam keadaan hajah, artinya keperluan yang

mendesak/penting, dengan sistem bunga yang sekadarnya saja.

Namun perlu juga dikemukakan, bahwa di kalangan mereka yang

mengharamkan bunga bank itu sendiri terdapat nuansa yang cukup unik. Pertama, di

antara mereka itu tidak serta merta menjauhi bank. Mereka tetap berhubungan dan

memanfaatkan jasa perbankan dengan alasan seperti telah disebutkan di atas, yaitu

“darurat”, meskipun tanpa ada kejelasan mengenai batasan istilah itu. Mereka

memperkuat alasannya dengan kaidah “Keadaan darurat membolehkan hal-hal yang

terlarang (Al-dlaruratu tubihu al-mahdhurat)”. Padahal, keadaan darurat itu

seyogyanya didefinisikan secara tegas, seberapa jauh dampak yang mungkin timbul

bila tidak berhubungan dengan bank, bagi eksistensi kehidupan manusia yang

dilindungi hukum (maqashid al syari’ah). Apakah akan mengakibatkan

tergganggunya stabilitas agama, akal, jiwa, keturunan, dan harta manusia. Bila

demikian, berarti belum sampai kondisi darurat. Kemudian, sampai kapan dan

keadaan bagaimana hal tersebut dapat dipertimbangkan. Seyogyanya, keadaan darurat


6

adalah sebatas keadaan mendesak, yang tidak ada pilihan lain selain itu. Bila sudah

ada lembaga ekonomi lain yang steril dari riba’’, seperti bank Islam, maka wajiblah

berpaling ke lembaga tersebut.

Kedua, ada juga orang yang berhubungan dengan bank karena alasan

pragmatis, bahwa bank merupakan kebutuhan hidup yang duniawi sifatnya,

merupakan lembaga keuangan yang dapat dimanfaatkan. Kurang lebih difahami

sebagai wilayah “Antum a’lamu bi umuri dunyakum”. Bahkan sebagian dari mereka

cenderung tidak peduli apakah agama memperbolehkan atau melarangnya.

Dilihat dari perspektif keberagamaan, kedua sikap tersebut merupakan cermin

dari sikap mendua, kepribadian yang tidak jujur dan tidak komitmen terhadap

keyakinan ajaran agamanya. Atau, merupakan paradigma sekuler yang tidak kondusif

bagi pembinaan kepribadian dan integritas seorang muslim. Inilah suatu persoalan.

Demikian halnya dengan yang membolehkan bank. Mereka berusaha mencari

argumen untuk membolehkannya. Di antaranya sebagai berikut :

1. Imbangan Perubahan Kurs

Kurs atau nilai mata uang selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu.

Uang sejuta rupiah pada dua atau tiga tahun yang lalu berbeda nilainya dengan

sekarang atau setahun kemudian. Maka, bunga bank dipandang sebagai imbangan

dari perubahan nilai mata uang. Akan terasa rugi atau kurang adil bila utang dua

tahun yang lalu dibayar sekarang dengan jumlah yang sama ketika nilainya sudah

berubah.

2. Upah Jasa
7

Bank merupakan lembaga ekonomi yang dalam operasionalisasinya

membutuhkan tenaga manajemen yang perlu biaya. Maka, bunga bank dalam hal

ini dapat dipandang sebagai biaya operasional atau upah jasa, setidaknya untuk

keperluan :

a. Mengganti biaya-biaya yang langsung digunakan bank bagi keperluan

operasional pelayanan nasabah, seperti biaya telepon, faks dan teleks untuk

memindahkan atau memberitahukan rekening nasabah.

b. Membayar gaji para karyawan yang bekerja untuk keperluan nasabah, juga

untuk sarana dan prasarana yang diperlukan serta biaya administrasi pada

umumnya.

3. Tergantung Peruntukannya

Pada dasarnya muamalah dalam Islam merupakan wujud dari konsep “ta’awun”,

saling tolong menolong dan saling menguntungkan. Dengan asumsi ini, maka

bermuamalah dengan bank konvensional dalam kerangka usaha produktif

dibolehkan karena dimungkinkan dapat membantu pengembangan usaha, dan

terbuka peluang untuk melunasi utangnya. Sedangkan transaksi yang konsumtif

dilarang karena dimungkinkan akan menjadi beban utang yang tidak dapat

dilunasi.

4. Pertimbangan menghindari madlarat

Bank dapat digunakan sebagai tempat penyimpanan uang, sekaligus menghindari

diri dari ancaman keamanan dan pencurian. Berdasarkan pertimbangan itu

muamalah dengan bank bukan saja dibolehkan tetapi mengambil bunganyapun


8

bisa dihukumi wajib, sekiranya dengan tidak diambil akan mengganggu

kemaslahatan umat. Seperti kasus bunga bank di beberapa bank Amerika dan

Eropa milik kaum Zionis, yang tidak diambil oleh pemiliknya (para hartawan

Saudi) karena alasan riba’ yang kemudian oleh para bankir Amerika dan Eropa

digunakan untuk membiayai zionisme internasional, termasuk untuk mendanai

Israel dalam memerangi dan merebut wilayah Palestina.

Beberapa alasan di atas, dan mungkin ada alasan lain yang dapat

dikemukakan, merupakan upaya rasionalisasi untuk mencari legitimasi bagi

keabsahan bank, atau lebih khusus lagi bunga bank, untuk menghindari diri dari

perasaan dosa.

Namun, kendatipun masih tetap mengambilnya, sebagian besar umat Islam

cenderung berpandangan bunga bank itu riba’, yang sejatinya harus ditinggalkan.

Survei Info Bank pada April 1990 melaporkan bahwa sikap masyarakat terhadap

bunga bank adalah sebagai berikut : sebanyak 31.7 % tidak setuju, 25.9 % kurang

setuju, 8.1 % sangat tidak setuju, dan 34.3 % setuju.*

Data itu menunjukkan bahwa hampir dua pertiga responden menyatakan

tidak setuju bunga bank. Namun, seperti dikemukakan di atas, sebagian besar

masyarakat tetap melakukan muamalah dengan bank konvensional dan

memanfaatkan jasa/bunganya dengan alasan kebutuhan (hajat) atau darurat. Tetapi,

bila betul-betul alasannya demikian, seyogyanya mereka harus mengakhiri muamalah

*
6 Zainul Bahar Noor, Persiapan dan Operasi Bank Muamalah Indonesia (BMI), Makalah Seminar
Dies Natalies ke-21 STIE Malangkucecarawa Malang, 21 Januari 1992.
9

dengan bank itu dan beralih ke bank lain, ketika ada bank lain yang tidak memakai

sistem bunga. Itulah bank Islam, yang dikenal juga dengan Bank Syari’ah.

III

Bank Islam : Krisis Bonaviditas dan Kepercayaan

Bank Islam seharusnya menjadi alternatif dari problem kontroversi dan

keterpurukan bank konvensional yang masih berlangsung hingga saat ini. Bank ini

bukan mendasarkan usahanya pada sistem bunga, melainkan pada bagi hasil antara

bank dengan nasabah. Akan tetapi, tidak demikian kenyataannya. Setidaknya sampai

saat ini, setelah lebih dari tujuh tahun, terhitung mulai 1 Mei 1992 ketika Bank

Muamalat mulai beroperasi di Indonesia, bank ini masih belum dapat menggeser

posisi bank konvensional, tidak terkecuali di kalangan orang yang mengaku beragama

Islam.

Fenomena ini menarik untuk dikaji, mengapa demikian adanya. Dengan

mengabaikan faktor usianya yang relatif masih sangat baru, bahkan dapat dikatakan

“asing”, bila dibandingkan dengan bank konvensional yang sudah berumur panjang

dan sudah sangat akrab dengan mereka, sebab utamanya adalah karena problem

internal berupa krisis bonaviditas dan kepercayaan.

Krisis ini berpangkal dari kebelum mampuan bank Islam dalam membangun

citra dirinya sebagai bank yang bonavide dan profesional dalam berbagai seginya,

seperti dalam aspek permodalan dan terutama aspek manajemen dan sumber daya

manusianya. Faktor bonaviditas dan profesionalitas yang belum terbangun dengan


10

baik itu berdampak langsung pada rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap

lembaga keuangan Islami ini.

Faktor lanjutan yang juga berpengaruh pada lambannya perkembangan bank

Islam di Indonesia adalah rendahnya minat masyarakat untuk melakukan muamalah

dengan bank tersebut baik dalam melakukan investasi maupun transaksi usaha

lainnya, karena secara ekonomis dan pertimbangan bisnis dipandang kurang

menjanjikan. Dari satu segi, tidak adanya sistem bunga dan anggunan merupakan

kelebihan dari bank Islam, akan tetapi karena perangkat manajemennya belum

kondusif, dan terang tersosialisasikan dengan baik, maka kelebihan-kelebihan bank

Islam tersebut sekaligus sebagai kelemahannya.

Tidak adanya jaminan (borg) dalam bentuk barang atau surat berharga tidak

menjadi jaminan terpeliharanya kejujuran, bahkan menjadi peluang untuk lari dari

tanggungjawab. Sehingga aspek ini memberi andil turunnya kepercayaan dan rasa

aman para nasabah dan investor untuk menabung dan melakukan investasi pada bank

ini.

Demikian halnya dengan sistem bagi hasil yang dihapkan berfungsi sebagai

alternatif sistem bunga. Ketika kejujuran belum menjadi komitmen hidup semua

orang, roda perekonomian belum berjalan baik, dan iklim dunia usaha belum

mendukung, maka sistem bagi hasil belum dapat menjanjikan keuntungan. Meskipun

sistem bagi hasil memberi kemungkinan keuntungan yang kebih besar dari pada

sistem bunga yang ditawarkan oleh bank konvensional, tetapi sangat spekulatif dan

riskan. Sehingga masyarakat dan para pelaku ekonomi tetap cenderung memilih
11

sistem bunga pada bank konvensional karena betapapun kecilnya tetapi dapat

memberi kepastian dan kenyamanan usaha.

Pertimbangan teknis dan pragmatis ekonomis ini nampaknya cukup dominan

dalam memberi pengaruh terhadap rendahnya minat masyarakat untuk melakukan

muamalah dengan bank Islam, sekaligus menjadi penyebab lambatnya perkembangan

bank tersebut. Berarti, bank Islam sendiri belum dapat menjadi pilihan ideal dalam

menggantikan bank konvensional yang kontroversial itu. Maka, upaya yang harus

dilakukan adalah bagaimana membangun citra dan kinerja bank Islam, sehingga

tumbuh kepercayaan dan minat masyarakat untuk melakukan investasi dan berbagai

transaksi bisnis lainnya.

IV

Peran Strategis Perguruan Tinggi Agama Islam dalam Pemberdayaan Bank

Posisi dilematis yang dihadapi umat Islam, antara memilih bank konvensional

yang berbeban perasaan dosa karena tidak steril dari unsur riba’, dengan bank Islam

yang diangga kurang kredibel dan legitimit, perlu segera mendapat pemecahan.

Salah satu alternatif yang dapat diajukan adalah dengan melakukan program

silang. Misalnya, pada bank konvensional dibuka paket yang menggunakan sistem

bagi hasil (murabahah/ mudlarabah), atau bank tersebut membuka cabang yang

khusus menggunakan sistem Syari’ah. Dari segi undang-undang perbankan (lihat

Undang-Undang Nomor 10 Tahun l998) sudah tidak ada masalah. Tinggal kemauan

para pengusaha bank untuk melakukannya, yang tentu saja kemauan ini sangat

dipengaruhi oleh perhitungan-perhitungan bisnis, termasuk di dalamnya tuntutan


12

pasar. Dengan demikian persoalannya kembali kepada umat Islam sendiri, sebagai

pasar mayoritas, untuk mampu melakukan bargaining position dengan bank

konvensional agar mau membuka paket usaha bagi hasil itu.

Sementara itu, bank Islam sendiri berupaya memberdayakan diri melalui

pembenahan manajemennya, bila perlu dengan cara merekrut tenaga-tenaga

profesional dalam bidang perbankan. Dengan kekuatan manajemen dan sosialisasi

yang optimel tentang keberadaan bank Islam dengan segala programnya, dapat

diharapkan tumbuh kepercayaan orang untuk melakukan muamalah dengan bank ini.

Kedua alternatif di atas mensyaratkan adanya Sumber Daya Manusia (SDM),

yang selain menguasai sistem ekonomi Islami juga memiliki keterampilan dan

wawasan dalam bidang administrasi dan usaha perbankan. Maka, peran strategis yang

dapat dimainkan oleh Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI), termasuk Program

Studi Muamalah dan Perbankan Islam Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)

Cirebon, adalah dalam penyediaan SDM yang memenuhi kualifikasi tersebut di atas.

Dengan demikian, akan terbuka lapangan kerja baru bagi para lulusan PTAI,

dengan terbukanya akses ke dalam dunia perbankan, baik pada bank konvensional

yang membuka sistem murabahah/ mudlarabah maupun pada bank Islam sendiri.

Sehingga, mereka tidak lagi selalu berebut di lahan sempit (Departemen Agama),

seperti selama ini. Selain itu, berarti PTAI juga telah andil memberikan konstribusi

dalam menawarkan alternatif bagi pemecahan sebagian persoalan perbankan. Semoga

demikian adanya. Amin.


13

Buku Bacaan

Abdul Hadi, Abu Sura’I, Bunga Bank dalam Persoalan dan Bahayanya terhadap
Masyarakat, Yogyakarta: Pustaka SLI, l99l.

Al-jurjani, al-Ta’rifat, Kairo : Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1938.

Fachruddin, Fuad Mohd., Riba’ dalam Bank, Koperasi, Perseroan, dan Asuransi,
Bandung: Al-Ma’arif, l985.

Isa Abduh, Wadl’u al-Riba’ fi al-Bina’I al-Iqtishadi, Kuwait: Dar al-Buhuts al-
Ilmiyah, 1973.

Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jakarta : Gunung Agung, 1996.

Syabirin Harahap, Bunga Uang dan Riba dalam Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Al-
Husna, l984.

Zainul Bahar Noor, Persiapan dan Operasi Bank Muamalah Indonesia (BMI),
Makalah Seminar Dies Natalies ke-21 STIE Malangkucecarawa Malang, 21
Januari 1992.


14

Anda mungkin juga menyukai