Kehidupan umat manusia dewasa ini tidak dapat dipisahkan dari dunia
perbankan. Bank telah menjadi bagian integral dari kegiatan ekonomi masyarakat
perdagangan maupun jasa, baik langsung maupun tidak langsung semuanya terkait
Dilihat dari misi dan pola operasionalnya, bank dapat dibedakan menjadi dua
macam: bank konvensional dan bank Islam. Bank (konvensional) adalah lembaga
keuangan yang fungsi utamanya menghimpun dan menyalurkan dana kepada yang
produktif dan lain-lain, dengan sistem bunga. Sedangkan bank Islam adalah lembaga
ajaran Islam, dan karenanya menghindari sistem bunga yang diduga mengandung
1
Secara harfiah, riba berarti tambahan (al-ziyadah). Secara istilah berarti “tambahan pembayaran
tanpa ada imbalan, yang disyaratkan bagi salah satu dari dua orang yang melakukan transaksi”. Lihat
Al-jurjani, al-Ta’rifat, Kairo : Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1938, hal. 97.
Terdapat definisi yang menyatakan bahwa bank Islam ialah bank yang kebanyakan pendirinya
orang-orang Islam dan seluruh atau sebagian sahamnya milik umat Islam, sehingga kewenangan
administrasi maupun lainnya terletak di tangan mereka. Lihat Fuad Mohd. Fachruddin, Riba dalam
Bank, Koperasi, Perseroan dan Asuransi, Al-Ma’arif: Bandung, l985: 112.
2
Kedua jenis bank itu secara yuridis, teknis, atau psikologis masing-masing
masih memiliki masalah, sehingga memilih bank yang tidak bermasalah bukan
pilihan yang mudah. Idealnya, lembaga keuangan tersebut secara teknis sehat, secara
psikologis aman dan dapat dipercaya bahwa ia mampu memberikan keamanan dan
secara ideologis yuridis sah dan halal sehingga bebas dari perasaan dosa karena telah
sepenuhnya sesuai dengan kriteria ideal itu. Ada bank yang sehat tetapi tidak steril
dari riba, sementara bank yang satunya bebas dari kekhawatiran riba namun
kondisinya kurang sehat dan tidak menjanjikan. Untuk itu, masih diperlukan berbagai
upaya yang serius, agar lembaga keuangan yang menjadi hajat hidup orang banyak ini
II
ekonomi kapitalis, yang menempatkan sistem bunga sebagai urat nadi kehidupannya.
Sistem tersebut telah menyimpan problem yang sampai sekarang belum dapat
diselesaikan. Selain problem likuiditas, yang tengah diderita oleh dunia perbankan
nasional sejak dua tahun terakhir ini, problem lainnya adalah problem yuridis-
ideologis (normatif) yang dilatari oleh belum tuntasnya status hukum bank ditinjau
3
dari perspektif Syari’ah. Hingga saat ini status hukumnya masih kontroversial.
dan keharaman0 bunga (rente) bank, setelah mereka sepakat tentang haramnya riba’.
Persoalan itu bermuara pada pertanyaan apakah bunga bank identik dengan riba atau
tidak ? Jawaban atas pertanyaan ini berbeda-beda.3 Ada yang mempersamakan antara
keduanya secara mutlak, sehingga bunga bank dalam segala jenisnya dihukumi
haram. Ia hanya boleh dipungut dalam keadaan darurat, seperti karena belum ada
bank Islam yang bebas dari sistem bunga. Itu pun harus ditekan serendah-rendahnya,
harus berdasar musyawarah ulama dengan pakar ekonomi; tidak bolek ditetapkan
secara perorangan.
Ada yang berpendapat bahwa bunga bank tidak sama secara mutlak dengan
riba’. Hanya bunga konsumtif yang sama dengan riba’’, dan bunga demikianlah yang
haram. Sedangkan bunga produktif tidak sama dengan riba’’’, karenanya bunga jenis
ini halal. Termasuk kategori yang halal, bunga untuk kepentingan bersama seperti
bunga simpan pinjam koperasi, yang besarnya ditetapkan sebelumnya secara umum
melalui musyawarah. Bunga deposito dan bunga bank lainnya, yang besarnya sesuai
bunga bank termasuk perkara yang mutasyabihat, yakni diragukan kehalalan dan
keharamannya. Sebenarnya pendapat ini tidak netral betul. Ia agak cenderung pada
4
pendapat pertama, sebab ada klausul hadits “Barangsiapa yang melakukan syubhat,
Dengan demikian, secara garis besar perbedaan pendapat tentang bungan bank
sebagai berikut :
1. Haram. Pendapat ini dikemukakan antara lain oleh Abu Zahrah, Guru Besar pada
yang menyatakan bahwa bunga bank itu sama dengan nasiah, yang dilarang oleh
Islam.1 Karena itu umat Islam dilarang bermuamalah dengan bank yang memakai
2. Boleh. Pendapat ini dikemukakan antara lain oleh A. Hasan, pendiri dan
pemimpin Pesantren Bangil (Persis), yang menyatakan bahwa bunga bank seperti
di negara kita bukanlah riba’ yang diharamkan, karena tidak berlipat ganda
3
Lihat Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jakarta : Gunung Agung, 1996, hal. 112.
1
4 Untuk mendalami pendapat ini, lihat Abu Sura’I Abdul Hamid, Al-Riba wa al-
Qurudl. Terjemahan M.Thalib, Bunga Bank dalam Persoalan dan Bahayanya
terhadap Masyarakat, Yogyakarta: Pustaka LSI, l99l dan Isa Abduh, Wadl’u al-
Riba’ fi al-Bina’I al-Iqtishadi, Kuwait: Dar al-Buhuts al-Ilmiyah, 1973.
4
5 Yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah, supaya kamu mendapat keberuntungan”. Riba yang
dimaksud pada ayat ini adalah riba masi’ah. Lihat MT. Hasbi Ashshiddiqi dkk. Al-Qur’an dan
terjemahannya Gema Risalah Press, Bandung: 1992 : 97.
5
Sidoarjo Jawa Timur tahun 1968, yang memutuskan bahwa bunga bank yang
diberikan oleh bank kepada para nasabahnya dan sebaliknya, adalah termasuk
yang masih syubhat. Karena itu, bermuamalah dengan bank hanya dibolehkan
jika dalam keadaan terpaksa atau dalam keadaan hajah, artinya keperluan yang
mengharamkan bunga bank itu sendiri terdapat nuansa yang cukup unik. Pertama, di
antara mereka itu tidak serta merta menjauhi bank. Mereka tetap berhubungan dan
memanfaatkan jasa perbankan dengan alasan seperti telah disebutkan di atas, yaitu
“darurat”, meskipun tanpa ada kejelasan mengenai batasan istilah itu. Mereka
seyogyanya didefinisikan secara tegas, seberapa jauh dampak yang mungkin timbul
bila tidak berhubungan dengan bank, bagi eksistensi kehidupan manusia yang
tergganggunya stabilitas agama, akal, jiwa, keturunan, dan harta manusia. Bila
demikian, berarti belum sampai kondisi darurat. Kemudian, sampai kapan dan
adalah sebatas keadaan mendesak, yang tidak ada pilihan lain selain itu. Bila sudah
ada lembaga ekonomi lain yang steril dari riba’’, seperti bank Islam, maka wajiblah
Kedua, ada juga orang yang berhubungan dengan bank karena alasan
sebagai wilayah “Antum a’lamu bi umuri dunyakum”. Bahkan sebagian dari mereka
dari sikap mendua, kepribadian yang tidak jujur dan tidak komitmen terhadap
keyakinan ajaran agamanya. Atau, merupakan paradigma sekuler yang tidak kondusif
bagi pembinaan kepribadian dan integritas seorang muslim. Inilah suatu persoalan.
Kurs atau nilai mata uang selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu.
Uang sejuta rupiah pada dua atau tiga tahun yang lalu berbeda nilainya dengan
sekarang atau setahun kemudian. Maka, bunga bank dipandang sebagai imbangan
dari perubahan nilai mata uang. Akan terasa rugi atau kurang adil bila utang dua
tahun yang lalu dibayar sekarang dengan jumlah yang sama ketika nilainya sudah
berubah.
2. Upah Jasa
7
membutuhkan tenaga manajemen yang perlu biaya. Maka, bunga bank dalam hal
ini dapat dipandang sebagai biaya operasional atau upah jasa, setidaknya untuk
keperluan :
operasional pelayanan nasabah, seperti biaya telepon, faks dan teleks untuk
b. Membayar gaji para karyawan yang bekerja untuk keperluan nasabah, juga
untuk sarana dan prasarana yang diperlukan serta biaya administrasi pada
umumnya.
3. Tergantung Peruntukannya
Pada dasarnya muamalah dalam Islam merupakan wujud dari konsep “ta’awun”,
saling tolong menolong dan saling menguntungkan. Dengan asumsi ini, maka
dilarang karena dimungkinkan akan menjadi beban utang yang tidak dapat
dilunasi.
kemaslahatan umat. Seperti kasus bunga bank di beberapa bank Amerika dan
Eropa milik kaum Zionis, yang tidak diambil oleh pemiliknya (para hartawan
Saudi) karena alasan riba’ yang kemudian oleh para bankir Amerika dan Eropa
Beberapa alasan di atas, dan mungkin ada alasan lain yang dapat
keabsahan bank, atau lebih khusus lagi bunga bank, untuk menghindari diri dari
perasaan dosa.
cenderung berpandangan bunga bank itu riba’, yang sejatinya harus ditinggalkan.
Survei Info Bank pada April 1990 melaporkan bahwa sikap masyarakat terhadap
bunga bank adalah sebagai berikut : sebanyak 31.7 % tidak setuju, 25.9 % kurang
tidak setuju bunga bank. Namun, seperti dikemukakan di atas, sebagian besar
*
6 Zainul Bahar Noor, Persiapan dan Operasi Bank Muamalah Indonesia (BMI), Makalah Seminar
Dies Natalies ke-21 STIE Malangkucecarawa Malang, 21 Januari 1992.
9
dengan bank itu dan beralih ke bank lain, ketika ada bank lain yang tidak memakai
sistem bunga. Itulah bank Islam, yang dikenal juga dengan Bank Syari’ah.
III
keterpurukan bank konvensional yang masih berlangsung hingga saat ini. Bank ini
bukan mendasarkan usahanya pada sistem bunga, melainkan pada bagi hasil antara
bank dengan nasabah. Akan tetapi, tidak demikian kenyataannya. Setidaknya sampai
saat ini, setelah lebih dari tujuh tahun, terhitung mulai 1 Mei 1992 ketika Bank
Muamalat mulai beroperasi di Indonesia, bank ini masih belum dapat menggeser
posisi bank konvensional, tidak terkecuali di kalangan orang yang mengaku beragama
Islam.
mengabaikan faktor usianya yang relatif masih sangat baru, bahkan dapat dikatakan
“asing”, bila dibandingkan dengan bank konvensional yang sudah berumur panjang
dan sudah sangat akrab dengan mereka, sebab utamanya adalah karena problem
Krisis ini berpangkal dari kebelum mampuan bank Islam dalam membangun
citra dirinya sebagai bank yang bonavide dan profesional dalam berbagai seginya,
seperti dalam aspek permodalan dan terutama aspek manajemen dan sumber daya
dengan bank tersebut baik dalam melakukan investasi maupun transaksi usaha
menjanjikan. Dari satu segi, tidak adanya sistem bunga dan anggunan merupakan
kelebihan dari bank Islam, akan tetapi karena perangkat manajemennya belum
Tidak adanya jaminan (borg) dalam bentuk barang atau surat berharga tidak
menjadi jaminan terpeliharanya kejujuran, bahkan menjadi peluang untuk lari dari
tanggungjawab. Sehingga aspek ini memberi andil turunnya kepercayaan dan rasa
aman para nasabah dan investor untuk menabung dan melakukan investasi pada bank
ini.
Demikian halnya dengan sistem bagi hasil yang dihapkan berfungsi sebagai
alternatif sistem bunga. Ketika kejujuran belum menjadi komitmen hidup semua
orang, roda perekonomian belum berjalan baik, dan iklim dunia usaha belum
mendukung, maka sistem bagi hasil belum dapat menjanjikan keuntungan. Meskipun
sistem bagi hasil memberi kemungkinan keuntungan yang kebih besar dari pada
sistem bunga yang ditawarkan oleh bank konvensional, tetapi sangat spekulatif dan
riskan. Sehingga masyarakat dan para pelaku ekonomi tetap cenderung memilih
11
sistem bunga pada bank konvensional karena betapapun kecilnya tetapi dapat
bank tersebut. Berarti, bank Islam sendiri belum dapat menjadi pilihan ideal dalam
menggantikan bank konvensional yang kontroversial itu. Maka, upaya yang harus
dilakukan adalah bagaimana membangun citra dan kinerja bank Islam, sehingga
tumbuh kepercayaan dan minat masyarakat untuk melakukan investasi dan berbagai
IV
Posisi dilematis yang dihadapi umat Islam, antara memilih bank konvensional
yang berbeban perasaan dosa karena tidak steril dari unsur riba’, dengan bank Islam
yang diangga kurang kredibel dan legitimit, perlu segera mendapat pemecahan.
Salah satu alternatif yang dapat diajukan adalah dengan melakukan program
silang. Misalnya, pada bank konvensional dibuka paket yang menggunakan sistem
bagi hasil (murabahah/ mudlarabah), atau bank tersebut membuka cabang yang
Undang-Undang Nomor 10 Tahun l998) sudah tidak ada masalah. Tinggal kemauan
para pengusaha bank untuk melakukannya, yang tentu saja kemauan ini sangat
pasar. Dengan demikian persoalannya kembali kepada umat Islam sendiri, sebagai
yang optimel tentang keberadaan bank Islam dengan segala programnya, dapat
diharapkan tumbuh kepercayaan orang untuk melakukan muamalah dengan bank ini.
yang selain menguasai sistem ekonomi Islami juga memiliki keterampilan dan
wawasan dalam bidang administrasi dan usaha perbankan. Maka, peran strategis yang
dapat dimainkan oleh Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI), termasuk Program
Studi Muamalah dan Perbankan Islam Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Cirebon, adalah dalam penyediaan SDM yang memenuhi kualifikasi tersebut di atas.
Dengan demikian, akan terbuka lapangan kerja baru bagi para lulusan PTAI,
dengan terbukanya akses ke dalam dunia perbankan, baik pada bank konvensional
yang membuka sistem murabahah/ mudlarabah maupun pada bank Islam sendiri.
Sehingga, mereka tidak lagi selalu berebut di lahan sempit (Departemen Agama),
seperti selama ini. Selain itu, berarti PTAI juga telah andil memberikan konstribusi
Buku Bacaan
Abdul Hadi, Abu Sura’I, Bunga Bank dalam Persoalan dan Bahayanya terhadap
Masyarakat, Yogyakarta: Pustaka SLI, l99l.
Fachruddin, Fuad Mohd., Riba’ dalam Bank, Koperasi, Perseroan, dan Asuransi,
Bandung: Al-Ma’arif, l985.
Isa Abduh, Wadl’u al-Riba’ fi al-Bina’I al-Iqtishadi, Kuwait: Dar al-Buhuts al-
Ilmiyah, 1973.
Syabirin Harahap, Bunga Uang dan Riba dalam Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Al-
Husna, l984.
Zainul Bahar Noor, Persiapan dan Operasi Bank Muamalah Indonesia (BMI),
Makalah Seminar Dies Natalies ke-21 STIE Malangkucecarawa Malang, 21
Januari 1992.
✍
14