Anda di halaman 1dari 46

Laporan Home Visit FK UWKS Berkas Pembinaan Keluarga Puskesmas Gedangan

No. Berkas : No. RM Nama KK : 8931 : Tn. Soeryono

Tanggal kunjungan pertama kali 31 september 2013, Nama pembina keluarga pertama kali:I Gede Prawira Raharja, S.Ked Tabel 1. CATATAN KONSULTASI PEMBIMBING (diisi setiap kali selesai satu periode pembinaan ) Tanggal Tingkat Pemahaman Paraf Pembimbing Paraf Keterangan

KARAKTEHISTIK DEMOGRAFI KELUARGA Nama Kepala Keluarga Alamat lengkap Bentuk Keluarga : Tn. Soeryono : Jalan Gajah Mada no.52 : Nuclear Family

Tabel 2. Daftar Anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah


Kedudukan L/P dalam Umur keluarga KK Istri Anak L P L 62 56 29

No

Nama

Pendidikan Pekerjaan

Pasien Y/T

Ket.

1 2 3

Tn. Soeryono
Susiatiningsih Daniar Adi Wijaya Rina Febriana

S1 SMK S1

Pensiunan PNS Pensiunan PNS Wiraswasta

Y T T

DM tipe II Kasus lama -

Anak

26

S1

Wiraswasta

Sumber : Data Primer, November 2013

LAPORAN KASUS KEDOKTERAN KELUARGA

BAB I STATUS PENDERTTA

A. PENDAHULUAN Laporan ini diambil berdasarkan kasus yang diambil dari seorang pendenta DM tipe II, berjenis kelamin laki-laki dan berusia 62 tahun, dimana penderita merupakan salah satu dari pendenta DM para yang berada di wilayah Puskesmas Gedangan, dengan berbagai permasalahan yang dihadapi. Mengingat kasus ini masih banyak ditemukan di masyarakat khususnya di daerah sekitar Puskesmas Gedangan beserta permasalahannya seperti masih kurangnya pengetahuan masyarakat tentang DM terutama masalah gizi dan penggunaan Obat Anti Diabet. Oleh karena itu penting kiranya bagi penulis untuk memperhatikan dan mencermatinya untuk kemudian bisa menjadikannya sebagai pengalaman di lapangan.

B. IDENTITAS PENDERITA Nama Umur Jenis kelamin Pekerjaan Pendidikan Agama Alamat Suku Tanggal periksa : Tn. Tn. Soeryono : 62 tahun : Laki-laki : Pensiunan PNS : S1 : Islam : Jalan Gajah Mada no.52 : Jawa : 31 september 2013

C. ANAMNESIS 1. Keluhan Utama : Luka pada kaki kiri

2. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien mengeluh luka pada kaki kiri sejak 15 hari yang lalu, pasien terluka karena jatuh saat mengendarai sepeda motor. Pasien kemudian memeriksakan diri ke Puskesmas untuk mendapatkan perawatan pada luka di kakinya. Pasien merasa khawatir dengan luka di kakinya karena pasien menderita kencing manis, pasien merasa takut luka di kakinya sulit sembuh dan menjadi borok. Pasien menderita kencing manis sejak 14 tahun yang lalu. Pasien mengetahui dirinya menderita kencing manis 14 tahun yang lalu saat mengendarai sepeda motor, saat itu pasien merasa pusing dan pandangan menjadi kabur, pasien terjatuh dari sepeda motor kemudian di bawa ke rumah sakit dan di periksa kadar gula darahnya dan hasilnya tinggi. Saat itu pasien mengaku sering buang air kecil, dimana pada malam hari pasien bisa kencing hingga >3 kali, sering merasa haus dan nafsu makan pasien bertambah namun berat badan pasien lama-lama mengalami penurunan, namun pasien tidak pernah memeriksakan kadar gula darahnya. Pasien juga sangat suka mengkonsumsi makanan dan minuman yang manis-manis dan sangat malas berolahraga. Saat ini luka pasien sudah agak mengering dan membaik, istri pasien membantu merawat luka pasien. Selain rutin merawat luka di kakinya, pasien juga rutin meminum obat diberikan dari Puskesmas. Pasien memeriksakan gula darahnya setiap 2 minggu sekali di Puskesmas. Pasien mengaku belum bisa mengatur pola makannya, pasien makan sehari tiga kali, tiga sampai 4 sendok makan dengan sayur dan lauk yang berganti-ganti setiap hari, namun pasien masih sering ngemil kue dan kacang yang merupakan makanan kesukaannya secara tidak terkontrol. Pasien biasanya berolahraga jalan santai di sekitar perumahan tempat tinggalnya dua kali seminggu ditemani oleh istri dan cucunya. Selain luka di kaki kiri yang dikhawatirkan oleh pasien, pasien juga mengeluhkan tangan dan kakinya sering terasa kesemutan terutama saat bangun tidur, namun jika digunakan untuk beraktivitas gejala tersebut tidak terlalu dirasakan oleh pasien, hal ini dirasakan pasien sejak tiga bulan yang lalu. 3. Riwayat Penyakit Dahulu: - Riwayat batuk lama - Riwayat sakit gula - Riwayat asma - Riwayat alergi obat/makanan - Riwayat penyakit jantung : tidak ada : ada : tidak ada : tidak ada : tidak ada 4

4. Riwayat Penyakit Keluarga - Riwayat keluarga dengan penyakit serupa : Ibu pasien menderita DM - Riwayat keluarga sakit batuk lama - Riwayat sakit sesak nafas - Riwayat hipertensi : tidak ada : tidak ada : tidak ada

5. Riwayat Kebiasaan - Riwayat merokok - Riwayat olah raga : ada : cukup

- Riwayat pengisian waktu luang dengan berbincang bincang dengan keluarga cukup, berekreasi cukup - Riwayat kebiasaan makan makanan yang diinginkan : sering

6. Riwayat Sosial Ekonomi Penderita adalah seorang ayah dari 2 orang anaknya. Penderita mempunyai 2 anak, anak pertama belum menikah dan tinggaldi luar kota. Anak kedua belum menikah tinggal bersama pasien, Sumber pendapatan keluarga didapatkan dari uang pensiun pasien dan istrinya, sebulan sekitar Rp 5.000.000,-.

7. Riwayat Gizi. Penderita makan sehari-harinya biasanya antara 3 kali dengan nasi sepiring, sayur, dan lauk pauk seperti tahu/tempe, dan ikan lautdan ayam, sekali makan 3-4 sendok makan. Penderita termasuk orang yang suka makan dan tidak memilih-milih makanan. Sejak sakit penderita membatasi frekuensi makan nasi, namun belum bisa mengontrol kebiasaan ngemil. Kesan status gizi cukup.

D. ANAMNESIS SISTEM 1. Kulit 2. Kepala : warna kulit sawo matang, kulit gatal (-) : sakit kepala (-), pusing (-), rambut kepala tidak rontok, luka pada kepala (-), benjolan/borok di kepala (-) 3. Mata : pandangan mata berkunang-kunang (-), penglihatan kabur (-), ketajaman baik 4. Hidung 5. Telinga 6. Mulut 7. Tenggorokan 8. Pernafasan : tersumbat (-), mimisan (-) : pendengaran berkurang (-), berdengung (-), keluar cairan (-) : sariawan (-), mulut kering (-), lidah terasa pahit : sakit menelan (-), serak (-) : sesak nafas (-), batuk lama (-), mengi (-), batuk darah (-) 9. Kadiovaskuler 10. Gastrointestinal : berdebar-debar (-), nyeri dada (-), ampeg (-) : mual (-), muntah (-), diare (-), nafsu makan menurun (-), nyeri perut (-), BAB tidak ada keluhan 11. Genitourinaria 12. Neuropsikiatri : BAK lancar, 3-4 kali/hari warna dan jumlah biasa : Neurologik Psikiatrik : kejang (-), lumpuh (-) : emosi stabil, mudah marah (-)

13. Muskuloskeletal : kaku sendi (-), nyeri tangan dan kaki (-), nyeri otot (-) 14. Ekstremitas : Atas : kanan : bengkak (-), sakit (-), kiri : bengkak (-), sakit (-), Bawah : kanan : bengkak (-), sakit (-), kiri : luka berwarna merah kecoklatan berukuran 2x1 cm

E. PEMERIKSAANFISIK 1. Keadaan Umum Tampak cukup, kesadaran compos mentis (GCS E4V5M6), status gizi kesan cukup. 2. Tanda Vital dan Status Gizi Tanda Vital Nadi : 108 x/menit, reguler, kuat angkat

Pernafasan : 20 x/menit Suhu Tensi : 36,3 oC : 130/80 mmHg 6

Status gizi : BB : 55 kg TB : 165 cm IMT : BB/TB2 = 55/(1,65)2 = 20,3 Status Gizi Gizi Cukup

3. Kulit Warna Kepala : Sawo matang, ikterik (-), sianosis (-) : Bentuk bulat lonjong simetris, tidak ada luka, rambut tidak mudah dicabut, atrofi m. temporalis(-), makula (-), papula (-), nodula (-), kelainan mimik wajah/bells palsy (-) 4. Mata Conjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (3mm/3mm), reflek kornea (+/+), wama kelopak (coklat kebitaman), katarak (-/-), radang/conjunctivitis/uveitis (-/-) 5. Hidung Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksls (-), deformitas hidung (-), hiperpigmentasi (-), sadle nose (-) 6. Mulut Bibir pucat (-), bibir kering (-), lidah kotor (-), papil lidah atrofi (-), tepi lidah hiperemis (-), tremor (-) 7. Telinga Nyeri tekan mastoid (-), sekret (-), pendengaran berkurang (-), cuping telinga dalam batas normal 8. Tenggorokan Tonsil membesar (-), pharing hiperemis (-) 9. Leher JVP tidak meningkat, trakea ditengah, pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran kelenjar limfe (-), lesi pada kulit (-) 10. Thoraks Simetris, retraksi interkostal (-), retraksi subkostal (-) - Cor : I : ictus cordis tak tampak P: ictus cordis teraba di P: batas kiri : Mid Clavicula Line ICS 5 Sinistra 7

batas kanan

: Para Sternal Line ICS 2 Dextra

batas jantung kesan tidak melebar A: S1 S2 tunggal, regular, murmur (-) - Pulmo : Statis (depan dan belakang) I : pengembangan dada kanan sama dengan kiri P : fremitus raba kiri sama dengan kanan P : sonor/sonor A: suara nafas vesikuler (+/+) Rhonci (-/-), whezing (-/-) Dinamis (depan dan belakang) I : pergerakan dada kanan sama dengan kiri P : fremitus raba kiri sama dengan kanan P : sonor/sonor A: suara nafas vesikuler (+/+) Rhonci (-/-), whezing (-/-) 11. Abdomen I : flat A : bising usus (+) normal P : timpani seluruh lapang perut P: supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tak teraba

12. Sistem Collumna Vertebralis I : deformitas (-), skoliosis (-), kiphosis (-), lordosis (-) P : nyeri tekan (-) P : Nyeri Ketok CV(-) 13. Ektremitas: palmar eritema(-/-) akral dingin oedem

Status Lokalis : Cruris Sinistra : ulkus 2x1 cm, warna merah kecoklatan, contusio (+) 14. Sistem genetalia: dalam batas normal 15. Pemeriksaan Neurologik Fungsi Luhur Fungsi Vegetatif : dalam batas normal : dalam batas normal 8

Fungsi Sensorik Fungsi motorik

: dalam batas normal

16. Pemeriksaan Psikiatrik Penampilan : sesuai umur, perawatan diri cukup Kesadaran Afek : kualitatif tidak berubah; kuantitatif compos mentis : appropriate

Psikomotor : normoaktif Proses pikir : bentuk : realistik isi arus : waham(-), halusinasi (-), ilusi(-) : koheren

Insight : baik

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan GDA Pemeriksaan GDP Pemeriksaan 2jamPP Pemeriksaan Hba1c Pemeriksaan urine : 316 mg/dl : tidak dilakukan : tidak dilakukan : tidak tersedia : tidak dilakukan

G. RESUME Seorang laki-laki 62tahun dating dengan keluhan luka pada kaki kirinya. Luka ketika jatuh saat mengendarai sepeda motor. Pasien memiliki riwayat penyakit diabetes melitus. Ibu pasien juga memiliki riwayat penyakit diabetes mellitus. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum cukup, compos mentis, status gizi cukup. Tanda vital T: 130/80 mmHg, N: 108 x/menit, RR: 20 x/menit, S:36,3C, BB:55 kg, TB:165 cm, status gizi : Gizi cukup. Dari pemeriksaan fisik pada cruris sinistra ditemukan ulcus berukuran 2 x 1 cm berwarna merah kecoklatan dan terdapat contusio pemeriksaan gula darah acak terakhir adalah 316 mg/dl pada pinggir ulcus, dan

H. PATIENT CENTERED DIAGNOSIS Diagnosis Biologis 1. DM tipe II Kasus lama 2. Ulcus diabetikum cruris sinistra

I. PENATALAKSANAAN Non Medika mentosa 1. Diet DM 1800 Kalori Diharapkan agar penderita makan makanan yang bergizi dan seesuai dengan kebutuhan kalori yang disesuaikan dengan kondisi pasien. Selain itu pasien dilarang mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung gula secara berlebihan.

2. Olah raga Diharapkan penderita dapat menjaga kesehatan tubuhnya dengan melakukan olah raga ringan seperti jalan pagi hari di lingkungan sekitar.

3. Mengurangi stress tertentu Diharapkan penderita mendapat motivasi yang adekuat dari keluarga untuk kesembuhan penderita salah satunya dengan cara lebih banyak memberikan perhatian dan meluangkan waktu untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. berbincang-bincang dan lebih

Medikamentosa Obat Anti Diabet (OAD) dari dokter yang terdiri atas : 1. Glibenclamid 5 mg 1 tablet sehari sebelum makan 2. Metformin 500 mg 3 kali sehari bersamaan saat makan atau sesudah makan. 3. Vitamin B kompleks dengan dosis 3 tablet/hari.

J. FOLLOW UP Tanggal 2 November 2013 S : Luka sudah mulai mengering, kesemutan (+) terutama saat bangun tidur, badan lemas (-), cepat lelah (-) Sering kencing (-), nafsu makan meningkat (-), sering haus (-) 10

O : KU cukup, compos mentis, gizi cukup Tanda vital : T : 130/70mmHg N :110x/menit Status Generalis : dalam batas normal Status Lokalis : Cruris Sinistra: ulkus 2x1 cm, warna merah kecoklatan, contusio (+) Status Neurologis : dalam batas normal. Status Mentalis : dalam batas normal A : DM tipe II Kasus lama dengan ulcus diabetikum cruris sinistra P : Terapi medikamentosa berupa OAT dan rawat luka , non medika mentosa berupa kontrol pola makan dan rajin olahraga selain itu juga dilakukan patient centered management : dukungan psikologis dan edukasi tentang penggunaan obat dan pola makan. R :20x/menit S :36,2C

FLOW SHEET Nama : Tn. Soeryono

Diagnosis : DM tipe II.


NO TGL Tensi mm Hg BB Kg 55 55 TB Cm 165 165
Luka

Status Gizi Cukup Cukup

GDA 316 -

Kesemutan

KET membaik membaik

1 2

12-7-2013 130/80 14-7-2013 130/70

+ +

11

BAB II IDENTIFIKASI FUNGSI- FUNGSI KELUARGA

A. FUNGSI KELUARGA 1. Fungsi Biologis. Keluarga terdiri dari penderita, istri penderita, anak penderita (Tn. Damiar 29 th, Nn Rina 26 th) 2. Fungsi Psikologi. Tn. S tinggal serumah dengan istrinya, satu anaknya (Nn. Rina). Hubungan keluarga mereka terjalin cukup akrab, terbukti dengan permasalahan-permasalahan yang dapat diatasi dengan baik dalam keluarga ini. Hubungan diantara mereka cukup dekat antara satu dengan yang lain, bahkan juga dengan keluarga besar. Sehari-hari penderita lebih banyak menghabiskan waktunya dengan istri. Permasalahan yang timbul dalam keluarga dipecahkan secara musyawarah dan dicari jalan tengah, serta dibiasakan sikap saling tolong menolong baik fisik, mental, maupun jika ada salah seorang di antaranya yang menderita kesusahan. Penghasilan mereka cukup, dan mereka hidup bahagia dan memasrahkan semuanya kepada Tuhan. 3. Fungsi Sosial Penderita adalah warga yang tergolong sepuh dalam lingkungan disekitar rumah Dalam masyarakat penderita hanya sebagai anggota masyarakat biasa, tidak mempunyai kedudukan sosial tertentu dalam masyarakat. Dalam kesehariannya penderita bergaul akrab dengan masyarakat di sekitamya seperti halnya anggota masyarakat yang lain. 4. Fungsi Ekonomi dan Pemenuhan Kebutuhan Penghasilan keluarga berasal dari penghasilan pensiunan penderita dan istrinya dan penghasilan 1 orang anaknya dengan total penghasilan sebesar Rp 5.000.000,00 per bulannya.Penghasailan tersebut juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah. 5. Fungsi Penguasaan Masalah dan Kemampuan Beradaptasi Penderita termasuk personal yang terbuka sehingga bila mengalami kesulitan atau masalah penderita sering bercerita kepada istri dan anak-anaknya.

12

B. APGAR SCORE ADAPTATION Selama ini dalam menghadapi masalah keluarga, pasien selalu pertama kali membicarakannya kepada istri dan anak-anaknya dan mengungkapkan apa yang diinginkannya dan menjadi keluhannya. Dukungan keluarga dekat , menantu dan anakanaknya dan juga cucunya yang menjaganya sangat memberinya motivasi untuk sembuh, teratur minum obat, dan mematuhi larangan karena penderita dan keluarga yakin

penyakitnya bisa sembuh total bila ia mematuhi aturan pengobatan sampai sakitnya benar-benar sembuh dan tidak sampai terjadi komplikasi. Hal ini menumbuhkan kepatuhan penderita dalam mengkonsumsi obat .

PARTNERSHIP Tn. S Rmengerti bahwa ia adalah panutan dan sebagai suami dan orang tua yang disayangi oleh anak-anaknya. Selain itu keluarganya meyakinkannya bahwa pasien bisa melakukan aktifitas sehari-hari, komunikasi antar anggota keluarga masih berjalan dengan baik GROWTH Tn. S sadar bahwa ia harus bersabar menghadapi penyakitnya AFFECTION Tn. S merasa hubungan kasih sayang dan interaksinya dengan istri,anak-anaknya dan cucunya cukup. Bahkan perhatian yang dirasakannya bertambah. pasien menyayangi keluarganya, begitu pula sebaliknya. RESOLVE Tn. S merasa cukup puas dengan kebersamaan dan waktu yang ia dapatkan dari istri, dan anak-anaknya, walaupun waktu yang tersedia tidak banyak karena anak-anak penderita harus bekerja.

Sering/ selalu Saya puas bahwa saya dapat kembali ke keluarga APGAR Ny. Susiatiningsih Terhadap Keluarga saya bila saya menghadapi masalah

Kadangkadang

Jarang/tidak

Saya puas dengan cara keluarga saya membahas dan membagi masalah dengan saya

13

Saya puas dengan cara keluarga saya menerima dan mendukung keinginan saya untuk melakukan

kegiatan baru atau arah hidup yang baru A Saya puas dengan cara keluarga saya mengekspresikan kasih sayangnya dan merespon emosi saya

seperti kemarahan, perhatian dll R Saya puas dengan cara keluarga saya dan saya membagi waktu bersama-sama

Total poin = 10 fungsi keluarga dalam keadaan baik Ny.Susiatiningsih merupakan pensiunan PNS dan saat ini hanya mengerjakan pekerjaan rumah.

Sering/ selalu Saya puas bahwa saya dapat kembali ke keluarga APGAR Nn. Rina Terhadap Keluarga saya bila saya menghadapi masalah

Kadangkadang

Jarang/tidak

Saya puas dengan cara keluarga saya membahas dan membagi masalah dengan saya

Saya puas dengan cara keluarga saya menerima dan mendukung keinginan saya untuk melakukan kegiatan baru atau arah hidup yang baru

Saya puas dengan cara keluarga saya mengekspresikan kasih sayangnya dan merespon emosi saya seperti kemarahan, perhatian dll

Saya puas dengan cara kelnarga saya dan saya membagi waktu bersama-sama

Total poin = 9, fungsi keluarga dalam keadaan baik

Nn.Rina bekerja sebagai wiraswasta sehingga memiliki waktu untuk bersamasama.

Secara keseluruhan total poin dari APGAR keluarga Tn. S adalah 19, sehingga rata-rata APGAR dari keluarga Tn. S adalah 9,5. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi fisiologis yang dimiliki keluarga TN. S dengan istri dan anak-anaknya dalam keadaan baik. Hubungan antar individu dalam keluarga tersebut terjalin baik.

14

C. SCREEM KET PATHOLOGY Interaksi sosial yang baik antar anggota _ keluarga juga dengan saudara partisipasi mereka dalam masyarakat baik Kepuasan atau kebanggaan terhadap budaya _ Cultural baik, hal ini dapat dilihat dari pergaulan sehari-hari baik dalam keluarga maupun di lingkungan, banyak tradisi budaya yang masih diikuti. Sering mengikuti acara-acara yang bersifat hajatan, sunatan, dll. Menggunakan bahasa jawa, tata krama dan kesopanan Pemahaman agama cukup. Pasien dan Religius Agama menawarkan keluarganya sering mengikuti acara yang pengalaman spiritual yang baik diadakan di masjid. untuk ketenangan individu yang tidak didapatkan dari yang lain Ekonomi keluarga ini tergolong menengah Ekonomi ke atas, untuk kebutuhan primer, sekunder dan tersier sudah bisa terpenuhi Pendidikan anggota keluarga memadai. _ Edukasi Tingkat pendidikan dan pengetahuan orang tua tinggi. Pasien meminta rujukan dari Puskesmas _ Medical Pelayanan kesehatan puskesmas untuk melanjutkan pemeriksaan di RSAL memberikan perhatian khusus terhadap kasus penderita SUMBER Sosial Keterangan Tidak terdapat masalah dalam bidang social, cultural, religius, ekonomi, edukasi maupun medical

D. KARAKTERISTIK DEMOGRAFI KELUARGA Alamat lengkap Bentuk Keluarga : : Jalan Gajah Mada no.52 Nuclear Familly

15

Diagram 1. Genogram Keluarga Tn S, Dibuat November 2013

-Tn. Mas Rudianto


-72 th -

- Ny.Susiatiningsih - 60 th -

- Pensiunan PU - etnis Jawa

-Pensiunan PU -etnis Jawa

- Tn. Damiar - 29 tahun - - Karyawan Bank - etnis Jawa

-Nn. Rina -26 tahun - - Karyawan Pabrik -etnis Jawa

Sumber : Data Primer, November 2013 Keterangan: Ny. Susiatiningsih : Istri Penderita Tn. Damiar : Anak Penderita Nn. Rina : Anak Penderita

16

E. INFORMASI POLA INTERAKSI Keluarga Tn. Soeryono 62 th

Ny. Susiatiningsih 56 th

Nn. Rina 26 th

Hubungan antara Tn. S, istri, dan anaknya baik dan dekat. Dalam keluarga ini tidak sampai terjadi konflik atau hubungan buruk antar anggota keluarga.

F. PERTANYAAN SIRKULER 1. Ketika penderita jatuh sakit apa yang harus dilakukan oleh anak-anak penderita ? Jawab : Istri dan anak anak akan bergantian untuk merawat dan menjaga penderita 2. Ketika anak penderita bertindak seperti itu apa yang dilakukan anggota keluarga lainnya ? Jawab : turut membantu dan saling mendukung. 3. Kalau butuh dirawat/operasi ijin siapa yang dibutuhkan ? Jawab : Ny. Susiatiningsih (istri) 4. Siapa anggota keluarga yang terdekat dengan penderita ? Jawab : Ny. Susiatiningsih (istri) 5. Selanjutnya siapa ? Jawab : Nn. Rina 6. Siapa yang secara emosional jauh dari penderita ? Jawab : Tn. Damiar 7. Siapa yang selalu tidak setuju dengan pasien ? Jawab : Tidak ada 8. Siapa yang biasanya tidak setuju dengan anggota keluarga lainnya ? Jawab : Tidak ada

17

BAB III IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KESEHATAN

A. Identiflkasi Faktor Perilaku dan Non Perilaku Keluarga 1. Faktor Perilaku Keluarga Tn. S adalah seorang ayah dari 2 anaknya. Pendidikan terakhir penderita adalah S1, saat ini pasien merupakan pensiunan PNS dan hanya mengurus rumah dan kebutuhan sehari-hari. Pasien merasa kesehatanya terganggu sejak 14 tahun yang lalu namun tidak ada keluhan. Keluhan mulai muncul saat 3bulan yang lalu. Anak-anak penderita saling bergantian menjaga penderita apabila kondisi pasien mulai tidak enak. Menurut semua anggota keluarga ini, yang dimaksud dengan sehat adalah keadaan terbebas dari sakit baik jasmani maupun rohani. Keluarga ini menyadari pentingnya kesehatan. Keluarga ini meyakini bahwa sakitnya disebabkan oleh kebiasaan makan yang kurang sehat, bukan dari guna-guna, sihir, atau supranatural/ takhayul. Mereka tidak terlalu mempercayai mitos, apalagi menyangkut masalah penyakit, lebih mempercayakan pemeriksaan atau pengobatannya pada dokter . Keluarga ini sangat menjaga kebersihan lingkungan rumahnya misalnya dengan menyapu rumah dan halaman paling tidak sehari dua kali, pagi dan sore dan menata perabotan yang ada di rumah. Keluarga ini memiliki fasilitas air PDAM yang digunakan untuk memasak, minum dan mandi.

2. Faktor Non Perilaku Dipandang dari segi ekonomi, keluarga ini termasuk keluarga menengah ke atas. Keluarga ini memiliki sumber penghasilan dari uang pensiuanan Tn. S dan istrinya serta penghasilan dari anaknya. Dari total semua penghasilan tersebut keluarga dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Rumah yang dihuni keluarga ini cukup memadai dan memenuhi standar kesehatan..

18

B. Identifikasi Lingkungan Rumah Gambaran Lingkungan Keluarga ini tinggal di sebuah rumah berukuran 400x600m2. Memiliki

pekarangan rumah di bagian depan dan belakang dan pagar pembatas. Terdiri dari ruang kamar tamu, ruang keluarga dan ruang menonton TV, tiga kamar tidur, satu kamar makan, dapur, gudang dan kamar mandi yang memilki fasilitas jamban. Terdiri dari 1 pintu keluar Jendela ada 3 buah, dikamar tamu dan 3 buah di ruang keluarga dan disetiap kamar tidurnya. Di depan rumah terdapat garasi dan teras. Lantai rumah seluruhnya terbuat dari keramik. Ventilasi dan penerangan rumah cukup. Atap rumah tersusun dari genteng dan ditutup langit-langit. Masing-masing kamar memiliki dipan untuk meletakan kasur. Dinding rumah terbuat dari batubata dan dicat. Perabotan rumah tangga cukup. Sumber air untuk kebutuhan sehari-harinya keluarga ini berasal dari PDAM. Secara keseluruhan kebersihan rumah cukup. Sehari-hari keluarga memasak menggunakan gas LPG 6 kg.

Denah Rumah :

Dapur

Gudang Km. tidur

T. cuci

ruang makan
Km. Tidur ruang keluarga

R. Tamu Keterangan: : Satu Pintu : Tembok Bata : Papan pembatas

Km. Tidur

19

BAB IV DAFTAR MASALAH

1. Masalah Aktif : a. DM tipe II Kasus lama b. Ulcus diabeticum

2. Faktor resiko: a. Sering mengkonsumsi makanan yang manis b. Aktivitas fisik yang kurang c. Faktor usia (>45 tahun)

DIAGRAM PERMASALAHAN PASIEN (Menggambarkan hubungan antara timbulnya masalah kesehatan yang ada dengan faktor-faktor resiko yang ada dalam kehidupan pasien)

Faktor usia (> 45 tahun)

DM tipe II Kasus lama + Ulcus diabetikum

Aktifitas yang kurang

Konsumsi yang manis-manis

20

BAB V PATIENT MANAGEMENT

A. PATIENT CENTERED MANAGEMENT 1. Suport Psikologis Pasien memerlukan dukungan psikologis mengenai faktor-faktor yang dapat menimbulkan kepercayaan baik pada diri sendiri maupun kepada dokternya. Antara lain dengan cara: a. Memberikan perhatian pada berbagai aspek masalah yang dihadapi. b. Memberikan perhatian pada pemecahan masalah yang ada. Memantau kondisi fisik dengan teliti dan berkesinambungan. c. Memantau kondisi fisik dengan teliti dan berkesinambungan. d. Timbulnya kepercayaan dari pasien, sehingga timbul pula kesadaran dan kesungguhan untuk mematuhi nasihat-nasihat dari dokter. Pendekatan Spiritual, diarahkan untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan YME, misalnya dengan rajin ibadah, berdoa dan memohon hanya kepada Tuhan. Dukungan psikososial dari keluarga dan lingkungan merupakan hal yang harus dilakukan. Bila ada masalah, evaluasi psikologis dan evaluasi kondisi sosial, dapat dijadikan titik tolak program terapi psikososial. 2. Penentraman Hati Menentramkan hati diperlukan untuk pasien dengan problem psikologis antara lain yang disebabkan oleh persepsi yang salah tentang penyakitnya, kecemasan, kekecewaan dan keterasingan yang dialami akibat penyakitnya. Faktor yang paling penting untuk kesembuhannya adalah ketekunan dalam menjalani pengobatan sesuai petunjuk dokter. Selain itu juga didukung dengan makan makanan yang bergizi tinggi meskipun sederhana, istirahat yang cukup. Diharapkan pasien bisa berpikir positif, tidak berprasangka buruk terhadap penyakitnya, dan membangun semangat hidupnya

sehingga bisa mendukung penyembuhan dan meningkatkan kualitas hidupnya. 3. Penjelasan, Basic Konseling dan Pendidikan Pasien Diberikan penjelasan yang benar mengenai persepsi yang salah tentang Diabetes Mellitus. Pasien Diabetes Mellitus dan keluarganya perlu tahu tentang penyakit, pengobatannya dan pencegahan. Sehingga persepsi yang salah dan merugikan bisa dihilangkan. Hal ini bisa dilakukan melalui konseling setiap kali 21

pasien kontrol dan melalui kunjungan rumah baik oleh dokter maupun oleh petugas Yankes. Beberapa persepsi yang harus diluruskan yaitu: a. Penyakit Diabetes Mellitus tidak dapat disembuhkan. Maka pasien harus diberi pengertian untuk terus mengupayakan

kesembuhannya melalui program pengobatan dan rehabilitasi yang dianjurkan oleh dokter. Juga harus dilakukan pendalaman terhadap berbagai masalah penderita termasuk akibat penyakitnya terhadap hubungan dengan keluarganya, pemberian konseling jika dibutuhkan. Penderita juga diberi penjelasan tentang pentingnya menjaga diet DM yang benar dalam rangka mencapai berat badan ideal, pentingnya olah raga yang teratur dan sebagainya. 4. Menimbulkan rasa percaya diri dan tanggung jawab pada diri sendiri Dokter perlu menimbulkan rasa percaya dan keyakinan pada diri pasien bahwa ia bisa melewati berbagai kesulitan dan penderitaannya. Selain itu juga ditanamkan rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri mengenai kepatuhan dalam jadwal kontrol, keteraturan minum obat, diet yang dianjurkan dan hal-hal yang perlu dihindari serta yang periu dilakukan. 5. Pengobatan Medika mentosa dan non medikamentosa seperti yang tertera dalam penatalaksanaan. 6. Pencegahan dan Promosi Kesehatan Hal yang tidak boleh terlupakan adalah pencegahan dan promosi kesehatan berupa perubahan tingkah laku (mengatur pola makan), menjaga kebersihan lingkungan sekitar rumah agar tidak menimbulkan sumber penyakit yang dapat menjadi penyakit ke 2 yang memperberat penyakit yang mendasarinya. Dengan demikian paradigma yang salah tentang penyakit Diabetes Mellitus di masyarakat dapat diluruskan.

22

BAB VI TINJAUAN PUSTAKA

A. LATAR BELAKANG Diabetes Mllitus tipe 2 (DM tipe 2) merupakan penyakit metabolik yang prevalensinya meningkat dari tahun ketahun. Indonesia dengan jumlah penduduk yang melebihi 200.000.000 jiwa, sejak awal abad ini telah menjadi negara dengan jumlah penderita DM nomor 4 terbanyak didunia (Hawkins M & Rossetti L, 2005). DM tipe 2 merupakan penyakit progresif dengan komplikasi akut maupun khronik. Dengan pengelolaan yang baik, angka morbiditas dan mortalitas dapat diturunkan. Dalam pengelolaan DM tipe 2, diperlukan juga usaha mengkoreksi faktor-faktor risiko penyakit kardiovaskuler yang sering menyertai DM tipe 2, seperti hipertensi, dislipidemia, resistensi insulin dan lain-lain. Walaupun demikian pengendalian kadar glukosa darah tetap menjadi fokus utama (Arifin,2008).

B. DEFINSI Diabetes mellitus (DM) adalah suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin (Tjokroprawiro A et al, 2007). Diabetes Mellitus tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak penderitanya dibandingkan dengan DM tipe 1, terutama terjadi pada orang dewasa tetapi kadang-kadang juga terjadi pada remaja. Penyebab dari DM tipe 2 karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara normal, keadaan ini disebut resietensi insulin. ( Tjokroprawiro A et al, 2007). Disamping resistensi insulin, pada penderita DM tipe 2 dapat juga timbul gangguan gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Namun demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-sel langerhans secara autoimun sebagaimana terjadi pada DM tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita DM tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut. ( Tjokroprawiro A et al, 2007). Obesitas yang pada umumnya menyebabkan gangguan pada kerja insulin, merupakan faktor risiko yang biasa terjadi pada diabetes tipe ini, dan sebagian besar pasien dengan diabetes tipe 2 bertubuh gemuk. Selain terjadi penurunan kepekaan jaringan pada insulin, yang telah terbukti terjadi pada sebagian besar dengan pasien diabetes tipe 2 terlepas pada 23

berat badan, terjadi pula suatu defisiensi jaringan terhadap insulin maupun kerusakan respon sel terhadap glukosa dapat lebih diperparah dengan meningkatya hiperglikemia, dan kedua kerusakan tersebut dapat diperbaiki melalui manuve-manuver teurapetik yang mengurangi hiperglikemia tersebut (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).

C. EPIDEMIOLOGI Sejak tahun 1964 sampai 2003 jumlah penderita DM yang berobat dan terdaftar di RSU Dr. Soetomo meningkat menjadi 300 kali lipat (dari 133 menjadi 39.875), dengan pertambahan rerata + 1.022 penderita pertahun. Menurut data tahun 1985, angka morbiditas 0,16-0,72% (rerata 0,30%), dan mortalitas 0,94-1,14% (rerata 1,05%). Jumlah penderita DM yang terdaftar di poli Endokrinologi RSU Dr. Soetomo Surabaya yang didirikan pada tahun 1964 sampai tahun 2003 terdaftar 39.875 penderita. ( Tjokroprawiro A et al, 2007). Analisis dari beberapa pusat kegiatan DM di seluruh Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi DM di Indonesia kurang lebih 1,5%, sehingga pada saat ini diperkirakan minimal terdapat 4-5 juta penderita DM. menurut laporan WHO, jumlah penderita DM di dunia pada tahun 1987 + 30 juta. Menyusul kemudian, laporan WHO November 1993, menyatakan jumlah penderita DM di dunia meningkat tajam menjadi 100 juta lebih dengan prevalensi sebesar 6%. Laporan terakhir oleh Mc Charty et al, 1994: jumlah penderita DM 1994 di dunia 110,4 juta, tahun 2000 meningkat + 1,5 kali lipat (+175,5 juta), tahun 2010 menjadi + 2 kali lipat (239,3 juta), dan hingga tahun 2020 diperkirakan menjadi 300 juta. Perhitungan data epiemiologi menurut data IDF 2003, jumlah pasien DM dari Indonesia menempati nomor 6 di dunia. ( Tjokroprawiro A et al, 2007). Prevalensi DM tipe 2 pada penduduk cukup tinggi. Penelitian yang dilakukan di Kayu Putih Jakarta Timur (daerah urban) didapatkan hasil 39,1% terjadi pada responden laki-laki dan 52,3% terjadi pada wanita3, sedangkan berdasarkan sigi the second National Health and Nutritional Examination Survey II (NHANES) periode 1976-1981 ditemukan 26% penduduk dewasa atau sekitar 340 juta penduduk menderita Obesitas dan menjadi sepertiga jumlah penduduk pada data NHNES III.4 Tetapi penelitian terakhir antara tahun 2001 dan 2005 di daerah Depok menunjukkan angka 14,7% dan di Makasar 2005 mencapai 12,5% (Tjekyan S, 2007)

24

D. PATOFISIOLOGI DIABETES TIPE 2 Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan yaitu: 1. Resistensi insulin 2. Disfungsi sel pancreas Akhir-akhir ini banyak juga dibahas mengenai peran sel pancreas, amilin dan sebagainya. Resistensi insulin adalah keadaan dimana insulin tidak dapat bekerja optimal pada sel-sel targetnya seperti sel otot, sel lemak dan sel hepar.Keadaan resisten terhadap efek insulin menyebabkan sel pancreas mensekresi insulin dalam kuantitas yang lebih besar untuk mempertahankan homeostasis glukosa darah ,sehingga terjadi hiperinsulinemia kompensatoir untuk mempertahankan keadaan euglikemia. Pada fase tertentu dariperjalanan penyakit DM tipe 2, kadar glukosa darah mulai meningkat walaupun dikompensasi dengan hiperinsulinemia; disamping itu juga terjadi peningkatanasam lemak bebas dalam darah (Tjokroprawiro A et al, 2007). Keadaan glukotoksistas dan lipotoksisitas akibat kekurangan insulin relative (walaupun telah dikompensasi dengan hiperinsulinemia) mengakibatkan sel pancreas mengalami disfungsi dan terjadilah gangguan metabolisme glukosa berupa Glukosa Puasa Terganggu, Gangguan Toleransi Glukosa dan akhirnya DM tipe 2 (Leahy JL, 2005). Akhir-akhir ini diketahui juga bahwa pada DM tipe 2 ada peran sel pancreas yang menghasilkan glukagon. Glukagon berperan pada produksi glukosa di hepar pada keadaan puasa. Pengetahuan mengenai patofisiologi DM tipe 2 masih terus berkembang, masih banyak hal yang belum terungkap. Hal ini membawa dampak pada pengobatan DM tipe 2 yang mengalami perkembangan yang sangat pesat, sehingga para ahli masih bersikap hatihati dalam membuat panduan pengobatan (Leahy JL, 2005).

E. DIAGNOSIS DIABETES MELLITUS Diagnosis DM biasanya diikuti dengan adanya gejala klasik seperti poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya ( Tjokroprawiro A et al, 2007). Kriteria Diagonosis DM menurut Konsensus PERKENI 2002, dinyatakan DM apabila terdapat: 1. Kadar glukosa darah sewaktu 200 mg/dl, plus gejala klasik. 2. Kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl, atau 3. Kadar glukosa plasma 200 mg/dl pada 2 jam sesudah makan atau beban glukosa 75 gram pada TTGO. 25

UJI LABORATORIUM Darah Orang normal : Glukosa Darah Puasa (GDP) < 100 mg/dl, 2j PP < 140 mg/dl. GDP antara 100 dan 126 mg/dl disebut: Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT) atau Impaired Fasting Glucose (IGF). Untuk penderita DM: disebut normal atau regulasi baik bila glukosa darah sebelum makan 90-130 mg/dl dan puncak glukosa darah sesudah makan < 180mg/dl (Tjokroprawiro A et al, 2007). Urine Pada orang normal, reduksi urine: negative. Pemantauan reduksi urine biasanya 3x sehari dan dilakukan kurang lebih 30 menit sebelum makan. Atau 4x sehari, yaitu 1x sebelum makan pagi, dan 3x dilakukan setiap 2 jam sesudah makan. Pemeriksaan reduksi 3x sebelum makan lebih lazim dan lebih hemat. Pada metode Fehling, interpretasi hasilnya adalah: (Tjokroprawiro A et al, 2007). Normal : Biru

Bila terdapat glukosa dalam urine: Hijau (+) Kuning (++) Merah (+++) Merah Bata = coklat (++++)

26

Tabel VI.1 Tes Glukosa dan Interpretasinya

Sumber : AACE Diabetes Care Plan Guidelines, 2011

F. PENATALAKSANAAN Pada penatalaksanaan diabetes mellitus, langkah pertama yang harus dilakukan adalah penatalaksanaan tanpa obat berupa pengaturan diet dan olah raga. Apabila dalam langkah pertama ini tujuan penatalaksanaan belum tercapai, dapat dikombinasi dengan langkah farmakologis berupa terapi insulin atau terapi obat hipoglikemik oral, atau kombinasi keduanya (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005). Menurut Tjokroprawiro (2007), Penatalaksanaan dasar terapi DM meliputi pentalogi terapi DM yaitu: Terapi Primer 1. Penyuluhan kesehatan masyarakat (PKM) tentang DM 2. Latihan Fisik (LF): primer dan sekunder 3. Diet Terapi Sekunder 4. Obat hipoglikemi (OHO dan Insulin) 5. Cangkok Pankreas

30

1. Penyuluhan kesehatan masyarakat (PKM) tentang DM PKM dapat dilaksanakan melalui: (Tjokroprawiro A et al, 2007). a. Perorangan (antara dokter dengan penderita); bila tidak ada waktu, ber PKMlah waktu memeriksa atau pun menulis resep. b. Penyuluhan melalui TV c. Kaset Video : penjelasan tentang DM, komplikasinya, terapi DM termasuk peragaan macam-macam diet dengan berbagai jenis kandungan kalorinya. d. Diskusi Kelompok e. Poster f. Leaflet, dan lain-lain.

2. Latihan Fisik (LF) untuk DM : LF Primer dan Sekunder Berolah secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah tetap normal. Prinsipya, tidak perlu olah raga berat, olah raga ringan asal dilakukan secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan (Tjokroprawiro A et al, 2007). Beberapa contoh olah raga yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang, dan lain sebagainya. Olah raga akan memperbanyak jumlah dan juga meningkatkan penggunaan glukosa (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005). Semua penderita DM dianjurkan latihan ringan teratur setiap hari pada saat 1 atau 1 jam sesudah makan, termasuk penderita yang dirawat di rumah sakit. Misalnya, makan pagi jam 07.00, makan siang jam 12.30, makan malam jam 18.30, maka latihan fisik harus dilakukan berturut-turut jam 08.00, 13.30, dan 19.30. Latihan Fisik ini disebut LF Primer ( Tjokroprawiro A et al, 2007). LF sekunder untuk penderita DM, terutama DM dengan obesitas. Selain LF primer sesudah makan, juga dianjurkan LF sekunder agak berat setiap hari, pagi dan sore (dengan tujuan menurunkan berat badan) sebelum mandi pagi dan sore. Hal ini dilaksanakan pagi dan sore agar penderita tidak lupa ( Tjokroprawiro A et al, 2007).

31

3. Diet DM Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein dan lemak. ( Tjokroprawiro A et al, 2007). Tujuan pengobatan diet pada diabetes adalah: a) Mencapai dan kemudian mempertahankan kadar glukosa darah mendekati kadar normal. b) Mencapai dan mempertahankan lipid mendekati kadar yang optimal. c) Mencegah komplikasi akut dan kronik. d) Meningkatkan kualitas hidup.

Diet DM pertama kali dihasilkan oleh Tjokroprawiro pada tahun 1978 yaitu Diet-B dengan spesifikasi antara lain: ( Tjokroprawiro A et al, 2007). 1. Komposisi: 68% kal. Karbohidrat, 12% kal. Protein, 20% kal. Lipid. 2. Karbohidrat: kompleks, tidak mengandung gula. 3. Lipid: cholesterol < 300mg/hari, rasio P:S > 1,0, SAFA 5%, PUFA 5%, MUFA 10%. 4. Protein: banyak mengandung asam amino esensial 5. Serat: 25-35 g/hari 6. Interval makanan: 6 makanan/hari, interval 3 jam. 3 makanan utama dan 3 makanan ringan diantaranya. Untuk keberhasilan kepatuhan terhadap diet, perlu diingat 3K dari pasien, yaitu Kemauan, Kemampuan, dan Kesempatan. Dan dalam pelaksanaan diet, hendaknya mengikuti 3J meliputi: ( Tjokroprawiro A et al, 2007). J1 = jumlah kalori yang diberikan harus dihabiskan. J2 = jadwal makan harus diikuti (interval 3 jam) J3 = jenis gula dan yang manis harus dipantang. Kalori yang diberikan kepada penderita harus cukup untuk bekerja sehari-hari sesuai dengan jenis pekerjaan , dan sesuai untuk menuju ke berat badan normal. Dalam praktek, pedoman jumlah kalori sehari yang diperlukan untuk diabetisi yang bekerja biasa adalah: ( Tjokroprawiro A et al, 2007).

32

Kurus : Berat Badan x 40-60 kalori Normal : Berat Badan x 30 kalori Gemuk : Berat Badan x 20 kalori Obesitas : Berat Badan x 10-15 kalori

Ket: Kriteria gizi penderita berdasarkan perhitungan Indeks Massa Tubuh (IMT)

Tabel VI.2 Rekomendasi AACE Tentang Pola Makan Sehat Untuk Pasien Diabetes Melitus Sumber : AACE Diabetes Care Plan Guidelines, 2011

33

4. Terapi Farmakologi (Obat Hipoglikemik Oral dan Insulin) 1. Insulin Insulin adalah hormon yang dihasilkan dari sel pankreas dalam merespon glukosa. Insulin merupakan polipeptida yang terdiri dari 51 asam amino tersusun dalam 2 rantai, rantai A terdiri dari 21 asam amino dan rantai B terdiri dari 30 asam amino. Insulin mempunyai peran yang sangat penting dan luas dalam pengendalian metabolisme, efek kerja insulin adalah membantu transport glukosa dari darah ke dalam sel (Tjokroprawiro A et al, 2007).

Macam-macam sediaan insulin: (Tjokroprawiro A et al, 2007). 1. Insulin kerja singkat Sediaan ini terdiri dari insulin tunggal biasa, mulai kerjanya baru sesudah setengah jam (injeksi subkutan), contoh: Actrapid, Velosulin, Humulin Regular. 2. Insulin kerja panjang (long-acting) Sediaan insulin ini bekerja dengan cara mempersulit daya larutnya di cairan jaringan dan menghambat resorpsinya dari tempat injeksi ke dalam darah. Metoda yang digunakan adalah mencampurkan insulin dengan protein atau seng atau mengubah bentuk fisiknya, contoh: Monotard Human. 3. Insulin kerja sedang (medium-acting) Sediaan insulin ini jangka waktu efeknya dapat divariasikan dengan mencampurkan beberapa bentuk insulin dengan lama kerja berlainan, contoh: Mixtard 30 HM Secara keseluruhan sebanyak 20-25% pasien DM tipe 2 kemudian akan memerlukan insulin untuk mengendalikan kadar glukosa darahnya. Untuk pasien yang sudah tidak dapat dikendalikan kadar glukosa darahnya dengan kombinasi metformin dan sulfonilurea, langkah selanjutnya yang mungkin diberikan adalah insulin (Tjokroprawiro A et al, 2007).

2. Obat Antidiabetik Oral Obat-obat antidiabetik oral ditujukan untuk membantu penanganan pasien diabetes mellitus tipe 2. Farmakoterapi antidiabetik oral dapat dilakukan dengan menggunakan satu jenis obat atau kombinasi dari dua jenis obat (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).

34

a. Golongan Sulfonilurea Golongan obat ini bekerja merangsang sekresi insulin dikelenjar pankreas, oleh sebab itu hanya efektif apabila sel-sel Langerhans pankreas masih dapat berproduksi Penurunan kadar glukosa darah yang terjadi setelah pemberian senyawa-senyawa sulfonilurea disebabkan oleh perangsangan sekresi insulin oleh kelenjar pankreas. Obat golongan ini merupakan pilihan untuk diabetes dewasa baru dengan berat badan normal dan kurang serta tidak pernah mengalami ketoasidosis sebelumnya (Tjokroprawiro A et al, 2007).

Sulfonilurea generasi pertama Tolbutamid diabsorbsi dengan baik tetapi cepat dimetabolisme dalam hati. Masa kerjanya relatif singkat, dengan waktu paruh eliminasi 4-5 jam (Katzung, 2002). Dalam darah tolbutamid terikat protein plasma. Di dalam hati obat ini diubah menjadi karboksitolbutamid dan diekskresi melalui ginjal (Tjokroprawiro A et al, 2007). Asektoheksamid dalam tubuh cepat sekali mengalami biotransformasi, masa paruh plasma 0,5-2 jam. Tetapi dalam tubuh obat ini diubah menjadi 1hidroksilheksamid yang ternyata lebih kuat efek hipoglikemianya daripada asetoheksamid sendiri. Selain itu itu 1-hidroksilheksamid juga memperlihatkan masa paruh yang lebih panjang, kira-kira 4-5 jam (Tjokroprawiro A et al, 2007). Klorpropamid cepat diserap oleh usus, 70-80% dimetabolisme di dalam hati dan metabolitnya cepat diekskresi melalui ginjal. Dalam darah terikat albumin, masa paruh kira-kira 36 jam sehingga efeknya masih terlihat beberapa hari setelah pengobatan dihentikan (Tjokroprawiro A et al, 2007). Tolazamid diserap lebih lambat di usus daripada sulfonilurea lainnya dan efeknya pada glukosa darah tidak segera tampak dalam beberapa jam setelah pemberian. Waktu paruhnya sekitar 7 jam (Tjokroprawiro A et al, 2007).

Sulfonilurea generasi kedua Gliburid (glibenklamid) khasiat hipoglikemisnya yang kira-kira 100 kali lebih kuat daripada tolbutamida. Sering kali ampuh dimana obat-obat lain tidak efektif lagi, risiko hipoglikemia juga lebih besar dan sering terjadi. Pola kerjanya berlainan dengan sulfonilurea yang lain yaitu dengan single-dose pagi hari mampu

35

menstimulasi sekresi insulin pada setiap pemasukan glukosa (selama makan) (Tjay dan Rahardja, 2002). Obat ini dimetabolisme di hati, hanya 21% metabolit diekresi melalui urin dan sisanya diekskresi melalui empedu dan ginjal ( Tjokroprawiro A et al, 2007). Glipizid memiliki waktu paruh 2-4 jam, 90% glipizid dimetabolisme dalam hati menjadi produk yang aktif dan 10% diekskresikan tanpa perubahan melalui ginjal ( Tjokroprawiro A et al, 2007). Glimepiride dapat mencapai penurunan glukosa darah dengan dosis paling rendah dari semua senyawa sulfonilurea. Dosis tunggal besar 1 mg terbukti efektif dan dosis harian maksimal yang dianjurkan adalah 8 mg. Glimepiride mempunya waktu paruh 5 jam dan dimetabolisme secara lengkap oleh hati menjadi produk yang tidak aktif ( Tjokroprawiro A et al, 2007).

b. Golongan Biguanida Golongan ini yang tersedia adalah metformin, metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat selular dan menurunkan produksi gula hati. Metformin juga menekan nafsu makan hingga berat badan tidak meningkat, sehingga layak diberikan pada penderita yang overweight (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).

c. Golongan Tiazolidindion Golongan obat baru ini memiliki kegiatan farmakologis yang luas dan berupa penurunan kadar glukosa dan insulin dengan jalan meningkatkan kepekaan bagi insulin dari otot, jaringan lemak dan hati, sebagai efeknya penyerapan glukosa ke dalam jaringan lemak dan otot meningkat. Tiazolidindion diharapkan dapat lebih tepat bekerja pada sasaran kelainan yaitu resistensi insulin tanpa menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak menyebabkan kelelahan sel pankreas. Contoh: Pioglitazone, Troglitazon ( Tjokroprawiro A et al, 2007).

d. Golongan Inhibitor Alfa Glukosidase Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim glukosidase alfa di dalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan hiperglikemia postprandrial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak menyebabkan hipoglikemia

36

dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin. Contoh: Acarbose ( Tjokroprawiro A et al, 2007).

G. DASAR-DASAR PENGOBATAN DIABETES TIPE 2 Resistensi insulin merupakan dasar dari diabetes tipe 2, dan kegagalan sel mulai terjadi sebelum berkembangnya diabetes yaitu dengan terjadinya ketidakseimbangan antara resistensi insulin dan sekresi insulin. De Fronzo menyatakan bahwa fungsi sel menurun sebesar kira-kira 20% pada saat terjadi intoleransi glukosa. Dengan demikian jelas bahwa pendekatan pengobatan diabetes tipe 2 harus memperbaiki resistensi insulin dan memperbaiki fungsi sel .Hal yang mendasar dalam pengelolaan Diabetes mellitus tipe 2 adalah perubahan pola hidup yaitu pola makan yang baik dan olah raga teratur. Dengan atau tanpa terapi farmakologik, pola makan yang seimbang dan olah raga teratur (bila tidak ada kontraindikasi) tetap harus dijalankan (Arifin 2008; American Diabetes Association,
2008)

ADA 21thConference on Diabetes 2012

37

Target glikemik Penelitian UKPDS (United Kingdom Prospective Diabetes Study) dan Studi Kumamoto pada pasien DM tipe 2 menunjukkan target glikemik terapi DM tipe 2 yang menghasilkan perbaikan prognosis jangka panjang. Hasil penelitian klinik dan epidemiologik menunjukkan bahwa dengan menurunkan kadar glukosa maka kejadian komplikasi mikrovaskuler dan neuropati akan menurun. Target kadar glukosa darah yang terbaik berdasarkan pemeriksaan harian dan A1C sebagai index glikemia khronik belum diteliti secara sistematik. Tetapi hasil penelitian DCCT (pada pasien diabetes tipe 1) dan UKPDS (pada pasien diabetes tipe 2) mengarahkan gol pencapaian kadar glikemik pada rentang nondiabetik. Akan tetapi pada kedua studi tersebut bahkan pada grup pasien yang mendapat pengobatan intensif ,kadar A1C tidak dapat dipertahankan pada rentang nondiabetik . Studi tersebut mencapai kadar rata-rata A1C ~7% yang merupakan 4SD diatas rata-rata non diabetic (UK Prospective Diabetes Study (UKPDS) Group, 1998). Target glikemik yang paling baru adalah dari ADA (American Diabetes Association) yang dibuat berdasarkan kepraktisan dan projeksi penurunan kejadian komplikasi , yaitu A1C <7% (UK Prospective Diabetes Study (UKPDS) Group, 1998). Konsensus ini menyatakan bahwa kadar A1C > 7% harus dianggap sebagai alarm untuk memulai atau mengubah terapi dengan gol A1C < 7%. Para ahli juga menyadari bahwa gol ini mungkin tidak tepat atau tidak praktis untuk pasien tertentu, dan penilaian klinik dengan mempertimbangkan potensi keuntungan dan kerugian dari regimen yang lebih intensif perlu diaplikasikan pada setiap pasien. Faktor-faktor seperti harapan hidup, risiko hipoglikemia dan adanya CVD perlu menjadi pertimbangan pada setiap pasien sebelum memberikan regimen terapi yang lebih intensif (UK Prospective Diabetes Study (UKPDS) Group, 1998).

Metformin Efek utama metformin adalah menurunkan hepatic glucose output dan menurunkan kadar glukosa puasa. Monoterapi dengan metformin dapat menurunkan A1C sebesar ~ 1,5%. Pada umumnya metformin dapat ditolerir oleh pasien. Efek yang tidak diinginkan yang paling sering dikeluhkan adalah keluhan gastrointestinal. Monoterapi metformin jarang disertai dengan hipoglikemia; dan metformin dapat digunakan secara aman tanpa menyebabkan hipoglikemia pada prediabetes. Efek nonglikemik yang penting dari metformin adalah tidak menyebabkan penambahan berat badan atau menyebabkan

38

panurunan berat badan sedikit. Disfungsi ginjal merupakan kontraindikasi untuk pemakaian metformin karena akan meningkatkan risiko asidosis laktik ; komplikasi ini jarang terjadi tetapi fatal (Nathan MN et al, 2008).

Sulfonilurea Sulfonilurea menurunkan kadar glukosa darah dengan cara meningkatkan sekresi insulin.Dari segi efikasinya, sulfonylurea tidak berbeda dengan metformin, yaitu menurunkan A1C ~ 1,5%. Efek yang tidak diinginkan adalah hipoglikemia yang bisa berlangsung lama dan mengancam hidup. Episode hipoglikemia yang berat lebih sering terjadi pada orang tua. Risiko hipoglikemia lebih besar dengan chlorpropamide dan glibenklamid dibandingkan dengan sulfonylurea generasi kedua yang lain. Sulfonilurea sering menyebabkan penambahan berat badan ~ 2 kg. Kelebihan sulfonylurea dalam memperbaiki kadar glukosa darah sudah maksimal pada setengah dosis maksimal , dan dosis yang lebih tinggi sebaiknya dihindari (Nathan MN et al, 2008).

Glinide Seperti halnya sulfonylurea, glinide menstimulasi sekresi insulin akan tetapi golongan ini memiliki waktu paruh dalam sirkulasi yang lebih pendek dari pada sulfonylurea dan harus diminum dalam frekuensi yang lebih sering. Golongan glinide dapat merunkan A1C sebesar ~ 1,5 % Risiko peningkatan berat badan pada glinide menyerupai sulfonylurea, akan tetapi risiko hipoglikemia nya lebih kecil (Nathan MN et al, 2008). Penghambat -glukosidase Penghambat -glukosidase bekerja menghambat pemecahan polisakharida di usus halus sehingga monosakharida yang dapat diabsorpsi berkurang; dengan demikian peningkatan kadar glukosa postprandial dihambat. Monoterapi dengan penghambat glukosidase tidak mengakibatkan hipoglikemia. Golongan ini tidak seefektif metformin dan sulfonylurea dalam menurunkan kadar glukosa darah; A1C dapat turun sebesar 0,5 0,8 %. Meningkatnya karbohidrat di colon mengakibatkan meningkatnya produksi gas dan keluhan gastrointestinal. Pada penelitian klinik, 25-45% partisipan menghentikan pemakaian obat ini karena efek samping tersebut (Nathan MN et al, 2008).

39

Thiazolidinedione (TZD) TZD bekerja meningkatkan sensitivitas otot, lemak dan hepar terhadap insulin baik endogen maupun exogen. Data mengenai efek TZD dalam menurunkan kadar glukosa darah pada pemakaian monoterapi adalah penurunan A1C sebesar 0,5-1,4 %. Efek samping yang paling sering dikeluhkan adalah penambahan berat badan dan retensi cairan sehingga terjadi edema perifer dan peningkatan kejadian gagal jantung kongestif (Nathan MN et al, 2008).

Insulin Insulin merupakan obat tertua iuntuk diabetes, paling efektif dalam menurunkan kadar glukosa darah. Bila digunakan dalam dosis adekuat, insulin dapat menurunkan setiap kadar A1C sampai mendekati target terapeutik. Tidak seperti obat antihiperglikemik lain, insulin tidak memiliki dosis maximal. Terapi insulin berkaitan dengan peningkatan berat badan dan hipoglikemia (Nathan MN et al, 2008).

Dipeptidyl peptidase four inhibitor (DPP4 Inhibitor) DPP-4 merupakan protein membran yang diexpresikan pada berbagai jaringan termasuk sel imun.DPP-4 Inhibitor adalah molekul kecil yang meningkatkan efek GLP-1 dan GIP yaitu meningkatkan glucose- mediated insulin secretion dan mensupres sekresi glukagon. Penelitian klinik menunjukkan bahwa DPP-4 Inhibitor menurunkan A1C sebesar 0,6-0,9 %. Golongan obat ini tidak meninmbulkan hipoglikemia bila dipakai sebagai monoterapi (Nathan MN et al, 2008).

Algoritme pengelolaan Diabetes Mellitus tipe 2 menurut ADA/EASD Panduan dan algoritme pengobatan dari ADA & EASD ini menyampaikan hal berikut : (ADA 21thConference on Diabetes, 2012) 1. Mencapai dan mempertahankan kadar mendekati normoglikemia (A1C < (7%). 2. Terapi dimulai dengan intervensi pola hidup dan metformin 3. Bila target glikemik tidak tercapai atau tidak dapat dipertahankan maka ditambahkan obat-obat baru dan diubah jadi regimen baru. 4. Pada pasien yang tidak mencapai target glikemik maka diberikan terapi insulin secara lebih dini.

40

Algoritme dibuat dengan memperhatikan karakteristik intervensi individual, sinergisme dan biaya. Tujuannya adalah untuk mencapai dan mempertahankan A1C < 7% dan mengubah intervensi secepat mungkin bila target glikekemik tidak tercapai (Arifin, 2008). Tier 1 : well validated core therapy Intervensi ini merupakan cara yang terbaik dan paling efektif, serta merupakan strategi terapi yang cost-effective untuk mencapai target glikemik. Algoritme tier1 ini merupakan pilihan utama terapi pasien diabetes tipe 2 (Arifin, 2008).

Langkah pertama : Intervensi pola hidup dan metformin. Berdasarkan bukti-bukti keuntungan jangka pendek dan jangka panjang bila berat badan turun dan aktivitas fisik yang ditingkatkan dapat tercapai dan dipertahankan serta cost effectiveness bila berhasil, maka konsensus ini menyatakan bahwa intervensi pola hidup harus dilaksanakan sebagai langkah pertama pengobatan pasien diabetes tipe 2 yang baru (Arifin, 2008). Intervensi pola hidup juga untuk memperbaiki tekanan darah, profil lipid, dan menurunkan berat badan atau setidaknya mencegah peningkatan berat badan, harus selalu mendasari pengelolaan pasien diabetes tipe 2., bahkan bila telah diberi obat-obatan. Untuk pasien yang tidak obes ataupun berat badan berlebih, modifikasi komposisi diet dan tingkat aktivitas fisik tetap berperan sebagai pendukung pengobatan (Arifin, 2008). Para ahli membuktikan bahwa intervensi pola hidup saja sering gagal mencapai atau mempertahankan target metabolik karena kegagaaln menurunkan berat badan atau berat badan naik kembali dan sifat penyakit ini yang progresif atau kombinasi faktorfaktor tersebut (Arifin, 2008). Oleh sebab itu pada konsensus ini ditentukan bahwa terapi metformin harus dimulai bersamaan dengan intervensi pola hidup pada saat diagnosis. Metformin direkomendasikan sebagai terapi farmakologik awal , pada keadaan tidak ada kontraindikasi spesifik, karena efek langsungnya terhadap glikemia, tanpa penambahan berat badan dan hipoglikemia pada umumnya, efek samping yang sedikit, dapat diterima oleh pasien dan harga yang relatif murah. Penambahan obat penurun glukosa darah yang lain harus dipertimbangkan bila terdapat hiperglikemia simtomatik persisten (Arifin, 2008).

41

Langkah kedua : menambah obat kedua Bila dengan intervensi pola hidup dan metformin dosis maksimal yang dapat ditolerir target glikemik tidak tercapai atau tidak dapat dipertahankan, sebaiknya ditambah obat lain setelah 2-3 bulan memulai pengobatan atau setiap saat bila target A1C tidak tercapai. Bila terdapat kontraindikasi terhadap metformin atau pasien tidak dapat mentolerir metformin maka perlu diberikan obat lain. Konsensus menganjurkan penambahan insulin atau sulfonylurea (Arifin, 2008). Yang menentukan obat mana yang dipilih adalah nilai A1C. Pasien dengan A1C > 8,5% atau dengan gejala klinik hiperglikemia sebaiknya diberi insulin; dimulai dengan insulin basal (intermediate-acting atau long acting). Tetapi banyak juga pasien DM tipe 2 yang baru masih memberi respons terhadap obat oral (Arifin, 2008).

Langkah ketiga : penyesuaian lebih lajut Bila intervensi pola hidup, metformin dan sulfonilurea atau insulin basal tidak menghasilkan target glikemia, maka langkah selanjutnya adalah mengintesifkan terapi insulin. Intensifikasi terapi insulin biasanya berupa berupa suntikan short acting atau rapid acting yang diberikan sebelum makan. Bila suntikan-suntikan insulin dimulai maka sekretagog insulin harus dihentikan (Arifin, 2008).

Tier 2 : less well-validated therapies Pada kondisi-kondisi klinik tertentu algoritme tingkatan kedua ini dapat dipertimbangkan. Secara spesifik bila hipoglikemia sangat ditakuti (misalnya pada mereka yang melakukan pekerjaan yang berbahaya), maka penambahan exenatide atau pioglitazone dapat dipertimbangkan. Bila penurunan berat badan merupakan pertimbangan penting dan A1C mendekati target (<8%), exenatide merupakan pilihan. arifin Bila inervensi ini tidak efektif dalam mencapai target A1C, atau pengobatan tersebut tidak dapat ditolerir oleh pasien, maka penambahan dengan sulfonilurea dapat dipertimbangkan. Alternatif lain adalah bahwa tier 2 intervention dihentikan dan dimulai pemberian insulin basal (Arifin, 2008).

42

Tabel Comprehensive Diabetes Care Treatment Sumber: Goals AACE Diabetes Care Plan Guidelines, 2011

43

BAB VII PENUTUP

A. KESIMPULAN 1. Segi Biologis : Tn. S (62 tahun), menderita penyakit Diabetes Mellitus tipe II Kasus lama dan ulcus diabetikum cruris sinistra 2. Segi Psikologis : Hubungan antara anggota keluarga dan anggota masyarakat yang terjalin cukup akrab, harmonis, dan hangat. Pengetahuan akan Diabetes Mellitus yang cukup yang berhubungan dengan tingkat pendidikan yang tergolong tinggi. Tingkat pemahaman dalam mengkonsumsi obat yang baik, mendukung untuk penyembuhan penyakit tersebut

B. SARAN 1. Untuk masalah medis (DM) dilakukan langkah-langkah : Preventif : penderita diharapkan agar penderita makan makanan yang bergizi dan sesuai dengan kebutuhan kalori yang disesuaikan dengan kondisi pasien. Selain itu pasien dilarang mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung gula secara berlebihan. Diharapkan penderita dapat menjaga kesehatan tubuhnya dengan melakukan olah raga ringan seperti jalan pagi hari di lingkungan sekitar. Selain itu diharapkan penderita mendapat motivasi yang adekuat dari keluarga untuk kesembuhan penderita salah satunya dengan cara lebih banyak memberikan perhatian dan meluangkan waktu untuk berbincang-bincang dan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Promotif : edukasi penderita dan keluarga mengenai Diabetes Mellitus dan

pengobatannya oleh petugas kesehatan atau dokter yang menangani. Kuratif : 1. Glibenclamid 5 mg 1 tablet sehari sebelum makan

44

2. Metformin 500 mg makan.

3 kali sehari bersamaan saat makan atau sesudah

3. Vitamin B kompleks dengan dosis 3 tablet/hari.

C. Rehabilitatif : mengembalikan kepercayaan diri Tn. S sehingga tetap memiliki semangat untuk sembuh dan dapat beraktivitas seperti biasa.

45

DAFTAR PUSTAKA

AACE Diabetes Care Plan Guidelines, 2011, Endocr Pract, 17:pp 6-25. ADA 21thConference on Diabetes 2012 April 28, 2012 American Diabetes Association: Standards of medical care in diabetes 2008 (Position statement), Diabetes Care;31 (Suppl.1):S12-54. Diabetes Mellitus, 2005, Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, Departemen Kesehatan RI. Arifin AL, Panduan Terapi Diabetes Mellitus Tipe 2 Terkini, Sub Bagian Endokrinologi & Metabolisme Bagian / UPF Ilmu Penyakit Dalam FakultasKedokteran UNPAD/ RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung Hawkins M, Rossetti L, 2005, Insulin Resistance and Its Role in the Pathogenesis of Type 2 Diabetes, In : Kahn CR, King GL, Moses AC, Weir GC, Jacobson AM, Smith RJ (Eds) Joslins Diabetes Mellitus. Lippincott Williams & Wilkin. Philadelphia, Pg 425-448. Leahy JL, 2005, -cell Dysfunction in Type 2 Diabetes In : Kahn CR, King GL, Moses AC, Weir GC, Jacobson AM, Smith RJ (Eds) Joslins Diabetes Mellitus. Lippincott Williams & Wilkin. Philadelphia. Pg 449-462. Nathan MN, Buse JB, Mayer BD, Ferrannini E, Holman RR, Sherwin R et al, 2008, Medical management of Hyperglycemia in Type 2 Diabetes A consebsus Algorithm for the Initiation and Adjustment of Therapy. A consensus statement of the American Diabetes Association and the European Association for the Study of Diabetes. Diabetes Care; 31:111. Tjekyan S, 2007, Risiko Penyakit Diabetes Mellitus Tipe 2 Di Kalangan Peminum Kopi Di Kotamadya Palembang Tahun 2006-2007, Makara Kesehatan, Vol. 11: 54-60. Tjokroprawiro A et al, 2007, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Airlangga University Press, Surabaya. UK Prospective Diabetes Study (UKPDS) Group: Intensive blood glucose control with sulphonylureas or and insulin compared with conventional treatment and risk of complication in patients with type 2 diabetes (UKPDS 33), 1998, Lancet; 352: 837-853.

46

Gambar 1. Tampak Depan Rumah

Gambar 2. Ruang Makan

47

Gambar 3. Gudang

Gambar 4. Kamar Mandi

48

Gambar 5. Tempat Cuci

49

Anda mungkin juga menyukai