Anda di halaman 1dari 47

I.

PENDAHULUAN Dalam sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan, sosok Ibnu Sina dalam banyak hal

unik, sedang diantara para filosof muslim ia tidak hanya unik, tapi juga memperoleh penghargaan yang semakin tinggi hingga masa modern. Ia adalah satu - satunya filosof besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim beberapa abad. Pengaruh ini terwujud bukan hanya karena ia memiliki sistem, tetapi karena sistem yang ia miliki itu menampakkan keasliannya yang menunjukkan jenis jiwa yang jenius dalam menemukan metode - metode dan alasan - alasan yang diperlukan untuk merumuskan kembali pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual Hellenisme yang ia warisi dan lebih jauh lagi dalam sistem keagamaan Islam. II. BIOGRAFI Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu Ali Husain Ibn Abdillah Ibn Sina. Ia lahir pada tahun 980 M di Asfshana, suatu tempat dekat Bukhara. Orang tuanya adalah pegawai tinggi pada pemerintahan Dinasti Saman.Di Bukhara ia dibesarkan serta belajar falsafah kedokteran dan ilmu - ilmu agama Islam. Ketika usia sepuluh tahun ia telah banyak mempelajari ilmu agama Islam dan menghafal Al-Quran seluruhnya. Dari mutafalsir Abu Abdellah Natili, Ibnu Sina mendapat bimbingan mengenai ilmu logika yang elementer untuk mempelajari buku Isagoge dan Porphyry, Euclid dan Al-Magest-Ptolemus. Dan sesudah gurunya pindah ia mendalami ilmu agama dan metafisika, terutama dari ajaran Plato dan Arsitoteles yang murni dengan bantuan komentator - komentator dari pengarang yang otoriter dari Yunani yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Dengan ketajaman otaknya ia banyak mempelajari filsafat dan cabang - cabangnya, kesungguhan yang cukup mengagumkan ini menunjukkan bahwa ketinggian otodidaknya, namun di suatu kali dia harus terpaku menunggu saat ia menyelami ilmu metafisika-nya Arisstoteles, kendati sudah 40 an kali membacanya. Baru setelah ia membaca Agradhu kitab ma waraet thabieah li li Aristho-nya Al-Farabi (870 - 950 M), semua persoalan mendapat

jawaban dan penjelasan yang terang benderang, bagaikan dia mendapat kunci bagi segala simpanan ilmu metafisika. Maka dengan tulus ikhlas dia mengakui bahwa dia menjadi murid yang setia dari Al-Farabi. Sesudah itu ia mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya, seorang Masehi. Belum lagi usianya melebihi enam belas tahun, kemahirannya dalam ilmu kedokteran sudah dikenal orang, bahkan banyak orang yang berdatangan untuk berguru kepadanya. Ia tidak cukup dengan teori - teori kedokteran, tetapi juga melakukan praktek dan mengobati orang - orang sakit.Ia tidak pernah bosan atau gelisah dalam membaca buku buku filsafat dan setiap kali menghadapi kesulitan, maka ia memohon kepada Tuhan untuk diberinya petunjuk, dan ternyata permohonannya itu tidak pernah dikecewakan. Sering sering ia tertidur karena kepayahan membaca, maka didalam tidurnya itu dilihatnya pemecahan terhadap kesulitan - kesulitan yang dihadapinya. Sewaktu berumur 17 tahun ia telah dikenal sebagai dokter dan atas panggilan Istana pernah mengobati pangeran Nuh Ibn Mansur sehingga pulih kembali kesehatannya. Sejak itu, Ibnu Sina mendapat sambutan baik sekali, dan dapat pula mengunjungi perpustakaan yang penuh dengan buku - buku yang sukar didapat, kemudian dibacanya dengan segala keasyikan. Karena sesuatu hal, perpustakaan tersebut terbakar, maka tuduhan orang ditimpakan kepadanya, bahwa ia sengaja membakarnya, agar orang lain tidak bisa lagi mengambil manfaat dari perpustakaan itu. Kemampuan Ibnu Sina dalam bidang filsafat dan kedokteran, kedua duanya sama beratnya. Dalam bidang kedokteran dia mempersembahkan Al-Qanun fitThibb-nya, dimana ilmu kedokteran modern mendapat pelajaran, sebab kitab ini selain lengkap, disusunnya secara sistematis. Dalam bidang materia medeica, Ibnu Sina telah banyak menemukan bahan nabati baru Zanthoxyllum budrunga - dimana tumbuh - tumbuhan banayak membantu terhadap bebebrapa penyakit tertentu seperti radang selaput otak (miningitis). Ibnu Sina pula sebagai orang pertama yang menemukan peredaran darah manusia, dimana enam ratus tahun kemudian disempurnakan oleh William Harvey. Dia pulalah yang pertama kali mengatakan bahwa bayi selama masih dalam kandungan mengambil makanannya lewat tali pusarnya. Dia jugalah yang mula - mula mempraktekkan pembedahan penyakit - penyakit bengkak yang ganas, dan menjahitnya. Dan last but not list dia juga terkenal sebagai dokter ahli jiwa dengan cara - cara modern yang kini disebut psikoterapi. Dibidang filsafat, Ibnu Sina dianggap sebagai imam para filosof di masanya, bahkan sebelum dan sesudahnya. Ibnu Sina otodidak dan genius orisinil yang bukan hanya dunia

Islam menyanjungnya ia memang merupakan satu bintang gemerlapan memancarkan cahaya sendiri, yang bukan pinjaman sehingga Roger Bacon, filosof kenamaan dari Eropa Barat pada Abad Pertengahan menyatakan dalam Regacy of Islam-nya Alfred Gullaume; Sebagian besar filsafat Aristoteles sedikitpun tak dapat memberi pengaruh di Barat, karena kitabnya tersembunyi entah dimana, dan sekiranya ada, sangat sukar sekali didapatnya dan sangat susah dipahami dan digemari orang karena peperangan - peperangan yang meraja lela di sebeleah Timur, sampai saatnya Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd dan juga pujangga Timur lain membuktikan kembali falsafah Aristoteles disertai dengan penerangan dan keterangan yang luas. Selain kepandaiannya sebagai flosof dan dokter, iapun penyair. Ilmu - ilmu pengetahuan seperti ilmu jiwa, kedokteran dan kimia ada yang ditulisnya dalam bentuk syair. Begitu pula didapati buku - buku yang dikarangnya untuk ilmu logika dengan syair. Kebanyakan buku - bukunya telah disalin kedalam bahasa Latin. Ketika orang - orang Eropa diabad tengah, mulai mempergunakan buku - buku itu sebagai textbook, dipelbagai universitas. Oleh karena itu nama Ibnu Sina dalam abad pertengahan di Eropah sangat berpengaruh. Dalam dunia Islam kitab - kitab Ibnu Sina terkenal, bukan saja karena kepadatan ilmunya, akan tetapi karena bahasanya yang baik dan caranya menulis sangat terang. Selain menulis dalam bahasa Arab, Ibnu Sina juga menulis dalam bahasa Persia. Buku - bukunya dalam bahasa Persia, telah diterbitkan di Teheran dalam tahun 1954. Karya - karya Ibnu Sina yang ternama dalam lapangan Filsafat adalah As-Shifa, An-Najat dan Al Isyarat. An-Najat adalah resum dari kitab As-Shifa. Al-Isyarat, dikarangkannya kemudian, untuk ilmu tasawuf. Selain dari pada itu, ia banyak menulis karangan - karangan pendek yang dinamakan Maqallah. Kebanyakan maqallah ini ditulis ketika ia memperoleh inspirasi dalam sesuatu bentuk baru dan segera dikarangnya. Sekalipun ia hidup dalam waktu penuh kegoncangan dan sering sibuk dengan soal negara, ia menulis sekitar dua ratus lima puluh karya. Diantaranya karya yang paling masyhur adalah Qanun yang merupakan ikhtisar pengobatan Islam dan diajarkan hingga kini di Timur. Buku ini dterjemahkan ke baasa Latin dan diajarkan berabad lamanya di Universita Barat. Karya keduanya adalah ensiklopedinya yang monumental Kitab As-Syifa. Karya ini merupakan titik puncak filsafat paripatetik dalam Islam. Karangan - karangan Ibnu Sina diantaranya adalah :

1. As- Syifa ( The Book of Recovery or The Book of Remedy, buku tentang Penemuan, atau buku tentang Penyembuhan). Buku ini dikenal didalam bahasa Latin dengan nama Sanatio, atau Sufficienta. Seluruh buku ini terdiri atas 18 jilid, naskah selengkapnya sekarang ini tersimpan di Oxford University London. Mulai ditulis pada usia 22 tahun (1022 M) dan berakhir pada tahun wafatnya (1037 M). Isinya terbagi atas 4 bagian, yaitu : a. Logika (termasuk didalamnya terorika dan syair) meliputi dasar karangan Aristoteles tentang logika dengan dimasukkan segala materi dari penulis - penulis Yunani kemudiannya. b. Fisika (termasuk psichologi, pertanian, dan hewan). Bagian - bagian Fisika meliputi kosmologi, meteorologi, udara, waktu, kekosongan dan gambaran). c. Matematika. Bagian matematika mengandung pandangan yang berpusat dari elemen - elemen Euclid, garis besar dari Almagest-nya Ptolemy, dan ikhtisar ikhtisar tentang aritmetika dan ilmu musik. d. Metafisika. Bagian falsafah, poko pikiran Ibnu sina menggabungkan pendapat Aristoteles dengan elemen - elemennya Neo Platonic dan menyusun dasar percobaan untuk menyesuaikan ide-ide Yunani dengan kepercayaan -

kepercayaan. Dalam zaman pertengahan Eropa, buku ini menjadi standar pelajaran filsafat di pelbagai sekolah tinggi. 2. Nafat, buku ini adalah ringkasan dari buku As-Syifa. 3. Qanun, buku ini adalah buku lmu kedokteran, dijadikan buku pokok pada Universitas Montpellier (Perancis) dan Universitas Lourain (Belgia). 4. Sadidiyya. Buku ilmu kedokteran. 5. Al-Musiqa. Buku tentang musik. 6. Al-Mantiq, diuntukkan buat Abul Hasan Sahli. 7. Qamus el Arabi, terdiri atas lima jilid.Danesh Namesh. Buku filsafat. 8. Danesh Nameh. Buku filsafat. 9. Uyun-ul Hikmah. Buku filsafat terdiri atas 10 jilid. 10. Mujiz, kabir wa Shaghir. Sebuah buku yang menerangkan tentang dasar - dasar ilmu logika secara lengkap. 11. Hikmah el Masyriqiyyin. Falsafah Timur (Britanica Encyclopedia vol II, hal. 915 menyebutkan kemungkinan besar buku ini telah hilang). 12. Al-Inshaf. Buku tentang Keadilan Sejati.

13. Al-Hudud. Berisikan istilah - istilah dan pengertian - pengertian yang dipakai didalam ilmu filsafat. 14. Al-Isyarat wat Tanbiehat. Buku ini lebih banyak membicarakan dalil - dalil dan peringatan - peringatan yang mengenai prinsip Ketuhanan dan Keagamaan. 15. An-Najah, (buku tentang kebahagiaan Jiwa). Dari autobiografi dan karangan - kaangannya dapat diketahui data tentang sifat - sifat kepribadiannya, misalnya : 1. Mengagumi dirinya sendiri, kekagumannya akan dirinya ini diceritakan oleh temannya sendiri yakni Abu Ubaid al-Jurjani. Antara lain dari ucapan Ibnu Sina sendiri, ketika aku berumur 10 tahun aku telah hafal Al-Quran dan sebagian besar kesusateraan hinga aku dikagumi. 2. Mandiri dalam pemikiran, sifat ini punya hubungan erat sudah nampak pada Ibnu Sina sejak masa kecil. Terbukti dengan ucapannya Bapakku dipandang penganut madzhab Syiah Ismailiah. Demikian juga saudaraku. Aku dengar mereka menyebtnya tentang jiwa dan akal, mereka mendiskusikan tentang jiwa dan akal menurut pandangan mereka. Aku mendengarkan, memahami diskusi ini, tetapi jiwaku tak dapat menerima pandangan mereka. 3. Menghayati agama, tetapi belum ke tingkat zuhud dan wara. Kata Ibnu Sina, setiap argumentasi kuperhatikan muqaddimah qiyasiyahnya setepat - tepatnya, juga kuperhatikan kemungkinan kesimpulannya. Kupelihara syarat syarat

muqaddimahnya, sampai aku yakin kebenaran masalah itu. Bilamana aku bingung tidak berhasil kepada kesimpulan pada analogi itu, akupun pergi sembahyang menghadap maha Pencipta, sampai dibukakan-Nya kesulitan dan dimudahkan-Nya kesukaran. 4. Rajin mencari ilmu, keterangan beliau saya tenggelam dalam studi ilmu dan membaca selama satu setengah tahun. Aku tekun studi bidang logika dan filsafat, saya tidak tidur satu malam suntuk selama itu. Sedang siang hari saya tidak sibuk dengan hal - hal lainnya. 5. Pendendam, dia meredam dendam itu dalam dirinya terhadap orang yang menyinggung perasaannya. Dia hormat bila dihormati. 6. Cepat melahirkan karangan, Ibnu Sina dengan cepat memusatkan pikirannya dan mendapatkan garis - garis besar dari isi pikirannya serta dia dengan mudah

melahirkannya kepada orang lain. Menuangkan isi pikiran dengan memilih kalimat/ kata-kata yang tepat, amat mudah bagi dia. Semua itu berkat pembiasaan, kesungguhan dan latihan dan kedisiplinan yang dilakukannya. Ibnu Sina dikenal di Barat dengan nama Avicena (Spanyol aven Sina) dan kemasyhurannya di dunia Barat sebagai dokter melampaui kemasyhuran sebagai Filosof, sehingga ia mereka beri gelar the Prince of the Physicians. Di dunia Islam ia dikenal dengan nama Al-Syaikh- al-Rais. Pemimpin utama (dari filosof - filosof). Meskipun ia di akui sebagai seorang tokoh dalam keimanan, ibadah dan keilmuan, tetapi baginya minum minuman keras itu boleh, selama tidak untuk memuaskan hawa nafsu. Minum minuman keras dilarang karena bias menimbulkan permusuhan dan pertikaian, sedangkan apabila ia minum tidak demikian malah menajamkan pikiran. Didalam al-Muniqdz min al-Dhalal, alGhazali bahwa Ibnu Sina pernah berjanji kepada Allah dalam salah satu wasiatnya, antara lain bahwa ia akan menghormati syariat tidak melalaikan ibadah ruhani maupun jasmani dan tidak akan minum minuman keras untuk memuaskan nafsu, melainkan demi kesehatan dan obat. Kehidupan Ibnu Sina penuh dengan aktivitas -aktivitas kerja keras. Waktunya dihabiskan untuk urusan negara dan menulis, sehingga ia mempunyai sakit maag yang tidak dapat terobati. Di usia 58 tahun (428 H / 1037 M) Ibnu Sina meninggal dan dikuburkan di Hamazan. III PEMIKIRAN FILSAFAT IBNU SINA A. Filsafat Jiwa Ibnu Sina memberikan perhatiannya yang khusus terhadap pembahasan kejiwaan, sebagaimana yang dapat kita lihat dari buku - buku yang khusus untuk soal - soal kejiwaan ataupun buku - buku yang berisi campuran berbagai persoalan filsafat. Memang tidak sukar untuk mencari unsur - unsur pikiran yang membentuk teorinya tentang kejiwaan, seperti pikiran - piiran Aristoteles, Galius atau Plotinus, terutama pikiran- pikiran Aristoteles yang banyak dijadikan sumber pikiran-pikirannya. Namun hal ini tidak berarti bahwa Ibnu Sina tidak mempunyai kepribadian sendiri atau pikiran - pikiran yang sebelumnya, baik dalam segi pembahasan fisika maupun segi pembahasan metafisika.

Dalam segi fisika, ia banyak

memakai metode eksperimen dan banyak

terpengaruh oleh pembahasan lapangan kedokteran. Dalam segi metafisika terdapat kedalaman dan pembaharuan yang menyebabkan dia mendekati pendapat - pendapat filosof modern. Pengaruh Ibnu Sina dalam soal kejiwaan tidak dapat diremehkan, baik pada dunia pikir Arab sejak abad ke sepuluh Masehi sampai akhir abad ke 19 M, terutama pada Gundisallinus, Albert the Great, Thomas Aquinas, Roger Bacon dan Dun Scot. Pemikiran terpenting yang dihasilkan Ibnu Sina ialah falsafatnya tentang jiwa. Sebagaimana Al-Farabi, ia juga menganut faham pancaran. Dari Tuhan memancar akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan langit pertama, demikian seterusnya sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi. Dari akal ke sepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada dibawah bulan. Akal pertama adalah malaekat tertinggi dan akal kesepuluh adalah Jibril. Pemikiran ini berbeda dengan pemikiran kaum sufi dan kaum mutazilah. Bagi kaum sufi kemurnian tauhid mengandung arti bahwa hanya Tuhan yang mempunyai wujud. Kalau ada yang lain yang mempunyai wujud hakiki disamping Tuhan, itu mngandung arti bahwa ada banyak wujud, dan dengan demikian merusak tauhid. Oleh karena itu mereka berpendapat : Tiada yang berwujud selain dari Allah swt. Semua yang lainnya pada hakikatnya tidak ada. Wujud yang lain itu adalah wujud bayangan. Kalau dibandingkan dengan pohon dan bayangannya, yang sebenarnya mempunyai wujud adalah pohonnya, sedang bayangannya hanyalah gambar yang seakan akan tidak ada. Pendapat inilah kemudian yang membawa kepada paham wahdat al-wujud (kesatuan wujud), dalam arti wujud bayangan bergantung pada wujud yang punya bayangan. Karena itu ia pada hakekatnya tidak ada; bayangan tidak ada. Wujud bayangan bersatu dengan wujud yang punya bayangan. Kalau kaum Mutazilah dalam usaha memurnikan tauhid pergi ke peniadaan sifat sifat Tuhan dan kaum sufi ke peniadaan wujud selain dari wujud Allah swt, maka kaum filosof Islam yang dipelopori al-Farabi, pergi ke faham emanasi atau alfaidh. Lebih dari mutazilah dan kaum sufi, al-Farabi berusaha meniadakan adanya arti banyak dalam diri Tuhan. Kalau Tuhan berhubungan langsung dengan alam yang tersusun dari banyak unsur ini, maka dalam pemikiran Tuhan terdapat pemikiran yang banyak. Pemikiran yang banyak membuat faham tauhid tidak murni lagi.

Menurut al-Farabi, Allah menciptakan alam ini melalui emanasi, dalam arti bahwa wujud Tuhan melimpahkan wujud alam semesta. Emanasi ini terjadi melalui tafakkur (berfikir) Tuhan tentang dzat-Nya yang merupakan prinsip dari peraturan dan kebaikan dalam alam. Dengan kata lain, berpikirnya Allah swt tentang dzat-Nya adalah sebab dari adanya alam ini. Dalam arti bahwa ialah yang memberi wujud kekal dari segala yang ada. Berfikirnya Allah tentang dzatnya sebagaimana kata Sayyed Zayid, adalah ilmu Tuhan tentang diri-Nya, dan ilmu itu adalah daya (al-Qudrah) yang menciptakan segalanya, agar sesuatu tercipta, cukup Tuhan mengetahuiNya. Ibnu Sina berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat : sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya atau necessary by virtual of the necessary being and possible in essence. Dengan demikian ia mempunyai tiga obyek pemikiran : Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya. Dari pemkiran tentang Tuhan timbul akal - akal dari pemikiran tentang

dirinya sebagai wajib wujudnya timbul jiwa - jiwa dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul di langit. Jiwa manusia sebagaimana jiwa - jiwa lain dan segala apa yang terdapat di bawah Bulan, memancar dari akal ke sepuluh. Segi - segi kejiwaan pada Ibnu Sina pada garis besarnya dapat dibagi menjadi dua segi yaitu : 1. Segi fisika yang membicarakan tentang macam - macamnya jiwa (jiwa tumbuhkan, jiwa hewan dan jiwa manusia). Pembahasan kebaikan - kebaikan, jiwa manusia, indera dan lain - lain dan pembahasan lain yang biasa termasuk dalam pengertian ilmu jiwa yang sebenarnya. 2. Segi metafisika, yang membicarakan tentang wujud dan hakikat jiwa, pertalian jiwa dengan badan dan keabadian jiwa. Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bahagian : a. Jiwa tumbuh - tumbuhan (Plants Soul ) dengan daya daya : 1) Makan (nutrition) 2) Tumbuh (growth)

3) Berkembang biak (reproduction) b. Jiwa binatang (Animals Soul) dengan daya - daya : 1) Gerak (locomotion) 2) Menangkap (perception) dengan dua bagian : i. Menagkap dari luar dengan panca indera ii. Menangkap dari dalam dengan indera - indera dalam. 3) Indera bersama yang menerima segala apa yang ditangkap oleh panca indera. 4) Representasi yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indera bersama. 5) Imaginasi yang dapat menyusun apa yang disimpan dalam representasi. 6) Estimasi yang dapat menangkap hal - hal abstraks yang terlepas dari materi umpamanya keharusan lari bagi kambing dari anjing serigala. 7) Rekoleksi yang menyimpan hal - hal abstrak yang diterima oleh estimasi. c. Jiwa manusia (Humans Soul) dengan daya - daya : Praktis yang hubungannya dengan badanTeoritis yang hubungannya adalah dengan hal - hal abstrak. Daya ini mempunyai tingkatan : 1) Akal materiil yang semata - mata mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih walaupun sedikit pun. 2) Intelectual in habits, yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal hal abstrak. 3) Akal actuil, yang telah dapat berfikir tentang hal - hal abstrak. 4) Akal mustafad yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal - hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya. Sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam jiwa tumbuh tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya, maka orang itu dapat menyerupai binatang, tetapi jika jiwa manuisa yang mempunyai pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat menyerupai malaekat dan dekat dengan kesempurnaan. Menurut Ibnu Sina jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir didunia ini. Sungguh pun jiwa manusia tidak mempunyai fungsi - fungsi fisik, dan dengan demikian tak berhajat

pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berfikir, jiwa masih berhajat pada badan karena pada permulaan wujudnya badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat berfikir. Sedangkan menurut al-Ghazali di dalam buku buku filsafatnya dia menyatakan bahwa manusia mempunyai identitas esensial yang tetap tidak berubah ubah yaitu al-Nafs atau jiwanya. Adapun yang dimaksud tentang alNafs adalah substansi yang berdiri sendiri yang tidak bertempat. Serta merupakan tempat bersemayam pengetahuan pengetahuan intelektual (al-maqulat) yang berasal dari alam al-malakut atau al-amr. Hal ini menunjukkan bahwa esensi manusia bukan fisiknya dan bukan fungsi fisiknya. Sebab fisik adalah sesuatu yang mempunyai tempat, sedangkan fungsi fisik adalah sesuatu yang tidak berdiri sendiri, karena keberadaannya tergantung kepada fisik. Sementara dalam penjelasannya yang lain, al-Ghazali menegaskan bahwa manusia terdiri atas dua substansi pokok, yakni substansi yang berdimensi dan substansi yang tidak berdimensi, namun mempunyai kemampuan merasa dan bergerak dengan kemauan. Substansi yang pertama dinamakan badan (al-jism) dan substansi yang kedua disebut jiwa (al-nafs). Jiwa (al-Nafs) memiliki daya daya sebagai derivatnya dan atas dasar tingkatan daya daya tersebut, pada diri manusia terdapat tiga jiwa (al-nufus altsalatsah) . 1. Jiwa tumbuhan (al-nafs al-nabatiyah) merupakan tingkatan jiwa yang paling rendah dan memiliki tiga daya, yaitu : daya nutrisi (al-ghadiya), daya tumbuh (almunmiyah) dan daya reproduksi (al-muwallidah), dengan daya ini manusia dapat berpotensi makan, tumbuh dan berkembang biak sebagaimana tumbuh tumbuhan. 2. Jiwa hewani/sensitive (al-nafs al-hayawaniyah) yang memiliki dua daya 1) daya penggerak (al-mukharikah) dan 2) daya persepsi (al-mudrikah). Pada penggerakn (al-mukharikah) terdapat dua daya lagi yaitu 10 daya pendorong (al-baitsah) dan 2) daya berbuat (al-failah). Hubungan antara daya pertama dengan daya kedua sebagaimana hubungan daya potensi dan aktus, tetapi keduanya bersifat potensial sebelum mencapai aktualisasinya. Yang pertama merupakan kemauan dan yang kedua merupakan kemampuan. Karena itu al-Ghazali menyebut yang pertama iradah dan yang kedua qudrah.

3.

Jiwa rasional (al-nafs al-natiqah). Mempunyai dua daya) daya praktis (alamilah) dan 20 daya teoritis (al-alimah). Yang pertama berfungsi menggerakkan tubuh melalui daya daya jiwa sensitive / hewani. Sesuai dengan tuntutan pengetahuan yang dicapai oleh akal teorities. Yang dimaksud akal teoritis adalah al-alimah, sebab jiwa rasional disebut juga al aql. Al-alimah disebut juga akal praktis. Akal praktis merupakan saluran yang menyampaikan gagasan akal teoritis kepada daya penggerak. Al-Ghazali didalam Tahafut al-Falasifah menyangkal 20 buah kesalahan para

filosof muslim beserta pendahulu pendahulu mereka yang berpaham teistik di Yunani. Para filosof yang disangkal oleh al-Ghazali ini terbagi kedalam tiga kelompok: 1. Filosof filosof materialistik (dahriyyun), mereka adalah ateis ateis yang menyangkal adanya Allah dan merumuskan kekekalan alam dan terciptanya alam dengan sendirinya. 2. Filosof filosof naturalis atau desitik (thabiiyyun), mereka melaksanakan berbagai riset di dalam alam semesta dan segala sesuatu yang menakjubkan di dalam dunia binatang dan tumbuh tumbuhan. Melalui riset-riset itu mereka cukup banyak menyaksikan keajaiban keajaiban di dalam ciptaan Allah dan mereka menemukan kebijaksanaan-Nya sehingga akhirnya mereka mau tak mau mengakui adanya satu pencipta yang Maha Bijaksana. Walaupun demikian mereka tetap menyangkal adanya hari pengadilan, kebangkitan kembali dan kehidupan akhirat. Mereka tidak mengenal pahala dan dosa, karenanya mereka memuaskan nafsu nafsu mereka seperti binatang. 3. Filosof filosof teis (ilahiyyun), mereka adalah filosoh filosof Yunani seperti Socrates, Plato dan Aristoteles. Aristoteles telah mengkritik filosof fiosof teis sebelumnya, termasuk Socrates dan Plato. Walaupun begitu, menurut al-Ghazali, Aristoteles masih mempertahankan sisa sisa kekafiran dan kebidahan mereka yang tak berhasil dilepaskannya. Filsafat Aristoteles seperti yang disebarluaskan oleh penerjemah penerjemah dan komentator komentator karyanya (pengikutnya) khususnya al-Farabi dan Ibnu Sina terbagi ke dalam 3 kelompok, yaitu : 1) Filsafat filsafatnya yang harus dipandang kufur. 2) Filsafat filsafatnya yang menurut Islam adalah bidah. 3) Filsafat

filsafatnya yang sama sekali tak perlu disangkal. Tiga masalah yang menyebabkan kufur tersebut adalah : a. Bahwa Allah hanya mengetahui hal hal yang besar besar dan tidakmengetahui hal hal yang kecil - kecil. b. c. Bahwa alam ini azali atau kekal, tanpa permulaan. Bahwa di akhirat kelak yang dihimpun adalah ruh manusia bukan jasadnya.

Ada empat dalil yang dikemukakan oleh Ibnu Sina untuk membuktikan adanya jiwa yaitu : 1) Dalil alam - kejiwaan (natural psikologi). Pada diri kita ada peristiwa yang tidak mungkin di tafsirkan kecuali sesudah mengakui adanya jiwa. Peristiwa peristiwa tersebut adalah gerak dan pengenalan (idrak, pengetahuan). Gerak ada dua macam yaitu : i. Gerak paksaan (harakah qahriah) yang timbul sebagai akibat dorongan dari luar dan yang menimpa sesuatu benda kemudian menggerakkannya. ii. Gerak bukan paksaan, dan gerak ini terbagi menjadi dua yaitu : Gerak sesuai dengan ketentuan hukum alam, seperti jatuhnya batu dari atas ke bawah. Gerak yang terjadi dengan melawan hukum alam, seperti manusia yang berjalan di bumi, sdang berat badannya seharusnya menyebabkan ia diam, atau seperti burung yang terbang menjulang di udara, yang seharusnya jatuh (tetap) di sarangnya di atas bumi. Gerak yang berlawanan dengan ketentuan alam tersebut menghendaki adanya penggerak khusus yang melebihi unsur unsur benda yang bergerak. Penggerak tersebut ialah jiwa. Pengenalan (pengetahuan) tidak dimiliki oleh semua mahluk, tetapi hanya di miliki oleh sebagiannya. Yang memiliki pengenalan ini menunjukkan adanya kekuatan kekuatan lain yang tidak terdapat pada lainnya. Begitulah isi dalil natural-psikologi dari Ibnu Sina yang didasarkan atas buku De Anima (Jiwa) dan Physics, kedua duanya dari Aristoteles. Namun dalil Ibnu Sina tersebut banyak berisi kelemahan kelemahan antara lain bahwa natural (physic) pada dalil

tersebut dihalalkan. Dalil tersebut baru mempunyai nilai kalau sekurangnya benda benda tersebut hanya terdiri dari unsur unsur yang satu maca, sedang benda benda tersebut sebenarnya berbeda susunannya (unsur unsurnya). Oleh karena itu maka tidak ada keberatannya untuk mengatakan bahwa benda benda yang bergerakmelawan ketentuan alam berjalan sesuai dengan tabiatnya yang khas dan berisi unsur unsur yang memungkinkan ia bergerak. Sekarang ini banyak alat alat (mesin ) yang bergerak dengan gerak yyang berlawanan dengan hukum alam, namun seorang pun tidak mengira bahwa alat alat (mesin mesin) terseut berisi jiwa atau kekuatan lain yang tidak terlihat dan yang menggerakkannya. Ulama ulama biologi sendiri sekarang menafsirkan fenomena kehidupan dengan tafsiran mekanis dan dinamis, tanpa mengikut sertakan kekuatan psikologi (kejiwaan). Nampaknya Ibnu Sina sendiri menyadari kelemahan dalil tersebut. Oleh karena itu dalam kitab kitab yang dikarang pada masa kematangan ilmunya, seperti alsyifa dan al-Isyarat, dalil tersebut disebutkan sambil lalu saja, dan ia lebih mengutamakan dalil-dalil yang didasarkan atas segi segi pikiran dan jiwa, yang merupakan gen italianya Ibnu sina. 2) Dalil Aku dan Kesatuan Gejala Kejiwaan. Menurut Ibnu Sina apabila seorang sedang membicarakan tentang dirinya atau mengajak bicara kepada orang lain, maka yang dimaksudkan ialah jiwanya, bukan badannya. Jadi ketika kita mengatakan saya keluar atau saya tidur, maka bukan gerak kaki, atau pemejaman mata yang dimaksudkan, tetapi hakikat kita dan seluruh pribadi kita. 3) Dalil Kelangsungan (kontinuitas). Dalil ini mengatakan bahwa masa kita yang sekarang berisi juga masa lampau dan masa depan. Kehidupan rohani kita pada pagi ini ada hubungannya dengan kehidupan kita yang kemarin, dan hubungan ini tidak terputus oleh tidur kita, bahkan juga ada hubngannya dengan kehidupan kita yang terjadi beberapa tahun yang telah lewat. Kalau kita ini bergerak dalam mengalami perubahan, maka gerakan gerakan dan perubahan tersebut bertalian satu sama lain dan berangkai rangkai pula. Pertalian dan perangkaian ini bisa terjadi karena peristiwa peristiwa jiwa merupakan limphan dari sumber yang satu dan beredar sekitar titik tarik yang tetap. Ibnu Sina dengan dalil kelangsungan tersebut telah membuka ciri kehidupan pikiran yang paling khas dan mencerminkan penyelidikan dan pembahasannya yang mendalam, bahkan telah mendahului masanya beberapa

abad, karena pendapatnya tersebut dipegangi oleh ilmu jiwa modern dan telah mendekati tokoh tokoh pikir masa sekarang. 4) Dalil Orang Terbang atau Tergantung di Udara. Dalil ini adalah yang terindah dari Ibnu Sina dan yang paling jelas menunjukkan daya kreasinya. Meskipun dalil tersebut didasarkan atas perkiraan dan khayalan, namun tidak mengurangi kemampuannya untuk memberikan keyakinan. Dalil tersebut mengatakan sebagai berikut : Andaikan ada seseorang yang mempunyai kekuatan yang penuh, baik akal maupun jasmani, kemudian ia menutup matanya sehingga tak dapat melihat sama sekali apa yang ada di sekelilingnya kemudian ia diletakkan di udara atau dalam kekosongan, sehingga ia tidak merasakan sesuatu persentuhan atau bentrokan atau perlawanan, dan anggota anggota badannya diatur sedemikian rupa sehingga tidak sampai saling bersentuhan atau bertemu. Meskipun ini semua terjadi namun orang tersebut tidak akan ragu ragu bahwa dirinya itu ada, meskipun ia sukar dapat menetapkan wujud salah satu bagian badannya. Bahkan ia boleh jadi tidak mempunyai pikiran sama sekali tentang badan, sedang wujud yang digambarkannya adalah wujud yang tidak mempunyai tempat, atau panjang, lebar dan dalam (tiga dimensi). Kalau pada saat tersebut ia mengkhayalkan (memperkirakan) ada tangan dan kakinya. Dengan demikian maka penetapan tentang wujud dirinya, tidak timbul dari indera atau melalui badan seluruhnya, melainkan dari sumber lain yang berbeda sama sekali dengan badan yaitu jiwa. Dalil Ibnu Sina tersebut seperti halnya dengan dalil Descartes, didasarkan atas suatu hipotesa, bahwa pengenalan yang berbeda beda mengharuskan adanya perkara perkara yang berbeda beda pula. Seseorang dapat melepaskan dirinya dari segala sesuatu, kecuali dari jiwanya yang menjadi dasar kepribadian dan dzatnya sendiri. Kalau kebenaran sesuatu dalam alam ini kita ketahui dengan adanya perantara (tidak langsung), maka satu kebenaran saja yang kita ketahui dengan langsung, yaitu jiwa dan kita tidak bisa meragukan tentang wujudnya, meskipun sebentar saja, karena pekerjaan pekerjaan jiwa selamanya menyaksikan adanya jiwa tersebut. B. Filsafat Wujud. Bagi Ibnu Sina sifat wujudlah yang terpenting dan yang mempunyai kedudukan diatas segala sifat lain, walaupun essensi sendiri. Essensi, dalam faham

Ibnu Sina terdapat dalam akal, sedang wujud terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat tiap essensi yang dalam akal mempunyai kenyataan diluar akal. Tanpa wujud, essensi tidak besar artinya. Oleh sebab itu wujud lebih penting dari essensi. Tidak mengherankan kalau dikatakan bahwa Ibnu Sina telah terlebih dahulu menimbulkan falsafat wujudiah atau existentialisasi dari filosof - filosof lain. Kalau dikombinasikan, essensi dan wujud dapat mempunyai kombinasi berikut : 1. Essensi yang tak dapat mempunyai wujud, dan hal yang serupa ini disebut oleh Ibnu Sina mumtani, yaitu sesuatu yang mustahil berwujud. 2. Essensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud. Yang serupa ini disebut mumkin, yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula tidak berwujud. Contohnya adalah alam ini yang pada mulanya tidak ada kemudian ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada. 3. Essensi yang tak boleh tidak mesti mempunyai wujud. Disini essensi tidak bisa dipisahkan dari wujud. Essensi dan wujud adalah sama dan satu. Di sini essensi tidak dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud, sebagaimana halnya dengan essensi dalam kategori kedua, tetapi essensi mesti dan wajib mempunyai wujud selama - lamanya. Yang serupa ini disebut mesti berwujud yaitu Tuhan. Wajib al wujud inilah yang mewujudkan mumkin al wujud. Dalam pembagian wujud kepada wajib dan mumkin, tampaknya Ibnu Sina terpengaruh oleh pembagian wujud para mutakallimun kepada : baharu (al-hadits) dan Qadim (al-Qadim). Karena dalil mereka tentang wujud Allah didasarkan pada pembedaan - pembedaan baharu dan qadim sehingga mengharuskan orang berkata, setiap orang yang ada selain Allah adalah baharu, yakni didahului oleh zaman dimana Allah tidak berbuat apa - apa. Pendirian ini mengakibatkan lumpuhnya kemurahan Allah pada zaman yang mendahului alam mahluk ini, sehingga Allah tidak pemurah pada satu waktu dan Maha Pemurah pada waktu lain. Dengan kata lain perbuatan-Nya tidak Qadim dan tidak mesti wajib. Untuk menghindari keadaan Tuhan yang demikian itu, Ibnu Sina menyatakan sejak mula bahwa sebab kebutuhan kepada al-wajib (Tuhan) adalah mungkin, bukan baharu. Pernyataan ini akan membawa kepada aktifnya iradah Allah sejak Qadim, sebelum Zaman. Dari pendapat tersebut terdapat perbedaan antara pemikiran para mutakallimin dengan pemikiran Ibnu Sina. Dimana para mutakallimin anatar qadim dan baharu lebih sesuai dengan ajaran agama tentang Tuhan yang menjadikan alam menurut

kehendak-Nya, sedangkan dalil Ibnu Sina dalam dirinya terkandung pemikiran Yunani bahwa Tuhan yang tunduk dibawah kemestian, sehingga perbuatan-Nya telah ada sekaligus sejak qadim. Perbuatan Ilahi dalam pemikiran Ibnu Sina dapat disimpulkan dalam 4 catatan sebagai berikut : 1. Perbuatan yang tidak kontinu (ghairi mutajaddid) yaitu perbuatan yang telah selesai sebelum zaman dan tidak ada lagi yang baharu. Dalam kitab An-Najah (hal. 372) Ibnu Sina berkata : yang wajib wujud (Tuhan) itu adalah wajib (mesti) dari segala segi, sehingga tidak terlambat wujud lain (wujud muntazhar) - dari wuwud-Nya, malah semua yang mungkin menjadi wajib dengan-Nya. Tidak ada bagi-Nya kehendak yang baru, tidak ada tabiat yang baru, tidak ada ilmu yang baru dan tidak ada suatu sifat dzat-Nya yang baru. Demikianlah perbuatan Allah telah selesai dan sempurna sejak qadim, tidak ada sesuatu yang baru dalam pemikiran Ibnu Sina, seolah - olah alam ini tidak perlu lagi kepada Allah sesudah diciptakan. 2. Perbuatan Ilahi itu tidak ada tujuan apapun. Seakan - akan telah hilang dari perbuatan sifat akal yang dipandang oleh Ibnu Sina sebagai hakekat Tuhan, dan hanya sebagai perbuatan mekanis karena tidak ada tujuan sama sekali. 3. Manakala perbuatan Allah telah selesai dan tidak mengandung sesuatu maksud, keluar dari-Nya berdasarkan hukum kemestian, seperti pekerjaan mekanis, bukan dari sesuatu pilihan dan kehendak bebas. Yang dimaksudkan dalam catatan ketiga ini yaitu Ibnu Sina menisbatkan sifat yang paling rendah kepada Allah karena sejak semula ia menggambarkan kemestian pada Allah dari segala sudut. Akibatnya upaya menetapkan iradah Allah sesudah itu menjadi sia - sia, akrena iradah itu tidak lagi bebas sedikitpun dan perbuatan yang keluar dari kehendak itu adalah kemestian dalam arti yang sebenarnya. Jadi tidak ada kebebasan dan kehendak selagi kemestian telah melilit Tuhan sampai pada perbuatan-Nya, lebih lebih lagi pada dzat-Nya. 4. Perbuatan itu hanyalah memberi wujud dalam bentuk tertentu. Untuk memberi wujud ini Ibnu Sina menyebutnya dengan beberapa nama, seperti : shudur (keluar), faidh (melimpah), luzum (mesti), wujub anhu (wajib darinya). Nama nama ini dipakai oleh Ibnu Sina untuk membebaskan diri dari pikiran Penciptaan Agamawi, karena ia berada di persimpangan jalan anatara mempergunakan konsep Tuhan sebagai sebab pembuat (Illah failah) seperti ajaran agama

dengan konsep Tuhan sebagai sebab tujuan (Illah ghaiyyah) yang berperan sebagai pemberi kepada materi sehingga bergerak ke arahnya secara gradual untuk memperoleh kesempurnaan. Dalam empat catatan tersebut para penulis sejarah dan pengkritik Ibnu Sina selalu memahami bahwa Ibnu Sina menggunakan konsep pertama yaitu konsep Tuhan sebagai sebab pembuat. Tidak terpikir oleh mereka kemunginan Ibnu Sina menggunakan konsep kedua, yang menyatakan bahwa Tuhan tidak mencipta, tapi hanya sebagai tujuan semata. Semua mahluk merindui Tuhan dan bergerak ke arahNya seperti yang terdapat dalam konsepsi Aristoteles tentang keindahan seni dalan hubungan alam dengan Tuhan.

C. Falsafat Wahyu dan Nabi Pentingnya gejala kenabian dan wahyu ilahi merupakan sesuatu yang oleh Ibnu Sina telah diusahakan untuk dibangun dalam empat tingkatan : intelektual, imajinatif, keajaiban, dan sosio politis. Totalitas keempat tingkatan ini memberi kita petunjuk yang jelas tentang motivasi, watak dan arah pemikiran keagamaan. Akal manusia terdiri empat macam yaitu akal materil, akal intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad. Dari keempat akal tersebut tingkatan akal yang terendah adalah akal materiil. Ada kalanya Tuhan menganugerahkan kepada manusia akal materiil yang besar lagi kuat, yang Ibnu Sina diberi nama al hads yaitu intuisi. Daya yang ada pada akal materiil semua ini begitu besarnya, sehingga tanpa melalui latihan dengan mudah dapat berhubungan dengan akal aktif dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal serupa ini mempunyai daya suci. Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia dan terdapat hanya pada nabi - nabi. Jadi wahyu dalam pengertian teknis inilah yang mendorong manusia untuk beramal dan menjadi orang baik, tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual dan ilham belaka. Maka tak ada agama yang hanya berdasarkan akal murni. Namun demikian, wahyu teknis ini, dalam rangka mencapai kualitas potensi yang diperlukan, juga tak pelak lagi menderita karena dalam kenyataannya wahyu tersebut tidak memberikan kebenaran yang sebenarnya, tetapi kebenaran dalam selubung simbol simbol. Namun sejauh mana wahyu itu mendorong ?. Kecuali kalau nabi dapat menyatakan wawasan moralnya ke dalam tujuan tujuan dan prinsip prinsip moral yang memadai, dan sebenarnya ke dalam suatu struktur sosial politik, baik wawasan maupun kekuatan wahyu imajinatifnya tak akan banyak berfaedah. Maka dari itu,

nabi perlu menjadi seorang pembuat hukum dan seorang negarawan tertinggi memang hanya nabilah pembuat hukum dan negarawan yang sebenarnya.

III. PENUTUP Ibnu Sina memiliki pemikiran keagamaan yang mendalam. Pemahamannya mempengaruhi pandangan filsafatnya. Ketajaman pemikirannya dan kedalaman keyakinan keagamaannya secara simultan mewarnai alam pikirannya. Ibnu Rusyd menyebutnya sebagai seorang yang agamis dalam berfilsafat, sementara al-Ghazali menjulukinya sebagai Filsuf yang terlalu banyak berfikir. Menurut Ibnu Sina bahwa alam ini diciptakan dengan jalan emanasi (memancar dari Tuhan). Tuhan adalah wujud pertama yang immateri dan dariNyalah memancar segala yang ada. Tuhan adalah wajibul wujud (jika tidak ada menimbulkan mustahil), beda dengan mumkinul wujud (jika tidak ada atau ada menimbulkan tidak mujstahil). Pemikiran Ibnu Sina tentang kenabian menjelaskan bahwa nabilah manusia yang paling unggul, lebih unggul dari filosof karena nabi memiliki akal aktual yang sempurna tanpa latihan atau studi keras, sedangkan filosof mendapatkannya dengan usaha dan susah payah.

DAFTA PUSTAKA

Al-Ahwan, Ahmad Fuad, Filsafat Islam, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1984 Al-Ghazali Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad, al-Munqidz min al-Dlalah wa al-Muwassil ila dzi al-Izzah wa al-Jalal, Lebanon, Beirut, 1967 ____________, Madarij al-Salikin, Kairo, tsaqofah Islamiyah, 1964 ____________, Marij al-Quds fi Madaarij Marofah al-Nafs, Kairo, Maktabah al-Jund, 1968 ____________, Tahafut al-Falasifah, Kairo, Mesir, Maktabaah al-Qahirah, 1903 Busyairi Madjidi, Konsep Kependidikan Para filosof Muslim, Yogyakarta, Al-Amin Press, 1997 Daudy Ahmad, Dr. MA., Kuliah Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1986 _____________, Segi - Segi Falsafi dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1984 Hanafi, Ahmad, MA, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1986 Imam Munawir, Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam dari masa ke masa, Surabaya, PT. Bina Ilmu, 1985 Nasution, harun, Prof., Dr., Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya, Jakarta, Penerbit Universitas Indonesia, 1996 _____________, Falsafat dan Msitisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1992 Oemar Amin Husein, Dr., Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1975 Poerwantana, dkk., Seluk Beluk Filsafat Islam, Bandung, PT remaja Rosdakarya, 1991 Syarif, MM., MA., Para Filosof Muslim, Bandung, Mizan, 1994 Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, Semarang, Dina Utama Semarang, 1993 Zaenal Abidin Ahmad, Ibnu Sina (Avecenna) sarjana dan Filosof Dunia, Jakarta, Bulan Bintang, 1949

Home ibnu sina , philosophy Filsafat Ibnu Sina Filsafat Ibnu Sina Pada awal keberadaan agama islam, telah banyak muncul ilmuwan diberbagai bidang, mulai kedokteran, matematika hingga ilmu perbintangan. Salah satu ilmuwan islam yang mempunyai peran yang besar dalam kehidupan modern saat ini salah satu yang memiliki nama lengkap adalah Abu Ali al-Husayn bin Abdullah bin Sina (980-1037 M). Lebih dikenal dengan nama Ibnu Sina (Avicenna).

Ibnu Sina yang mempunyai latar belakang dari keluarga bermadzhab Ismailiyah memang sudah akrab dengan pembahasan yang berkenaan dengan hal yang ilmiah dimana hal itu disampaikan secara langsung oleh ayahnya. Ibnu Sina memang terkenal kecerdasannya sejak di masih kecil, sehingga banyak para guru yang mengajarnya mengetahui kelebihan dari muridnya satu ini.

Dalam perjalanan hidupnya, ibnu sina tidak hanya sebagai bapak kedokteran modern, Ibnu Sina juga merupakan filosof terbesar Islam yang berhasil membangun sistem filsafat secara sistematis. Filsafat Ibnu Sina membahas hal-hal yang berkaitan dengan metafisika. Ibnu sina berhasil menjadi ilmuwan yang mempunyai berbagai kelebihan pada berbagai bidang disiplin ilmu pengetahuan.

Filsafat

Metafisika

Ibnu Sina adalah filosof yang merumuskan kembali pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual Hellenisme (Yunani). Lalu, ia padukan dengan keyakinan agama yang dianut (Islam). Ibnu Sina tertarik mengupas salah satu cabang dari ilmu filsafat, yaitu metafisika.

Metafisika dari akar katanya berarti "di balik yang ada". Atau membahas segala yang tak tampak wujudnya oleh indera manusia. Dengan kata lain, metafisika merupakan filsafat yang membahas segala hal-hal "ghaib" atau di luar jangkauan indera manusia. Pertama kali diperkenalkan oleh Aristoteles (filosof klasik Yunani) dalam bukunya yang juga berjudul Metafisika. Dengan dasar itulah ibnu sina mengembangkan keilmuan metafisikan untuk membandingkan dengan agama yang dianutnya yaitu agama islam.

Hanya saja, jangan samakan pengertian metafisika dengan hal-hal klenik atau perdukunan. Metafisika-nya Ibnu Sina merupakan upaya dalam menelusuri kebenaran hingga batas kemampuan logika manusia. Dalam pengembangannya ialah untuk mengetahui kebenaran dalam agama islam yang masih bisa ditelusuri dalam ranah akal manusia.

Ibnu Sina lebih menekankan rasionalitas (logika) daripada keyakinan buta (fanatik). Di sinilah ia banyak mendapat kritik dan sikap antipati dari kalangan muslim ortodoks. Bahkan, Ibnu Sina dituduh ateis. Jika ditelusuri lebih mendalam, apa yang di inginkan oleh ibnu sina hanyalah untuk mengetahui kebenaran ajaran agamanya dalam ranah kejernihan akal manusia, dengan ini diharapkan misteri-misteri mengenai ajaran agama islam dapat terpecahkan ke dalam tingkat pemikiran logika akal manusia.

Karena itu, nama dan pengaruh Ibnu Sina lebih dikenal di Barat daripada di Timur. Terutama ketika buku-bukunya, seperti As- Syifa', Nafat, Qanun, Sadidiyya, Al-Musiqa, dan puluhan buku lainnya, diterjemahkan ke bahasa Latin. Di Barat, Ibnu Sina jadi salah satu peletak dasar perkembangan filsafat abad pertengahan. Maka tidaklah heran kepopuleran ibnu sina lebih mencorong dalam dunia ilmu pengetahuan di bangsa barat bahkan lebih dikenal dengan nama Avicenna-penyebutan bangsa barat terhadap salah satu ilmuwan islam ini. Filsafat Jiwa dan Filsafat Wujud

Bahasan tentang jiwa telah jadi fokus utama Ibnu Sina dalam filsafatnya. Memang, pemikirannya banyak dipengaruhi oleh filsafat Aristoteles, Galius atau Plotinus. Diartikan

jiwa sebagai bagian yang bukan merupakan jasmaniah (immaterial) dari seorang individu. Dalam penjelasan jiwa dapat dipercaya mencakup pikiran dan kepribadian seseorang. Selain itu jiwa mempunyai persamaan arti atau sinonim dengan roh, akal, atau awak diri.

Tetapi, ia memadukan dan mengolah semuanya itu dengan corak khas filsafatnya sendiri. Yang dikenal dengan filsafat iluminasi (faham pancaran). Membahas dengan terperinci dan gamblang mengenai hakikat jiwa, pertalian jiwa dengan badan dan keabadian jiwa. Hubungan antara jiwa dengan raga pada setiap individu manusia berusaha dikupas secara mendalam oleh ilmuwan yang lahir pada tahun 370 Hijriyah dan pada akhirnya menjelaskan mengenai keabadian jiwa manusia yang akan dipertanggungjawabkan di zaman lain.

Dalam filsafat jiwa ini, Ibnu Sina juga membagi jiwa menjadi tiga jenis, yaitu sebagai berikut. 1. Jiwa tumbuh-tumbuhan. Jiwa yang hanya memilki daya (kekuatan) untuk makan, tumbuh, dan berkembang biak. 2. Jiwa binatang. Jiwa dengan daya gerak, menangkap (persepsi), indera, representasi (menyimpan apa yang diterima oleh indera), imaginasi (menyusun apa yang disimpan dalam representasi), estimasi (menangkap hal-hal abstrak), dan rekoleksi (menyimpan hal-hal abstrak yang diterima estimasi). 3. Jiwa manusia. Jiwa dengan daya kompleks. Selain memiliki daya-daya sebelumnya (jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang), jiwa manusia mengeksplorasi segala hal abstrak. Kemampuan ini oleh Ibnu Sina diterjemahkan sebagai akal. Selanjutnya Wujud adalah yang terpenting, dan mengalahkan esensi. Penjelasannya, esensi ada dalam akal, sedangkan wujud di luar akal. Wujud membuat esensi yang sebelumnya berada di dalam akal, jadi mempunyai kenyatan di luar akal. Penjabarannya wujud diartikan sebagai sesuatu yang nyata, bias dilihat oleh indera penglihatan makhluk hidup. Dengan begitu menunjukkan bahwa wujud mampu menampakkannya di hadapan makhluk hidup secara realitas.

Tanpa wujud, esensi tidak memiliki arti apa-apa. Karenanya, wujud menjadi lebih penting daripada akal. Demikian bunga rampai pemikiran Ibnu Sina mengenai keutamaan wujud. Dijelaskan lebih lanjut bahwa wujud mempunyai peran yang besar dalam kehidupan manusia

dimana

tanpa

keberadaannya

maka

tidak

mempunyai

makna

apa-apa.

Dalam perwujudannya, akal tidak memiliki peran yang berarti tanpa didukung oleh keberadaan suatu obyek atau lebih dikenal dengan wujud tersebut. Maka kedua hal tersebut harus berjalan beriringan agar pemaknaan suatu gejala atau obyek dapat berlangsung dengan baik. Dapat diambil garis besar bahwa wujud memiliki peran yang sangat signifikan dalam teori filsafat yang dikemukakan oleh Ibnu Sina ini.

Untuk itu, Ibnu Sina dikenal sebagai pelopor filsafat eksistensialisme. Jauh sebelum filsafat eksitensialisme didengungkan oleh Martin Heidegger dan Soren Kierkegaard, tokoh eksistensialis filsafat modern. Hal ini menunjukkan bahwa ibnu sina menjadi salah seorang ilmuwan yang mampu menjadi pionir bagi agama islam dengan kecerdasannya dalam bidang ini. Filsafat Wahyu dan Nabi

Selain jiwa dan wujud, filsafat Ibnu Sina juga mengupas tentang wahyu dan nabi. Dari empat jenis akal yang ia kemukakan, yaitu akal materil, akal intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad, mengarahkan manusia untuk merengkuh akal aktif. Berbagai elemen akal yang dijelaskan oleh ibnu sina menunjukkan bahwa beliau ingin mendefinisikan tingkatan akal ke dalam ranah yang berbeda-beda dimana bisa dilihat dari cara penggunaan akal tersebut.

Pada dasarnya dengan pengklasifikasian beberapa jenis akal tersebut akan bermuara pada satu tujuan yaitu akal aktif. Jenis akal (akal aktif) yang menurut Ibnu Sina memiliki karakteristik untuk mudah menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal serupa ini mempunyai daya suci, bentuk akal tertinggi dan hanya dimiliki oleh nabi-nabi. Dijabarkan lebih lanjut bahwa akal aktif mempunyai cirri-ciri tertentu dimana tidak setiap manusia mampu memiliki akal tersebut, seperti paparan sebelumnya yang menunjukkan bahwa akal ini hanya dimiliki oleh nabi-nabi saja.

Keberadaan akal seharusnya mampu dijalankan manusia dengan berbagai potensi yang ada serta tidak meneruskan kepada tingkat pemikiran yang tidak memiliki ujung atau batas untuk berfikir, bagaimanapun akal pasti mempunyai keterbatasan sehingga manusia tidak akan mampu berfikir segala hal hanya dengan akal saja.

Untuk itu, Ibnu Sina berkesimpulan bahwa tidak ada agama yang hanya berdasarkan akal semata (murni). Akal bersimbiosis dengan wahyu dan diterjemahkan oleh nabi. Lalu, kebenaran pun bisa terungkap dengan jelas. Begitulah Ibnu Sina mencoba menjelaskan hubungan wahyu dan nabi dalam perspektif filsafatnya.

Sahalhumamy writer | gamer | amateur gesigner | anime enjoyer


Beranda About Guestbook Link Exchange

jump to navigation Makalah: Filsafat Ibnu Sina* 7 Mei 2011 Posted by sahalhumamy in Kuliah. Tags: makalah Filsafat Ibnu Sina trackback 1. Pendahuluan Filsafat itu membingungkan. Namun dari filsafat itulah kita dapat mengetahui esensi suatu hal. Hingga kini, filsafat masih saja menjadi kajian wajib di berbagai ajang pendidikan. Dalam islam juga ada filsafat Islam, filsafat yang mengupas tentang keberadaan Islam itu sendiri. Dan salah satu pengembangnya adalah Ibnu Sina, seorang dokter, ulama, psikolog, seniman, bahkan politisi. Namun menariknya Ibnu Sina juga seorang filosof muslim yang berani melawan kekangan filsafat Yunani, bahkan buah pemikirannya ini pun juga dikonsumsi oleh para pelajar barat. Lalu seperti apakah filsafatnya Ibnu Sina itu? Berikut kami mencoba menyajikan makalah yang sedikit membahas mengenai filsafat Ibnu Sina. Selamat membaca.

1. Rumusan Masalah 2. Siapakah Ibnu Sina? 3. Bagaimana pemikiran filsafat Ibnu Sina? 4. Bagaimana filsafat ketuhanan Ibnu Sina? Keyword: Ontologia, Fisika, Metafisika. 1. Pembahasan 2. Biografi Ibnu Sina Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu Ali Husain Ibn Abdillah Ibn Sina. Ia lahir pada tahun 980 M di Asfshana, suatu tempat dekat Bukhara. Ayahnya berasal dari Kota Balakh kemudian pindah ke Bukhara pada masa Raja Nuh ibnu Manshur dan diangkat oleh raja sebagai penguasa di Kharmaitsan, satu wilayah dari kota Bukhara. Di kota ini ayahnya menikah Sattarah dan dikaruniai tiga orang anak; Ali, Husein (Ibnu Sina), dan Muhammad. Ia mempunyai ingatan dan kecerdasan yang luar biasa sehingga dalam usia 10 tahun telah mampu menghafal al-Quran, sebagian sastra Arab, dan ia juga hafal kitab metafisika karangan aristoteles, setelah membacanya 40 kali. Ia juga mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya, seorang Masehi. Dalam usianya yang belum melebihi enam belas tahun, kemahirannya dalam ilmu kedokteran sudah dikenal orang, bahkan banyak orang yang berdatangan untuk berguru kepadanya. Tidak hanya teori teori kedokteran yang ia pelajari, tetapi juga melakukan praktek dan mengobati orang orang sakit. ketika berumur 17 tahun ia pernah mengobati pangeran Nuh Ibn Mansur sehingga pulih kembali kesehatannya. Sejak itu, Ibnu Sina mendapat sambutan baik sekali dikalangan masyarakat.[1] Dibidang filsafat, Ibnu Sina dianggap sebagai imam para filosof di masanya, bahkan sebelum dan sesudahnya, dan dia pun dikenal sebagai penyair, sehingga Ilmu ilmu pengetahuan seperti ilmu jiwa, kedokteran dan kimia, ada yang ditulisnya dalam bentuk syair. Begitu pula didapati buku buku yang dikarangnya untuk ilmu logika dengan syair. Ibnu Sina juga dikenal produktif dalam berkarya. Karya karya Ibnu Sina yang ternama dalam lapangan Filsafat adalah As-Shifa, An-Najat dan Al-Isyarat wat-Tanbihat. An-Najat adalah resum dari kitab As-Shifa. Al-Isyarat wat-Tanbihat, dikarangkannya kemudian, untuk ilmu tasawuf. Selain dari itu, karyanya yang paling masyhur adalah Al-Qanun (di barat

terkenal dengan sebutan Canon of Medicine) yang merupakan ikhtisar pengobatan Islam dan diajarkan hingga kini. Selain itu, masih banyak lagi karangan-karangan lain di bidang filsafat, etika, logika, dan psikologi.[2] 1. Pemikiran Filsafat Ibnu Sina Ibnu Sina sangat mengutamakan logika, justru fikiran adalah satu jalan pengetahuan yang diberikan dengan satu aturan tertentu kepada suatu yang tidak diketahui.[3] Jalan fikirannya bertolak dari konsepsi makhluk dan mengembangkan dengan argumentasi ontologia. Menurut dia, ada tiga macam sesuatu yang ada. Pertama, pentingnya dalam diri sendiri, tidak perlu kepada sebab lain untuk kejadiannya selain dirinya sendiri (yakni Tuhan). Kedua, berkehendak kepada yang lain, yaitu makhluk yang butuh kepada yang menjadikannya. Ketiga, makhluk mungkin, yaitu bisa ada dan bisa tidak ada, dan dia sendiri tidak butuh kepada kejadiannya (benda-benda yang tak berakal seperti pohon-pohon, batu, dan sebagainya).[4] Secara garis besar Ibnu Sina membagi menjadi dua segi yaitu[5]: 1. Segi fisika, yang membicarakan tentang macam macam jiwa (jiwa tumbuhkan, jiwa hewan dan jiwa manusia). Jiwa tumbuh-tumbuhan dengan daya daya: Makan (nutrition), Tumbuh (growth), Berkembang biak (reproduction). Jiwa binatang dengan daya-daya: Gerak (locomotion), Menangkap (perception) dengan dua bagian: Menagkap dari luar dengan panca indera dan Menangkap dari dalam dengan indera indera dalam:

Indera bersama, yang menerima segala apa yang ditangkap oleh panca indera. Representasi, yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indera bersama. Imajinasi, yang dapat menyusun apa yang disimpan dalam representasi. Estimasi, yang dapat menangkap hal hal abstraks yang terlepas dari materi umpamanya keharusan lari bagi kambing dari anjing serigala. Rekoleksi yang menyimpan hal hal abstrak yang diterima oleh estimasi.[6]

Jiwa manusia dengan daya-daya:

Praktis, yang hubungannya dengan badan. Teoritis, yang hubungannya adalah dengan hal-hal abstrak. Daya ini mempunyai tingkatan:

1. Akal materil, yang semata mata mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih sedikitpun. 2. Intelectual in habits, yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal hal abstrak. 3. Akal actuil, yang telah dapat berfikir tentang hal hal abstrak. 4. Akal mustafad yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya.[7] 5. Segi metafisika, yang membicarakan tentang wujud dan hakikat jiwa, pertalian jiwa dengan badan dan keabadian jiwa. Bagi Ibnu Sina sifat wujudlah yang terpenting dan yang mempunyai kedudukan diatas segala sifat lain, walaupun essensi sendiri. Essensi, dalam faham Ibnu Sina terdapat dalam akal, sedang wujud terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat tiap essensi yang dalam akal mempunyai kenyataan diluar akal. Tanpa wujud, essensi tidak besar artinya. Oleh sebab itu wujud lebih penting dari essensi. Kalau dikombinasikan, essensi dan wujud dapat mempunyai kombinasi berikut : 1. Essensi yang tak dapat mempunyai wujud, dan hal yang serupa ini disebut oleh Ibnu Sina mumtani yaitu sesuatu yang mustahil berwujud. Sebagai contoh adanya kosmos lain disamping kosmos yang ada. 2. Essensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud. Yang serupa ini disebut mumkin yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula tidak berwujud. Contohnya adalah alam ini yang pada mulanya tidak ada kemudian ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada. 3. Essensi yang mesti mempunyai wujud. Disini essensi tidak bisa dipisahkan dari wujud. Essensi dan wujud adalah sama dan satu. Di sini essensi tidak dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud, tetapi essensi mesti dan wajib mempunyai wujud selama lamanya. Yang serupa ini disebut mesti berwujud yaitu Tuhan. Dan wajib al wujud inilah yang mewujudkan mumkin al wujud.[8]

1. Filsafat Ketuhanan Ibnu Sina Ibnu Sina merupakan murid al Farabi, jadi tidak mengherankan apabila banyak pemikiran yang memiliki kesamaan antara pemikiran Ibnu Sina dengan al Farabi. Dalam teori ketuhanan, keduanya membedakan wujud dari esensi dan menetapkan bahwa wujud sesuatu bukan merupakan bagian dari esensinya. Kita bisa membayangkannya tanpa bias mengetahui ia ada atau tidak. Sebab, wujud merupakan salah satu aksidensia bagi substansi bukan sebagai unsur pengadanya. Prinsip demikian berlaku bagi Yang Maha Esa SWT, yang wujudnya tidak berpisah dari substansinya. Berdasarkan jalan pikiran semacam ini, al Farabi dan Ibnu Sina menyimpulkan bahwa kita tidak membutuhkan pembuktian yang panjang untuk menetapkan eksistensi Allah. Kita cukup mengetahui zat-Nya sekaligus. Bukti ontologis ini lebih bersifat metafisis dibandingkan fisis.[9] Hamzah Yakub menambahkan bahwa Ibnu Sina menganggap Tuhan adalah sebab yang efficient dari alam. Dengan kata lain, Ibnu Sina memandang hubungan sebab akibat dan betapakah sebab itu, datang pula Tuhan sebagai sebab. Tuhan bertindak dalam alam yang bergerak terus-menerus dalam wujud yang ada, sebagai sebab dirinya sendiri atau dibutuhkan oleh yang lain.[10] 1. Kesimpulan

Ibnu Sina adalah ilmuan muslim yang mahir di banyak bidang seperti kedokteran, politik, kesenian, dan filsafat. Ia juga seorang yang produktif menelurkan karya. Salah satu karyanya adalah as-Syifa yang memuat tentang filsafat.

Jalan fikiran ibnu Sina bertolak dari konsepsi makhluk dan mengembangkan dengan argumentasi ontologia. Secara garis besar, ia membagi sesuatu yang ada atas dua sisi. Yaitu Fisika dan Metafisika.

Ibnu Sina menganggap Tuhan adalah sebab yang efficient dari alam. Tuhan bertindak dalam alam yang bergerak terus-menerus dalam wujud yang ada, sebagai sebab dirinya sendiri atau dibutuhkan oleh yang lain.

1. Penutup

Demikian makalah yang kami sajikan. Saran dan kritik diharapkan sebagai bahan evaluasi. Terima kasih.

A.

Pendahuluan

Dalam sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan, sosok Ibnu Sina dalam banyak hal unik, sedang diantara para filosof muslim ia tidak hanya unik, tapi juga memperoleh penghargaan yang semakin tinggi hingga masa modern. Ia adalah satu - satunya filosof besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim beberapa abad.

Pengaruh ini terwujud bukan hanya karena ia memiliki sistem, tetapi karena sistem yang ia miliki itu menampakkan keasliannya yang menunjukkan jenis jiwa yang jenius dalam menemukan metode - metode dan alasan - alasan yang diperlukan untuk merumuskan kembali pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual Hellenisme yang ia warisi dan lebih jauh lagi dalam sistem keagamaan Islam.

B.

Ibnu

Sina

1.

Biografi

dan

Pendidikannya

Ibnu Sina , nama asli beliau adalah Abu Ali Hosain ibnu bdullah ibnu Sina. Di Eropa (dunia Barat) ia lebih dikenal dengan sebutan Avicenna. Ia lahir di sebuah desa Afsyana, di daerah dekat Bukhara pada tahun 340 H. Bertepatan dengan tahun 980 M. Saat ia lahir kota kelahirannya sedang dalam keadaan kacau, karena saat itu kekuasaan Abbasiyah mulai mundur dan negeri-negeri yang mula-mula berada di bawah kekuasaannya kini mulai melepaskan diri untuk berdiri sendiri. Kota Baghdad sebagai pusat pemerintahannya dikuasai oleh golongan Banu Buwaih pada tahun 334 H, hingga tahun 447 H.[1]

Menurut sejarah hidup yang disusun oleh Ibnu Sina, bernama Jurjani, dari sejak kecil Ibnu Sina telah banyak mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan yang ada di zamannya. Ilmu-ilmu itu adalah Ilmu fisika, matematika, kedokteran, hukum dan lain-lain. Sewaktu Ibnu Sina masih

berusia 17 tahun, ia telah dikenal sebagai dokter dan atas panggilan Istana pernah mengobati Pangeran Nuh Ibnu Mansur sehingga pulih kembali kesehatannya. Setelah orang tua Ibnu Sina meninggal saat ia brusia 22 tahun, ia pindah ke Jurjan, suatu kota di dekat Laut Kaspia, dan di sanalah ia mulai menulis ensiklopedinya tentang ilmu kedokteran yang kemudian terkenal dengan nama al-Qanun fi al-Tibb (The Qanun). Kemudian ia pindah ke Ray, suatu kota di sebelah Teheran, dan bekerja untuk Ratu Sayyedah dan anknya Majd al-Dawlah. Kemudian Sultan Syams al-Dawlah yang berkuasa di Hamdan (di bahagian Barat dari Iran) mengangkat Ibnu Sina menjadi Menterinya. Kemudian ia pindah ke Isfahan dan meninggal di tahun 1037 M, pada usia 58.[2]

Dalam pendidikannya, Ibnu Sina sangat haus dengan pendidikan, hidupnya selalu diwarnai dengan belajar, diantara guru yang mendidiknya ialah Abu Abdallah Al-Natali dan Ismail sang Zahid. Karena kecerdasan otaknya yang luar biasa ia dapat menguasai semua ilmu yang diajarkan kepadanya dengan sempurna dari sang guru, bahkan melebihi pengetahuan sang guru.[3] Ibnu Sina juga secara tidak langsung berguru kepada al-Farabi, bahkan dalam otobiografinya disebutkan tentang utang budinya kepada guru kedua ini. Hal ini terjadi ketika ia kesulitan untuk memahami Metafisika Aristoteles, sekalipun telah ia baca sebanyak 40 kali dan hampir hafal diluar kepala. Akhirnya, ia tertolong berkat bantuan risalah kecil alFarabi.[4] Sirajuddin Zar menambahkan, anekdot ini juga dapat diartikan bahwa Ibnu Sina adalah seorang pewaris Filsafat Neoplatonisme Islam yang dikembangkan al-Farabi. Dengan istilah lain, Ibnu Sina adalah pelanjut dan pengembang filsafat Yunani yang sebelumnya telah dirintis al-Farabi dan dibukakan pintunya oleh al-Kindi.[5]

Kehebatan Ibnu sina dalam belajar bukan hanya karena ia memiliki sistem, tetapi sistem yang is miliki menampakkan sebuah keaslian, menunjukkan jenis jiwa yang genius dalam menemukan metode-metode dan alasan-alasan yang diperlukan untuk merumuskan kembali pemikiran rasionalis murni dan tradisi Intelektual Hellenisme yang ia warisi dan lebih jauh lagi dalam sistem keagamaan Islam. Dapatlah dikemukan bahwa; keaslian yang menyebabkan dirinya disebut unik tidak hanya terjadi di dalam Islam, tetapi juga terjadi di Abad pertengahan, karena itu terjadi pula perumusan kembali teologi Katolik Roma yang dilakukan oleh Albert Yang Agung, terutama oleh Thomas Aquinas yang secara mendasar terpengaruh oleh Ibnu Sina.[6]

2.

Karya-Karya

Ibnu

Sina

Ibnu Sina tidak hanya seorang yang mempunyai andil dalam kenegaraan tetapi ia juga seorang agamawan. Di dalam kehidupannya selama ia menuntut ilmu, ia juga menyibukkan dirinya untuk menulis beberapa buku. Jumlah karya tulis Ibnu Sina diperkirakan antara 100 sampai 250 buah judul.[7]

Adapun

hasil

karya

Ibnu

Sina

yang

terkenal

antara

lain:

a.

As-Syifa, buku ini adalah buku filsafat yang terpenting dan terbesar, terdiri dari 4

bagian, yaitu logika, fisika, matematika, dan metafisika (ketuhanan). Buku tersebut mempunyai beberapa naskah yang tersebar diberbagai perpustakaan Barat dan Timur. Bagian Ketuhanan dan fisika pernah di cetak dengan cetakan batu di Teheran. Pada tahun 1956, Lembaga Keilmuan Cekoslowakia (LKC) di Praha menerbitkan pasal keenam dari buku ini perihal ilmu jiwa, denga terjemahannya ke dalam bahasa Prancis, di bawah asuhan Jean Pacuch. Bagian logika diterbitkan di Kairo pada tahun 1945, dengan nama Al Burhan, di bawah asuhan Dr. Abdurrahman Badawi.

b.

An-Najat, buku ini merupakan ringkasan buku yang paling populer, yakni As-Syifa, dan

pernah diterbitkan bersama-sama dengan buku Al-Qanun dalam ilmu ketdokteran pada tahun 1593 M, di Roma dan pada tahun 1331 M, di Mesir.

c.

Al-Syarat Wat-Tanbihat, buku ini adalah buku terakhir dan yang paling baik, bahkan

buku ini pernah diterbitkan di Leiden pada tahun 1892 M. Sedangkan sebagiannya diterjemahkan ke dalam bahas Prancis, kemudian diterbitkan lagi di Kairo pada tahun 1947 M di bawah asuhan Dr. Sulaiman Dunya.

d. Al-Hikmat Al-Masyriqiyyah, buku ini banyak dibicarakan orang karena tidak jelasnya maksud dan judul buku, di tambah lagi naskah-naskahnya yang masih ada memuat bagian logika. Ada yang mengatakan bahwa isi buku tersebut mengenai tasawuf. Tetapi menurut Carlos Nallino, berisi filsafat Timur sebagai imbangan dari filsafat Barat.

e.

Al-Qanun, atau Canon of Medicine, menurut penyebutan orang-orang Barat. Buku ini

pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan pernah menjadi buku standard untuk Universitas Eropa, sampai akhir Abad ke 17 H. Buku tersebut pernah diterbitkan di Roma

tahun

1593

dan

India

tahun

1323

M.[8]

Selain itu, Ibnu Sina meninggalkan sejumlah esai dan syair. Beberapa esainya yang terpenting adalah Hayy ibn Yaqzhan, Risalah Ath-Thair, Risalah fi Sirr Al-Qadar, Risalah fi Al-Isyq, dan Tahshil As-Saadah. Sedangkan puisi terpentingnya adalah Al-Urjuzah fi AthThibb, Al-Qashidah Al-Muzdawiyyah, dan Al-Qashidah Al-Ainiyyah. Bahkan masih banyak karya lain lagi yang ditulis dalam bentuk puisi ke dalam bahasa Persia.[9]

3.

Pemikirannya

Dalam sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan, sosok Ibnu Sina dalam banyak hal unik, sedang di antara para filosof muslim ia tidak hanya unik, tapi juga memperoleh penghargaan yang semakin tinggi hingga masa modern. Ia adalah satu-satunya filosof besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim beberapa abad. Pengaruh ini terwujud bukan hanya karena ia memiliki sistem, tetapi karena sistem yang ia miliki itu menampakkan keasliannya yang menunjukkan jenis jiwa yang jenius dalam menemukan metode-metode dan alasanalasan yang diperlukan untuk merumuskan kembali pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual Hellenisme yang ia warisi dan lebih jauh lagi dalam sistem keagamaan Islam. Di antara filsafat Ibnu Sina, antara lain sebagai berikut:

a.

Filsafat

Wujud

Mengenai Wujud Tuhan, Ibnu Sina memiliki pendapat yang berbeda dari Ibnu Farabi. Ibnu Sina bahwa Akal Pertama mempunyai dua sifat; sifat wajib wujudnya, sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya (wajibul Wujudul Lighairi dan Mumkinul Wujudul Lidzatihi) dalam bahasa Inggris (Necessary by virtue of the Necessary Being dan Possible in essence). Dengan demikian ia mempunyai tiga obyek pemikiran: Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya. Dari pemikiran tentang Tuhan, timbul akal-akal, dari pemikiran tentang dirinya sebagai wajib wujudnya timbul jiwa-jiwa dan dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul langit-langit.[10]

Walaupun Ibnu Sina memiliki pandangan yang berbeda dari akal, namun ada pendapat Ibnu

Sina yang sama dengan al-Farabi, tentang wujud Tuhan bersifat emanasionistis. Perkataannya dari Tuhannlah Kemaujudan Yang Mesti mengalir Inteligensi pertama, sendirian karena hanya dari yang tunggal, yang mutlak, sesuatu dapat mewujud. Akan tetapi, sifat inteligensi pertama itu tidak selamanya mutlak satu, karena ia bukan ada dengan sendirinya, ia hanya mungkin, dan kemungkinannya itu diwujudkan oleh Tuhan. Berkat kedua sifat itu, yang sejak saat itu melingkupi seluruh ciptaan di dunia, inteligensi pertama memunculkan dua kemaujudan, yaitu: pertama, Inteligensi kedua melalui kebaikan ego tertinggi dari adanya aktualitas. Kedua, lingkup pertama dan tertinggi berdasarkan segi terendah dari adanya kemungkinan alamiahnya.

Dua proses pemancaran ini berjalan terus menerus sampai kita mencapai inteligensi kesepuluh yang mengatur dunia ini, oleh sebab demikian banyak para filsafat Muslim yang disebut Malaikat Jibril. Nama ini diberikan karena ia memberikan bentuk atau memberitahukan materi dunia ini, yaitu materi fisik dan akal manusia. Oleh karena itu, ia juga disebut pemberi bentuk.[11]

Menurut Ibnu Sina, bahwa Tuhan, dan hanya Tuhan saja yang memiliki wujud Tunggal secara mutlak. Sedangkan segala sesuatu yang lain memiliki kodrat yang mendua. Karena ketunggalannya, apakah Tuhan itu, dan kenyataan bahwa ia ada, bukanlah dua unsur dalam satu wujud, tetapi satu unsur anatomik dalam wujud yang Tunggal. Tentang apakah Tuhan itu dann hakikat Tuhan adalah identik dengan eksistensi-Nya. Hal ini bukan merupakan kejadian bagi wujud lainnya, karena tidak ada kejadian lain yang eksistensinya identik dengan esensinya. Dengan kata lain, seorang suku Eskimo yang tidak pernah melihat gajah, maka ia tergolong salah seorang yang berdasarkan kenyataan itu sendiri mengetahui bahwa gajah itu ada. Demikian halnya, adanya Tuhan adalah satu keniscayaan, sedangkan adanya sesuatu yang lain hanya mungkin dan diturunkan dari adanya Tuhan, dan dugaan bahwa Tuhan itu tidak ada mengandung kontradiksi, karena dengan demikian yang lain pun juga tidak akan ada.[12]

Ibnu Sina dalam membuktikan adanya Tuhan Yang Maha Esa, Dialah Allah, maka ia tidak perlu mencari dalil dengan salah satu makhluknya, tetapi cukup dalil adanya Wujud Pertama, yakni ; Wajibul Wujud. Sedangkan jagad raya ini, yakni mumkinul wujud memerlukan sesuatu sebab (illat) yang mengeluarkannya menjadi wujud karena wujudnya tidak dari zatnya sendiri. Dengan demikian, dalam menetapkan Yang Pertama (Allah, kita tidak

memerlukan perenungan selain terhadap wujud itu sendiri, tanpa memerlukan pembuktian wujud-Nya dengan salah satu makhluk-Nya. Sebagai pembuktian dari wacana di atas, alQuran menggambarkannya dalam Surat Fushshilat ayat 53 yang berbunyi:

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?.

b.

Filsafat

Jiwa

Menurut pendapat Ibnu Sina, jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan yang sesuai dan dapat menerima jiwa lahir di dunia ini. Sungguhpun jiwa manusia tidak mempunyai fungsi-fungsi fisik, dengan demikian tidak berhajat pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berpikir, yakni jiwa yang masih berhajat pada badan.

Pendapatnya juga searah dengan Aristoteles, Ibnu Sina menekankan eratnya hubungan antara jiwa dan raga, tetapi semua kecenderungan pemikiran Aristoteles menolak suatu pandangan dua subtansi, dua subtansi ini di yakininya sebagai bentuk dari dualisme radikal. Sejauhmana dua aspek doktrinnya itu bersesuaian merupakan suatu pertanyaan yang berbeda, tentunya Ibnu Sina tidak menggunakan dualismenya untuk mengembangkan suatu tinjauan yang sejajar dan kebetulan tentang hubungan jiwa raga. Menurut Ibnu Sina, hal ini adalah cara pembuktian yang lebih langsung tentang subtansialitas nonbadan, jiwa, yang berlaku bukan sebagai argumen, tetapi sebagai pembuka mata.[13] Jiwa manusia , sebagai jiwa-jiwa lain segala apa yang terdapat di bawah bulan, memancar dari Akal kesepuluh.[14] Kemudian Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bahagian :

i.

Jiwa tumbuh-tumbuhan (an-Nafsul

Nabatiyah), yakni meliputi beberapa daya;

1.

Makan

(nutrition),

2.

Tumbuh

(Growth),

3.

Berkembang

biak

(reproduction)

ii.

Jiwa

binatang

(an-Nafsul

Hayawaniah),

yakni

meliputi

bebrapa

daya;

1.

Gerak

(locomotion),

2.

Menangkap

(perception).

Dua

daya

ini

dibagi

lagi

menjadi

dua

bahagian

a.

Menangkap

dari

luar

(al-Mudrikah

minal

kharij)

dengan

pancaindera.

b.

Menangkap dari dalam (al-Mudrikah minad dakhil) dengan indera-indera yang meliputi

: 1) Indera bersama yang menerima segala apa yang dirangkap oleh pancaindera, 2) Representasi yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indera bersama, 3) Imaginasi yang menyusun apa yang disimpan dalam representasi, 4) Estimasi yang dapat manangkap hal-hal abstrak yang terlepas dari materinya, umpama keharusan lari bagi kambing dari anjing srigala, 5) Rekoleksi yang menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh estimasi.

iii.

Jiwa

manusia

(an-Nafsul

Natiqah)

meliputi

dua

daya

Praktis

(practical)

yang

hubungannya

adalah

dengan

badan.

Teoritis (theoritical) yang hubungannya adalah dengan hal-hal abstrak.[15]

Dengan demikian, sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam jiea tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa tumbuhtumbuhan dan binatang yang berkuasa pada dirinya, maka orang itu dapat menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa manusia (an-Nafsul Natiqah) yang mempunyai pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat menyerupai Malaikat dan dekat pada kesempurnaan.

Ibnu Sina, meski ia seorang dokter, namun ia sadar bahwa penjelasan mengenai jiwa bukan tugas seorang dokter dan tidak masuk dalam disiplin ilmu tersebut. Oleh karenanya dalam al-

quran di jelaskan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan jiwa beserta berbagai potensinnya, yang mana para dokter dan filosof berbeda pendapat dalam hal ini. Oleh sebab itu, Ibnu Sina mengatakan bahwa maalah jiwa adalah urusan filosof. Pengaruh Ibnu Sina dalam soal kejiwaan ini tidak dapat diremehkan, baik pada dunia pikir Arab sejak abad 10 M. Sampai akhir abad 19 M, maupun pada filsafat scholastik Yahudi dan Masehi terutama tokoh-tokohnya, seperti: Gundisalus, Guillaume, Albert Yong Agung, St. Thomas Aquinas, Roger Bacon, dan Duns Scotf, serta berhubungan dengan pemikiran Descartes tentang hakikat dan adanya jiwa.

c.

Filsafat

Tentang

Ke-Nabian

Mengenai pemikiran Ibnu Sina tentang kenabian, ia berpendapat bahwa Nabi adalah manusia yang paling unggul, lebih unggul dari filosof karena Nabi memiliki akal aktual yang sempurna tanpa latihan atau studi keras, sedangkan filosof mendapatkannya dengan usaha dan susah payah. Akal manusia terdiri empat macam yaitu akal materil, akal intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad.

Banyak para filosof yang membuat tingkatan akal menjadi empat bahagian, di antaranya, AlFarabi, Nashiruddin Ath-Tusi, dan lainnya. kalau diklasifikasikan akal-akal tersebut seperti di bawah ini: Akal Materil (alaklul hayulaani) materil intellect yang semata -mata untuk berpikir dan belum dilatih walaupun sedikit.

i. mempunyai

potensi

ii. berpikir

Intellectus in habitu (alaklu bilmalakah) yang telah mulai dilatih untuk tentang hal-hal abstrak.

iii. abstrak.

Akal Aktuil (alaklu bilfiil) yang telah dapat berpikir tentang hal -hal

iv.

Akal Mustafad (alaklu mustafaadu) acquired intellect) yaitu akal yang

telah sanggup berpikir tentang hal-hal abstrak dengan tidak perlu pada daya dan upaya. Akal yang telah terlatih begitu rupa, sehingga hal-hal yang abstrak selamanya terdapat dalam akal yang serupa ini. Akal serupa inilah yang sanggup menerima limpahan ilmu pengetahuan dari

Akal

Aktif

(alaklu

faaala).[16]

Setelah melihat penjelasan di atas mempunyai empat tingkat dan yang terendah di antaranya ialah ada akal materil atau (alaklul hayulan). Biasanya akal materil tidak bisa sepenuhnya menangkap hal-hal yang abstrak, namun ketika manusia mempergunakan akal materil ini, Allah menganugerahkan kepada manusia agar akal materil dapat bekerja lebih besar lagi. Dalam hal ini Ibnu Sina memberi nama al-hadas yaitu intuisi. Daya yang ada pada akal materil serupa ini begitu besarnya, sehingga tanpa melalui latihan, dengan mudah dapat berhubungan dengan Akal Aktif dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akhirnya aka ini menjadi tinggi, dan diperoleh bagi manusia-manusia terkhusus pada pilihan Allah mereka yang mendapatkannya adalah para Nab-Nabi Allah.

Jadi wahyu dalam pengertian di atas yang mendorong manusia untuk beramal dan menjadi orang baik, tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual dan ilham belaka. Maka tak ada agama yang hanya berdasarkan akal murni. Namun demikian, wahyu teknis ini, dalam rangka mencapai kualitas potensi yang diperlukan, juga tak diragukan lagi karena dalam kenyataannya wahyu tersebut tidak memberikan kebenaran yang sebenarnya, tetapi kebenaran dalam selubung simbol-simbol. Namun sejauh mana wahyu itu mendorong? Kecuali kalau Nabi dapat menyatakan wawasan moralnya ke dalam tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip moral yang memadai, dan sebenarnya ke dalam suatu struktur sosial politik, baik wawasan maupun kekuatan wahyu imajinatifnya tak akan banyak berfaedah. Maka dari itu, Nabi berhak mendapat mendapatkan derajat seorang filosof.

Salah satu ungkapan Ibnu Sina tentang perihala Nabi yakni; Ada wujud yang berdiri sendiri dan ada pula yang tidak berdiri sendiri. Yang pertama lebih unggul daripada yang kedua. Ada bentuk dan substansi yang tidak berada dalam meteri dan ada pula yang berada dalam materi. Yang pertama lebih unggul daripada yang kedua, selanjutnya ada hewan yang rasional (manusia) dan ada pula hewan yang tidak rasional (binatang). Yang pertama lebih unggul daripada yang kedua selanjutnya ada manusia yang memiliki akal aktual dengan sempurna secara langsung (tanpa latihan, tanpa belajar keras) dan ada pula yang memiliki akal aktual dengan sempurna secara tidak langsung (yakni melalui latihan dan studi), maka yang pertama yakni para Nabi yang lebih unggul daripada yang kedua, yakni para filsuf. Para Nabi berada di puncak keunggulan atau keutamaan dalam lingkungan makhluk-makhluk materi. Karena yang lebih unggul harus memimpin segenap manusia yang diunggulinya.[17]

Menurut Ibnu Sina, seorang Nabi sangat identik dengan akal aktif, dan sepanjang identitas ini masih berlaku, akal aktif itu disebut Aql Mustafad (akal yang telah dicapai). Namun, Nabi manusia tidak identik dengan akal aktif. Dengan demikian, pemberi wahyu dalam satu internal dengan Nabi, dalam hal lain, yaitu sepanjang pengertian pemberi wahyu , yaitu manusia yang eksternal dengannya. Oleh sebab itu, Nabi dalam hal sebagai manusia secara aksidental bukan secara esensial, aksidental).[18] adalah akal aktif (untuk pengertian istilah

C.

Kesimpulan

Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Ibnu Sina sependapat dengan al-Farabi mengenai filsafat jiwanya. Ibnu Sina dapat berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat, yaitu: Sifat wajib wujudnya, sebagai pancaran dari Allah dan Sifat mungkin wujudnya, jika ditinjau dari hakikat dirinya.

Sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam jiwa yaitu tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa tumbuhan atau hewan mempengaruhi seseorang maka orang itu dapat menyerupai binatang, tetapi jika jiwa manuisa yang mempunyai pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat menyerupai malaekat dan dekat dengan kesempurnaan.

Menurut Ibnu Sina bahwa alam ini diciptakan dengan jalan emanasi (memancar dari Tuhan). Tuhan adalah wujud pertama yang immateri dan proses emanasi tersebut memancar segala yang ada.

Tuhan adalah wajibul wujud (jika tidak ada menimbulkan mustahil), beda dengan mumkinul wujud (jika tidak ada atau ada menimbulkan tidak mujstahil).

Pemikiran tentang kenabian menjelaskan bahwa nabi merupakan manusia yang paling unggul dari filosof karena nabi memiliki akal aktual yang sempurna tanpa latihan, sedangkan filosof mendapatkannya dengan usaha yang keras.

DAFTAR

PUSTAKA

A.

Mustofa,

Filsafat

Islam,

Bandung:

Pustaka

Setia,

1999

Daudy,

Ahmad,

Kuliah

Filsafat

Islam,

Jakarta:

Bulan

Bintang,

1986

Dahlan, Abdul Azis, Filsafat dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Cet. Ke. 2 Jilid. 4, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2003

Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam terj. R. Mulyadhi Kartanegara, Jakarta: Pustaka Jaya, 1986

Mustofa,

A.

Filsafat

Islam,

Bandung:

Pustaka

Setia,

2004

Nasution, Harun, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam, Cet. Ke IX, Jakarta: Bulan Bintang, 1973

---------------------, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: Universitas Indonesi, 1983

Nasution, Hasyimsah, Filsafat Islam, Cet. Ke-3, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002

Syarif, M.M. History of Muslim Philosophy, vol. I, Wisbaden: Otto Horossowitz, 1963

Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam filosof dan filsafatnya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004

[1] Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hal. 188

[2] Harun Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam, Cet. Ke IX,( Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 34

[3] Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam terj. R. Mulyadhi Kartanegara, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), hlm. 191

[4]

Ibid.,

hal.

190

[5] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam filosof dan filsafatnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 93

[6] M.M. Syarif, History of Muslim Philosophy, vol. I, (Wisbaden: Otto Horossowitz, 1963), hal. 102

[7] Shams Innati, Ibnu Sina dalam, Sayyed Hosen Naser dan Oliver Leaman (edt), Ensiklopedia , hlm. 286.

[8]

A.

Mustofa,

Filsafat

Islam,

(Bandung:

Pustaka

Setia,

1999),

hal.

190

[9] Shams Innati, Ibnu Sina dalam, Ensiklopedia ,

Sayyed Hosen Naser dan Oliver Leaman (edt), hlm. 287

[10] [11] [12] [13]

Harun Dedi M. Dedi

Nasution,

Filsafat

dan

Mitisisme Filsafat

dalam

Islam ,

...

, , hlm.

hlm.

35

Supriyadi, M. Supriyadi,

Pengantar Syarif, Para

Islam

hlm.129 104 hlm.138

filosof Filsafat Islam

Pengantar

[14] Akal Kesepuluh dimaksud adalah akal Mustafad (alaklu mustafad), yaitu akal yang telah sanggup berpikir tentang hal-hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya; akal yang telah terlatih begitu rupa, sehingga hal-hal yang abstrak selamanya terdapat dalam akal yang serupa ini; akal serupa inilah yang sanggup menerima limpahan ilmu pengetahuan dari akal aktif (aklul faal). Lihat, Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam , hlm. 37.

[15]

Ibid

hlm.

36

[16]

Ibid,.

hlm.37

[17] Abdul Azis Dahlan, Filsafat dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Cet. Ke. 2 Jilid. 4, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2003), hlm. 202

[18] M. M. Syarif, Para filosof , hlm.104 Share this article :

Read more: http://syafieh.blogspot.com/2013/04/filsafat-islam-ibnu-sina-danpemikiran.html#ixzz2Rz8QS6uP BLOG BERSAMA KHOIRUL ANWAR RESUME PEMIKIRAN FILOSOF MUSLIM IBN SINA BIOGRAFI Ibnu Sina (980-1037) dikenal juga sebagai Avicenna di Dunia Barat adalah seorang filsuf, ilmuwan, dan juga dokter kelahiran Persia (sekarang sudah menjadi bagian Uzbekistan). Beliau juga seorang penulis yang produktif dimana sebagian besar karyanya adalah tentang filosofi dan pengobatan. Bagi banyak orang, beliau adalah Bapak Pengobatan Modern dan masih banyak lagi sebutan baginya yang kebanyakan bersangkutan dengan karya-karyanya di bidang kedokteran. Karyanya yang sangat terkenal adalah Qanun fi Thib yang merupakan rujukan di bidang kedokteran selama berabad-abad. Ibnu Sina bernama lengkap Ab Al al-Husayn bin Abdullh bin Sn .Ibnu Sina lahir pada 980 di Afsyahnah daerah dekat Bukhara, sekarang wilayah Uzbekistan (kemudian Persia), dan meninggal pada bulan Juni 1037 di Hamadan, Persia (Iran). Dia adalah pengarang dari 450 buku pada beberapa pokok bahasan besar. Banyak diantaranya memusatkan pada filosofi dan kedokteran. Dia dianggap oleh banyak orang sebagai bapak kedokteran modern. George Sarton menyebut Ibnu Sina ilmuwan paling terkenal dari Islam dan salah satu yang paling terkenal pada semua bidang, tempat, dan waktu. pekerjaannya yang paling terkenal adalah The Book of Healing dan The Canon of Medicine, dikenal juga sebagai sebagai Qanun (judul lengkap: Al-Qanun fi At Tibb). Kehidupannyan dikenal lewat sumber sumber berkuasa. Suatu autobiografi membahas tiga puluh tahun pertama kehidupannya, dan sisanya didokumentasikan oleh muridnya alJuzajani, yang juga sekretarisnya dan temannya. Ibnu Sina lahir pada tahun 370 (H) / 980 (M) di rumah ibunya Afshana, sebuah kota kecil sekarang wilayah Uzbekistan (bagian dari Persia). Ayahnya, seorang sarjana terhormat Ismaili, berasal dari Balkh Khorasan, dan pada saat kelahiran putranya dia adalah gubernur

suatu daerah di salah satu pemukiman Nuh ibn Mansur, sekarang wilayah Afghanistan (dan juga Persia). Dia menginginkan putranya dididik dengan baik di Bukhara. Meskipun secara tradisional dipengaruhi oleh cabang Islam Ismaili, pemikiran Ibnu Sina independen dengan memiliki kepintaran dan ingatan luar biasa, yang mengizinkannya menyusul para gurunya pada usia 14 tahun. Ibn Sina dididik dibawah tanggung jawab seorang guru, dan kepandaiannya segera membuatnya menjadi kekaguman diantara para tetangganya; dia menampilkan suatu pengecualian sikap intellectual dan seorang anak yang luar biasa kepandaiannya / Child prodigy yang telah menghafal Al-Quran pada usia 5 tahun dan juga seorang ahli puisi Persia. Dari seorang pedagang sayur dia mempelajari aritmatika, dan dia memulai untuk belajar yang lain dari seorang sarjana yang memperoleh suatu mata pencaharian dari merawat orang sakit dan mengajar anak muda. Meskipun bermasalah besar pada masalah masalah metafisika dan pada beberapa tulisan Aristoteles. Sehingga, untuk satu setengah tahun berikutnya, dia juga mempelajari filosofi, dimana dia menghadapi banyak rintangan. pada beberapa penyelidikan yang membingungkan, dia akan meninggalkan buku bukunya, mengambil air wudhu, lalu pergi ke masjid, dan terus sholat sampai hidayah menyelesaikan kesulitan kesulitannya. Pada larut malam dia akan melanjutkan kegiatan belajarnya, menstimulasi perasaannya dengan kadangkala segelas susu kambing, dan meskipun dalam mimpinya masalah akan mengikutinya dan memberikan solusinya. Empat puluh kali, dikatakan, dia membaca Metaphysics dari Aristoteles, sampai kata katanya tertulis dalam ingatannya; tetapi artinya tak dikenal, sampai suatu hari mereka menemukan pencerahan, dari uraian singkat oleh Farabi, yang dibelinya di suatu bookstall seharga tiga dirham. Yang sangat mengagumkan adalah kesenangannya pada penemuan, yang dibuat dengan bantuan yang dia harapkan hanya misteri, yang mempercepat untuk berterima kasih kepada Allah SWT, dan memberikan sedekah atas orang miskin. Ketika Ibnu Sina berusia 22 tahun, ayahnya meninggal.Samanid dynasty menuju keruntuhannya pada Desember 1004. Ibnu Sina menolak pemberian Mahmud of Ghazni, dan menuju kearah Barat ke Urgench di Uzbekistan modern, dimana vizier, dianggap sebagai teman seperguruan, memberinya gaji kecil bulanan. Tetapi gajinya kecil, sehingga Ibnu Sina mengembara dari satu tempat ke tempat lain melalui distrik Nishapur dan Merv ke perbatasan Khorasan, mencari suatu opening untuk bakat bakatnya. Shams al-Mali Qbtis, sang dermawan pengatur Dailam, seorang penyair dan sarjana, yang mana Ibn Sina mengharapkan menemukan tempat berlindung, dimana sekitar tahun (1052) meninggal dibunuh oleh

pasukannya yang memberontak. Ibnu Sina sendiri pada saat itu terkena penyakit yang sangat parah. Akhirnya, di Gorgan, dekat Laut Kaspi, Ibnu Sina bertamu dengan seorang teman, yang membeli sebuah rumah di dekat rumahnya sendiri dimana Ibnu Sina belajar logika dan astronomi. Beberapa dari buku panduan Ibnu Sina ditulis untuk orang ini ; dan permulaan dari buku Canon of Medicine juga dikerjakan sewaktu dia tinggal di Hyrcania. KARYA-KARYANYA Diantara karangan karangan Ibnu Sina adalah : 1) As- Syifa ( The Book of Recovery or The Book of Remedy = Buku tentang Penemuan, atau Buku tentang Penyembuhan). 2) Nafat, buku ini adalah ringkasan dari buku As-Syifa. 3) Qanun, buku ini adalah buku lmu kedokteran, dijadikan buku pokok pada Universitas Montpellier (Perancis) dan Universitas Lourain (Belgia). 4) Sadidiyya. Buku ilmu kedokteran. 5) Al-Musiqa. Buku tentang musik. 6) Al-Mantiq, diuntukkan buat Abul Hasan Sahli. 7) Qamus el Arabi, terdiri atas lima jilid.Danesh Namesh. Buku filsafat. 8) Danesh Nameh. Buku filsafat. 9) Uyun-ul Hikmah. Buku filsafat terdiri atas 10 jilid. 10) Mujiz, kabir wa Shaghir. Sebuah buku yang menerangkan tentang dasar dasar ilmu logika secara lengkap. PEMIKIRAN FILSAFAT IBNU SINA A. Filsafat Metafisika Pemikiran metafisika Ibnu Sina bertitik tolak kepada pandangan filsafatnya yang membagi tiga jenis hal yaitu: 1) Penting dalam dirinya sendiri, tidak perlu kepada sebab lain untuk kejadiannya, selain dirinya sendiri yaitu tuhan. 2) Berkehendak kepada yang lain, yaitu makhluk yang butuh kepada yang menjadikan. 3) Makhluk mungkin, yang ada bisa pula tidak ada, dan ia sendiri tidak butuh kepada kejadiannya maksudnya benda-benda yang tidak berakal seperti: pohon, air, batu, tanah, dll. Dalam membahas mengenai adanya Tuhan dalam hubungannya dengan alam semesta. Ibnu Sina mengatakan dalam bukunya Al Isharat, titik dan pandangan argument orang terhadap wujud yang pertama, keesaannya kemahaagungannya, tidak berkehendak kepada sesuatu yang lain selain dari ciptaannya atas makhluk itu sendiri, tanpa pandangan betapapun ciptaan dan bentuknya, meskipun ciptaannya dipandang sebagai tanda adanya tuhan. Orang akan

lebih mengerti dengan lebih kuat dan baik terhadap tuhan, karena adanya makhluk berarti adanya tuhan. Adanya pandangan segala makhluk, dapat dibenarkan pendapat tentang adanya tuhan. Bagi Ibnu Sina sifat wujudlah yang terpenting dan yang mempunyai kedudukan diatas segala sifat lain, walaupun essensi sendiri. Essensi, dalam faham Ibnu Sina terdapat dalam akal, sedang wujud terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat tiap essensi yang dalam akal mempunyai kenyataan diluar akal. Tanpa wujud, essensi tidak besar artinya. Oleh sebab itu wujud lebih penting dari essensi. Tidak mengherankan kalau dikatakan bahwa Ibnu Sina telah terlebih dahulu menimbulkan falsafat wujudiah atau existentialisasi dari filosof filosof lain. Kalau dikombinasikan, essensi dan wujud dapat mempunyai kombinasi berikut : 1. Essensi yang tak dapat mempunyai wujud, dan hal yang serupa ini disebut oleh Ibnu Sina mumtani yaitu sesuatu yang mustahil berwujud ( impossible being). 2. Essensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud. Yang serupa ini disebut mumkin ( ) yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula tidak berwujud. Contohnya adalah alam ini yang pada mulanya tidak ada kemudian ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada. 3. Essensi yang tak boleh tidak mesti mempunyai wujud. Disini essensi tidak bisa dipisahkan dari wujud. Essensi dan wujud adalah sama dan satu. Di sini essensi tidak dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud, sebagaimana halnya dengan essensi dalam kategori kedua, tetapi essensi mesti dan wajib mempunyai wujud selama lamanya. Yang serupa ini disebut mestiberwujud ( ) yaitu Tuhan. Wajib al wujud inilah yang mewujudkan mumkin al wujud B. Filsafat Jiwa Ibnu Sina memberikan perhatiannya yang khusus terhadap pembahasan kejiwaan, sebagaimana yang dapat kita lihat dari buku buku yang khusus untuk soal soal kejiwaan ataupun buku buku yang berisi campuran berbagai persoalan filsafat. Pemikiran terpenting yang dihasilkan Ibnu Sina ialah falsafatnya tentang jiwa. Sebagaimana Al-Farabi, ia juga menganut faham pancaran. Dari Tuhan memancar akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan langit pertama, demikian seterusnya sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi. Dari akal ke sepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada dibawah bulan. Akal pertama adalah malaekat tertinggi dan akal kesepuluh adalah Jibril. Menurut al-Farabi, Allah menciptakan alam ini melalui emanasi, dalam arti bahwa wujud

Tuhan melimpahkan wujud alam semesta. Emanasi ini terjadi melalui tafakkur (berfikir) Tuhan tentang dzat-Nya yang merupakan prinsip dari peraturan dan kebaikan dalam alam. Dengan kata lain, berpikirnya Allah swt tentang dzat-Nya adalah sebab dari adanya alam ini. Dalam arti bahwa ialah yang memberi wujud kekal dari segala yang ada . Berfikirnya Allah tentang dzatnya sebagaimana kata Sayyed Zayid, adalah ilmu Tuhan tentang diri-Nya, dan ilmu itu adalah daya (al-Qudrah) yang menciptakan segalanya, agar sesuatu tercipta, cukup Tuhan mengetahuiNya Segi segi kejiwaan pada Ibnu Sina pada garis besarnya dapat dibagi menjadi dua segi yaitu : a) Segi fisika yang membicarakan tentang macam macamnya jiwa (jiwa tumbuhkan, jiwa hewan dan jiwa manusia). Pembahasan kebaikan kebaikan, jiwa manusia, indera dan lain lain dan pembahasan lain yang biasa termasuk dalam pengertian ilmu jiwa yang sebenarnya. b) Segi metafisika, yang membicarakan tentang wujud dan hakikat jiwa, pertalian jiwa dengan badan dan keabadian jiwa Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bahagian : 1. Jiwa tumbuh tumbuhan ( ) dengan daya daya : Makan ( nutrition) Tumbuh ( growth) Berkembang biak ( reproduction) 2. Jiwa binatang ( ) dengan daya daya : Gerak ( locomotion) Menangkap ( : naigab aud nagned (noitpecrep Menagkap dari luar dengan panca indera Menangkap dari dalam dengan indera indera dalam. Indera bersama yang menerima segala apa yang ditangkap oleh panca indera Representasi yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indera bersama Imaginasi yang dapat menyusun apa yang disimpan dalam representasi Estimasi yang dapat menangkap hal hal abstraks yang terlepas dari materi umpamanya keharusan lari bagi kambing dari anjing serigala. Rekoleksi yang menyimpan hal hal abstrak yang diterima oleh estimasi. 3. Jiwa manusia ( ) dengan daya daya : Praktis yang hubungannya dengan badanTeoritis yang hubungannya adalah dengan hal hal abstrak. Daya ini mempunyai tingkatan : Akal materiil yang semata mata mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih

walaupun sedikitpun. Intelectual in habits, yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal hal abstrak. Akal actuil, yang telah dapat berfikir tentang hal hal abstrak. Akal mustafad yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya Ada empat dalil yang dikemukakan oleh Ibnu Sina untuk membuktikan adanya jiwa yaitu : 1. Dalil alam kejiwaan (natural psikologi). 2. Dalil Aku dan kesatuan gejala gejala kejiwaan. 3. Dalil kelangsungan (kontinuitas). 4. Dalil orang terbang atau orang tergantung di udara A. Falsafat Kenabian Pentingnya gejala kenabian dan wahyu ilahi merupakan sesuatu yang oleh Ibnu Sina telah diusahakan untuk dibangun dalam empat tingkatan : intelektual, imajinatif, keajaiban, dan sosio politis. Totalitas keempat tingkatan ini memberi kita petunjuk yang jelas tentang motivasi, watak dan arah pemikiran keagamaan. Akal manusia terdiri empat macam yaitu akal materil, akal intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad. Dari keempat akal tersebut tingkatan akal yang terendah adalah akal materiil. Ada kalanya Tuhan menganugerahkan kepada manusia akal materiil yang besar lagi kuat, yang Ibnu Sina diberi nama al hads yaitu intuisi. Daya yang ada pada akal materiil semua ini begitu besarnya, sehingga tanpa melalui latihan dengan mudah dapat berhubungan dengan akal aktif dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal serupa ini mempunyai daya suci. Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia dan terdapat hanya pada nabi nabi. C. Filsafat Tasawuf Mengenai tasawuf ibn sina tidak dimulai dengan zuhud, ibadah dan meninggalkan keduniaan sebagaimanayang dilakukan oleh orang orang sufi sebelumnya. Ia memulai tasaawuf dengan akal yang dibantu dengan hati, dengan kebersihan hati dan pancaran akal, lalu akal akan menerima marifah dari akal faal. dalam pemahaman ibn sina bahwa jiwa-jiwa manusia tidak berbeda lapangan marifahnya dan ukuran persiapannya untuk berhubungan dengan akal faal. Mengenai bersatunya tuhan dengan manusia atau mengenai bertempatnya tuhan di hati manusia tidak diterima oleh ibn sina. Karena manusia tidak bias langsung kepada tuhannya, tetapi melalui perantara untuk menjaga kesucian tuhan . ia berpendapat bahwa puncak

kebahagiaan itu tidak tercapai, kecuali perhubungan antara manusia dengan tuhan saja. Karena manusia mendapat kebahagiaan pancaran dan perhubungan tersebut. Pancaran dari sinar ini tidak langsung dari allah, melainkan dari akal faal. Berkaitan dengan ijtihat dapat membawa bersatunya makhluk dengan penciptanya tidak dapat diterima dengan akal sehat, karena hal ini mengharuskan sesuatu menjadi satu dan banyak pada waktu yang sama/ PENUTUP Ibnu Sina memiliki pemikiran keagamaan yang mendalam. Pemahamannya mempengaruhi pandangan filsafatnya. Ketajaman pemikirannya dan kedalaman keyakinan keagamaannya secara simultan mewarnai alam pikirannya. Ibnu Rusyd menyebutnya sebagai seorang yang agamis dalam berfilsafat, sementara al-Ghazali menjulukinya sebagai Filsuf yang terlalu banyak berfikir. Menurut Ibnu Sina bahwa alam ini diciptakan dengan jalan emanasi (memancar dari Tuhan). Tuhan adalah wujud pertama yang immateri dan dariNyalah memancar segala yang ada. Tuhan adalah wajibul wujud (jika tidak ada menimbulkan mustahil), beda dengan mumkinul wujud (jika tidak ada atau ada menimbulkan tidak mujstahil). Pemikiran Ibnu Sina tentang kenabian menjelaskan bahwa nabilah manusia yang paling unggul, lebih unggul dari filosof karena nabi memiliki akal aktual yang sempurna tanpa latihan atau studi keras, sedangkan filosof mendapatkannya dengan usaha dan susah payah.

Anda mungkin juga menyukai