Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN TUTORIAL KELOMPOK A 7

SKENARIO I BLOK KEDARURATAN MEDIK


SYOK ANAFILAKSIS

Disusun Oleh:
G0009001

ENSAN GALUH PERTIWI

G0009039

BOBBI JUNI SAPUTRA

G0009065

DWI RACHMAWATI H

G0009073

EMA NUR FITRIANA

G0009077

FARIDA NUR K

G0009117

KRISTIANA MARGARETA

G0009149

NIMAS AYU SURI P

G0009157

NUR ZAHRATUL JANNAH

G0009175

PUTRI DINI AZIKA

G0009177

RADEN ARTHESWARA S.

G0009213

WISNU YUDHO HUTOMO

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET


BAB I
PENDAHULUAN
Seorang laki-laki umur 20 tahun datang ke praktek dokter umum dengan
keluhan nyeri tenggorokan sejak 5 hari yang didiagnosa radang tenggorokan akut,
mendapat antibiotika injeksi golongan penicillin yang dilakukan oleh perawat atas
perintah dokter yang memeriksa. 10 menit kemudian pasien mengeluh mual,
kemudian muntah, sesak napas, keringat dingin, kemudian jatuh pingsan.
Pemeriksaan sementara didapatkan kesadaran sopor, sesak napas, RR 32-36
kali/menit, cepat dan dangkal, suara napas ngorok, tekanan darah 60 mmHg, nadi
140 kali/menit. Dokter segera melakukan tindakan resusitasi dan merujuk pasien
ke UGD.

BAB II
DISKUSI DAN PEMBAHASAN

JUMP I
Memahami skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam
skenario.
Golongan Penicillin

: Antibiotik golongan laktam yang bekerja


dengan

menghambat

pembentukan

mukopeptida (pembentukan dinding sel


bakteri).
Tekanan darah 60 mmHg palpasi

:Tekanan darah yang biasa terjadi pada


kondisi syok di mana hasil pemeriksaan
diketahui dengan mempalpasi arteri radialis,
karena

sudah

auskultasi

tidak

sehingga

terdengar
hanya

melalui

didapatkan

sistole.
Radang tenggorokan akut

:Infeksi yang terjadi pada faring atau saluran


nafas atas, lama kejadian<3 minggu dan
didapatkan tanda-tanda infeksi. Sedangkan
pada keadaan kronis permukaan dinding
faring sudah tidak rata.

Jump II

Menentukan/mendefinisikan permasalahan.
1. Apakah indikasi dokter memberikan injeksi Penicillin ?
2. Mengapa pada sepuluh menit setelah injeksi Penicillin pasien mengalami
syok anafilaksis ?
3. Bagaimanakah prosedur pemberian injeksi Penicillin yang sesuai dengan
bioetik?
4. Bagaimana intepretasi dari hasil pemeriksaan vital sign ?
5. Bagaimana patofisiologi terjadinya gejala klinis yang dialami pasien pada
skenario ?
6. Bagaimana penatalaksanaan kasus syok pada pasien dalam skenario?
7. Apakah indikasi merujuk pasien dalam keadaan syok?

Jump III
Menganalisis permasalahan dan membuat pernyataan sementara mengenaai
permasalahan (tersebut dalam langkah 2).
A. Syok Anafilaksis
1. Definisi
Definisi yang tepat untuk anafilaksis tidak penting dalam
penangananan reaksi anafilaksis. The European Academy of
Allergology and Clinical Immunology Nomenclature Committee
mengusulkan definisi secara luas yaitu

anafilaksis adalah suatu

keadaan yang gawat, mengancam nyawa, reaksi hipersensitif secara


keseluruhan atau sistemik. Keadaan ini dikarakteristikan dengan
ancaman jiwa yang berkembang cepat dengan adanya masalah pada
airway dan/atau breathing dan/atau circulation yang biasanya
4

dihubungkan dengan masalah pada kulit dan mukosa (Working Group


of the Resuscitation Council (UK), 2008).
Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinik dari
anafilaksis yang ditandai dengan adanya hipotensi yang nyata dan
kolaps sirkulasi darah. Istilah syok anafilaktik menunjukkan derajat
kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk menggambarkan anafilaksis
secara keseluruhan, karena anafilaksis yang berat dapat terjadi tanpa
adanya hipotensi, dimana obstruksi saluran napas merupakan gejala
utamanya (Rengganis dalam Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit
Dalam Indonesia, 2007).

2. Mekanisme dan Penyebab


Mekanisme anafilaksis melalui beberapa fase, yaitu :
a. Fase sensitasi
Merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentuan IgE sampai
diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan sel basofil. Allergen
yang masuk dipresentasikan kepada Limfosit T oleh makrofag.
Kemudian limfosit T akan mngeluarkan sitokin (IL-4, IL-3) yang
menginduksi sel B berploriferasi menjadi sel plasma. Kemudian
akan diproduksi IgE yang berikatan pada reseptor spesifik pada
permukaan sel mast dan sel basofil (Tomaszewski, 2001).
b. Fase aktivasi
Merupakan waktu selama terjadinya paparam ulang oleh antigen
yang sama. Sel mast dan basofil akan mengeluarkan isinya berupa
granula yang menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Alergen yang
sama akan diikat oleh IgE spesifik yang berakibat keluarnya
mediator vasoaktif seperti histamin, serotonin, bradikinin, dan
vasoaktif lain (Tomaszewski, 2001).
c. Fase efektor
5

Merupakan waktu terjadinya respon yang kompleks sebagai efek


mediator

yang

dilepas

basofil.

Histamin

memberikan

efek

bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya


menyebabkan udem, sekresi mukus, dan vasodilatasi. Serotonin
berakibat meningkatnya permeabilitas vaskuler dan bradikinin
berakibat kontraksi otot polos (Tomaszewski, 2001).

Berbagai mekanisme terjadinya anafilaksis dapat terjadi melalui


mekanisme IgE maupun melalui non-IgE seperti yang terlihat pada
tabel1.Penyebab anafilaksis antara lain obat, makanan, kegiatan jasmani,
sengatan binatang, faktor fisis seperti udara yang panas, air yang dingin
pada kolam renang, dan terdapat sebagian anafilaksis yang tidak
diketahui penyebabnya (Rengganis dalam Perhimpunan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Indonesia, 2007).
Tabel 1. Mekanisme dan Obat Pencetus Anafilaksis
Anafilaksis (melalui IgE)
Antibiotik (penisilin, sefalosporin)
Ekstrak alergen (bisa tawon, polen)
Obat (glokokortikoid, thiopental, suksinilkolin)
Enzim (kemopapain, tripsin)
Serum heterolog (antitoksin tetanus, globulin antilimfosit)
Protein manusia (insulin, vasopresin, serum)
Anafilaktoid (tidak melalui IgE)
Zat penglepas histamin secara langsung :
6

Obat (opiat,vankomisisn, kurare)


Cairan hipertonik (media radiokontras, manitol)
Obat lain (dekstran, fluoresens)
Aktivasi komplemen
Protein manusia (immunoglobulin, dan produk darah lainnya)
Bahan dialisis
Modulasi metabolisme asam arakidonat
Asam asetilsalisilat
Antiinflamasi nonsteroid
Penyebab lain yang dapat menyebabkan anafilaksis antara lain makanan
yang berupa kacang-kacangan, susu, ikan, kerang-kerangan, pisang. Obat
anestesi yang dapat menyebabkan anafilaksis yaitu suxamethonium,
vecuronium, atracurium, dan pada saat induksi. Bahan lain yang juga
dapat menyebabkan anafilaksis yaitu latex, cat rambut, dan hydatid
(Working Group of the Resuscitation Council (UK), 2008).

3 . Patofisiologi
Reaksi anafilaksis timbul bila sebelumnya telah terbentuk IgE spesifik
terhadap alergen tertentu. Alergen yang masuk kedalam tubuh lewat kulit,
mukosa, sistem pernafasan maupun makanan, terpapar pada sel plasma dan
menyebabkan pembentukan IgE spesifik terhadap alergen tertentu. IgE spesifik
ini kemudian terikat pada reseptor permukaan mastosit dan basofil. Pada
paparan berikutnya, alergen akan terikat pada Ige spesifik dan memicu
terjadinya reaksi antigen antibodi yang menyebabkan terlepasnya mediator
yakni antara lain histamin dari granula yang terdapat dalam sel. Ikatan antigen

antibodi ini juga memicu sintesis SRS-A ( Slow reacting substance of


Anaphylaxis ) dan degradasi dari asam arachidonik pada membrane sel, yang
menghasilkan leukotrine dan prostaglandin. Reaksi ini segera mencapai
puncaknya setelah 15 menit (Tanra, 2012).
Efek histamin, leukotrine (SRS-A) dan prostaglandin pada pembuluh
darah maupun otot polos bronkus menyebabkan timbulnya gejala pernafasan
dan syok. Efek biologis histamin terutama melalui reseptor H1 dan H2 yang
berada pada permukaan saluran sirkulasi dan respirasi. Stimulasi reseptor H1
menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, spasme bronkus dan
spasme

pembuluh

darah

koroner

sedangkan

stimulasi

reseptor

H2

menyebabkan dilatasi bronkus dan peningkatan mukus dijalan nafas. Rasio H1


H2 pada jaringan menentukan efek akhirnya. Aktivasi mastosit dan basofil
menyebabkan juga respon bifasik dari cAMP intraselluler. Terjadi kenaikan
cAMP kemudian penurunan drastis sejalan dengan pelepasan mediator dan
granula kedalam cairan ekstraselluler. Sebaliknya penurunan cGMP justru
menghambat pelepasan mediator. Obat-obatan yang mencegah penurunan
cAMP intraselluler ternyata dapat menghilangkan gejala anafilaksis. Obatobatan ini antara lain adalah katekolamin (meningktakan sintesis cAMP) dan
methyl xanthine misalnya aminofilin (menghambat degradasi cAMP). Pada
tahap selanjutnya mediator-mediator ini menyebabkan pula rangkaian reaksi
maupun

sekresi

mediator

sekunder

dari

netrofil,eosinofil

dan

trombosit,mediator primer dan sekunder menimbulkan berbagai perubahan


patologis pada vaskuler dan hemostasis, sebaliknya obat-obat yang dapat
meningkatkan cGMP (misalnya obat cholinergik) dapat memperburuk keadaan
karena dapat merangsang terlepasnya mediator (Tanra, 2012)
4. Reaksi Anafilaktoid
Reaksi anafilaktoid adalah reaksi yang menyebabkan timbulnya gejala dan
keluhan yang sama dengan reaksi anafilaksis tetapi tanpa adanya mekanisme
ikatan antigen antibodi. Pelepasan mediator biokimiawi dari mastosit melewati
mekanisme nonimunologik ini belum seluruhnya dapat diterangkan. Zat-zat
8

yang sering menimbulkan reaksi anafilaktoid adalah kontras radiografi


(idionated), opiate, tubocurarine, dextran maupun mannitol. Selain itu aspirin
maupun NSAID lainnya juga sering menimbulkan reaksi anafilaktoid yang
diduga sebagai akibat terhambatnya enzim siklooksgenase.

5. Manifestasi klinik

Walaupun gambaran atau gejala klinik suatu reaksi anafilakis berbedabeda gradasinya sesuai berat ringannya reaksi antigen-antibodi atau tingkat
sensitivitas seseorang, namun pada tingkat yang berat barupa syok anafilaksis
gejala yang menonjol adalah gangguan sirkulasi dan gangguan respirasi.
Kedua gangguan tersebut dapat timbul bersamaan atau berurutan yang
kronologisnya sangat bervariasi dari beberapa detik sampai beberapa jam.
Pada dasarnya makin cepat reaksi timbul makin berat keadaan penderita.
a. Sistem pernafasan

Gangguan respirasi dapat dimulai berupa bersin, hidung tersumbat atau


batuk saja yang kemudian segera diikuti dengan udema laring dan
bronkospasme. Kedua gejala terakhir ini menyebabkan penderita nampak
dispnue sampai hipoksia yang pada gilirannya menimbulkan gangguan
sirkulasi, demikian pula sebaliknya, tiap gangguan sirkulasi pada gilirannya
menimbulkan gangguan respirasi. Umumnya gangguan respirasi berupa
udema laring dan bronkospasme merupakan pembunuh utama pada syok
anafilaksis.

b. Sistem sirkulasi

Biasanya gangguan sirkulasi merupakan efek sekunder dari gangguan


respirasi, tapi bisa juga berdiri sendiri, artinya terjadi gangguan sirkulasi
tanpa didahului oleh gangguan respirasi. Gejala hipotensi merupakan gejala
yang menonjol pada syok anafilaksis. Hipotensi terjadi sebagai akibat dari
9

dua faktor, pertama akibat terjadinya vasodilatasi pembuluh darah perifer dan
kedua akibat meningkatnya permeabilitas dinding kapiler sehingga selain
resistensi pembuluh darah menurun, juga banyak cairan intravaskuler yang
keluar keruang interstitiel (terjadi hipovolume relatif). Gejala hipotensi ini
dapat terjadi dengan drastis sehingga tanpa pertolongan yang cepat segera
dapat berkembang menjadi gagal sirkulasi atau henti jantung.
c. Gangguan kulit

Merupakan gejala klinik yang paling sering ditemukan pada reaksi


anafilaktik. Walaupun gejala ini tidak mematikan namun gejala ini amat
penting untuk diperhatikan sebab ini mungkin merupakan gejala prodromal
untuk timbulnya gejala yang lebih berat berupa gangguan nafas dan gangguan
sirkulasi. Oleh karena itu setiap gangguan kulit berupa urtikaria, eritema, atau
pruritus harus diwaspadai untuk kemungkinan timbulnya gejala yang lebih
berat. Dengan kata lain setiap keluhan kecil yang timbul sesaat sesudah
penyuntikan obat,harus diantisipasi untuk dapat berkembang kearah yang
lebih berat.
d. Gangguan gastrointestinal

Perut kram,mual,muntah sampai diare merupakan manifestasi dari


gangguan gastrointestinal yang juga dapat merupakan gejala prodromal untuk
timbulnya gejala gangguan nafas dan sirkulasi.

10

Skema perubahan maniifestasi klinis pada syok anafilaksis

6. Penanganan syok anafilaksis


a. Terapi medikamentosa
Prognosis suatu syok anafilaksis amat tergantung dari kecepatan diagnose
dan pengelolaannya:
1) Adrenalin merupakan drug of choice dari syok anafilaksis. Hal ini
disebabkan 3 faktor yaitu
11

a)

Adrenalin merupakan bronkodilator yang kuat , sehingga penderita dengan


cepat terhindar dari hipoksia yang merupakan pembunuh utama.

b)

Adrenalin merupakan vasokonstriktor pembuluh darah dan inotropik yang


kuat sehingga tekanan darah dengan cepat naik kembali.

c)

Adrenalin merupakan histamin bloker, melalui peningkatan produksi cyclic


AMP sehingga produksi dan pelepasan chemical mediator dapat berkurang
atau berhenti.

Dosis dan cara pemberiannya.


0,3 0,5 ml adrenalin dari larutan 1 : 1000 diberikan secara intramuskuler yang
dapat diulangi 5 10 menit. Dosis ulangan umumnya diperlukan, mengingat lama
kerja adrenalin cukup singkat. Jika respon pemberian secara intramuskuler kurang
efektif, dapat diberi secara intravenous setelah 0,1 0,2 ml adrenalin dilarutkan
dalam spoit 10 ml dengan NaCl fisiologis, diberikan perlahan-lahan. Pemberian
subkutan, sebaiknya dihindari pada syok anafilaksis karena efeknya lambat
bahkan mungkin tidak ada akibat vasokonstriksi pada kulit, sehingga absorbsi
obat tidak terjadi.

2) Aminofilin
Dapat diberikan dengan sangat hati-hati apabila bronkospasme belum hilang
dengan pemberian adrenalin. 250 mg aminofilin diberikan perlahan-lahan selama
10 menit intravena. Dapat dilanjutkan 250 mg lagi melalui drips infus bila
dianggap perlu.
3) Antihistamin dan kortikosteroid.
Merupakan pilihan kedua setelah adrenalin. Kedua obat tersebut kurang
manfaatnya pada tingkat syok anafilaksis, sebab keduanya hanya mampu
menetralkan chemical mediators yang lepas dan tidak menghentikan produksinya.
Dapat diberikan setelah gejala klinik mulai membaik guna mencegah komplikasi
12

selanjutnya berupa serum sickness atau prolonged effect. Antihistamin yang biasa
digunakan adalah difenhidramin HCl 5 20 mg IV dan untuk golongan
kortikosteroid dapat digunakan deksametason 5 10 mg IV atau hidrocortison
100 250 mg IV.
b. Terapi supportif
Terapi atau tindakan supportif sama pentingnya dengan terapi medikamentosa
dan sebaiknya dilakukan secara bersamaan.
1) Pemberian Oksigen
Jika laring atau bronkospasme menyebabkan hipoksi, pemberian Oksigen
3 5 ltr / menit harus dilakukan. Pada keadaan yang amat ekstrim tindakan
trakeostomi atau krikotiroidektomi perlu dipertimbangkan.
2) Posisi Trendelenburg
Posisi trendeleburg atau berbaring dengan kedua tungkai diangkat
(diganjal dengan kursi ) akan membantu menaikan venous return sehingga
tekanan darah ikut meningkat.
3) Pemasangan infus.
Jika semua usaha-usaha diatas telah dilakukan tapi tekanan darah masih
tetap rendah maka pemasangan infus sebaiknya dilakukan. Cairan plasma
expander (Dextran) merupakan pilihan utama guna dapat mengisi volume
intravaskuler secepatnya. Jika cairan tersebut tak tersedia, Ringer Laktat atau
NaCl fisiologis dapat dipakai sebagai cairan pengganti. Pemberian cairan infus
sebaiknya dipertahankan sampai tekanan darah kembali optimal dan stabil.
4) Resusitasi Kardio Pulmoner (RKP)
Seandainya terjadi henti jantung (cardiac arrest) maka prosedur resusitasi
kardiopulmoner segera harus dilakukan sesuai dengan falsafah ABC dan
seterusnya. Mengingat kemungkinan terjadinya henti jantung pada suatu syok
13

anafilaksis selalu ada, maka sewajarnya ditiap ruang praktek seorang dokter
tersedia selain obat-obat emergency, perangkat infus dan cairannya juga perangkat
resusitasi(Resucitation kit ) untuk memudahkan tindakan secepatnya.
7.Pencegahan
a. Kewaspadaan
Tiap penyuntikan apapun bentuknya terutama obat-obat yang telah
dilaporkan bersifat antigen (serum, penisillin, anestesi lokal dll ) harus selalu
waspada untuk timbulnya reaksi anfilaktik.Penderita yang tergolong resiko tinggi
(ada riwayat asma, rinitis, eksim, atau penyakit-penyakit alergi lainnya) harus
lebih diwaspadai lagi. Jangan mencoba menyuntikan obat yang sama bila
sebelumnya pernah ada riwayat alergi betapapun kecilnya. Sebaiknya mengganti
dengan preparat lain yang lebih aman.
b. Test kulit
Test kulitmemang sebaiknya dilakukan secara rutin sebelum pemberian
obat bagi penderita yang dicurigai. Tindakan ini tak dapat diandalakan dan
bukannya tanpa resiko tapi minimal kita dapat terlindung dari sanksi hukum. Pada
penderita dengan resiko amat tinggi dapat dicoba dengan stracth test dengan
kewaspadaan dan persiapan yang prima.
c. Pemberian antihistamin dan kortikosteroid .
Sebagai pencegahan sebelum penyuntikan obat, juga merupakan tindakan
yang aman, selain itu hasilnyapun dapat diandalkan (Tanra, 2012).
d. Pengetahuan, keterampilan dan peralatan.
Early diagnosis dan early treatment secara lege-artis serta tersedianya obatobatan beserta perangkat resusitasi lainnya merupakan modal utama guna
mengelola syok anafilaksis yang mungkin tidak dapat dihindari dalam praktek
dunia kodokteran (Tanra, 2012).
14

B. Penisilin
Penisilin (PCN kadang-kadang disingkat atau pena) adalah sekelompok
antibiotik berasal dari jamur Penicillium. Antibiotik penisilin secara historis
penting karena mereka adalah obat pertama yang efektif melawan penyakit yang
sebelumnya serius seperti sifilis dan infeksi Staphylococcus. Penisilin masih
banyak digunakan saat ini, meskipun banyak jenis bakteri resisten sekarang.
Semua penisilin adalah Beta-laktam antibiotik dan digunakan dalam pengobatan
infeksi bakteri yang disebabkan oleh rentan, biasanya berjenis Gram-positif,
organisme. Istilah "penisilin" juga dapat merujuk pada campuran zat yang secara
alami, dan organik, diproduksi. Istilah "penam" digunakan untuk menggambarkan
kerangka inti dari anggota sebuah antibiotik penisilin. Kerangka ini memiliki
rumus molekul RC

11

S, dimana R adalah rangka samping yang

beragam. Penisilin yang normal memiliki berat molekul 313-334 g / mol (yang
terakhir untuk penisilin G). Penisilin dengan jenis kelompok molekul tambahan
yang terpasang mungkin memiliki massa molar sekitar 500 g / mol. Sebagai
contoh, kloksasilin memiliki massa molar dari 476 g / mol dan dicloxacillin
memiliki massa molar 492 g / mol. Penisilin merupakan kelompok antibiotika
Beta Laktam yang telah lama dikenal. Pada tahun 1928 di London, Alexander
Fleming menemukan antibiotika pertama yaitu Penisilin yang satu dekade
kemudian dikembangkan oleh Florey dari biakan Penicillium notatum untuk
penggunaan sistemik. Kemudian digunakan P. chrysogenum yang menghasilkan
Penisilin lebih banyak. Penisilin yang digunakan dalam pengobatan terbagi dalam
Penisilin alam dan Penisilin semisintetik. Penisilin semisintetik diperoleh dengan
cara mengubah struktur kimia Penisilin alam atau dengan cara sintesis dari inti
Penisilin. Beberapa Penisilin akan berkurang aktivitas mikrobanya dalam suasana
asam sehingga Penisilin kelompok ini harus diberikan secara parenteral. Penisilin
lain hilang aktivitasnya bila dipengaruhi enzim Betalaktamase (Penisilinase) yang
memecah cincin Betalaktam. ( Tanu, 2009)

15

1. Aktivitas dan Mekanisme Kerja Penisilin


Penisilin menghambat pembentukan Mukopeptida yang diperlukan
untuk sintesis dinding sel mikroba. Terhadap mikroba yang sensitif,
Penisilin akan menghasilkan efek bakterisid (membunuh kuman) pada
mikroba yang sedang aktif membelah. Mikroba dalam keadaan metabolik
tidak aktif (tidak membelah) praktis tidak dipengaruhi oleh Penisilin,
kalaupun

ada

pengaruhnya

hanya

bakteriostatik

(menghambat

perkembangan). Oleh karenanya penting untuk menghabiskan antibiotika


yang diresepkan dokter anda.
2. Efek Samping Penisilin
a. Reaksi hipersensitif, mulai ruam dan gatal sampai serum sickness
dan reaksi alergi sistemik yang serius.
b. Nyeri tenggorokan atau lidah, lidah terasa berbulu lembut, muntah,
diare.
c. Mudah marah, halusinasi, kejang
3. Sediaan dari Penisilin
Antibiotika golongan penisilin yang beredar di pasaran untuk penggunaan
oral adalah :
a. Amoksisilin dan campurannya (asam klavulamat)
1) Bentuk tablet atau kapsul dengan kandungan Amoksisilin 250mg,
500 mg dan 875 mg. Agar Amoksisilin tidak rusak oleh asam
lambung, Amoksisilin ada yang dikombinasi dengan asam
Klavulamat 125 mg. Untuk sediaan ini tidak boleh dibagi/diracik
karena kandungan optimum Asam Klavulamat untuk bentuk sediaan
tablet 125 mg.
16

2) Bentuk sediaan sirup dengan kandungan Amoksisilin 125 dan 250


mg / 5 ml. Bila dikombinasi dengan Asam Kavulamat, 31,25 mg
Asam Klavulamat dan 125 mg Amoksisilin atau 62,5 mg Asam
Klavulamat dan 250 mg Amoksisilin.
3) Untuk sediaan injeksi biasa dalam bentuk vial 1.000 mg, dengan
kombinasi Asam Klavulamat 200 mg.
b. Ampisilin
1) Bentuk sediaan kapsul atau tablet dengan kandungan 250 mg, 500
mg atau 1000 mg.
2)Bentuk sediaan sirup dengan kandungan 125 mg atau 250 mg/5 ml
sirup.
3) Untuk sediaan injeksi biasa dalam bentuk vial dengan kandungan
200 mg, 500 mg dan 1.000 mg Ampisilin. Dan ada kombinasi 1.000
mg Ampisilin dan 500 mg Sulbactam atau 500 mg Ampisilin dan
250 mg Sulbactam
c.Flucloxacilin
Di pasaran terdapat dalam bentuk kapsul dengan kandungan 250
mg dan 500 mg zat aktif juga dalam bentuk sirup dengan kandungan zat
aktif 125 mg / 5 ml.
d.Cloxacilin
Di pasaran terdapat dalam bentuk kapsul dengan kandungan 250
mg dan 500 mg zat aktif juga dalam bentuk vial dengan kandungan zat
aktif 250 mg, 500 mg dan 1.000 mg /vial.

17

4. Penggunaan Klinik
a.Infeksi kuman gram positif
Kuman dalam bentuk kokus seperti Pneumonia, Meningitis,
Endokarditis, Otitis Media akut dan Mastoiditis, juga infeksi
Stafilokokus. Kuman dalam bentuk batang seperti Difteria, Klostridia,
Antraks, Listeria, Erisipeloid.
b.Infeksi kuman gram negatif
Kuman dalam bentuk kokus seperti infeksi Meningokokus,
Gonore, infeksi Gonokokus di ekstragenital, juga Sifilis. Kuman dalam
bentuk batang seperti pada infeksi Salmonella dan Shigelia,
Haemophilus influenzae, P. multocida.
5. Hal yang perlu diperhatikan sewaktu menggunakan antibiotika
Penisilin :
a. Amati tanda-tanda alergi Penisilin, seperti ruam atau gatal, yang timbul
dalam waktu 20 menit (atau setelah beberapa hari). Waspadalah terutama
bila terjadi kesulitan bernafas, rasa tercekik, pusing, cemas, lemah, dan
berkeringat. Laporkan segera pada dokter gejala-gejala tersebut.
b. Minumlah semua obat anda, walaupun anda sudah merasa sembuh,
menghentikan pengobatan lebih awal dapat menyebabkan kekambuhan.
c. Jika anda lupa minum obat satu dosis, minumlah segera mungkin. Lalu
jarak minum dosis obat yang tersisa pada hari itu diperpendek semuanya
untuk memperbaiki dosis yang terlupa. Penisilin bekerja efektif bila kadar
Penisilin dalam tubuh anda tetap.
d. Hindari makanan yang asam (jeruk asam, vitamin c) yang akan
mengurangi keefektifan Penisilin.

18

e. Hubungi dokter anda jika gejala-gejala penyakit anda tidak membaik


dalam waktu beberapa hari setelah menggunakan Penisilin. ( Tanu, 2009)
C. Adrenalin
Adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama untuk mengobati
syok anafilaksis. Obat ini berpengaruh untuk meningkatkan tekanan
darah, menyempitkan pembuluh darah, melebarkan bronkus dan
meningkatkan aktivitas otot jantung. Adrenalin bekerja sebagai
penghambat pelepasan histamine dan mediator lain yang poten.
Mekanismenya adalah adrenalin meningkatkan siklik AMP dalam sel
mast dan basofil sehingga menghambat terjadinya degranulasi serta
pelepasan histamine dan mediator lainnya. Selain itu adrenalin
mempunyai kemampuan memperbaiki kontraktilitas otot jantung, tonus
pembuluh darah perifer dan otot polos bronkus. Adrenalin selalu akan
dapat menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu
denyut dan kontraksi jantung sehingga menimbulkan tekanan darah naik
seketika dan berakhir dalam waktu pendek (Aprilisyawati, 2009).
Cara pemberian adrenalin dalam menangani syok anafilaktik yaitu:
1.

Adrenalin subcutan
Absorbsi lambat namun konstan karena terjadi vasokonstriksi pada
jaringan sekitar, sehingga perlu dilakukan pemijatan.

2.

Adrenalin Intramuscular
Pemberian secara intramuskuler merupakan pilihan pertama dari
cara pemberian adrenalin pada penatalaksanaan syok anafilaktik.
Adrenalin

memiliki

onset

yang

cepat

setelah

pemberian

intramuskuler dan pada pasien dalam keadaan syok, absorbsi


intramuskuler lebihg cepat dan lebih baik dari pada pemberian
subkutan. Pasien dengan alergi berat dianjurkan untuk pemberian
sendiri injeksi intramuskuler adrenalin. Volume injeksi adrenalin
1:1000 (1mg/ml) untuk injeksi intramuskuler pada syok anafilaksis.
19

3.

Adrenalin Intravena

Pada saat pasien tampak sangat kesakitan dan benar-benar diragukan


kemampuan sirkulasi dan absorbsi injeksi intramuskuler, adrenalin
mungkin diberikan dalam injeksi intravena lambat dengan dosis 500mcg
(5ml dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) diberikan dengan
kecepatan

100

mcg/menit

dan

dihentikan

jika

respon

dapat

dipertahankan. Pada anak-anak dapat diberi dosis 10mcg/kgBB


(0,1ml/kgBB dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000 dengan injeksi
intravena lambat selama beberapa menit.
D. Vena Seksi
1. Definisi
Vena seksi merupakan prosedur pembedahan gawat darurat untuk
mendapatkan akses pembuluh darah vena pada resusitasi penderita syok
hipovolemik.
2. Ruang lingkup
Syok merupakan keadaan dimana terdapat ketidak normalan dari
sistem peredaran darah yang mengakibatkan perfusi organ dan oksigenasi
jaringan yang tidak adekuat. Salah satu jenis keadaan syok ini adalah syok
hipovolemik, dimana penyebabnya bisa karena perdarahan atau bukan
perdarahan. Penanganan pertama dari keadaan syok hipovolemik adalah
resusitasi cairan baik peroral, enteral maupun perenteral. Perenteral disini
meliputi pembedahan dan non pembedahan. Dalam kaitan penegakan
diagnosa dan pengobatan, diperlukan beberapa disiplin ilmu terkait antara lain
patologi klinik, dan radiologi.
3.Indikasi operasi
Penderita syok hipovolemik yang dengan cara non pembedahan
(perkutaneus) tidak bisa didapatkan akses vena untuk resusitasi cairan.

20

4.Tehnik Operasi
a. Siapkan kulit pergelangan kaki dengan larutan antiseptik dan tutup
daerah lapangan operasi dengan duk steril atau bisa juga daerah
femoral atau di lengan penderita.
b. Lakukan anestesi infiltrasi pada kulit dengan lidokain 0.5%.
c. Insisi kulit melintang setebalnya dibuat di daerah anestesia sepanjang 2.5
cm.
d. Diseksi tumpul, dengan menggunakan klem hemostat yang lengkung, vena
diidentifikasi dan dipotong dan dibebaskan dari semua jaringan disekitarnya.
e. Angkat dan diseksi vena tsb sepanjang kira-kira 2cm untuk melepaskannya
dari dasar.
f. Ikat vena bagian distal, dan mobilisasi vena, tinggalkan jahitan di tempat
untuk ditarik (traction).
g. Pasang pengikat keliling pembuluhnya, arah cephalad
h. Buat venotomi yang kecil melintang dan dilatasi perlahan-lahan dengan ujung
klem hemostat yang ditutup.
i. Masukkan kanul plastik melalui venotomi dan ikat dengan hgasi proksimal
keliling pembuluh dan kanul. Kanul harus dimasukkan dengan panjang yang
cukup untuk mencegah terlepas.
j. Sambung pipa intravena dengan kanul dan tutuplah insisinya dengan jahitan
interupsi.
k. Pasang pembalut steril dengan salep antibiotik topikal.

5.Komplikasi Operasi
Komplikasi yang terjadi adalah perdarahan. Hal ini dapat diatasi
dengan penggunaan bebat tekan. Komplikasi lain adalah infeksi baik flebitis
maupun selulitis, untuk menanganinya cabut kateter, kompres hangat, serta
elevasikan tungkai, serta berikan antibiotik jika perlu. Komplikasi lain adalah

21

hematoma, trombose pembuluh, robekan syaraf serta arteri. (Shock 1997;


Schwartz 1985; Chen 2000)
Jump IV
Menginventarisasi permasalahan-permasalahan dan membuat pernyataan
secara sistematis dan pernyataan sementara mengenai permasalahanpermasalahan pada langkah 3.
PETA KONSEP
Sistem Respirasi

Mekanisme Kegawatan Syok


Anafilaksis

Sistem Kardiovaskuler
Sistem Gastrointestinal
Sistem Integumentum

Pasien

Sistem Muskuloskeletal

Pertolongan Pertama

Pasien Gawat Darurat

Dasar Penilaian Klinis


Berdasarkan Gejala

Dasar Penilaian Pasien


Gawat Darurat

22

Dasar Penanganan
Pasien Gawat Darurat

Jump V
Merumuskan tujuan pembelajaran
1.

Mampu menjelaskan mekanisme terjadinya syok anafilaksis

2.

Mampu

menjelaskan mekanisme terjadinya kegawatdaruratan

masing masing sistem.


3.

Mampu

menjelaskan prinsip dasar penanganan pasien gawat

darurat
4.

Mengetahui dasar pengelolaan dan penilaian pasien gawat darurat

5.

Mampu menjelaskan farmakologi dan penggunaan obat obat


kedaruratan.

6.

Mampu menjelaskan tindakan etik dan medikolegal pada kasus


kasus kedaruratan medik

Jump VI
Mengumpulkan informasi baru (belajar mandiri)

Jump VII
Melaporkan, membahas, dan menata kemabali informasi baru yang telah
diperoleh
Seorang pasien laki-laki usia 20 tahun

datang dengan keluhan nyeri

tenggorokan sejak 5 hari yang lalu, didiagnosa radang tenggorok akut. Tenggorok
23

(faring) merupakan auatu ruangan muskulomembranosa di belakang rongga


hidung, mulut, dan laring. Radang tenggorok akut (faringitis akut) banyak
disebabkan oleh bakteri seperti Streptococcus beta hemolyticus, Streptococcus
viridians, dan Streptococcus pyogens. Keadaan ini terjadi apabila terdapat kuman
yang menginfiltrasi lapisan epitel faring, kemudian jika epitel terkikis maka
jaringan limfoid superficial beraksi, terjadilah pembendungan radang dengan
infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Nyeri tenggorok, seperti yang dikeluhkan
pasien dalam skenario, merupakan salah satu manifestasi klinis faringitis akut.
Gejala lain yang timbul antara lain suhu tubuh naik, lesu, odinofagia, dan
anoreksia.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan faring tampak hiperemis dan

tekadang terdapat pembengkakan tonsil. Penatalaksanaan yang diberikan meliputi


pemberian

antibiotic golongan penicillin selama 5 hari, ditambah dengan

antipiretik sebagai terapi simptomatik. Penisilin merupakan antibiotic golongan


betalaktam yang memiliki mekanisme kerja menghambat sintesis mukopeptida
yang diperlukan bakteri untuk pembentukan dinding sel. Di sisi lain, penisilin
juga mempunyai efek samping yang melibatkan berbagai organ pada semua cara
pemberian. Reaksi alergi adalah merupakan bentuk efek samping yang tersering
dijumpai pada golongan penicillin. Oleh karena itu, pengobatan faringitis akut
pada pasien dengan alergi peniclin dapat diganti dengan eritomycin atau
klindamisin. Tingginya angka kejadian alergi penicillin juga harus menjadi
perhatian bagi setiap tenaga kesehatan dalam memberikan terapi penicillin pada
pasien, apalagi pemberian secara intravena, seperti yang terjadi pada pasien dalam
skenario yang mendapat terapi antibiotika injeksi golongan penicillin yang
dilakukan oleh perawat atas perintah dokter. Injeksi tersebut diduga menjadi
penyebab terjadinya reaksi anafilaksis yang ditandai dengan gejala-gejala yang
timbul pada skenario.
Pada skenario, 10 menit kemudian penderita mengeluh mual, kemudian
muntah, sesak nafas, keringat dingin, kemudian jatuh. Selain itu dari hasil
pemeriksaan didapatkan kesadaran sopor, nafas sesak, tekanan darah 60 mmHg,
dan denyut nadi meningkat. Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa pasien

24

mangalami syok anafilaksis akibat pemberian injeksi penicillin. Diagnosis


anafilaksis dapat ditegakkan jika didapatkan satu dari tiga kriteria klinis berikut:
(1) Gejala-gejala akut pada kulit, mukosa, atau keduanya, dan sedikitnya
diikuti salah satu gangguan respirasi, hipotensi, atau end-organ
dysfunction.
(2) Dua atau lebih gejala berikut terjadi segera setelah terpapar antigen:
hipotensi, gangguan respirasi, gejala traktus gastrointestinal menetap, atau
keterlibatan kulit / mukosa.
(3)

Hipotensi yang terjadi setelah paparan alergen yang diketahui


menyebabkan gejala-gejala pada pasien tersebut: tekanan darah rendah usia khusus (age-specific) / berkurangnya tekanan darah sistolik lebih dari
30 persen rata-rata.

Apabila dilihat dari derajat beratnya reaksi hipersensitivitas, pasien sudah


mengalami reaksi hipersensitivitas derajat berat.
Peristiwa yang terjadi pada pasien karena histamin, bradikinin, dan PAF
menyebabkan kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi.
Bronkokonstriksi, bronkospasme dan edema laring dapat menyebabkan saluran
nafas tersumbat yang ditandai dengan timbulnya sesak nafas dan pasien bersuara
nafas ngorok. Pada sistem vaskular histamin menyebabkan dilatasi venula kecil,
sedangkan pada pembuluh darah yang lebih besar menyebabkan konstriksi karena
kontraksi otot polos. Histamin, bradikinin, PAF serta prostaglandin A dan F
meninggikan permeabilitas kapiler dan venula pasca kapiler. Perubahan vaskular
ini menyebabkan aliran darah balik vena menurun sehingga dapat menurunkan
cardiac output dan menyebabkan keadaan hipovolemi. Keadaan hipovolemi pada
pembuluh darah menyebabkan pasokan darah ke otak menurun sehingga
menyebabkan pasien mengalami penurunan kesadaran. Kompensasi dari keadaan
ini adalah terjadinya peningkatan laju pernafasan serta denyutan nadi (takikardi).
Pasien dalam skenario ini mengalami mual dan muntah akibat efek
histamin pada reseptor H2 di sel parietal mukosa lambung. Efek histamin adalah

25

meninggikan sekresi mukosa lambung, dan bila pelepasan histamin terjadi


sistemik maka aktivitas polos usus dapat meningkat. Meningkatnya pengeluaran
histamin juga dapat merangsang pusat mual muntah sehingga sinyal syaraf akan
diteruskan ke nervus spinalis, nervus frenikus dan nervus vagus, hal ini akan
merangsang otot dinding abdomen,diafragma dan lambung serta esofagus untuk
menimbulkan reaksi mual muntah . Keringat dingin yang dialami oleh pasien
akibat volume darah yang turun sehingga menyebabkan tekanan darah arteri
turun, hal ini akan merangsang baroreseptor di sinus caroticus, arcus aorta dan
reseptor regangan vaskuler. Respon dari baroreseptor adalah menstimulus sistem
syaraf simpatis sehingga merangsang kelenjar medulla adrenal untuk menyekresi
epinefrin dan nor epinefrin sehingga terjadi vasokontriksi arteriol, hal ini
menyebabkan aliran darah ke perifer berkurang. Gejala klinis yang timbul pada
syok anafilaksis akibat pemberian secara injeksi dapat terjadi dalam 5 sampai 30
menit dari saat antigen diinjeksikan atau dalam hitungan detik. Sedangkan pada
pemberian oral, gejala klinis dapat timbul dalam beberapa menit sampai 2 jam,
dan pada respon lambat dapat terjadi dalam beberapa jam sampai beberapa hari.
Semakin cepat timbul gejala anafilaksis maka semakin parah kerusakan organ
yang ditimbulkan.
Dalam skenario dokter segera melakukan resusitasi dan merujuk pasien ke
UGD. Penanganan yang tepat harus segera dilakukan untuk mencegah komplikasi
yang lebih lanjut. Penatalaksaan syok anafilaksis terbagi menjadi tiga yaitu yang
bersifat segera, suportif, dan lanjutan. Penanganan segera antara lain penilaian
airway (jalan nafas), breathing (pernapasan), dan circulation (sirkulasi). Apabila
pasien tidak benapas atau bernapas tetapi tidak adekuat maka diperlukan bantuan
napas. Pemberian adrenalin 0,3-0,5 mg/kgBB secara subkutan, intramuskular,
atau intravena tergantung tingkat keparahan syok. Pemberian adrenalin dapat
diulang setiap 5-10 menit. Selain itu juga diberikan aminofilin sebagai
bronkodilator dan memperpanjang efek adrenalin. Infus yang diberikan dapat
berupa koloid. Terapi suportif yang diberikan berupa pemberian kortikosteroid,
antihistamin, nebulizer. Selain itu juga observasi minimal 4 jam dan menjaga

26

keseimbangan cairan elektrolit. Terapi lanjutan yang dilakukan adalah merujuk


pasien dan mencegah kejadian ulang. Rujukan dilakukan apabila pasien sudah
dalam keadaan stabil dan selama proses transportasi, pasien harus tetap dalam
pengawasan medis.

27

BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
1. Pasien mengalami syok anafilaksis karena alergi terhadap antibiotik
Penicillin.
2. Anamnesis dan skin prick test dapat memperkecil kemungkinan pasien
alergi terhadap obat yang akan diberikan dokter.
3. Informed

consent

serta

obat-obatan

yang

digunakan

sebagai

penatalaksanaan syok anafilaksis harus tersedia saat memberikan injeksi


obat yang dapat menyebabkan reaksi alergi.
4. Penanganan pada pasien harus segera dilaksanakan dengan cepat dan
tepat sesuai dengan prosedur penatalaksanaan
5. Dokter harus mengatasi keadaan syok dan merujuk pasien ketika sudah
stabil.
B. SARAN
1.

Syok anafilaksis dapat disebabkan oleh alergi obat, maka dokter


sebaiknya berhati-hati pada saat memberikan terapi obat-obatan.

2.

Dokter harus berkompetensi dalam menangani kasus syok anafilaksis


yang mungkinakan dijumpai pada saat mengobati pasien.

3.

Mahasiswa diharapkan mampu menguasai prosedur penatalaksanaan


syok anafilaksis dengan tepat.

28

DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Allergy, Asthma & Immunology (2009). Treatment of
Anaphylaxis, Preparedness and Prevention.
http://www.aaaai.org/professionals/treatment_anaphylaxis.pdf. (06 Mei
2012)
Apilistyawati, Anastasia (2009). Penggunaan Adrenalin dalam Pengobatan
Anafilaksis.

http://yosefw.wordpress.com/2009/03/19/penggunaan-

adrenalin-dalam-pengobatan-anafilaksis/. (06 Mei 2012)


Chen (2000). Manual Of Common Bedside Surgical Procedures 2nd Edition..
Lippincot William & Wilkins, Baltimore
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (2007). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta: Pusat penerbitan Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Schwartz SI (1985). Hemostasis, Surgical Bleeding And Transfusion. In:
Schwartz S (ed): Principle of Surgery, 5* edition. New York. McGra Hill.

Shock (1997). Advanced Trauma Life Support Student Course Manual 6th Edition.
Chicago : American College of Surgeons.

Tanra Husni (2012). Patofisiologi dan Penatalaksanaan Syok Anafilaksik.


Universitas Hasanuddin-Makassar
Tanu I (2009). Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
29

Tomaszewski CA (2001). Anaphylaxis and Acute Allergic Reaction. Dalam :


Cline, D.M. et al. Emergency Medicine : A comprehensive Study Guide,
Companion handbook. Europe : McGraw-hill education.
Working Group of the Resuscitation Council (UK) (2008). Emergency Treatment
of Anaphylactic Reactions. http://www.resus.org.uk/pages/reaction.pdf.
(06 Mei 2012)

30

Anda mungkin juga menyukai