Anda di halaman 1dari 8

Dampak Tingkat Suku Bunga 'Overvalued'

Ketakutan bahwa tingkat suku bunga yang lebih rendah lagi akan menimbulkan
capital flight sangatlah tidak beralasan. Dengan model Hamilton yang dikontrol
inflation-indexed treasury yield spreads memperlihatkan capital flight justru
bersifat kebalikannya alias terjadi capital inflow dengan implied probability
sebesar 60% akibat perbaikan earning di dalam negeri yang terjangkar oleh
besarnya rasio price earning pasar regional dan global dan tergerusnya nilai dolar.
Simulasi penurunan tingkat suku bunga berdampak positif bagi balance of
payment karena surplus terbesar tetap pada current account. Konsekuensinya,
kinerja selama 2007 diperkirakan akan lebih baik dari asumsi BI rate yang sebesar
8,5%. Surplus NPI mengalami peningkatan lebih tinggi jika dibandingkan dengan
kondisi jika BI rate tak diturunkan. Perbaikan tersebut terutama ditopang lebih
tingginya surplus current account kalau dibandingkan dengan kondisi penetapan
BI rate yang kemahalan. Dengan realisasi NPI yang lebih baik daripada perkiraan
tersebut, cadangan devisa sampai akhir 2007 justru berpotensi untuk terus
meningkat seiring dengan naiknya harga komoditas dunia yang menimbulkan efek
Hicksian. Jelas bahwa penetapan pajak ekspor oleh pemerintah justru berpengaruh
positif bagi penerimaan kas pemerintah dan cadangan devisa. Logikanya, lebih
baik mengekspor pada harga ekspor yang lebih tinggi ketimbang harga saat ini
yang secara relatif lebih murah selain efektif menekan inflasi dari sisi nontraded
goods di dalam negeri akibat tekanan Ducth Diseases yang mematikan daya saing
traded goods. Sementara itu, dukungan interest rate differential masih positif 425
bps hingga Januari 2008 berdasarkan futures market expectation dengan model
Taylor. Dengan skenario tingkat suku bunga domestik yang lebih rendah, nilai
tukar rupiah pada akhir 2007 akan cenderung stabil pada kisaran 9.000–9.300 per
dolar AS. Berarti tidak berbeda jauh dengan kondisi akhir kuartal pertama 2007,
saat nilai tukar rupiah secara rata-rata mencapai Rp9.101 per dolar AS, atau
terapresiasi 0,34% dari triwulan sebelumnya sebesar Rp9.132 per dolar AS.
Artinya stabilitas makroekonomi seiring dengan stabilitas nilai tukar rupiah.

Perlu diantisipasi
Milton Friedman mengatakan kenaikan harga minyak tidak akan berdampak pada
harga relatif apalagi dalam kondisi longrun. Data perekonomian Indonesia juga
membuktikan pencabutan subsidi BBM yang terakhir lalu ternyata juga kemudian
diikuti kondisi deflasi. Perlu diingat bahwa teori moneter mana pun mengatakan
downward sloping dari kurva Phillips hanya terjadi dalam jangka pendek! Apalagi
potensial output perekonomian Indonesia terkendala oleh pasar tenaga kerja
sektor informal sehingga informasi harga yang tercipta cenderung bersifat kuasi
dari natural rate of unemployment. Perubahan harga relatif hanya mungkin jika
perekonomian dunia mengalami perubahan struktur harga yang signifikan.
Sebagai small open economy, perekonomian Indonesia bukanlah penentu inflasi
dunia, tetapi sebaliknya yang terjadi. Krisis yang seharusnya diantisipasi Bank
Indonesia adalah krisis bank sentral dunia akibat subprime market yang tidak
sustainable di Amerika Serikat dan output gap domestic yang menganga lebar
dengan disguised unemployment. Krisis likuiditas global mengancam
kebangkrutan perekonomian global harus diantisipasi secepatnya.
Konsekuensinya akan terjadi overhang pada likuiditas global yang pada
gilirannya membentuk teknologi produksi Leontief di dalam negeri yang semakin
mapan sehingga output gap semakin membesar. Karena itu, imbal balik dari
obligasi pemerintah dunia jangka panjang yang terus turun seharusnya dijadikan
pedoman ekspektasi kebijakan moneter di Indonesia untuk menyelamatkan pasar
likuiditas, selain untuk menciptakan Slutzky effect yang meningkatkan efek
pendapatan dan substitusi di dalam negeri secara positif. Ketakutan dalam
mengikuti tren global di tengah risiko krisis likuiditas sangatlah tidak berasalan.
BI tampaknya mengikuti aliran Rogoff (1985) berupa model 'conservative'
central banker yang sudah tak sesuai dengan bukti empirik. Yang dikhawatirkan
justru akan menimbulkan generic problem kredibilitas dari otoritas moneter yang
menambah dahsyatnya efek destabilitas akibat kelangkaan likuiditas pasar
finansial dunia sebagai konsekuensi dari besarnya pengaruh kebijakan moneter
terhadap pasar aset yang semakin menguat. Buktinya, pasar saham dunia kembali
terkoreksi ketika Citigroup merugi akibat subprime credit setelah sebelumnya
juga terkoreksi akibat kerugian Merrill Lynch, padahal Fed fund rate sudah
diturunkan menjadi 4,5%. Di sini Teori rate x-nya Lucas kembali terbukti efektif.
Artinya, pasar dunia masih mengharap agar cost of capital semakin rendah lagi
karena problem utama perekonomian dunia adalah krisis likuiditas. Inflation
targeting framework yang diterapkan Bank Indonesia terbukti tidak tepat karena
ekspektasi inflasi dibentuk Bank Indonesia dan bukan ekspektasi pasar itu sendiri
yang tak lepas dari pengaruh globalisasi. Ekspektasi inflasi dan tingkat suku
bunga yang diterapkan Bank Indonesia akan menciptakan distorsi dalam
perekonomian Indonesia. Akibatnya, akan timbul biaya penyesuaian yang lebih
mahal dengan sektor perekonomian berpotensi terancam oleh mismatch antara
target tingkat suku bunga semu dan perangkap deflationary. Hal itu dapat terjadi
karena kebijakan BI bersifat decoupling dengan kondisi imbalances di pasar
dunia. Akibatnya, pasar nilai tukar rupiah dan pasar SUN (dan SBI) akan
mengalami reaksi destabilisasi divergence yang signifikan akibat
ketidakseimbangan pasar reserve yang menimbulkan shadow price dari cost of
capital yang semakin mahal yang mungkin memerlukan waktu tahunan untuk
mencapai kondisi equilibrium convergence karena tak didukung pergerakan
spread imbal hasil dari instrumen dari tenor di dalam negeri yang beragam dalam
mempengaruhi velocity of money bertenor nol. Dampaknya akan semakin fatal
jika disertai pencabutan subsidi BBM sebesar Rp90 triliun. Padahal proyeksi
variabel makroekonomi dengan kombinasi model metaproduction function dan
Montecarlo memperlihatkan penurunan BI rate memberikan tambahan
penerimaan negara yang dapat menutupi nilai subsidi BBM tersebut. Implikasi
kebijakan publiknya adalah tingkat suku bunga yang rendah memberikan superior
consumption-smoothing power dari loan berbasis rupiah. Artinya BI justru
memaksimumkan fungsi quadratic loss yang seharusnya diminimalkan bank
sentral yang pada gilirannya menyebabkan kontraksi dari production possibility
frontier alias menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah daripada yang
seharusnya terjadi. Risikonya, inflasi yang kemahalan yang dibentuk ekspektasi
Bank Indonesia cenderung menciptakan proses produksi dengan teknologi
Leontief yang bersifat decreasing return to scale sesuai dengan teori siklus bisnis
yang ditemukan Prescott (1986), yakni kebijakan moneter justru akan menjadi
semakin tidak efektif!
A Deni Daruri
Dampak Tingkat Suku Bunga yang Overvalued
Center For Bangking Crisis--BI rate kembali dipertahankan pada level 8,25 persen
pada awal November ini membuktikan bahwa BI tak memperhitungkan
ekspektasi riil berdasarkan cost function yang well behaved dengan naiknya harga
minyak dunia. Tingkat suku bunga merupakan cost of capital yang pada
gilirannya mendorong marginal cost menjadi lebih mahal. Sementara itu ekonomi
biaya tinggi bukan hanya berdampak pada mahalnya marginal cost tetapi juga
mark up yang berujung pada harga-harga yang lebih mahal.
BI rate kembali dipertahankan pada level 8,25 persen pada awal November ini
membuktikan bahwa BI tak memperhitungkan ekspektasi riil berdasarkan cost
function yang well behaved dengan naiknya harga minyak dunia. Tingkat suku
bunga merupakan cost of capital yang pada gilirannya mendorong marginal cost
menjadi lebih mahal. Sementara itu ekonomi biaya tinggi bukan hanya berdampak
pada mahalnya marginal cost tetapi juga mark up yang berujung pada harga-harga
yang lebih mahal.
David Hume dalam esainya yang terkenal ”of money” mengatakan "It is easy to
trace the money in its progress through the whole commonwealth; where we shall
find that it must first quicken the diligence of every individual, before it increases
the price of labour." Bahkan Milton Friedman dan Robert Lucas juga ikut
memujinya karena inilah esensi dari ilmu moneter. Dalam konteks perekonomian
Indonesia yang masih terperangkap dalam wages rigidity dan kekakuan kartel
harga pasar output yang membelenggu harga output maka relevansi penerapan
tingkat suku bunga yang overshooting justru dapat menciptakan imbalances pada
keseimbangan makroekonomi jangka panjang seiring dengan hilangnya netralitas
uang sebagaimana yang terlihat dalam bukti empirik. Dengan melihat
perkembangan pasar uang internasional dalam Implied One-Year Forward Rates,
3-Month Eurodollar Futures dan Federal Funds Futures Contracts yang masing-
masing nilainya dikontrol oleh middle swap rate rupiah terhadap dolar dan euro
maka dapat dilihat perkembangan tingkat suku bunga yang rasional melalui Taylor
rule dengan membuka potensial Produk Domestik Bruto dengan pendekatan open
economy sehingga dampak outsourcing antar negara dapat segera tergambarkan
secara nyata.

Fed fund rate yang bulan Oktober ditetapkan sebagai target Fed sebesar 4,50
persen berdasarkan data 4 November 2007 akan menjadi 4 persen pada bulan
Januari 2008 nantinya. Dari pendekatan ini terlihat bahwa tingkat suku bunga di
Indonesia selama bulan Oktober dan awal November tahun 2007 ini telah
overshooting sebesar 300 bps. Artinya tingkat BI rate sebesar 8,25 persen
berpotensi menimbulkan kontraksi aggregat demand dalam jangka pendek dan
menengah dimana output gap cenderung tak terkontrol dengan implied probability
yang siknifikan akibat tekanan economic shock dari harga minyak. Negatif riil
interest rate yang ditakutkan oleh Bank Indonesia tidak akan tercipta seiring
dengan elastisnya downward-sloping Phillips curve dunia yang sesuai dengan
Shepard Lemma. Rogoff dari IMF yang mengatakan bahwa slope kurva tersebut
bersifat inelastic tampaknya tak mendapat banyak dukungan. Lebih dari itu, BI
tampaknya terlalu dipengaruhi oleh novel The World is Flat karya Thomas
Friedman dan bukan teori moneternya Milton Friedman!

Ketakutan bahwa tingkat suku bunga yang lebih rendah lagi akan menimbulkan
capital flight sangatlah tidak beralasan. Dengan model Hamilton yang dikontrol
oleh Inflation-Indexed Treasury Yield Spreads memperlihatkan bahwa capital
flight justru bersifat kebalikannya alias terjadi capital inflow dengan implied
probability sebesar 60 persen akibat perbaikan earning di dalam negeri yang
terjangkar oleh besarnya rasio Price Earning pasar regional dan global dan
tergerusnya nilai dolar. Artinya price discovery harga asset negara sedang
berkembang masih memiliki ruang. Apalagi, harga saham di India jauh lebih
mahal jika dibandingkan dengan harga saham di negara manapun termasuk di
Indonesia. Simulasi penurunan tingkat suku bunga berdampak positif bagi
balance of payment karena surplus terbesar tetap pada current account. Hal ini
juga sesuai dengan simulasi model IS-LM dengan kombinasi teori permanent
income hyphotesis yang terbukti menurunkan output gap. Konsekuensinya,
kinerja selama 2007 diperkirakan akan lebih baik dari asumsi BI rate yang sebesar
8,5 persen. Surplus NPI mengalami peningkatan yang lebih tinggi dibandingkan
kondisi jika dengan BI rate tak diturunkan. Perbaikan tersebut terutama ditopang
oleh lebih tingginya surplus current account dibandingkan kondisi penetapan BI
rate yang kemahalan. Dengan realisasi NPI yang lebih baik dari perkiraan
tersebut, cadangan devisa sampai akhir 2007 justru berpotensi untuk terus
meningkat seiring dengan naiknya harga komoditas dunia yang menimbulkan efek
Hicksian. Jelas bahwa penetapan pajak ekspor oleh pemerintah justru berpengaruh
positif bagi penerimaan kas pemerintah dan cadangan devisa. Logikanya, lebih
baik mengekspor pada harga ekspor yang lebih tinggi ketimbang harga saat ini
yang secara relative lebih murah selain efektif menekan inflasi dari sisi non traded
goods di dalam negeri akibat tekanan Ducth Diseases yang mematikan daya saing
traded goods.

Sementara dukungan interest rate differential masih positif 425 bps hingga Januari
2008 berdasarkan futures market expectation dengan model Taylor. Dengan
scenario tingkat suku bunga domestic yang lebih rendah, nilai tukar rupiah pada
akhir 2007 akan cenderung stabil pada kisaran IDR 9000 – 9300 per dolar. Berarti
tidak berbeda jauh dengan kondisi akhir kuartal pertama 2007, dimana nilai tukar
rupiah secara rata-rata mencapai Rp9.101 per USD, atau terapresiasi 0,34% dari
triwulan sebelumnya sebesar Rp9.132 per USD. Artinya stabilitas makroekonomi
seiring dengan stabilitas nilai tukar rupiah.
Milton Friedman mengatakan bahwa kenaikan harga minyak tidak akan
berdampak pada harga relative apalagi dalam kondisi longrun. Data perekonomian
Indonesia juga membuktikan bahwa pencabutan subsidi BBM yang terakhir lalu
ternyata juga kemudian diikuti oleh kondisi deflasi. Perlu diingat bahwa
berdasarkan teori moneter manapun mengatakan downward sloping dari kurva
Phillips hanya terjadi dalam jangka pendek! Apalagi potensial output
perekonomian Indonesia terkendala oleh pasar tenaga kerja sector informal
sehingga informasi harga yang tercipta cenderung bersifat quasi dari natural rate
of unemployment. Perubahan harga relative hanya mungkin jika perekonomian
dunia mengalami perubahan struktur harga yang siknifikan. Sebagai small open
economy maka perekonomian Indonesia bukanlah penentu inflasi dunia, namun
sebaliknya yang terjadi.

Dengan pengaruh kontribusi biaya energi per Produk Domestik Bruto negara maju
seperti Amerika Serikat yang mengecil maka dipastikan pengaruhnya tak
berdampak serius seperti periode tahun 1980-an yang lalu. Krisis yang seharusnya
diantisipasi oleh Bank Indonesia adalah krisis bank sentral dunia akibat subprime
market yang tidak sustainable di Amerika Serikat dan output gap domestic yang
menganga lebar dengan disguised unemployment. Kisis likuiditas global
mengancam kebangkrutan perekonomian global harus diantisipasi secepatnya.
Konsekuensinya akan terjadi overhang pada likuditas global yang pada gilirannya
membentuk teknologi produksi Leontief di dalam negeri yang semakin mapan
sehingga output gap semakin membesar. Karena itu, imbal balik dari obligasi
pemerintah dunia jangka panjang yang terus turun seharusnya dijadikan pedoman
ekspektasi kebijakan moneter di Indonesia untuk menyelamatkan pasar likuiditas,
selain untuk menciptakan Slutzky effect yang meningkatkan efek pendapatan dan
substitusi di dalam negeri secara positif. Ketakutan dalam mengikuti trend global
ditengah resiko krisis likuiditas sangatlah tidak berasalan. BI tampaknya
mengikuti aliran Rogoff (1985) berupa model “conservative” central banker yang
sudah tak sesuai dengan bukti empirik.

Yang dikhawatirkan justru akan menimbulkan generic problemkredibilitas dari


otoritas moneter yang menambah dahsyatnya efek destabilitas akibat kelangkaan
likuditas pasar financial dunia sebagai konsekuensi dari besarnya pengaruh
kebijakan moneter terhadap pasar asset yang semakin menguat(Bernanke &
Kuttner (2005). Buktinya, pasar saham dunia kembali terkoreksi ketika Citigroup
mengalami kerugian akibat subprime credit setelah sebelumnya juga terkoresi
akibat kerugian Merrill Lynch, padahal fed fund rate sudah diturunkan menjadi
4,5 persen. Di sini Teori Ratex-nya Lucas kembali terbukti efektif. Artinya, pasar
dunia masih mengharap agar cost of capital semakin rendah lagi karena problem
utama perekonomian dunia adalah krisis likuiditas. Inflation targeting framework
yang diterapkan oleh Bank Indonesia terbukti tidak tepat karena ekspektasi inflasi
dibentuk oleh Bank Indonesia dan bukan ekspektasi pasar itu sendiri yang tak
lepas dari pengaruh globalisasi. Ekspektasi inflasi dan tingkat suku bunga yang
diterapkan oleh Bank Indonesia akan menciptakan distorsi dalam perekonomian
Indonesia, akibatnya akan timbul biaya penyesuaian yang lebih mahal dimana
sector perekonomian berpotensi terancam mismatch antara target tingkat suku
bunga semu dan perangkap deflationary. Hal itu dapat terjadi karena kebijakan BI
bersifat decoupling dengan kondisi imbalances di pasar dunia. Akibatnya, pasar
nilai tukar rupiah dan pasar SUN (dan SBI) akan mengalami reaksi destabilisasi
divergence yang siknifikan akibat ketidakseimbangan pasar reserve yang
menimbulkan shadow price dari cost of capital yang semakin mahal yang
mungkin memerlukan waktu tahunan untuk mencapai kondisi equilibrium
convergence karena tak didukung oleh pergerakan spread imbal hasil dari
instrument dari tenor di dalam negeri yang beragam dalam mempengaruhi
velocity of money bertenor nol.

Dampaknya akan semakin fatal jika disertai pencabutan subsidi BBM sebesar 90
triliun rupiah. Padahal proyeksi variable makroekonomi dengan kombinasi model
meta production function dan Montecarlo memperlihatkan penurunan BI rate
memberikan tambahan penerimaan negara yang dapat menutupi nilai subsidi
BBM tersebut. Implikasi kebijakan publiknya adalah tingkat suku bunga yang
rendah memberikan superior consumption-smoothing power dari loan berbasis
rupiah. Artinya BI justru memaksimumkan fungsi quadratic loss yang seharusnya
diminimisasi oleh bank sentral yang pada gilirannya menyebabkan kontraksi dari
Production Possibility Frontieralias menciptakan pertumbuhan ekonomi yang
lebih rendah dari yang seharusnya terjadi.

Resikonya, inflasi yang kemahalan yang dibentuk oleh ekspektasi Bank Indonesia
cenderung menciptakan proses produksi dengan teknologi Leontief yang bersifat
decreasing return to scale sesuai dengan Teori siklus bisnis yang ditemukan
Prescott (1986) dimana kebijakan moneter justru akan menjadi semakin tidak
efektif!
Penulis: Deni Daruri, President Direktur Center for Banking Crisis

Anda mungkin juga menyukai