Anda di halaman 1dari 25

BAB I PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG


Di indonesia saat ini, seiring dengan kemajuan tekhnologi dan pembangunan, frekwensi terjadinya cedera kepala bukannya menurun malahan cenderung meningkat. Hal ini disebabkan karena bertambahnya jumblah kendaraan bermotor hususnya sepeda motor, juga oleh tidak disiplinnya perilaku pengendara kendaraan bermotor dijalan.Cedera kepala merupakan penyebab hampir setengah dari seluruh kematian trauma, mengingat bahwa kepala merupakan bagian yang tersering dan rentan terlibat dalam suatu kecelakaan. Sedangkan dinegara maju seperti di Amerika cedera kepala merupakan penyebab kematian ketiga secara keseluruhan.1 Distribusi kasus cedera kepala lebih banyak melibatkan kelompok usia produktif, yaitu anatara 15-44 tahun (dengan usia rata-rata sekitar tiga puluh tahun) dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Adapun penyebab yang terserIng adalah kecelakaan lalu lintas (49%) dan kemudian disusul dengan jatuh (terutama pada kelompok usia anak-anak).1 Hingga saat ni cedera kepala tetap merupakan tantangan umum bagi dunia medis, di mana tampaknya keberlangsungan proses patofiologi yang saat ini bisa diungkapkan dengan segala bentuk kemajuan pemeriksaan diagnostik medis mutakhir ternyata bukan lah suatu hal yang sederhana. Beberapa istilah lama seperti komosio dan kontusio dibeberapa negara kini sudah mulai ditinggalkan dan klasifikasi cedera kepala lebih mengarah ke aplikasi penanganan klinis dalam mencapai keberhasilan penangan yang maksimal.1 Cedera kepala dapat melibatkan seluruh struktur lapisan, mulai dari lapisan kulit kepala atau lapisan yang paling luar, tulang tengkorak , duramater, vaskuler ota, sampai jaringan otak, sampai jaringan otak nya sendir, baik berupa luka yang tertutup, maupun trauma yan menembus kulit hingga tengkorak nya. Dengan memahami landasan biomekanisme patofisiologi yang lebih rinci dari masingmasing proses di atas, yang dihadapkan dengan prosedur penanganan cepat dan tepat, diharapkan dapat menekan morbiditas dan mortilitasnya.1

I.2. TUJUAN PENULISAN a. Tujuan umum: Mempelajari tentang cedera kepala dan macam-macam dari cedera kepala Mengetahui penatalaksanaan cedera kepala

b. Tujuan khusus: Mencegah secondary injury yang disebabkan oleh komplikasi Mendapatkan hasil yang baik dan mempertahankan dari primary injury yang di sebabkan oleh trauma atau efek langsung dari trauma Mempertahankan metabolisme energi dari otak dengan mempertahankan support sistemik yang dibutuhkan. Mempertahakan cerebral perfusion pressure dalam batas normal Mempertahankan ICP pada batas normal semaksimal mungkin

BAB II PEMBAHASAN

II.1. DEFINISI Menurut Brian Injury Assosiation of America adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. Perdossi,2007 adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudia dapat berakibat kepada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanent Cedera kepala secara harfiah berarti cedera pada kepala, tetapi pada hakekatnya definisi tersebut tidak sesederhana itu, karena cedera kepala bisa berarti cedera pada kulit kepala, tulang tengkorak, jaringan otak atau kombinasi dari masing-masing bagian tersebut.Dibidang Ilmu Penyakit saraf cedera kepala lebih dititik beratkan pada cedera terhadap jaringan otak, selaput otak dan pembuluh darahnya.Oleh karena itu istilah cedera kranioserebral menurut jennet dan Teasdale lebih tepat digunakan. Samapai saat ini.3 Sampai saat ini belum ada definisi yang mencakup seluruh rumusan cedera kepala, tetapi strubb mengemukakan dua pandangan pokok yang penting yaitu; 1. Cedera yang disebabkan adanya benturan pada kepala atau akselerasi- deselerasi yang tiba-tiba dari otak di dalam rongga tengkorak. 2. Adanya gangguan fungsi saraf yang terjadi segera. Gangguan fungsi saraf ini secara klinis dapat berwujud berbagai macam bentuk, namun kehilangan kesadaran sering kali merupakan gambaran utama.

3. Untuk kepentingan klinis, perlu di tegaskan kasus-kasus mana yang dapat di golongkan kepada kasus kranioserebral. Menurut penelitian cedera kepala di Scottish hospital, yang digolongkan kedalam kasusu cedera kepala adalah: a. Adanya riwayat benturan pada kepala. b. Laserasi kulit kepala atau dahi c. Penurunan kesadaran walaupun singkat

II.2. MEKANISME PENYEBAB CEDERA KEPALA


Pada umumnya cedera kepala merupakan akibat salah satu atau kombinasi dari dua mekanisme dasar yaitu kontak bentur dan guncangan lanjut. Cedera kontak bentur terjadi bila kepala membentur atau menabrak sesuatu objek atau sebaliknya, sedangkan cedera guncangan lanjut yang sering kali dikenal sebagai cedera akselerasi-deselerasi, merupakan akibat guncangan kepala yang hebat, baik yang disebabkan oleh pukulan maupun bukan karena pukulan.1 1. Cedera kontak bentur. Cedera kontak bentur umumnya merupakan akibat dari adanya suatu tenaga benturan yang mengenai kepala, dalam peristiwa ini jejas yang terjadi hanya disebabkan oleh fenomena kontak saja dan sama sekali tidak berkaitan dengan guncangan atau akselerasi atau deselerasi pada kepala. Namun dalam kejadian sehari-hari jarang sekali dijumpai cedera kontak bentur yang murni, sering kali cedera ini disertai dengan cedera akselerasi atau deselerasi. Suatu benturan pada kepala dapat mengakibatkan dua macam jejas, yaitu jejas lokal yang terjadi di tempat atau dekat benturan, dan jejas yang terjadi di tempat lain. Cedera kontak bentur tidak menyebabkan jejas otak difus.1 2. Lesi lokal akibat benturan Lesi lokal yang dapat timbul akibat benturan meliputi fraktur linier dan depresi tulang tengkorak, hematome epidural, kontusi cup (coup contussio), intraserebral hematome yang merupakan tumpahan intraserebral hematome ke dalam rongga subdural dan beberapa fraktur basis kranii. Terjadinya fraktur tulang tengkorak sangat tergantung pada sifat-sifat bahan tulang, kekuatan, dan arah benturan, ukuran daerah yang terbentur, serta ketebalan dan kekuatan tulang setempat.

Bila kepala terentur suatu objek, cenderung akan menimbulkan suatu efek lokal berupa lekukan kedalam yang selanjutnya akan menyebabkan cedera kompresi pada tabula eksterna dan cedera regangan pada tabula interna. Mengingat bahwa tulang lebih lemah terhadap regangan dibandingkan terhadap tekanan, maka bila kekuatan efek lekukan ke arah dalam cukup besar maka hal ini dapat menimbulkan terjadinya fraktur yang dimulai dari tabula interna, yang kemudian akan berlanjut sepanjang daerah-daerang yang resistensi paling kecil disekitar tempat benturan. Panjang, arah lebar raktur tergantung dari jumblah energi yang di absorbsi oleh tulang kepala serta ketebalan tulang di daerah tersebut.Suatu objek kecil biasanya memusatkan kekuatan pada lokasi benturan dan biasanya menyebabkan fraktur depresi atau penetrasi tulang tengkorak, srdangkan kekuatan tenaga benturan objek-objek yang lebih besar lebih tersebar dan jarang menyebabkan fraktur. Benturan pada basis kranii (dasar tengkorak)bisa terjadi secara langsung maupun tidak langsung, sehingga ada beberapa fraktur basis yang terjadi sebagai akibat jejas lokal. Benturan langsung biasanya terjdi di daerah oksipital atau mastoid, sedangkan yang tidak langsung biasanya terjadi pada wajah yang selanjutnya kekuatan tenaganya dihantarkan melalui tulangtulang wajah atau rahang bawah untuk menimbulkan fraktur dasar tengkorak. Hematome epidural dapat dianggap sebagia bentuk komplikasi akibat adanya fraktur tengkorak dimana pembuluh darah duramater robek karena disilang oleh garis fraktur, yaitu cedera akibat deformitas atau lekukan yang cukupo hebat tanpa adanya suatu fraktur. Kontusi kupdapat terjadi dibawah lokasi benturan dalam keadaan tertentu.Kontusi semacam ini dapat terjadi akibat jejas langsung dibawah deformitas tengkorak pada otak dan pembuluh darahnya, atau akibat tekanan negatif yang besar yang terjadi karena kembalinya lekukan (ke dalam) tengkorak ke posisi semula. Mekanisme yang pertama menyebabkan cedera kompresi yang terpusat, sedangkan ang lain merupakan cedera reangan yang hebat, dimana selanjtnya dapat menyebabkan kerusakan jaringan piamater dan pembuluh darah dan otak. Laserasi otak merupakan fenomena yang sama namun dalam arti yang lebih luas, atau dapat juga merupakan suatu peristiwa perforasi jaringan otak. Dan laserasi jaringan otak semacam inni dapat berkembang menjadi suatu intraserebral hematome,serta subdural hematome bila ada darah yang masuk ke rongga subdural.1

3. Lesi ditempat lain akibat benturan Fenomena kontak juga dapat menimbulkan jejas dilokasi benturan.Hal ini dapat melalui dua ekanisme yaitu distorsi otak dan gelombang kejut (shock waves).Kedua hal inilah yang dapat menyebabkan terjadinya fraktur tengkorak ditempat yang jah dari lokasi benturan (remote fracture), fraktur basis kranii serta kontusio kontercup dan intermediate coup. Fraktur tengkorak ditempat lain (remote fracture) dapat terjadi bila benturan mengenai bagian tulang yang tebal atau bila objek pemukul relatif lebar. Dalam hal ini pengaruh lekukan kedalam relatif kecil, namun tengkorak mencuar keluar disekitar lokasi benturan, sehingga kemudian lebih mencederai daerah lokasi diseberangnya.Tabula eksterna mengalami beban regangan sedangkan tabula interna menderita cedera kompresi. Bila daerah yang mencuat ke luar melibatkan daerah yang tipis, fraktur akan mulai terjadi dari tabula yang tipis,fraktur akan mulai terjadi dari tabula eksterna dilokasi yang akan jauh dari tempat benturan, dan selanjutnya akan diteruskan sepanjang daerah yang resistensinya kecil, baik kearah lokasi benturan atau ke arah basis. Benturan pada kepala tidak selalu menyebabkan lekukan sederhana kedalam atau keluar dari lokasi tersebut,tetapi kadang-kadang juga menyebabkan perubahan global dari bentuk kelapa. Deformitas yang timbul pada tengkorak semacam ini dapt menyebabkan peningkata atau penurunan volume intrakranial. Biasanya keadaan ini hanya berlangsung singkat (terutama bila tidak ada fraktur) dan kemudian dengan adanya elastisitas, tengkorak akan kembali kebentuk semula. Akan tetapi dipihak lain, perubahan volume yang cepat dapat mengakibatkan tekanan negatif yang cukup besar pada tempat-tempat tertentu dimana tengkorak tertarik menjauhi permukaan otak, sehingga beban regangan yang terjadi pada permukaan otak dilokasi tersebut kemudian akan menimbulkan kontusi kontercup disamping juga diduga sebagai penyebab terjadinya petekhia kecil-kecil disekeliling ventrikel. Gelombang kejut dimulai dari benturan menyebar esegala arah secara tiga dimensi secara cepat. Gelombang yang menyebar melalui tulang ikut berperan dalam peristiwa distorsi tengkorak dan terjadinya fraktur basis maupun ditempat lain. Sebagian gelombang ini menyebar melalui jaringan otak dalam beberapa mikrodetik, dan seperti halnya dengan gelombangdalam air, ia dapat berbalik arah disisi seberang serta menimbulkan reverberasi didalam otak. Bila gelombang kejut ini megalami penguatan oleh adanya reverberation, akan timbul perbedaan tekanan lokal yang berintesitas tinggi disertai jejas yang melebihi toleransi jaringan otak disamping juga kerusakan elemen vaskuler. Secara teoritis, daerah yang konsentrasi jejasnya terbesar (akibat gelombang kejut) terletak jauh didalam otak, dan bukan di permukaan, sehingga hal inilah yang diduga sebagai 6

penyebab terjadinya kontusi intermediate coup (kontusi yang timbul didaerah otak nonkonveksitas), perdarahan petekhia yang dalam, dan hematom intraserebral traumatika.1 4. Cedera akselerasi-deselerasi Guncangan pada kepala, baik yang disebabkan oleh benturan ataupun bukan, akan menyebabkan gerakan yang cepat dari kepala, dan cedera yang terjadi tergantung dari bagaimana gerakan kepala tersebut. Kebanyakan peristiwa ini dikenal dengan sebutan cedera akselerasideselerasi, mengingat akan kepentingan faktor akselerasi yang merupakan ukuran beban fisik disamping faktor-faktor lain yang tidak kalah pentingnya seperti kecepatan gerakan kepala. Dipandang dari aspek mekanis, akselerasi dan deselerasi merupakan fenomena yang serupa, dan hanya berbeda arahnya saja.Jadi efek akselerasi kepala pada bidang sagitaldari posterior ke anterior serupa dengan deselerasi kepala anterior-posterior. Gerakan kepala yang dimanifestasikan sebagai cedera kompresi,regangan dan robekan, mengakibatkan kerusakan struktural melalui satu dari dua mekanisme. Mekanisme pertama adalah akibat adanya perbedaan relatif arah gerakan antara otak terhadap fenomena yang disadari oleh keadaan berikut: otak dapat bergerak bebas dalam batas-batas tertentu di dalam rongga tengkorak pada saat mulai geraka (sesaat mulainya akselerasi), otak tertinggal di belakang gerakan tengkorak untuk beberapa waktu yang singkat. Sehingga akibatnya otak akan relatif bergeser terhadap tulang tengkorak dan duramater, kemudian terjadi cedra pada permkaannya, terutama pada vena-vena jembatan (bridging veins)mekanisme ini merupakan salh satu penyebab terjadinya hematom subdural. Selanjutnya pergeseran tadi juga akan menimbulkan daerah-daerah yang bertekanan rendah (cedera regangan), yang bila hebat sekali aan menimbulkan kontusi konterkup. Mekanisme cedera akselerasi yang kedua adalah jejas yang terjai didalam otak sendiri yaitu cedera otak difus sindrom onkusi dan cedera aksonal difusa (difuse aksonal injury), perdarahan jaringan akibat robekan, dan sebagian besar dari kontusi intermediate coup.Kerusakan yang terjadi tergantung dari tipe dan jumblah beban serta durasi akselerasi yang berlangsung. Cedera akselerasi dikelompokkan menjadi tiga tipe, yaitu translasi,rotasi, dan angular.1 5. Akselerasi translasi Akselerasi translasi terjadi bila titik berat otak (biasanya kira-kira terletak di daerah kelenjar pineal) bergerak dalam suatu sumbu garis lurus.Cedera akselerasi translasi yang murni jarang terjadi 7

mengingat bahwa secara fisiologis hubungan anatomis kepala leher tidak memungkinkan gerakan ini. Gerakan translasi dapat muncul dalam periode yang singkat sewaktu kepala bergerak atau kepala berhenti bergerak sesaat sebelum gerakan lain timbul, atau satu-satunya kemungkinan lain adalah adanya benturan pada verteks yang menimbulkan gerakan superior inferior. Pada prinsipnya mekanisme jejas yang timbul merupaakan akibat pergeseran relatif otak tengkorak dan bukan disebabkan oleh jejas yang timbul di dalam otak.Dengan demikian beban akselerasi translasi yang murni tidak menimbulkan cedera otak difus, tetapi hanya cedera-cedera fokal saja, termasuk kontusi konterkup hematom intra serebral dan hematom subdural. Disamping itu biasanya kesadaran penderita baik.1 6. Akselerasi rotasi Akselerasi rotasi terjadi bila ada gerakan rotasi dititik berat otak tanpa disertai pergerakan titik berat tersebut.Mengingat bahwa titik berat otak terletak di daerah kelenjar pineal maka dalam kejadian sehari-hari gerakan akselerasi yang murni ini tidak mungkin terjadi, terkecuali pada bidang horizontal dimana putaran dapat terjadi mengelilingi aksis vertikal yang melalui pineal.Biasanya mekanisme cedera ini nerlangsung bersamaan dengan gerakan akselerasi angular. Akselerasi rotasi merupakan mekanisme yang sangat enting dan sangat berbahaya sehubungan dengan bukan saja dapat menyebabkan jejas pada permukaan otak (seperti pada gerakan translasi), tetapi juga merupakan satu-satu nya mekanisme yang berkemampuan untuk menimbukan jejas hebat di bagian dalam otak.1 7. Akselerasi angular Akselerasi angular merupakan mekanisme cedra paling umum terjadi, merupakan gabungan dan akselerasi translasi dan rotasi.Dalam hal ini titik berat otak bergerak dalam arah yang membentuk sudut.Berdasarkan anatomi kepala leher, gerakan rotasi secara klinis terpusat pada daerah servikal bawah, lokasi tersebut juga merupakan penentu proporsi translasi dan rotasi yang

berlangsung.Komponen gerakan rotasi cenderung lebih banyak melibatkan servikal bagian atas, dan sebaliknya komponen gerakan translasi cenderung melibatkan daerah servikal yang lebih kebawah.Mengingat frekwensinya yang sering terjadi dalam kejadian sehari-hari maka cedera akselerasi angular ini merupakan mekanisme yang paling banyak mencederai otak dan hampir semua jenis cedera kepala dapat terjadi akibat mekanisme ini kecuali fraktur tengkorak dan hematom epidural.1

Besarnya kerusakan akibat gerakan akselerasi ini bukan hanya tergantung dari tipe mekanisme akselerasi saja, melainkan juga oleh beberapa faktor lainnya.Respon jaringan berkaitan dengan viskoelastisitasnya, ditentukan oleh kakuatan dan tingkat akselerasi yang timbul.Kekuatan akselerasi sebanding dengan jumblah jejas yang dihantarkan pada otak. Bila kekuatan akselerasi tersebut konstan, nilai akselenasi berbanding terbalik dengan durasi akselerasi, sebaliknya bila durasinya yang konstan nilainya akan berbanding lurus terhadap kekuatannya.1 Ada tiga fase gambaran klinis yang terjadi sebagai akibat durasi akselerasi dalam jumblah kekuatan yang konstan.Pertama ialah nilai cedera tingkat berat dalam durasi akselerasi pendek, karena sifat otak yang dapat meredam efek guncanga, maka jejas yang terjadi sangat minimal kecuali bila akselerasi yang diterapkan sangat hebat.Yang kedua adalah durasi akselerasinya sedikit lebih lama yang mana efek redaman disini menjadi berkurang.Dalam keadaan ini biasanya jejas yang terjadi hanya terbatas dipermukaan saja khususnya pada jaringan vaskuler dan tidak dapat menembus ke dalam, misalnya seperti hematom subdural.Gambaran ketiga adalah yang mengalami akselerasi dalam durasi waktu yang lebih lama dan hanyasedikit sekali efek guncangan yang teredam, sehingga jejas yang terjadi re-propagation lebih ke dalam otak. Akselerasi yang durasinya lebih lama tidak terlalu mencederai jaringan vaskuler dibandingkan terhadap jaringan otak, sehingga dapat menyebabkan konkusi dan jejas akson yang memperpanjang koma traumatika yang terjadi.1 Tingkat cedera akan lebih berat bila kekuatan akselerasi ditambah sementara durasinya konstan. Pada fase pertama yang telah di bahas di atas, nilai cedera telah sedemikian tingginya walaupun ditingkatkan lagi, hanya dapat mengubah pola jejas sedikit saja. Pada fase yang kedua jaringan vaskuler pada permukaan otak telah terancam, dan dengan mingkatnya nlai cedera, selanjutnya akan dapat melampaui batas toleransi jaringan tersebut serta menimbulkan kerusakan daerah yang sebelumnya belum terlibat atau menambah jumblah kerusakan pembuluh darah. Dalam fase yang ketiga cedera lebih banyak menimbulkan jejas pada jaringan otak, dengan adanya peningkatan kekuatan akselerasi dapat meningkatkan nilai cedera untuk menimbulkan jejas vaskuler. Gambaran klinisnya dapat nerupa kombinasi antara kerusakan aksonal difus dengan perdarahan robekan jaringan atau hematom subdural.1 Tipe kerusakan pada otak akibat beban akselerasi beraneka ragam, tergantung dari jumlah dan jenis akselerasi, durasinya, dan tinkat cedera akselerasi yang mengenai kepala. Kedua variabel terakhir berkolerasi satu sama lain, dimana pada kekuatan akselerasi yang konstan, bila salah satu meningkat, yang lainnya harus menurun. Sehubungan dengan integral kurva waktu akselerasi adalah gambaran dari kecepatan maka peningkatan kecepatan kepala sebanding dengan durasi akselerasi dan

berkurang seiring dengan nilai cedera akselerasi. Dengan kata lain bahwa toleransi otak terhadap pergerakan kepala dapat dipandang sebanding dengan dua variabel yaitu akselerasi kepala dan kecepatan kepala.1 Ada beberapa faktor dan kondisi pracedera yang dapat berperan pada keadaan-keadaan patologis akibat kejadian rudapaksa kepala, yaitu sebagai berikut: 1. Duramater yang tipis dan melekat erat dengan tabula interna atau permukaan dalam tengkorak mempunyai kecenderungan untuk ikut terobek bersamaan dengan terjadinya fraktur tulang tengkorak. 2. Hematome epidural ada fraktur tulang engkorak, khususnya pada anak-anak atau dewasa muda dikaitkan dengan fleksibilitas tulang dan longgarnya duramater terhadap tengkorak (strip off) Peristiwa herniasi tentorial diperankan oleh faktor volume dan lokasi proses desak ruang, kecepatan proses tersebut, dan volume intrakranial total sebelumnya. Tingkatan fungsional otak sebelum cedera amat erpengaruh terhadap pemulihan penderita, seperti pada pederita-penderita yang sebelumya sudah ada demensia akan mempunyai fase pemulihan yang lebih buruk, demikian pula halnya pada penderita yang mengalami cedera kepala berulang (petinju) yang kerap dikenal sebagai sindrom mabuk tinju.1 2.3. KLASIFIKASI CEDERA KEPALA Hingga saat ini ada berbagai macam klasifikasi cedera kepala yang telah dikemukakan oleh kalangan Bedah Saraf dari segala penjuru dunia sesuai dengan kepentingannya masin-masing.Pada dasarnya cedera kepala diklasifikasikan menurut keadaan patologis yang terjadi dan gambaran klinisnya. a. Klasifikasi cedera kepala berdasarkan patologi Cedera kepala primer, dapat berupa: 1. Fraktur linier, depresi, basis kranii, kebocoran likuor. 2. Cedera fokal yang berupa kontusi kup atau konterkup, hematome epidural,subdural atau intraserebral. 3. Cedera difus yang berupa konkusi ringan atau klasik atau berupa cedera aksonal difusa yang ringan, moderat hingga berat. 4. Trauma tembak.

Kerusakan otak sekunder, dapat berupa: 10

1. Gangguan sistemik: akibat hipoksia, hipotensi, gangguan metabolisme energi, dan kegagalan otoregulasi. 2. Hematome traumatik: epidural, subdural (akut dan kronis) atau intraserebral.

Edema serebral perifokal generalisata Pergerakan otak (Brain shift) herniasi batang otak

b. Klasifikasi Cedera kepala berdasarkan lamanya amnesia pasca trauma seperti dikemukakan oleh Ritche Russel sebagai berikut: Sangat ringan: lama amnesia <5 menit Ringan : < 1 jam Sedang : 1 hingga 24 jam Berat : 1 hingga 7 hari Sangat berat : > 7 hari Amat sangat berat: > 4 minggu

c. Klasifikasi cedera kepala berdasarkan tingkat kesadarn (GCS) terbaik 6 jam pertama pasca trauma: Cedera kepala ringan : GCS 14-15 Cedera kepala sedang: GCS 9-13 Cedera kepala berat : GCS 8 .1

II.3. PENANGANAN CEDERA KEPALA Penanganan cedera kepala pada Unit Gawat Darurat didasarkan pada pemantauan dan penanganan terhadap penderita secara umum yaitu 6B:1 1. Breathing (jalan napas dan pernapasan) 2. Blood (sirkulasi darah) 3. Brain (otak) 4. Bladder (kandung kecing) 5. Bowel (sistem pencernaan) 6. Bone (tulang)

11

Penanganan cedera kepala berdasarkan klasifikasi cedera kepala: 1. Cedera kepala ringan 2. Cedera kepala sedang 3. Cedera kepala berat

II.4. PERAWATAN INTENSIF CEDERA KEPALA BERAT Perawaan intensif untuk cedera kepala berat harus termasuk kontrol TIK, sistem respiratory, CNS, sistem sirkulasi, metabolisme glukosa,temperatur dan balance cairan. Dengan monitoring infasif dan non infasif ini semua tindakan pencegahan untuk semua masalah sudah siap.2 Disamping cedera kepala berat dapat berujung pada gejala sisa neurologis permanen, dapat juga memberikan hasil yang baik pada pasien yang masih muda yang secara agresif diturunkan peningkatan TIK nya dan optimisasi cerebral perfution presure (CPP), dan oksigenasi otak dari pendekatan multi disiplin oleh bagian saraf, bagian anastesi saraf dan bagian bedah saraf.2

Indikasi untuk dimasukkan icu Peranan dari ICU adalah untuk mempertahankan hemostasis fisiologis normal seorang pasien sambil secara aktif merawat penyebab utama semua gangguan fisiologis. Indikasi untuk dimasukkan ke ICU: 1. Gangguan kesadaran 2. Gangguan saluran pernapasan 3. Gangguan respirasi yang progresif atau butuh ventilator 4. Kejang 5. Bukti klinis atau bukti Ct Scan yang menunjukkan peningkatan TIK yang disebabkan oleh space occupying lesion, edema serebral atau haemoragic conversion dari sumbatan serebral. 6. Komplikasi dari pengobatan ( contohnya: hipertensi, hipotensi, gangguan elektrolit, aspiration pneumonia, sepsis, cardiac arrytmias, pulmonary embolism) 7. Monitoring ( contohnya: tingkat kesadaran, fungsi respirasi, TIK yang di pantau dengan EEG) 8. Penanganan spesifik ( contohnya: intervensi bedah saraf, trombolysis intravena atau arteri) 12 cairan dan

Ventilasi buatan Perawatan intensif saraf membutuhkan bantuan respirasi karena hipoksemia, kegagalan nafas atau karena pengobatan yang di buruhkan bantuan pernapasan Dapat digunakan terapi oksigen dengan masker sampai bantuan pernapasan menyeluruh dengan endotracheal intubation.2

Gambar 1.oxygen canul, oxygen mask, non rebreathing oxygen mask3,4

Gambar 2. Endotracheal intubation5,6

13

Oksigen biasanya diberikan dengan masker, walaupun kanul dapat di toleransi Pada pasien dengan lesi otak akut yang beresiko untuk iskemik otak dengan maintenance yang adekuat dari cerebral perfusion pressure (CPP), ventilasi buatan untuk mencegah hiperkapnia dan tidur yang dalam adalah faktor penting yang menentukan strategi dari terapi cerebral protektif. Pasien yang mempunyau gangguan kesadaran (GCS <8) dan hilang refleks batuk biasanya mempunyai defisit pada mekanisme proteksi jalan napas atau kelelahan membutuhkan gangguan pernapasan.2 Tujuan menggunakan ventilasi buatan pada pasien cidera kepala berat adalah untuk meningkatkan pertukaran gas, meminimalkan tekanan intra thorakal, menurunkan kerja pernapasan dan untuk menghindari komplikasi. Pasien-pasien ini juga mempunyai resiko untuk terjadinya edema pulmonary neurogenik, aspirasi dari orofaringnya, pneuminia dan atelektasis. Indikasi neurologis 1. Penurunan kesadaran (GCS <8) penurunan proteksi jalan napas 2. Disfungsi batang otak 3. Hipertensi intrakranial 4. Kemunduran neurologis yang telah diperkirakan Indikasi respirasi 1. Respirasi rate > 35 atau < 5 per menit 2. Kelelahan dengan susahnya pola pernapasan 3. Hipoksia- sianosis, SaO2 < 90% dari oksigen atau PaO2 < 8kPa 4. Heperkardial-PaCO2 > 8kPa 5. Volume tidal < 5 ml/kg atau kapasitas vital < 15 ml/kg Activity Eye opening None To pain pressure To speech Spontaneus Verbal response 14 1 = even to supra orbital pressure 2 = pain from sternum/limb/supra orbital 3 = non-spesific response, not necessarily to command 4 = eyes open, not necessarily aware Score

None Incomprehensible Inappropriate Confused Oriented Motor response None Extension

1 = no verbalization of any type 2 = moans/groans, no speech 3 = intelligible, no sustained sentences 4 = converses but confused, disoriented 5 = converses and oriented

1 = to any pain; limbs remain flaccid 2 = shoulder adducted and shoulder and forearm internally rotated

Flexor response

3 = withdrawal response or assumption of hemiplegic posture

Withdrawal Localizes pain Obeys commands

4 = arm withdraws to pain, shoulder abducts 5 = arm attempts to remove supra orbital/chest pressure 6 = follos simple commands

Intrakranial fisiologi dan ventilasi buatan Tujuan penggunaan ventilasi tekanan positif pada pasien dengan multi trauma dengan cedera kepala untuk meningkatkan oksigenasi dan mengontrol tekanan CO2 arterial untuk meminimalkan hipertensi intrakranial. Ventilasi tekanan positif meningkatkan kapasitas residual fungsional dengan meningkatkan kinerja alveolar, yang mengoptimisasi oksigenasi.2 Pada sisi lain, kenaikan tekanan intrathorakal meningkatkan tekanan intrakranial melalui mekanisme : 1. Transmisi langsung tekanan intrathorakal ke ruang intrakranial melalui leher 2. Peningkatan tekanan intrathorakal menurunkan kembalinya vena ke atrium kanan, dan meningkatkan tekanan vena jugularis, yang akhirnya menyebabkan peningkatan volume darah otak dan tekanan intrakranial. 3. Penurunan kembalinya vena menurunkan output jantung dan mean arterial pressure. Hal ini menyebabkan penurunan pada cerebral perfusion pressure yang mengarah pada kompensasi vasodilatasi otak, peningkatan aliran darah otak dan berpotensi meningkatkan tekanan intraranial, jika autoregulasi otak terganggu.

15

Dengan penggunaan ventilasi buatan yang berkepanjangan, otot-otot pernapasan menjadi lemah dan atrofi dari otot-otot ini tidak dapat dihindari. Tidak ada penanganan yang pasti untuk hal ini kecuali terapi suportif.2 Perencanaan untuk melepas pasien dari ventilasi buatan harus diuat pada awal terap ventilasi. Waktu yang tepat untuk melepas ventilasi mempunyai keunggulan :2 1. Mengurangi cedera jalan napas 2. Mengurangi resiko ventilator induced lung injury (VILI) 3. Mengurangi resiko ventilatory associated pneumonia (VAP) 4. Mengurangi penggunaan sedasi yang diperlukan 5. Mengurangi delirium 6. Memperpendek masa tinggal di ICU 7. Penatalaksanaan untuk kriteria ekstubasi 8. Kriteria pernapasan 9. Kriteria hemodinamik 10. Kriteria neulogis. Termasuk status neurologis yang stabil tekanan intrakranial 20 mmHg, cerebral perfusion presure 60 mmHg Ekstubasi yang terlalu awal dapat menyebabkan kelemahan otot pernapasan, gagal pertukaran gas dan hilangnya proteksi jalan napas

Trakeostomi pada ICU Kelebihan dari trakeostomi adalah mengurangi resiko terjadinya ekstubasi sendiri, mengurangi sinusitis, mengurangi resisten dari jalan napas dan kerja pernapasan, toleransi yang lebih baik, mengurangi kebutuhan sedative, berpotensi mengurangi dari durasi ventilasi buatan.2 Resiko dari trakeostomy adalah infeksi pada tempat pembedahan, perdarahan jalan napas, pneumothoraks, perforasi oesophageal.

16

Gambar 3. Tracheostomy7

Sedasi pada ICU neuro Sedasi yang tidak cukup dapat menyebabkan hipertensi,takikardi, hipoksia,hiperkapnea dan ketidaknyamanan dengan ventilator. Kelebihan sedasi menyebabkan hipotensi, bradikardia, koma, depresi pernapasan, insufisiensi ileus, insufisiensi renal, imunosupresi dan veneous stasis.2 Indikasi sedasi pada ICU neuro 1. Kenyamanan pasien 2. Mengurasi ansietas dan agitasi 3. Mengurangi ketakutan 4. Resio untuk mencederai diri sendiri atau mencederai orang lain 5. Withdrawal dari penggunaan alkohol atau obat-obatan 6. Resiko dari ekstubasi atau melepaskan kateter 7. Menekan respon stres 8. Meningkatkan toleransi terhadap ventilasi buatan 9. Memfasilitasi perawatan seperti aspirasi, prosedur invasif dan rawat luka 10. Mengontrol nyeri 11. Memfasilitasi ventilasi buatan 12. Mengurangi oksigen yang diperlukan atau penggunaan pada ARDS dan sepsis 17

13. Proteksi otak ( mengontrol kejang, mengurangi metabolisme otak, mengontrol TIK) 14. Membuat hemodinamika yang stabil, proteksi dari iskemik miokardial 15. Mengurangi hasil yang merugikan 16. Amnesia selama paralisis dengan muscle ralaxants 17. Selama intervensi (trakeostomy) 18. Mencegah pergerakan ( selama foto dan memindahkan pasien) 19. Memfasilitasi tidur 20. Memfasilitasi manajemen keperawatan. Nutrisi Nutrisi juga mendapatkan efek dari respons post traumatic stress, yang diasosiakan dengan akibat dari cedera kepala. Respons post traumatic stress berkarakteristik dengan peningkatan gula darah, laktat, katekolamine dan kortisol. Bantuan nutrisi harus diberikan sesegera mungkin setelah cedera kepala.Nutrisi yang cukup dapat membantu

penyembuhan.Bantuan enteral nutrisi awal telah terbukti melemahkan respons katabolik dan meningkatkan sistem imun dan meningkatkan hasil neurologis.Jika traktus digestif berfungsi, enteral nutrisi, atau diberikan lewat tube yang diletakkan kedalam perut, lebih disarankan. Parenteral nutrisi harus sebagai cadangan untuk pasien dengan gangguan fungsi gastrointestinal atau mereka yang tak dapat memenuhi kebutuhan nutrisi lewat enteral nutrisi saja.2 Tujuan bantuan nutrisi pada pasien yang sakit parah adalah menyediakan protein dan kalori pengganti sambil menipiskan nitrogen balance yang negatif.Kejadian malnutrisi pada pasien rawat inap bervariasi antara 30% sampai 55%. Menunda-nunda pemberian bantuan nutrisi dapat berakibat atrofi otot dan gastrointestinal, ketidakmampuan untuk lepas dari bantuan pernapasan, gagal jantung, gangguan imun, peningkatan kemungkinan terkena sepsis, lama di rumah sakit, penyebaran penyakit dan kematian dan kesemuanya berujung ke peningkatan biaya.2 Pasien sakit parah dengan gangguan neurologis sering membutuhkan bantuan nutrisi yang tepat karena kebutuhan akan intubasi, disfagia, atau gangguan status kejiwaan.2 Pasien membutuhkan lebih banyak kalori untuk penyembuhan pada cedera kepala.Pasien dengan GCS 8-12 membutuhkan 30-35 kalori/kgbb/hari. Sedangkan pasien dengan GCS 6-7 membutuhkan 40-50 kalori/kgbb/hari.2 Tujuan utama pemberian nutrisi adalah menjaga massa otot, dan menyediakan cairan yang adekuat. Monitoring kadar elektrolit dan glukosa yang ketat harus dilakukan selama sakit.2

18

Kelebihan dari EN dibandingkan PN : 1. Menurunkan tingkat infeksi 2. tidak memerlukan infus 3. Mempertahankan balance cairan yang baik 4. Mempertahankan bobot otot dan pencegahan atrofi vili 5. Biaya yang lebih rendah Komplikasi dari EN : 1. Sisa pada lambung yang banyak 2. Regurgitasi dan aspirasi 3. Diare 4. Ulserasi pada hidung 5. Kontaminasi dari makanan (jarang) Rasio kalori : nitrogen pada TPN harus 150 : 1 dan harus terdiri dari lipid, karbohidrat, asam amino, elektrolit, trace element dan vitamin sebanyak yang diperlukan (1 g nitrogen = 6.25 g protein). Penanganan untuk menurunkan tekanan intrakranial 1. Assessment dan manajemen dari ABC 2. Intubasi bila; GCS <8, adanya herniasi, apnea, ketidakmampuan untuk mempertahankan jalan napas 3. Elevasi kepala 15-30 (pastikan bahwa pasien euvolemic) 4. Hiperventilasi: target PaCO2: 30-35 mmHg (cocok untuk akut, peningkatan tajam dari TIK atau tanda herniasi yang akan terjadi) 5. Mannitol: bolus awal: 0.25-1 g/kg, lalu 0.25-0.5 g/kg, q 2-6 dalam 48 jam 6. Hipertonis saline: pada adanya hipotensi, hipovolemia, osmolalitas serum >320 mOsm/kg, gagal ginjal, dosis: 0.1-1 ml/kg/jam infus, target Na+ 145-155 meq/L 7. Steroid: tumor intrakranial dengan perilesional edema, neurocysticerocosis dengan lesi yang berat, pyomeningitis, abses 8. Sedasi dan analgesik yang cukup 9. Pencegahan dan perawatan kejang: gunakan lorazepam atau midazolam diikuti oleh phenytoin sebagai pilihan awal.

19

10. Hindari stimulus berbahaya: gunakan lignocaine sebelum melakukan suction ET [dinebul (4% lidocaine dicampur 0.9% saline) atau intravena (1-2 mg/kg dalam cairan 1%) diberikan 90 detik sebelum melakukan suction) 11. Kontrol demam: antipiretik, ukur suhu 12. Maintenance cairan IV: gunakan hanya cairan isotonis atau hipertonis (RL, 0.9% saline, D5 0.9% NS, albumin, HES), jangan memakai cairan hipotonis 13. Pertahankan kadar gula darah: 80-120 mg/dL 14. Tahan peningkatan TIK: - sedasi kuat dan paralysis - drain CSF - koma barbiturate - hipotermia - decompressive craniectomy

Terapi untuk menurunkan TIK: Osmotic diuresis : 1. Mannitol 2. Hipertonis saline Sedatif, analgesik, dan neuromuscular blocking agents 1. Enzodiazepine 2. Agonis -2 reseptor 3. Anestesi 4. Opioid 5. Neuromuscular blockade Hipotermia Kontrol gula darah Drain CSF Craniectomy 20

Komplikasi pada ICU: Komplikasi paru-paru : 1. pneumonia nosokomial 2. pneumonia karena ventilator 3. pneumonia aspirasi 4. adult respiratory distress syndrome Kriteria : # onset akut # tidak adanya bukti klinis dari hipertensi atrium kiri # infiltrat pada kedua sisi paru-paru # acute lung injury apabila PaO2/FiO2 300 # acute respiratory distress syndrome apabila PaO2/FiO2 200 5. edema paru neurogenik 6. emboli paru Hipovolemia Hipotensi / hipertensi Penyebab hipertensi : Peningkatan TIK o o o o o o o Tumor otak Encephalitis / encephalomyelitis Asidosis pernapasan

Stress akut Psychogenic hyperventilation Setelah resusitasi Hypoglycaemia Hypoksemia 21

Vasokonstriktor/medikasi o o o o o Ephedrine Phenylephrine Pseudoephedrine -agonist bronchodilators Glucocorticoid

Dalam menerapi hipertensi tidak disarankan memakai farmakoterapi yang digunakan biasanya untuk situasi akut karena dapat menyebabkan efek yang tak diinginkan pada cerebral perfusion pressure (CPP). Intravena labetalol, hydralazine, dan sodium nitroprusside adalah obatobat yang sering digunakan. Pada pengobatan jangka panjang dapat digunakan terapi oral adrenergic receptor antagonists, angiotensin converting enzyme inhibitors, dan calcium channel antagonists. Pengobatan dilakukan apabila mean arterial pressure (MAP) lebih dari 130 mmHg atau cerebral perfusion pressure (CPP) lebih dari 85 mmHg.2 Kejang Penanganan kejang: Perawatan pada pasien dengan kejang meliputi : 1. mempertahankan fungsi vital 2. menghilangkan kejang 3. menghilangkan segala faktor pencetus 4. membalikkan keadaan ke kondisi yang benar Perawatan awal diarahkan pada : 1. Mempertahankan jalan napas 2. Bantuan pernapasan dan pemberian oksigen 3. Memberikan bantuan dan mempertahankan fungsi vital Klinisi harus pertama-tama mencari penyebab dari kejang dan mengobatinya.Contoh obat lini pertama untuk mengatasi kejang adalah carbamazepine, valproate, phenytoin dan ethosuximide.Pengobatan lini kedua atau tambahan meliputi gabapentin, lamotrigine dan topiramate.Hilangnya autoregulasi otak dan cedera pada saraf dimulai setelah 30 menit kejang 22

terus menerus. Dapat pula digunakan anestesi umum untuk menurunkan resiko status epilepticus yang terus menerus.2 Demam Penanganan demam termasuk pendinginan langsung dan obat antipiretik seperti acetylsalicylic acid, NSAID dan acetaminophen.2 Pendinginan langsung : 1. Menurunkan suhu ruangan (lebih nyaman untuk pasien 2. Kompres es atau handuk dingin 3. Cairan intravena yang telah didinginkan Penanganan demam yang agresif : acetaminophen (dewasa 0.5-1 g, setiap 4-6 jam sampai maksimum 4 g. anak-anak 10 mg/kg, setiap 4-6 jam) untuk demam >38.5 C dan ditambahkan handuk dingin jika >39.5 C. sebaiknya oral atau IM, jangan gunakan IV pada pasien dengan disfungsi hepar dan pada orang yang menggunakan alkohol.2

23

KESIMPULAN

Cedera kepala adalah asalah kesehatan yang sangat serius di seluruh dunia.Tiap tahun cedera kepala penyumbang kasus kematian dan kecacatan permanen yang berarti. Manajemen cedera kepala di ICU sangan susah, manajemen menjadi lebih sulit ketika terdapat komplikasi paru-paru dan disfungsi organ. Tujuan dari penggunaan ventilasi buatan adalah untuk mempertahankan oksigenasi yang cukup dan ventilasi tanpa meningkatkan ICP.Strategi dalam penanganan nutrisi pada pasien-pasien ini harus direncanakan sebaik mungkin untuk membantu sistem imun tanpa menumpuk CO2. Dengan terapi suportif dan manajemen yang terarah tingkat mortilitas dan morbiditas dengan pasien cedera kepala dapat diturunkan.2

24

DAFTAR PUSTAKA

1. Satyanegara. 2010. Ilmu bedah saraf.Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama 2. Akarsu Ayazoglu Tlinandzden Nihan. Intensive Care Management of the Traumatic Brain
Injury, Emergency Medicine An International Perspective, Dr. Michael Blaivas (Ed.), ISBN: 978-954-51-0333-2, InTech, Available from: http://www.intechopen.com/books/emergencymedicine-an-internationalperspective/intensive-care-management-of-the-traumatic-brain-injury

3. Ferryefendi.blogspot.com 4. http://nursingbegin.com/tag/kanul-nasal/ 5. http://alatkedokteran.net/jual-masker-oksigen-untuk-orang-dewasa-alat-bantu-napas-danpernapasan.html/jual-masker-oksigen-untuk-orang-dewasa-alat-bantu-napas-danpernapasan 6. http://catalog.nucleusinc.com/enlargeexhibit.php?ID=11443&TC=&A=2 7. http://intensivecare.hsnet.nsw.gov.au/intubation 8. http://www.speechbuddy.com/blog/speech-therapy-techniques/regaining-speech-after-atracheotomy/

25

Anda mungkin juga menyukai