Anda di halaman 1dari 16

BABAD DALEM BATU KUUB

Pura Dalem Batu Kuub, Br. Bantas, Desa Peguyangan Kangin, Denpasar Utara.

Inilah Babad Pura Dalem Batu Kuub.


Sanghyang Pasupati beryoga di Gunung Raja. Yoganya sangat mantap, lalu dilemparkan
dan jatuh di sungai, menimpa batu. Maka timbul lah gempa bumi, angin topan, guntur
dan halilintar. Kemudian muncul lah bayi dari batu itu, rupanya hitam. Ada pula
bayi muncul dari buih, rupanya putih. Sejak itu sungai itu dinamakan sungai Lipak.
Kedua bayi itu bermain-main, di hutan. Setelah tiba di tengah hutan, lalu
ditemukan oleh si Lembu, dan ditanya: "Wahai anakku berdua, siapakah namamu?
Siapakah nama ayahmu? Siapakah nama ibumu?" Bocah itu menjawab: "Saya tidak
mengetahui orang tua saya. Demikian pula, saya tidak mengetahui di mana rumah
saya". Si Lembu menyahut: "Saya tahu asal-usulmu, Tuanku adalah putra Sanghyang
Pasupati, bernama Dalem Kembar, yakni Dalem Putih dan Dalem Selem (Hitam) Engkau
lahir dari batu. Sejak sekarang Tuan bernama Dalem Batu Putih dan Dalem Batu
Selem. Namun, tuan tidak boleh bersamaan naik tahta kerajaan menjadi raja, hanya
salah seorang berhak menjadi raja". Kedua bocah itu berkata: "Wahai Lembu,
siapakah di antaraku, yang patut menjadi raja?" Si Lembu, menyahut: "Yang berhak
menjadi raja adalah yang hitam, sebab hitam adalah perwujudan Wisnu, yang bisa
menciptakan keteduhan dunia".
Demikian lah kata si Lembu. Si bocah berkata: "Wahai Lembu, di manakah sepatutnya
aku bertempat tinggal?" Si Lembu menjawab: "Karena Tuan perwujudan batu, di sana
ada batu bersinar, disinari oleh matahari, di sana lah Tuan patut membangun
istana. Kelak akan dinamakan Batu Makelepan (Batu Bersinar)". Demikian lah kata si
Lembu kepada si bocah hitam. Si bocah hitam berkata: "Wahai Lembu, aku
berterimakasih, namun ada yang aku tanyakan kepadamu, di manakah kau tinggal,
Lembu?" Si Lembu menjawab: "Tempatku di hutan, di wilayah hutan Raja". Si bocah
berkata: "Wahai Lembu, sejak sekarang, nama tempat penggembalaanmu adalah Taro,
sebab engkaulah yang bisa mengetahui dan menjelaskan (ngetarang) kerajaanku". Si
Lembu menjawab: "Hamba setuju. Tuanku telah menyumpah tempat tinggal hamba, supaya
bernama Taro. Hamba menyumpah tempat ini sebab di sini lah Tuanku bertemu dengan
hamba, kelak akan bernama Desa Ketemu. Hanya itu lah pesan hamba. Hamba mohon
diri, pulang ke sorga. Jika tuanku belum mengenal hamba, hamba adalah I Lembu
Nandini". Tiba-tiba si Lembu menggaib. Oleh karena itu, lembu yang ada di Taro itu
kurang satu ekor.

Kini kedua bocah itu berbincang- bincang. Batu Putih berkata: "Wahai Batu Selem,
sebab demikian pesan si Lembu, di sini lah kau bertahta menjadi raja. Karena aku
tidak boleh bersama-sama bertahta denganmu di sini, maka aku akan meninggalkanmu,
mencari tempat lain, sebab kita lahir kembar, dan kau sudah menjadi raja, supaya
aku juga dapat menjadi raja". Demikian kata Dalem Batu Putih. Dalem Batu Selem
menjawab: "Baiklah, silakan kau berangkat, tetapi jangan lupa bahwa kita lahir
kembar, baik-buruk harus dilalui bersama, di mana pun kelak kau tinggal supaya
tetap bertemu denganku, sebab telah ada belas kasih si Lembu, menyumpah suatu
tempat bertemu". Begitu lah kata Dalem Batu Selem. Lalu Dalem Batu Selem menuju
tempat tinggalnya.
Dikisahkan Dalem Batu Putih dengan ikhlas pergi menuju ke barat. Tempat yang
dituju itu kemudian bernama Desa Losan. Lama sekali ia mengembara ke arah barat
daya di tengah hutan. Tidak pernah makan. Amat sangat haus dan kelaparan. Ia
kelelahan di tengah hutan, tidak bisa berjalan. Ia duduk di tengah hutan, bersedih
hati karena amat kelaparan. Ia teringat kepada pesan si Lembu, yang mengatakan
dirinya adalah putra Sanghyang Pasupati. Oleh karena itu, lalu ia memuja Sanghyang
Pasupati. Doanya terkabulkan, maka ada air keluar dari tanah. Air itu lah
diminumnya. Hatinya pun menjadi lega, mungkin karena dianugerahi Tuhan. Di sini
lah beliau menyumpah hutan ini semoga kelak jika menjadi desa supaya bernama
Batuyang.
Setelah ia menyumpah hutan itu, ia sangat terkejut karena secara tiba-tiba ada.
banyak rakyat datang menjemputnya, yaitu Gaduh, Kebayan, Pasek, Dangka, Ngukuhin,
Penyelaweyan. Betapa sangat baktinya mereka menjunjung Dalem. Adalah pesan Dalem:
"Nah, begini besar rasa baktimu kepadaku, kalian semua bisa menempatkan
keagunganku. Aku menamakan tempat ini kelak menjadi desa Batuaji". Lalu diiringi
oleh rakyatnya, beliau berjalan ke arah barat. Setelah tiba di barat, beliau
beristirahat bersama rakyatnya. Disitulah beliau dibuatkan tempat tinggal. Kata
Dalem: "Wahai sahabatku sekalian, karena berkat sahabatlah aku bisa tiba di sini,
aku akan menyumpah tempat ini. Sejak ini bernama desa Atege. Lalu beliau tinggal
di sana. Ada selama satu bulan berada di sana, beliau tinggal dengan sangat
tenang, pikirannya amat bersih. Oleh karena itu, beliau menyumpah bersama para
sahabatnya. Sumpah Dalem adalah: "Sejak ini, tempat ini bernama desa Batu Bulan.
Para sahabatnya sangat senang mengiringi. Ada pesan Dalem: "Wahai sahabatku
sekalian, desa ini akan aku tinggalkan, aku akan meninggalkanmu ke desa Panji.
Pikiranku sedih seperti telah hancur". Demikian kata Dalem. Sahabatnya semua ikut
mengiringi. Dalem berjalan ke arah barat. Beliau tiba di tengah hutan. Tidak ada
orang ditemukan di sana. Beliau mawas diri, berpikir dalam hati bahwa jika menjadi
orang besar, maka teman-teman yang lebih rendah tidak akan berani mendekat. Jika
menjadi raja, maka teman-teman di bawah tidak akan berani menghadap. Demikian
dipikir oleh Dalem di dalam hati, teringat ketika membangun desa di Batuyang.
Orang kecil lah yang senang dan bersih pikirannya sehingga menemukan Dewa. Oleh
karena itu, lalu Dalem merendahkan diri, tetapi pikirannya suci bersih.
Dalem terkejut, tiba-tiba ada banyak rakyat datang menghadap, amat sangat berbakti
kepada Dalem. Hati Dalem bagaikan dihiasi emas. Oleh karena itu, beliau kemudian
menyumpah tempat itu supaya kelak bernama desa Kayun Mas. Teman-temannya setuju.
Kata Dalem kepada sahabatnya: "Wahai sahabatku sekalian, bukan yang besar, bukan
yang menengah, kebesaran hatimu lah menemukan keselamatan. Batin yang tajam, yang
suci bersih didasari oleh rasa rendah hati, juga akan menemukan keselamatan.
Sekarang aku menyumpah, pada saat rendah hati, aku menemukan keselamatan berkat
sahabatku, aku menyumpah kelak tempat ini bernama Kalanis. Di sini aku
merahasiakan identitas diri, bernama Dalem Tungkub. Tempatmu untuk pergi menghadap
bernama Seman Bantas, menjadi tempat tinggal segala makhluk". Demikian kata Dalem.
Lama beliau tinggal di sana. Pikiran beliau sangat senang, suci dan bersih. Tempat
itu kemudian disumpah oleh beliau, kelak bernama desa Taman, tempat beliau
menyucikan diri. Semakin lama beliau tinggal di sana, semakin tidak enak hati
beliau, lalu beliau pergi menyelinap dan kemudian memuja, sama seperti ketika
beliau berada di Batuyang. Beliau memuja Sanghyang Pasupati, bertujuan memohon
tempat yang pantas menjadi istana Dalem Putih. Ada sabda dari langit yang tertuju
kepada Dalem Putih, yakni supaya beliau pergi ke arah selatan. Setelah Dalem
selesai memuja, lalu menyumpah tempat itu menjadi Dalem Yang Batu. Kemudian
beliau berjalan menuju arah selatan, dan tiba di Sakenan. Beliau dihadap oleh I
Dukuh Prateka, yang tinggal di Sakenan. Dukuh Sakenan bertanya: "Tuanku, hamba
tidak mengenalmu. Tuanku hendak ke mana?" Dalem menjawab: "Aku adalah Dalem Batu
Putih. Aku ingin mencari tempat tinggal supaya sesuai dengan kodratku sebagai
Dalem Batu Putih". "Siapakah orangtuamu?" Jawab Dalem:. "Aku tidak tahu
orangtuaku. Aku dilahirkan di sungai Limpar Kembar. Aku lahir kembar, hitam
(selem) dan putih. Aku lahir dari batu. Saudaraku Dalem Batu Selem sudah menjadi
raja di wilayah Gelgel. Aku belum dapat menjadi raja berkat pesan si Lembu
sehingga aku pergi mengembara. Wahai kakek, siapakah namamu?" I Dukuh terkejut dan
segera mengambil Dalem dan didudukkan di atas dipan. Kata I Dukuh: "Daulat Tuanku
Dalem, hamba adalah abdi Paduka, I Dukuh Prateka Sakenan. Paduka lah yang
menurunkan hamba, hamba lah yang memiliki Paduka. Hamba mengabdi kepada Paduka.
Baik lah, jika Paduka menginginkan tempat tinggal, hamba akan menghaturkan bersama
teman-teman hamba". Kata Dalem: "Aku setuju". Lalu I Dukuh memanggil anaknya:
"Wahai anakku, kita berbahagia dikunjungi oleh Dalem yang menginginkan tempat
tinggal. Kalianlah mengiringi beliau. Tuluskanlah rasa baktimu kepada beliau. Dan
ajaklah beliau ke Uluwatu. Ajaklah beliau ke sana dan supaya dijunjung oleh
kerabatmu sekalian. Ajarkanlah kepada kerabatmu supaya mengenal sopan-santun. Kau
harus belajar dan menyucikan diri, kelak supaya ada Dukuh di Uluwatu". Putra I
Dukuh setuju, lalu I Dukuh menyampaikan kepada Dalem: "Daulat Tuanku Dalem. Hamba,
si tua-bangka ini tidak bisa mengiringi Paduka. Abdi Paduka lah yang akan
mengiringi Paduka, ia ibarat sama dengan diri hamba". Lalu Dalem berjalan diiringi
oleh I Dukuh. Beliau tiba di Uluwatu. Dalem terkejut menemukan pohon bambu gading
hamil. Dalem berkata: "Wahai Dukuh, baru kali ini aku menemukan bambu gading
hamil". I Dukuh disuruh menebang. Kata I Dukuh: "Daulat Tuanku Dalem. Hamba tidak
membawa apa-apa, apakah yang hamba pakai menebang?" Dalem teringat membawa keris
pusaka ketika dilahirkan di sungai Limpar, yang bernama keris I Jala Katenggeng.
Lalu beliau menghunus keris I Jala Katenggeng, dan menebang bagian bambu gading
yang hamil itu. Tiba-tiba ujungnya melesat ke langit dan menghilang. Kandungannya
itu melahirkan bayi wanita. Dalem berkata kepada I Dukuh: "Wahai Dukuh, kau lah
mengambil bayi. ini dan peliharalah di sini. Karena ujung bambu ini menghilang ke
langit, maka sejak sekarang tempat ini bernama Luhur, sebab terbang ke langit
artinya luhur (tinggi). Kelak, siapa pun mohon air suci untuk upacara supaya
memakai sarana ujung bambu bercabang".
Demikian kata Dalem. Kata I Dukuh: "Daulat Tuanku Dalem. Hamba setuju. Hamba akan
tinggal di sini menjadi Dukuh. Para abdi Paduka akan mengiringi Paduka membangun
istana". Istana Dalem pun selesai. Perjalanan beliau dipakai dasar pertimbangan
dalam pembangunan istana (puri). Karena sangat panjang dan lebar oleh beliau
berjalan dari Limpar, maka istananya diberi nama Jimbaran. Sedangkan Dalem
kemudian bergelar Dalem Batu Putih Jimbaran.
Dikisahkan I Dukuh Uluwatu sangat bersedih memelihara si bayi karena tidak
mempunyai ibu, di mana dicarikan air susu ibu. Ketika I Dukuh bersedih memelihara
si bayi, ada seekor kijang datang dari hutan, dan tiba-tiba menyususui bayi. Siang
malam diemban oleh si kijang. Lama-kelamaan hingga si bayi menjadi dewasa, tidak
pernah terserang penyakit. Ketika itu, I Dukuh berkaul: "Wahai anakku, ingat lah
sejak sekarang, ayah berkaul. Kau tumbuh dengan selamat hingga remaja, disusui
oleh kijang. Oleh karena itu, se-keturunanmu dan se-keturunan ayah tidak boleh
membencanai kijang, membunuh kijang. Jika kau membunuh kijang, makan daging
kijang, semoga kau terserang penyakit grehasta (penyakit keturunan). Karena kau
lahir dari bambu gading, maka kau akan kuberi nama I Luh Pering Gading. Se-
keturunanmu dan se-keturunanku kelak tidak boleh tidur memakai galah bambu, sebab
leluhurmu berasal dari bambu. Siapa saja - keturunanmu dan se-keturunanku yang
tidur memakai galah bambu, semoga terserang penyakit grehasta". Demikian lah
sumpah I Dukuh.
Dikisahkan Ni Pering Gading sangat rajin melayani I Dukuh. Ketika I Dukuh
menyucikan diri, selalu dilayani oleh Ni Pering Gading, bagaikan Sanghyang Siwa
dilayani oleh Supraba. wajah Ni Pering Gading sangat cantik, kulitnya gading.
Pekerjaannya menurut perintah I. Dukuh. Tidak henti-hentinya bekerja di pondok,
yakni berkebun.
Dikisahkan Dalem Batu Putih Jimbaran, istananya telah selesai dibangun. Pekerjaan
Dalem Putih Jimbaran sehari- harian berkebun di bukit, diiringi oleh abdinya.
Cukup lama beliau bekerja di kebun, kebetulan menyempatkan diri mampir. Diajak
mampir oleh I Dukuh Uluwatu. Beliau senang diajak mampir, diiringi oleh I Dukuh.
Setelah tiba di Padukuhan, beliau dipersilakan duduk di atas dipan. Ni Pering
Gading sedang sibuk di dapur. Dipanggil oleh I Dukuh, disuruh menghaturkan canang
lekesan (daun sirih dan perlengkapannya) kepada Dalem. Ni Pering Gading sibuk
membuat canang lekesan dan kemudian menghaturkan kepada Dalem. Dalem sangat
terkejut melihat kecantikan Ni Pering Gading bagaikan penjelmaan Dewi. Dalem
bertanya: "Wahai Dukuh, siapakah si wanita itu?" I Dukuh menjawab: "Daulat Tuanku
Dalem, dia adalah anak hamba". Dalem berkata: "Jika benar dia anakmu, aku berharap
agar diajak ke istana, akan aku jadikan permaisuriku". I Dukuh berkata kepada
Dalem: "Sudah hamba duga. Tidak sepantasnya Paduka Dalem jatuh cinta kepada abdi,
supaya jangan karena hamba membuat aib di seluruh istana". Dalem menjawab: "Wahai
Dukuh, apa sebabnya? Jika memang keturunan Dukuh, wajarlah dia menjadi pendamping
di istana. Dukuh pantas mempersembahkan ke istana". I Dukuh berkata: "Paduka
Dalem, hamba tidak berpanjang kata lagi. Paduka lah yang memilikinya. Ketika
menebang bambu gading dengan keris pusaka I Jala Katenggeng, lahirlah bayi yang
Paduka berikan kepada hamba. Inilah dia yang bernama Ni Pering Gading". Dalem
berkata: "Kebetulan, dia menjadi milikku. Dia tidak boleh tetapi boleh. Dukuh
meminta dan sekarang boleh lah menghaturkan kembali. Jika aku yang memeliharanya
dulu, maka ia tidak boleh menjadi permaisuriku sekarang, karena dia adalah putriku
namanya. Dukuh dulu meminta, memeliharanya sebagai anakmu, nah sekarang aku boleh
menjadikannya permaisuri".
I Dukuh menjawab: "Paduka Dalem, hamba tidak berpanjang kata, kalau Paduka memang
menginginkan, hamba akan serahkan". Segera Ni Pering Gading diambil oleh Dalem,
dan telah menjadi permaisuri Dalem Putih Jimbaran.
Pekerjaan sehari-hari Ni Pering Gading sama seperti di pondok, yakni memasak di
dapur dan menyuguhkan makanan kepada Dalem. Dalem pun semakin berhasrat membuat
perkebunan di Bukit.

Kini dikisahkan Dalem Batu Selem. Setelah lama bertahta di Gelgel, pikirannya
bimbang, teringat kepada saudaranya. Meskipun dapat bertahta, jika tidak tahu
keadaan saudara, tidak ada gunanya juga. Pikirannya tidak tenang. Oleh karena itu,
beliau pergi dari wilayah Gelgel, menyusul kepergian Dalem Batu Putih. Beliau
menuju hutan di sebelah barat. Setelah beliau pergi jauh menyusup ke hutan, lalu
menemukan desa. Ada abdi ditemukan oleh beliau dan ditanya: "Siapakah namamu? Desa
apa namanya ini?" Si abdi menjawab: "Hamba adalah Bendesa Ngukuhin. Ini adalah
Desa Batuyang namanya, berkat sumpah Dalem Batu Putih". "Dalem di mana?" "Beliau
berada di Batuaji". "Tolong antarkan aku bertemu dengan Dalem Batu Putih". "Baik
lah!" Setelah tiba di Desa Sasih lalu dihadap oleh I Kabayan. Tanya Dalem: "Desa
apa namanya ini'?". I Kabayan menjawab: "Ini adalah wilayah desa Sasih, berkat
sumpah Dalem Batu Putih". Kata Dalem: "Di mana beliau?" "Beliau berada di desa
Kayu Mas, Kelandis, di sana menjadi raja". Kata Dalem: "Wahai Ngukuhin, Gaduh,
Kebayan tinggal lah di sini, peliharalah anugrah Dalem Batu Putih, karena semuanya
dapat menghasilkan tirta Sudamala (air suci ruwatan). Aku sendiri akan menuju Desa
Kelandis". Ada tiga orang abdi mengantarkan beliau datang ke desa Kelandis. Beliau
dijemput oleh I Dangka. Tanya Dalem: "Wahai Dangka, di mana Dalem Putih berada?" I
Dangka menjawab: "Dulu beliau beristana di sini, namun beliau telah pergi
meninggalkan tempat ini, setelah bertapa di Yang Batu". Kata Dalem: "Sekarang di
mana beliau berada?" "Konon sekarang beliau beristana di Sakenan?" Kata Dalem:
"Wahai Dangka, peliharalah anugrah beliau yang ada di sini. Aku sendiri akan
menyusul kepergian Dalem Batu Putih". I Dangka menjawab: "Hamba setuju". Dalem
berangkat diiringi oleh anak I Dangka, yakni I Mada dan I Merangin. Setelah tiba
di Sakenan, lalu dijemput oleh I Prateka. Tanya Dalem: "Dukuh, di manakah Dalem
Batu Putih?" I Dukuh menjawab: "Hamba mohonkan kepada beliau supaya beristana di
Jimbaran. Anak hamba yang bernama I Dukuh Uluwatu telah mengiringkan beliau". Kata
Dalem: "Aku ingin bertemu dengan Dalem Batu Putih". I Dukuh menjawab: "Daulat
Paduka, silakan berangkat, ingat lah juga anak hamba I Dukuh Uluwatu". Dalem pun
berangkat, lalu tiba di wilayah Jimbaran, hanya menemukan istana saja, tidak ada
orang dijumpai beliau. Kemudian beliau menuju ke dalam istana. Setelah tiba di
dalam istana, beliau bertemu dengan Ni Pering Gading sedang menghidangkan makanan
untuk Dalem Putih. Kebetulan Dalem Batu Selem juga lapar, lalu bergegas membuka
tutup suguhan itu. Ni Pering Gading terkejut dan berkata: "Tuan, jangan lah Tuan
membuka tutup suguhan itu, sebab suguhan itu milik Dalem Batu Putih Jimbaran".
Beliau batal membuka tutup suguhan itu. Tanya Dalem: "Di mana beliau?" Ni Pering
Gading menjawab: "Beliau sedang ke Bukit mengawasi perkebunan". Lalu Dalem keluar
dari istana dan menuju perkebunan di wilayah Bukit. Sekitar tengah hari, Dalem
berangkat menuju perkebunan. Namun tidak ada dijumpai beliau di perkebunan. Dalem
Putih sudah pulang. Karena tidak bertemu di perjalanan, lalu Dalem Selem bertanya
di perkebunan, setiap orang ditanya pada lari ketakutan. Beliau dikira jin
raksasa. Perkebunan di Bukit rusak akibat orang lari ketakutan.
Dalem Batu Putih tiba di istana dan langsung menuju hidangan. baru dilihat
ternyata tempatnya berlainan, bukan seperti biasanya. Tanya Dalem: "Pering Gading,
siapakah membuka hidanganku?" Ni Pering Gading menjawab: "Paduka Dalem, tadi ada
orang datang ke istana membuka hidangan Paduka. Hamba sangat ketakutan melihat
wajahnya. Mungkin jin atau mungkin juga raksasa. Wajahnya hitam, rambut ikal,
berjanggut, kumis lebat, kales, tubuhnya berbulu, hamba sangat ketakutan". Tanya
Dalem Putih: "Ke mana ia pergi?" Ni Pering Gading menjawab: "Ia pergi menuju
perkebunan Paduka". Kata Dalem: "Aku akan menyusul kepergian si pencuri itu".
Dalem Batu Putih berangkat menuju perkebunan. Setelah tiba di perbatasan
perkebunan, beliau menemukan abdinya lari ketakutan. Ada yang pincang, ada yang
batuk, ada yang gemetar menghadap Dalem Batu Putih untuk menyampaikan bahwa
perkebunan itu dirusak oleh jin raksasa. Dalem sangat marah: "Di mana dia? Aku
akan membunuh si penjahat itu". Dalem berangkat ditemani abdinya. Setelah tiba di
hutan, si penjahat pun ditemukan. Kata Dalem Putih: "Nah inilah kau si penjahat,
mati lah kau!" Yang disangka pencuri berkata: "Kau lah yang akan mati". Keduanya
pada marah dan berperang sangat ramai. Lama berkelahi, tidak ada yang kalah, tak
ada yang terluka, tidak ada yang mati. Bukit pun hancur. Setelah lama berperang,
keduanya kelelahan. Para abdi pun kepayahan dan beristirahat. Di situlah mereka
saling bertanya, siapa kamu, sangat kebal dan sakti. Yang ditanya menjawab: "Kau
siapa begitu kebal dan sakti?" Mereka saling bertanya. Di depan mereka yang saling
bertanya itu, tumbuh pohon randu kembar berakar ular. Mereka pada berpikir. Dalem
Batu Putih berkata: "Aku adalah Dalem Batu Putih Jimbaran". Dalem Selem berkata:
"Aku adalah Dalem Batu Selem". Dalem Batu Putih ingat kepada keris pusaka
leluhurnya: "Apa senjatamu Dalem Selem sehingga kau kebal?" "Apakah senjatamu
Dalem Putih?" Tanya Dalem Selem. Di situlah mereka saling bertanya dan
memperlihatkan senjatanya masing-masing. Senjata Dalem Putih Jimbaran bernama Jala
Katenggeng. Senjata Dalem Selem bernama Miring Agung. Di situlah mereka sadar
bersaudara, dan berkata dengan baik, saling bercerita, saling menghormati. Kata
Dalem Selem: "Paduka Dalem Putih Jimbaran, jangan lah bersedih, sebab Paduka dan
aku lahir kembar, artinya dunia menginjak masa Dwapara, akan ditantang musuh. Oleh
karena itu, kau dan aku berperang saudara. Namun jangan bersedih, sejak saat ini
mari kita bersaudara dengan baik". Kata Dalem Putih: "Marilah tinggal bersama di
sini, baik-buruk, hidup-mati, suka-duka". Kata Dalem Selem: "Aku tidak setuju. Kau
dengan menderita membangun wilayah Batu Lepang, Batu Yang, Batu Aji, Batu Bulan,
Kelandis, Kayu Mas, Taman Yang Satu, dan Puri Jimbaran. Jimbar artinya luas,
maksudnya kau telah membangun wilayah begitu luas. Aku adalah saudara kembarmu,
tidak mempunyai hasil jerih payah, aku tidak pantas bersaudara. Aku mohon diri
darimu, akan pergi mengembara. Aku akan pergi ke wilayah hutan bagian utara.
Namun, ingatlah perjanjian kita dulu". Jawab Dalem Putih: "Baik lah". Dalem Selem
berkata: "Jika kau ingin menemui aku, pergi lah menyusup ke hutan, tanyakan di
mana wilayah Batuhe, tanya-tanyakan". Jawab Dalem Putih:
"Baik lah". Dalem Selem berkata: "Wahai Dalem Putih, supaya ada kenangan kelak
sebagai tempat kita berperang, marilah tempat ini kita namakan Bukit Kali". Kata
Dalem Putih Jimbaran: "Silakan!" Mereka saling berjanji. Dalem Putih menjadi raja
di Jimbaran menguasai daerah Bukit.
Dalem Batu Selem berangkat menuju hutan di bagian utara diiringi oleh rakyatnya.
Setelah tiba di tengah hutan, Dalem berkata: "Wahai rakyatku sekalian, aku ingin
membangun istana, karena telah melihat hutan kelapa. Dalem sangat senang, dan
rakyat pun senang. Para kerabatnya diperintahkan datang ke hutan kelapa, semua
membawa senjata untuk membabat hutan kelapa. Setelah semua tumbang, hutan kelapa
itu dibanjiri air laut, kebetulan musim pasang, maka Dalem pergi meninggalkan
tempat itu diiringi oleh abdinya. Beliau pergi menuju ke arah timur.
Kata Dalem: "Kapan pun tempatku ini menjadi desa, supaya bernama desa Sehseh.
Sekarang, di manakah aku pantas membangun istana, sebab di sini rasanya tidak
pantas". Di sini lah beliau mengatakan melihat tempat tanah berwarna putih.
Tempatnya di timur laut. Beliau ingin pergi menuju tempat tanah putih itu. Kata
Dalem: "Kapan saja tempatku ini menjadi desa, sejak ini bernama Batu Bolong". Lalu
beliau berjalan ke timur. Setelah tiba di perbatasan jalan, kaki beliau terpeleset
menginjak batu. Tiba-tiba Dalem berkata: "Kapan saja tempat ini menjadi desa,
tempat kakiku terpeleset menginjak batu, supaya bernama Batu Belig". Beliau
berjalan semakin jauh. Setelah sampai di perbatasan jalan, beliau terjatuh. Dalem
bangun: "Kapan saja tempatku jatuh ini menjadi desa, supaya bernama desa Batu
Tulung". Dalem melanjutkan perjalanan. Di tengah perjalanan, Dalem merasa
kehausan. Di sana lah beliau meminta air dan minum air. Dalem menyumpah: "Kapan
saja tempat ini menjadi desa, supaya bernama desa Batu Bedak". Dalem melanjutkan
perjalanan. Perjalanan beliau selamat karena sudah mendapat air. Tempat itu pun
disumpahnya: "Kapan saja tempat ini menjadi desa, supaya bernama desa Batu Paras".
Dalem melanjutkan perjalanan. Di tengah perjalanan, beliau sadar bahwa telah
banyak membangun wilayah. Kata Dalem: "Wahai rakyatku, buatkan lah dirimu tempat
tinggal, tinggal lah di daerah-daerahku, agar ada abdiku termasuk keturunan Batu.
Para abdinya pada mencari tempat tinggal.
Dalem sendiri tinggal di sana, diiringi seorang abdi. Lama beliau tinggal di sana.
Tidak ada mendampingi. Kata Dalem: "Kapan saja tempatku ini menjadi desa supaya,
bernama desa Lami Mekutang. Pesan Dalem kepada abdinya: "Kau lah di sini menempati
desa ini!" Abdinya setuju.
Dalem pergi menyendiri ke arah timur. Setelah tiba di perbatasan desa, tiba-tiba
beliau menemukan orang sedang melaksanakan upacara di Pura Puseh, yakni I Gusti
Bungangaya diiringi oleh abdinya, kebetulan abdinya menghaturkan sesajen ke Pura.
Banyak laki-laki dan wanita mengiringi I Gusti Bungangaya. Kebetulan Dalem sedang
duduk di bawah balai agung. Orang-orang pada terkejut melihatnya dan mengira
raksasa duduk di bawah balai agung. Semua orang itu berlari. I Gusti Bungangaya
marah dan memukul serta mengusirnya dikira jin. Dalem sangat marah lalu
meninggalkan tempat itu dan menyumpah Pura itu supaya terputus pelaksanaan
upacaranya. I Gusti Bungangaya juga dikutuk oleh Dalem supaya menjadi Gusti
Bongkang.
Dalem melanjutkan perjalanan. Perjalanan beliau semakin jauh. Tiba di pertengahan
jalan, beliau melihat kakinya terluka karena tersandung batu. Kata Dalem: "Aku
Batu tersandung batu. Kapan saja tempat ini menjadi wilayah desa, supaya bernama
desa Tonjaya".

Dalem berjalan semakin jauh. Di tengah perjalanan, beliau menyaksikan orang menari
Gambuh. I Gusti Tangkas mempunyai anak bernama Ni Gusti Ayu Tangkas dan I Gusti
Tangkas Wayahan kebetulan melaksanakan upacara Rajasewala dan upacara potong gigi
disertai tarian Gambuh. Setelah selesai potong gigi, beliau berdua menonton
Gambuh, duduk di atas dipan di sebelah barat. Dalem berada di timur menatap Ni
Gusti Ayu Tangkas. Lalu Ni Gusti Ayu Tangkas jatuh sakit gila. Dalem bersembunyi
di hutan. Desa Tegeh Kuri gempar mencari dukun. Banyak dukun menolongnya tetapi
tidak bisa waras. Si gila tetap mengigau meratapi Dalem Batu Selem. Hanya itulah
obatnya, itu obat mujarab.

Perintah Ni Gusti Ayu Tangkas kepada abdinya supaya mencarikan Dalem Batu Selem.
Si abdi setuju dan berjalan ke arah timur, ke selatan, ke barat. Lama mereka
mencarinya, namun tidak ada ditemukan. Entah berapa lama Ni Gusti Ayu Tangkas
mengidap penyakit, lalu ada orang menemukan orang bersembunyi. Wajahnya sangat
menakutkan bagaikan jin, namun bukan jin, seperti raksasa tetapi bukan raksasa.
Dalem berkata: " Kau mencari apa. Jangan kau takut kepadaku". Yang ditanya
menyahut sambil ketakutan: "Tuan, aku disuruh mencari Dalem Batu Selem, apakah
Tuan mengenalnya, di mana tempatnya?" Jawab Dalem: "Aku lah Dalem Batu Selem". Si
pelacak semakin takut, berbalik lari ke istana menyampaikan kepada Ni Gusti Ayu
Tangkas. Ni Gusti Ayu Tangkas berkata: "Hai, mengapa kau datang tersengal-sengal?"
Jawab si abdi: "Hamba menemukan jin, tetapi bukan jin, raksasa tetapi bukan
raksasa, bersembunyi di hutan. Baru hamba datangi, ia mengaku Dalem Batu Selem".
Kata Ni Gusti Ayu Tangkas: "Di mana tempatnya, ajaklah ke mari!" Jawab si abdi:
"Hamba tidak berani sendirian, hamba akan mencari teman untuk diajak ke hutan
persembunyiannya".
Dalem Batu Selem datang ke istana Ni Gusti Ayu Tangkas diiringi oleh banyak abdi.
Dalem dilihat oleh Ni Gusti Ayu Tangkas, lalu beliau tersimpuh di hadapan Dalem
Batu Selem, menyerahkan diri supaya diambil oleh Dalem. Seketika Ni Gusti Ayu
Tangkas waras. Dalem pun senang menjadikannya permaisuri. I Gusti Tangkas berkata:
"Paduka Dalem, hamba mohon tinggal bersama kami di sini". Dalem tidak mau.
Perintah Dalem, supaya dibuatkan istana tempat permaisurinya, istana itu bernama
Puri Bungkasa, dibangun di tempat Dalem menatap dengan seksama sehingga Ni Gusti
Ayu Tangkas sakit gila, di sana lah tempat istana itu. Pesan Dalem adalah supaya
dibuatkan istana yang berbeda yakni di tempat beliau bersembunyi. Kelak istana
Dalem itu bernama Puri Ditu Mengkeb. Lama beliau beristana di sana. Beliau ingin
membangun tempat permandian yang dinamakan Dalem Pebersihan. I Gusti Tangkas
menjalankan, pesan Dalem, menghaturkan istana dan abdi. Setelah Puri Bungkasa
selesai, Ni Gusti Ayu Tangkas beristana sendirian di sana tanpa suami. Kata Dalem:
"Bapa Tangkas, bapak mempunyai anak, bapak menghaturkan istana, bapak juga
menghaturkan abdi di Puri Bungkasa". Jawab I Gusti Tangkas: "Benar Paduka, itu
adalah warisan hamba dari Gunung Agung, dijadikan abdi di Bongkasa". Pande Bang
yang dulu mengabdi di Tangkas, sekarang kepada Dalem, sejak ini mereka bernama
Pande Bang Angkasa. Di Puri Dalem Ditu Mengkeb, para abdi di sana bernama
Sagerehan. Yang di Puri Pebersihan, mereka bertugas memelihara, dan dijuluki
Dangka oleh Dalem. Dalem Tangkas, dan semua abdi merasa senang. Baik-buruk dalam
kebersamaan. Dalem teringat kepada pesan sehingga Dalem ingin membangun taman.
Taman pemujaan Bali Aga: Jika semua lancar, akan diberi nama Taman Dalem Pada
Getas. Di sana lah beliau memohon air kepada Bhatara di Gunung Batur. Dikabulkan
oleh Bhatara di Gunung Batur dengan memberikan air suci Kamandalu. Di Dalem
Pebersihan, beliau memohon air suci kepada Bhatara Batu Karu. Bhatara di Batu Karu
ingat bahwa beliau mempunyai putra. Beliau bertiga berunding bersama istri. Batu
Karu, Batur, Gunung Agung merupakan perwujudan Sanghyang Pasupati yang pantas
memberikan anugrah air suci. Lalu dianugerahi sebelas air suci yang disebut
Kundalini, kata Dalem. Lama Dalem beristana di Puri Ditu Mengkeb, tidak mempunyai
keturunan. Lalu beliau memohon putra kepada Bhatara di Gunung Batur. Putra anugrah
itu bernama Arya Panji. Diistanakan di Puri Semanggen. Putra yang dimohon kepada
Bhatara Batu Karu, bernama Arya Ularan. Beliau beristana di Jaba Tengah. Kedua
putranya itu mengemban istana di luar halaman puri. Tidak ada abdi mengemban.
Dalem memohon Patih kepada Bhatara Batu Karu yang diandalkan oleh para abdi,
bernama Arya Pasung Gerigih. Lalu beliau memohon Patih kepada Bhatara Gunung
Batur, bernama Arya Pasung Giri. Dengan memuja Bhatara di Gunung Agung, maka
adalah Arya I Tunjung Tutur. Beliau masih kekurangan seorang patih lagi supaya
berjumlah empat. Kata Dalem kepada ketiga Arya itu: "Aku kekurangan seorang patih
lagi". Ketiga Arya menjawab: "Apa yang perlu hamba lakukan?" Kata Dalem: "Jangan
memilih wajah, asalkan kebal, pemberani, pilihlah itu!" Ketiga Arya menyetujui
perintah Dalem. Semua pada memerintahkan anak buahnya masing-masing lima puluh
orang. I Pasung Gerigih , mempunyai abdi yang bernama warga Batu Kesepih,
bertempat tinggal di desa Sumapan. I Pasung Giri mempunyai abdi bernama warga Batu
Piak, bertempat tinggal di desa Kuta Dalem Batur. Tunjung Tutur mempunyai abdi
warga Batu Karang, bertempat tinggal di Batu Krotok. Tempat pertempurannya di
wilayah Penataran Pejeng.
Ketika perang berlangsung, warga Batu Krotok kalah, semua warga Batu Sepih kalah.
Hanya I Batu Piak berhasil pulang sendiri. I Batu Piak diangkat menjadi Patih
bernama Patih Tambyak. Patih Tambyak dijadikan putra oleh Mpu Bijaksara, karena
lahir di Kuta Dalem menimpa bebatuan hingga terbelah. Ia bertugas menjaga bukit
selatan. I Tunjung Tutur menjaga wilayah timur berpusat di Krotok. I Pasung Giri
menjaga wilayah utara di sekitar 25 Gunung Batur dan berpusat di Taro. I Pasung
Gerigih menjaga wilayah di bagian tengah bertempat tinggal di Beda Ulu. Wilayah
barat tidak ada menjaga. I Kebo Iwa dititahkan menjaga wilayah di sebelah utara
bukit. Entah berapa tahun lamanya Dalem didampingi oleh para Arya, sebagaimana
kata Dalem ketika berada di Jimbaran, dirasakan bahwa pada masa Dwapara, akan ada
bencana datang dari Jawa yakni Majapahit.
Nama si utusan itu adalah Patih Agung Gajah Mada. Ia menuju wilayah Beda Ulu ingin
bertemu dengan I Pasung Gerigih, supaya ada yang mengantarkannya menghadap Dalem.
Kata I Pasung Gerigih: "Hamba tidak berani mengantarkan menghadap Dalem, jika I
Kebo Iwa belum mengetahui, hamba tidak berani!" Tanya I Rakryan Gajah Mada: "Di
mana : Kebo Iwa tinggal?" Jawab I Pasung Gerigih: "Ia tinggal di Belah Batuh,
tetapi ia bertugas menjaga wilayah di Den Bukit. Cobalah cari dulu di Belah
Batuh!" Demikian kata Pasung Gerigih: I Rakryan Mada berjalan menuju selatan
Sampai di tengah perjalanan, ada orang tua dijumpainya Mereka saling bertanya.
Orang tua itu mengaku bernama Dukuh Kedangan. Gajah Mada pun memperkenalkan diri
sebagai Patih Agung Gajah Mada. Seketika si tua itu duduk memberi hormat sebab
telah tersebar berita bahwa. raja yang bertahta di Jawa adalah perwujudan Wisnu.
Kata I Dukuh Kedangan: "Mari tuan mampir dulu!" Jawab Patih Mada: "Baik lah", Lalu
beliau diajak mampir ke pondok I Dukuh Kedangan. I Dukuh Kedangan mempunyai
seorang putri bernama Ni Uradani. Ni Uradani disuruh oleh ayahnya supaya
menghaturkan suguhan penyambut tamu. "Beliau adalah Gusti Patih Gajah Mada dari
Jawa, yang sering ayah ceritakan kepadamu". Kata I Dukuh Kedangan. Ni Uradani
menyetujui. Ni Uradani menghadap Patih Agung Gajah Mada.

Pada malam harinya, I Patih Agung Mada menginap di pondok I Dukuh Kedangan.
Sementara itu, I Dukuh Kedangan mohon diri untuk tidur. Ni Uradani berbincang-
bincang dengan Patih Agung Gajah Mada. Ni Uradani terpesona mendengarkan cerita I
Patih Agung Gajah Mada. I Patih Agung Gajah Mada jatuh cinta kepada Ni Uradani. Ni
Uradani menerima. Pada saat Ni Uradani pertama kali dijamah sambil ditanyai:
"Siapakah yang paling kebal di Bali, siapakah yang paling pemberani di Bali?" Ni
Uradani menjawab: "Di antara kelima Patih, hanya lah Patih I Kebo Taruna yang
dipuji". Tanya Gajah Mada: "Mengapa dinamai Kebo Taruna?" Ni Uradani menjawab:
"Beliau tidak mempunyai istri. Jika tidak mendapatkan wanita yang sama besarnya,
sama tingginya, sama kepandaiannya, beliau tidak mau menikah. Tidak ada wanita
seperti itu di Bali". Setelah selesai menjamah, selesai pula perbincangannya.
Pesan Patih Agung Gajah Mada kepada Ni Uradani: "Wahai Luh Uradani, kelak jika
janinku ini jadi, aku memberikan tanda kepadamu, supaya aku bisa mengenali anakku
kelak". Beliau memakai kain geringsing wayang, lalu diserahkannya selembar kain
poleng, dipakai kain untuk anaknya kelak.

Kemudian beliau meninggalkan Ni Uradani menuju wilayah Belah Batuh bertemu dengan
I Kebo Iwa. Mereka saling menyapa. I Gajah Mada mengaku sebagai utusan Dalem
Majapahit: "Bali dan Jawa supaya saling menghormati, saling memberi, saling
menasihati". Demikian kata I Gajah Mada. I Kebo Iwa setuju: "Lalu sekarang apa
maumu?" Kata Gajah Mada: "Lapor lah ke istana bahwa aku akan menghadap". I Kebo
Taruna menjawab: "Baik lah, tunggulah di sini, aku akan menyampaikan dulu".
I Kebo Taruna berangkat menghadap Dalem. Tanya Dalem: "Apa kabar Paman Iwa?" I
Kebo Taruna menjawab: "Ini ada utusan dari Raja Jawa ingin menghadap Tuanku Dalem,
namanya adalah Gajah Mada. Bagaimana Tuanku Dalem?" Kata Dalem: "Ajaklah dia ke
mari, tanyakan lah kepadanya, apa kesenangannya, tanyakan dulu kepadanya supaya
jangan nanti Bali dijelek-jelekkan di Jawa". Kebo Taruna setuju dan bertemu dengan
Gajah Mada: "Tuanku Patih Agung, Tuan sudah diijinkan menghadap, akan ada jamuan,
apa kesenangan Tuan?" Jawab Gajah Mada: "Aku senang nasi sengauk, sayur plecing
pakis batangan, airnya supaya berwadah kendi". Kata Kebo Taruna: "Marilah kita
menghadap". Setelah tiba di hadapan Dalem, I Gajah Mada duduk menunduk. I Kebo
Taruna mempersiapkan hidangan sebagaimana disebutkan tadi. Kata Dalem: "Paman
Patih Mada, marilah kita makan dulu, nanti saja kita berbincang-bincang". I Gajah
Mada menyetujui, lalu mengambil nasi dan memoncongkan mulutnya, mengambil sayur
serta minum air dengan memakai kendi. Dari situlah dia tahu wajah Dalem. Dalem pun
terkesima dan telah merasa didatangi utusan membawa bencana. Namun beliau
menyimpan di dalam hati. Tanya Dalem kepada I Mada: "Wahai Mada, ada perlu apa?"
Jawab Mada: "Daulat Tuanku Dalem, tata kehidupan masyarakat di Jawa-Majapahit
hancur dan Tuanku lah yang pantas menatanya kembali. Karena itu, hamba diutus
menghadap ke Bali". Kata Dalem: "Apakah ada tanda-tanda atau mungkin berita?"
Jawab Gajah Mada: "Di Jawa, ada seorang wanita lahir dengan tubuh besar, tinggi,
sakti, tidak mau menikah: jika tidak sama besar dan tingginya. Terdengar berita
bahwa di Bali ada juga abdi yang demikian". "Kebetulan sekali Paman, inilah
orangnya, marilah kita satukan antara Jawa dan Bali". "Patih Tuanku, I Kebo
Taruna, hamba mohon untuk diajak ke Jawa". Kata Dalem: "Paman Mada, supaya benar-
benar jujur. I Kebo Taruna juga demikian sehingga ia bernama Kebo Taruna di Bali,
sebab tidak ada wanita lahir seperti itu. Nah, di Jawa lah ia dinikahkan". Mada
setuju. Kata Mada kepada Kebo Taruna: "Bagaimana Dinda, Tuanku Dalem sudah
mengijinkan kau akan menikah, sebab di Jawa ada wanita seperti yang kau dambakan".
Kebo Taruna senang dan setuju, lalu mereka berdua mohon diri kepada Dalem.
Tiba di Gunung Jawa, kata Mada: "Wahai Adikku Kebo Taruna, karena Majapahit sudah
dekat, sebaiknya kau mandi dulu, sebab keringatmu berlimbah, supaya tubuhmu tidak
kotor ketika menghadap raja!" Kata I Kebo Taruna: "Di manakah mencari air di
puncak bukit seperti ini?" Kata Mada: "Silakan kau membuat sumur di sini. Air
sumur di sini sangat bening didasari bayu sabda idep. Aku juga ikut mandi jika kau
bisa membuat sumur". Setelah dalam olehnya menggali tanah dengan kukunya, sampai-
sampai I Kebo Taruna tidak kelihatan karena sumur itu terlalu dalam, maka di
situlah Rakryan Mada segera menimbunnya dengan batu-batu besar sebesar lesung dan
mengharapkan I Kebo Taruna supaya mati di sumur itu.

Peristiwa itu telah dipikirkan oleh Dalem bahwa mungkin ada kerabat di Bali yang
memberi tahu kepada Gajah Mada. Oleh karena itu, beliau ingin mencari jalan moksa
sehingga beliau tidak datang-datang ke tempat tidur.
Kebetulan Ni Gusti Ayu Tangkas sedang senang hati mengemban istana bersama
kerabatnya para warga Pande Bongkasa. Ayahnya I Gusti Tangkas Tegeh Kori datang
menemuinya: "Anakku, jangan lah lalai mengemban anak. Dalem sudah menjalankan tapa
puasa untuk bisa menuju alam nirwana. Jika Dalem moksa, siapakah yang akan
memperhatikan kedua putramu. Sekarang godalah Dalem, ajaklah anakmu menghadap
Dalem supaya batinnya goyah. Jika batinnya telah goyah, maka jelas lah beliau
tidak bisa moksa". Ni Gusti Ayu Tangkas menghadap bersama anaknya. Setelah tiba di
Dalem Puri Tungkub, ditanya oleh Dalem: "Ada apa Dinda datang bersama anak-anak?"
Ni Gusti Ayu Tangkas menjawab: "Hamba menghadap Dalem karena lama Dalem tidak
pernah berkunjung ke Puri Bongkasa. Hamba mendapat berita bahwa Dalem akan moksa.
Jika benar seperti berita itu, bagaimanakah dengan kedua anak kita ini?" Kata
Dalem: "Jangan percaya kepada berita itu. Aku sangat sayang kepadamu dan juga
anak-anak. Hiburlah anak-anak kita di Jaba Semanggen". Ketika Ni Gusti Ayu Tangkas
ingat kembali kepada Dalem, tiba-tiba Dalem tidak ditemukan lagi di tempatnya. Ni
Gusti Ayu Tangkas mencari bersama anak-anaknya serta rakyatnya. Ditemukan jejak
kaki Dalem di tengah hutan. Jejak itu dilacak oleh Ni Gusti Ayu Tangkas bersama
anak-anak dan rakyatnya. Setelah tiba di tepi sungai Ayu, kebetulan air besar. Ni
Gusti Ayu Tangkas berhenti bersama-sama. Baru menoleh, tiba-tiba Dalem sudah
berdiri di timur-sungai Ayu dan berkata. Kata Dalem: "Istriku Ni Ayu Tangkas,
anak-anakku dan rakyatku sekalian, jangan lah bersedih, sebab saat inilah takdir
bagiku, tiada lain lagi, adalah permintaanku, di tempatku moksa ini, supaya
dibangun tempat suci sebagai perwujudan diriku. Jika tempat suci ini selesai,
maka. supaya diberi nama Dalem Batu Ulu. Wahai rakyatku sekalian, kalian lah
memuja dan menyembah di sini ibarat memuja diriku, menyembah diriku. Siapa pun
kelak, entah anak, atau pun sanak-saudara, tidak mau hormat berbakti di sini,
semoga ia menjadi sudana. Hutan itu, di tempat jejakku bisa dilacak, sejak ini aku
sumpah bahwa jika wilayah ini menjadi desa supaya bernama desa Ban Mentas".
Setelah selesai berkata, Dalem moksa. Adalah tempat suci bernama
1. Dalem Batu Ulu.
2. Dalem Padang Getas.
3. Dalem Pebersihan
4. Dalem Bongkasa
5. Dalem Tungkub

Dalem Putih Jimbaran telah mempunyai seorang putra laki-laki, namanya I Petak
Jingga. Kata Dalem Putih kepada putranya: "Ayah akan meninggalkanmu, untuk bertemu
dengan saudara ayah. Kau lah menjaga istana ini. Jika seandainya ayah tidak
datang, maka bangun lah tempat suci, dari tempat suci itulah kau mendoakan ayah,
ibarat kau telah berbincang-bincang dengan ayah". Putranya setuju. Dalem berangkat
mengembara ke desa-desa, menanya-nanyakan Dalem Batu Selem. Daerah yang dilalui
adalah Desa Sehseh, Batu Bolong, Batu Belig, Batu Tulung, Batu Bedak, Batu Paras,
Batu Bintang, Batu Bongkang, Toh Jaya dan bertemu dengan I Gusti Tegeh Kuri. I
Gusti Tegeh Kuri ditanyai. Kata Dalem Putih: "Paman, adakah menemukan saudaraku
yang bernama Dalem Batu Selem?" Jawab Arya Tangkas: "Beliau sudah moksa. Di tempat
beliau itu sudah dibangun tempat suci bernama Puri Batu Ulu". Kata Dalem: "Di
manakah tempatnya, tolong antarkan aku ke sana!" Jawab Arya Tangkas: "Baik lah,
hamba bersama teman-teman". Setelah tiba di Puri Batu Ulu, Dalem Putih Jimbaran
ingin ikut moksa, lalu di depan tempat suci itu beliau memusatkan batin. Karena
tidak bertepatan dengan hari baik, maka beliau tidak bisa mencapai moksa. Dalem
Putih sangat menyesali diri sambil meratapi Dalem Batu Selem. Di sini perkataan
Dalem Selem yang telah moksa didengar oleh Dalem Putih yang menyatakan bahwa
kelamin beliau nyata nyata putih. Akhirnya beliau malu tinggal di Bali. Lalu Dalem
Putih pergi mengembara menuju Solo-Jawa.

Kini dikisahkan putranya di Bali. Tidak ada raja. Lalu para patih, yaitu Pasung
Gerigih, Pasung Giri, Tunjung Tutur, Tambyak, Arya Ularan mengadakan rapat untuk
memilih raja. Arya Panji dinobatkan sebagai raja, berada di istana Dalem, namun di
Semanggen, tidak berani tinggal di ruang tidur Dalem karena ada pesan Dalem Selem
bahwa tempat beliau itu dinamakan Dalem Pelinggih, pelinggih Dalem. Oleh karena
itu, hanya dari Semanggen olehnya memuja Dalem yang telah mencapai moksa, bersama
sama para patihnya, rakyatnya, yaitu Pasek Pat, Pasek Lima, Pasek Pitu, Gunung
Agung, Gunung Batur, Gunung Batukaru. Itulah yang dipuja oleh orang-orang yang ada
di Bali. Arya Panji menjadi raja, beristana di Semanggen Dalem Tukuwub. Para Arya-
nya terlebih dulu menempati tempat tinggalnya masing-masing. I Tunjung Tutur
bertugas menjaga wilayah Krotok, dan bertempat tinggal di Tengan(an) Geringsing. I
Pasung Giri menjaga wilayah di seluruh pegunungan Batur dan di Den Bukit. Beliau
bertempat tinggal di Taro. Pasung Gerigih bertempat tinggal di Samuan Tiga. I
Tambyak menjaga wilayah Bukit dan bertempat tinggal di Kutamiba. Entah berapa
tahun lamanya beliau menjadi raja, si Arya Panji mengambil permaisuri.
Permaisurinya bernama Dewa Ayu Sari, tidak berani diajak ke istana Dalem. Lalu di
Semanggen, I Dewa Ayu Sari dibuatkan istana bernama Puri Bukit Sari. Entah berapa
bulan lamanya beliau menikah, I Dewa Ayu Sari hamil dan melahirkan putra laki-
laki..Kata Arya Panji kepada istrinya: "Tidak boleh membawa kotoran di Dalem
Tukuwub sejak dulu sesuai dengan pesan Dalem Selem yang telah moksa". "Hamba
setuju. Kapanpun anak ini lahir dan tumbuh, hamba akan pelihara di Dalem
Semanggen". Kata Arya Panji: "Silakan, Dewa Ayu Sari". Entah berapa bulan si bayi
tinggal di Bukit Sari diemban oleh ibunya bersama para abdinya warga Tangkeban, si
bayi pun panjang umur.
Pada saat ada upacara piodalan, si bayi diajak ke istana Dalem di Semanggen. Si
Arya Panji mengemban.

Entah berapa tahun lamanya beliau mengemban anak dan istana, Puri Dalem Tukuwub
tertimpa bencana besar. Patih Tambyak datang melaporkan bahwa ada orang asing
masuk di wilayah perbukitan, sepertinya merupakan utusan dari Majapahit, bagaimana
sekarang? apakah kita serang atau tidak? Hamba mohon restu", demikian kata Patih
Tambyak. Kata Dalem: "Marilah kita pikirkan dulu, aku masih mencari akal!" Ketika
beliau menoleh ke arah timur laut, ada orang dari Tianyar datang menghadap. Kata
Arya Panji: "Bagaimanakah keadaan wilayah di Tianyar?" Jawab orang Tianyar:
"Daulat Tuanku, hamba menyampaikan berita kepada Tuanku bahwa wilayah Tianyar
kedatangan tamu yang mengaku berburu, konon mereka adalah orang-orang Majapahit.
Konon mereka turun di Sulangai, lalu berburu ke arah timur dan sekarang tiba di
Tianyar. Hamba melihatnya dengan jelas, mereka tampak bersenjata lengkap. Ia
mengaku kepada hamba bahwa ia adalah Patih Gajah Mada dari Majapahit. Bagaimana
Tuanku, apakah kita serang atau tidak?"

Pikiran Arya Panji bingung. Kata Arya Panji: "Paman Tambyak dan kalian warga
Tianyar, jika benar demikian, aku akan meninggalkanmu mati membela bangsa dan
kerajaan. Paman Tambyak, kembali lah ke Bukit, dan kalian kembali lah ke Tianyar!
Bagaimana pun terserah kalian, aku tidak bisa memaksa. Aku masih berunding dengan
si otot besi, Pasung Gerigih dan kerabat istana sekalian". Patih Tambyak setuju
dan kemudian mohon diri. Orang Tianyar juga mohon diri.
Si Arya Panji bersama putranya minggat dari istana mengungsi. ke tepi desa
Supaman, di perbatasan desa Abian Tiing. Ada hutan, ada jurang, ada kali sebagai
tempat beliau berunding diiringi oleh prajurit dan para kerabat istana. Pasek Pat
supaya kembali ke Gunung Agung, mohon restu kepada Bhatara di Gunung Agung, agar
kerajaan Bali mendapatkan keselamatan. Pasek Lima bertolak ke Batur, mohon restu
agar kerajaan Bali selamat. Pasek Pitu bertolak ke Batukaru memohon keselamatan
kerajaan Bali. Semuanya setuju. Sekalian menuju tempat tujuan dan memohon
keselamatan. Tempat I Pasek Pat memohon restu adalah di desa Sorga. Tempat I Pasek
Lima memohon restu adalah di desa Batur. I Pasek Batukaru bertempat di tengah
hutan, tempatnya berunding di tengah hutan, inilah yang menjadi desa Auman. Kata
si Arya Panji: "Saudaraku sekalian, perundingan para pejabat istana membicarakan
laporan I Patih Tambyak dan warga Tianyar. Bagaimana dengan Paman? Apakah kita
membela bangsa dan kerajaan atau tidak? Arya Damar dan Mada dari Majapahit sudah
ada di Bali". I Pasung Gerigih dan I Pasung Giri berkata: "Daulat Tuanku, hamba
lebih baik mati jika kerajaan Bali kalah, supaya hamba dapat mengabdikan diri
kepada Dalem yang telah moksa". Demikian pula kata para pejabat istana dan para
patih. Kata Si Arya Panji: "Aku juga ingin begitu, supaya aku dapat bertutur sapa
dengan Dalem yang telah moksa kelak". Setelah selesai berunding, Si Arya Panji
berkata: "Bapa Patih, Paman Badanda dan kerabat sekalian, tempat kita berunding
ini kelak supaya menjadi Pura Auman. Tempat ini kelak menjadi desa Samu". Semuanya
setuju. Sekalian bertolak menuju tempat masing-masing. Si Arya Panji ingin pergi
ke Den Bukit, yang mengiringinya adalah Bandesa Abian Tiing. Setelah tiba di Den
Bukit, lalu beliau memberitahu warga Den Bukit supaya semua masuk ke tengah hutan,
supaya perundingan menjadi rahasia. Semuanya setuju. Beliau berunding di tengah
hutan belantara, para abdinya membangun perkemahan. Pesan Arya Panji kepada warga
Den Bukit supaya warga Den Bukit siap-siaga. Musuh dari Majapahit sudah tiba di
Bali. Lama beliau berunding di sana, dan perundingan pun selesai, semua pada
sepakat. Pesan Si Arya Panji kepada kerabatnya semua, bahwa sejak ini hutan ini
bernama Alas Panji. Pondok abdiku si Bandesa Abian Tiing asal-usulnya adalah dari
Bukit Kutuh. Pondoknya yang di sini bernama Kutuh. Warga Den Bukit sepakat. Si
Arya Panji bertolak ke selatan menuju Batur. Setelah tiba di hutan alang-alang,
ada jurang, ada kali, di sana lah beliau mengumpulkan orang-orang yang berada di
wilayah selatan Batur diiringi oleh Bandesa Abian Tiing. Di sana lah beliau
berpesan kepada kerabatnya semua. Kata Arya Panji: "Pasukan Mada ada di Tianyar
dan ada juga menuju Bukit Jimbaran. Kita diberi tahu supaya bersiap siaga" Rakyat
pun sepakat. I Bandesa Abian Tiing membangun perkemahan. Pesan Arya Panji:
"Pondokmu ini kelak akan menjadi desa Kutuh. Tempatku menerangkan kedatangan musuh
dari Majapahit, kelak akan menjadi Pura Nataran". Setelah beliau menoleh ke timur
laut, tampak banyak rakyat datang menghadap, ada yang patah, ada yang terluka. Si
Arya Panji terkejut dan berkata: "Ada apa Paman, mengapa Paman semua terluka,
Paman dari mana? Bagaimana masalahnya?" Yang ditanyai menjawab: "Daulat Tuanku,
peperangan telah berlangsung, sengit di hutan Jarak, mayat bertumpuk-tumpuk
seperti gunung, darah mengalir bagaikan lautan, dan telah dikutuk oleh I Mada,
tempat perang sengit itu jika kelak menjadi desa supaya bernama desa Bangkali". Si
Arya Panji tertegun dan berniat pulang ke Puri Semanggen Dalem Tukuwub. Setelah
tiba di tengah perjalanan, beliau bertemu dengan prajurit dari Bukit, yakni I
Patih Tambyak diiringi oleh para warganya. Wilayah Bukit sudah dibakar hangus oleh
Arya Damar. I Patih Tambyak mengungsi ke Batur yakni di Panarajon. Warganya
tersebar ke mana-mana, ada di Batu Bongkang, ada di Genian, ada di Paraupan. Patih
Tambyak menyembunyikan diri di pegunungan.

Dikisahkan Arya Panji mengungsi ke tempat ayahnya moksa, yakni Puri Bedulu. Di
sana lah beliau mendekatkan diri kepada para dewa memohon keselamatan. Belum
selesai doa beliau, Patih Agung Mada datang menyerang dengan keris. Si Arya Panji
lari dari Puri Bedulu. Beliau menjatuhkan diri di sungai dan berenang ke arah
selatan. Gajah Mada juga terjun ke sungai membuntuti pelarian Si Arya Panji.
Setelah tiba di tepi laut, si Arya Panji menuju Tegal Asah. Tiba di tengah
tegalan, Patih Agung Mada sudah berada di belakangnya. Si Arya Panji ditusuk dari
belakang. Beliau jatuh dan tewas. Mayatnya tengkurap ke tanah. Gajah Mada sangat
kesal dan bertolak dari Tegal Asah menuju Puri Bongkasa. Permaisuri Dalem di
Bongkasa melarikan diri dan menerjunkan diri ke sungai, berenang ke selatan
mengembara. Belum jauh pelariannya, lalu ditusuk oleh Patih Gajah Mada. Beliau
tewas di tepi sungai Yeh Ayu. Patih Gajah Mada kembali bertolak ke Puri Bukit
Sari. Setelah tiba di puri, ternyata Ni Gusti Ayu Sari telah melarikan diri
diiringi oleh para kerabatnya. Semua orang istana telah mengungsi. Dengan berang,
Patih Gajah Mada menuju Puri Semanggen. Ditemukan seorang anak, tidak ada yang
menghiraukan. Kata Gajah Mada: "Wahai bocah, siapakah orangtuamu?" Jawab si bocah:
"Hamba adalah putra Arya Panji". Karena terlalu marah, Patih Gajah Mada hendak
melenyapkan seluruh keturunan Raja Bali, lalu dengan berang menghunus kerisnya. Si
bocah terkejut dan bertanya: "Siapakah nama Tuan, dari mana asal Tuan, apa maksud
kedatangan Tuan secara tiba-tiba menghunus keris?" Jawab Patih Mada: "Aku adalah
Patih Majapahit akan melenyapkan seluruh keturunan Raja Bali" "Apakah Tuan
menemukan ayahku?" Jawab Mada: "Ayahmu sudah tewas di Tegal Asah, aku
membunuhnya". Si bocah sangat bersedih hati dan berkata: "Jika benar demikian,
silakan bunuh aku, aku mengikuti kepergian ayahku". Patih Gajah Mada marah. Baru
mau di tusuk, ia teringat akan ajaran agama bahwa tidak boleh membunuh bocah.
Kemarahannya pun berhenti dan timbul lah kebajikan di dalam dirinya. Kata Mada:
"Wahai anakku, aku tidak boleh membunuh bocah, maafkanlah aku". Jawab si bocah:
"Jika memang tidak bisa membunuh diriku, aku mohon dengan hormat kepada Tuan agar
aku bisa bertemu dengan ayahku, meskipun beliau sudah tewas, supaya aku dapat
bertemu dengan mayatnya". Kata Mada: "Baiklah, aku setuju".
Mereka berdua berjalan menyusuri sungai Yeh Ayu ke arah selatan. Setelah tiba di
Tegal Asah, ditemukan mayat ayahnya tengkurap ke tanah. Mayat ayahnya itu diangkat
dan dibalikkan oleh Gajah Mada. I Mada terkejut: "Aduh jangus". Sejak itulah
bernama Dalem Jangus. Si bocah menangis, merebahkan diri di atas mayat ayahnya.
Kata si bocah: "Betapa teganya Tuan membunuh ayahku, siapakah yang akan aku mintai
makan. Hidupku diemban oleh Sanghyang Amerta, aku masih kecil belum bisa mencari
penghidupan. Siapakah akan memperhatikan kehidupanku?" Jawab Mada: "Siapakah yang
melahirkanmu, itulah yang patut dimintai nafkah". Kata si bocah: "karena sudah
tewas, bagaimanakah beliau bisa mencari nafkah?" Kata Mada: "Wahai anakku, aku
datang dan menyerang Bali bukan aku memusuhi agama, aku ingin memperbaiki tata
agama di Bali. Di Bali ada sepuluh agama, di Majapahit ada lima agama. Karena
itulah di Bali oleh Majapahit dikatakan berbeda dengan pusat (Beda Ulu) sebab
berbeda dengan penguasa pusat Majapahit. Sekarang agama di Bali, aku jadikan dua
bagian, yaitu lima untuk wanita dan lima lagi untuk laki-laki, supaya terdiri atas
dua bagian. Yang lima, upacara agamanya sendiri, atas Dewa Yajnya, Bhuta Yajnya,
Manusa Yajnya, Pitra Yajnya, dam Resi Yajnya, supaya terhitung atas dua bagian.
Kaulah yang aku serahi melakukan upacara sesuai dengan ayahmu berupa jangus. Aku
serahkan lima jenis upacara itu, kaulah yang mengolahnya. Aku namakan kau topeng
Sidhakarya. Aku namakan kau warga Melayu, sebab ayahmu tewas dalam pelarian.
Tempat ini tidak lagi bernama Tegal Asah, sekarang aku namakan Buruan, sebab aku
memburu ayahmu dan membunuhnya di sini".
Kerabat Dalem serentak mengungsi ke pegunungan. Tiba di tengah hutan, dijumpai
oleh I Dukuh Buktabia. I Dukuh bertanya: "Di manakah ada wilayah yang hancur
sehingga banyak orang mengungsi?". Mereka yang mengungsi beristirahat dan
membangun pondok. Tempat itu kemudian disumpah oleh I Dukuh Buktabia supaya kelak
menjadi desa bernama desa Sagerehana. I Dukuh terkejut, ada perempuan datang
mengungsi, berteduh di bawah pohon asoka. I Dukuh mengatakan: "sampai perempuan
ikut melarikan diri, bagaimanakah nasib bumi Bali kelak?" Si perempuan itu
beristirahat dan membangun tempat berteduh. Lalu tempat itu disumpah oleh I Dukuh
supaya kelak bernama desa Sahngeh. Pengungsi dari kerabat Puri Bongkasa dijumpai
oleh I Dukuh dan ditanyai. Jawab si pengungsi: "Aku adalah keluarga besar Puri
Bongkasa, aku adalah warga Pande Bungkasa". Cukup panjang ceritanya. Akhirnya
warga Pande itu ingin membangun tempat berteduh. Lalu tempat itu disumpah oleh I
Dukuh supaya kelak bernama desa Bangkasa.

Lama I Melayu di Buruan. Topeng warisannya dipakai simbol leluhur, diupacarai di


Buruan. Beliau didampingi oleh sekalian kerabatnya, beliau sangat adil kepada para
kerabatnya. Siapapun membuat upacara, I Melayu memimpin pemujaannya dengan topeng
warisan, seakan-akan membahagiakan hati masyarakat, topeng itu dinamakan topeng
Sidakarya. Desa itu kemudian dinamakan Antaran.
Terkenal I Melayu dikasihi oleh kerabatnya. Saudara I Melayu ada empat, yang
paling tua dipercayai oleh kerabatnya untuk memerintah di Antara, dihormati dan
diberi gelar oleh kerabatnya bergelar I Gusti Singgih, I Gusti Bandesa Singgih.
Anak kedua (Made), masih di Melayu menjaga prasasti dan topeng leluhur. Anak
ketiga (Nyoman), menjadi Bendesa di daerah Neriti. Anak keempat (Ketut) pergi
mengungsi ke Buruan, mengembara ke desa-desa. Beliau ingin membawa topeng warisan
leluhurnya, tetapi tidak diijinkan oleh I Melayu. Supaya semua pada membawa, maka
hanya peti tempat topeng itu saja diberikan membawa. Saudaranya yang keempat pergi
mengembara, menyusuri sungai Yeh Ayung. Beliau ingin beristirahat membangun
pondok. Lama beliau berada di sana. Banyak orang dijumpai, setiap ditanyai mengaku
diri warga Gaduh. Beliau menyaku diri karena ditinggalkan oleh sang ayah,
diturunkan derajatnya menjadi warga Melayu. Aku dimasukkan ke dalam warga Pedem.
Beliau membuat tempat pemujaan yang dinamakan Pura Mani Aji. Tanda moksa Dalem
Batu Selem, sebagai tanda dinobatkan menjadi Raden Panji.
Adalah putra Dalem Batu Selem dua orang, yang paling tua bernama I Gusti Susudana
Batu Suluk. Yang kedua masih kecil ketika perang I Gaduh di Bali. Karena
peperangan terlalu sengit, para bangsawan dan rakyat sekalian, semua pada
merahasiakan jati diri, tidak ada memperhatikan wangsa, pada takut mati, dibunuh
oleh I Mada. Semua orang Bali asli mengungsi ke pegunungan. Ada yang ke Culi,
Songan, Terunyan, Jungjungan, Batur, Kedisan, Juntal, Cempaga.
Adik I Gusti Susudana masih kecil, tidak ada orang menghiraukannya, lalu ia
mengungsi ke wilayah tenggara. Tiba di tepi laut, ia menemukan sebuah sampan.
Karena hatinya ketakutan terhadap musuh yang galak, lalu sampan itu didorong
dibawa ke laut dan dinaiki oleh beliau. Setelah tiba di tengah lautan, beliau
tidak tahu bahwa sampan itu bocor, maka beliau tenggelam. Pedayung sampannya
terdampar di Nusa. Orang Nusa terkejut menjumpai sampan terdampar berisi bocah.
Lalu dipungut oleh orang Nusa. Dilaporkan kepada perbekel I Bendesa Nusa. Kata I
Bandesa Nusa: "Baiklah, biarkan ia tinggal di sini".
Lama I Bandesa Nusa mengemban si bocah. I Bandesa Nusa mempunyai seorang putri
bernama Ni Luh Bandesa, usianya sama dengan si bocah tadi. Dengan senang hati I
Bandesa Nusa menanyai si bocah: "Wahai bocah, darimana asalmu, mengapa terdampar
hingga ke Nusa, siapakah orang tuamu?" Jawab si bocah: Aku dari Bali, putra Dalem
Batu Selem. Ayahku Dalem Batu Selem sudah moksa. Saudaraku sudah dinobatkan berkat
harapan rakyat, ia bergelar Raden Panji. Bumi Bali hancur, dirusak oleh I Gajah
Mada dan Arya Damar. Raden Panji tewas di Tegal Asah. Kerabatku Pasek Pat, Pasek
Lima, Pasek Pitu semua mengungsi ke pegunungan. Saudara-saudaraku pada
menyembunyikan diri. Ada juga yang menyerahkan diri kepada I Gajah Mada, dan
saudara-saudaraku diturunkan derajatnya menjadi Sudra. Aku tidak ada yang
mempedulikan karena aku masih kecil. Karena takut diturunkan derajatku, maka
dengan pasrah aku menaiki sampan dan tiba di sini di Nusa". Segera I Bandesa Nusa
turun mengambil dan menyongsong si bocah, didudukkan di atas dipan. I Gede Bandesa
duduk di pelataran bersimpuh menghadap bersama istri dan kerabatnya laki
perempuan. I Gede Bandesa berkata: "Tuan adalah junjungan hamba. Jika benar
seperti kata Tuan, junjungan hamba di Bali, semua menyerahkan diri dan menjadi
Sudra, semoga Tuan panjang umur, di sini akan hamba junjung, supaya ada memimpin
bumi Nusa. Hamba mempunyai seorang putri, semoga juga panjang umur, akan hamba
haturkan kepada Tuan, semoga Tuan berkenan menjadikannya pelayan. Dan bagi semua
orang Nusa ini, Tuanlah memimpinnya".

Beliau sangat senang kepada rasa bakti orang-orang Nusa itu. Entah berapa tahun
lamanya, putra raja (Dewa Agung Putra) itu sudah dewasa, Ni Luh Bandesa juga sudah
remaja. I Bendesa Nusa berniat menikahkan anaknya dengan I Dewa Agung Putra. Di
situlah ia mengumpulkan semua orang Nusa. Orang Nusa pada sepakat. Pada saat
pernikahan Ni Luh Bandesa mengiringi I Dewa Agung mandi ke laut, diiringi orang
desa sekalian. Beliau mandi berduaan. Pada saat I Dewa Agung mandi, beliau
dihanyutkan arus. Ni Luh Bandesa menangis dan berlari ke tepian. Di atas pasir
merebahkan diri. Orang Nusa memukul kentongan, dicari di seluruh pantai Nusa.
Semua bersedih, pada menangis. Disangkanya beliau telah dimangsa ikan.

Dikisahkan I Dewa Agung hanyut ke hilir dan terdampar di pantai Goa Lawah. I Dewa
Agung tidak lesu tidak letih. Tiba-tiba beliau mendengar suara, meminta supaya
beliau datang ke Goa Lawah. I Dewa Agung menuju Goa Lawah. Setelah beliau tiba di
sana, hatinya sangat takut, menjumpai naga berkaki satu. Baru beliau mau pergi, si
naga berkata: "Jangan takut, ibu ingin bertanya kepadamu, siapa yang mandi di
pantai Nusa, aku lihat dari Tolangkir (Gunung Agung), diiringi oleh orang-orang
Nusa.
Hanya satu saja yang bersinar. Itulah sebabnya ibu berjalan ke Goa Lawah dan
meneropong air laut itu. Kau datang ke mari, siapakah namamu, darimana asalmu,
siapakah orang tuamu?" Kata I Dewa Agung Putra: "Hamba belum mempunyai nama sebab
hamba masih kecil, ditinggal orang tua. Orang tua hamba adalah Dalem Bali (Raja
Bali). Bumi Bali telah dikalahkan oleh I Gajah Mada. Hamba masih kecil, mengungsi
menaiki sampan bocor dan terseret arus terdampar dipungut oleh orang Nusa. Di sana
hamba dinobatkan menjadi raja". I Naga berkata: "Ibu adalah Sanghyang Basuki,
bertempat tinggal di Tulangkir. Jika memang benar kau adalah putra Raja Bali, dan
belum mempunyai nama, ibu akan memberikan nama kepadamu, sejak ini kau bernama Sri
Pelaka. Pelak artinya hidung berwarna kemerahan. Kau masih berhidung merah.
Hilangkan warna merah di hidungmu dengan membilas". Sejak itu kotoran di hidungnya
itu semakin bersih. Sri Pelaka sepakat. Ida Sanghyang Basuki berkata: "Kau akan
menjadi raja di Nusa, apakah kau ingin lama menjadi raja, ataukah ingin cepat
mati?" Sri Pelaka menjawab: "Hamba mohon restu, agar hamba lama menjadi pemimpin
negeri Nusa, supaya selamat dan bahagia". Sanghyang Basuki berkata: "Apakah kau
bersedia membuatkan ibu tempat suci di puncak Gunung Nusa, supaya ada tempat suci
di puncak Mundi (Pura Muncak Mundi) di Nusa?". Sri Pelaka menyetujui keinginan
beliau. Kata Sanghyang Basuki: "Jika memang benar kau bisa membuatkan ibu tempat
suci di puncak Mundi, apapun kesusahanmu, ibu akan menolongmu". Sri Pelaka
berkata: "Hamba setuju"."Nah, silakan bertolak kembali ke Nusa!" Jawab Sri Pelaka:
"Hamba tidak membawa sampan". Kata Sanghyang Basuki: "Nah, silakan kau turun ke
air laut itu!" Sri Pelaka turun ke air laut, air itu ditiup oleh Sanghyang Basuki
dari Goa Lawah. Sri Pelaka hanyut dibawa arus, terdampar di pantai Nusa, dijemput
oleh orang Nusa. Orang Nusa yang lain tidak mendengar berita kedatangan I Dewa
Agung. Ni Luh Bandesa sangat senang, bagaikan mengetahui sorga, menghadap
Sanghyang Semara.

Siang malam tiada terhitung, orang Nusa menghaturkan persembahan kepada Ni Luh
Bandesa. Entah berapa hari lamanya, Sri Pelaka berkata kepada Ni Luh Bandesa:
"Wahai Luh Bandesa dan kerabatku sekalian, aku bertanya kepada kalian semua,
manakah yang lebih baik, apakah aku sebentar menjadi raja lalu mati, ataukah aku
lama menjadi raja menemukan kesenangan di Nusa?" Ni Luh Bandesa berkata bersama
kerabatnya: "Daulat Tuanku, jika boleh, supaya Tuanku lama menjadi junjungan
hamba, membangun kesejahteraan di bumi Nusa ini". Sri Pelaka berkata: "Jika
begitu, marilah kita sekalian membangun tempat suci di puncak gunung Nusa, supaya
ada Pura Muncak Mundi, seperti dikatakan oleh Sanghyang Basuki, sebagai tempat
beliau mengawasi Nusa Kambangan yang ada di Jawa. Semua orang Nusa supaya
menjunjung Pura Muncak Mundi". Ni Luh Bandesa bersama kerabatnya sepakat. Sri
Pelaka meninggalkan Ni Luh Bandesa di dalam istananya. Sri Pelaka pergi ke puncak
Mundi membangun tempat suci untuk Sanghyang Basuki.
Entah berapa tahun lamanya, Sri Pelaka tidak pernah pulang dari membangun tempat
suci di gunung Nusa. Ni Luh Bandesa gelisah di istana karena Sri Pelaka tidak
pernah pulang, beliau membangun tempat suci. Ni Luh Bandesa bergegas menuju puncak
Mundi menemui I Dewa Agung. Tanya Ni Luh Bandesa: "Daulat Tuanku, apakah maksudnya
Tuan Bandesa, janganlah kau menggoda orang sedang berbuat jasa di tempat suci.
Ibulah menyuruh supaya membangun tempat suci di puncak. Kau bersedih karena tidak
ada keturunan, ibu memberikanmu keturunan, supaya kau benar-benar memelihara bayi
ini. Bayi ini kelak tidak mati pada malam hari, tidak mati pada siang hari, tidak
mati di medan perang. Anakmu ini akan bernama Dalem Baukut. Jika ada wangsa Wisnu
turun ke pulau Bali; aku akan menitipkan taringku di pohon dedap, dihanyutkan di
sungai Unda, supaya ada alasan I Jelantik menjalankan kesatriaan. I Jelantik ke
Nusa, berikan dia istri Ni Gusti Ayu Lod. Taringku bernama keris I Pencak Saang. I
Pencak Saang akan membunuh Dalem Baukut. Dialah menjadi Raja Bali terakhir yang
dinamakan pemimpin Bali. Kerabat Dalem Bali, yakni I Pasek Pat berada di Sorga,
menjaga, Pura Gunung Agung, namanya I Dukuh Sorga. Yang kedua (Di Made), I Dukuh
Gamongan tugasnya menjaga Pura Bukit Lempuyang. Yang ketiga, bertempat tinggal di
Payangan bagian barat, bertugas menjaga Pura Gunung Batukaru, namanya adalah Dukuh
Buktabia. Yang bungsu, berada di Sakenan, tugasnya menjaga Bukit Luhur Ulu Watu,
namanya adalah I Dukuh Preteka. Pasek Bali Lima, kerabat Dalem Bali, yaitu Pasek
Kayu Putih, tugasnya menjaga Pura Batur. Pasek Kayu Selem tugasnya menjaga Pura
Ulun Danu. Pasek Kayu Ireng bertugas menjaga Pura Jati. Pasek Cemeng bertugas
menjaga Pura Penulisan. Pasek Celagi Manis bertugas menjaga Pura Taman Sari.
inilah dinamakan Pasek Gunung Batur. Pasek Pitu yang berada di Bali, kerabat Dalem
Bali. I Bence panti-nya Bandesa. Gaduh panti-nya Gaduh. Kebayan panti-nya Kebayan.
Pasek pura-nya nya Pasek. Dangka pura-nya Dangka. Ngukuhin pura-nya Ngukuhin.
Penyelawean selesai sampai di sanggah saja, dinamakan warga Pemasahan. Inilah
menjadi sanak-saudara, abdi Dalem Bali, setiap kali dianugrahi oleh Dalem Bali,
dinobatkan di Puri, menjadi kerabat raja (Pangerob Dalem), dinamakan warga
Tangkeban, Purinya bernama Batu Kuwub, penjaganya adalah Tangkeban. Penjaga Dalem
Bongkasa bernama warga Pande Bangkasa. Pande Bangkasa mempunyai tempat perapian.
Pada saat melakukan upacara atiwa-tiwa, jika tidak mempunyai tempat suci Padma di
sanggah, patut membuat Sanggar Agung di arah timur laut, memohon air suci kepada
Bhatara di Gunung Agung untuk menyempurnakan jalannya upacara kematian itu.
Anugrah Ida Bhatara Mahadewa ketika di Gunung Agung, ini bernama warga Bali
Tangkeban.

Abah-Abah (Nasihat Leluhur).

Ada lagi nasihat leluhurku Ki Selem dan Ki Putih Jimbaran seperti ini katanya.
Wahai kau keturunanku sekalian, janganlah kalian tiada mempedulikan kelima
istanaku, terutama Pura Dalem Batu Kuub, Pura Bungkasa, Pebersihan, Batan Getas,
dan Bedulu. Sebab itulah yang dinamakan tempat suci leluhurmu sekalian, sebagai
pengayom seluruh keturunan. Jika keturunanku melupakan leluhurnya, kalian akan
hancur. Kalian semua harus tahu leluhurmu. Dan jika membuat upacara atiwa-tiwa
yang pantas dilakukan, dalam pandusan (tempat memandikan jenazah) boleh memakai
dasar pancung pering. Dan jika melakukan upacara dwijati ataupun mapodgala, boleh
memakai atribut pendeta, seperti menggunakan Padmasana, Padmasari, Padma Kerawang
dan Petulangan Lembu. Ada lagi anugrah, berkenaan dengan rurub kajang yang patut
disuratkan, antara lain: Dasa Aksara, Sapta Aksara, Panca Aksara, Panca Brahma,
Tri Aksara, Dwi Aksara, Sajat Kranti, Sapta Titawati, Nawa Sanga, dan aksara yang
patut disurat ketika orang selesai diupacarai upacara mapodgala, di sela alisnya
disurat, Ongkara Sari. Dan jika kalian telah selesai melakukan upacara mayogala,
kalian berhak mengentaskan sanak keluargamu, jangan kalian menyimpang dari isi
prasasti yang dianugrahkan kepadamu hingga kelak. Ini air suci untuk orang mati,
sebagai pembasmi ketika meninggal, air suci ini berisi bunga teratai, soce mimang,
berwadah kelapa gading, disiratkan dengan mantra: "Ong Ang Brahma sunya iiirmala
ya namah swaha. Ong Ang Wisnu sunya nirmala ya namah swaha. Ong Ang Mang Iswara ya
namah swaha. Ang Ing Mahadewa nirmala ya namah swaha. Ong Ang Sadha Rudra sunya
nirmala ya namah swaha. Ong nibana acintya sunya nirmala ya namah swaha. Ong Ang
bhyo mantra suksma sunya nirmala ya namah swaha". Air suci ini dari Pura Pada
Getas Bantas, sebagai pengentas. Di dalam tulisan Kajang memakai aksara Ongkara
adumuka.

Doa Pemujaan

"Ong Brahma ya kita purusa ya pinggala ya druwe yayA musala bajra paramatha ya
pati sahayu tasma, baruna ayu dipati sarwa satwa ya namah". Ini adalah doa
pemujaan kepada Mahadewa, pantas dipakai di Pura Bedahulu, mantranya: "Ong Dewa
Mahadewa pita warna Mahadewana catur bhuja Rudra mamakon meru kancana bhaswaram".
Demikian tata caranya yang patut dilaksanakan oleh keturunan Ki Putih Jimbaran.

Anda mungkin juga menyukai