BAB I
PENDAHULUAN
1
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
2
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
BAB II
TUBERKULOSIS SECARA GLOBAL
3
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
(dikutip dari 3)
Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara
ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan
rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan
pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB,
maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara
ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial bahkan
dikucilkan oleh masyarakat 3.
4
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
II.2. ETIOLOGI
5
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
keadaan dormant. Dari sifat ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan
penyakit tuberkulosis menjadi aktif lagi 2.
6
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
pendapatan yang kecil membuat orang tidak dapat hidup layak dengan memenuhi
syarat-syarat kesehatan 5.
2. Status Gizi.
Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi dan lain-
lain, akan mempengaruhi daya tahan tubuh sesoeranga sehingga rentan terhadap
penyakit termasuk TB Paru. Keadaan ini merupakan faktor penting yang berpengaruh
dinegara miskin, baik pada orang dewasa maupun anak-anak 5.
3. Umur.
Penyakit TB-Paru paling sering ditemukan pada usia muda atau usaia
produktif (15 – 50) tahun. Dewasa ini dengan terjaidnya transisi demografi
menyebabkan usia harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi. Pada usia lanjut lebih
dari 55 tahun sistem imunologis seseorang menurun, sehingga sangat rentan terhadap
berbagai penyakit, termasuk penyakit TB Paru 5.
4. Jenis Kelamin.
Penyakit TB Paru cenderung lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki
dibandingkan perempuan. Menurut WHO, sedikitnya dalam periode setahun ada
sekitar 1 juta perempuanyang meninggal akibat TB Paru, dapat disimpulkan bahwa
pada kaum lebih banyak terjadi kematian yang disebabkan oleh TB Paru
dibandingkan dengan akibat proses kehamilan dan persalinan. Pada jenis kelamin
laki-laki penyakit ini lebih tinggi karena merokok tembakau dan minum alkohol
sehingga dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh, sehingga lebih mudah terpapar
dengan agen penyebab TBParu 5.
7
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
masuk dan terkumpul di dalam paru akan berkembang biak menjadi banyak (terutama
pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah) dan dapat menyebar melalui
pembuluh darah atau kelenjar getah bening. Oleh sebab itulah infeksi TB dapat
menginfeksi hampir seluruh organ tubuh seperti: paru, otak, ginjal, saluran
pencernaan, tulang, kelenjar getah bening, dan lain-lain, meskipun demikian organ
tubuh yang paling sering terkena yaitu paru 2.
Lingkungan hidup yang sangat padat dan dan pemukiman di wilayah
perkotaan kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan berperan
sekali atas peningkatan jumlah kasus TB. Penularan penyakit ini sebagian besar
melalui inhalasi basil yang mengandung droplet nuclei, khususnya yang didapat dari
pasien TB paru dengan batuk berdarah atau berdahak yang mengandung basil tahan
asam ( BTA ) 2.
Pada TB kulit atau jaringan lunak penularan bisa melalui inokulasi langsung.
Infeksi yang disebabkan oleh M.bovis dapat disebabkan oleh susu yang kurang
disterilkan dengan baik atau terkontaminasi. Sudah dibuktikan bahwa lingkungan
sosial ekonomi yang baik, pengobatan yang teratur dan pengawasan minum obat yang
ketat berhasil mengurangi angka morbiditas dan mortalitas di Amerika selama tahun
1950-1960 2.
Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien
TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar
dari pasien TB paru dengan BTA negative 3.
Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of
Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB
selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000
penduduk terinfeksi setiap tahun. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%. Infeksi
TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif 3.
8
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Dengan ARTI
1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000 terinfeksi TB dan
10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB setiap tahun. Sekitar 50
diantaranya adalah pasien TB BTA positif 3.
Faktor yang memengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien adalah
daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi
buruk). HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB
menjadi sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas system daya tahan
tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta
(oportunistic), seperti TB, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan
bisa mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka
jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat
akan meningkat pula 3
II.7. PATOGENESIS
9
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
akan menempel pada saluran napas atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke
alveolar bila ukuran partikel < 5 mikrometer 2.
Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi sebagai
satu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil. Gumpalan basil yang lebih besar
cenderung lebih tertahan di saluran hidung dan cabang besar bronkus dan tidak
menyebabkan penyakit. Setelah berada di ruang alveolus, biasanya bagian bawah
lobus atas paru atau di bagian atas lobus bawah, basil tuberkel ini membangkitkan
reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak pada tempat tersebut dan
memfagosit bakteri namun tidak membunuh organisme tersebut. Sesudah hari – hari
pertama, leukosit digantikan oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami
konsolidasi, dan timbul pneumonia akut 1.
Pneumonia selular ini dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada
sisa yang tertinggal, atau proses dapat berjalan terus dan bakteri terus difagosit atau
berkembang biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening dan menuju
kelenjar getah bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih
panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid yang
dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 10 – 20 hari 1.
Bila kuman menetap dalam jaringan paru, ia akan berkembang biak dalam
sitoplasma makrofag. Dari sini ia dapat menuju ke organ - organ lainnya. Sarang
tuberkulosis primer disebut fokus ghon yang dapat terjadi di setiap jaringan paru, dan
kalau menjalar sampai ke pleura, maka terjadilah efusi pleura. Kuman juga dapat
masuk melalui saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi
limfadenopati regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar ke
seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka
terjadi penjalaran ke seluruh jaringan paru menjadi TB millier 2.
Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju
hillus ( limfangitis lokal ), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hillus
(limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis lokal + Limfadenitis regional =
10
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
Kompleks primer ( Ranke ). Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu.
Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi:
•Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. ( sebagian besar penderita )
•Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis – garis fibrotik.
Kalsifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada pneumonia yang luasnya
> 5 mm dan ± 10 % diantaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman
yang dormant.
•Berkomplikasi dan menyebar secara :
a.Perkontinuitatum ( ke sekitarnya )
b.Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan ataupun pada paru
disebelahnya. Kuman juga dapat tertelan bersama sputum dan ludah
sehingga menyebar ke usus.
c.Secara limfogen ke organ – organ lainnya
d.Secara hematogen ke organ – organ tubuh lainnya 2.
11
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
12
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
Hingga saat ini belum ada kesepakatan diantara para klinikus, ahli radiologi,
ahli patologi, mikrobiologi dan ahli kesehatan masyarakat tentang keseragaman
klasifikasi tuberkulosis. Menurut American Thoracic Society dan WHO 1964,
diagnosis pasti tuberkulosis paru adalah dengan kuman MTB dalam sputum atau
jaringan paru secara biakan. Tidak semua pasien memberikan biakan sputum positif
2
.
Menurut WHO tahun 1991, kriteria pasien TB paru adalah sebagai berikut:
Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA), TB paru dibagi atas:
a.Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif.
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan
radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan
positif.
a.Tuberkulosis paru BTA (-) adalah:
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis dan
kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis paru.
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan MTB positif
6
.
Berdasarkan tipe pasien:
13
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
14
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
Luas lesi yang tampak pada foto thorax untuk kepentingan pengobatan dinyatakan
sebagai berikut (terutama pada kasus BTA negatif):
•Lesi minimal
Bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih
dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas chondrosternal
junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4
atau korpus vertebra torakalis 5, serta tidak dijumpai kaviti.
•Lesi luas
Bila proses lebih luas dari lesi minimal 6.
15
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
16
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
Pada tahun 1974, American Thoracic Society memberi klasifikasi baru yang diambil
berdasarkan aspek kesehatan masyarakat:
17
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
18
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
dan bukan negatif. Indurasi terdiri dari infiltrat limfosit yakni reaksi persenyawaan
antara antibodi seluler dan antigen tuberkulin 1.
Interpretasi tes kulit menunjukkan berbagai tipe reaksi ( lihat tabel 1). Reaksi
positif pada tes tuberkulin mengindikasikan adanya infeksi tetapi belum tentu
terdapat penyakit secara klinis. Namun, tes ini adalah alat diagnostik penting dalam
mengevaluasi seorang pasien dan juga berguna dalam menentukan prevalensi infeksi
TB pada masyarakat 1.
Biasanya semua pasien tuberkulosis memberikan hasil reaksi yang positif
(99,8 %). Kelemahan tes ini juga terdapat positif palsu yakni pada pemberian BCG
atau terinfeksi mikrobakterium lain. Negatif palsu lebih banyak ditemukan daripada
positif palsu 2.
19
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
Pasien yang menjalani transplantasi organ dan pasien yang mengalami penekanan
imunitas (menerima setara dengan ≥ 15 mg/hr prednison selama ≥ 1 bulan )
Anergi adalah tidak ada respon hipersensitifitas tipe lambat terhadap pajanan
antigen terdahulu, seperti tuberkulin. Anergi spesifik adalah tidak ada reaktivitas
antigen seseorang; anergi nonspesifik secara keseluruhan adalah ketidakmampuan
untuk bereaksi terhadap berbagai antigen 1.
Pada seseorang dengan imunosupresif, respons selular hipersensitivitas tipe
lambat seperti reaksi tuberkulin dapat menurun atau menghilang. Penyebab anergi
dapat berasal dari infeksi HIV, sakit berat atau demam, campak ( atau infeksi virus
20
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
lainnya ), penyakit hodgkin, sarkoidosis, vaksinasi virus hidup, dan pemberian obat
kortikosteroid atau obat imunosupresif 1.
Berdasarkan CDC (2000) 10 % sampai 25 % pasien dengan penyakit TB
memiliki reaksi yang negatif ketika diuji dengan tes tuberkulin intradermal pada saat
didiagnosis sebelum pengobatan dimulai. Kira – kira ⅓ pasien yang terinfeksi HIV
dan lebih dari 60 % pasien dengan AIDS dapat memperlihatkan hasil reaksi tes kulit
yang kurang dari 5 mm, walaupun mereka terinfeksi dengan MTB. Infeksi HIV
dapat menekan respon tes kulit karena jumlah CD4 dan Limfosit T yang menurun
hingga kurang dari 200 sel/mm3. Anergi juga dapat muncul bila jumlah CD4+
Limfosit T cukup tinggi 1.
Anergi dideteksi dengan memberikan sedikitnya 2 antigen hipersensitivitas
dengan menggunakan metode Mantoux. Tidak ada standarisasi dan hasil data,
membatasi evaluasi keefektifan tes anergi. Karena alasan ini, CDC ( 2000 ) tidak lagi
menyarankan tes anergi untuk penapisan rutin TB diantara orang – orang yang
menderita HIV positif di Amerika Serikat 1.
Vaksinasi BCG, satu bentuk strain hidup basil TB sapi yang dilemahkan
adlah jenis vaksin yang paling banyak digunakan di berbagai negara. Pada
vaksinasi BCG, organisme ini disuntikkan ke kulit untuk membentuk fokus primer
yang berdinding, berkapur dan berbatas tegas. Bacille Calmette-Guérin tetap
berkemampuan untuk meningkatkan resistensi imunologis pada hewan dan manusia.
Infeksi primer dengan BCG memiliki keuntungan daripada infeksi dengan organisme
virulen karena tidak menimbulkan penyakit pada pejamunya 1.
Vaksinasi dengan BCG biasanya menimbulkan sensitivitas terhadap tes
tuberkulin. Derajat sensitivitasnya bervariasi, bergantung pada strain BCG yang
dipakai dan populasi yang divaksinasi. Tes tuberkulin kulit tidak merupakan kontra
indikasi bagi seseorang yang telah divaksinasi dengan BCG. Terapi pencegahan harus
21
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
dipertimbangkan bagi siapapun orang yang telah divaksinasi BCG dan hasil reaksi
tes tuberkulin kulitnya berindurasi ≥ 10 mm, khususnya jika salah satu keadaan
dibawah ini menyertai :
1.Kontak dengan kasus TB
2.Berasal dari negara yang berprevalensi TB tinggi
3.Terus menerus terpajan dengan populasi berprevalensi TB tinggi
( rumah penampungan tuna wisma, pusat terapi obat )
Vaksinasi BCG hanya memiliki tingkat keefektifan 50 % untuk mencegah
semua bentuk TB. Berdasarkan rekomendasi dari CDC 1996, BCG jarang
diindikasikan 1.
22
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
BAB III
DIAGNOSA TUBERKULOSIS
III.1.1. Demam
Gejala ini sering ditemukan. Batuk terjadi karena ada iritasi pada bronkus.
Batuk ini diperlukan untuk membuang keluar produk – produk radang. Karena
terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada
setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni setelah berminggu – minggu
atau berbulan – bulan sejak awal peradangan 2.
Sifat batuk dimulai dari batuk kering ( non-produktif ) kemudian setelah
timbul peradangan menjadi produktif ( menghasilkan sputum ). Keadaan yang lanjut
adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan
batuk darah pada tuberkulosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus
dinding bronkus 2.
23
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
III.1.5. Malaise
Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia ( tidak ada nafsu makan),
badan makin kurus, berat badan turun, sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat
malam. Gejala ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak
teratur 2.
24
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
Bila dicurigai ada infiltrat yang luas, maka didapatkan perkusi yang redup dan
auskultasi suara nafas bronkial. Akan didapatkan juga suara nafas tambahan seperti
ronki basah, kasar dan nyaring. Tetapi apabila infiltrat ini ditutupi oleh penebalan
pleura, suara nafasnya menjadi vesikuler melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup
besar, perkusi dapat memberikan suara hipersonor atau tympani dan auskultasi suara
nafas amforik 2.
Pada TB paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi
dan retraksi otot – otot interkostal. Bagian paru yang sakit menjadi mengecil dan
menarik isi mediastinum atau paru lainnya. Paru yang sehat akan menjadi lebih
hiperinflasi. Bila jaringan fibrotik amat luas, yakni > ½ jumlah jaringan paru, akan
terjadi pengecilan daerah aliran darah paru dan selanjutnya meningkatkan tekanan
arteri pulmonalis ( hipertensi pulmonal ) diikuti terjadinya korpulmonale dan gagal
jantung kanan. Disini akan timbul tanda – tanda takipnea, takikardia, sianosis, right
ventricular lift, right atrial gallop, murmur Graham – Steel, Bunyi P2 yang
mengeras, JVP meningkat, hepatomegali, asites dan edema 2.
Bila mengenai pleura, dapat terjadi effusi pleura. Pada inspeksi, paru yang
sakit terlihat tertinggal dalam pernapasan, pada perkusi pekak, pada auskultasi bunyi
nafas melemah sampai tidak ada 2.
Saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk
menemukan lesi tuberkulosis. Pemeriksaan ini terutama memberikan keuntungan
seperti pada kasus tuberkulosis anak – anak dan tuberkulosis milier. Pada keadaan
tersebut, diagnosis dapat diperoleh melalui pemeriksaan radiologis dada, sedangkan
pemeriksaan sputum hampir selalu negatif 2.
Lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah apeks paru ( segmen apikal lobus
atas atau segmen apikal lobus bawah ), tetapi dapat juga mengenai lobus bawah
( bagian inferior ) atau di daerah hilus menyerupai tumor paru ( misalnya pada
tuberkulosis endobronkial ) 2.
Pada awal penyakit saat lesi masih merupakan sarang – sarang pneumonia,
gambaran radiologis berupa bercak – bercak seperti awan dan dengan batas – batas
25
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa
bulatan dengan batas yang tegas. Lesi ini dikenal sebagai tuberkuloma 2.
Pada kavitas, bayangannya berupa cincin yang mula – mula berdinding tipis,
lama kelamaan dinding menjadi sklerotik dan tampak menebal. Bila terjadi fibrosis,
akan tampak bayangan yang bergaris – garis. Pada kalsifikasi, bayangannya tampak
sebagai bercak – bercak padat dengan densitas tinggi. Pada atelektasis tampak seperti
fibrosis yang luas disertai penciutan yang dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus
maupun pada satu bagian paru 2.
TB milier memberikan gambaran berupa bercak – bercak halus yang
umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru. Gambaran radiologis lain
yang sering menyertai tuberkulosis paru adalah penebalan pleura ( pleuritis ), massa
cairan di bagian bawah paru ( efusi pleura atau empiema ), bayangan hitam
radiolusen di pinggir paru atau pleura ( pneumothoraks ) 2.
Biasanya pada TB yang sudah lanjut, dalam satu foto dada seringkali
didapatkan bermacam – macam bayangan sekaligus, seperi infiltrat, garis – garis
fibrotik, kalsifikasi, kavitas ( nonsklerotik atau sklerotik ) maupun atelektasis dan
emfisema 2.
Karena TB sering memberikan gambaran yang berbeda – beda, terutama pada
gambaran radiologisnya, sehingga tuberkulosis sering disebut sebagai the greatest
imitator. Gambaran infiltrasi dan tuberkuloma sering diartikan sebagai pneumonia,
mikosis paru, karsinoma bronkus atau karsinoma metastasis. Gambaran kavitas sering
diartikan sebagai abses paru 2.
Pemeriksaan khusus yang kadang – kadang diperlukan adalah bronkografi,
yakni untuk melihat kerusakan bronkus atau paru yang disebabkan oleh tuberkulosis.
Pemeriksaan ini umumnya dilakukan bila pasien akan menjalani pembedahan paru.
Pemeriksaan lain yang dapat digunakan adalah CT scan dan MRI. Pemeriksaan MRI
tidak sebaik CT scan, tetapi dapat mengevaluasi proses – proses dekat apeks paru,
tulang belakang, perbatasan dada – perut. Sayatan bisa dibuat transversal, sagital dan
koronal 2.
III.4. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
III.4.1. Darah
Pemeriksaan ini hasilnya tidak sensitif dan tidak spesifik. Pada saat
tuberkulosis baru mulai (aktif), akan didapatkan jumlah lekosit yang sedikit meninggi
dengan hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih dibawah normal. Laju
endap darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah lekosit kembali
normal dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai turun ke arah
normal. Hasil pemeriksaan lain dari darah didapatkan : anemia ringan normokrom
normositer, gama globulin meningkat, kadar natrium darah menurun 2.
Pemeriksaan serologis yang pernah dipakai adalah reaksi takahashi.
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan proses tuberkulosis masih aktif atau tidak.
Kriteria positif yang dipakai di Indonesia adalah titer 1 / 128. Positif palsu dan negatif
palsu dari pemeriksaan ini masih besar 2.
26
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
Akhir – akhir ini terdapat pemeriksaan serologis yang banyak dipakai adalah
Peroksidase Anti-Peroksida (PAP-TB) yang nilai sensitivitas dan spesifisitasnya
cukup tinggi ( 85-95% ), tapi di lain pihak ada pula yang meragukannya. Walaupun
demikian, PAP-TB masih dapat dipakai, tetapi kurang bermanfaat bila dimanfaatkan
sebagai sarana tunggal diagnosis TB. Prinsip dasar uji PAP-TB adalah menentukan
ada antibodi IgG yang spesifik terhadap antigen tuberkulosis. Hasil uji PAP-TB
dinyatakan patologis bila pada titer 1:10.000 didapatkan uji PAP-TB positif. Hasil
positif palsu didapatkan pada pasien reumatik, kehamilan, dan masa 3 bulan
revaksinasi BCG 2.
Uji serologis lain terhadap TB yang hampir sama nilai dan caranya dengan uji
PAP-TB adalah uji Mycodot. Disini dipakai antigen Lipoarabinomannan (LAM) yang
direkatkan pada alat berbentuk sisir plastik, kemudian dicelupkan dalam serum
pasien. Bila terdapat antibodi spesifik dalam jumlah memadai maka warna sisir akan
berubah 2.
III.4.2. Sputum
27
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
Sebenarnya TB paru cukup mudah dikenali dari gejala – gejala, kelainan fisik,
kelainan radiologis sampai dengan kelainan bakteriologis. Tetapi dalam prakteknya
tidak selalu mudah menegakkan diagnosanya. Menurut American Thoracic Society
(ATS) dan WHO 1964, diagnosis pasti tuberkulosis paru adalah dengan menemukan
28
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
kuman MTB dalam sputum atau jaringan paru secara biakan. Tidak semua pasien
memberikan sediaan atau biakan yang positif karena kelainan paru yang belum
berhubungan dengan bronkus atau pasien tidak bisa membatukkan sputumnya dengan
baik 2.
Di Indonesia sulit menerapkan diagnosis diatas karena fasilitas laboratorium
yang sangat terbatas untuk pemeriksaan biakan. Sebenarnya dengan menemukan
kuman BTA dalam sediaan sputum secara mikroskopis biasa, sudah cukup untuk
memastikan diagnosis tuberkulosis paru, karena kekerapan M. atipic di Indonesia
sangat rendah. Meskipun demikian, hanya 30-70 % dari seluruh kasus tuberkulosis
yang dapat didiagnosis secara bakteriologis 2.
Diagnosis TB paru masih banyak yang ditegakkan berdasarkan kelainan klinis
dan radiologis saja. Kesalahan diagnosis dengan cara ini masih besar sehingga
memberikan efek kepada pengobatan yang sebenarnya tidak diperlukan. Oleh karena
itu, sebaiknya dicantumkan status klinis, status radiologis dan status kemoterapi.
World Health Organization tahun 1991 memberikan kriteria pasien tuberkulosis paru:
Pasien dengan sputum BTA positif :
Pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis ditemukan BTA,
sekurang – kurangnya pada 2x pemeriksaan atau
satu sediaan sputumnya positif disertai kelainan radiologis yang sesuai dengan
gambaran TB aktif atau
Satu sediaan sputumnya positif disertai biakan yang positif
Pasien dengan sputum BTA negatif :
Pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis tidak ditemukan
BTA sedikitnya pada 2x pemeriksaan tetapi gambaran radiologis sesuai dengan TB
aktif atau
Pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis tidak ditemukan
BTA sama sekali, tetapi pada biakannya positif
29
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
BAB IV
DIRECTLY OBSERVED TREATMENT SHORTCOURSE
30
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
31
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
Indonesia adalah negara high burden dan sedang memperluas strategi DOTS
dengan cepat, karenanya baseline drug susceptibility data akan menjadi alat pemantau
dan indikator program yang amat penting. Berdasarkan data dari beberapa wilayah,
identifikasi dan pengobatan TB melalui Rumah Sakit mencapai 20-50% dari kasus
BTA positif dan lebih banyak lagi untuk kasus BTA negatif. Jika tidak bekerja sama
dengan Puskesmas, maka banyak pasien yang didiagnosis oleh RS memiliki risiko
tinggi dalam kegagalan pengobatan dan mungkin menimbulkan kekebalan obat 10.
32
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
33
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
34
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
35
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
terinfeksi TB. Alasanya adalah karena malu, takut dapat stigma dan alasan klasik
lainnya. Oleh karena itu, ada beberapa saran yang dapat digunakan untuk
menanggulangi masalah TB yang lain 3.
Dalam strategi DOTS ini ada tiga tahapan penting yaitu, mendeteksi pasien,
melakukan pengobatan, dan melakukan pengawasan langsung. Deteksi atau diagnosis
pasien sangat penting karena pasien yang lepas dari deteksi akan menjadi sumber
penyebaran TB berikutnya. Seseorang yang batuk lebih dari 3 minggu bisa diduga
mengidap TB. Orang ini kemudian harus didiagnosa dan dikonfirmasikan terinfeksi
kuman TB atau tidak. Sampai saat ini, diagnosa yang akurat adalah dengan
menggunakan mikroskop. Diagnosa dengan sinar-X kurang spesifik, sedangkan
diagnosa secara molekular seperti Polymerase Chain Reaction (PCR) belum bisa
diterapkan 3.
Jika pasien telah diidentifikasi mengidap TB, dokter akan memberikan obat
dengan komposisi dan dosis sesuai dengan kondisi pasien tersebut. Adapun obat TB
yang biasanya digunakan adalah isoniazid, rifampicin, pyrazinamide, streptomycin,
dan ethambutol. Untuk menghindari munculnya bakteri TB yang resisten, biasanya
diberikan obat yang terdiri dari kombinasi 3-4 macam obat ini 3.
Dokter atau tenaga kesehatan kemudian mengawasi proses peminuman obat
serta perkembangan pasien. Ini sangat penting karena ada kecendrungan pasien
berhenti minum obat karena gejalanya telah hilang. Setelah minum obat TB biasanya
gejala TB bisa hilang dalam waktu 2-4 minggu. Walaupun demikian, untuk benar-
benar sembuh dari TB diharuskan untuk mengkonsumsi obat minimal selama 6 bulan.
Efek negatif yang muncul jika kita berhenti minum obat adalah munculnya kuman
TB yang resisten terhadap obat. Jika ini terjadi, dan kuman tersebut menyebar,
pengendalian TB akan semakin sulit dilaksanakan 3.
36
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
37
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
BAB V
PENATALAKSANAAN TUBERKULOSIS PARU
38
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
1. Tahap Intensif
Pada tahap intensif, penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung
untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT, terutama rifampisin.
Bila pengobatan intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita yang
tadinya menular, menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian
besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif pada akhir pengobatan
intensif 8.
2. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan, penderita mendapat jumlah obat yang lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap ini penting untuk membunuh kuman
dormant, sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan 8.
Dari hasil percobaan pada binatang dan pengobatan pada manusia ternyata :
39
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
1)Bahwa terapi yang berhasil, memerlukan minimal 2 macam obat yang basilnya
peka terhadap obat tersebut, dan salah satunya harus bakterisid. Karena suatu
resistensi obat dapat timbul spontan pada sejumlah kecil basil, monoterapi
memakai obat bakterisid yang terkuat pun dapat menimbulkan kegagalan
pengobatan dengan terjadinya pertumbuhan basil yang resisten 9.
Keadaan ini lebih banyak dijumpai pada pasien dengan populasi basil yang besar,
misalnya pada TB paru dengan kavitas, oleh karena dapat terjadi mutasi 1 basil
resisten dari 106 basil yang ada. Kemungkinan terjadinya resistensi spontan
terhadap 2 macam obat merupakan hasil probabilitas masing-masing obat,
40
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
41
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
Aktivitas bakterisid
Aktivitas sterilisasi
Disini obat bersifat membunuh kuman-kuman yang pertumbuhannya lambat.
Aktivitasnya diukur dari kekambuhannya setelah pengobatan dihentikan 2.
Berikut adalah daftar efek obat yang digunakan untuk terapi jangka pendek
berdasarkan data dari laboratorium dan penelitian klinik untuk populasi basil yang
terbesar:
a)Basil yang metabolismenya aktif yang cepat terbunuh oleh obat berkemampuan
bakterisidal terutama H.
b)Basil yang dorman dan yang muncul berlipat ganda secara periodik. Basil ini
terutama sensitif terhadap obat R.
42
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
c)Populasi lain, yang terdiri dari basil yang terdapat di lingkungan asam (basil
intrasel dan basil yang terdapat dalam lokasi perkejuan), yang terutama peka terhadap
efek obat Z.
d)Suatu populasi basil yang metabolismenya inaktif yang tidak dapat dipengaruhi
oleh obat apapun dan dapat di eliminasi oleh respons imun pejamu 2
43
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
(dikutip dari 1)
1. – TB Paru Sputum BTA (+) kasus baru, 2 RHZE/ 4 RH atau 2 RHZE/ 6 HE * 2 RHZE/
luas
44
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
R3H3
4. - Kasus Kronis RHZES/ sesuai hasil uji resistensi ( min. OAT
minimal 18 bulan )
(dikutip dari 1)
1.Rifampisin
45
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
2.Isoniazid (INH)
46
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
3.Pirazinamid
Etambutol
2,7
Etambutol memiliki efek bakteriostatik terhadap MTB . Efek
samping yang paling berat dari etambutol adalah neuritis optik
retrobulbar, yang biasanya muncul setelah beberapa bulan
mengkonsumsi etambutol 7.
Efek samping ini muncul tergantung dari dosis dan juga durasi
pemberian obat. Kadang-kadang dapat pula dijumpai hiperurisemia,
namun asimtomatik 7. Etambutol satu-satunya obat lapis pertama yang
47
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
Streptomisin
Streptomisin merupakan salah satu obat anti tuberkulosis
pertama yang ditemukan. Streptomisin ini merupakan suatu antibiotik
golongan aminiglikosida yang harus diberikan secara parenteral dan
11
bekerja mencegah pertumbuhan organisme ekstraseluler .
Streptomisin dapat diberikan secara intramuskular 7. Streptomisin
memiliki efek bakterisidal 2,7.
Efek samping streptomisin muncul pada 10-20% pasien yang
mendapat streptomisin 7. Kekurangan obat ini adalah efek samping
toksik pada saraf kranial kedelapan yang dapat menyebabkan disfungsi
7
vestibular dan atau hilangnya pendengaran . Selain itu yang
berbahaya dari streptomosin adalah sifatnya yang toksik bagi ginjal
(gagal ginjal non-oliguri) 7.
48
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
Quinolon
Obat-obat golongan quinolon digunakan jika terdapat resistensi
terhadap OAT golongan 1 atau pada pasien-pasien yang tidak dapat
menggunakan OAT golongan 1. Obat-obatan yang termasuk golongan
quinolon adalah ofloxacin, levofloxacin, ciprofloxacin, gatifloxacin dan
moxifloxacin. Efek samping jarang sekali dijumpai. Jika ada, biasanya berupa
gangguan gastrointestinal, kemerahan pada kulit, pusing dan sakit kepala.
Efek samping yang cukup berat, seperti kejang, nefritis interstitial, vaskulitis,
dan gagal ginjal akut. Quinolon dapat diberikan secara intravena 7.
1.Capreomycin
Capreomycin merupakan suatu kompleks antibiotik polipeptida siklik
derifat dari Streptomyces capreolus, yang memiliki kesamaan dalam
pemberian dosis, cara kerja, farmakologi dan toksisitas dengan streptomisin.
Capreomycin diberikan secara intramuskular dalam dosis 10-15mg/kg/hari
atau 5 kali dalam seminggu (dosis maksimal per-hari 1 g). Setelah diberikan
selama 2-4 bulan, dosisnya diturunkan menjadi 1 g dalam 2 atau 3 kali
seminggu. Capreomycin merupakan obat injeksi pilihan terhadap tuberkulosis
setelah streptomisiin 7.
2.Rifabutin
Rifabutin memiliki beberapa kemiripan karakteristik dengan
rifampisin, namun rifabutin ini juga dapat digunakan pada pasien-pasien yang
resisten terhadap rifampisin dan juga lebih efektif mengatasi M. avium
complex dan nontuberculosis mycobacterium lainnya. Pada pengobatan HIV
dengan TB paru, akan lebih baik jika menggunakan rifabutin dari pada
rifampisin, karena efek interaksi obat antara rifampisin dan Anti Retro Virus
(ARV) yaitu nevirapin 7.
49
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
Efek samping rifabutin baru muncul jika pemberian dosis > 300
mg/hari. Efek samping yang paling sering muncul adalah gangguan
gastrointestinal. Selain itu, dapat muncul gejala lain seperti kemerahan pada
kulit, nyeri dada, myalgia, dan insomnia7.
Sama seperti rifampisin, pemakaian rifabutin juga dapat menyebabkan
perubahan warna urin menjadi berwarna merah kekuningan. Dari pemeriksaan
laboratorium, akan dijumpai neutropeni, trombositopeni dan peningkatan
enzim hati. Namun efek samping-efek samping tersebut akan hilang jika
pemberian rifabutin dihentikan 7.
3.Amikacin
Amikasin memiliki efek baksterisidal yang berkerja di ekstraseluler.
Amikacin ini efektif terhadap MTB, M. lepra, M. avium complex, dan lain-
lain. Dosis yang diberikan biasanya 7-10mg/kg IM atau IV, 3-5 kali dalam
seminggu 7.
4.Ethionamide
Ethionamide adalah derivat asam isonikotinik, sama seperti isoniazid
dan pirazinamid. Obat ini memiliki efek bakteriostatik. Namun
penggunaannya terbatas karena efek toksisitas dan banyaknya efek samping,
seperti gangguan gastrointestinal berat (mual, muntah, anoreksia, disgesia),
gangguan neurologis berat, hepatitis, reaksi hipersensitivitas, dan juga
hipotiroidisme 7.
50
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
Selain obat-obat antituberkulosis yang telah disebutkan tadi di atas, saat ini
sedang dilakukan penelitian efektivitas antituberkulosis beberapa obat, seperti
rifapentine, 8 methoxyfluroquinolones gatifloxacin, moxifloxacin dan lain-lain.
Penggunaannya dalam terapi tuberkulosis hingga saat ini belum dipastikan7. Obat TB
yang aman diberikan pada perempuan hamil adalah INH,Rifampisin dan Etambutol11.
Pengobatan TB memerlukan waktu sekurang-kurangnya 6 bulan agar dapat
mencegah perkembangan resistensi obat oleh karena itu, World Health Organization
(WHO) telah menerapkan strategi DOTS dimana terdapat petugas kesehatan
tambahan yang berfungsi secara ketat mengawasi pasien minum obat untuk
memastikan kepatuhannya. WHO juga telah menetapkan regimen pengobatan standar
yang membagi pasien menjadi 4 kategori berbeda menurut definisi kasus tersebut11.
Kortikosteroid digunakan untuk TB yang mengenai SSP (meningitis) dan
perikarditis namun tidak dianjurkan untuk diberikan sebagai tambahan terapi pada TB
jenis lainnya. Pengobatan TB pada pasien dengan HIV positif pada dasarnya sama.
Hal yang perlu diperhatikan adalah adalah rifampisin tidak diberikan pada pasien
HIV positif yang menggunakan obat protease inhibitor ( kecuali obat ritonavir) atau
obat non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor/NNRTI (kecuali obat efavirenz).
Untuk mengatasinya dengan menggunakan rifabutin sebagai rifampisin. Rifabutin
dapat diberikan bersamaan dengan protease inhibitor (kecuali obat saquinavir) dan
NNRTI ( kecuali obat delavirdin) dengan penyesuaian dosis 11.
Sebaiknya tatalaksana TB pada pasien HIV dilakukan oleh ahlinya. Pasien
HIV yang mendapat OAT dan ARV dapat menunjukkan gejala dan tanda eksaserbasi
TB (reaksi paradoks). Keadaan ini disebabkan oleh reaksi hipersensitifitas lambat dan
meningkatnya antigen kuman setelah pemberian anti TB bakterisidal. Pasien HIV
dengan CD4<100 tidak boleh diberikan pengobatan dengan regimen 2 kali seminggu
11
.
51
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
Pada tabel berikut ini dapat kita lihat beberapa OAT yang mempunyai sifat
hepatotoksik13.
52
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
53
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
•Bila setelah fase intensif BTA menjadi (-) pengobatan dilanjutkan dengan fase
lanjutan
•Bila setelah 3 bulan dahak masih tetap (+), fase intensif diperpanjang 1 bulan lagi
dengan RHZE. Bila setelah 4 bulan dahak masih tetap (+), pengobatan dihentikan 2-3
hari, lalu diperiksa biakan dan tes resistensi kemudian fase lanjutan diteruskan tanpa
menunggu hasil tes. Bila hasil tes menunjukkan resisten terhadap H dan R ini
menunjukkan MDR, bila memungkinkan penderita dirujuk ke unit pelayanan
spesialistik untuk dipertimbangkan pengobatan dengan obat sekunder 3.
•Bila pasien mempunyai data resistensi sebelumnya dan ternyata kuman masih
sensitif terhadap semua obat dan setelah fase intensif dahak menjadi (-), fase lanjutan
dapat diubah seperti kategori I dengan pengawasan yang ketat 3.
•Fase Lanjutan 5 R3H3E3 / 5 RHE
54
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
Ada beberapa saran yang dapat diterapkan untuk menanggulangi masalah TB,
yaitu:
55
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
Kedua, perlu dilakukan program dalam bentuk gerakan seperti program Pekan
Imunisasi Nasional (PIN). Program ini lebih bersifat case finding active yaitu
melakukan penelusuran pada masyarakat yang dicurigai menderita TBC yaitu dengan
menjadwalkan secara tersendiri dan reguler pada setiap rumah sakit, puskesmas,
puskesmas pembantu atau sarana fasilitas kesehatan lainnya. Tujuan dari cara ini
adalah mendekatkan sarana pelayanan kepada masyarakat sehingga masyarakat dapat
datang dengan sadar, sukarela untuk memeriksakan kesehatannya 1.
1.Bakteriologis
Biasanya setelah 2-3 minggu pengobatan sputum BTA mulai menjadi
negatif. World Health Organization menganjurkan kontrol sputum BTA
dilakukan pada akhir bulan ke 2, 4, dan 6. Pemeriksaan resistensi dilakukan pada
pasien baru yang BTA nya masih positif setelah tahap intensif dan pada awal
terapi bagi pasien yang mendapat pengobatan berulang. Bila sudah negatif
sputum BTA tetap di periksakan minimal 3x berturut- turut 2.
56
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
2.Radiologis
Bila fasilitas memungkinkan foto kontrol dapat dibuat pada akhir
pengobatan sebagai dokumentasi untuk perbandingan bila nanti timbul kasus
kambuh. Karena perubahan gambaran radiologis tidak secepat perubahan
bakteriologis, evaluasi foto dada dilakukan setiap 3 bulan sekali. Bila secara
bakteriologis ada perbaikan tetapi klinis dan radiologis tidak, harus dicurigai
penyakit lain disamping tuberkulosis paru. Perlu dipikirkan juga ada gangguan
imunologis pada pasien tersebut antara lain AIDS 2.
Pasien yang gagal pengobatan dapat diberikan resimen pengobatan yang
dimodifikasi dengan menambahkan sedikitnya 3 obat baru (dimana kuman masih
sensitif terhadap obat tersebut). Pasien dengan MDR diterapi dengan 4-6 obat
selama 18-24 bulan ( jika terdapat resistensi terhadap etambutol dan pirazinamid
maka pengobatan diberikan selama 24 bulan) 2.
Semua pasien tuberkulosis harus diperiksa terhadap kemungkinan
menderita HIV. Pasien dengan faktor risiko terkena hepatitis B atau C juga harus
diperiksa 2.
57
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
a. Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan
pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk
kehamilan, kecuali streptomisin. Streptomisin tidak dapat dipakai pada kehamilan
karena bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus barier placenta. Keadaan ini
dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang
menetap pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa
keberhasilan pengobatannya sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat
berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB
3
.
b. Ibu menyusui dan bayinya
Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan
pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu
menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat.
Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan
kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut
dapat terus disusui. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi
tersebut sesuai dengan berat badannya 3.
58
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
59
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
dengan pengawasan ketat. Pasien dengan kelainan hati, Pirasinamid (Z) tidak boleh
digunakan. Paduan OAT yang dapat dianjurkan adalah 2RHES/6RH atau 2HES/10HE
3
.
60
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
Selama fase akut prednison diberikan dengan dosis 30-40 mg per hari,
kemudian diturunkan secara bertahap. Lama pemberian disesuaikan dengan jenis
penyakit dan kemajuan pengobatan 3.
j. Indikasi operasi
Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (reseksi paru),
adalah:
1) Untuk TB paru:
• Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan cara
konservatif.
• Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat
diatasi secara konservatif.
• Pasien MDR TB dengan kelainan paru yang terlokalisir 3.
V.12. 2. Kemoprofilaksis
61
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
Isoniazid banyak digunakan belakangan ini karena harganya murah dan efek
sampingnya yang sedikit ( terbanyak hepatitis dengan frekuensi 1 % dan yang > 50
thn adalah 2 % ). Obat alternatif lain adalah rifampisin. Beberapa peneliti pada
International Union Against Tuberculosis (I DAT) menyatakan bahwa profilaksis
dengan INH diberikan selama 1 tahun dapat menurunkan insidens tuberkulosis
hingga 55 – 83 % dan yang kepatuhan minum obatnya cukup baik dapat mencapai
penurunan hingga 90 %. Yang minum obatnya tidak teratur (intermitten),
efektifitasnya masih cukup baik 2.
Lama profilaksis yang optimal masih belum diketahui, tetapi banyak peneliti
menganjurkan 6-12 bulan, ( American Thoracic Society, US Centers for Disease
Control ) terhadap tersangka dengan uji tuberkulin 5 – 10 mm. Yang mendapat
profilaksis selama 12 bulan adalah pasien HIV + dan pasien dengan keluhan
radiologis dada. Yang lainnya, seperti kontak dengan penderita TB cukup 6 bulan
saja. Pada negara – negara dengan populasi TB tinggi sebaiknya profilaksis diberikan
untuk semua pasien dengan HIV + dan pasien yang mendapat terapi imunosupresi 2.
1. Oleh penderita, dapat dilakukan dengan menutup mulut sewaktu batuk dan
membuang dahak tidak disembarangan tempat.
2. Oleh masyarakat dapat dilakukan dengan meningkatkan dengan terhadap bayi
harus diberikan vaksinasi BCG.
3. Oleh petugas kesehatan dengan memberikan penyuluhan tentang penyakit TB yang
antara lain meliputi gejala bahaya dan akibat yang ditimbulkannya.
62
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
B. Tindakan Pencegahan.
1. Status sosial ekonomi rendah yang merupakan faktor menjadi sakit, seperti
kepadatan hunian, dengan meningkatkan pendidikan kesehatan.
2. Tersedia sarana-sarana kedokteran, pemeriksaan penderita, kontak atau suspect
gambas, sering dilaporkan, pemeriksaan dan pengobatan dini bagi penderita, kontak,
suspect, perawatan.
3. Pengobatan preventif, diartikan sebagai tindakan keperawatan terhadap penyakit
inaktif dengan pemberian pengobatan INH sebagai pencegahan.
63
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
64
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
65
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
SIMPULAN
66
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
1.Vaksinasi BCG
2.Kemoprofilaksis2
67
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
DAFTAR PUSTAKA
68
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
69
Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
70