Anda di halaman 1dari 9

MALARIA CEREBRAL

Subhiyawati Burhan, Hadriani, Mawardi Sahir, Indran Kusala

PENDAHULUAN
Penderita malaria dengan komplikasi umumnya digolongkan sebagai malaria berat yang menurut WHO di definisikan sebagai infeksi Plasmodium falciparum dengan satu atau lebih komplikasi. Salah satu komplikasinya adalah malaria serebral (1). Malaria serebral merupakan komplikasi mayor yang paling sering menyebabkan kematian. Kematian akibat malaria serebral berkisar 800 ribu orang per tahun diseluruh dunia, 89% dari jumlah ini terjadi di Afrika dan 88% terjadi pada anak dibawah 5 tahun. (2). Meskipun malaria merupakan penyakit infeksi parasit yang paling sering terjadi di dunia, namun keterlibatan serebral jarang terjadi. Pada malaria, Plasmodium falciparum dapat sampai ke sistem saraf pusat dengan cara menginfeksi sel darah merah kemudian menyebabkan oklusi pada kapiler serebral. Gejala neurologis muncul beberapa minggu setelah infeksi (3). Penyakit ini ditandai dengan koma yang tidak bisa dibangunkan (GCS dibawah 7). Pada kasus yang lebih ringan dapat terjadi gangguan kesadaran seperti apati,somnolen, delirium dan perubahan tingkah laku (1). Pada tahap stadium akut, malaria serebral dapat menyebabkan kejang dan jarang gejala abnormalitas neurologi fokal. Diagnosis dapat ditegakkan dengan menemukan Plasmodium falciparum di sel darah merah pada apusan darah tepi. Pada CSF mungkin memperlihatkan peningkatan tekanan, xantochromia, pleositisis mononuklear dan peningkatan kadar protein (3).

EPIDEMIOLOGI
Pada tahun 2002, terdapat 515 juta kasus malaria di dunia; 25% di Asia Tenggara dan 70% di Afrika, terbanyak di sub-Sahara Afrika. Pada sebagian besar negara berkembang, malaria biasanya terjadi pada imigran atau orang yang baru bepergian ke daerah endemik. Di Sub-sahara Afrika, kasus ini paling sering di temukan pada anak-anak. Malaria ditemukan sekitar 40% pada anak dan 10% diantaranya menderita malaria serebral. Jumlah kasus yang ditemukan sekitar 1,12 kasus/1000 anak per tahun dengan angka kematian 18,6%. Malaria yang disebabkan Plasmodium falciparum dapat menimbulkan komplikasi seperti anemia berat,asidosis atau hipoglikemi dan komplikasi yang lebih berat. Malaria berat yang terjadi pada area endemik malaria tergantung umur dan tingkat penularan. Pada daerah dengan tingkat penularan tinggi, infeksi dan manifestasi klinis jarang ditemukan pada anak hingga umur 6 bulan. Gejala yang ditimbulkan ringan karena masih adanya imunitas pasif dari antibodi ibu. Pada daerah ini, masalah utama akibat penyakit ini pada anak pada 2 tahun pertama kehidupan. Pada usia diatas 4 tahun, gejala klinis jarang ditemukan dan bersifat ringan. Pada area tingkat penularan sedikit, puncak insiden malaria berat terjadi pada usia yang lebih tua. Anemia berat terjadi pada anak dibawah 2 tahun dan puncak terjadinya malaria cerebral terjadi setelahnya. penyebab perbedaan yang berkaitan dengan usia tidak jelas. Infeksi berulang selama beberapa tahun memberikan perlindungan terhadap penyakit. Kekebalan parsial berkembang tetapi menurun dengan tidak adanya paparan terus-menerus (4)
.

ETIOLOGI

Penyebab infeksi malaria ialah Plasmodium yang pada manusia menginfeksi eritrosit dan mengalami perkembangan aseksual di hati dan eritrosit. Pembiakan seksual terjadi pada tubuh nyamuk anopheles betina. Plasmodium yang sering dijumpai adalah Plasmodium vivax, Plasmodium falciparum, Plasmodium malariae, Plasmodium ovale (1). Siklus hidup parasit malaria Siklus hidup semua spesies parasit malaria pada manusia adalah sama, yaitu terdiri dari siklus seksual yang berlangsung pada nyamuk Anopheles dan siklus aseksual yang berlangsung pada manusia. 1. Siklus seksual dalam tubuh nyamuk Siklus seksual terjadi dalam tubuh nyamuk Anopheles betina dan dimulai ketika nyamuk menghisap darah yang mengandung makrogametosit dan mikrogametosit. Mikrogametosit mengalami proses pematangan yang disebut eksflagelasi dimana dalam waktu sepuluh sampai dua belas menit satu mikrogametosit berubah menjadi 2-8 bentukan memanjang yang menyerupai cambuk atau flagella. Makrogametosit berubah menjadi makrogamet setelah melepaskan sebutir kromatin. Beberapa saat kemudian terjadilah proses pembuahan di dalam usus nyamuk, yaitu salah satu dari 8 mikrogamet menyatu dengan makrogamet, dan terbentuklah zigot. Untuk terjadinya fertilisasi atau pembuahan di dalam tubuh nyamuk, diperlukan persyaratan bahwa konsentrasi gametosit dalam darah minimal 12 gametosit/mm, dan makrogametosit yang terhisap oleh nyamuk harus lebih banyak daripada mikrogametosit. Setelah fertilisasi dalam beberapa jam bentuk zigot berubah menjadi stadium berbentuk lonjong yang disebut ookinet. Ookinet dapat bergerak menembus dinding lambung nyamuk dan masuk di antara sel-sel epitel dinding lambung, di bawah selaput dinding luar lambung dan membentuk ookista. Ookista berbentuk bulat seperti kantong dan di dalamnya berisi banyak sel yang terus menerus mengadakan pembelahan inti diikuti oleh sitoplasmanya hingga berjumlah ribuan. Setelah 2-3 minggu sel-sel yang berjumlah ribuan tersebut berubah menjadi sporozoit. Apabila sudah matang, ookista yang berisi puluhan ribu sporozoit tersebut pecah dan keluarlah sporozoit-sporozoit ke dalam cairan rongga tubuh nyamuk, dan terkumpul dalam kelenjar ludah nyamuk, dan siap untuk ditularkan kembali ke tubuh manusia pada saat nyamuk menggigit. Jangka waktu terjadinya siklus seksual di dalam tubuh nyamuk ini dikenal dengan masa inkubasi eksternal. Lama berlangsungnya periode ini bervariasi, tergantung pada suhu, yaitu 8-10 hari pada suhu 28C, 16 hari pada suhu 20C. Siklus ini tidak dapat berlangsung sempurna bila suhu lingkungan kurang dari 15C. 2. Siklus Aseksual dalam tubuh manusia Pada saat menghisap darah, nyamuk mengeluarkan sporozoit yang kemudian akan memasuki aliran darah. Setelah hampir 1 jam, sporozoit menghilang dari sirkulasi dan memasuki sel parenkim hepar. Di dalam hepar ini terjadi fase exoeritrositik schizogony. Di dalam hepatosit, sporozoit berkembang menjadi trofozoit. Dalam waktu 1-2 minggu, trofozoit membelah diri beberapa kali yang diikuti dengan pembelahan sitoplasma. Proses ini menghasilkan beribu-ribu merozoit. Selanjutnya hepatosit pecah, merozoit akan keluar memasuki sirkulasi darah. Pada siklus exoeritrositik di atas, hanya terjadi satu generasi skizogoni, kecuali pada infeksi Plasmodium vivax danPlasmodium ovale, sebagian sporozoit dalam hepatosit tetap berada dalam stadium istirahat (dormant), yang disebut hipnozoit. Betuk hipnozoit ini yang bertanggungjawab terhadap terjadinya relaps karena bentuk ini dapat bertahan selama beberapa bulan sebelum membelah diri menjadi skizon hati,yang kemudian merozoitnya masuk aliran darah. Diantara merozoit yang masuk aliran darah sebagian memasuki eritrosit untuk memulai siklus eritrositik (erythrocytic schizogony). Di dalam eritrosit, merozoit berkembang menjadi trofozoit muda. Stadium ini memanfaatkan sebagian dari sitoplasma eritrosit (hemoglobin) untuk metabolisme, sehingga pada trofozoit

yang sudah tua terlihat adanya pigmen dalam eritrosit. Trofozoit kemudian membelah, dimulai dari inti dan diikuti oleh sitoplasmanya, dan berkembang dalam eritrosit, lalu berubah menjadi skizon, suatu stadium yang berinti banyak sebagai hasil perkembangan dan pembelahan inti trofozoit. Selanjutnya eritrosit yang mengandung skizon matang pecah, dan keluarlah merozoit-merozoit bersel tunggal ke dalam aliran darah, lalu memasuki eritrosit baru dan mengulangi siklus eritrositik. Sebagian merozoit ada yang berkembang menjadi gametosit jantan (mikrogametosit) dan gametosit betina (makrogametosit). Gametosit ini merupakan bentuk infektif bagi vektor (nyamuk). Pada infeksi P. vivax, bentuk ini timbul 2 3 hari setelah terjadinya parasitemia, sedangkan pada P. falciparum setelah 8 hari dan pada P. malariae setelah beberapa bulan kemudian. Apabila darah manusia terhisap oleh nyamuk, maka semua bentuk yang ada dalam eritrosit ikut masuk ke lambung nyamuk, namun hanya stadium gametosit saja yang mampu melangsungkan kehidupannya, sedangkan stadium yang lain yaitu skizon dan trofozoit akan mati. Jangka waktu mulai masuknya sporozoit (gigitan nyamuk) sampai nampaknya parasit dalam darah perifer disebut masa inkubasi internal. Meskipun siklus hidup dari keempat spesies tersebut pada dasarnya sama, tetapi terdapat beberapa perbedaan morfologis yang penting dalam diagnosis klinis (5). Plasmodium vivax 48 jam Coklat kekuningan, granula halus dan batang2 kecil Trofozoit, skizon, gametosit Sering Plasmodium malariae 72jam Coklat kehitaman, granula kasar Plasmodium ovale 49-50 jam Coklat kehitaman, granula kasar Plasmodium falciparum 36-48 jam Coklat kehitaman, granula kasar

Lama scizogoni Pigmen (hematin)

Bentuk yang ditemukan di darah Infeksi multipel pd eritrosit Bentuk eritrosit yang terinfeksi Trofozoit (ring form)

Trofozoit, skizon, gametosit Sangat jarang

Trofozoit, skizon, Gametosit Jarang

Trofozoit, Gametosit Sangat sering

Skizon

Sangat membesar, pucat, Schuffners dots Amuboid, bentuk cincin besar dgn satu butir chromatin Terdiri dari 1224 merozoit, Ireguler

Tdk membesar, nampak normal, Ziemans dots Bentuk cincin besar, 1 butir chromatin

Agak membesar,berbentuk oval atau ireguler, Schuffners dots Amuboid

Ukuran normal, warna kehijauan, tdp basophilicMaurers clefts and dots Amuboid, bentuk cincin kecil,accole form, double chromatin Pada umumnya tak nampak di darah perifer,jk nampak terdiri dari 8-32 merozoit, bentuk ireguler Kidneyshaped/

Gametosit

Bulat/oval,

Terdiri dari 6- Terdiri dari 6-12 12 merozoit,bentuk merozoit, reguler (rossette) bentuk reguler (rossette) Bulat/oval, Bulat/oval, cromatin

cromatin tdk tersebar dlm sitoplasma

cromatin tdk tersebar dlm sitoplasma

tdk tersebar dlm sitoplasma

banana form, cromatin tdk tersebar dlm sitoplasma

Penyebab malaria serebral adalah infeksi Plasmodium falciparum.Dasar timbulnya penyulit pada infeksi Plasmodium falciparum adalah adanya proses hipoksia akibat obstruksi dari pembuluh darah organ dalam. Mekanisme obstruksi dapat melalui serangkaian peristiwa, yaitu cytoadherense, sequestration dan rosetting. 1. Sitoadherens (cytoadherense) adalah melekatnya PRBC matang ke permukaan endotel pembuluh darah. Diketahui bahwa pada infeksi Plasmodium falciparum PRBC memiliki daya atau kemampuan melekat dengan sel-sel lain, yaitu sel endotel pembuluh darah dan sesama eritrosit yang terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi. Mekanisme ini hanya terjadi di pembuluh darah kapiler dan post kapiler.
2. Rosetting adalah suatu fenomena perlekatan antara satu PRBC dengan satu atau lebih eritrosit non parasit. Bila ikatan tersebut melibatkan lebih dari 10 eritrosit (PRBC dan non-PRBC), maka bentuknya jadi seperti bunga (rosette), sehingga fenomena ini disebut sebagai proses rosetting. 3. Sekuestrasi (sequestration). Mekanisme sitoadherens di pembuluh kapiler dan post kapiler akan menyebabkan PRBC terperangkap di dalam organ-organ vital dan RES, terutama limpa. Peristiwa ini dapat menjelaskan adanya ke tidak sesuaian antara derajat parasitemia di darah perifer dengan jumlah total parasit di dalam tubuh dan berat ringannya gejala klinik. Ketiga fenomena tersebut berperan dalam terjadinya obstruksi mikrovaskular, dan akan menyebabkan tersumbatnya kapiler serta terganggunya sirkulasi darah di jaringan bagian distal pada organ yang bersangkutan. Hal ini dapat menjelaskan patogenesis terjadinya kelainan patologik dan berbagai jenis manifestasi klinik.

PATOFISIOLOGI
Patogenesis malaria serebral sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Terdapat beberapa faktor yang berperan dalam terjadinya malaria serebral antara lain edema otak, peninggian tekanan intrakranial, hipoksia serebri obstruksi mikrovaskuler, dan sequestration. Sel-sel darah merah yang mengandung parasit, alirannya menjadi lambat dalam mikrosirkulasi otak karena deformabilitas eritrosit dan adanya perlengketan eritrosit pada endotel kapiler. Kedua keadaan ini dapat menyebabkan hipoksia serebri. Selain itu pada pemeriksaan postmortem, didapatkan kapiler-kapiler penuh dengan sel-sel darah merah yang mengandung parasit malaria, petekie, dan makrofag berisi pigmen malaria (6). Patogenesis malaria berat sangat kompleks karena dipengaruhi oleh berbagai faktor yang terdiri dari faktor parasit, host dan sosial geografik. Faktor parasit tampaknya berperan sangat besar untuk terjadinya malaria berat. Seluruh manifestasi klinis dari malaria disebabkan oleh perkembangannya di darah. Parasit yang sedang tumbuh mengkonsumsi dan menghancurkan protein sel dengan hebatnya terutama hemoglobin yang menyebabkan terbentuknya pigmen malaria dan hemolisis dari sel darah merah yang terinfeksi. Selain itu juga mengganggu sistem transportasi dari membran sel itu sendiri sehingga terjadi perubahan bentuk menjadi lebih spheris . Ruptur dari sel akan mengeluarkan faktor penting dan toksin seperti glikosifosfotidilnositol dari protein membran parasit, fosfoliopprotein, produk membran sel darah merah, komponen yang sensitif pada protease dengan hemozoin, dan toksin malaria . Toksin ini akan menginduksi terlepasnya sitokin seperti TNF dan IL 1 dari makrofag sehingga terjadi demam. Selain itu sitokin pro inflamasi juga keluar seperti TNF alpha dan Interferon alpha. Sitokin ini memberikan perlindungan terhadap stadium aseksual

parasit . sitokin ini juga dapat menginduksi penambahan dan produksi yang tidak terkontrol dari nitrit oksida. Nitrit Oksida dapat berdifusi kedalam sawar darah otak dan mengganggu fungsi sinaps yang mirip anastesi umum dan konsentrasi etanol yang tinggi yang menurunkan kesadaran (7). Di lain pihak kadar sitokin lokal di suatu organ yang tinggi dapat mengganggu fungsi organ tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung dengan meningkatkan atau memperberat sitoadherens. Pada malaria falciparum, semua sel darah merah di berbagai tingkat terinfeksi, ditambah dengan adanya pembentukan sticky knobs (tonjolan) pada permukaan sel yang disebabnya oleh Pf Erythrocyte Membrane Protein 1 (PEMP1). Sel darah merah yang terinfeksi ini akan terikat pada sel endotel pada venula post capilary atau disebut sitoaderens. Sel darah merah dan sel endotel ini akan membentuk rosettes dengan sel yang tidak terinfeksi. Selain itu juga eritrosit terinfeksi ini dapat menyebabkan agregasi dengan trombosit (clumping). Proses Knobs-cytoadherence-rosetting dan clumping ini menghasilkan sekuestrasi parasit pada jaringan yang lebih dalam , jauh dari pembersihan limpa dan membantu parasit untuk berkembang biak dengan aman. Selain itu akan menghambat mikrosirkulasi yang menyebabkan hipoksia, asidosis laktat dan kerusakan organ (8).

MANIFESTASI KLINIS
Malaria secara klinis ditandai dengan serangan demam paroksismal dan periodik, disertai anemia, pembesaran limpa dan kadang-kadang dengan komplikasi pernisiosa seperti ikterik, diare, black water fever, acutetubular necrosis, dan malaria cerebral. Secara parasitologi dikenal 4 genus Plasmodium dengan karakteristik klinis yang berbeda bentuk demamnya, yaitu : 1) Plasmodium vivax, secara klinis dikenal sebagai Malaria tertiana disebabkan serangan demamnya yang timbul setiap 3 hari sekali. 2) Plasmodium malaria, secara klinis juga dikenal juga sebagai Malaria Quartana karena serangan demamnya yang timbul setiap 4 hari sekali. 3) Plasmodium ovale, secara klinis dikenal juga sebagai Malaria Ovale dengan pola demam tidak khas setiap 2-1 hari sekali. 4) Plasmodium falciparum, secara klinis dikenal sebagai Malaria tropicana atau Malaria tertiana maligna sebab serangan demamnya yang biasanya timbul setiap 3 hari sekali dengan gejala yang lebih berat dibandingkan infeksi oleh jenis plasmodium lainnya. Malaria cerebral adalah suatu komplikasi berat dari infeksi Plasmodium falciparum yang ditandai demam yang sangat tinggi, gangguan kesadaran, kejang yang terutama terjadi pada anak, hemiplegi dan berakhir pada kematian jika tidak secepatnya ditangani. Gambaran klinis pada malaria cerebral ditandai dengan:
1) fase Prodormal :Penderita mengeluh sakit pinggang, mialgia, demam yang hilang timbul serta kadangkadang menggigil, dan sakit kepala 2) Fase akut : gejala yang timbul menjadi bertambah berat dengan timbulnya komplikasi seperti sakit kepala yang sangat hebat, mual, muntah, diare, batuk berdarah, gangguan kesadaran, pingsan, kejang, hemiplegi dan dapat berakhir dengan kematian. Pada fase akut ini dalam pemeriksaan fisik akan ditemukan cornea mata divergen, anemia, ikterik, purpura, akan tetapi tidak ditemukan adanya tanda rangsang meningeal (9).

Gejala klinis yang terjadi pada malaria cerebral bebeda antara anak-anak dan dewasa.
(4)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium Pemeriksaan mikroskopis

Pemeriksaan sediaan apus darah tebal dan darah tipis dapat ditemukan parasit Plasmodium. Pemeriksaan ini dapat menghitung jumlah parasit dan identifikasi jenis parasit. Bila hasil negatif diulang 6-12 jam. b. SQBC(semi quantitative buffy coat) Prinsip tes fluoresensi: yaitu adanya protein Plasmodium yang dapat mengikat acridine orange yang akan mengidentifikasi eritrosit yang terinfeksi Plasmodium. c. Rapid Manual Test Tes ini mendeteksi antigen Plasmodium falciparum dengan menggunakan dipstick. Hasilnya segera diketahui dalam 10 menit. Sensitifitasnya 73,3% dan spesifitasnya 82,5%. d. PCR (Polymerase Chain Reaction) Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan biomolekuler digunakan untuk mendeteksi DNA spesifik parasit Plasmodium dalam darah. Metode ini sangat efektif untuk mendeteksi parasit walaupun tingkat parasitemianya rendah.

PENATALAKSANAAN
Pengobatan Malaria Berat secara garis besar terdiri atas tiga komponen : Pengobatan suportif (perawatan umum dan pengobatan simtomatis) Menjaga keseimbangan cairan elektrolit dan keseimbangan asam basa. Karena pada malaria terjadi gangguan hidrasi, maka sangat penting mengatasi keadaan hipovolemi ini. Selain cairan perlu diperhatikan oksigenisasi dengan memperlihatkan tekanan O2, lancarkan saluran nafas dan kalau perlu dengan ventilasi bantu. Bila suhu 40oC (hipertermia ) :a.kompres dingin intensif. b.pemberian antipiretik untuk mencegah hipertermia,parasetamol 15mg/kgBB/kali diberikan setiap 4 jam. Bila anemia diberikan transfusi darah, yaitu bila Hb<5g/dl atau hematokrit <15%. Pada keadaan asidosis perbaikan anemi merupakan tindakan yang utama sebelum pemberian koreksi bikarbonat. Kejang diberi diazepam 10-20mg intravena diberikan secara perlahan, phenobarbital 100mg um/kali (dewasa) di berikan 2 kali sehari Pengobatan spesifik dengan kemoterapi anti malaria Artemisin Golongan artemisin merupakan pilihan pertama untuk pengobatan malaria berat mengingat keberhasilan selama ini dan mulai didapatkannya kasus-kasus malaria oleh Plasmodium falciparum yang resisten terhadap maupun kuinin. Golongan artemisin yang di pakai untuk pengobatan malaria berat antara lain: Artemeter di berikan dengan dosis 3,2 mg/kgbb/hari im pada hari pertama, kemudian dilanjutkan dengan 1,6mg/kgbb/hari (biasanya diberikan dengan dosis 160mg dianjurkan dengan dosis 80mg) sampai 4 hari (penderita dapat minum obat),kemudian dilanjutkan dengan obat kombinasi peroral. Artesunate diberikan dengan dosis 2,4mg/bb/hari iv pada waktu masuk (time = 0),kemudian pada jam ke 12 dan jam ke 24,selanjutnya tiap hari sekali sampai penderita dapat minum obat dilanjutkan dengan obat oral kombinasi. Kuinin HCL 25% 500mg(dihitung BB rata-rata 50kg)di larutkan dalam 500cc dekstrose 5% atau dextrose dalam larutan salin diberikan slama 8 jam, atau pemberian infus pada cairan tersebut diberikan selama 4 jam kemudian diulang dengan cairan yang sama terus menerus sampai penderita dapat minum obat dan dilanjutkan dengan pemberian Kuinin peroral dengan dosis 3 kali sehari 10mg/kgBB/ (3x600mg)dengan total pemberian kuinin keseluruhannya selama 7 hari. Dosis loading ini tidak di anjurkan pada penderita yang telah mendapatkan pengobatan kuinin atau meflokuin dalam 24 Jam sebelumnya, penderita usia lanjut atau penderita dengan Q-Tc interval/aritmia pada EKG.

Klorokuin Klorokuin kini jarang digunakan untuk malaria berat karena banyak yang telah resisten. Klorokuin diberikan bila masih sensitif atau pada kasus demam dengan kencing hitam atau pada penderita yang hipersensitif terhadap kina. Klorokuin dapat diberikan dengan : Dosis loading 10 mg/kgbb dilarutkan dalam 500 ml NaCl 0,9% diberikan dalam 8 jam kemudian dilanjut dengan dosis 5 mg/kgbb per infus selama 8 jam dan sebanyak 3 kali (dosis total 25 mg/kgbb selama 32 jam). Bila secara intravena tidak memungkinkan, dapat diberikan secara intramuskuler atau subkutan dengan cara: 3,5 mg/kgbb klorokuin basa dengan interval setiap 6 jam, atau 2,5 mg/kgbb klorokuin basa dengan interval setiap 4 ja Transfusi Pengganti Tindakan ini menurunkan dengan cepat tingkat parasitemia. Tindakan ini berguna untuk mengeluarkan eritrosit yang berparasit, menurunkan toksin hasil parasit dan metabolismenya (sitokin dan radikal bebas) serta memperbaiki anemia. Indikasi transfusi tukar: Parasitemia >30% tanpa komplikasi berat Parasitemia >10% disertai komplikasi berat (malaria serebral, gagal ginjal akut, edema paru/ARDS, ikterik (bilirubin >25 mg/dl) dan anemia berat. Parasitemia >10% dengan gagal pengobatan selama 12-24 jam pemberian kemoterapi anti malaria yang optimal, atau didapatkan skizon matang dalam sediaan darah perifer.

Pengobatan komplikasi Gagal ginjal akut. Hemodialisis atau hemofiltrasi dilakukan sesuai dengan indikasi umumnya. Dialisis dini akan memperpbaiki prognosis. Hipoglikemia (gula darah <50mg/dl) Pada penderita dilakukan pemeriksaan darah tiap 4-6 jam. Bila terjadi hipoglikemi, berikan suntik 50 ml dextrosa 40%i.v, dilanjutkan dengan infus dextrosa 10% dan gula darah tetap dipantau tiap 4-6 jam. Monitor gula darah juga dilakukan pada penderita dengan pengobattankuinin/kuinidin. Posisikan pasien pada posisi setengah duduk 45o, berikan oksigen, berikan diuretik, hentikan pemberian cairan intravena, lakukan intubasi, berikan tekanan akhir ekspirasi positif atau tekanan udara positif kontinu hipoksemia mengancam jiwa. Koma Jaga jalan nafas, singkirkan penyebab lain dari koma (hipoglikemi, meningitis bakteri), hindari pemakaian kortikosteroid, heparin dan adrenalin. Syok Suspek septikemia, pemeriksaan kultur darah, antimikroba parenteral, atasi gangguan hemodinamik.

DIFERENSIAL DIAGNOSIS
1. Demam Tifoid; mempunyai banyak persamaan dengan gejala-gejalanya. Masih bisa dibedakan dengan adanya gejala stomatitis dengan lidah tifoid yang khas, batuk-batuk, meterorismus, dan bradikardi relatif yang kadang-kadang ditemukan pada demam tifoid. Kultur darah untuk salmonella pada minggu pertama kadang-kadang bisa membantu diagnosis. Widal bisa positif mulai minggu kedua, dianjurkan pemeriksaan berulang pada titer yang masih rendah untuk membantu diagnosis. Kemungkinan adanya infeksi ganda antara malaria dan demam tifoid kadang-kadang kita temukan juga.

2. Septikemia; perlu dicari sumber infeksi dari sistem pernapasan, saluran kencing, dan genitalia, saluran makanan dan otak. 3. Ensefalitis dan atau meningitis; dapat disebabkan oleh bakteri spesifik maupun oleh virus. Kelainan dalam pemeriksaan cairan lumbal akan membantu diagnosis. 4. Dengue Hemoragik Fever/ DSS; pola panas yang berbentuk pelana disertai syok dan tandatanda perdarahan yang khas akan membantu diagnosis walaupun trombositopenia dapat juga terjadi pada malaria falcifarum namun jarang sekali memberikan gejala perdarahan. Hematokrit akan membantu diagnosis. 5. Abses hati amubik; hepatomegali yang sangat nyeri dan jarang sekali disertai ikterus dan kenaikan enzim SGOT dan SGPT akan membantu diagnosis. Fosfatase alkalis dan gamma GT kadang-kadang akan meningkat. USG akan membantu deteksi abses hati dengan tepat.

PROGNOSIS
Kecepatan atau Ketepatan Diagnosis dan Pengobatan : makin cepat dan tepat dalam menegakkan diagnosis dan pengobatannya akan memperbaiki prognosisnya serta memperkecil angka kematiannya. Kegagalan fungsi organ dapat terjadi pada malaria berat terutama organ-organ vital .semakin sedikit organ vital yang terganggu dan mengalami kegagalan dalam fungsinya,semakin baik prognosisnya. Kepadatan Parasit :Pada pemeriksaan hitung parasit (parasite count) semakin padat/banyak jumlah parasitnya yang didapatkan bentuk skizon dalam pemeriksaan darah tepinya.

DAFTAR PUSTAKA
1. Iskandar, Zulkarnain and Setiawan, Budi. Malaria Berat . [book auth.] Aru W Sudoyo, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006, Vol. 3, p. 1737. 2. Amante, Fiona H, et al. Immune-Mediated Mechanisms of Parasite Tissue. 2010, The Journal of Immunology. 3. Greenberg, David A, Aminoff, Michael J and Simon, Roger P. Clinical Neurology. 5th edition. Novato, San Francisco, and Portland : McGraw-Hill/Appleton & Lange, 2002. 4. Idro, Richard, Jenkins, Neil E and Newton, Charles RJC.Pathogenesis, clinical features, and neurological outcome of. 2005, The Lancet Neurology, Vol. 4, pp. 827-840. 5. StafLaboratoriumParasitologi. DIKTAT BIOLOGI MIKROBA SUB MODUL PARASITOLOGI. Malang : Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, 2010. 6. Mubin, A Halim and S, Pain. Malaria Tropika dengan Berbagai Komplikasi. UjungPandang : s.n., 1992, Cermin Dunia Kedokteran, Vol. 72, pp. 48-51. 7. anonymous. CEREBRAL MALARIA. [Online] [Cited: 12 4, 2011.] http://www.brown.edu/Courses/Bio_160/Projects1999/malaria/cermal.html. 8. FKUP, IPD. Penatalaksanaan Malaria Berat. ILMU PENYAKIT DALAM Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. [Online] 2010. [Cited: December 12, 2011.] http://internershs.com/home3/index.php?option=com_content&task=view&id=49&Itemid=1 24&limit=1&limitstart=3. 9. Munthe, Celestinus Eigya.Malaria Cerebral. 2001, Cermin Dunia Kedokteran, Vol. 131, pp. 5-6.

10. Mardjono, Mahar and Sidharta, Priguna. NEUROLOGI KLINIS DASAR. Jakarta : Dian Rakyat, 2008.

Anda mungkin juga menyukai