Sebagaimana diketahui bahwa menurut sistim hukum kita, dan juga hukum
di kebanyakan negara-negara Eropa Kontinental, bahwa jika yang menjadi
objek jaminan utang adalah benda bergerak, maka jaminannya diikat dalam
bentuk gadai.
Dalam hal ini, objek gadai tersebut harus diserahkan kepada pihak yang
menerima gadai (kreditur). Sebaliknya, jika yang menjadi objek jaminan
hutang adalah benda tidak bergerak, maka jaminan tersebut haruslah
berbentuk hipotik (sekarang ada hak tanggungan). Dalam hal ini barang
objek jaminan tidak diserahkan kepada kreditur, tetapi tetap dalam
kekuasaan debitur. Akan tetapi terdapat kasus-kasus dimana barang objek
jaminan hutang masih tergolong barang bergerak, tetapi pihak debitur
enggan menyerahkan kekuasaan atas barang tersebut kepada kreditur,
sementara pihak kreditur tidak mempunyai kepentingan, bahkan kerepotan
jika barang tersebut diserahkan kepadanya, karena itulah dibutuhkan
adanya satu bentuk jaminan hutang yang objeknya masih tergolong benda
bergerak tetapi tanpa menyerahkan kekuasaan atas benda tersebut kepada
pihak kreditur. Akhirnya, muncullah bentuk jaminan baru dimana objeknya
benda bergerak, tetapi kekuasaan atas benda tersebut tidak beralih dari
debitur kepada kreditur.
1
adanya kewajiban menyerahkan kekuasaan dari benda objek jaminan
hutang tersebut. Karena itu jaminan fidusia menjadi pilihan.
Ada kalanya pihak kreditur dan pihak debitur sama-sama tidak berkeberatan
agar diikatkan jaminan hutang berupa gadai atas hutang yang dibuatnya,
tetapi barang yang dijaminkan karena sesuatu dan lain hal tidak dapat
diserahkan kepemilikannya kepada hak kreditur. (lihat Munir Fuady, Jaminan
Fidusia, Citra Aditya Bakti, 2000, hal. 1.)
1. Kebutuhan yang sangat besar dan terus mengikat bagi dunia usaha
atas tersedianya dana, perlu diimbangi dengan adanya ketentuan hukum
yang jelas dan lengkap yang mengatur mengenai lembaga jaminan.
2. Pengaturan lembaga jaminan fidusia masih didasarkan pada
Yurisprudensi.
3. Dalam rangka memberi kepastian hukum dari perlindungan hukum bagi
pihak yang berkepentingan.
2
bergerak saja.
Jadi dasar dari Fidusia adalah suatu perjanjian yakni perjanjian Fidusia
perikatan yang menimbulkan Fidusia ini mempunyai karakteristik sebagai
berikut :
3
assessoir, yakni merupakan perikatan yang membuntuti perikatan
lainnya (perikatan pokok) berupa perikatan hutang-piutang.
4. Perikatan Fidusia tergolong kedalam perikatan dengan syarat batal,
karena jika hutangnya dilunasi, maka hak jaminannya secara Fidusia
menjadi hapus.
5. Perikatan Fidusia tergolong perikatan yang bersumber dari suatu
perjanjian yakni perjanjian Fidusia.
6. Perjanjian Fidusia merupakan perjanjian yang tidak disebut secara
khusus dalam KUH Perdata. Karena itu, perjanjian ini tergolong dalam
perjanjian tak bernama (Onbenoem De Overeenkomst).
7. Perjanjian Fidusia tetap tunduk pada ketentuan bagian umum dari
perikatan yang terdapat dalam KUH Perdata.
4
terdapat dalam gadai. Hal ini terus menjadi yurisprudensi tetap baik di
Belanda dan Indonesia.
5
ini bahkan tetap berlaku meskipun kebendaannya yang dibebani dengan
jaminan fidusia berada di luar wilayah negara Republik Indonesia.
Pendaftaran benda yang dibebani dengan jaminan fidusia
dilaksanakan di tempat kedudukan pemberi Fidusia, pendaftarannya
mencakup benda, baik yang berada di dalam maupun di luar wilayah
negara Republik Indonesia untuk memenuhi asas publisitas, sekaligus
merupakan jaminan kepsatian terhadap kreditur lainnya mengenai
benda yang telah dibebani jaminan fidusia.
Kita telah dapat melihat pasal 14 (3) UU Fidusia No. 42 Tahun 1999,
maka Fidusia oleh UU dianggap lahir pada saat yang sama dengan
dicatatnya jaminan fidusia dalam buku daftar Fidusia.
Karena itu pula, jika ada alat bukti sertifikat jaminan fidusia dan sertifikat
tersebut adalah syah, maka alat bukti lain dalam bentuk apapun harus
ditolak. Para pihak tidak cukup misalnya hanya membuktikan adanya
Fidusia dengan hanya mempertunjukkan akta jaminan Fidusia yang
dibuat oleh notaris berdasarkan UU Fidusia pasal 14 (3).
2. Penjamin Fidusia
Dengan keluarnya UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia
membawa akibat pada perjanjian Fidusia pada pasal 27 (2).
Dengan preferensi adalah hak penerima fidusia untuk mengambil
pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek
jaminan fidusia.
Hal lain yang menjadi konsekwensi hukum apabila timbul masalah atau
gugatan karena kesalahan (kesenjangan atau kekurang hati-hatian) dari
pemberi fidusia sehubungan dengan pengguna atau pengalihan benda
fidusia adalah dibebaskannya penerima fidusia dari tanggung jawab
atau dengan kata lain pemberi fidusia yang bertanggung jawab penuh.
(Pasal 29 UU No. 42 Tahun 1999).
Kesimpulan.
6
Diundangkannya UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
membawa perubahan dalam pranata jaminan yang tidak lagi membedakan
benda berujud maupun tidak berujud, terdaftar maupun tidak terdaftar,
bergerak maupun tidak bergerak dengan syarat bahwa benda tersebut
tidak dapat dibebani dengan Hak Tanggungan seperti yang dimaksud
dalam UU No. 4 Tahun 1996 serta adanya kepastian hukum melalui
pendaftarannya di Kantor Pendaftaran Fidusia sebagai alat bukti yang kuat.
Saran.
Di satu sisi jaminan fidusia memiliki kelemahan karena objek yang
dijaminkan berada di tangan debitur sehingga debitur yang tidak mempunyai
iktikad baik dapat melakukan kecurangan dan sulit dipantau. Oleh karena itu
perlu di buat peraturan pelaksana agar pelaksanaan di lapangan dapat
berjalan dengan baik sehubungan dengan moralitas atau iktikad dari debitur.
DAFTAR PUSTAKA
Wijaja, Gunawan dan Yani, Ahmad, 2000, Seri Hukum Bisnis Jaminan
Fidusia, Raja Grafindo Persada, Jakarta.