Anda di halaman 1dari 1

JURNAL PEMIKIRAN ISLAM REPUBLIKA

26

KAMIS, 20 JANUARI 2011

PROF DR WAN MOHD NOR WAN DAUD

Dari Neo-Modernisme ke Islamisasi Ilmu

B
Tradisi keilmuan di masa kecil itu tampaknya terus berbekas dan berhasil mendorongnya menjadi seorang ilmuwan pecinta ilmu dan perjuangan Islam.

agi pemerhati bidang pendidikan dan pemikiran Islam, sosok Prof Dr Wan Mohd Nor tentu bukan nama asing. Ia dikenal luas sebagai pakar dan pegiat Islamisasi Ilmu. Sejumlah bukunya sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Beberapa bukunya yang terkenal antara lain: The Concept of Knowledge in Islam: Its Implications for Education in a Developing Country (1989); The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib alAttas: An Exposition of the Original Concept of Islamization (1998), yang juga sudah diindonesiakan. Wan Mohd Nor, bisa dikatakan satu-satunya ilmuwan yang sempat berguru secara serius kepada dua ilmuwan besar abad ke20, yaitu Prof. Fazlur Rahman dan Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas. Fazlur Rahman bukan nama asing bagi banyak cendekiawan Muslim di Indonesia. Muridmuridnya pun banyak dikenal luas, seperti Prof. Nurcholish Madjid dan Prof A Syafii Maarif. Di Indonesia, beberapa pemikiran Fazlur Rahman sering dijadikan rujukan oleh para pemikir liberal. Namanya identik dengan gerakan neo-modernisme. Pada sisi lain, Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas adalah pemikir besar yang juga sudah dikenal di Indonesia sejak tahun 1970-an. Berbeda dengan Fazlur Rahman, sosok al-Attas sudah identik dengan pemikir yang sangat kritis terhadap paham sekularisme dan pelopor dalam gerakan Islamisasi Ilmu di dunia Islam. Pada awal 1980-an, bukunya, Islam and Secularism, sudah diterbitkan di Indonesia. Perjumpaan Wan Mohd Nor dengan Fazlur Rahman bisa dikatakan tidak terpikirkan sebelumnya. Setelah menamatkan program S-2 di Northern Illinois University (NIU), De Kalb, Illinois, USA, ia disarankan oleh seorang seniornya agar melanjutkan kajian Islam ke University of Chicago. Saat itu, ia belum mengenal pemikiran Fazlur Rahman, dan belum tahu bahwa Fazlur Rahman cukup kontroversial di Pakistan dan dikecam keras oleh para ulama dan Jamaat Islami pimpinan Abul Ala Mawdudi, sehingga terpaksa melarikan diri ke Chicago. Sebelum berjumpa dengan Fazlur Rahman, Wan Mohd Nor sudah menjadi aktivis mahasiswa Muslim. Setelah di Chicago pun, ia menjabat President of the Muslim Students Association of US and Canada. Saat pertama menelepon Fazlur Rahman, ia ditanya tentang kemampuan-

Muhammad Zainiy yang masih di Chicago pada saat itu, papar Wan Mohd Nor.

DOKPRI

nya dalam bahasa Arab. Kata-kata Fazlur Rahman yang dia ingat adalah saat ia memberikan apresiasi terhadap karyanya Islam and Modernity. Fazlur Rahman malah balik mengingatkan: Muhammad Nur, you must be criticalask what are the meaning of things. Di Chicago itulah, Wan Mohd Nor harus menjalani kegiatan akademik yang ketat. Kursus bahasa Arab sampai tahap advanced, diselesaikan dalam 3 tahun. Dua tahun ia belajar bahasa Parsi. Sempat juga ia lulus kelas intensif bahasa Jerman dan Perancis untuk pelajar pascasarjana. Kepada Fazlur Rahman, Wan Mohd Nor mengambil mata kuliah Islamic Political Thought, Islamic Modernism, Islamic Family Law, Islamic Theology and Philosophy, juga Readings in the Quran, Readings in Kitab al-Tauhid of Maturidi. Semua kursus Fazlur Rahman hanya diikuti 7-15 mahasiswa. Malah kelas bacaan teks Syair Muhammad Iqbal dalam bahasa Farsi, yang mengambil hanya dua orang, ia dan Ahmad Syafii Maarif. Wan Mohd Nor lulus PhD dengan disertasi berjudul The Concept of Knowledge in Islam and Its Implications for Education in the Malaysian Context. Meskipun sama-sama dari Malaysia, Wan Mohd Nor baru mengenal al-Attas saat di

Chicago. Suatu ketika, Fazlur Rahman meneleponnya, memberitahukan bahwa seorang prominent scholar from Malaysia, Prof SMN al-Attas akan datang ke universitas tersebut selama beberapa bulan untuk melakukan penyelidikan dan menggunakan perpustakaan Regenstine. Ia diharapkan bisa membantunya. Fazlur Rahman pernah bercerita pada Wan Mohd Nor bahwa alAttas sebagai seorang jenius. Menurut Wan Mohd Nor, Fazlur Rahman berhasil menanamkan semangat pada sebagian mahasiswanya untuk terus mengembangkan ilmu yang tinggi, dan menghormati para sarjana serius. Kritikan tajam al-Attas terhadap beberapa ide Fazlur Rahman, menurutnya, dibuat dengan rasa hormat dan bertanggung jawab, bukan kerena mengikut kebencian pribadi atau dengki. Saat Fazlur Rahman wafat tahun 1988 itu, al-Attas meminta Wan Mohd Nor menelepon istri Fazlur Rahman untuk menyampaikan takziah darinya dan keluarganya sambil menyatakan ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization) berminat membeli seluruh perpustakaannya untuk memperkaya koleksi perpustakaan ISTAC dan mengekalkan nama tokoh Pakistan ini. Saya diutus segera ke Naperville untuk menjayakan tugas itu, yang dibantu oleh

Wan Mohd Nor lahir di Kelantan, Malaysia, pada 23 Desember 1955; putera sulung dari Wan Daud bin Hj Wan Abdul Rahman dan Esah binti Awang. Ia memiliki adik 12 orang. Ibunya tidak bersekolah, kecuali mempelajari agama dan menurutnya, amat baik bacaan alqurannya. Pernah ketika kecil, saya terdengar ibu membetulkan ayah membaca alquran walaupun beliau sedang memasak di dapur, kenangnya. Ibunya pun sangat sabar dalam mendidik anak-anaknya. Kami tidak pernah dipukul atau disergahnya. Jika beliau amat marah, beliau akan menggulungkan lidahnya, cerita Wan Mohd Nor lagi. Sementara, ayahnya, Wan Daud pernah bekerja sebagai sopir mobil di Jabatan Kerja Raya (Di Indonesia: Dinas Pekerjaan Umum) di Kelantan. Meskipun begitu, darah ulama mengalir dalam diri Wan Mohd Nor. Kakeknya, yang bernama, Wan Abdul Rahman adalah sahabat Haji Nik Daud, yang aktif dalam pendidikan pondok di Tok Uban dan Kutan (keduanya dalam daerah Pasir Mas), dan di Patani, Thailand Selatan. Buyutnya, yang bernama Wan Abdul Samad, disebut sebagai seorang ulama yang selalu ke Makkah, dan wafat di sana. Kerena ayahnya sering berkerja di pelbagai tempat pembangunan jalan, ia ditinggal dan disekolahkan oleh kakeknya itu. Beruntung, kakek dan neneknya sangat peduli dengan pendidikan, terutama pendidikan agama. Disamping menekankan pendidikan membaca alquran, kekeknya selalu membacakan kitab Muhammad Ali Hanafiah yang gagah berani itu. Di rumah kakeknya itulah, Wan Mohd Nor melihat berbagai kalangan alim ulama yang berkunjung. Meskipun bersekolah di Sekolah Kebangsaan Inggris, pendidikan agama diterimanya dengan ketat. Ia belajar selama duatiga jam seminggu kepada Ustaz Abdullah. Selain itu, kami belajar dari kakek. Dan pada setiap Jumat pukul 8.00-10.00 pagi, di Pondok Haji Nik Daud. Selepas itu, kalau tidak lelah, kami akan ke masjid mendengar seri kuliah agama yang diberikan oleh dosen-dosen dari Majlis Ugama Islam Kelantan, dari pukul 10.30-12.00 tengah hari, papar Wan Mohd Nor lagi. Tradisi keilmuan di masa kecil itu tampaknya terus berbekas dan berhasil mendorongnya menjadi seorang ilmuwan pecinta ilmu dan perjuangan Islam. Adian Husaini

Misykat

Averroisme
emikiran Ibnu Rusyd diambil Barat sehingga Barat menjadi maju, sedang pemikiran alGhazzali dibawa ke Timur dan karena itu Timur mundur. Kesimpulan ini tersebar luas di kalangan mahasiswa dan dosen dari dulu hingga kini. Tidak jelas siapa yang mula-mula menyebarkannya, tapi orientalis pada umumnya berasumsi begitu. Pemikiran Ibnu Rusyd memang populer di Barat karena gagasan integrasi filsafat dan agamanya. Sejak diterjemahkan (1230), pemikirannya tersebar luas di Eropa dan diterapkan di gereja-gereja, sehingga menjadi gerakan Averroism. Namun, Averroism ternyata adalah tidak murni mengikuti Ibnu Rusyd, tapi telah bercampur dengan Aristotelianisme radikal dan heterodok. Ide utamanya adalah dua jalan menuju kebenaran: filsafat dan wahyu, dikenal dengan teori kebenaran ganda (double truth); keabadian alam; kesatuan akal semua manusia (monopsychism), dan kebangkitan orang mati. Karena gagasannya yang menyangkut agama itu Paus Gregory IX membentuk komisi khusus untuk mengkajinya. Namun, tidak semua akur dengan pemikiran Ibnu Rusyd. Tahun 1270 dan 1277 Bishop Etienne Tempier dari Gereja Katholik Roma memerinci hingga 219 poin kesalahan Ibnu Rusyd. Di antaranya justru membela alGhazzali. Ramon Lull (1232-1316) yang menjuluki gerakan ini dengan Averroistae mengkritik pembela Averroism melalui wacana di kampus-kampus. Pengikutnya Siger Barabant (1270), Boetius Dacia dan Bernier of Nivelles dosen di University of Paris dituduh bidah. Dituduh telah terpengaruh Averroes, buku Dante berjudul De Monarchia dibakar

Dr Hamid Fahmy Zarkasyi

Direktur INSISTS

atas perintah Paus John XXII. Namun, dari abad ke13 hingga 16, Averroism terus berkembang menjadi tren pemikiran Barat yang dominan, khususnya di Perancis. Bahkan di abad ke 16 pendukungnya seperti Giordano Bruno, Pico della Mirandola dan Cesare Cremonini masih bertahan. Selain dikritik, pemikiran Ibnu Rusyd tentang kebenaran dianggap ancaman dan pemicu ateisme modern. Eatine Gelner, menuduh Ibnu Rusyd sebagai penebar benih sekularisme di Barat. Benedict Spinoza (16321677) mengaku bahwa gagasan pentheismenya tercipta dari doktrin monopsychisme Ibnu Rusyd, sedangkan kecenderungannya terhadap sekularisme dipengaruhi oleh doktrin double truth. Tak heran jika tokoh filsuf mereka, seperti Albert the Great (12001280) dan Thomas Aquinas (1225-1274) dengan keras ikut menghantamnya. Benarkah Ibnu Rusyd lebih rasional dan mendorong penggunaan akal. Ternyata tidak. Komentar Ibnu Rusyd tentang logika Aristotle (terjemahan William of Luna) masih kalah rasional dibanding teori Ibnu Sina. Faktanya. Roger Bacon, Thomas Aquinas, dan diikuti oleh Pseudo-Robert Kilwardby, Radulphus Brito, Hervaeus Natalis, Peter Aureoli, Duns Scotus and William of Ockham justru menjadi santri setia Ibnu Sina dalam bidang mantiq, bukan Ibnu Rusyd. Selain itu, karya Ibnu Sina berjumlah 400an, sedangkan karya Ibnu Rusyd hanya 70an. Bukan hanya dalam logika. Teori Ibnu Sina tentang fakultas jiwa manusia lebih populer dibanding Ibnu Rusyd. Buktinya teori jiwa Ibnu Sina muncul dalam buku-buku standar filsafat di perguruan tinggi sejak tahun 1220 hingga waktu yang lama. Buku-buku

seperti Philosophy of the Simple (Philosophia pauperum), Mirror of Nature (Speculum naturale) dan Philosophic Pearl (Margarita philosophica) yang terbit tahun 1490an menggunakan teori jiwa Ibnu Sina. Sementara doktrin Ibnu Rusyd tentang kesatuan jiwa (monopsychisme dan panpsychisme) malah dikritik banyak orang, diantaranya oleh Thomas Aquinas dalam bukunya De unitate intellectur contra Averroistas (Kesatuan Intelek, Kritik terhadap Ibnu Rusyd). Dalam masalah kausalitas Ibnu Rusyd dinilai banyak peneliti salah faham terhadap al-Ghazzali. Ia menuduh al-Ghazzali mengingkari kausalitas dan karena itu mengingkari ilmu pengetahuan. Padahal, alGhazzali menerima prinsip kausalitas, tapi menolak kepastiannya. Sebab, katanya, jika kausalitas itu mutlak pasti, berarti Tuhan tidak memiliki kehendak dan kuasa terhadap alam ini. Dalam teori al-Ghazzali, Tuhan berkehendak tapi kausalitas tetap ada. Kehendak Tuhan pun bukan semena-mena dan tidak akan merusak konsep ilmu. Kita pun tahu saat inipun kausalitas alam semesta ini masih menyimpan faktor X, tidak tahu secara pasti sebab atau akibatnya, kecuali Tuhan. Kritika al-Ghazzali terhadap kausalitas bahkan diadopsi Malebranche dan David Hume. Tapi mereka menghilangkan faktor Tuhan sehingga menjadi sekuler. Masalahnya, konsep Tuhan dalam ide kepastian kausalitas Ibnu Rusyd dan para filsuf peripatetik itu adalah masih Tuhan Aristotle (Unmoved Mover). Toerinya rasional tapi bukan Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tuhan yang bisa masuk ruang dan waktu, dan yang tahu hal-hal par-

tikular seperti dalam alquran. Teori kepastian kausalitas itulah yang kini menjadi basis sains modern yang terpisah dari agama. Jika kritik al-Ghazzali terhadap kepastian kausalitas disampaikan zaman sekarang, banyak Muslim yang akan akur. Sebab hubungan sains dan agama di Barat semakin jauh dan bahkan terputus alias Godless. Dan jika teori kausalitas Ibnu Rusyd, termasuk teori Tuhannya disampaikan sekarang, tentu masih akan menuai badai kritik. Kini teori penciptaan lebih populer ketimbang emanasi dan ilmu pengetahuan dalam Islam masih bisa berkembang. Tuduhan bahwa kritik al-Ghazzali adalah pemicu kemunduran umat Islam atau sains di dunia Islam tidaklah berdasar. Kajian teliti terhadap buku-buku al-Ghazzali, tidak sedikitpun membuktikan tuduhan itu. Ia malah berpikir integratif Semua ilmu rasional adalah religius dan semua ilmu agama adalah rasional. Buktinya sains dalam Islam, khususnya Astronomi tidak terpengaruh oleh Tahafut dan masih terus berjalan hingga abad ke15. Empat abad setelah Tahafut al-Ghazzali terbit. Karya-karya dan pusat studi sains Ibnu Shatir di Maragha masih berjalan. Lagi pula politik, ekonomi dan pendidikan umat Islam mundur bukan karena kritik al-Ghazzali. Ternyata Ibnu Rusyd bukan satu-satunya pemikir Muslim yang berpengaruh di Barat. Bahkan, menurut William Mc Neil, dalam Rise of Western Civilization, peran dan prestasi para filsuf Muslim masih tergolong rendah dibanding para saintisnya. Jadi klaim bahwa Barat maju karena pemikiran Ibnu Rusyd dan Muslim mundur karena mengikuti pemikiran al-Ghazzali adalah kesimpulan sembrono. Wallahu Alam.

Anda mungkin juga menyukai