Anda di halaman 1dari 0

K U L I A H

PNEUMONIA
Retno Asih S, Landia S, Makmuri MS
Divisi Respirologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FK Unair RSU Dr. Soetomo Surabaya

Continuing Education XXXVI




Korespondensi :
Retno Asih Setyoningrum
Divisi Respirologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FK Unair RSU Dr. Soetomo Surabaya
Jl. Mayjen Prof Moestopo 6-8 Surabaya
Telp. 031-70577402, 031-5501693 Fax 031-5501748
E-mail: retnosoedijo@yahoo.co.id

ABSTRACT
Pneumonia in childen is a leading cause of childhood morbidity and mortality mainly in the developing
countries. Pneumonia in children has an important impact on society and is frequent cause of physician
visits and reduction of quality of life of the children. The etiology can be viral, bacterial or mixed infection.
The etiological agents are different in different age groups. Chest X-ray and laboratory tests have low
diagnostic sensitivity dan specificity. The childs age, signs and symptoms are important in making the
diagnosis. Pneumonia in neonates younger than three weeks of age most often is caused by an infection
obtained from the mother at birth. Streptococcus pneumoniae, other maternal flora and viruses are the most
common causes in infants three weeks to three months of age. Viruses are the most frequent cause of
pneumonia in pre-school aged children; Streptococcus pneumoniae is the common bacterial pathogen.
Mycoplasma pneumoniae and Chlamydia pneumoniae often are the etiologic agents in children older than
five years and in adolescent. Knowing the age-spesific causes of bacterial pneumonia will help guide
antibiotic therapy. The choice of the antimicrobial regimen for pediatric pneumonia is often empirical
because of the difficulty in defining the etiology. The use of treatment algorithms in the developing
countries has led to lower mortality rate, but the future of this approach, given the rate of development of
antimicrobial resistance, is uncertain. Childhood immunization has helped decrease the incidence of
invasive Haemophillus influenzae type B infection, and the newly introduced pneumococcal vaccine may
do the same for Streptococcus pneumoniae infections.

Abstrak
Pneumonia merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai gejala demam, batuk, sesak nafas dan
adanya ronki basah halus serta gambaran infiltrat pada foto polos dada. Pneumonia pada anak merupakan
salah satu penyakit infeksi saluran pernafasan yang serius dan banyak menimbulkan banyak permasalahan
yaitu sebagai penyebab kematian terbesar pada anak terutama di negara berkembang. Pneumonia
disebabkan oleh bermacam etiologi seperti bakteri, virus, mikoplasma, jamur atau bahan kimia/benda asing
yang teraspirasi. Pada neonatus Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes merupakan penyebab
pneumonia paling banyak. Virus adalah penyebab terbanyak pneumonia pada usia prasekolah dan
berkurang dengan bertambahnya usia. Selain itu Streptococcus pneumoniae merupakan penyebab paling
utama pada pneumonia bakterial. Mycoplasma pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae merupakan
penyebab yang sering didapatkan pada anak diatas 5 tahun. Diagnosis ditegakkan berdasarkan faktor usia
Continuing Education XXXVI


yang ikut menentukan dugaan pola kuman penyebabnya dan gejala klinis ditunjang hasil
laboratorium, foto polos dada. Terapi empiris antibiotika tidak dapat ditunda bila diagnosis pneumonia
telah ditegakkan meskipun secara mikrobiologis sulit ditentukan patogen penyebabnya. Berbagai macam
pedoman terapi empiris antibiotika unuk penanganan pneumonia pada anak, pertimbangan terapi
tergantung umur dan kondisi penderita. Pemberian imunisasi memberikan arti yang sangat penting dalam
pencegahan pneumonia.

BATASAN
Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. Walaupun banyak pihak
yang sependapat bahwa pneumonia adalah suatu keadaan inflamasi, namun sangat sulit
untuk merumuskan satu definisi tunggal yang universal. Pneumonia adalah penyakit
klinis, sehingga didefinisikan berdasarkan gejala dan tanda klinis, dan perjalanan
penyakitnya. Salah satu definisi klasik menyatakan bahwa pneumonia adalah penyakit
respiratorik yang ditandai dengan batuk, sesak nafas, demam, ronki basah halus, dengan
gambaran infiltrat pada foto polos dada.
1

Dikenal istilah lain yang mirip yaitu pneumonitis yang maksudnya kurang lebih
sama. Banyak yang menganut pengertian bahwa pneumonia adalah inflamasi paru karena
proses infeksi sedangkan pneumonitis adalah inflamasi paru non infeksi. Namun hal ini
tidak sepenuhnya disetujui oleh para ahli.
1


EPIDEMIOLOGI
Pneumonia pada anak merupakan infeksi yang serius dan banyak diderita anak-
anak di seluruh dunia yang secara fundamental berbeda dengan pneumonia pada dewasa.
Di Amerika dan Eropa yang merupakan negara maju angka kejadian pneumonia masih
tinggi, diperkirakan setiap tahunnya 30-45 kasus per 1000 anak pada umur kurang dari 5
tahun, 16-20 kasus per 1000 anak pada umur 5-9 tahun, 6-12 kasus per 1000 anak pada
umur 9 tahun dan remaja.
2

Di RSU Dr Soetomo Surabaya, jumlah kasus pneumonia meningkat dari tahun-ke
tahun. Pada tahun 2003 dirawat sebanyak 190 pasien. Tahun 2004 dirawat sebanyak 231
pasien, dengan jumlah terbanyak pada anak usia kurang dari 1 tahun (69%). Pada tahun
2005, anak berumur kurang dari 5 tahun yang dirawat sebanyak 547 kasus dengan jumlah
terbanyak pada umur pada umur 1-12 bulan sebanyak 337 orang.
3

Continuing Education XXXVI


Kasus pneumonia di negara berkembang tidak hanya lebih sering didapatkan
tetapi juga lebih berat dan banyak menimbulkan kematian pada anak. Insiden puncak
pada umur 1-5 tahun dan menurun dengan bertambahnya usia anak. Mortalitas
diakibatkan oleh bakteremia oleh karena Streptococcus pneumoniae dan Staphylococcus
aureus, tetapi di negara berkembang juga berkaitan dengan malnutrisi dan kurangnya
akses perawatan. Dari data mortalitas tahun 1990, pneumonia merupakan seperempat
penyebab kematian pada anak dibawah 5 tahun dan 80% terjadi di negara berkembang
4

Pneumonia yang disebabkan oleh infeksi RSV didapatkan sebanyak 40%. Di
negara dengan 4 musim, banyak terdapat pada musim dingin sampai awal musim semi, di
negara tropis pada musim hujan.
5


ETIOLOGI
Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian
kecil disebabkan oleh hal lain misalnya bahan kimia (hidrokarbon, lipoid
substances)/benda asing yang teraspirasi.
6

Pola kuman penyebab pneumonia biasanya berbeda sesuai dengan distribusi umur
pasien.
7
Sebagian besar kasus pneumonia disebabkan oleh virus, sebagai penyebab
tersering adalah respiratory syncytial virus (RSV), parainfluenza virus, influenza virus
dan adenovirus. Secara umum bakteri yang berperan penting dalam pneumonia adalah
Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenze, Staphylococcus aureus,
Streptococcus group B, serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma.
Pada masa neonatus Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes
merupakan penyebab pneumonia paling banyak. Virus adalah penyebab terbanyak
pneumonia pada usia prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia. Selain itu
Streptococcus pneumoniae merupakan penyebab paling utama pada pneumonia bakterial.
Mycoplasma pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab yang sering
didapatkan pada anak diatas 5 tahun.
2,4,6



Tabel 1. Dugaan bakteri penyebab pneumonia.
1
Dugaan kuman Pneumonia Pneumonia dengan komplikasi

penyebab tanpa
komplikasi
Efusi
pleura
Abses
paru
Sepsis
Streptococcus
pneumoniae
+ + + + + + + +++
Haemophyllus.
influenza
+ + + + + -
Streptococcus
group A
+ + + - -
Flora mulut + + + + + + -
Staphylococcus
aureus
+ + + + +++ +++


















Tabel 2. Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut umur.
8

Umur Penyebab yang sering Penyebab yang jarang

Lahir-20 hari Bakteria
Escherichia colli
Group B streptococci
Listeria monocytogenes
Bakteria
An aerobic organism
Group D streptococci
Haemophillus influenzae
Streptococcus pneumoniae
Ureaplasma urealyticum
Virus
Cytomegalovirus
Herpes simplex virus
3 minggu- 3
bulan
Bakteria
Clamydia trachomatis
Streptococcus pneumoniae
Virus
Respiratory syncytial virus
Influenza virus
Para influenza virus 1,2
and 3
Adenovirus
Bateria
Bordetella pertusis
Haemophillus influenza
type B and non typeable
Moxarella catarrhalis
Staphylococcus aureus
Ureaplasma urealyticum
Virus
Cytomegalovirus
4 bulan-5 tahun Bakteria
Streptococcus pneumoniae
Clamydia pneumoniae
Mycoplasma pneumoniae
Virus
Respiratory syncytial virus
Influenza virus
Parainfluenza virus
Rhinovirus
Adenovirus
Measles virus
Bacteria
Haemophillus influenza
type B
Moxarella catarrhalis
Neisseria meningitis
Staphylococcus aureus
Virus
Varicella zoster virus
5 tahun- remaja Bakteria
Clamydia pneumoniae
Mycoplasma pneumoniae
Streptococcus pneumoniae

Bakteria
Haemophillus influenza
type B
Legionella species
Staphylococcus aureus
Virus
Adenovirus
Epstein barr virus
Influenza virus
Parainfluenza virus
Rhinovirus
Respiratory syncytial virus
Varicella zoster virus

FAKTOR RESIKO

Beberapa keadaan seperti gangguan nutrisi (malnutrisi), usia muda, kelengkapan
imunisasi, kepadatan hunian, defisiensi vitamin A, defisiensi Zn, paparan asap rokok
secara pasif dan faktor lingkungan (polusi udara) merupakan faktor resiko untuk
terjadinya pneumonia. Faktor predisposisi yang lain untuk terjadinya pneumonia adalah
adanya kelainan anatomi kongenital (contoh fistula trakeaesofagus, penyakit jantung
bawaan), gangguan fungsi imun (penggunaan sitostatika dan steroid jangka panjang,
gangguan sistem imun berkaitan penyakit tertentu seperti HIV), campak, pertusis,
gangguan neuromuskular, kontaminasi perinatal dan gangguan klirens mukus/sekresi
seperti pada fibrosis kistik , aspirasi benda asing atau disfungsi silier.
4,7,9

PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI
Sebagian besar pneumonia timbul melalui aspirasi kuman atau penyebaran
langsung kuman dari saluran respiratorik atas. Hanya sebagian kecil merupakan akibat
sekunder dari viremia/bakteremia atau penyebaran dari infeksi intra abdomen. Dalam
keadaan normal saluran respiratorik bawah mulai dari sublaring hingga unit terminal
adalah steril. Paru terlindung dari infeksi melalui beberapa mekanisme termasuk barier
anatomi dan barier mekanik, juga sistem pertahanan tubuh lokal maupun sistemik. Barier
anatomi dan mekanik diantaranya adalah filtrasi partikel di hidung, pencegahan aspirasi
dengan refleks epiglotis, ekspulsi benda asing melalui refleks batuk, pembersihan ke arah
kranial oleh lapisan mukosilier. Sistem pertahanan tubuh yang terlibat baik sekresi lokal
imunoglobulin A maupun respon inflamasi oleh sel-sel leukosit, komplemen, sitokin,
imunoglobulin, alveolar makrofag dan cell mediated immunity.
7

Pneumonia terjadi bila satu atau lebih mekanisme diatas mengalami gangguan
sehingga kuman patogen dapat mencapai saluran nafas bagian bawah. Inokulasi patogen
penyebab pada saluran nafas menimbulkan respon inflamasi akut pada penjamu yang
berbeda sesuai dengan patogen penyebabnya.
Virus akan menginvasi saluran nafas kecil dan alveoli, umumnya bersifat patchy
dan mengenai banyak lobus. Pada infeksi virus ditandai lesi awal berupa kerusakan silia
epitel dengan akumulasi debris ke dalam lumen. Respon inflamasi awal adalah infiltrasi
sel-sel mononuklear ke dalam submukosa dan perivaskular. Sejumlah kecil sel-sel PMN
akan didapatkan dalam saluran nafas kecil. Bila proses ini meluas, dengan adanya

sejumlah debris dan mukus serta sel-sel inflamasi yang meningkat dalam saluran nafas
kecil maka akan menyebabkan obstruksi baik parsial maupun total. Respon inflamasi ini
akan diperberat dengan adanya edema submukosa yang mungkin bisa meluas ke dinding
alveoli. Respon inflamasi di dalam alveoli ini juga seperti yang terjadi pada ruang
intersitial yang terdiri dari sel-sel mononuklear. Proses infeksi yang berat akan
mengakibatkan terjadinya denudasi (pengelupasan) epitel dan akan terbentuk eksudat
hemoragik. Infiltrasi ke intersitial sangat jarang menimbulkan fibrosis. Pneumonia viral
pada anak merupakan predisposisi terjadinya pneumonia bakterial oleh karena rusaknya
barier mukosa.
10,11

Pneumonia bakterial terjadi oleh karena inhalasi atau aspirasi patogen, kadang-
kadang terjadi melalui penyebaran hematogen. Terjadi tidaknya proses pneumonia
tergantung dari interaksi antara bakteri dan ketahanan sistem imunitas penjamu. Ketika
bakteri dapat mencapai alveoli maka beberapa mekanisme pertahanan tubuh akan
dikerahkan. Saat terjadi kontak antara bakteri dengan dinding alveoli maka akan
ditangkap oleh lapisan cairan epitelial yang mengandung opsonin dan tergantung pada
respon imunologis penjamu akan terbentuk antibodi imunoglobulin G spesifik. Dari
proses ini akan terjadi fagositosis oleh makrofag alveolar (sel alveolar tipe II), sebagian
kecil kuman akan dilisis melalui perantaraan komplemen. Mekanisme seperti ini terutama
penting pada infeksi oleh karena bakteri yang tidak berkapsul seperti Streptococcus
pneumoniae. Ketika mekanisme ini tidak dapat merusak bakteri dalam alveolar, leukosit
PMN dengan aktifitas fagositosisnya akan direkrut dengan perantaraan sitokin sehingga
akan terjadi respon inflamasi. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya kongesti vaskular
dan edema yang luas, dan hal ini merupakan karakteristik pneumonia oleh karena
pneumokokus. Kuman akan dilapisi oleh cairan edematus yang berasal dari alveolus ke
alveolus melalui pori-pori Kohn (the pores of Kohn). Area edematus ini akan membesar
secara sentrifugal dan akan membentuk area sentral yang terdiri dari eritrosit, eksudat
purulen (fibrin, sel-sel lekosit PMN) dan bakteri. Fase ini secara histopatologi dinamakan
red hepatization (hepatisasi merah).
Tahap selanjutnya adalah hepatisasi kelabu yang ditandai dengan fagositosis aktif
oleh lekosit PMN. Pelepasan komponen dinding bakteri dan pneumolisin melalui

degradasi enzimatik akan meningkatkan respon inflamasi dan efek sitotoksik terhadap
semua sel-sel paru. Proses ini akan mengakibatkan kaburnya struktur seluler paru.
Resolusi konsolidasi pneumonia terjadi ketika antibodi antikapsular timbul dan
lekosit PMN meneruskan aktifitas fagositosisnya; sel-sel monosit akan membersihkan
debris. Sepanjang struktur retikular paru masih intak (tidak terjadi keterlibatan
instertitial), parenkim paru akan kembali sempurna dan perbaikan epitel alveolar terjadi
setelah terapi berhasil. Pembentukan jaringan parut pada paru minimal.
4,7

Pada infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus, kerusakan jaringan
disebabkan oleh berbagai enzim dan toksin yang dihasilkan oleh kuman. Perlekatan
Staphylococcus aureus pada sel mukosa melalui teichoic acid yang terdapat di dinding
sel dan paparan di submukosa akan meningkatkan adhesi dari fibrinogen, fibronektin,
kolagen dan protein yang lain. Strain yang berbeda dari Staphylococcus aureus akan
menghasilkan faktor-faktor virulensi yang berbeda pula. dimana faktor virulensi tersebut
mempunyai satu atau lebih kemampuan dalam melindungi kuman dari pertahanan tubuh
penjamu, melokalisir infeksi, menyebabkan kerusakan jaringan yang lokal dan bertindak
sebagai toksin yang mempengaruhi jaringan yang tidak terinfeksi. Beberapa strain
Staphylococcus aureus menghasilkan kapsul polisakarida atau slime layer yang akan
berinteraksi dengan opsonofagositosis. Penyakit yang serius sering disebabkan
Staphylococcus aureus yang memproduksi koagulase. Produksi coagulase atau clumping
factor akan menyebabkan plasma menggumpal melalui interaksi dengan fibrinogen
dimana hal ini berperan penting dalam melokalisasi infeksi (contoh: pembentukan abses,
pneumatosel). Beberapa strain Staphylococcus aureus akan membentuk beberapa enzim
seperti catalase (meng-nonaktifkan hidrogen peroksida, meningkatkan ketahanan
intraseluler kuman) penicillinase atau lactamase (mengnonaktifkan penisilin pada
tingkat molekular dengan membuka cincin beta laktam molekul penisilin) dan lipase.
12
Pada pneumonia terjadi gangguan pada komponen volume dari ventilasi akibat
kelainan langsung di parenkim paru. Terhadap gangguan ventilasi akibat gangguan
volume ini tubuh akan berusaha mengkompensasinya dengan cara meningkatkan volume
tidal dan frekuensi nafas sehingga secara klinis terlihat takipnea dan dispnea dengan
tanda-tanda inspiratory effort. Akibat penurunan ventilasi maka rasio optimal antara
ventilasi perfusi tidak tercapai (V/Q < 4/5) yang disebut ventilation perfusion mismatch,

tubuh berusaha meningkatkannya sehingga terjadi usaha nafas ekstra dan pasien terlihat
sesak. Selain itu dengan berkurangnya volume paru secara fungsional karena proses
inflamasi maka akan mengganggu proses difusi dan menyebabkan gangguan pertukaran
gas yang berakibat terjadinya hipoksia. Pada keadaan yang berat bisa terjadi gagal
nafas.
13

Gambar 1. Sistem pertahanan paru.
Dikutip dari: Miller MA, Ben-Ami T, Daum RS. Bacterial Pneumonia in Neonates and
Older Children. Dalam: Taussig LM, Landau LI, penyunting. Pediatric
Respiratory Medicine. St. Louis: Mosby Inc, 1999 : 595-664.


MANIFESTASI KLINIS

Gejala dan tanda klinis pneumonia bervariasi tergantung kuman penyebab, usia
pasien, status imunologis pasien dan beratnya penyakit. Manifestasi klinis bisa berat yaitu
sesak, sianosis, dapat juga gejalanya tidak terlihat jelas seperti pada neonatus. Gejala dan
tanda pneumonia dapat dibedakan menjadi gejala umum infeksi (non spesifik), gejala
pulmonal, pleural dan ekstrapulmonal. Gejala non spesifik meliputi demam, menggigil,
sefalgia dan gelisah. Beberapa pasien mungkin mengalami gangguan gastrointestinal
seperti muntah, kembung, diare atau sakit perut.
7

Gejala pada paru biasanya timbul setelah beberapa saat proses infeksi
berlangsung. Setelah gejala awal seperti demam dan batuk pilek, gejala nafas cuping
hidung, takipnea, dispnea dan apnea baru timbul. Otot bantu nafas interkostal dan
abdominal mungkin digunakan. Batuk umumnya dijumpai pada anak besar, tapi pada
neonatus bisa tanpa batuk. Wheezing mungkin akan ditemui pada anak-anak dengan
pneumonia viral atau mikoplasma, seperti yang ditemukan pada anak-anak dengan asma
atau bronkiolitis.
7,14

Keradangan pada pleura biasa ditemukan pada pneumonia yang disebabkan oleh
Streptococcus pneumoniae dan Staphylococcus aureus, yang ditandai dengan nyeri dada
pada daerah yang terkena. Nyeri dapat berat sehingga akan membatasi gerakan dinding
dada selama inspirasi dan kadang-kadang menyebar ke leher dan perut.
7

Gejala ekstra pulmonal mungkin ditemukan pada beberapa kasus. Abses pada kulit atau
jaringan lunak seringkali didapatkan pada kasus pneumonia karena Staphylococcus
aureus. Otitis media, konjuntivitis, sinusitis dapat ditemukan pada kasus infeksi karena
Streptococcus pneumoniae atau Haemophillus influenza. Sedangkan epiglotitis dan
meningitis khususnya dikaitkan dengan pneumonia karena Haemophillus influenza.
7

Frekuensi nafas merupakan indeks paling sensitif untuk mengetahui beratnya penyakit.
Hal ini digunakan untuk mendukung diagnosis dan memantau tatalaksana pneumonia.
Pengukuran frekuensi nafas dilakukan dalam keadaan anak tenang atau tidur. WHO
bahkan telah merekomendasikan untuk menghitung frekuensi nafas pada setiap anak
dengan batuk. Dengan adanya batuk, frekuensi nafas yang lebih cepat dari normal serta
adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest indrawing), WHO
menetapkannya sebagai kasus pneumonia berat di lapangan dan harus memerlukan
perawatan di Rumah Sakit untuk pemberian antibiotik.
14-16



Tabel 3. Kriteria takipnea menurut WHO
Umur Laju nafas normal
(frekuensi/menit)
Takipnea (frekuensi/menit)
0-2 bulan 30-50 = 60
2-12 bulan 25-40 = 50
1-5 tahun 20-30 = 40
> 5 tahun 15-25 = 20
Dikutip dari Gittens MM. Pediatric Pneumonia. Clin Ped Emerg Med J 2002;3(3):200-14

Perkusi toraks tidak bernilai diagnostik, karena umumnya kelainan patologinya
menyebar. Suara redup pada perkusi biasanya karena adanya efusi pleura. Pada auskultasi
suara nafas yang melemah seringkali ditemukan bila ada proses peradangan subpleura
dan mengeras (suara bronkial) bila ada proses konsolidasi. Ronki basah halus yang khas
untuk pasien yang lebih besar, mungkin tidak akan terdengar untuk bayi. Pada bayi dan
balita kecil karena kecilnya volume toraks biasanya suara nafas saling berbaur dan sulit
diidentifikasi.
7

Secara klinis pada anak sulit membedakan antara pneumonia bakterial dan
pneumonia viral. Namun sebagai pedoman dapat disebutkan bahwa pneumonia bakterial
awitannya cepat, batuk produktif, pasien tampak toksik, lekositosis dan perubahan nyata
pada pemeriksaan radiologis. Namun keadaan seperti ini kadang-kadang sulit dijumpai
pada seluruh kasus.
10,14
Penggunaan BPS (Bacterial Pneumonia Score) pada 136 anak
usia 1 bulan 5 tahun dengan pneumonia di Argentina yang mengevaluasi suhu aksilar,
usia, jumlah netrofil absolut, jumlah bands dan foto polos dada ternyata mampu secara
akurat mengidentifikasi anak dengan resiko pneumonia bakterial sehingga akan dapat
membantu klinisi dalam penentuan pemberian antibiotika.
17

Perinatal pneumonia terjadi segera setelah kolonisasi kuman dari jalan lahir atau
ascending dari infeksi intrauterin. Kuman penyebab terutama adalah GBS (Group B
Streptococcus) selain kuman-kuman gram negatif. Gejalanya berupa respiratory distress
yaitu merintih, nafas cuping hidung, retraksi dan sianosis. Sepsis akan terjadi dalam
hitungan jam, hampir semua bayi akan mengarah ke sepsis dalam 48 jam pertama

kehidupan. Pada bayi prematur, gambaran infeksi oleh karena GBS menyerupai
gambaran RDS (Respiratory Distress Syndrome).
7


PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis pneumonia utamanya didasarkan klinis, sedangkan pemeriksaan foto
polos dada perlu dibuat untuk menunjang diagnosis, disamping untuk melihat luasnya
kelainan patologi secara lebih akurat. Foto posisi anteroposterior (AP) dan lateral (L)
diperlukan untuk menentukan luasnya lokasi anatomik dalam paru, luasnya kelainan dan
kemungkinan adanya komplikasi seperti pneumotoraks, pneumomediastinum,
pneumatokel, abses paru dan efusi pleura. Infiltrat tersebar paling sering dijumpai,
terutama pada pasien bayi. Pembesaran kelenjar hilus sering terjadi pada pneumonia
karena Haemophillus influenza dan Staphylococcus aureus, tapi jarang pada pneumonia
karena Streptococcus pneumoniae. Kecurigaan ke arah infeksi Staphylococcus aureus
apabila pada foto polos dada dijumpai adanya gambaran pneumatokel, abses paru,
empiema dan piopneumotoraks serta usia pasien di bawah 1 tahun. Foto polos dada
umumnya akan normal kembali dalam 3-4 minggu. Pemeriksaan radiologis tidak perlu
diulang secara rutin kecuali jika ada pneumatokel, abses, efusi pleura, empiema,
pneumotoraks atau komplikasi lain. Sebagaimana manifestasi klinis, pemeriksaan
radiologis tidak dapat menunjukkan perbedaan nyata antara infeksi virus dengan bakteri.
Pneumonia virus umumnya menunjukkan gambaran infiltrat intersitial difus, hiperinflasi
atau atelektasis. Pada sindroma aspirasi, infiltrat akan tampak di lobus superior kanan
pada bayi, tetapi pada anak yang lebih besar akan tampak di bagian posterior atau basal
paru.
7,10,14
Menurut WHO terdapat kesulitan dalam interpretasi foto polos dada sehingga
dikembangkan cara standarisasi kriteria pneumonia untuk kepentingan aspek
epidemiologis. Sistem ini membagi gambaran foto torak dalam normal torak, infiltrat atau
akhir proses konsolidasi (end stage consolidation) yang didefinisikan sebagai significant
amount of alveolar type consolidation. Namun hal ini menimbulkan pertanyaan apakah
foto polos dada yang normal dapat menyingkirkan pneumonia?. Seringkali panas dan
takipnea sudah timbul sebelum terlihat perubahan pada foto torak.
15

Pada sebagian besar kasus, pemeriksaan yang ekstensif tidak perlu dilakukan,
tetapi pemeriksaan laboratorium mungkin akan membantu dalam memperkirakan

mikroorganisme penyebab. Lekositosis >15.000/UL seringkali dijumpai. Dominasi
netrofil pada hitung jenis atau adanya pergeseran ke kiri menunjukkan bakteri sebagai
penyebab. Lekosit >30.000/UL dengan dominasi netrofil mengarah ke pneumonia
streptokokus dan stafilokokus.
7

Laju endap darah dan C-reaktif protein (CRP) merupakan indikator inflamasi
yang tidak khas sehingga hanya sedikit membantu. Adanya CRP yang positif dapat
mengarah kepada infeksi bakteri. Kadar CRP yang lebih tinggi ditemukan pada pasien
dengan pneumonia alveolar dibandingkan pasien dengan pneumonia intersitialis. Begitu
pula pada kasus pneumonia yang disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae akan
menunjukkan kadar CRP yang lebih tinggi secara signifikan dibanding non
pneumococcal pneumonia.
15
Biakan darah merupakan cara yang spesifik untuk diagnostik tapi hanya positif
pada 10-15% kasus terutama pada anak kecil. Kultur darah sangat membantu pada
penanganan kasus pneumonia dengan dugaan penyebab stafilokokus dan pneumokokus
yang tidak menunjukkan respon baik terhadap penanganan awal.
10
Kultur darah juga
direkomendasikan pada kasus pneumonia yang berat dan pada bayi usia kurang dari 3
bulan.
14

Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR) bermanfaat untuk diagnosis
Streptococcus pneumoniae dan infeksi karena mikoplasma. Pemeriksaan PCR mahal,
tidak tersedia secara luas serta tidak banyak berpengaruh terhadap penanganan awal
pneumonia sehingga pemeriksaan ini tidak direkomendasikan.
15

Pemeriksaan aspirat nasofaringeal untuk pemeriksaan imunofluoresen virus dan deteksi
antigen virus akan membantu untuk mengidentifikasi virus tetapi hanya mempunyai
sedikit pengaruh untuk penanganan awal pasien. Pemeriksaan ini mempunyai sensitifitas
yang tinggi dan sangat membantu diagnosis anak dengan infeksi RSV.
15

Bila fasilitas memungkinkan, pemeriksaan analisis gas darah menunjukkan
keadaan hipoksemia (karena ventilation perfusion mismatch). Kadar PaCO
2
dapat rendah,
normal atau meningkat tergantung kelainannya. Dapat terjadi asidosis respiratorik,
asidosis metabolik, dan gagal nafas.

DIAGNOSIS

Diagnosis pneumonia yang terbaik adalah berdasarkan etiologi, yaitu dengan
pemeriksaan mikrobiologik. Upaya untuk mendapatkan spesimen atau bahan pemeriksan
guna mencari etiologi kuman penyebab dapat meliputi pemeriksaan sputum, sekret
nasofaring bagian posterior, aspirasi trakea, torakosintesis pada efusi pleura, percutaneus
lung aspiration dan biopsi paru bila diperlukan.
18
Tetapi pemeriksaan ini banyak
kendalanya, baik dari segi teknis maupun biaya. Secara umum kuman penyebab spesifik
hanya dapat diidentifikasi kurang dari 50% kasus. Dengan demikian pneumonia
didiagnosis terutama berdasarkan manifestasi klinis dibantu pemeriksaan penunjang yang
lain seperti foto polos dada.
10-12,14
Tetapi tanpa pemeriksaan mikrobiologik, kesulitan yang lebih besar adalah
membedakan kuman penyebab; bakteri, virus atau kuman lain. Pneumonia bakterial lebih
sering mengenai bayi dan balita dibandingkan anak yang lebih besar. Pneumonia
bakterial biasanya timbul mendadak, pasien tampak toksik, demam tinggi disertai
menggigil dan sesak memburuk dengan cepat. Pneumonia viral biasanya timbul perlahan,
pasien tidak tampak sakit berat, demam tidak tinggi, gejala batuk dan sesak bertambah
secara bertahap. Infeksi virus biasanya melibatkan banyak organ bermukosa (mata,
mulut, tenggorok, usus). Semakin banyak organ terlibat, makin besar kemungkinan virus
sebagai penyebab.
2,8,15

Pneumonia oleh karena mikoplasma pneumonia mungkin menunjukkan gejala
wheezing dan batuk, sehingga infeksi oleh karena mikoplasma pneumonia dapat
dipertimbangkan pada anak dengan kecurigaan asma yang tidak respon dengan
pengobatan. Infeksi mikoplasma seringkali disertai juga dengan nyeri perut atau nyeri
dada. Nyeri perut juga bisa disebabkan oleh pneumonia bakterial yang mengiritasi
diafragma.
15


KOMPLIKASI
1. Efusi pleura
2. Empiema
3. Pneumotoraks
4. Piopneumotoraks
5. Pneumatosel

6. Abses paru
7. Sepsis
8. Gagal nafas
9. Ileus paralitik fungsional

TATALAKSANA
Dalam hal tatalaksana pneumonia, maka para klinisi akan dihadapkan pada beberapa
masalah:
16

1. Apakah penanganan pneumonia membutuhkan antibiotik atau tidak
2. Jika diputuskan untuk memberikan antibiotik, apakah menggunakan
antibiotika spektrum sempit atau luas.
3. Pemakaian antibiotika apakah secara oral atau parenteral.
4. Kapan pasien diindikasikan rawat inap
1. Apakah penanganan pneumonia membutuhkan antibiotik atau tidak
Idealnya tata laksana pneumonia sesuai dengan kuman penyebabnya. Namun
karena berbagai kendala diagnostik etiologi, untuk semua pasien pneumonia
diberikan antibiotika secara empiris. Walaupun pneumonia viral dapat di
tatalaksana tanpa antibiotika, tetapi pasien diberikan antibiotika karena kesulitan
membedakan infeksi virus dengan bakteri, kesulitan diagnosis virologi dan
kesulitan dalam isolasi penderita, disamping itu kemungkinan infeksi bakteri
sekunder tidak dapat disingkirkan.

2. Jika diputuskan untuk memberikan antibiotik, apakah menggunakan
antibiotika spektrum sempit atau luas.
Golongan beta laktam (Penisilin, sefalosporin, karbapenem dan monobaktam)
merupakan jenis-jenis antibiotika yang sudah dikenal cukup luas. Biasanya
digunakan untuk terapi pneumonia yang disebabkan oleh bakteri seperti
Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenza dan Staphylococcus aureus.
Pada kasus yang berat diberikan golongan sefalosporin sebagai pilihan, terutama
bila penyebabnya belum diketahui. Sedangkan pada kasus yang ringan sedang,
dipilih golongan penisilin.
10,19,20

Streptokokus dan pneumokokus merupakan kuman gram positif yang dapat dicakup
oleh ampisilin, sedangkan hemofilus sebagai kuman gram negatif dapat dicakup
oleh ampisilin dan kloramfenikol. Dengan demikian keduanya dapat dipakai
sebagai antibiotika lini pertama untuk kasus pneumonia anak tanpa komplikasi.
Pada pasien pneumonia yang community acquired, umumnya ampisilin dan
kloramfenikol masih sensitif. Pilihan berikutnya adalah obat golongan
sefalosporin.(Robinson MJ)
7,15
Penanganan pneumonia pada neonatus serupa dengan penanganan infeksi neonatus
pada umumnya. Antibiotika yang diberikan harus dapat mencakup kuman kokus
gram positif terutama Streptococcus group B dan batang gram negatif. Penisilin dan
derivatnya merupakan pilihan utama untuk gram positif sedangkan untuk kuman
gram negatif terutama Escherichia coli dan Proteus mirabilis digunakan golongan
aminoglikosida. Kombinasi kloksasilin dan gentamisin efektif untuk terapi
pneumonia dibawah 3 bulan karena dapat mencakup kuman Staphylococcus aureus.
Umur kehamilan, berat badan lahir dan umur bayi akan menentukan dosis dan
frekuensi pemberian obat khususnya untuk golongan aminoglikosida. Sefalosporin
generasi 3 dapat digunakan jika ada kecurigaan penyebab bakteri batang gram
negatif.
7,8,18

Mengenai penggunaan makrolid pada pneumonia atipik yang diduga disebabkan
oleh klamidia dan mikoplasma, telah banyak dilaporkan. Pemberian azitromisin dan
klaritromisin sama efektifnya dengan pemberian amoksisilin asam klavulanik.
Pemberian azitromisin tolerabilitasnya cukup baik serta efek sampingnya minimal
bila dibandingkan dengan amoksisilin asam klavulanik. Pemberian azitromisin
sekali sehari selama 3 hari efektifitasnya setara dengan pemberian amoksisilin asam
klavulanik selama 10 hari. Penggunaan klaritromisin secara multisenter pada
pneumonia memdapatkan hal yang cukup baik dalam hal efektifitas dan efek
samping. Efek samping gangguan gastrointestinal seperti mual, muntah, nyeri
abdomen didapatkan pada sebagian kecil pasien yang tidak berbeda bermakna
dengan antibiotika lain.
20-23
Evaluasi pengobatan dilakukan setiap 48-72 jam. Bila tidak ada perbaikan klinis
dilakukan perubahan pemberian antibiotik sampai anak dinyatakan sembuh. Lama

pemberian antibiotik tergantung pada kemajuan klinis penderita, hasil laboratoris,
foto polos dada dan jenis kuman penyebab. Jika kuman penyebab adalah
stafilokokus diperlukan pemberian terapi 6-8 minggu secara parenteral, Jika
penyebab Haemophylus influenza atau Streptococcus pneumoniae pemberian terapi
secara parenteral cukup 10-14 hari Secara umum pengobatan antibiotik untuk
pneumonia diberikan 10-14 hari.
8

Pada keadaan imunokompromais (gizi buruk, penyakit jantung bawaan,
gangguan neuromuskular, keganasan, pengobatan kortikosteroid jangka panjang,
fibrosis kistik, infeksi HIV), pemberian antibiotik harus segera dimulai saat tanda
awal pneumonia didapatkan dengan pilihan antibiotik : sefalosporin generasi 3.
Dapat dipertimbangkan juga pemberian:
24

- Kotrimoksasol pada Pneumonia Pneumokistik Karinii
- Anti viral (Asiklovir, gansiklovir) pada pneumonia karena sitomegalovirus
- Anti jamur (amphotericin B, ketokenazol, flukonazol) pada pneumonia
karena jamur
- Pemberian imunoglobulin

3. Pemakaian antibiotika apakah secara oral atau parenteral.
WHO menyarankan untuk pengobatan pneumonia (adanya nafas cepat tanpa
penarikan dinding dada/chest indrawing) sebaiknya dirawat secara poliklinis
dengan menggunakan antibiotik oral. Pilihan antibiotik yang digunakan adalah
amoksisilin, ampisilin, trimetoprim/sulfametoksazol atau penisilin prokain selama 5
hari. Tetapi ketika didiagnosis dengan pneumonia berat (didapatkan chest
indrawing) maka pasien dirawat inapkan dan diberikan antibiotika secara parenteral
seperti benzylpenisilin atau ampisilin. Kloramfenikol juga dapat diberikan, dimana
pada beberapa daerah tertentu dapat diberikan secara intramuskular. Pada bayi
berumur kurang dari 2 bulan, WHO merekomendasikan pemberian penisilin dan
gentamisin. Dengan penerapan kriteria WHO ini, terjadi penurunan angka kematian
karena infeksi saluran nafas di negara-negara berkembang.
4,18

British Thoracic Society (BTS) merekomendasikan bahwa antibiotik secara
parenteral diberikan pada anak-anak dengan pneumonia berat atau anak yang tidak
bisa menerima antibiotika oral.
25

4. Kapan pasien diindikasikan rawat inap
Pada anak dengan pneumonia, penentuan rawat inap diputuskan apabila terdapat:
8,10,14,15,26

Penderita tampak toksik
Umur kurang dari 6 bulan
Distres pernafasan berat
Hipoksemia (saturasi oksigen kurang dari 93-94% pada kondisi ruangan)
Dehidrasi atau muntah
Terdapat efusi pleura atau abses paru
Kondisi imunokompromais
Ketidakmampuan orangtua untuk merawat
Didapatkan penyakit penyerta lain, misalnya penyakit jantung bawaan
Pasien membutuhkan pemberian antibiotika secara parenteral

Terapi suportif yang diberikan kepada penderita pneumonia.
27

1. Pemberian oksigen melalui kateter hidung atau masker. Jika penyakitnya
berat dan sarana tersedia, alat bantu napas mungkin diperlukan terutama
bila terdapat tanda gagal nafas.
2. Pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat. Cairan rumatan yang diberikan
mengandung gula dan elektrolit yang cukup. Jumlah cairan sesuai berat
badan, kenaikan suhu dan status hidrasi. Pasien yang mengalami sesak
yang berat dapat dipuasakan, tetapi bila sesak sudah berkurang asupan oral
dapat segera diberikan. Pemberian asupan oral diberikan bertahap melalui
NGT (selang nasogastrik) drip susu atau makanan cair. Dapat dibenarkan
pemberian retriksi cairan 2/3 dari kebutuhan rumatan, untuk mencegah
edema paru dan edema otak akibat SIADH (Syndrome of Inappropriate
Anti Diuretic Hormone).

3. Jika sekresi lendir berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan salin normal
untuk memperbaiki transpor mukosiliar.
4. Koreksi kelainan elektrolit atau metabolik yang terjadi misalnya
hipoglikemia, asidosis metabolik.
5. Mengatasi penyakit penyerta seperti kejang demam, diare dan lainnya
serta komplikasi bila ada.

Penanganan terhadap komplikasi
1. Efusi pleura
14,26

Jika terjadi efusi pleura kemungkinan disebabkan oleh infeksi stafilokokus.Jika
efusi minimal dan respon pasien baik terhadap pemberian antibiotika maka
pemberian antibiotika tetap diteruskan. Jika efusi cukup banyak maka perlu
dilakukan pungsi cairan pleura (pleura tap) untuk diagnostik (pemeriksaan
makroskopik, pengecatan gram, jumlah sel, kultur). Penentuan antibiotika
selanjutnya dapat didasarkan dari hasil kultur.
Indikasi pemasangan pleural drain:
Perjalanan klinis berlangsung progresif
Efusi pleura bertambah walaupun sudah mendapat antibiotik
Distres nafas berat
Terjadi pergeseran mediastinum (mediastinal shift)
Didapatkan cairan yang purulen saat dilakukan pungsi pleura
2. Abses paru
26

Staphylococcus aureus merupakan penyebab yang paling banyak, tetapi juga
terdapat kemungkinan infeksi oleh karena kuman anaerob. Pemberian antibiotika
parenteral diteruskan sampai 7 hari bebas demam, dilanjutkan pemberian oral
antibiotik sampai lama terapi mencapai minimal 4 minggu.
3. Empiema/piopneumotoraks
Seringkali disebabkan oleh Staphylococcus aureu, Streptococcus pneumoniae,
Haemophillus influenzae dan Streptococcus group A. Selain itu terdapat juga
kemungkinan infeksi kuman anaerob. Selain pemberian antibiotika yang optimal
sesuai dugaan kuman penyebab, diindikasikan juga pemasangan pleural drain.

Tujuan akhir perawatan adalah mengeliminasi infeksi dan komplikasi,
mengembangkan kembali paru-paru serta menurunkan waktu perawatan.
4. Sepsis
Sepsis sebagai komplikasi dari pneumonia terutama disebabkan oleh
Staphyllococcus aureus dan Streptococcus pneumoniae. Penanganan dengan
antibiotika yang sesuai dan terapi suportif lainnya.
5. Gagal nafas
Pada kondisi gagal nafas, perlu dilakukan intubasi dan pemberian bantuan
ventilasi mekanik.

PENCEGAHAN
Pemberian imunisasi memberikan arti yang sangat penting dalam pencegahan
pneumonia. Pneumonia diketahui dapat sebagai komplikasi dari campak, pertusis dan
varisela sehingga imunisasi dengan vaksin yang berhubungan dengan penyakit tersebut
akan membantu menurunkan insiden pneumonia.
Pneumonia yang disebabkan oleh Haemophillus influenza dapat juga dicegah dengan
pemberian imunisasi Hib.
Pada bulan Februari 2000, vaksin pneumokokal heptavalen telah dilisensikan
penggunaannya di Amerika Serikat. Vaksin ini memberikan perlindungan terhadap
penyakit yang umum disebabkan oleh tujuh serotype Streptococcus pneumonia.
Penggunaan vaksin ini menurunkan insiden invasive pneumococcal disease.
2,8,28

Penggunaan vaksin pneumokokal heptavalen secara rutin di United States ternyata
mampu menurunkan bakteremia yang disebabkan Streptococcus pneumoniae sebesar
84% dan sebesar 67% untuk bakteremia secara keseluruhan pada populasi anak 3 bulan-
3 tahun.
29
The American Academic of Pediatric (AAP) merekomendasikan vaksinasi influenzae
untuk semua anak dengan resiko tinggi yang berumur 6 bulan dan pada usia tua. Untuk
memberikan perlindungan terhadap komplikasi influenzae termasuk diantaranya adalah
pneumonia, AAP juga merekomendasikan vaksinasi untuk semua anak usia 6 bulan
sampai 23 bulan jika kondisi ekonomi memungkinkan.
8

Pencegahan lain dapat dilakukan dengan menghindari faktor paparan asap rokok
dan polusi udara, membatasi penularan terutama dirumah sakit misalnya dengan
membiasakan cuci tangan dan penggunaan sarung tangan dan masker, isolasi penderita,
menghindarkan bayi/anak kecil dari tempat keramaian umum, pemberian ASI,
menghindarkan bayi/anak kecil dari kontak dengan penderita ISPA
30

DAFTAR PUSTAKA
1. Pechere JC. Pneumonia-no single definition. Dalam: Community Acquired
Pneumonia in Children. Edisi ke-1. Wellingborough: Cambridge Medical
Publications, 1995: 1-6
2. McIntosh K. Community Acquired Pneumonia in Children. N Engl J Med 2002;
346(6): 429-37.
3. Data Rekam Medik Penderita Rawat Inap Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK
Univ. Airlangga/RSU Dr. Soetomo Surabaya. 2005. [tidak dipublikasikan]
4. Miller MA, Ben-Ami T, Daum RS. Bacterial Pneumonia in Neonates and Older
Children. Dalam: Taussig LM, Landau LI, penyunting. Pediatric Respiratory
Medicine. St Louis: Mosby Inc, 1999 : 595-664.
5. Hayden FG, Ison MG. Respiratory Viral Infections. ACP Medicine.Infectious
Disease XXV 2004:1-16.
6. Sectish TC, Prober CG. Pnemonia. Dalam: Behrman RE, Kleigman RM, Jenson
HB, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: WB
Saunders, 2003: 1432-5
7. Correa AG, Starke JR. Bacterial pneumonias. Dalam: Chernick V, Boat F,
penyunting. Kendigs Disorders of the Respiratory Tract in Children. Edisi ke-6.
Philadelphia: WB Saunders, 1998: 485-503
8. Ostapchuk M, Robert DM, Haddy R. Community Acquired Pneumonia in Infants
and Children. Am Fam Physician 2004;70: 899-908
9. Al-Eidan FA, McElnay JC, Scott MG, Kearney MP, Corrigan G, McConnel JB.
Use of a Treatment Protocol in the Management of Community Acquired Lower
Respiratory Tract Infection. J Antimicrob Chemother 2000;45: 387-94
10. Lichenstein R, Suggs AH, Campbell J. Pediatric pneumonia. Emerg Med Clin N
Am 2003; 21: 437-51
11. Glezen WP. Viral Pneumonia. Dalam Chernick V, Boat F, penyunting. Kendigs
Disorders of the Respiratory Tract in Children. Edisi ke-6. Philadelphia: WB
Saunders, 1998: 518-26
12. Todd JK. Staphylococcus. Dalam Behrman RE, Kleigman RM, Jenson HB,
penyunting. NelsonTextbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: WB
Saunders, 2003: 861-7
13. Lang F. Respiration, Acid-Base Balance. Dalam: Silbernagl S, Lang F
penyunting. Color Atlas of Pathophysiology. Sturgart: Thieme FlexiBook, 2000:
66-91
14. Gittens MM. Pediatric Pneumonia. Clin Ped Emerg Med J 2002;3(3): 200-14

15. Lakhanpaul M, Atkitson M, Stephenson T. Community Acquired Pneumonia in
Children: a Clinical Update. Arch Dis Child Ed Pract 2004;89: 29-34
16. Castro AV, Carvalho CMN, Oliveira FN, Neto CA, Andrade SC, Loureiro LS
dkk. Additional Markers to Refine the World Health Organization Algorithm for
Diagnosis of Pneumonia. Indian Pediatr 2005;42: 773-81
17. Moreno L, Krishnan JA, Duran P, Ferrero F. Development and Validation of a
Clinical Prediction Rule to Distinguish Bacterial from Viral Pneumonia in
Children. Pediatr Pulmonol 2006;41:331-7.
18. Greenberg D, Leibovitz E. Community Acquired Pneumonia in Children: from
Diagnosis to Treatment. Chang Gung Med J 2005;28: 746-52
19. Klein JO. Bacterial Pneumonias. Dalam: Feigin penyunting. Feigin Textbook of
Pediatric Infectious Disease. Edisi ke-4. Philadelphia: WB Saunders, 1998:274-84
20. Klein JO. Antibacterial Therapy. Dalam Chernick V, Boat F, penyunting.
Kendigs Disorders of the Respiratory Tract in Children. Edisi ke-6. Philadelphia:
WB Saunders, 1998 : 431-46
21. Darvillie T, Yamauchi T. The Cephalosporin Antibiotics. Pediatr Rev
1994;15(2):54-6
22. Contopoulos-Ionnidis DG, Ionnidis JPA, Chew P, Lau J. Meta-analysis of
Randomized Controlled Trial on the Comparative Efficacy and Safety of
Azithromycin against Other Antibiotics for Lower Respiratory Tract Infections. J
Antimicrob Chemother 2001;48:691-703.
23. Ferwenda A, Moil HA, Hop WKJ, Kouwenberg JM, Tjon Pian Gi CV, Robben
SGF dkk. Efficacy, Safety and Tolerability of 3 day Azithromycin versus 10 day
co-Amoxiclav in the Treatment of Children with Acute Lower Respiratory Tract
Infections. J Antimicrob Chemother 2001;47: 441-6.
24. Stokes DC. Respiratory Infections in Immunocompromized Hosts. Dalam:
Taussig LM, Landau LI, penyunting. Pediatric Respiratory Medicine. St. Louis:
Mosby Inc, 1999 : 664-81
25. British Thoracic Society. British Thoracic Society Guidelines for the Management
of Community Acquired Pneumonia in Childhood. Thorax 2002;57(suppl 1):1-24
26. Grant C. Pneumonia Acute in Infants and Children. Ped Clin Guidelines 2001; 1-6
27. Robinson MJ. Acute Respiratory Infections in Childhood. Dalam: Robinson MJ,
Lee EL penyunting. Paediatric Problems in Tropical Countries. Edisi ke-2.
Singapore: PG Publising, 1991; 218-26
28. Black SB, Shinefield HR, Ling S, Hansen J, Fireman B, Spring D dkk.
Effectiveness of Heptavalent Pneumococcal Conjugate Vaccine in Children
Younger than Five Years of Age for Prevention of Pneumonia. Pediatr Infect Dis
J 2002; 21:810-5
29. Herz AM, Greenhow TL, Alcantara J, Hansen J, Baxter RP, Black SB, dkk.
Changing Epidemiology of Outpatient Bacteremia in 3-to 36-Month-Old Children
After the Introduction of the Heptavalent-Conjugated Pneumococcal Vaccine.
Pediatr Infect Dis J 2006;25:293-300.
30. Makmuri MS. Penatalaksanaan Infeksi Saluran Pernafasan Akut. Disampaikan
pada : Simposium Penangananan Terpadu Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan
secara Rasional. 1998 : 1-12.[tidak dipublikasikan]


Lampiran 1. Pilihan penggunaan antibiotika pada pneumonia di RS dr. Sutomo
Surabaya

Pilihan antibiotik Umur Dugaan Kuman
Penyebab
Rawat inap Rawat jalan
< 3 bln - Enterobacteriace
(Escherichia Colli,
Klebsiella,
Enterobacter)
- Streptococcus
pneumoniae
- Streptococcus group B
- Staphylococcus aureus
- Clamydia trachomatis
- Kloksasilin iv dan
aminoglikosida
(gentamisin,
netromisin, amikasin)
iv/im atau
- Ampisilin iv dan
aminoglikosida atau
- Sefalosporin gen 3 iv
(cefotaxim, ceftriaxon,
ceftazidim,
cefuroksim) atau
- Meropenem iv dan
aminoglikosida iv/im
-
3 bln - 5
thn
- Streptococcus
pneumoniae
- Staphylococcus aureus
- Haemophyllus influenzae
- Ampisilin iv dan
kloramfenikol iv atau
- Ampisilin dan
Kloksasilin iv atau
- Sefalosporin gen 3 iv
(sefotaksim,seftriakson
, Seftazidim,
cefuroksim) atau
- Meropenem iv dan
aminoglikosida iv/im
- Amoksisilin atau
- Kloksasilin atau
- Amoksisilin asam
klavulanik atau
- Eritromisin atau
- Klaritromisin atau
- Azitromisin atau
- Sefalosporin oral
(sefixim, sefaklor)
> 5 thn - Streptococcus
pneumoniae
- Mycoplasma pneumoniae
- Clamydia pneumoniae
- Ampisilin iv atau
- Eritromisin po atau
- Klaritromisin po atau
- Azitromisin po atau
- Kotrimoksasol po atau
- Sefalosporin gen 3 iv
- Amoksisilin atau
- Eritromisin po atau
- Klaritromisin po atau
- Azitromisin po atau
- Kotrimoksasol po
atau
- Sefalosporin oral
(sefixim, sefaklor)








Lampiran 2. Jenis obat dan dosis
OBAT DOSIS/KgBB/24 jam CARA PEMBERIAN
Ampisilin
Amoksisilin
Amoksisilin asam klavulanik
Amikasin
Azitromisin
Eritromisin
Gentamisin
Sefotaksim
Sefiksim
Seftazidim
Seftriakson
Sefuroksim
Klaritromisin
Kloramfenikol
Kloksasilin
Kotrimoksazol
Meropenem
Netilmisin
50-100 mg
30-75 mg
30-75 mg
15 mg
7,5-15 mg
50 mg
5-7 mg
50-100 mg
3-5 mg
50-100 mg
50-100 mg
25-50 mg
15-30 mg
50 -100 mg
50 mg
6 mg (TMP)
10-30 mg
5-7 mg
Po/im/iv, 4x/hari
po/im/iv, 3-4x/hari
po, 3-4x/hari
im/iv, 1x/hari
po, 1x/hari
po, 4x/hari
im/iv, 1-2x/hari
iv, 3-4x/hari
po, 2x/hari
im/iv, 1-2x/hari
im/iv, 1-2x/hari
iv/oral, 3-4x/hari
po, 2x / hari
iv/oral, 4x/hari
po/im/iv, 4x/hari
po, 2x/hari
iv, 3x/hari
im /iv, 1x/hari

Lampiran 3. Sistem Skoring Pernafasan
0 1 2
Sianosis (-) (+) pada udara kamar (+) pada 40% O
2

Aktifitas otot-otot
pernafasan tambahan
(-) Sedang Nyata
Pertukaran udara Baik Sedang Jelek
Keadaan mental Normal Depresi/gelisah Koma
Pulsus paradoksus (Torr) < 10 10-40 >40
PaO
2
(Torr) 70-100 =70 pada udara kamar =70 pada 40%O
2

PaCO
2
(Torr) < 40 40-65 >65

Skor :
0-4 : tidak ada bahaya
5-6 : akan terjadi gagal nafas ? siapkan UGD
= 7 : gagal nafas

Anda mungkin juga menyukai