Anda di halaman 1dari 8

Kasus-1 dr.

Rini Utami Topik: Rabies Tanggal (Kasus) : 3 September 2013 Tanggal Presentasi : 19 September 2013

Presenter : dr. Rini Utami Pendamping : dr. Tri Susanty dr. Siti Rusmawardiani A Pembimbing : dr. T. Mirda Zulaicha, Sp.A Tempat Presentasi : Ruang Komite Medik RSUD Kayu Agung Objektif Presentasi : Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil Deskripsi : An. N, 5,5 tahun, kejang, penurunan kesadaran, takut angin dan air, R/ digigit Anjing Tujuan : - Mengetahui mekanisme transmisi penyebaran virus rabies - Mendiagnosis pasien rabies - Penatalaksanaan suportif pada pasien rabies Bahan Bahasan : Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit Cara membahas Diskusi Presentasi dan diskusi Email Pos Data Pasien : Nama : Nama : An. N, 5,5 tahun, No. Reg : Nama RS: RSUD Kayu Agung Telp : Terdaftar sejak : 3 September 2013 Data utama untuk bahan diskusi: 1. Diagnosis / Gambaran Klinis: Rabies/ Kejang, penurunan kesadaran, mulut berbusa, takut air dan angin, Riwayat digigit anjing 1 bulan yang lalu di kening, 2. Riwayat Pengobatan : Pasien berobat ke bidan, dan disarankan ke RS. Pasien lalu berobat ke mantri dan diberi obat makan saja. Pasien tidak berobat ke RS dan tidak disuntik anti rabies, karena dianggap hanya dicakar anjing. 3. Riwayat Penyakit : Riwayat kejang sebelumnya disangkal Daftar Pustaka: 1. Iriani, Y., Rabies dalam Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSMH Palembang 2012 2. Sjamsuhidajat R, Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi II. Jakarta: EGC. 2004 p:5152 3. Kliegman, R.M.,Behrman, R.E., Jenson, H.B., Stanton,B.F. Nelson Textbook of Pediatrics, 18th ed. Philadelphia : Saunders Elsevier. 2007. Chapter 271, Rabies 4. Communicable Disease Control. Rabies : Protocol for Management of Human Rabies and Management of Animal Exposure to Prevent Human Rabies. Manitoba. May 2012 5. Yousaf, M.Z., et al. Review Rabies Molecular Virology, Diagnosis, Prevention and Treatment. Virology Journal. 2012; 9:50 6. The Center for Food Security and Public Health IOWA State University. Rabies and Rabies-Related Lyssaviruses. November 2012 7. Adedeji, A.O., et al. An Overview of Rabies History, Epidemiology, Control and Possible Elimination. African Journal of Microbiology Research vol. 4 (22) 18 November 2010, pp. 2327-2338 Hasil Pembelajaran 1. Mengetahui cara diagnosis rabies 2. Mengetahui mekanisme transmisi penyebaran virus rabies

3. 4. 5. 6.

Mengetahui pathogenesis dan patofisiologi rabies Mengetahui tatalaksana preventif pasien yang dicurigai terinfeksi rabies Mengetahui tatalaksana suportif pada pasien dengan manifestasi rabies Mengetahui vaksinasi rabies

1. Subjektif : Keluhan Utama Keluhan Utama : kejang sejak 2 jam SMRS Riwayat Perjalanan Penyakit 1 hari SMRS pasien hanya mengeluh tidak enak badan dan berhalusinasi melihat cicak dan kucing 2 jam SMRS, pasien mengalami kejang, penurunan kesadaran (+), demam (-), mulut berbusa, takut air dan angin. Menurut keluarga pasien, pasien terdengar seperti menggonggong di rumah. Pasien digigit anjing 1 bulan yang lalu di kening. Pasien berobat ke bidan dan disarankan ke RS. Pasien lalu berobat ke mantri dan diberi obat makan saja. Pasien tidak berobat ke RS dan tidak disuntik anti rabies, karena dianggap hanya dicakar anjing. Pasien tidak ada keluhan selama satu bulan terakhir. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat kejang sebelumnya disangkal 2. Objektif : PEMERIKSAAN FISIK Status Present : Keadaan umum : tampak sakit berat Kesadaran : GCS= E1M1V1= 3 BB : 15 kg Nadi : filiformis Pernapasan : 24 x/ menit Temperatur : afebris Keadaan Spesifik Kepala : tampak anemis, pupil dilatasi 4 mm, RC -/-, kornea tampak keruh. Hipersalivasi (+). Tampak luka uk. 2 cm memanjang, dasar otot, di regio frontalis antara kedua alis. Thorax : simetris saat statis dan dinamis Paru : ronki (-), wheezing (-) Jantung : murmur (-), gallop (-) Abdomen : lemas, hepar/lien tidak teraba, Genital : tidak ada kelainan Ekstremitas : akral dingin (+) 3. Assessment : Rabies adalah suatu penyakit infeksi akut susunan syaraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies yang termasuk famili Rhabdoviridae genus Lyssavirus1-7. Virus rabies mati oleh sinar matahari, larutan formalin, asam kuat, atau dipanaskan lebih dari 56C

dalam waktu 1 jam2. Secara teoritis, virus rabies dapat menyerang semua jenis binatang berdarah panas dan manusia, namun data menunjukkan infeksi terutama terjadi pada anjing (98%)4. Pada negara berkembang, kasus terbanyak juga disebabkan oleh gigitan anjing, sedangkan yang kedua disusul oleh gigitan monyet4. Pada negara maju, infeksi juga ditularkan oleh rakun, kelelawar, rubah4,5 musang6 dan serigala3. Data WHO menunjukkan bahwa 30.000 penduduk Asia mati akibat rabies pertahunnya, dimana 15% pasien berusia dibawah 15 tahun5. Transmisi virus dapat ditularkan terutama lewat gigitan1-7, tanpa gigitan (cakaran, inokulasi saliva atau jaringan saraf6 ke kulit yang tidak intak atau melalui membran mukosa), transplantasi organ dari pasien rabies yang tidak teridentifikasi3,4,6,7, melalui inhalasi pada gua yang dihuni kelelawar yang sangat banyak4 atau pada tempat tertentu seperti laboratorium6. Transmisi iatrogenik dapat terjadi lewat jarum suntik jika jarumnya melalui jaringan saraf. Ada kecurigaan bahwa transmisi dapat terjadi lewat susu pada domba atau pada bayi manusia dari ibunya pada kasus tertentu, namun hal ini belum dapat dibuktikan karena cara transmisi lain belum dapat disingkirkan6. Transmisi antar manusia secara teoritis mungkin, namun hal ini belum dapat dibuktikan. Kontak tertentu terhadap pasien rabies seperti aktivitas seksual, kissing, berbagi peralatan makanan, minuman serta rokok dianggap memiliki resiko. CDC merekomendasikan post-exposure prophylaxis (PEP) untuk mereka yang memiliki resiko berkontak dengan pasien selama 14 hari sebelum onset tanda klinis. Feses, darah, urine dan cairan tubuh lain diperkirakan tidak mengandung virus yang infeksius6. Virus ada dalam saliva selama saliva dalam bentuk cair, termasuk saliva yang berada dalam lingkungan yang basah seperti anjing basah yang diserang oleh hewan yang terinfeksi rabies ataupun air di dalam mangkok. Pada anjing, kucing, dan musang, virus rabies diekskresikan melalui saliva lebih dari 10 hari sebelum timbul gejala klinis4. Waktu inkubasi bervariasi, antara beberapa hari sampai tahunan2,3,4,5,6. Lamanya inkubasi dipengaruhi oleh derajat luka, lokasinya yang dekat saraf, jarak luka relatif terhadap otak, jumlah dan varian virus, serta tingkat proteksi ketika gigitan (misalnya dilindungi baju ketika digigit) dan faktor lain4. Kecepatan transmisi virus meningkat jika gigitannya multipel dan inokulasi terjadi pada daerah yang kaya innervasi seperti wajah dan tangan3. Pada kasus ini, infeksi ditularkan oleh gigitan anjing pada anak usia 5 tahun dimana gigitan hanya ada di satu tempat pada daerah frontalis. Daerah frontalis memiliki banyak inervasi dan relatif dekat dengan otak. Saat digigit, pasien tidak menggunakan pelindung apapun pada tempat yang luka. Apalagi pada kasus pasien tidak diberi postexposure prophylaxis (PEP) karena dianggap hanya dicakar anjing. Padahal seharusnya PEP tetap diberikan. Transmisi virus diperkirakan terjadi dengan cepat sehingga dalam waktu satu bulan sudah timbul manifestasi klinis dari rabies.

Setelah masuk melalui inokulasi ke kulit yang luka, melalui traktus respiratorius atau melalui mukosa, virus akan bereplikasi dengan lambat di dalam sel otot lurik atau jaringan ikat tempat inokulasi dalam beberapa hari sampai beberapa bulan. Virus tidak menstimulasi pembentukan antibodi. Virus selanjutnya akan menginfeksi serabut sel saraf perifer melalui neuromuscular junction5 menggunakan nicotinic acetylcholine receptor3 dan berpindah secara sentral di dalam axon neuron pada endoneurium sel Schwann5. Begitu mencapai saraf perifer, virus secara cepat melintasi axon, melompati celah sinaps sampai masuk ke sistem saraf pusat (SSP). Virus akan berada di radix ganglia dorsalis dalam 60-72 jam inokulasi sebelum akhirnya sampai ke medulla spinalis1. Virus lalu menyebar dengan cepat di otak dan medulla spinalis. Virus akan menyerang batang otak sehingga menyebabkan disfungsi otonom dan hidrofobia. Hidrofobia ini disebabkan oleh spasme otot jalan nafas atas ketika pasien akan menelan yang menyebabkan pasien merasa sangat sakit ketika akan menelan. Meskipun menyerang SSP, virus hanya menyebabkan sedikit kerusakan dan kematian sel saraf pada otak. Disfungsi neurologis lebih disebabkan karena gangguan neurotransmitter sentral daripada sitolisis sel saraf3. Setelah menginfeksi SSP, virus akan bergerak anterograde melalui sistem saraf perifer menuju semua organ tubuh yang diinervasi saraf perifer. Lewat rute inilah, virus akan menginfeksi kelenjar saliva. Infeksi pada jantung akan menyebabkan disfungsi jantung. Kebanyakan pasien meninggal karena gagal jantung atau disritmia yang tidak terkontrol3. Ada 2 tipe manifestasi klinis dari rabies: 1. Ensefalitic (furious) Rabies Gejala dimulai dengan keluhan non spesifik seperti demam, malaise umum, dan nyeri ditenggorokan selama beberapa hari, pusing, mual, muntah, dan lemas1,3. Penderita merasa nyeri, panas dan kesemutan dibekas tempat luka yang menyebar sepanjang ekstremitas yang terkena. Lalu muncul gejala ensefalitis berat dengan agitasi, depresi mental, halusinasi5 dan kadang-kadang kejang3. Selanjutnya tonus otot dan aktivitas simpatis meninggi dengan gejala hiperhidrosis. Khasnya, pada pasien rabies akan dijumpai periode lusid yang intermitten dengan periode ensefalopati yang progresif mengarah ke kondisi koma. Tanda spesifik dari rabies meliputi hidrofobia yang ditunjukkan oleh agitasi dan ketakutan pasien untuk minum sehingga menyebabkan pasien tersedak dan aspirasi karena spasme laring, leher dan dinding dada3. Tanda spesifik berikutnya adalah aerofobia dimana pasien akan ketakutan jika terkena hembusan angin pada wajah. Sebelum kematian, otot-otot justru melemas sehingga terjadi parese flaksid otot1. Kematian biasanya selalu terjadi dalam waktu 2-3 minggu setelah onset3. 2. Paralitic (dumb) Rabies Kondisi ini ditandai dengan kelemahan flaksid motorik ascending yang mengenai

kedua ekstremitas dan saraf kranial. Kebanyakan pasien juga menunjukkan gejala ensefalopati. Kelemahan ini mirip dengan Sindrom Guillain-Barre. Perbedaannya, Sindrom Guillain-Barre juga mengenai saraf sensoris disamping saraf motorik dan biasanya pasien dalam kondisi kompos mentis3. Peluang terjadinya salah satu tipe manifestasi klinis tergantung dari perbedaan respon imun host. Kasus rabies biasanya fatal. Tercatat hanya ada 6 kasus pasien yang bertahan dari infeksi rabies, namun hanya ada 2 orang yang menunjukkan outcome respon neurologis yang memuaskan. Pada tahun 2005 ada laporan menyebutkan 1 orang bertahan dari infeksi rabies yang tidak menerima PEP dan hanya diberi ribavirin dan amantadin, sedangkan sebagian besar lain tidak ada yang bertahan3. Tidak ada tes yang bisa dilakukan untuk mendiagnosis infeksi rabies sebelum onset klinis penyakit4. Pemeriksaan spesimen seperti saliva, CSF, serum, biopsy kulit yang berisi folikel rambut dari tengkuk leher, biopsy otak dan tes lain biasanya digunakan untuk diagnosis laboratoris rabies postmortem. Pada kasus, pasien mengalami tipe ensefalitic rabies. Gejala prodromal terlihat 1 hari SMRS dimana pasien hanya mengeluh tidak enak badan dan berhalusinasi melihat cicak dan kucing. Pasien lalu mengalami progresivitas gejala yang ditunjukan dengan 2 jam SMRS, pasien mengalami kejang, penurunan kesadaran (+), mulut berbusa (hipersalivasi). Cardinal sign rabies takut air dan angin juga ditemukan pada pasien ini. Setelah timbul gejala klinis, tidak ada terapi efektif untuk pasien. Pendekatan pasien rabies difokuskan pada penentuan diagnosis untuk memastikan bahwa tidak ada transmisi dalam RS yang terjadi, untuk memberikan prognosis yang akurat pada keluarga pasien dan memberikan tatalaksana suportif3,4. Bahkan terapi suportif pun hanya terbatas untuk mengurangi nyeri pada pasien5 Pasien yang baru saja kontak dengan hewan yang dicurigai rabies membutuhkan perawatan luka khusus meliputi3,4,5 : 1. Pencucian luka gigitan Luka gigitan yang diduga terinfeksi virus rabies harus dicuci dengan sabun atau deterjen dan disiram dengan banyak air paling tidak 15 menit jika memungkinkan. Irigasi luka dengan povidone iodine atau etanol 40-70% jika tidak ada povidone iodine. Pada pajanan ke mata, cuci mata4. Tindakan ini efektif sampai 12 jam setelah kejadian luka2. Hindari penjahitan luka jika memungkinkan. Jika dilakukan penjahitan, harus diberikan Rabies Immunoglobuline (RabIg) sebelum penutupan luka4. 2. Berikan antitetatus dan antibiotik profilaksis. 3. PEP (post-exposure prophylaxis) PEP terdiri dari 1 dosis RabIg dan 5 dosis vaksin rabies. RabIg disuntikkan satu kali pada tempat luka. RabIg diberikan sebanyak 20 IU/kg. RabIg membunuh virus dan memperlambat atau bahkan menyetop progresi virus melalui saraf5. Vaksin Rabies diberikan secara IM 1 ml pada otot deltoid atau paha anterolateral pada hari ke 0,3,7,14,28 setelah pajanan. Injeksi pada gluteus tidak dianjurkan karena respon imun yang rendah3. Dosis anak sama dengan dewasa. Vaksin ini

aman untuk wanita hamil dan menyusui. Vaksin rabies bekerja dengan cara menstimulasi sistem imun manusia untuk memproduksi antibodi yang menetralisir virus5. Harus diingat bahwa penyuntikan RabIg dan vaksin rabies tidak boleh pada satu ekstremitas yang sama. Hewan penggigit harus ditangkap untuk diamati apakah hewan mati mendadak. Diagnosis dapat dipertegas dengan pemeriksaan saliva atau biopsi jaringan otak untuk menemukan badan Negri yang merupakan tanda khas rabies. Namun, tidak ditemukannya badan Negri tidak menyingkirkan diagnosis2,3. Pada orang-orang yang beresiko berkontak dengan rabies dapat diberikan preexposure prophylaxis seperti wisatawan di daerah yang endemik rabies, petugas laboratorium, dokter hewan dan lain-lain. Profilaksis diberikan 3 kali secara IM pada hari 0,7,21 atau 28. Jika pasien yang sudah diberi pre-exposure prophylaxis digigit hewan yang dicurigai terinfeksi rabies, maka untuk PEP hanya diberikan dua dosis saja, yakni pada hari 0 dan 3 dan tidak membutuhkan RabIg3. 4. Plan : Diagnosis : Rabies Pengobatan : - O2 5 L/m - IVFD RL kocor 1 kolf pasang 2 line - Inj. Ceftriaxon 750 mg - Inj Sulfas Atropine 1 amp IV - Inj. Diazepam amp IV jika kejang - Isolasi pasien - Rawat di ICU Prognosis: Quo ad vitam Quo ad functionam : malam : malam

FOLLOW UP Pukul 09.40 WIB Kondisi Pasien GCS = 3, RC -/-, pupil isokor, dilatasi 4 mm, kornea keruh N = filiformis RR = 24x/m, T = afebris Hipersalivasi (+) kejang tonik klonik GCS = 3, RC -/-, pupil isokor, dilatasi 4 mm, kornea keruh N = filiformis RR = 24x/m, T = afebris Hipersalivasi (+) GCS = 3, RC -/-, pupil isokor, dilatasi 4 mm, kornea keruh N = 180x/m RR = 24x/m, T = afebris Hipersalivasi (+) Pasien apnea, asistol, dilatasi pupil maksimal, RC -/-, kornea keruh Terapi - O2 5 L (sungkup) - Suction - IVFD RL 2 IV line hanya bisa masuk 1 line1 kolf kocor - Inj. Diazepam amp (IV) - Observasi tanda vital - Konsul dr. T. Mirda Z,Sp.A - Informed consent - Inj. Ceftriaxon 750 mg (IV) - Inj. Sulfas Atropine 1 amp (IV) - Bolus NaCl 450 cc - Rawat ICU

10.05 WIB

10.30

11.40 WIB

RJP 2 siklus respon (-) Pasien dinyatakan meninggal dunia

Anda mungkin juga menyukai