Anda di halaman 1dari 23

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Dengan meningkatnya tekanan darah dan gaya hidup yang tidak seimbang dapat meningkatkan faktor risiko munculnya berbagai penyakit seperti arteri koroner, gagal jantung, stroke, dan gagal ginjal. Salah satu studi menyatakan pasien yang menghentikan terapi anti hipertensi maka lima kali lebih besar kemungkinannya terkena stroke.1 Sampai saat ini hipertensi tetap menjadi masalah karena beberapa hal, antara lain meningkatnya prevalensi hipertensi yang belum mendapat pengobatan maupun yang sudah diobati tetapi tekanan darahnya belum mencapai target, serta adanya penyakit penyerta dan komplikasi yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortilitas.2 Data epidemiologis menunjukkan bahwa dengan makin meningkatnya poulasi usia lanjut, maka jumlah pasien dengan hipertensi kemungkinan besar akan bertambah, dimana baik hipertensi sistolik maupun kombinasi hipertensi sistolik dan diastolik sering timbul pada lebih dari separuh orang yang berusia >65 tahun. Selain itu, laju pengendalian tekanan darah yang dahulu terus meningkat, dalam dekade terakhir tidak menunjukkan kemajuan lagi. Dan pengendalian tekanan darah ini hanya mencapai 34% dari seluruh pasien hipertensi.2 Data hipertensi yang lengkap sebagian besar berasal dari negara-negara yang sdah maju. Data dari The National Health and Nutrition examination survey (NHNES) menunjukan bahwa tahun 1999-2000, insiden hipertensi pada orang dewasa adalah sekitar 9-31%, yang berarti terdapat 58-65 juta orang hipertensi di Amerika, dan terjadi peningkatan 15 juta dari data NHANES III tahun 1988-1991. Hipertensi esensial sendiri merupakan 95% dari seluruh kasus hipertensi.2

BAB II TINJAUN PUSTAKA

A. Definisi Dengan meningkatnya tekanan darah dan gaya hidup yang tidak seimbang dapat meningkatkan faktor risiko munculnya berbagai penyakit seperti arteri koroner, gagal jantung, stroke, dan gagal ginjal. Salah satu studi menyatakan pasien yang menghentikan terapi anti hipertensi maka lima kali lebih besar kemungkinannya terkena stroke.1 Hipertensi dianggap sebagai faktor risiko utama stroke, dimana stroke merupakan penyakit yang sulit disembuhkan dan mempunyai dampak yang sangat luas terhadap kelangsungan hidup penderita dan keluarganya. Hipertensi sistolik dan distolik terbukti berpengaruh pada stroke. Dikemukakan bahwa penderita dengan tekanan diastolik di atas 95 mmHg mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk terjadinya infark otak dibanding dengan tekanan diastolik kurang dari 80 mmHg, sedangkan kenaikan sistolik lebih dari 180 mmHg mempunyai risiko tiga kali terserang stroke iskemik dibandingkan dengan dengan tekanan darah kurang 140 mmHg. Akan tetapi pada penderita usia lebih 65 tahun risiko stroke hanya 1,5 kali daripada normotensi.3,4 Sasaran pengobatan hipertensi untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler dan ginjal. Dengan menurunkan tekanan darah kurang dari 140/90 mmHg, diharapkan komplikasi akibat hipertensi berkurang. Klasifikasi prehipertensi bukan suatu penyakit, tetapi hanya dimaksudkan akan risiko terjadinya hipertensi. Terapi non farmakologi antara lain mengurangi asupan garam, olah raga, menghentikan rokok dan mengurangi berat badan, dapat dimulai sebelum atau bersama-sama obat farmakologi.4

B. Etiologi Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang beragam. Pada kebanyakan pasien etiologi patofisiologi-nya tidak diketahui (essensial atau hipertensi primer). Hipertensi primer ini tidak dapat disembuhkan tetapi dapat di kontrol. Kelompok lain dari populasi dengan persentase rendah mempunyai penyebab yang khusus, dikenal sebagai hipertensi sekunder. Banyak penyebab hipertensi sekunder; endogen maupun eksogen. Bila penyebab hipertensi sekunder dapat diidentifikasi, hipertensi pada pasien-pasien ini dapat disembuhkan secara potensial.5 1. Hipertensi primer (essensial) Lebih dari 90% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi essensial (hipertensi primer). Literatur lain mengatakan, hipertensi essensial merupakan 95% dari seluruh kasus hipertensi. Beberapa mekanisme yang mungkin berkontribusi untuk terjadinya hipertensi ini telah diidentifikasi, namun belum satupun teori yang tegas menyatakan patogenesis hipertensi primer tersebut. Hipertensi sering turun temurun dalam suatu keluarga, hal ini setidaknya menunjukkan bahwa faktor genetik memegang peranan penting pada patogenesis hipertensi primer. Menurut data, bila ditemukan gambaran bentuk disregulasi tekanan darah yang monogenik dan poligenik mempunyai kecenderungan timbulnya hipertensi essensial. Banyak karakteristik genetik dari gen-gen ini yang mempengaruhi keseimbangan natrium, tetapi juga di dokumentasikan adanya mutasi-mutasi genetik yang merubah ekskresi kallikrein urine, pelepasan nitric oxide, ekskresi aldosteron, steroid adrenal, dan angiotensinogen. 2. Hipertensi sekunder Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder dari penyakit komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah (lihat tabel 1). Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau penyakit renovaskular adalah penyebab sekunder yang paling sering. Obat-obat tertentu, baik secara langsung

ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi dengan menaikkan tekanan darah. Obat-obat ini dapat dilihat pada tabel 1. Apabila penyebab sekunder dapat diidentifikasi, maka dengan

menghentikan obat yang bersangkutan atau mengobati / mengoreksi kondisi komorbid yang menyertainya sudah merupakan tahap pertama dalam penanganan hipertensi sekunder.5 Penyakit Obat 1. penyakit ginjal kronis 2. hiperaldosteronisme primer 3. penyakit renovaskular 4. sindroma Cushing 5. pheochromocytoma 6. koarktasi aorta Obat 1. Kortikosteroid, ACTH 2. Estrogen (biasanya pil KB dg kadar estrogen tinggi) 3. NSAID, cox-2 inhibitor 4. Fenilpropanolamine dan analog 5. Cyclosporin dan tacrolimus

7. penyakit tiroid atau paratiroid 6. Eritropoetin 7. Sibutramin 8. Antidepresan venlafaxine) Tabel 1. Penyebab hipertensi yang dapat diidentifikasi.5 (terutama

C. Klasifikasi Hipertensi Ada beberapa klasifikasi dari hipertensi, diantaranya menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection, Eveluation, and Tretment of High Blood Pressure (JNC7) klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok normal, prahipertensi, hipertensi derajat 1 dan derajat 2 (dilihat tabel 2), menurut World Health Organization (WHO) dan International Society Of Hypertension Working Group (ISHWG) (dilihat tabel 3).2

Tabel 2. Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC 7 Klasifikasi Tekanan Darah Normal Prehipertensi Hipertensi stadium 1 Hipertensi stadium 2 TDS (mmHg) < 120 120 139 140 159 160 Dan Atau Atau Atau TDD (mmHg) < 80 80 89 90 99 100

TDS = Tekanan Darah Sistolik, TDD = Tekanan Darah Diastolik

Tabel 3. Klasifikasi Tekanan Darah World Health Organization (WHO) dan International Society Of Hypertension Working Group (ISHWG) Kategori Optimal Normal Normal tinggi / pra hipertensi Hipertensi derajat I Hipertensi derajat II Hipertensi derajat III 140 159 160 179 180 Atau Atau Atau 90 99 100 109 110 Sistolik (mmHg) < 120 < 130 130 139 Dan Dan Atau Diastolik (mmHg) < 80 < 85 85 89

D. Faktor Risiko Hipertensi 1. Faktor yang tidak dapat diubah/dikontrol a. Umur Hipertensi erat kaitannya dengan umur, semakin tua seseorang semakin besar risiko terserang hipertensi. Umur lebih dari 40 tahun mempunyai risiko terkena hipertensi. Dengan bertambahnya umur, risiko terkena hipertensi lebih besar sehingga prevalensi hipertensi dikalangan usia lanjut cukup tinggi yaitu sekitar 40 % dengan kematian sekitar 50 % diatas umur 60 tahun. Arteri kehilangan elastisitasnya atau kelenturannya dan tekanan darah seiring bertambahnya usia, kebanyakan orang hipertensinya meningkat ketika 50an dan 60an.

Dengan

bertambahnya

umur,

risiko

terjadinya

hipertensi

meningkat. Meskipun hipertensi bisa terjadi pada segala usia, namun paling sering dijumpai pada orang berusia 35 tahun atau lebih. Sebenarnya wajar bila tekanan darah sedikit meningkat dengan bertambahnya umur. Hal ini disebabkan oleh perubahan alami pada jantung, pembuluh darah dan hormon. Tetapi bila perubahan tersebut disertai faktor-faktor lain maka bisa memicu terjadinya hipertensi. b. Jenis Kelamin Bila ditinjau perbandingan antara wanita dan pria, ternyata terdapat angka yang cukup bervariasi. Dari laporan Sugiri di Jawa Tengah didapatkan angka prevalensi 6,0% untuk pria dan 11,6% untuk wanita. Prevalensi di Sumatera Barat 18,6% pria dan 17,4% perempuan, sedangkan daerah perkotaan di Jakarta (Petukangan) didapatkan 14,6% pria dan 13,7% wanita. c. Riwayat Keluarga Menurut Nurkhalida, orang-orang dengan sejarah keluarga yang mempunyai hipertensi lebih sering menderita hipertensi. Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi (faktor keturunan) juga mempertinggi risiko terkena hipertensi terutama pada hipertensi primer. Keluarga yang memiliki hipertensi dan penyakit jantung meningkatkan risiko hipertensi 2-5 kali lipat. Jika kedua orang tua kita mempunyai hipertensi, kemungkunan kita mendapatkan penyakit tersebut 60%.1 d. Genetik Peran faktor genetik terhadap timbulnya hipertensi terbukti dengan ditemukannya kejadian bahwa hipertensi lebih banyak pada kembar monozigot (satu sel telur) daripada heterozigot (berbeda sel telur). Seorang penderita yang mempunyai sifat genetik hipertensi primer (esensial) apabila dibiarkan secara alamiah tanpa intervensi terapi, bersama lingkungannya akan menyebabkan hipertensinya berkembang dan dalam waktu sekitar 30-50 tahun akan timbul tanda dan gejala.2

2. Faktor yang dapat diubah/dikontrol a. Kebiasaan Merokok Rokok juga dihubungkan dengan hipertensi. Hubungan antara rokok dengan peningkatan risiko kardiovaskuler telah banyak dibuktikan. Selain dari lamanya, risiko merokok terbesar tergantung pada jumlah rokok yang dihisap perhari. Seseoramg lebih dari satu pak rokok sehari menjadi 2 kali lebih rentan hipertensi dari pada mereka yang tidak merokok.4 Zat-zat kimia beracun, seperti nikotin dan karbon monoksida yang diisap melalui rokok, yang masuk kedalam aliran darah dapat merusak lapisan endotel pembuluh darah arteri dan mengakibatkan proses aterosklerosis dan hipertensi.1 b. Konsumsi Asin/Garam Garam merupakan faktor yang sangat penting dalam patogenesis hipertensi. Hipertensi hampir tidak pernah ditemukan pada suku bangsa dengan asupan garam yang minimal. Asupan garam kurang dari 3 gram tiap hari menyebabkan prevalensi hipertensi yang rendah, sedangkan jika asupan garam antara 5-15 gram perhari prevalensi hipertensi meningkat menjadi 15-20 %. Pengaruh asupan terhadap timbulnya hipertensi terjadi melalui peningkatan volume plasma, curah jantung dan tekanan darah.3 Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh, karena menarik cairan diluar sel agar tidak keluar, sehingga akan meningkatkan volume dan tekanan darah. Pada manusia yang mengkonsumsi garam 3 gram atau kurang ditemukan tekanan darah rata-rata rendah, sedangkan asupan garam sekitar 7-8 gram tekanan darahnya rata-rata lebih tinggi. Konsumsi garam yang dianjurkan tidak lebih dari 6 gram/hari setara dengan 110 mmol natrium atau 2400 mg/hari.3,1 Menurut Alison Hull, penelitian menunjukkan adanya kaitan antara asupan natrium dengan hipertensi pada beberapa individu. Asupan natrium akan meningkat menyebabkan tubuh meretensi cairan yang meningkatkan volume darah.4

c. Konsumsi Lemak Jenuh Kebiasaan konsumsi lemak jenuh erat kaitannya dengan peningkatan berat badan yang berisiko terjadinya hipertensi. Konsumsi lemak jenuh juga meningkatkan risiko aterosklerosis yang berkaitan dengan kenaikan tekanan darah. Penurunan konsumsi lemak jenuh, terutama lemak dalam makanan yang bersumber dari hewan dan peningkatan konsumsi lemak tidak jenuh secukupnya yang berasal dari minyak sayuran, biji-bijian dan makanan lain yang bersumber dari tanaman dapat menurunkan tekanan darah.4 d. Penggunaan Jelantah Jelantah adalah minyak goreng yang sudah lebih dari satu kali dipakai untuk menggoreng, dan minyak goreng ini merupakan minyak yang telah rusak. Bahan dasar minyak goreng bisa bermacam-macam seperti kelapa, sawit, kedelai, jagung dan lain-lain. Meskipun beragam, secara kimia isi kendungannya sebetulnya tidak jauh berbeda, yakni terdiri dari beraneka asam lemak jenuh (ALJ) dan asam lemak tidak jenuh (ALTJ). Dalam jumlah kecil terdapat lesitin, cephalin, fosfatida, sterol, asam lemak bebas, lilin, pigmen larut lemak, karbohidrat dan protein. Hal yang menyebabkan berbeda adalah komposisinya, minyak sawit mengandung sekitar 45,5% ALJ yang didominasi oleh lemak palmitat dan 54,1% ALTJ yang didominasi asam lemak oleat sering juga disebut omega-9. minyak kelapa mengadung 80% ALJ dan 20% ALTJ, sementara minyak zaitun dan minyak biji bunga matahari hampir 90% komposisinya adalah ALTJ.1 e. Kebiasaan Konsumsi Minum Minuman Beralkohol Alkohol juga dihubungkan dengan hipertensi. Peminum alkohol berat cenderung hipertensi meskipun mekanisme timbulnya hipertensi belum diketahui secara pasti. Orangorang yang minum alkohol terlalu sering atau yang terlalu banyak memiliki tekanan yang lebih tinggi dari pada individu yang tidak minum atau minum sedikit.4

Menurut Ali Khomsan konsumsi alkohol harus diwaspadai karena survei menunjukkan bahwa 10 % kasus hipertensi berkaitan dengan konsumsi alkohol. Mekanisme peningkatan tekanan darah akibat alkohol masih belum jelas. Namun diduga, peningkatan kadar kortisol dan peningkatan volume sel darah merah serta kekentalan darah merah berperan dalam menaikkan tekanan darah.1 f. Obesitas Obesitas erat kaitannya dengan kegemaran mengkonsumsi makanan yang mengandung tinggi lemak. Obesitas meningkatkan risiko terjadinya hipertensi karena beberapa sebab. Makin besar massa tubuh, makin banyak darah yang dibutuhkan untuk memasok oksigen dan makanan ke jaringan tubuh. Ini berarti volume darah yang beredar melalui pembuluh darah menjadi meningkat sehingga memberi tekanan lebih besar pada dinding arteri. Kelebihan berat badan juga meningkatkan frekuensi denyut jantung dan kadar insulin dalam darah. Peningkatan insulin menyebabkan tubuh menahan natrium dan air. Berat badan dan indeks Massa Tubuh (IMT) berkorelasi langsung dengan tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik. Risiko relatif untuk menderita hipertensi pada orang obes 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan seorang yang berat badannya normal. Pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-30 % memiliki berat badan lebih. g. Olahraga Kurangnya aktifitas fisik meningkatkan risiko menderita

hipertensi karena meningkatkan risiko kelebihan berat badan. Orang yang tidak aktif juga cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi sehingga otot jantungnya harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi. Makin keras dan sering otot jantung harus memompa, makin besar tekanan yang dibebankan pada arteri.

h. Stres Stres dapat meningkatkan tekanan darah untuk sementara waktu dan bila stres sudah hilang tekanan darah bisa normal kembali. Peristiwa mendadak menyebabkan stres dapat meningkatkan tekanan darah, namun akibat stress berkelanjutan yang dapat menimbulkan hipertensi belum dapat dipastikan.1 i. Penggunaan Estrogen Estrogen meningkatkan risiko hipertensi tetapi secara

epidemiologi belum ada data apakah peningkatan tekanan darah tersebut disebabkan karena estrogen dari dalam tubuh atau dari penggunaan kontrasepsi hormonal estrogen. MN Bustan menyatakan bahwa dengan lamanya pemakaian kontrasepsi estrogen ( 12 tahun berturut-turut), akan meningkatkan tekanan darah perempuan.

E. Patogenesis Hipertensi Tekanan yang dibutuhkan untuk mengalirkan darah melalui sistem sirkulasi dilakukan oleh aksi memompa dari jantung (cardiac output/CO) dan dukungan dari arteri (peripheral resistance/PR). Fungsi kerja masing-masing penentu tekanan darah ini dipengaruhi oleh interaksi dari berbagai faktor yang kompleks. Hipertensi sesungguhnya merupakan abnormalitas dari faktor-faktor tersebut, yang ditandai dengan peningkatan curah jantung dan / atau ketahanan periferal.

10

Exces sodium intake

Reduce nephrone number

stress

Genetic alteration

obesity

Endotelium derived factors

Renal sodium retentio n

Decreased Filtration surface

Sympathetic nervous overactivity

Renin angiotensin excess

Cell membrane alteration

Hyper insulinemia

Fluid volume

Venous constiction

Preload

Contractability

Functional constriction

Structural hypertrophy

BLOOD PRESURE = CARDIAC OUTPUT Hypertension = Increased CO

X And/or

PERIPHERAL RESISTANCE Increased PR

Autoregulation

Gambar 1. Beberapa faktor yang mempengaruhi tekanan darah.

F. Gejala Klinis Hipertensi Menurut Elizabeth J. Corwin, sebagian besar tanpa disertai gejala yang mencolok dan manifestasi klinis timbul setelah mengetahui hipertensi bertahun-tahun berupa: 1. Nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat tekanan darah intrakranium. 2. Penglihatan kabur akibat kerusakan retina karena hipertensi. 3. Ayunan langkah tidak mantap karena kerusakan susunan syaraf.

11

4. Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus. 5. Edema dependen akibat peningkatan tekanan kapiler. G. Diagnosis Hipertensi Menurut Slamet Suyono, evaluasi pasien hipertensi mempunyai tiga tujuan: 1. Mengidentifikasi penyebab hipertensi. 2. Menilai adanya kerusakan organ target dan penyakit kardiovaskuler, beratnya penyakit, serta respon terhadap pengobatan. 3. Mengidentifikasi adanya faktor risiko kardiovaskuler yang lain atau penyakit penyerta, yang ikut menentukan prognosis dan ikut menentukan panduan pengobatan. Data yang diperlukan untuk evaluasi tersebut diperoleh dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan penunjang. Peninggian tekanan darah kadang sering merupakan satu-satunya tanda klinis hipertensi sehingga diperlukan pengukuran tekanan darah yang akurat. Berbagai faktor yang mempengaruhi hasil pengukuran seperti faktor pasien, faktor alat dan tempat pengukuran. Anamnesis yang dilakukan meliputi tingkat hipertensi dan lama menderitanya, riwayat dan gejala-gejala penyakit yang berkaitan seperti penyakit jantung koroner, penyakit serebrovaskuler dan lainnya. Apakah terdapat riwayat penyakit dalam keluarga, gejala yang berkaitan dengan penyakit hipertensi, perubahan aktifitas atau kebiasaan (seperti merokok, konsumsi makanan, riwayat dan faktor psikososial lingkungan keluarga, pekerjaan, dan lain-lain). Dalam pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran tekanan darah dua kali atau lebih dengan jarak dua menit, kemudian diperiksa ulang dengan kontrolatera. H. Penatalaksanaan Hipertensi 1. Penatalaksanaan Non Farmakologis Pendekatan nonfarmakologis merupakan penanganan awal sebelum penambahan obat-obatan hipertensi, disamping perlu diperhatikan oleh seorang yang sedang dalam terapi obat. Sedangkan pasien hipertensi yang

12

terkontrol, pendekatan nonfarmakologis ini dapat membantu pengurangan dosis obat pada sebagian penderita. Oleh karena itu, modifikasi gaya hidup merupakan hal yang penting diperhatikan, karena berperan dalam keberhasilan penanganan hipertensi.1 Pendekatan nonfarmakologis dibedakan menjadi beberapa hal: 1. Menurunkan faktor risiko yang menyebabkan aterosklerosis. Menurut Corwin berhenti merokok penting untuk mengurangi efek jangka panjang hipertensi karena asap rokok diketahui menurunkan aliran darah ke berbagai organ dan dapat meningkatkan beban kerja jantung. Selain itu pengurangan makanan berlemak dapat menurunkan risiko aterosklerosis. Penderita hipertensi dianjurkan untuk berhenti merokok dan mengurangi asupan alkohol. Berdasarkan hasil penelitian eksperimental, sampai pengurangan sekitar 10 kg berat badan berhubungan langsung dengan penurunan tekanan darah rata-rata 2-3 mmHg per kg berat badan. 2. Olahraga dan aktifitas fisik Selain untuk menjaga berat badan tetap normal, olahraga dan aktifitas fisik teratur bermanfaat untuk mengatur tekanan darah, dan menjaga kebugaran tubuh. Olahraga seperti jogging, berenang baik dilakukan untuk penderita hipertensi. Dianjurkan untuk olahraga teratur, minimal 3 kali seminggu, dengan demikian dapat menurunkan tekanan darah walaupun berat badan belum tentu turun. Olahraga yang teratur dibuktikan dapat menurunkan tekanan perifer sehingga dapat menurunkan tekanan darah. Olahraga dapat menimbulkan perasaan santai dan mengurangi berat badan sehingga dapat menurunkan tekanan darah. Yang perlu diingat adalah bahwa olahraga saja tidak dapat digunakan sebagai pengobatan hipertensi.3 Menurut Dede Kusmana, beberapa patokan berikut ini perlu dipenuhi sebelum memutuskan berolahraga, antara lain: a. Penderita hipertensi sebaiknya dikontrol atau dikendalikan tanpa atau dengan obat terlebih dahulu tekanan darahnya, sehingga tekanan darah

13

sistolik tidak melebihi 160 mmHg dan tekanan darah diastolik tidak melebihi 100 mmHg. b. Alangkah tepat jika sebelum berolahraga terlebih dahulu mendapat informasi mengenai penyebab hipertensi yang sedang diderita. c. Sebelum melakukan latihan sebaiknya telah dilakukan uji latih jantung dengan beban (treadmill/ergometer) agar dapat dinilai reaksi tekanan darah serta perubahan aktifitas listrik jantung (EKG), sekaligus menilai tingkat kapasitas fisik. d. Pada saat uji latih sebaiknya obat yang sedang diminum tetap diteruskan sehingga dapat diketahui efektifitas obat terhadap kenaikan beban. e. Latihan yang diberikan ditujukan untuk meningkatkan daya tahan tubuh dan tidak menambah peningkatan darah. f. Olahraga yang bersifat kompetisi tidak diperbolehkan. g. Olahraga peningkatan kekuatan tidak diperbolehkan. h. Secara teratur memeriksakan tekanan darah sebelum dan sesudah latihan. i. Salah satu dari olahraga hipertensi adalah timbulnya penurunan tekanan darah sehingga olahraga dapat menjadi salah satu obat hipertensi. j. Umumnya penderita hipertensi mempunyai kecenderungan ada kaitannya dengan beban emosi (stres). Oleh karena itu disamping olahraga yang bersifat fisik dilakukan pula olahraga pengendalian emosi, artinya berusaha mengatasi ketegangan emosional yang ada. k. Jika hasil latihan menunjukkan penurunan tekanan darah, maka dosis/takaran obat yang sedang digunakan sebaiknya dilakukan penyesuaian (pengurangan).2

3. Perubahan pola makan a. Mengurangi asupan garam

14

Pada hipertensi derajat I, pengurangan asupan garam dan upaya penurunan berat badan dapat digunakan sebagai langkah awal pengobatan hipertensi. Nasihat pengurangan asupan garam harus memperhatikan kebiasaan makan pasien, dengan memperhitungkan jenis makanan tertentu yang banyak mengandung garam. Pembatasan asupan garam sampai 60 mmol per hari, berarti tidak menambahkan garam pada waktu makan, memasak tanpa garam, menghindari makanan yang sudah diasinkan, dan menggunakan mentega yang bebas garam. Cara tersebut diatas akan sulit dilaksanakan karena akan mengurangi asupan garam secara ketat dan akan mengurangi kebiasaan makan pasien secara drastis.3 b. Diet rendah lemak jenuh Lemak dalam diet meningkatkan risiko terjadinya

aterosklerosis yang berkaitan dengan kenaikan tekanan darah. Penurunan konsumsi lemak jenuh, terutama lemak dalam makanan yang bersumber dari hewan dan peningkatan konsumsi lemak tidak jenuh secukupnya yang berasal dari minyak sayuran, biji-bijian dan makanan lain yang bersumber dari tanaman dapat menurunkan tekanan darah.2 c. Memperbanyak konsumsi sayuran, buah-buahan dan susu rendah lemak. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa beberapa mineral bermanfaat mengatasi hipertensi. Kalium dibuktikan erat kaitannya dengan penurunan tekanan darah arteri dan mengurangi risiko terjadinya stroke. Selain itu, mengkonsumsi kalsium dan magnesium bermanfaat dalam penurunan tekanan darah. Banyak konsumsi sayursayuran dan buah-buahan mengandung banyak mineral, seperti seledri, kol, jamur (banyak mengandung kalium), kacang-kacangan (banyak mengandung magnesium). Sedangkan susu dan produk susu mengandung banyak kalsium. 4. Menghilangkan stress

15

Stres menjadi masalah bila tuntutan dari lingkungan hampir atau bahkan sudah melebihi kemampuan kita untuk mengatasinya. Cara untuk menghilangkan stres yaitu perubahan pola hidup dengan membuat perubahan dalam kehidupan rutin sehari-hari dapat meringankan beban stres.

2. Penatalaksanaan Farmakologis Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi yang dianjurkan oleh JNC 7: a. Diuretic, terutama jenis Thiazide (Thiaz) Aldosteron Antagonist (Ald Ant) b. Beta Blocker (BB) c. Calcium channel blocker atau Calcium antagonist (CCB) d. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI) e. Angiotensin II Receptor Blocker atau AT1 Receptor angiotensint/ blocker (ARB).2

Tabel 4.

Indikasi dan Kontraindikasi Kelas-kelas utama Obat Antihipertensi Menurut ESH.

Kelas obat

Indikasi

Kontraindikasi Mutlak Tidak mutlak kehamilan

Diuretika (Thiazide)

Gagal

jantung gout usia

kongestif, lanjut, systolic

isolated

hypertension, ras afrika Diuretika (loop) Insufisiensi ginjal, gagal

16

jantung kongestif Diuretika aldosteron) penyekat (anti Gagal jantung Gagal ginjal,

kongestif, pasca hiperkalemia infark miokardium Angina pectoris, Asma, pasca Penyakit darah

infark penyakit paru pembuluh obstruktif perifer,

myocardium gagal

jantung menahun, A-V intoleransi block glukosa, atlit atau pasien yang aktif secara fisik Takiaritmia, gagal kongestif jantung

kongestif, kehamilan, takiaritmia Calcium Antagonist Usia lanjut,

isolated systolic

(dihydropiridine) hypertension, angina pectoris, penyakit pembuluh darah perifer, aterosklerosis karotis, kehamilan Calcium Antagonist (verapamil, diltiazem) Angina pectoris, A-V aterosklerosis karotis, takikardia supraventrikuler Penghmbat ACE Gagal jantung Kehamilan, hiperkalimea, gagal block, jantung

kongestif

kongestif,

17

disfungsi ventrikel pasca

stenosis arteri kiri, renalis bilateral infark

myocardium, non-diabetik nefropati, nefropati tipe proteinuria Angiotensi reseptor II Nefropati tipe DM Kehamilan, 2, hiperkalemia, DM 1,

antagonist (AT1- mikroalbumiuria stenosis arteri blocker) diabetic, proteinuria, hipertrofi ventrikel batuk ACEI -Blocker Hyperplasia prostat Hipotensi Gagal kongestif jantung kiri, karena renalis bilateral

(BPH), ortostatis

hiperlipidemia Indikasi dan Kontraindikasi Kelas-kelas utama Obat Antihipertensi.2

Adapun Tatalaksana hipertensi menurut menurut JNC7 dapat dilihat pada tebel 5 dibawah ini : Tabel 5. Tatalaksana hipertensi menurut menurut JNC7 Klasifikasi TDS TDD Perbaika Tanpa Dengan

18

Tekanan Darah Normal

(mmH g) < 120

(mmH g) Dan <80

n Pola Hidup Dianjurka n ya

indikasi yang memaksa

indikasi yang memaksa

Prehiperten si

120139

atau 80-89

Tidak indikasi obat

Obat-obatan untuk indikasi yang memaksa

Hipertensi derajat 1

140159

Atau 90-99

ya

Diuretic jenis Thiazide untuk sebagian

Obat-obatan untuk indikasi yang memaksa

besar kasus, Obat dapat dipertimban antihiperten si lain

gkan ACEI, (diuretika, ARB, CCB, BB, ACEI, atau ARB, CCB) sesuai kebutuhan Hipertensi derajat 2 160 Atau 100 ya Kombinasi 2 obat untuk BB,

kombinasi

sebagian besar kasus umumnya diuretika jenis

19

Thiazide dan ACEI ARB BB CCB Tatalaksana hipertensi menurut menurut JNC7.2 Masing-masing obat antihipertensi memliki efektivitas dan atau atau atau

keamanan dalam pengobatan hipertensi, tetapi pemilihan obat antihipertensi juga dipengaruhi beberapa faktor, yaitu : a. Faktor sosio ekonomi b. Profil factor resiko kardiovaskular c. Ada tidaknya kerusakan organ target d. Ada tidaknya penyakit penyerta e. Variasi individu dari respon pasien terhadap obat antihipertensi f. Kemungkinan adanya interaksi dengan obat yang digunakan pasien untuk penyakit lain g. Bukti ilmiah kemampuan obat antihipertensi yang akan digunakan dalam menurunkan resiko kardiovasskular.2 Berdasarkan uji klinis, hampir seluruh pedoman penanganan hipertensi menyatakan bahwa keuntungan pengobatan antihipertensi adalah penurunan tekanan darah itu sendiri, terlepas dari jenis atau kelas obat antihipertensi yang digunakan. Tetapi terdapat pula bukti-bukti yang menyatakan bahwa kelas obat antihipertensi tertentu memiliki kelebihan untuk kelompok pasien tertentu. Untuk keperluan pengobatan, ada pengelompokan pasien berdasar yang memerlukan pertimbangan khusus (special considerations), yaitu kelompok indikasi yang memaksa (compelling indication) dan keadaan khusus lainnya (special situations).2

Untuk sebagian besar pasien hipertensi, terapi dimulai secara bertahap, dan target tekanan darah dicapai secara progresif dalam beberapa minggu. Dianjurkan untuk menggunakan obat antihipertensi dengan masa

20

kerja panjang atau yang memberikan efikasi 24 jam dengan pemberian sekali sehari. Pilihan apakah memulai terapi dengan satu jenis obat antihipertensi atau dengan kombinasi tergantung pada tekanan darah awal dan ada tidaknya komplikasi. Jika terapi dimulai dengan satu jenis obat dan dalam dosis rendah, dan kemudian darah belum mencapai target, maka langkah selanjutnya adalah meningkatnya dosis obat tertentu, atau berpindah ke antihipertensi lain dengan rendah. Efek samping umumnya bisa dihindari dengan menggunakan dosis rendah, baik tunggal maupun kombinasi. Sebagian besar pasien memerlukan kombinasi obat

antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah, tetapi kombinasi dapat meningkatkan biaya pengobatan dan menurunkan kepatuhan pasien karena jumlah obat yang harus diminum bertambah.2 Kombinasi yang telah terbukti efektif dan dapat ditoleransi pasien adalah : a. dan ACEI atau ARB b. CCB dan BB c. CCB dan ACEI atau ARB d. CCB dan diuretika e. AB dan BB f. Kadang diperlukan tiga atau empat kombinasi obat.2 Diuretika Bloker ARB

Bloker

CCB

ACEI Gambar 2. Kemungkinan kombinasi obat antihipertensi.2

21

BAB III KESIMPULAN

Hipertensi dikenal sebagai penyakit kardiovaskular dimana penderita memiliki tekanan darah diatas normal. Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko utama penyebab gangguan jantung. Selain mengakibatkan gagal jantung, hipertensi dapat juga berakibat terjadinya gagal ginjal maupun penyakit serebrovaskular. Sasaran pengobatan hipertensi untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler dan ginjal. Dengan menurunkan tekanan darah kurang dari 140/90 mmHg diharapkan komplikasi akibat hipertensi berkurang. Terapi non farmakologi antara lain mengurangi asupan garam, olah raga, menghentikan rokok dan mengurangi berat badan, dapat dimulai sebelum atau bersama-sama dengan obat farmakologi.

22

DAFTAR PUSTAKA 1. Departemen Kesehatan R.I. Survei kesehatan rumah tangga. Studi morbiditas dan disabilitas, Studi pola penyakit. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 1997. Natinal Institutes of Health. Primary prevention of hypertension. U.S. Departement of health and human services. 1993. Available from URL : http:/www.nhlbi.nih.gov/health/prof/heart/hbp/pphbp.htm WHO. Guidelines for management of hypertension Geneva: WHO;1999. Available from URL: http:/www.who.int/ncd/cvd/ht_guide.h tml. National Institute of Health National Heart Lung Blood Institute. The sixth report of The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. NIH Publication; 1997 No 98-4080. Available from URL: http/nhlbi/nih/gov/guidelines/hypertension/jnc6.htm Psaty BM, Smith NL, Siscovick DS, Koepsell TD, Weiss NS, Heckbertwith antihypertensive therapies used as first-line agents: a systematic review and metaanalysis. JAMA 1997;277:739-45. Stamler R, Stamler J, Gosch FL. Primary prevention of hypertension by nutritional hygienic means. Finalreport of a randomized, comtrolledtrials JAMA 1989;262:1801-7.

2.

3. 4.

5.

6.

23

Anda mungkin juga menyukai