Penyantun/Patron
Dewan Gubernur Bank Indonesia
Board of Governors of Bank Indonesia
Sekretariat/Secretariat
Rakianto Irawanto
M.S. Artiningsih
Buletin ini diterbitkan secara triwulan pada bulan April, Juli, Oktober dan
Januari, bagi yang ingin memperoleh terbitan ini dapat menghubungi
Seksi Publikasi - Bagian Administrasi, Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter,
Bank Indonesia Gedung Sjafruddin Prawiranegara Lt. 2; Jl. M.H. Thamrin No. 2,
Jakarta Pusat, telp. (021) 381-8206. Untuk permohonan berlangganan:
telp. (021) 381-8636, fax. (021) 231-1219, email: pusriset@bi.go.id
ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan II - 2007 1
ANALISIS TRIWULANAN:
Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran,
Triwulan I - 2008
cadangan devisa sampai dengan akhir triwulan II-2008 mencapai USD59,5 miliar atau setara
dengan 5,1 bulan impor dan utang luar negeri Pemerintah. Dengan kinerja NPI tersebut,
indikator kerentanan eksternal hingga akhir triwulan II-2008 masih relatif membaik. Posisi utang
luar negeri yang terus meningkat dapat diimbangi dengan peningkatan kegiatan ekonomi,
termasuk kinerja ekspor dan posisi realisasi cadangan devisa.
Nilai tukar rupiah selama triwulan II-2008 bergerak relatif stabil meski sempat mengalami
tekanan. Tingginya harga minyak serta dampak lanjutannya yang memengaruhi faktor sentimen
pasar sempat memberikan tekanan terhadap nilai rupiah. Rata-rata nilai tukar rupiah sepanjang
triwulan II-2008 bergerak dari Rp9.258/USD menjadi Rp9.259/USD. Pergerakan rupiah selama
triwulan II-2008 relatif terjaga yang tercermin dari penurunan tingkat volatilitas dari 1,42%
pada triwulan I-2008 menjadi 0,61%.
Laju inflasi IHK pada triwulan II-2008 meningkat signifikan dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya dan periode yang sama tahun sebelumnya. Dengan menggunakan tahun dasar
2007, laju inflasi tahunan pada akhir triwulan II-2008 mencapai 11,03% (yoy), meningkat dari
8,17% (yoy) pada triwulan I-2008. Peningkatan inflasi IHK tersebut terutama disebabkan oleh
dampak langsung dan tidak langsung dari kenaikan harga BBM bersubsidi sebesar 28,7%
pada akhir Mei 2008. Berdasarkan komponennya, tingginya inflasi pada triwulan laporan
terutama didorong oleh faktor nonfundamental yaitu administered price dan volatile food.
Peningkatan inflasi administered price terutama terkait dengan kenaikan harga BBM dan
kelangkaan komoditas energi. Sementara itu, meningkatnya inflasi volatile food terkait dengan
dampak kenaikan harga pangan internasional. Di samping itu, kenaikan inflasi juga ditengarai
oleh adanya tekanan dari sisi permintaan domestik.
Perkembangan BI Rate diikuti dengan peningkatan suku bunga deposito, namun belum
menghalangi berlanjutnya penurunan suku bunga kredit. Hingga Mei 2008, suku bunga Kredit
Investasi (KI) dan Kredit Konsumsi (KK) masih menunjukkan penurunan dengan besaran yang
bervariasi, sedangkan suku bunga Kredit Modal Kerja (KMK) tercatat relatif stabil. Di sisi
penghimpunan dana, rata-rata suku bunga deposito periode 1 bulan pada Mei 2008 tercatat
sebesar 6,98%, sedikit meningkat dibandingkan dengan akhir triwulan sebelumnya. Sementara
itu, IHSG pada akhir laporan ditutup pada level 2349 atau melemah 4,01% dibandingkan
dengan akhir triwulan I-2008. Kinerja IHSG selama triwulan II-2008 cenderung lebih fluktuatif
sejalan dengan meningkatnya berbagai faktor risiko domestik dan regional.
pertumbuhan konsumsi swasta akibat kenaikan harga BBM bersubsidi. Harga komoditas yang
tinggi serta pertumbuhan ekonomi di negara berkembang yang tetap kuat diprakirakan menjadi
insentif bagi kenaikan ekspor. Prospek ekspor yang cukup cerah diprakirakan mendorong
kenaikan pertumbuhan investasi. Dari sisi produksi, prakiraan tersebut didukung oleh
pertumbuhan sektor-sektor yang berorientasi ekspor, khususnya sektor pertambangan dan sektor
pertanian. Sementara itu, pengeluaran pemerintah diprakirakan dapat tumbuh lebih tinggi
dari tahun sebelumnya disebabkan oleh kelonggaran belanja pemerintah pascapengurangan
subsidi BBM.
Peranan sinergi kebijakan moneter dan fiskal akan menjadi semakin penting dalam
memitigasi dampak negatif gejolak eksternal terhadap prospek perekonomian. Bank Indonesia
(BI) akan tetap konsisten mengarahkan kebijakan moneternya untuk mengamankan arah
perkembangan inflasi guna mendukung kesinambungan pertumbuhan ekonomi. Laju inflasi
IHK tahun 2008 diprakirakan akan berada pada kisaran 11,5%-12,5% (yoy), jauh lebih tinggi
dari prakiraan sebelumnya atau berada di atas sasaran yang ditetapkan Pemerintah sebesar
5%+1%.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2008 masih akan menghadapi berbagai
risiko, baik yang bersumber dari gejolak eksternal maupun kondisi domestik
domestik. Risiko paling
utama saat ini berasal dari perkembangan eksternal yaitu kenaikan harga-harga komoditas
internasional, khususnya harga minyak dan bahan pangan, serta gejolak di pasar finansial
global. Berbagai hal tersebut dapat meningkatkan tekanan inflasi domestik. Selain itu, masih
adanya selisih antara harga pasar dan harga subsidi serta kemungkinan peningkatan konsumsi
BBM dapat menimbulkan risiko pengurangan subsidi BBM lebih lanjut.
Dalam kaitan ini, BI akan tetap melaksanakan kebijakan moneter secara terukur dan
hati-hati dengan terus mencermati berbagai dinamika perekonomian. Keputusan BI pada awal
Juli 2008 untuk menaikkan BI Rate menjadi 8,75% didasari atas pertimbangan secara seksama
akan risiko terhadap stabilitas perekonomian dan sistem keuangan Indonesia serta prospek
pertumbuhan ekonomi ke depan. Bank Indonesia melihat adanya peningkatan tekanan pada
sisi permintaan dan indikasi kenaikan ekspektasi inflasi yang dapat menimbulkan kenaikan
inflasi putaran kedua. Oleh karena itu, Bank Indonesia memandang perlu untuk menaikkan BI
Rate untuk mencegah dampak lanjutan kenaikan harga BBM dan bahan pangan terhadap
harga barang-barang lain serta menjangkar ekspektasi inflasi masyarakat ke depan.
302 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008
Solikin M. Juhro 1
Abstract
1 Penulis adalah peneliti ekonomi di Bank Indonesia dan pengajar tamu pada beberapa universitas di tanah air (solikin@bi.go.id).
Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Prof. Rustam Didong, Dr. N. Haidy A. Pasay,
dan Dr. Perry Warjiyo atas segala bantuan pemikiran dan arahan dalam penyempurnaan tulisan ini. Apa yang disampaikan pada
tulisan ini merupakan pemikiran dan analisis pribadi, bukan lembaga tempat penulis bekerja.
304 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008
I. PENDAHULUAN
Perubahan struktural perekonomian Indonesia, terutama pada periode pasca-krisis
ekonomi 1997, yang dibarengi oleh fluktuasi dan keterkaitan yang kurang stabil antara beberapa
indikator makro utama, serta perkembangan yang tidak sejalan antara sektor keuangan dan
sektor riil, menyebabkan upaya pencarian pijakan baru dalam manajemen pengendalian moneter
di Indonesia menjadi sesuatu yang sangat penting. Sementara itu, dalam situasi ekonomi yang
belum sepenuhnya pulih dari permasalahan yang timbul sebagai akibat krisis ekonomi 1997
tersebut, tantangan bagi penerapan paradigma kebijakan moneter yang baru juga semakin
berat dan kompleks. Dengan komitmen Bank Indonesia pada penerapan kerangka kerja Inflation
Targeting2 serta kecenderungan kekurangstabilan keterkaitan antara besaran moneter dengan
output dan inflasi, maka kecenderungan untuk memilih sasaran operasional suku bunga
dibandingkan dengan besaran moneter (uang primer) cukup kuat.
Berkaitan dengan tantangan tersebut, dapat dikemukakan pula bahwa strategi kebijakan
mana yang dipilih akan sangat bergantung pada karakteristik dari perekonomian dan paradigma
pengendalian moneter di Indonesia yang mengalami pasang surut selama tiga dasawarsa
terakhir. Hal ini terlebih dengan mempertimbangkan tingginya fluktuasi makroekonomi sebagai
akibat terjadinya perubahan struktural di Indonesia, khususnya dalam tiga dasawarsa terakhir,
serta adanya reorientasi strategi kebijakan moneter dengan sasaran akhir kebijakan berupa
kestabilan harga.3 Akan tetapi, dengan mendasarkan pada beberapa temuan empiris, dapat
2 Sejalan dengan makna yang tersirat dalam UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia, yang diamandemen oleh UU No.3/2004.,
tujuan Bank Indonesia adalam mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.
3 Perjalanan siklus kegiatan ekonomi di Indonesia mencatat peranan penting beberapa langkah kebijakan reformasi dan deregulasi di
pasar keuangan, dua di antaranya yaitu Kebijakan Deregulasi Perbankan 1 Juni 1983 dan Paket Kebijakan 27 Oktober 1988, dalam
mempengaruhi perkembangan dan struktur perbankan, serta konsentrasi kredit. Perkembangan di sektor keuangan yang cukup
Respon Kebijakan Moneter yang Optimal di Indonesia: The State-Contingent Rule? 305
ditarik pemahaman bahwa, apapun alternatif kerangka kerja yang dipilih, kebijakan moneter
harus diterapkan dengan tetap mengacu pada kaidah-kaidah yang terkait dengan prinsip manfaat
dan kerugian, khususnya dalam jangka menengah-panjang. Secara konseptual, penerapan
kebijakan moneter perlu senantiasa diarahkan untuk mengacu pada prinsip-prinsip keoptimalan
Penelitian ini ditujukan untuk menjawab isu-isu strategis yang terkait dengan penerapan
kebijakan moneter yang optimal di Indonesia, terutama yang terkait dengan perumusan
kerangka kerja kebijakan moneter yang optimal dikaitkan dengan perumusan respon kebijakan
yang sesuai dengan karakteristik dasar perekonomian Indonesia. Agenda penelitian ini akan
diarahkan untuk meneliti hal-hal yang terkait dengan beberapa isu tersebut. Permodelan hipotetis
akan dikembangkan dengan tujuan akhir adalah mencari dan menguji alternatif respon kebijakan
dalam rangka penerapan kebijakan moneter yang «optimal» yang sesuai dengan karakteristik
perekonomian Indonesia, terutama dikaitkan dengan reorientasi strategi kebijakan dalam era
perubahan ekonomi pasca krisis 1997. Adapun pengembangan analisis untuk kasus Indonesia
dilakukan melalui pengembangan model makro stuktural jangka panjang, Structural
Cointegrating Vector Autoregression (Solikin, 2005). Pertimbangan utama dari hal tersebut,
selain dikarenakan oleh karateristik sistem permodelan yang dilandaskan pada karakteristik
dasar model dinamis keseimbangan umum jangka panjang, sistem permodelan yang
dikembangkan oleh Garratt et al. (1998) tersebut juga mampu dalam menjelaskan respon
kebijakan berdasarkan kaidah keoptimalan.
pesat pada akhirnya tidak dapat diimbangi oleh perkembangan di sektor riil, yang pada gilirannya menyebabkan munculnya
permasalahan ketidakseimbangan struktural dalam perekonomian. Beberapa hasil penelitian untuk kasus Indonesia yang mendukung
pernyataan tersebut menunjukkan bahwa perubahan yang cepat di sektor keuangan Indonesia telah menyebabkan kegiatan penciptaan
uang oleh sistem keuangan menjadi berlipat ganda dan melampaui penciptaan uang oleh bank sentral, yang selanjutnya menyebabkan
perilaku angka pelipat ganda uang cenderung tidak stabil (Sarwono, 1996). Lebih jauh lagi, kecenderungan tersebut tidak hanya
terjadi pada perilaku angka pelipat ganda uang, tetapi juga income velocity dan fungsi permintaan uang (Solikin, 1998).
4 Dipublikasikan di Lloyd»s Bank Monthly Review. Lihat: Boughton (2002) dan Muchlinski (2002).
306 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008
commitment would lead not only to the optimal long-run average values of target variables,
but also to the optimal responses to disturbances∆. Dengan demikian, ≈State-Contingent rule∆
dianggap sebagai strategi kebijakan yang optimal, yang memungkinkan bank sentral untuk
merespon shocks tanpa mengorbankan pencapaian tujuan stabilitas harga.
Dari hasil studi ini diperoleh temuan utama, yaitu bahwasanya rumusan respon kebijakan
yang didasarkan pada disain ≈State-Contingent rule∆ berhasil merepresentasikan disain policy
rule yang optimal bagi perekonomian Indonesia, dengan suatu karakteristik emerging market
yang unik. Pada akhirnya, lima bagian dari penelitian ini disampaikan dengan cukup sederhana.
Melanjutkan bagian pendahuluan ini, bagian selanjutnya mengulas sebuah pemikiran awal
mengenai respon kebijakan dalam kerangka pelaksanaan kebijakan moneter yang optimal.
Sebelum diketengahkan hasil pengujian empiris, akan disampaikan terlebih dahulu tinjauan
moetodologi dan permodelan yang terkait. Bagian terakhir berupa beberapa catatan penutup.
II. TEORI
II.1 Respons Kebijakan Moneter yang Optimal
Pada dasarnya, alternatif penentuan respon kebijakan moneter dapat dilakukan dengan
menggunakan suatu rule atau dengan menggunakan discretion. Konsensus yang diambil setelah
melalui perdebatan panjang di antara para ekonom berkaitan dengan pilihan terhadap kedua
pola penetapan tersebut menyatakan bahwa bank sentral tidak dapat menerapkan kebijakan
moneter sepenuhnya berdasarkan pola discretion. Di sisi lain, beberapa pola rule diyakini sebagai
suatu prasarat bagi penerapan kebijakan moneter yang baik sehingga penerapan kebijakan
tanpa menggunakan suatu rule tertentu mungkin akan menimbulkan konsekuensi yang
sebaliknya.
Dari keberadaan disain utama policy rule yang dikenal secara umum, monetary growth
rule dan interest rate rule, dapat dikemukakan dua pokok pemikiran. Pertama, bahwa disain
policy rule pada dasarnya merefleksikan keterkaitan antara sasaran akhir kebijakan
(perkembangan output dan harga) dengan sasaran operasional atau instrumen kebijakan
(perkembangan besaran moneter - yaitu uang primer - dan suku bunga jangka pendek).
Umumnya, apabila dipilih pertumbuhan output sebagai sasaran akhir kebijakan dalam kerangka
strategis GDP nominal targeting, maka monetary growth rule menjadi pilihan. Sebaliknya,
apabila dipilih stabilitas harga sebagai sasaran akhir kebijakan dalam kerangka strategis inflation
targeting, maka interest rate rule menjadi pilihan. Namun demikian, McCallum and Nelson
(1999), menekankan bahwa peran indikator sasaran akhir dalam kedua disain rule tersebut
dapat dipertukarkan sehingga dimungkinkan, misalnya, penetapan suatu rule dengan uang
Respon Kebijakan Moneter yang Optimal di Indonesia: The State-Contingent Rule? 307
Kedua, dalam analisis kebijakan moneter policy rule tidak mesti atau harus mencerminkan
perilaku optimal dari bank sentral, tergantung pada tujuan analisis. Apabila tujuan analisis
adalah mencari kebijakan yang optimal, maka disain policy rule seyogyanya dihasilkan dari
langkah optimalisasi yang mengacu pada fungsi tujuan bank sentral, yang tentunya dapat
didasarkan pada perilaku atau fungsi utilitas masyarakat; dimana dalam praktek, tidak ada
satupun bank sentral yang menyatakan fungsi tujuan tersebut secara tegas. Dengan demikian,
tidak semua analisis yang disarankan untuk dipakai harus mengasumsikan adanya langkah
optimal dari bank sentral. Dalam hal ini, cukup diyakini bahwa analisis positif yang mengkaji
pengaruh dari hypothetical rules yang mencerminkan beberapa alternatif pendekatan
merupakan sesuatu yang lebih bermanfaat (McCallum, 2001).
Apabila diyakini bahwa policy rule seharusnya mencerminkan perilaku optimal, maka
secara mendasar strategi pemilihan kerangka kebijakan moneter oleh bank sentral seharusnya
diarahkan secara langsung pada penggunaan asumsi perilaku optimal dari agen-agen ekonomi.
Untuk menyimpulkan bahwa suatu kebijakan adalah optimal biasanya diperlukan evaluasi
terhadap perubahan kemakmuran dari masing-masing agen ekonomi sebagai akibat dari
penerapan beberapa alternatif kebijakan, yang dapat diturunkan melalui sistem permodelan
yang sederhana maupun analisis keseimbangan umum (general equilibrium).
Secara teoritis, berdasarkan beberapa studi antara lain oleh Ball (1997), Svensson (1997),
Rudesbusch and Svensson (1998), dan Blake et al., (1998), dapat ditunjukkan bahwa perumusan
kebijakan yang optimal umumnya dilakukan dengan mempertimbangkan (paling tidak) unsur
pokok yaitu analisis costs-benefits dari penerapan suatu kebijakan, misalnya stabilisasi output
atau harga, yang didasarkan pada langkah optimisasi dalam pengambilan keputusan oleh bank
sentral. Dalam kaitan ini, analisis tersebut dapat dijabarkan dengan merujuk pada fungsi kerugian
(loss function) yang harus diminimalkan oleh bank sentral, dengan subyek penetapan instrumen
kebijakan serta beberapa fungsi kendala mengenai keterkaitan struktural antar-variabel dalam
sistem perekonomian. Berdasakan kondisi tersebut, kebijakan moneter yang optimal dapat
diturunkan (secara matematis) sebagai suatu fungsi reaksi yang optimal dari bank sentral, atau
yang dikenal dengan ≈optimal decision rule∆ atau ≈optimal policy rule∆, yang menetapkan
nilai instrumen kebijakan sebagai fungsi dari segenap informasi yang tersedia.
Di luar unsur pokok tersebut, agar dapat dicapai kerangka penerapan dan monitoring
kebijakan yang terbaik, secara spesifik perumus kebijakan perlu mempertimbangkan dua aspek.
Pertama, orientasi kebijakan forward looking dengan memperhitungkan tenggat waktu dari
308 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008
pengaruh kebijakan moneter (Svensson, 1997). Dalam kaitan ini, Svensson mengajukan proposal
mengenai pelaksanaan kebijakan moneter berdasarkan inflation forecast, bukan nilai aktual.
Keunggulan teoritis pendekatan ini, selain dapat menghasilkan respon yang ekuivalen dengan
kondisi optimal, juga dapat meningkatkan kredibilitas kebijakan moneter melalui pemfokusan
pada ekspektasi inflasi. Kedua, informational requirements dalam perumusan kebijakan dengan
memperhitungkan mekanisme penyesuaian perilaku dalam jangka pendek (Blake,2000). Dalam
kaitan ini, disarankan bahwa bank sentral sebaiknya mengadopsi policy rule yang lebih umum,
dengan memperhitungkan faktor-faktor yang digunakan dalam melakukan forecast. Dengan
kemungkinan penggunaan spesifikasi model yang lebih detail, menurut Blake, representasi
model dengan error correction mechanism dapat memberikan kerangka pengendalian kebijakan
terbaik. Dalam studinya, Blake et al. (1998) menunjukkan bahwa suatu rule yang sederhana,
misalnya tipe Taylor rule, bersifat inferior terhadap rule lain yang lebih optimal dan bersifat
lebih kompleks, yang ditaksir dengan memperhitungkan pola penyimpangan (deviasi) terhadap
rule yang sederhana apabila terjadi shocks dalam perekonomian.
II.2. Model
Pengembangan model keseimbangan umum dalam menerangkan keterkaitan di antara
beberapa variabel makro utama, termasuk sasaran akhir dan sasaran operasional kebijakan,
termasuk pengidentifikasian lag kebijakan, dilakukan melalui pengembangan model makro
stuktural jangka panjang, yang dirumuskan dalam Structural Cointegrating Vector
Respon Kebijakan Moneter yang Optimal di Indonesia: The State-Contingent Rule? 309
Dari bangun model di atas, vektor error term (reduced form) dapat dituliskan sebagai:
dimana:
zt = (rt , pt, yt , nt , p*t , et , mt , st, r*t )»,
rt : suku bunga nominal.
pt : indeks harga barang domestik.
yt : output riil.
nt : kesempatan (lapangan) kerja.
5 Sebagaimana bangun model umumnya yang memperhitungkan mekanisme ≈error corection∆ dalam sistem, maka sistem permodelan
struktural cointegrating VAR ini juga menekankan adanya mekanisme penyesuaian dinamis jangka pendek dari keterkaitan antar
variabel dengan mengacu pada kondisi keseimbangan jangka panjang dalam sistem. Dengan demikian, bangun sistem permodelan
pada dasarnya diarahkan untuk dapat menangkap keterkaitan jangka panjang antar-variabel yang konsisten dengan landasan teori
(theory consistent) dan mempunyai interpretasi ekonomi yang jelas, dengan interaksi dinamis jangka pendek antar variabel yang
secara fleksibel dapat ditaksir dengan menggunakan kerangka model VAR.
310 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008
Sementara itu,
a0 = (a10, a20 , a30 , a40)» , a1 = (a11, a21 , a31 )», ξt = (ξ1t, ξ2t , ξ3t , ξ4t)», dan
0 1 0 0 -1 -1 0 0 0
(II.5)»
β' = -β22 β22 -β21 1 0 0 0 0 0
-β33 -1 -β35 0 0 0 1 0 0
1 0 0 0 0 0 0 0 -1
Dalam permodelan dinamis jangka pendek, penyimpangan terhadap hubungan jangka panjang,
ξt , dapat diaproksimasi dengan menggunakan fungsi linier dari sejumlah (finite) perubahan
dari nilai masa lalu dari zt-1. Dengan demikian, strategi permodelan yang digunakan adalah
memperhitungkan ξt dalam error correction model:
s-1
∆zt = b α ξt + Σ Γ ∆z
i=1
i t-i + ut
(II.6)
dimana b adalah vektor 4x1 dari intercept, α adalah matrik 4x4 dari koefisien error correction
(juga dikenal sebagai the loading coefficient matrix), {Γ
Γi , i=1,...,s-1} adalah matrik 4x9 dari
koefisien jangka pendek, ut adalah vektor 9x1 dari disturbances yang diasumsikan IID(0,Σ),
dengan Σ = (σij) adalah matrik positive definite. Dengan menggunakan persamaan (4.4),
didapatkan:
s-1
∆zt = c + α (a1 t - β' zt-1) + Σ Γ ∆z i t-i + ut
i=1 (II.7)
, dimana c = b + α (a1 √ a0 ) dan ξt = β» zt-1 adalah error correction terms. Dilihat dari
konstruksinya, spesifikasi permodelan di atas mengandung prediksi jangka panjang dari teori
ekonomi, berbeda dengan pendekatan yang didasarkan pada unrestricted VAR yang
mengasumsikan adanya sifat keterkaitan jangka panjang secara ≈tersamar∆.
Respon Kebijakan Moneter yang Optimal di Indonesia: The State-Contingent Rule? 311
Analogi dengan pendekatan Garratt et al, problem optimisasi yang ditetapkan adalah
minimisasi fungsi kerugian (loss function) otoritas moneter yang memperhitungkan keberadaan
sasaran akhir dan sasaran operasional atau instrumen kebijakan moneter secara lebih umum,
yaitu:
, dimana Ψt-1 adalah information set dari otoritas moneter pada akhir periode t-1 dan C (w
wt, rt)
adalah fungsi kerugian kuadratik:
2
C (wt,rt ) = 1/2 { (wt- wtt )‘ Q(wt- wtt ) + θ (rt - rt-1) } (II.9)
312 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008
, dimana wt = (pt yt nt)« dan wtt = (ptt ytt ntt)« adalah matrik variabel-variabel indikator sasaran
akhir (target variables), dan masing-masing tingkat yang diharapkan (desired values), yang
diasumsikan mempunyai derajad itegrasi satu, I(1). Fungsi tujuan tersebut dapat pula dituliskan
dalam bentuk variabel stasioner, yaitu:
C (wt, rt )= 1/2 { (∆wt - ∆wt )‘ Q(∆wt - ∆wt ) + θ (∆rt)2 } (II.10)
Q adalah matrik 3 x 3 yang memperhitungkan preferensi jangka pendek bank sentral dalam
pencapaian sasaran akhir kebijakan moneter, yaitu stabilisasi harga, output riil, dan kesempatan
kerja. 6 Selanjutnya, term terakhir dimaksudkan untuk menangkap adanya biaya penyesuaian
(cost of adjustments) dari penggunaan sasaran operasional atau instumen kebijakan (policy
instrument), rt. 7
s
Selanjutnya, komponen yang sistematis dari suatu respon kebijakan moneter, rt ,
wt, ∆rt) | Ψt-1]} dengan memperhitungkan adanya
ditentukan dengan meminimumkan E{C [(∆w
≈common knowledge∆ mengenai keterkaitan antara target variable, wt, dengan policy
instrument, rt , yang dapat diturunkan sebagai sub-sistem dari suatu model umum struktural
error correction model, sebagai berikut:
s-1
∆ wt = Πww + Πwr ∆rt + Πwξ (a1 t - β' zt-1 ) + Σ Πi, wz ∆zt-i + ut, ww
i-1 (II.11)
dimana: ∏ww , ∏wr , ∏wξ , ∏i,wz, dan ut,ww adalah matrik parameter sistem persamaan reduced
form yang mengkaitkan target variables dengan policy instruments.
s-1
E[∆rt Ψt-1] = ϕ0 + ϕ‘ (a 1 t - β' zt-1 ) + Σ ϕ‘
i-1
i, 2 ∆zt-i
(II.12)
, dimana:
Secara sederhana, bagian sebelah kiri persamaan (12) dapat dijabarkan sebagai E[∆rt |Ψt-1] =
E[rt - rt-1 |Ψt-1] = E[rt |Ψt-1] √ E[rt-1|Ψt-1] = rst - rt-1. Dengan pemahaman bahwa komponen yang
sistematis dari suatu respon kebijakan moneter adalah, maka feedback rule atau reaction
function diperoleh sebagai berikut:
6 Dalam formulasi umum persamaan (II.10), dimungkinkan adanya fleksibilitas dalam penetapan sasaran akhir kebijakan moneter,
yang tidak hanya terbatas merujuk pada adanya ≈trade-off∆ jangka pendek antara perkembangan harga dan output, namun juga
aspek lainnya seperti peningkatan kesempatan kerja. Dengan demikian terjadi peningkatan dimensi matrik preferensi, Q, dan perubahan
formulasi fungsi kerugian, tidak seperti formulasi pada umumnya.
7 Sebagaimana pula dalam kajian yang dilakukan oleh Svensson (1997).
Respon Kebijakan Moneter yang Optimal di Indonesia: The State-Contingent Rule? 313
s-1
rst - rt-1 = ϕ0 + ϕ‘1 (a 1 t - β' zt-1 ) + Σ ϕ‘
i-1
i, 2 ∆zt-i
(II.13)
Sebagaimana diasumsikan sebelumnya bahwa shocks kebijakan moneter , εrt , ditaksir
sebagai komponen yang tidak sistematis dari respon kebijakan moneter. Dengan kata lain,
shocks kebijakan moneter tersebut dapat didefinisikan sebagai perbedaan antara perilaku
sasaran operasional atau instrumen kebijakan yang terjadi/aktual, rt , dengan perilaku komponen
yang sistematis dari suatu respon kebijakan moneter, rst , atau dapat dituliskan sebagai:
Dengan menggunakan (II.13) dan (II.14), diperoleh keterkaitan struktural untuk persamaan
perilaku instrumen yang konsisten dengan karakteristik jangka panjang dari model strutural
Cointegrating Vector Autoregression, sebagaimana persamaan (7), yaitu:
s-1
(II.15)
∆rt = ϕ0 + ϕ‘ 1 (a1 t - β' zt-1 ) + Σ ϕ‘
i-1
i, 2 ∆zt-i + εrt
Kurva Phillips dan penawaran agregat) dan Kurva IS, persamaan Kurva LM, dan persamaan
perilaku yang merepresentasikan keterkaitan antara nilai tukar dan pembentukan harga
domestik.
(iii) Dalam disain umumnya, rule yang dipaparkan sebelumnya cenderung bersifat telalu restriktif,
yaitu bahwa respon kebijakan hanya didasarkan pada perkembangan beberapa variabel
saja. Dengan pendekatan alternatif ini dimungkinkan dilakukan pengujian spesifikasi dan
restriksi permodelan lebih lanjut. Dengan demikian, disarankan untuk mengadopsi policy
rule yang lebih umum yang memperhitungkan faktor-faktor atau informasi lain yang terkait
dengan pembentukan perilaku target variables.
s-1
Selanjutnya, untuk mengakomodir pengaruh shocks spesifik dalam perilaku respon kebijakan,
ditambahkan term yang secara teknis direfleksikan oleh respon perilaku sasaran operasional
terhadap impuls yang ditimbulkan oleh structural innovations tertentu, ψ j (ε t ). Dengan
mengakomodir konsep generalized impulse response function, 8 maka state-contingent rule
dapat diformulasikan sebagai:
8 Analisis dinamis model VAR umumnya dilakukan dengan menerapkan «orthogonalized» impulse response, dimana sebelum dilakukan
analisis impulse response dan variance decompositions, perilaku shocks pada model VAR diortogonalisasi dengan menggunakan
Cholesky decomposition. Pendekatan ini mengandung kelemahan karena sangat bergantung pada urutan variabel dalam sistem
model VAR. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Pesaran and Shin (1997) mengajukan analisis «generalized» impulse response,
suatu pendekatan yang tidak memerlukan pengortogonalisaian shocks dan tidak terpengaruh oleh urutan variabel dalam sistem
model VAR. Dalam kaitan ini, untuk untuk suatu matrik error variance yang non-diagonal, «orthogonalized» dan «generalized» impulse
response memiliki kesamaan hanya pada kasus pengenaan impulse reseponse dari shocks pada persamaan pertama dalam sistem
model VAR.
Respon Kebijakan Moneter yang Optimal di Indonesia: The State-Contingent Rule? 315
Dari persamaan (II.15)* dapat dilihat beberapa karakteristik respon kebijakan, yaitu:
(i) Bagian pertama dari struktur feedback pada persamaan tersebut (yang diekspresikan oleh
variabel dalam level) pada dasarnya selaras dengan pola feedback dalam simple rules pada
umumnya. Apabila alternatif instrumen/sasaran operasional yang dipilih adalah suku bunga,
maka dihasilkan salah satu variasi dari bentuk umum Taylor rule.
(ii) Bagian kedua (yang diekspresikan oleh variabel dalam first-different) mencerminkan struktur
feedback berupa respon dinamis jangka pendek dalam rangka penyesuaian menuju
keseimbangan jangka panjang (error correcting mechanism).
(iii) Bagian terakhir, ψj ( εt ), pada dasarnya menangkap pengaruh shocks spesifik yang bersumber
dari keterkaitan atau fungsi dari komponen yang tidak sistematis pada perilaku respon
kebijakan (dalam rentang periode ke depan), yaitu structural innovations yang bersumber
dari perilaku variabel tertentu dalam sistem, misalnya expenditure (demand) shocks, labor
market (supply) shocks, dan external shocks.
Pola feedback dalam persamaan tersebut dapat dianggap sebagai yang pola rule yang
konsisten dengan karakteristik jangka panjang dari model strutural berdasarkan konsep
keoptimalan dalam analisis keseimbangan umum dinamis. Selain itu, perilaku instrumen
berdasarkan persamaan tersebut dihipotesiskan sesuai dengan karakteristik ekonomi serta
kerangka operasional kebijakan moneter di Indonesia.
Selain mengakomodir manfaat dari penggunaan mekanisme ≈error correction∆ dari suatu
rules, perumusan strategi tersebut mempunyai beberapa keunggulan lain, antara lain:
(i) Mengakomodir konsep keoptimalan serta kesederhanaan penaksiran secara bersama-sama
dalam suatu permodelan ekonomi yang bersifat ≈satelite model∆ dengan ukuran yang tidak
terlalu besar.
(ii) Dengan menggunakan analisis generalized impulse response function yang mengatasi
permasalahan ordering dalam analisis VAR pada umumnya, kinerja rules ini dapat dianalisis
dengan derajat fleksibilitas yang tinggi dalam mengakomodir pola keterkaitan antar variabel
ekonomi makro diantara pilihan/kombinasi strategi penetapan sasaran operasional dan
sasaran akhir kebijakan moneter.
(iii) Perilaku sasaran operasional pada persamaan (15)* sekaligus mencerminkan respon kebijakan
moneter yang sistematis dan non-sistematis. Dengan demikian, pola ini sejalan dengan
pola ≈State-Contingent rule∆, yaitu alternatif pola yang sebaiknya dianut seperti yang
dikemukakan oleh Keynes, sebagaimana disebutkan dalam Boughton (2002) dan Muchlinski
(2002)) dan Fischer (1996), yaitu tidak hanya mengacu pada kondisi keseimbangan jangka
panjang, namun juga respon dinamis jangka pendek dan shocks spesifik yang muncul dari
interaksi variabel dalam sistem.
316 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008
III. METODOLOGI
Metode estimasi yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah Structural Cointegrating
Vector Autoregressive (SCVAR), merujuk pada pendekatan yang dilakukan oleh Pesaran dan
Shin (1997) dan Pesaran, Shin, dan Smith (1998). Penaksiran parameter struktural dengan
prosedur Maximum Likelihood Estimation (MLE) diaplikasikan terhadap data set data triwulanan
dengan rentang waktu 1974.1 √ 2003.4. Pengaruh perubahan struktural khususnya dampak
dari krisis ekonomi 1997 akan diidentifikasi sejak triwulan ketiga 1997 sampai triwulan terakhir
2003.
Data yang diidentifikasi dalam penelitian ini meliputi: (i) inflasi domestik, yang diukur
dengan menggunakan Indeks Harga Konsumen tahun dasar 1996 (IHK); (ii) tingkat output ,
yang diukur dengan menggunakan angka Produk Domestik Bruto tahun dasar 1993 (Y); (iii)
kesempatan kerja (N), yang diukur dengan menggunakan angka kesempatan kerja menurut
definisi Badan Pusat Statistik (BPS); (iv) besaran moneter, yang diukur dengan menggunakan
data besaran moneter dalam artian sempit, yaitu uang primer (M0); (v) suku bunga, yang
diukur dengan menggunakan indikator suku bunga kebijakan, yaitu suku bunga Sertifikat Bank
Indonesia, dengan jangka waktu 3 bulan (RSBI3); (vi) nilai tukar, yang diukur dengan
menggunakan nilai tukar mata uang rupiah terhadap US$ (KURS); (vii) indeks harga saham,
yang diukur dengan menggunakan angka Indeks Harga Saham Gabungan tahun dasar 1982
(IHSG); (viii) inflasi luar negeri, yang diukur dengan menggunakan Indeks Harga Konsumen
perekonomian Amerika Serikat tahun dasar 1996 (IHKUS); dan (ix) suku bunga luar negeri,
yang diukur dengan menggunakan suku bunga London Interbank Over-Rates jangka waktu 3
bulan (RLIB3).
9 Notasi L di depan nama variabel merujuk pada transformasi logaritma natural (ln).
Respon Kebijakan Moneter yang Optimal di Indonesia: The State-Contingent Rule? 317
Dapat dikemukakan bahwa koefisien negatif dari unsur trend pada persamaan (II.1)
menunjukkan bahwa dalam jangka panjang perilaku nilai tukar rupiah cenderung depresiatif
terhadap US$. Dari persamaan (II.2) diperlihatkan bahwa dalam jangka panjang, perkembangan
Tabel II.1.
Rangkuman Hasil Penaksiran Model (Reduced Form) Vector Error Correcting Model (VECM)
harga dan output secara signifikan mempengaruhi penciptaan kesempatan kerja; sementara
pengaruh suku bunga, walaupun secara teoritis mempunyai arah benar (negatif) tidak begitu
signifikan secara statistik. Kecenderungan penurunan kesempatan kerja dalam jangka panjang
tidak terlalu signifikan. Sementara itu, dalam jangka panjang perilaku real money balance (M0)
pada persamaan (II.3) secara signifikan tergantung pada perkembangan output riil dan pasar
modal; sementara suku bunga berpengaruh tidak terlalu signifikan. Yang terakhir, persamaan
(II.4) menunjukkan bahwa dalam jangka panjang perilaku interest rate differential relatif konstan.
Sementara itu, penaksiran model (Reduced Form) Vector Error Correcting Model (VECM).
memberikan hasil yang pada umumnya yang cukup baik, yang tercermin pada beberapa kriteria,
antara lain Goodness of fit (koefisien determinasi, R2) yang cukup tinggi untuk konteks regresi
antar variabel dalam bentuk first difference, adanya respon (penyesuaian) dinamis perkembangan
jangka pendek masing-masing variabel terhadap kondisi keseimbangan jangka panjang (error
correcting term) dalam sistem, dan hasil uji stabilitas parameter berdasarkan cummulative sum
recursive residuals (CUSUM test) menujukkan bahwa secara umum persamaan cukup stabil.
Rangkuman hasil penaksiran disampaikan pada Tabel II.1.10
10 Detail hasil penaksiran dan analisis model dapat dilihat di Solikin (2005).
Respon Kebijakan Moneter yang Optimal di Indonesia: The State-Contingent Rule? 319
Secara grafis, perilaku masing-masing policy rule tersebut, termasuk konsekuensinya pada
stance kebijakan moneter ditunjukkan pada Grafik II.1 dan Grafik II.2 berikut.
%
70
60
50
40
30
20
10
0
80 82 84 86 88 90 92 94 96 98 00 02
R S B I3 a k tu a l R S B I3 r ule
%
25
20
15
10 A r e a k e b i j a k a n te r l a l u k e ta t
5 1,0 S D
0,5 S D
0
-5
-10
80 82 84 86 88 90 92 94 96 98 00 02
M o ne ta ry S ta nc e 1
Grafik II.1.
Interest rate rule dan stance kebijakan moneter
320 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008
%
80
70
60
50
40
30
20
10
0
-10
80 82 84 86 88 90 92 94 96 98 00 02
M 0 Y a ktu a l M 0 Y ru le
%
40
30
20 A r e a ke b i ja k a n te r l a l u l o n g g a r
10
1.0 SD
0.5 SD
0
-10
-20
80 82 84 86 88 90 92 94 96 98 00 02
M o n e ta ry S ta n c e 2
Grafik II.2.
Monetary base rule dan stance kebijakan moneter
%
50
40
30
20
10
0
95 96 97 98 99 00 01 02 03
shocks RSBI3 rule RSBI3 rule +
%
50
40
30
20
10
0
95 96 97 98 99 00 01 02 03
Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa pengaruh shocks nilai tukar tersebut pada perilaku
sasaran operasional suku bunga cukup signifikan pada 1,5 tahun pertama periode krisis, dimana
pengaruh maksimal terjadi setelah 3 kuartal. Selanjutnya, pengaruh tersebut mengecil dan
cenderung bersifat netral dalam jangka mengengah-panjang. Sementara itu, pengaruh shocks
nilai tukar pada perikau sasaran operasional (pertumbuhan) uang primer juga cukup signifikan
pada 1,5 tahun pertama periode krisis, dimana pengaruh tersebut mencapai maksimal pada
kuartal kedua, dan selanjutnya berkurang namun bersifat permanen dalam jangka menengah-
panjang. Walaupun cukup signifikan, dalam kedua kasus tersebut pengaruh shocks nilai tukar
tidak memberikan perubahan yang berarti pada stance kebijakan moneter secara umum, apakah
terlalu ketat atau longgar. Hal ini dikarenakan pada 2 tahun pertama periode krisis, deviasi
perilaku respon kebijakan aktual terhadap perilaku respon kebijakan berdasarkan optimal policy
rate sangat besar.
322 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008
%
50
PDB Nominal
PDB Riil
40
30
20
10
-10
I II III IV V IV VII VIII IX
80 82 84 86 88 90 92 94 96 98 00 02
Sementara itu, berdasarkan perumusan respon kebijakan moneter yang optimal dalam
bentuk « State-Contingent rule », evaluasi kinerja kebijakan moneter dalam merespon
perkembangan yang terjadi menunjukkan kekurangoptimalan respon kebijakan moneter dalam
beberapa periode, baik yang terkait dengan terlalu ketat/longgar maupun keterlambatan respon.
Kekurangoptimalan respon kebijakan moneter tersebut diamati melalui pembandingan respon
kebijakan monter, yang tercermin dari perkembangan suku bunga SBI dan M0, secara aktual,
dengan respon kebijakan yang optimal yang ditaksir dari perilaku policy rule. Perbedaaan dari
perilaku tersebut merefleksikan stance kebijakan moneter, apakah cenderung terlalu ketat atau
longgar, dengan memberikan batas toleransi berupa kisaran + 0,5 √ 1,0 simpangan baku dari
masing-masing perilaku respon kebijakan moneter. Penetapan kisaran tersebut dilakukan dengan
Respon Kebijakan Moneter yang Optimal di Indonesia: The State-Contingent Rule? 323
lebih mempertimbangkan aspek teknis dengan tujuan untuk menangkap kondisi dimana
kebijakan moneter diterapkan dalam kondisi yang cukup ekstrim secara praktis dan dengan
derajad sensitivitas tertentu. Sementara itu, untuk meredam pengaruh fluktuasi data terhadap
besarnya nilai simpangan baku tersebut, simpangan baku tersebut dihitung dengan berdasarkan
data dengan trasformasi centered moving average (7 kuartal).11 Transformasi ini sekaligus
mempunyai dampak berupa peredaman permasalahan yang timbul sebagai akibat adanya
pengukuran variabel yang tidak mempunyai kesetaraan unit.
Berkaitan dengan penetapan batas toleransi tersebut, deviasi respon kebijakan pada
kisaran 0 √ 0,5 simpangan baku dapat dianggap sebagai diviasi yang dapat ditolerir, sehingga
Tabel II.2.
Evaluasi Penerapan Respons Kebijakan Moneter
Evaluasi stance kebijakan berdasarkan
Periode Arah Umum Kebijkan Moneter optimal policy rule
Suku Bunga Uang Primer
1980 - 1982 Kebijakan moneter sebelum era deregulasi Kecenderungan ketat Kecenderungan ketat
dan liberalisasi sektor keuangan
1983 - 1984 Kebijaksanaan moneter untuk meletakkan Cukup optimal Kecenderungan terlalu
landasan yang kokoh bagi perkembangan longgar pada 1983.3 -
perbankan guna mendukung tujuan 1984.2
pemba-ngunan.
1985 - 1987 Kebijakan moneter yang berhati-hati Cukup optimal pada Cukup optimal
(discretionary policy) di tengah-tengah 1985/86, tetapi terlalu
tekanan pada neraca pembayaran. longgar pada 1987
1988 - 1989 Kebijakan moneter ekspansif guna Terlalu longgar Cukup optimal, tetapi
mendorong kegiatan ekonomi Terlalu ketat pada
1988.4 -1999.3
1990 - 1992 Kebijakan moneter ketat dan penerapan Terlalu ketat Terlalu longgar pada
prinsip kehati-hatian di bidang perbankan 1990, tetapi terlalu
ketat pada 1991/92
1993 - 1994 Kebijakan moneter dalam situasi ekonomi Cukup optimal Cukup optimal
yang cenderung stabil
1995 - 1997.2 Kebijakan moneter yang cenderung Terlalu ketat Terlalu ketat pada 1995,
berhati-hati di tengah tekanan peningkatan dan cukup optimal
permintaan agregat dan inflasi. pada 1996
1997.3 - 1999 Kebijakan moneter dalam periode krisis Terlalu ketat Terlalu longgar pada
ekonomi (ekstrim)12 1998 (ekstrim)
2000 - 2003 Kebijakan moneter untuk menciptakan Terlalu longgar pada Cukup optimal pada
stabilitas guna mendukung proses 2000/01, tetapi cukup 2000/01, tetapi terlalu
pemulihan ekonomi. optimal pada 2002/03 ketat pada 2002/03
11 Beberapa penulis menggunakan transformasi ≈moving average∆ sebagai tolok ukur untuk menangkap penyimpangan perilaku
suatu variable terhadap kecenderungan perilaku normalnya. Sebagai misal, Bernanke and Mihov (1998) menggunakan deviasi dari
36-month moving average (normalized) sebagai angka indikator.
12 Respons kebijakan yang sangat ketat tersebut tidak terlepas dari implementasi program stabilisasi untuk mengatasi krisis ekonomi
berdasarkan kerjasama antara Pemerintah Indonesia dan IMF pada 1997. Beberapa analisis dan evaluasi atas pelaksanaan program
IMF di beberapa negara Asia menunjukkan bahwa stance kebijakan suku bunga yang ditetapkan di beberapa negara pada umumnya
terlalu ketat.
324 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008
respon kebijakan dalam kisaran ini dapat dianggap cukup optimal. Sementara itu, deviasi respon
kebijakan pada kisaran 0,5 √ 1,0 simpangan baku dapat dianggap sebagai diviasi yang mengarah
pada kecenderungan ketidakoptimalan (sub-optimal) dari respon kebijakan. Selanjutnya, deviasi
respon kebijakan pada kisaran di atas 1,0 simpangan baku dianggap sebagai divaiasi respon
mengarah pada kondisi ekstrim, yang mengindikasikan ketidakopimalan dengan derajat yang
lebih tinggi (terlalu ketat/longgar). Perubahan kisaran tentunya akan mempengaruhi kondisi
ekstrim yang teridentifikasi.
Dengan membandingkan arah umum kebijakan moneter di satu sisi, serta stance kebijakan
moneter berdasarkan sasaran operasional suku bunga SBI dan uang primer di sisi lain, hasil
evaluasi penerapan respon kebijakan moneter secara umum disampaikan pada Tabel II.2.
Dari Tabel II.2, dapat disimpulkan mengenai beberapa hal. Pertama, episode pelaksanaan
kebijakan moneter umumnya diwarnai oleh penerapan respon kebijakan yang suboptimal dan
reaktif dengan unsur discretion yang cukup dominan. Hal ini tercermin pada adanya
kecenderungan penerapan respon kebijakan yang terlalu ketat/longgar, maupun adanya respon
kebijakan yang cenderung merupakan reaksi dari kondisi yang terjadi secara instan, yang dapat
diinterpretasikan sebagai adanya kekurangkonsistenan kebijakan dari waktu ke waktu. Misalnya,
respon kebijakan dilaksanakan terlalu ketat pada tahun pertama yang dilanjutkan dengan
ekpsansi di tahun-tahun berikutnya.
Kedua, selain adanya ruang gerak pelaksanaan respon kebijakan yang cukup optimal
pada beberapa tahun tertentu, dengan menggunakan kedua sasaran operasional uang primer
dan suku bunga SBI, evaluasi respon pelaksanaan kebijakan pada tahun 1991 dan 1995
menunjukkan hasil yang konsisten, yaitu pelaksanaan respon kebijakan moneter yang terlalu
ketat.
Ketiga, kecuali periode 1993 √ 1994 dan beberapa tahun tertentu dimana kebijakan
moneter dilaksanakan dengan cukup optimal, masing-masing perilaku respon kebijakan
berdasarkan suku bunga dan uang primer cenderung menghasilkan evaluasi stance kebijakan
yang berbeda. Hal ini dimungkinkan antara lain karena adanya perbedaan orientasi dari
penggunaan masing-masing instrumen dan sasaran operasional kebijakan. Misalnya, pada saat
diterapkan Pakto 88, penurunan RR dari 15% ke 2% menyebabkan penurunan uang primer
secara signifikan, sementara di sisi lain, dengan suku bunga pasar yang berlaku ekspansi kredit
perbankan mengalami peningkatan yang tinggi. Sementara itu, pada periode krisis ekonomi
(1997.3 √ 1999) diwarnai oleh dua kejadian. Di satu sisi, kebijakan moneter ketat yang diterapkan
atas rekomendasi IMF, melalui peningkatan suku bunga SBI yang drastis, diharapkan dapat
meredam penurunan nilai tukar rupiah yang semakin cepat dan menjaga kepercayaan
masyarakat pada kinerja sistem keuangan. Di sisi lain, tekanan perlemahan nilai tukar pada
Respon Kebijakan Moneter yang Optimal di Indonesia: The State-Contingent Rule? 325
neraca keuangan (balance sheet) perusahaan dan bank telah menimbulkan permasalahan utang
sektor swasta yang semakin berat, sehingga dapat memicu krisis kepercayaan masyarakat dan
keterpurukan sektor perbankan lebih jauh, apabila Pemerintah dan Bank Indonesia tidak
melakukan langkah pengamanan berupa pengucuran bantuan likuiditas yang sangat besar.
Kelima, adanya keterkaitan erat antara ketidakoptimalan stance kebijakan moneter pada
periode krisis ekonomi (1997.3 √ 1999) dengan fenomena twin crises. 13 Berdasarkan hasil
evaluasi, disimpulkan bahwa dengan menggunakan sasaran operasional suku bunga dan uang
primer, penerapan respon kebijakan moneter tidak hanya mengindikasikan respon kebijakan
yang berlawanan, yaitu terlalu ketat berdasarkan perilaku suku bunga dan terlalu longgar
berdasarkan perilaku uang primer, tetapi juga tidak optimal. Seperti telah dijelaskan sebelumnya,
respon kebijakan yang berlawanan tersebut lebih dikarenakan oleh adanya perbedaan orientasi
kebijakan pada masa krisis. Dengan demikian, kondisi tersebut tidak terkait dengan adanya
permasalahan ketidakkonsistenan stance kebijakan moneter selama masa krisis, namun sangat
terkait dengan kondisi lain, yaitu ketidakoptimalan penerapan respon kebijakan moneter yang
mencapai level ekstrim.
Dalam kaitan ini, dapat dikemukakan bahwa dalam kondisi normal, pengaruh kebijakan
moneter umumnya dapat diarahkan untuk mencapai sasaran yang diinginkan. Kebijakan
13 Kaminsky and Reinhart (1999) mengidentifikasi terjadinya twin crises di negara-negara Amerika Latin dan Asia pada tahun 1990-
an dan menyimpulkan bahwa keterkaitan «vicious spiral» antara krisis mata uang (currnecy crises) dan krisis perbankan (banking
crises). Umumnya, permasalahan di sektor perbankan mendahului terjadinya krisis mata uang, dan selanjutnya krisis mata uang
tersebut memperparah permasalahan perbankan, dimana untuk selanjutnya kedua krisis tersebut satu sama lain saling memperparah
dampak negatfnya pada perekonomian
326 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008
moneter ketat melalui peningkatan suku bunga, misalnya, dapat mengurangi tekanan pada
nilai tukar mata uang domestik, mengurangi tekanan inflasi, meredakan krisis kepercayaan,
dan selanjutnya mencegah krisis nilai tukar (currency crises). Namun, dalam kondisi tidak normal,
seperti yang terjadi pada periode 1997.3 √ 1999, kebijakan moneter tersebut dapat menghasilkan
pengaruh sebaliknya yang cenderung tidak optimal. Hal ini terutama apabila dikaitkan dengan
permasalahan kompleks yang muncul secara simultan, tidak hanya tekanan yang berat pada
nilai tukar domestik, tetapi juga terpuruknya sistem perbankan secara keseluruhan (banking
crises) sebagai dampak dari melonjaknya posisi utang swasta dan memburuknya neraca
keuangan bank.
Dalam terjadinya twin crises tersebut, pengaruh kebijakan moneter tidak seperti yang
diharapkan, atau bahkan berbalik arah (Goldfajn and Gupta, 2002). Dalam kondisi dimana
hanya terjadi krisis mata uang, kebijakan moneter ketat mempunyai potensi untuk menstabilkan
nilai tukar dan sektor keuangan. Namun, apabila juga terjadi krisis perbankan maka yang terjadi
adalah kondisi sebaliknya. Dalam situasi yang demikian, keoptimalan respon kebijakan moneter
juga sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya adalah sampai sajauhmana currency
mismatch yang terjadi pada neraca keuangan bank-bank domestik, serta sampai sejauhmana
kewenangan (discretion) bank sentral dalam menyuplai likuiditas dalam situasi krisis (Shin, 2005).
Sebagaimana yang terjadi di Indonesia, kompleksitas permasalahan, yang menyebabkan
ketidakoptimalan respon kebijakan, terjadi tidak hanya tercerin pada peningkatan suku bunga
yang sangat tinggi, namun juga aliran likuiditas yang sangat besar.
,dimana it adalah suku bunga kebijakan (jangka pendek), i*t adalah suku bunga keseimbangan
jangka panjang, yt adalah output riil, dan πt adalah rata-rata inflasi dalam empat periode
terakhir. Sementara itu, π∗ dan y* masing-masing merupakan target inflasi dan tingkat output
potensial.
Respon Kebijakan Moneter yang Optimal di Indonesia: The State-Contingent Rule? 327
,dimana it adalah suku bunga kebijakan yang ditargetkan, it suku bunga kebijakan aktual, dan
Et[πt+1] adalah ekspektasi inflasi satu periode ke depan. Sementara itu, ρ adalah smoothing
parameter, yang menangkap proses penyesuaian dalam perilaku suku bunga kebijakan.
(iii) McCallum rule (McCallum, 1987):
bt = α - ∆ v γx (x* - xt-1)
, dimana bt adalah pertumbuhan uang primer (base money), α = x* adalah target pertumbuhan
output nominal per periode (rata-rata dalam setahun), xt-1 adalah output nominal aktual pada
periode sebelumnya, dan ∆v adalah rata-rata perubahan base velocity dalam siklus kurun waktu
beberapa tahun terakhir (misal 4 tahun) .
Untuk tujuan analisis, penaksiran parameter dari masing-masing policy rule tersebut
dilakukan dengan beberapa asumsi pokok, yaitu: (i) target inflasi jangka menengah/panjang
sebesar 5%; (ii) output potensial ditaksir dengan menggunakan metode filterisasi Hoddrick-
Prescott; (iii) pertumbuhan output nominal jangka penengah/panjang 12% (inflasi sebesar 5%
dan pertumbuhan ekonomi sebesar 7%).
Dengan memperhitungkan adanya perilaku komponen policy rule yang tidak sistematik,
yang tercermin dari perilaku error-term, serta keterkaitan antar variabel dalam persamaan,
maka persamaan Taylor rule dan McCallum rule ditaksir dengan menggunakan metode
penaksiran Ordinary Least Squares (OLS), sementara Taylor-Smoothing rule ditaksir dengan
menggunakan metode penaksiran Generalized Method of Moment (GMM).15 Dalam kaitan
ini, variabel instrumental yang digunakan adalah data dua periode terakhir dari variabel-variabel
inflasi tahunan, output gap, pertumbuhan uang primer tahunan, dan konstanta. Selain itu,
14 Clarida, Galli, and Gertler (1998) mengajukan disain rule yang merupakan modifikasi dari spesifikasi Taylor rule, yaitu dengan
memperhitungkan adanya pemulusan suku bunga kebijakan (interest rate smoothing). Dalam kaitan ini, Taylor rule dengan spesifikasi
standar pada umumnya dianggap terlalu restriktif dalam menggambarkan perilaku suku bunga aktual. Paling tidak terdapat tiga
alasan: (i) spesifikasi tersebut mengasmsikan terdapatnya penyesuaian perilaku suku bunga kebijakan yang bersifat segera sehingga
mengabaikan adanya kecenderungan bank sentral untuk melakukan pemulusan (smoothing), (ii)spesifikasi tersebut mengasumsikan
bahwa suku bunga kebijakan bereaksi secara sistematis terhadap kondisi ekonomi sepanjang waktu, sehingga tidak memperhitungkan
adanya kerandoman dalam langkah kebijakan, dan (iii) spesifikasi tersebut mengasumsikan bahwa bank sentral dapat mengendalikan
suku bunga kebijakan dengan sempurna, pada target yang diinginkan.
15 Generalized Method of Moments (GMM) adalah metode penaksiran yang merupakan robust esrimator, dengan prinsip melakukan
pemilihan nilai taksiran parameter (parameter estimate) agar moments dari sampel selaras dengan moments dari populasi, yaitu
sama dengan nol. Dengan demikikian, keterkaitan teoritis yang disyaratkan adalah adanya kondisi ortogonalitas (orthogonality
conditions) antara suatu fungsi dari parameter, linier atau non-linier, dengan kumpulan variabel instrumental (instrumental variables).
Berbeda dengan metode penaksiran OLS dan MLE, GMM tidak menyaratkan adanya informasi mengenai bentuk distribusi dari
residual. Selain itu, metode penaksiran pada umumnya merupakan kasus spesial dari GMM.
328 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008
normalisasi parameter preferensi kebijakan bank sentral dilakukan dalam penaksiran Taylor
rule melalui restriksi parameter+ =1. Adapun hasil penaksiran parameter persamaan dengan
menggunakan data kuartalan mulai awal tahun 1980 disampaikan pada Tabel 3 (untuk
memudahkan interpretasi ditampilkan dalam format yang lebih sederhana:
Tabel II.3.
Hasil penaksiran parameter policy rule
Policy Rule α ρ γπ γy γx
1.a. Taylor 13 - 0,5 0,5 -
1.b. Taylor-Smoothing 12 0,4 0,7 0,3 -
2. McCallum 5 - - - 0,3
terlihat pada tiga periode, yaitu periode sebelum 1 Juni 1983 (1980 √ 1982), periode 1988 √
1989, dan periode awal krisis (1997.3 √ 1999). Pada dua periode pertama terlihat bahwa
rumusan respon kebijakan berdasarkan Taylor rule mengimplikasikan stance kebijakan yang
cukup longgar pada periode awal 1980-an, dan sebaliknya terlalu ketat pada masa diterapkannya
Pakto 1988. Kedua kondisi tersebut kurang didukung oleh fakta empiris yang terjadi. Sementara
itu, pada awal masa krisis masing-masing rumusan Taylor rule mengindikasikan stance kebijakan
moneter berbeda, yaitu terlalu ketat (Taylor rule) dan relatif optimal (Taylor-Smoothing rule).
Hasil tersebut menyimpulkan bahwa respon kebijakan berdasarkan rumusan State-Contingent
rule suprior dibandingkan dengan respon kebijakan berdasarkan rumusan Taylor rule.
Sementara itu, temuan yang cukup menarik adalah berkaitan dengan penerapan respon
kebijakan moneter berdasarkan sasaran operasional uang primer. Dapat dilihat bahwa secara
umum, terdapat kecenderungan arah respon kebijakan yang didasarkan pada rumusan
McCallum rule relatif selaras dengan respon kebijakan dengan sasaran operasional uang primer
%
70
State Cont. Rule 1
60 Tylor Rule
Tylor-Smoothing Rule
50
40
30
20
10
0
80 82 84 86 88 90 92 94 96 98 00 02
%
40
M-Stance 1 (SCR)
30 M-Stance 1 (TR)
M-Stance 1 (TSR)
20
10
-10
-20
80 82 84 86 88 90 92 94 96 98 00 02
Grafik II.5.
Perbandingan policy rule 1: interest rate rule
330 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008
yang didasarkan pada rumusan State-Contingent rule. Dalam kaitan ini, perbedaan yang terjadi
lebih terkait pada intensitas dari respon kebijakan yang diterapkan, misalnya ≈terlalu∆ atau
hanya sekadar ≈cukup∆, sehingga konsekuensi yang ditimbulkan pada evaluasi stance kebijakan
umumnya tidak terlalu serius.
%
50
30
20
10
0
86 88 90 92 94 96 98 00 02
%
60
M-Stance 2 (SCR)
M-Stance 2 (MCR)
40
20
-20
-40
86 88 90 92 94 96 98 00 02
Grafik II.6.
Perbandingan policy rule 2:monetary base rule
Perbedaan interpretasi terlihat pada periode mulai 1985 sampai pertengahan 1988,
dimana kebijakan moneter dilaksanakan secara berhati-hati (discretionary policy) di tengah-
tengah tekanan pada neraca pembayaran. Dalam hal ini, rumusan McCallum rule
mengindikasikan adanya respon kebijakan yang terlalu ketat, sementara rumusan State-
Contingent rule mengindikasikan kebijakan moneter yang cukup optimal. Selain itu, pada periode
krisis ekonomi (1997.3 √ 1999), rumusan McCallum rule tidak dapat mengakomodir sepenuhnya
Respon Kebijakan Moneter yang Optimal di Indonesia: The State-Contingent Rule? 331
pengaruh krisis ekonomi pada lonjakan pertumbuhan besaran moneter, yang tercermin pada
taksiran perkembangan respon kebijakan yang relatif sama dengan periode sebelum dan
sesudahnya, sehingga respon kebijakan diindikasikan dalam tingkatan yang sangat ketat,
melebihi indikasi yang dihasilkan dari rumusan State-Contingent rule.
Hasil penaksiran fungsi kerugian bank sentral berdasarkan respon State-Contingent rule
menunjukkan jumlah varians pertumbuhan ekonomi dan inflasi sebesar 0,037%, serta biaya
penggunaan instrumen sebesar 0,113%. Sementara itu, berdasarkan Taylor rule, jumlah varians
pertumbuhan ekonomi dan inflasi adalah sebesar 0,040%, dengan biaya penggunaan instrumen
sebesar 0,133%. Dengan demikian, dengan atau tanpa memperhitungkan biaya penggunaan
instrumen kebijakan, fungsi kerugian bank sentral berdasarkan respon State-Contingent rule
lebih kecil (relatif minimal) dibandingkan dengan fungsi kerugian bank sentral berdasarkan
respon Taylor rule, yaitu dengan rasio masing-masing sekitar 0,93 (tanpa biaya penggunaan
instrumen) dan 0,87 (dengan biaya penggunaan instrumen); masing-masing lebih kecil dari
satu. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagai policy rule, State-Contingent rule
mempunyai kontribusi yang lebih besar (superior) dalam mendukung pelaksanaan kebijakan
moneter yang efisien.
332 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008
V. KESIMPULAN
Perumusan kerangka kebijakan moneter yang sesuai, dengan mengacu pada prinsip-
prinsip keoptimalan, untuk kasus Indonesia tentunya tidaklah mudah. Hal ini mengingat
karakteristik perekonomian Indonesia cukup unik dan masih dalam proses transisi struktural
dan kelembagaan yang cukup panjang, yang diwarnai dengan tingginya fluktuasi beberapa
perkembangan variabel makro ekonomi. Penelitian ini mengetengahkan satu hal yang mendasar
dalam merumuskan respon kebijakan yang optimal untuk kasus di Indonesia, yaitu bahwasannya
rumusan respon kebijakan yang didasarkan pada disain ≈State-Contingent rule∆ berhasil
merepresentasikan disain policy rule yang optimal bagi perekonomian Indonesia. Disain policy
rule tersebut mengakomodir baik respon kebijakan jangka panjang maupun jangka pendek
dengan mekanisme pengkoreksian kesalahan (error correction), serta keberadaan shocks spesifik
yang muncul dari adanya perubahan struktural perekonomian secara tiba-tiba maupun
perubahan dinamis dari adanya unsur ketidakpastian yang mempengaruhi volatilitas perilaku
respon kebijakan moneter.
Dua aspek terkait yang dapat ditarik dari hasil pengujian empiris adalah bahwa berdasarkan
perumusan respon kebijakan moneter yang optimal dalam disain «State-Contingent rule», evaluasi
kinerja kebijakan moneter dalam merespon perkembangan yang terjadi menunjukkan
kekurangoptimalan (sub-optimal) penerapan respon kebijakan moneter pada beberapa periode,
terutama yang terkait dengan terlalu ketat atau longgarnya respon kebijakan. Sementara itu,
sebagai sebagai suatu policy rule, dengan diperhitungkannya komponen mekanisme
penyesuaian perubahan struktural, State-Contingent rule relatif superior dibandingkan dengan
simple policy rule lain yang lazim digunakan, yaitu Taylor rule dan McCallum rule. Hasil tersebut
juga didukung oleh penaksiran fungsi kerugian bank sentral, yang menunjukkan bahwa State-
Contingent rule mempunyai kontribusi yang lebih besar dalam mendukung pelaksanaan
kebijakan moneter yang efisien dibandingkan dengan Taylor rule, dalam artian bahwa State-
Contingent rule menghasilkan taksiran fungsi kerugian yang relatif minimal dibandingkan Taylor
rule, yaitu dengan rasio rata-rata sebesar 0,9 (lebih kecil dari 1). Selain itu, perilaku jangka
panjang State-Contingent rule tersebut dapat diidentifikasikan dengan baik dalam kondisi
dengan adanya perubahan struktural dan unsur ketidakpastian.
Berkaitan dengan hasil evaluasi stance kebijakan moneter pada masa krisis ekonomi
(1997.3 √ 1999), dapat disimpulkan bahwa respon kebijakan moneter yang berlawanan arah
dan tidak optimal (pada level ekstrim) pada periode ini sangat terkait dengan fenomena twin
crises. Sebagaimana yang terjadi di Indonesia, fenomena twin crises telah menyebabkan
peningkatan suku bunga SBI sempat dilakukan beberapa kali, mengingat peningkatan suku
bunga pada tahap awal belum mampu meredam perlemahan rupiah, sementara kepercayaan
Respon Kebijakan Moneter yang Optimal di Indonesia: The State-Contingent Rule? 333
pasar pada sistem keuangan terus menurun sehingga terjadi penarikan dana simpanan
perbankan yang sangat besar (bank runs). Untuk mencegah semakin memburuknya kondisi
perbankan dan perekonomian secara makro, bantuan likuiditas (BLBI) kepada perbankan
diberikan dalam jumlah yang sangat besar, sehingga pada gilirannya mendorong ekspansi
besaran moneter yang sangat drastis. Pada tahap berikutnya, untuk menyerap kelebihan likuiditas
di masyarakat dan membatasi ekspansi BLBI, kebijakan pengetatan moneter kembali dilakukan,
antara lain melalui peningkatan suku bunga.
Yang terakhir, di luar beberapa temuan yang telah diuraikan di atas, perlu dikemukakan
bahwa pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini lebih ditujukan pada relevansi
permasalahan yang diajukan serta asumsi yang mendasari, khususnya terkait dengan pengaruh
kebijakan dan perkembangan di sektor-sektor lain (fiskal, nilai tukar, dan riil) yang berjalan
seperti yang telah ditetapkan oleh Pemerintah dan Bank Indonesia. Dengan demikian, dengan
adanya kendala keterbatasan dan pengolahan data (terutama data kesempatan kerja), potensi
perubahan karakteristik perkembangan data, keunikan struktur perekonomian Indonesia, serta
pergeseran orientasi kebijakan moneter, terutama pada masa terjadinya twin crises pada periode
1997.3 √ 1999, sangat diperlukan suatu kehati-hatian dalam menginterpretasikan ≈magnitude∆
parameter permodelan.
Selain itu, juga disadari akan perlunya penggunaan kerangka pengkajian alternatif, atau
bahkan pengembangan kerangka permodelan yang lebih realistis. Hal tersebut terutama terkait
dengan fakta bahwa sebagai salah satu aspek strategis dalam bidang kajian kebijakan,
perumusan kerangka kerja kebijakan moneter akan senantiasa menjadi suatu topik kajian yang
layak untuk dicermati. Demikian pula, penelitian dengan hasil yang telah disampaikan di atas
pada dasarnya juga dapat dianggap sebagai suatu penelitian awal. Dalam perspektif yang
lebih luas, dalam penelitian ini belum dikaji secara tegas beberapa hal, antara lain terkait dengan
konsistensi dan kredibilitas kebijakan moneter. Berkaitan dengan penyusunan kerangka kebijakan
moneter yang berlangsung saat ini, topik lanjutan tersebut tentunya merupakan suatu yang
penting untuk dilakukan selanjutnya.
334 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008
Daftar Pustaka
Ball, L. (1997), ≈Efficient rule for Monetary Policy∆, NBER Working Paper No. 5952, March.
Bank Indonesia, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank
Indonesia, Bank Indonesia, Jakarta, 1999, yang diamandemen dengan Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004.
Bernanke, B. et al. (1999), Inflation Targeting: Lessons from International Experience, Princenton
University Press.
Blake, Andrew P. (1998), et al., ≈Optimal Monetary Policy∆, National Institute Economic Review.
Blake, Andrew P. (2000), ≈Optimality and Taylor Rules∆, mimeo, National Institute of Economic
and Social Research.
Boughton, James M. (2002), ≈Why White, Not Keyness? Inventing the Postwar International
Monetary System∆, IMF Working Paper, WP/02/52, Washington DC.
Clarida, R.H. (2001), ≈The Empirics of Monetary Policy rules in Open Economies∆, on Seminar
on Monetary Policy in Open Economics, IMF, June 2001.
Clarida, Richard, Jordi Gali, and Mark Gertler (1998), ≈Monetary Policy Rules in Practice: Some
International Evidence,∆ European Economic Review, Vol. 42, pp. 1033-67.
Fischer, Stanley (1996), Central Banking: the Challenges Ahead √ Maintaining Price Stability,
Finance and Development.
Garratt, A., K. Lee, M.H. Pesaran, Y. Shin (1998), ≈A Long Run Structural Macroeconomic
Model of the UK∆, DAE Working Paper, University of Cambridge, June, Revised April 2001.
Garratt, A., K. Lee, M.H. Pesaran, Y. Shin (1999), ≈A Structural Cointegrating VAR Approach to
Macroeconomic Modelling∆, DAE Working Paper, University of Cambridge, January.
Goldfajn, Ilan and Poonam Gupta (2002), «Overshootings and Reversals: The Role of Monetary
Policy», in Banking, Financial Integration, and International Crises, edited by Hernandez and
Klaus Schmidt-Hebbel, Central Bank of Chile.
Kaminsky, G. L. and Carmen M. Reinhart (1999), «The Twin Crises: The Causes of Banking and
Balance of Payments Problems», American Economic Review, Vol. 89, No. 3.
King, Menvyn (1997), ≈Changes in the UK Monetary Policy: rules and Discretion in Practice∆,
Journal of Monetary Economics, 39,.
McCallum, Bennett T. (1987), ≈Robustness Properties of a rule for Monetary Policy∆, Carnegie-
Rochester Conference Series on Public Policy, Autumn.
________ (2001), ≈Should Monetary Policy Respond Strongly to Output Gaps?∆, NBER Working
Paper No. 8226, April.
Respon Kebijakan Moneter yang Optimal di Indonesia: The State-Contingent Rule? 335
_________ (2000), ≈Using Monetary Policy rules in Emerging Market Economies∆, Conference
Paper, Banko de Mexico.
Woodford, Michael (2003), Interest and Prices: Foundations of A Theory of Monetary Policy,
Princenton University Press, NJ.
Mengkaji Perubahan Nilai Tukar Rupiah dan Pasar Saham 337
Abstract
This paper analyzes the relationship between the Exchange rate and the stock market in Jakarta,
Singapore, Malaysia, Thailand, Philippine and Hongkong using a high frequency data. We applied the
Vector Autoregressive method on the daily data covering 1 July 1997 to 30 June 2006.
The analysis provides several results as follows: (i) the exchange rate movements is influenced by
the regional and the Hongkong stock market index, except Thailand, (ii) Jakarta stock market index is
influenced by the regional stock market except Thailand, (iii) the Rupiah rate influence the regional and
Hongkong stock index, (iv) the Jakarta»s stock market index is integrated to the regional stock market
index. These results may be a usefull as an additional guidance to evaluate the Rupiah»s exchange rate
and the regional stock market movement in general.
1 Untoro is a senior researcher in PPSK√ Bank Indoneisa (untoro@bi.go.id); Priyo R. Widodo is a researcher in PPSK√ Bank Indonesia
(priyo@bi.go.id) .
338 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008
I. PENDAHULUAN
Kegiatan portfolio investasi oleh pelaku pasar luar negeri kedalam aset dalam negeri,
yaitu dalam penanaman di pasar modal dapat mempengarui pergerakan nilai tukar rupiah
terhadap US Dollar. Indikasi ini tampak pada grafik pergerakan nilai tukar rupiah dan grafik
pergerakan indeks harga saham gabungan bursa efek Jakarta. Pergerakan yang terjadi secara
grafis menunjukkan pergerakan yang simetris, dimana penguatan nilai tukar akan diikuti oleh
penguatan indeks harga saham. Demikian pula sebaliknya perlemahan indeks harga saham
akan diikuti dengan menelahnya nilai tukar rupiah.
Rupiah Indeks
18.000 1.800
16.000 1.600
14.000 1.400
12.000 1.200
Rupiah
10.000 1.000
8.000 800
6.000 600
4.000 IHSG 400
Atas dasar kajian grafis tersebut maka dalam penelitian ini dilakukan pengujian atas
hubungan simetris tersebut. Kajian tersebut diperlukan karena kajian mengenai hubungan
antara pergerakan nilai tukar dan pergerakan saham penting dilakukan dalam kerangka
kebijakan moneter, karena pergerakan diantara kedua pasar tersebut pada umumnya saling
berkaitan. Dalam teori ekonomi klasik (lihat Dornbusch dan Fisher, 1980) dijelaskan bahwa
pergerakan nilai tukar akan berdampak pada international competitiveness dan posisi neraca
perdagangan serta kepada real output dari suatu Negara, yang selanjutnya akan berdampak
pada cash flow dari perusahaan dan harga saham dari perusahaan tersebut.
Untuk melakukan kajian lebih mendalam, maka kajian terhadap volatilitas nilai tukar
rupiah dan pasar saham di Indonesia akan dibandingkan dengan kasus yang sama dari beberapa
Negara lainnya yaitu Singapore, Malaysia, Thailand, Philipine dan Hongkong. Pembandingan
ini perlu dilakukan dalam kaitannya dengan upaya untuk menangkap kecenderungan Negara
tujuan kegiatan portfolio investasi yang dilakukan oleh para investor.
Mengkaji Perubahan Nilai Tukar Rupiah dan Pasar Saham 339
Dalam periode Januari 1998 hingga Desember 2005, perkembangan pasar saham di
Indonesia menunjukkan perkembangan yang bergejolak dengan tren jangka panjang indeks
harga saham yang meningkat. Sementara itu, pada periode yang sama terjadi pula gejolak
pada nilai tukar rupiah dan tren jangka panjangnya menunjukkan penguatan nilai tukar rupiah.
Paper ini melakukan pengujian kemungkinan adanya saling pengaruh antara perubahan harga
saham di Indonesia dengan perubahan nilai tukar rupiah ini. Lebih jauh penelitian ini mengkaji
keterkaitan harga saham di Indonesia dan beberapa negara lain yakni Malaysia, Singapura,
Hong Kong, Filipina dan Thailand.
II. TEORI
Literatur empiris yang menguji hubungan harga saham dengan nilai tukar sebagian besar
menguji keterkaitan tersebut dalam negara maju, namun masih sedikit yang memberikan
perhatian dalam negara yang sedang berkembang. Hasil studi tersebut tidak menunjukkan
kesimpulan yang mengkerucut. Studi yang dilakukan Smith (1992), Solnik (1997) dan Aggarwal
(1981) menemukan hubungan positif yang signifikan antara harga saham dengan nilai tukar.
Sebaliknya, Soenen dan Hennigar (1998) menemukan hubungan negatif yang signifikan. Selain
itu, studi yang dilakukan Franck dan Young (1972) serta Eli Bartov dan Gordo (1994) menunjukkan
keterkaitan yang lemah diantara kedua pasar.
Hubungan arah kausalitas keduanya juga tidak seragam. Abdala dan Murinde (1997)
menemukan arah kausalitas dari nilai tukar ke harga saham, namun Ajayi dan Moungoe (1996)
melaporkan sebaliknya yaitu kausalitas terjadi dari harga saham ke nilai tukar. Sedangkan,
Bahmani Oskooe dan Sohrabian (1992) menyatakan adanya kausalitas dua arah antara harga
saham dan nilai tukar dalam jangka pendek tetapi tidak terjadi dalam jangka panjang.
Hubungan antara harga saham dan nilai tukar belum ada keseragman atau konsesus
teori. Misalnya, model keseimbangan portofolio penentu nilai tukar menyatakan hubungan
negatif antara harga saham dan nilai tukar dengan arah kausalitas dari harga saham ke nilai
tukar. Dalam model ini, individu-individu memegang aset domestik dan asing, termasuk mata
uang dalam portofolio mereka. Nilai tukar mempunyai peran dalam menyeimbangkan
permintaan dan penawaran aset. Kenaikan harga saham domestik mendorong individu untuk
membeli lebih banyak aset domestik. Investor lokal yang ingin membeli lebih banyak aset
domestik akan menjual aset asing yang menyebabkan mata uang domestik mengalami apresiasi.
Kenaikan kesejahteraan akibat kenaikan harga aset domestik akan mendorong investor
meningkatkan permintaan uang yang pada gilirannya akan meningkatkan tingkat bunga
domestik. Selanjutnya, kenaikan tingkat bunga tersebut akan menarik modal asing yang
mendorong apresiasi mata uang domestik.
340 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008
Sebaliknya, hubungan positif antara harga saham dan nilai tukar dengan arah kausalitas
dari nilai tukar ke harga saham disebabkan depresiasi mata uang domestik menjadikan
perusahaan domestik lebih kompetitif yang menorong kenaikan ekspor mereka. Kondisi ini
selanjunya meningkatkan harga saham-saham perusahaan tersebut.
Penjelasan mengenai lemahnya keterkaitan antara harga saham dan nilai tukar dapat
dijelaskan dengan asset market approach. Pendekatan ini menyatakan nilai tukar menjadi
penentu harga suatu aset (harga satu unit mata uang asing). Sehingga, seperti halnya harga-
harga asset lain, nilai tukar juga ditentukan oleh ekspetasi nilai tukar mendatang. News atau
faktor yang mempengaruhi nilai tukar masa mendatang akan mempengaruhi nilai tukar
sekarang. Faktor atau news yang menyebabkan perubahan nilai tukar mempunyai kemungkinan
untuk berbeda dengan faktor yang menyebabkan perubahan harga saham. Perbedaan inilah
yang menyebabkan tidak ada keterkaitan antara nilai tukar dan harga saham.
Di mana I adalah investasi, SP adalah harga-harga saham, dan R tingkat bunga pinjaman.
Kedua, kenaikan harga saham akan berpengaruh positif terhadap nilai asset keuangan
yang dipegang rumah tangga dengan meningkatkan kekayaan rumah tangga dan konsumsi.
Orang yang mempunyai kakayaan lebih biasanya lebih memilih illiquid assets, artinya pengeluaran
terhadap baranng durables dan perumahan akan meningkat.
Perekonomian suatu negara akan mempunyai pengeluaran (E) agregat sama dengan
pendapatan (Y) dalam posisi keseimbangan, selajutnya dapat dituliskan sebagai:
Mengkaji Perubahan Nilai Tukar Rupiah dan Pasar Saham 341
Dengan memasukan pengaruh harga saham terhadap pola konsumsi dan investasi
diperoleh hubungan investasi dan tabungan (IS) yang tergantung dari harga-harga saham. Ini
modifikasi perekonomian terbuka Model Mundell-Fleming. Alur kedua berbeda dari model
standar yaitu dangan suatu asumsi keterkaitan jangka pendek antara nilai tukar nominal dan
current account. Asumsi ini berdasar hubungan negatif antara nilai tukar dengan current account
yang disebut J-curve effect. J-curve effect menyatakan bahwa pengaruh segera dari depresiasi
adalah membuat current account defisit sebelum berubah menjadi surplus. Ini berarti ada
hubungan terbalik antara nilai tukar dan current account.
di mana Y adalah pendapatan domestik, Y* adalah pendapatan luar negeri, dan E adalah
nilai tukar nominal. Setelah modifikasi model-model tersebut di susun ulang menjadi:
X adalah jumlah ekspor, M adalah jumlah impor, P adalah tingkat nilai tukar mata uang
domestik yang tetap dalam model jangka pendek, MB/P adalah keseimbangan mata uang riil,
K adalah neraca modal, R adalah tingkat bunga pinjaman, serta NX adalah ekspor bersih.
Model tersebut secara sederhana divisualisasikan pada Grafik III.2
R LM
B BP 1
R»
BP
A
IS 1
Ro *
IS
Y Y» Y
Grafik III.2 :
Model Mundell-Fleming Perekonomian Terbuka
dan Reaksi Terhadap kejutan Pasar Modal
Kenaikan harga-harga saham akan meningkatkan tingkat pengeluaran pada tingkat bunga
tertentu (kurva IS bergeser ke kanan IS1). Kurva LM tidak terpengaruh perubahan harga-harga
saham. Sehingga, pengaruh positif kenaikan harga-harga saham adalah keseimbangan baru
dengan output dan tingkat bunga yang lebih tinggi di titik B. Keseimbangan baru yang berada
di atas kurva BP menegaskan bahwa untuk setiap output tertentu tingkat bunga yang terjadi
adalah lebih tinggi dari sebelumnya. Tingkat bunga yang lebih tinggi ini menarik aliran modal
asing masuk (R > R* mendorong kenaikan K dalam persamaan 5). Hasilnya neraca pembayaran
menjadi surplus (BP > 0). Penyesuaian neraca modal dapat berlangsung cepat dalam pasar
yang mempunyai mobilitas tinggi.
Keseimbangan baru di titik B juga mempunyai tingkat pendapatan (Y) lebih tinggi. Hal
ini konsisten dengan pengeluaran yang lebih tinggi dari perekonomian domestik dan luar negeri
yang berakibat kenaikan impor dan memburuknya current account (lihat persamaan 8). Meski,
impor tidak segera menyesuaikan diri secepat pasar modal dalam jangka pendek. Dengan
demikian, pengaruh surplus neraca modal lebih besar daripada pengaruh defisit, sehingga
Mengkaji Perubahan Nilai Tukar Rupiah dan Pasar Saham 343
secara keseluruhan neraca pembayaran adalah surplus. Inilah alasan kenapa titik B di atas
kurva B.
*
E *P
RER =
P (III.9)
Nilai tukar nominal yang lebih tinggi dalam jangka pendek sejalan dengan penurunan
rasio harga P*/P dalam keseimbangan jangka panjang (nilai tukar riil sama dengan satu).
Rendahnya rasio P*/P berimplikasi relatif tingginya harga domestik. Dengan demikian, depresiasi
nilai tukar nominal menciptakan ekspetasi inflasi di masa mendatang. Inflasi ditanggapi sebagai
berita negatif oleh pasar modal karena cenderung membatasi pengeluaran konsumen dan
akan mengurangi pendapatan perusahaan.
Kedua, investor tidak mempunyai keinginan untuk memegang asset yang mata uangnya
mengalami depresiasi karena akan mengikis pengembalian investasi. Misalnya, kasus depresiasi
USD, investor akan menahan diri untuk memegang asset dalam AS termasuk saham. Jika investor
asing menjual kepemilikan saham-saham AS maka harga saham akan turun.
Ketiga, pengaruh depresiasi nilai tukar akan berbeda terhadap setiap perusahaan
tergantung apakah perusahaan mengimpor atau mengekspor lebih banyak dan apakah
perusahaan tersebut melakukan hedging dari fluktuasi nilai tukar. Importir akan menanggung
biaya yang lebih tinggi karena pelemahan mata uang domestik dan pendapatan menjadi lebih
rendah yng berakibat turunnya harga saham.
344 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008
Terakhir, depresiasi mata uang domestik akan mendorong industri berorientasi ekspor
dan melemahkan industri ynag tergantung dari impor. Ini berpengaruh positif terhadap output
domestik. Kenaikan output ini dapat dipandang sebagai indikator boming perekonomian yang
mendorong kenaikan harga saham.
Secara keseluruhan, pengaruh nilai tukar harga-harga saham tidak seragam, keterkaitan
positif dan negatif mempunyai dasar pendukung. Ajayi dan Mongoue (1996) mengasumsikan
hubungan negatif lebih dominant. Dalam jangka pendek, ekspetasi investor lebih mempengaruhi
pasar saham daripada kondisi fundamental perekonomian. Dari uraian di atas, kita dapat
melakukan spesifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi harga saham sebagai berikut:
di mana Y adalah output, INF adalah inflasi dan E adalah nilai tukar.
Solnik (1987) menguji dampak beberapa variabel (nilai tukar, tingkat bunga dan
perubahan ekspetasi inflasi) terhadap harga saham. Dia menggunakan data bulanan dari
sembilan negara. Solnik menemukan depresiasi mempunyai pengaruh positif namun tidak
signifikan terhadap pasar saham AS dibandingkan perubahan ekspetasi inflasi dan tingkat bunga.
Soenen dan Hanniger (1988) menggunakan data bulanan harga saham dan nilai tukar
efektif periode 1980-1986. Mereka menemukan hubungan negatif yang kuat antara nilai dolar
AS dan perubahan harga saham.
Mohsen Bhmani dan Ahmad Sohbrain (1992) menganalisis hubungan jangka panjang
harga-harga saham dan nilai tukar menggunakan kointegrasi serta pengujian kausalitas Granger.
Mereka menggunakan data bulanan indeks harga saham dan nilai tukar efektif selama periode
1973-1988. Hasil studi mereka menunjukkan adanya hubungan kausalitas dua arah antara
Mengkaji Perubahan Nilai Tukar Rupiah dan Pasar Saham 345
harga saham dan nilai tukar efektif dalam jangka pendek. Namun, mereka tidak menukan
keterkaitan jangka panjang variable tersebut.
Eli Bartov dan Gordon M. Bodnor (1994) menyimpulkan bahwa perubahan nilai dolar
saat sekarang hanya mempunyai kekuatan kecil dalam menjelaskan abnormal stock returns.
«Mereka juga menemukan perubahan lag dolar mempunyai keterkaitan negatif dengan abnormal
stock returns. Hasil regresi menunjukkan perubahan lag dolar mempunyai kekuatan untuk
menjelaskan kesalahan dalam analisis peramalan pendapatan kuartalan.
Ajayi dan Mougoue (1996) menunjukkan kenaikan agregat harga saham domestik
mempunyai dampak negatif dalam jangka pendek terhadap mata uang domestik, namun dalam
jangka panjang kenaikan harga saham mempunyai pengaruh positif nilai mata uang domestik.
Meskipun, depresiasi mata uang mempunyai pengaruh negatif terhadap pasar saham dalam
jangka pendek.
Yu Qiao (1997) menggunakan data indek harga saham harian dan nilai tukar spot dari
pasar keuangan keuangan Hongkong, Tokyo, dan Singapura selama periode 3 Januari 1983
sampai dengan Juni 1994 untuk menguji kemungkinan interaksi variabel keuangan tersebut.
Hasil studi dengan menggunakan kausalitas Granger menunjukkan perubahan harga saham
disebabkan perubahan nilai tukar di pasar Tokyo dan Hongkong. Pasar Singapura tidak
menujukkan adanya kausalitas tersebut. Sedangkan kausalitas dari nilai harga saham ke nilai
tukar terjadi di pasar Tokyo. Dengan demikian, di pasar Tokyo menunjukkan adanya kausalitas
dua arah antara harga saham dan perubahan nilai tukar. Dia juga menggunakan model VAR
untuk menganalisis kestabilan jangka panjang keterkaitan harga saham dan nilai tukar dalam
pasar keuangan Asia. Hasilnya menunjukkan hubungan yang stabil dalam jangka panjang antara
harga saham dan nilai tukar.
Isam Abdala dan Victor Murinde (1997) mengaplikasikan pendekatan kointegrasi untuk
menguji hubungan jangka panjang antara indek harga saham dan nilai tukar efektif riil untuk
Pakistan, Korea, India, dan Philipina. Mereka menggunakan data bulanan dari Januari 1985
346 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008
sampai dengan Juli 1994. Studi mereka menunjukkan tidak ada keterkaitan jangka panjang di
Pakistan dan Korea, sedangkan keterkaitan jangka panjang ditemukan di India dan Philipina.
Mereka juga menemukan kausalitas satu arah dari nilai tukar ke harga saham untuk Pakistan
dan Korea. Adanya keterkaitan jangka panjang di India dan Pakistan memungkinkan mereka
menggunakan pendekatan error correction model untuk menguji kausalitas untuk kedua negara.
Hasilnya menunjukkan kausalitas satu arah dari nilai tukar ke harga saham untuk India,
sedangkan Philipina menunjukkan kausalitas sebaliknya, yaitu dari harga saham ke nilai tukar.
Naeem M. dan Abdul R. menguji keterkaitan harga saham dan nilai tukar dalam jangka
pendek dan jangka panjang. Mereka menggunakan data bulanan empat negara Asia yang
terdiri dari Pakistan, India, Bangladesh, dan Sri-Lanka selama Januari 1994 sampai dengan
Desember 2000. Alat analisis yang digunakan untuk pengujian hubungan jangka pendek dan
jangka panjang adalah kointegrasi, vector error correction model dan uji kausalitas Granger.
Hasil studi menunjukkan tidak ada keterkaitan harga saham dan nilai tukar di keempat negara
tersebut. Sedangkan dalam jangka panjang, mereka menemukan kausalitas dua arah variabel
harga saham dan nilai tukar di Bangladesh dan Sri-Lanka.
Meski tidak terdapat keseragaman teori mengenai keterkaitan antara variabel harga saham
dan nilai tukar, alur keterkaitan kedua variabel tersebut sebetulny dapat juga di cari runtutan
yang logis secara ekonomi berdasr teori ekonomi yang telah ada. Bagian ini akan menguraikan
alur keterkaitan tersebut. Dengan demikian, kenaikan harga saham akan meningkatkan output
melalui kenaikan kekayaan dan investasi. Kemudian, analisis model Mundell-Fleming dan
pengaruh kurva J digunakan untuk melihat pengaruh output yang tinggi terhadap nilai tukar.
III. METODOLOGI
III.1. Data
Data yang digunakan adalah data nilai tukar rupiah dan indeks harga saham gabungan
dari Indonesia, Malaysia, Singapore, Thailand, Phillipina dan Hongkong. Adapun periode waktu
yang digunakan diupayakan sama yaitu dari data periode waktu 01 Juli 1997 hingga 30 Juni
2006. Jenis data yang dipergunakan meliputi data harian stock market index , dan nilai tukar
rupiah terhadap USDollar. Seluruh data diambil dari CEIC data.
Stock market index yang dipergunakan yaitu Jakarta Stock Exchange Composite Price
Index untuk Indonesia, Kuala Lumpur Composite Price Index untuk Malaysia, Bangkok S.E.T
price index untuk Thailand, Singapore Straits Times Price Index untuk Singapore, Phillipine SE
Composite Price Index untuk phillipine dan Hang Seng Price Index untuk Hong Kong.
Mengkaji Perubahan Nilai Tukar Rupiah dan Pasar Saham 347
III.2. Model
Model yang digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian ini adalah model vector
autoregression (VAR). Analisis menggunakan VAR diharapkan dapat menjelaskan perilaku
dinamis antar dua variabel atau lebih variabel endogen yang saling terkait. Penggunaan bivariate
VAR untuk melihat keterkaitan dua variabel dan Multitivariate VAR digunakan untuk melihat
keterkaitan lebih variabel.
Multivariate VAR akan memasukan beberapa variabel harga saham negara-negara Asia
Tenggara dan Hongkong untuk melihat pengaruh keterkaitan variabel-variabel dari negara-
negara tersebut. Model bivariate VAR yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua
variabel yaitu indeks harga saham gabungan Jakarta (IHSG) dan nilai tukar.
Multivariate VAR yang akan digunakan dalam penelitian ini akan mengikuti bentuk umum
VAR yang telah banyak digunakan oleh penelitian-penelitian sebelum dari kasus yang serupa
untuk berbagai negara. Secara umum bentuk multivariate VAR adalah sebagai berikut (Enders,
1995:312).
(III.11)
di mana Ai0 merupakan parameter yang menunjukkan intersep, dan Aij(L) merupakan variabel
lag dalam operator. Dengan mengikuti model persamaan (III.11 ) maka model multivariate VAR
yang akan dibangun dalam penelitian ini menjadi:
Di mana ER adalah nilai tukar riil Indonesia, Sedangkan SINDO, SMALAY, SSING, STHAI, PHI
DAN SHKG adalah indek harga saham Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina, dan
Hongkong.
348 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008
Spesifikasi model VAR meliputi pemilihan variabel dan banyaknya selang yang digunakan
di dalam model. Sesuai dengan metodologi Sims (1980), variabel yang digunakan di dalam
persamaan VAR dipilih berdasarkan model ekonomi yang relevan. Teori ekonomi jelas berperan
di dalam pemilihan variabel ini, karena itu Bernanke dan Blinder (1992) menyebutnya sebagai
pendekatan semi-structural VAR. Adapun hubungan antar variabel dapat dilihat pada diagram
berikut:
Pergerakan
Kurs IDR
Pergerakan
Pergerakan KLCI/STI/TSI/
IHSG PSI/HSI
Para fund manager akan memindahkan investasinya dari pasar finansial di luar negeri
kepasar saham di Indonesia bila dinilai pasar saham Indonesia memberikan potensi keuntungan
yang memadai. Akibatnya ketika para fund manager melakukan tindakan tersebut, maka
melalui pemindahan dana dari mata uang asing ke dalam bentuk rupiah akan menggerakkan
nilai tukar rupiah dan pada akhirnya akan dipindahakan dalam bentuk investasi di pasar saham.
Sehingga pergerakan nilai tukar akan diikuti dengan pergerakan pasar saham Jakarta. Demikian
sebaliknya, para fund manager asing akan melakukan keputusan untuk melepas portfolio
investasi di pasar saham Jakarta dan akan memindahkan dana mereka pada pasar finansial di
luar negeri. Tindakan mereka akan berdampak pada pergerakan nilai tukar rupiah. Sehingga
pergerakan pasar saham Jakarta akan diikuti dengan perubahan nilai tukar rupiah.
Pergerakan antar pasar saham yang saling mempengaruhi tidak harus diikuti oleh
pergerakan dana. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh psikologis dari para pelaku pasar
yang dalam mengambil keputusan investasinya akan memperhatikan perkembangan pergerakan
pasar saham regional. Oleh karena itu tidak tertutup kemungkinan bahwa pergerakan pasar
saham Jakarta dipengaruhi atau mempengaruhi pergerakan pasar saham Singapore, Kuala
Lumpur, Thailand, Phillipine dan Hongkong.
Mengkaji Perubahan Nilai Tukar Rupiah dan Pasar Saham 349
k. Bursa saham Jakarta secara granger berpengaruh kepada bursa efek Singapore dengan lag
1, lag 2, lag 3, lag 4, dan Lag 5.
l. Bursa saham Jakarta secara granger berpengaruh kepada bursa efek Kuala Lumpur dengan
lag 1, lag 2, lag 3, lag 4, dan Lag 5.
m. Bursa saham Bangkok secara granger berpengaruh kepada bursa efek Jakarta dengan lag
1, lag 2, lag 3, lag 4, dan Lag 5.
n. Bursa saham Jakarta secara granger berpengaruh kepada bursa efek Bangkok dengan lag
2, lag 3, lag 4, dan Lag 5.
o. Bursa saham Phillipine secara granger berpengaruh kepada bursa efek Jakarta dengan lag
4, dan Lag 5.
p. Bursa saham Jakarta secara granger berpengaruh kepada bursa efek Phillipine dengan lag
1, lag 2, lag 3, lag 4, dan Lag 5.
q. Bursa saham Hongkong secara granger berpengaruh kepada bursa efek Jakarta dengan
lag 2, lag 3, lag 4, dan Lag 5.
r. Bursa saham Jakarta secara granger berpengaruh kepada bursa efek Hongkong dengan
Lag 5.
Untuk keperluan pengujian akar unit, kita menggunakan hipotesis nol yang menyatakan
bahwa setiap data mempunyai akar unit (data tidak stasioner). Jika dari hasil pengujian tenyata
menolak hipotesis nol (data tidak stasioner) maka berarti data telah stasioner. Hasil pengujian
dinyatakan menolak hipotesis nol jika nila p-value (prob.) lebih kecil dari dari nilai alpha (critical
value) yang kita gunakan. Dalam pada itu dalam penelitian ini kita menggunakan nilai alpha
10% atau 0,1. dengan demikian dari hasil ADF dan PP maka menunjukkan bahwa pada first
defference semua data menunjukkan tolak hipotesa nol yang berarti data stasioner.
Mengkaji Perubahan Nilai Tukar Rupiah dan Pasar Saham 351
Table III.1
Hasil Uji Stasionaritas
Pengujian 4 sampel waktu ini dilakukan dengan (i) uji kointegrasi, (ii) uji stabilitas VAR
dan (iii) pembentukan model VAR. Uji kointegrasi dilakukan dengan maksud untuk
mengindikasikan hubungan antar variabel, khususnya mengindikasikan hubungan dua arah
atau satu arah atau tidak memiliki hubungan antar variabel. Sedangkan uji stabilitas VAR
dilakukan untuk memperoleh keyakinan bahwa model VAR yang dibentuk seluruh roots nya
kurang dari satu, sehingga persamaan VAR yang akan dihasilkan tidak bias.
352 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008
IV.3.1. Uji Kointegrasi dan Stabilitas VAR untuk Periode 01Juli 1997 s.d. 30
Desember 2001
Dari hasil uji kointegrasi untuk periode waktu 01 Juli 1997 hingga 30 Desember 2001,
menunjukkan bahwa dengan tingkat kepercayaan 5% mengindikasikan terdapat 2 kointegrasi
dan dengan tingkat kepercayaan 1% menunjukkan bahwa terdapat setidak-tidaknya satu
hubungan kointegrasi dari variable yang diuji.
Uji stabilitas VAR untuk data periode waktu 01 Juli 1997 hingga 30 Desember 2001
menunjukkan hasil VAR stabil tercapai pada selang 30 dengan seluruh roots nya memiliki modulus
kurang dari satu dan semuanya terletak didalam unit circle.nPembentukan Model VAR
Pada uji VAR optimum menunjukkan bahwa untuk data periode 01 Juli 1997 hingga 30
Desember 2001, VAR optimum tercapai pada selang 1 periode. Dengan demikian multivariate
VAR model yang dihasilkan sebagaimana pada Tabel III.2. menunjukkan hal-hal sebagai berikut:
a. Perubahan nilai tukar rupiah dipengaruhi perkembangan satu hari sebelumnya dari
perkembangan nilai tukar rupiah, pasar saham Jakarta, pasar saham Singapore, pasar saham
Kuala Lumpur, dan Pasar saham Hongkong
b. Bursa saham Jakarta dipengaruhi oleh perkembangan perdagangan saham Jakarta, pasar
saham Hongkong dan pasar saham Thailand pada satu hari sebelumnya.
c. Perubahan nilai tukar rupiah selain mempengaruhi perkembangan nilai tukar rupiah satu
hari kemudian , mempengaruhi pula pergerakan bursa saham Philipina dan bursa saham
Singapore pada satu hari kemudian.
d. Bursa saham Jakarta selain mempengaruhi perkembanagn rupiah dan bursa saham Jakarta,
mempengaruhi pula perkembangan bursa saham Kuala Lumpur dan bursa saham Thailand
pada satu hari kemudian.
Table III.2
Hasil Estimasi VAR, Januari 1997 √ Desember 2001
Hasil Vector Autoregression Estimates
Sample(adjusted): 7/03/1997 12/30/2001
IV.3.2. Uji Kointegrasi dan Stabilitas VAR untuk Periode 1 Januari 2002 s.d. 30
Juni 2006
Dari hasil uji stabilitas VAR, Var stabil tercapai pada selang 30 dengan seluruh roots nya
memiliki modulus kurang dari satu dan semuanya terletak didalamunit circle. Selang optimum
untuk data periode 01 Januari 2002 hingga 30 Juni 2006 tercapai pada selang 6 periode.
Dengan demikian multivariate VAR model yang dihasilkan sebagaimana pada Tabel III.3.
menunjukkan hal-hal sebagai berikut :
a. Perubahan nilai tukar rupiah dipengaruhi oleh perkembangan nilai tukar rupiah (1, 2 dan 4
hari sebelumnya), perkembangan bursa saham Jakarta (1, 3 dam 6 hari sebelumnya), dan
perkembangan bursa saham Phillipine (6 hari sebelumnya).
b. Bursa saham Jakarta dipengaruhi oleh perkembangan nilai tukar rupiah (4 dan 5 hari
sebelumnya), perkembangan bursa saham Jakarta (4 hari sebelumnya), perkembangan bursa
saham Kuala Lumpur ( 4 dan 5 hari sebelumnya), bursa saham Thailand (3 hari sebelumnya),
dan perkembangan bursa saham Phillipine (4 dan 6 hari sebelumnya),
c. Perubahan nilai tukar rupiah tidak mempengaruhi pergerakan pasar saham regional dan
Hongkong.
d. Bursa saham Jakarta mempengaruhi pergerakan pasar saham Singapore (1 dan 3 hari
kemudian), bursa saham Kuala Lumpur (2, 4 dan 6 hari kemudian), bursa saham Thailand
(3, dan 4 hari kemudian), bursa saham Phillipine (1hari kemudian) dan bursa saham Hongkong
(4 hari kemudian)
IV.3.3. Uji Kointegrasi dan Stabilitas VAR untuk Periode 01 Juli 1997 s.d. 30
Juni 2006
Dari hasil uji kointegrasi untuk periode waktu 01 Juli 1997 hingga 30 Juni 2006,
menunjukkan bahwa terdapat 2 kointegrasi pada critical value baik 5% maupun 1%. Hasil
VAR stabil tercapai pada selang 30 dengan seluruh roots nya memiliki modulus kurang dari
satu dan semuanya terletak didalam unit circle
Selang optimum untuk data periode 01 Juli 2007 hingga 30 Juni 2006 tercapai pada
selang 7 periode. Dengan demikian multivariate VAR model yang dihasilkan sebagaimana pada
Tabel III.4. menunjukkan hal-hal sebagai berikut :
a. Perubahan nilai tukar rupiah dipengaruhi oleh perkembangan nilai tukar rupiah ( 1, 3 , 4, 5,
6 dan 7 hari sebelumnya) , perkembangan bursa saham Jakarta (1 hari sebelumnya),
perkembangan bursa saham Kuala Lumpur (1 hari sebelumnya), perkembangan bursa saham
Phillipine (2 hari sebelumnya), dan perkembangan bursa saham Hongkong (1 dan 5 hari
sebelumnya).
354 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008
Table III.3
Hasil Estimasi VAR, Januari 2002 √ Juli 2006
Hasil Vector Autoregression Estimates
Sample(adjusted): 1/01/2002 6/26/2006
b. Bursa saham Jakarta dipengaruhi oleh perkembangan bursa saham Jakarta (1, 3 dan 6 hari
sebelumnya), perkembangan bursa saham Kuala Lumpur (3 dan 6 hari sebelumnya),
perkembangan bursa saham Thailand (1, 3, 4 dan 7 hari sebelumnya), perkembangan bursa
saham Phillipine (2 hari sebelumnya), dan perkembangan bursa saham Hongkong (1, 3
dan 5 hari sebelumnya).
Mengkaji Perubahan Nilai Tukar Rupiah dan Pasar Saham 355
Table III.4
Hasil Estimasi VAR, Seluruh Sampel
Hasil Vector Autoregression Estimates
Sample(adjusted): 7/09/1997 6/26/2006
c. Perubahan nilai tukar rupiah mempengaruhi pergerakan pasar saham regional dan
Hongkong, yaitu bursa saham Singapore ( 1 dan 3 hari kemudian), bursa saham Kuala
Lumpur (1 dan 4 hari kemudian), Bursa saham Thailand (1 dan 3 hari kemudian), Bursa
saham Phillipine (1, 2, dan 3, hari kemudian )
d. Bursa saham Jakarta mempengaruhi pergerakan pasar saham regional dan Hongkong, yaitu
bursa saham Singapore ( 4 hari kemudian), bursa saham Kuala Lumpur (2, 3, 4 dan 5 hari
kemudian), Bursa saham Thailand (1 dan 3 hari kemudian), dan Bursa saham Phillipine (1, 2,
dan 3 kemudian)
Pada sample 2, yang merupakan periode stabilisasi nilai rupiah dan penguatan bursa
saham Jakarta, maka nilai tukar rupiah dipengaruhi perkembangan nilai tukar rupiah (1, 2 dan
4 hari sebelumnya), perkembangan bursa saham Jakarta (1, 3 dam 6 hari sebelumnya), dan
perkembangan bursa saham Phillipine (6 hari sebelumnya).
Dari kajian ketiga periode waktu tersebut, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
perubahan nilai tukar rupiah dipengaruhi oleh perkembangan bursa saham regional dan bursa
saham Hongkong kecuali bursa saham Thailand, yang secara statistik ternyata tidak berdampak
pada pergerakan nilai tukar rupiah.
IV.4.2. Pengaruh bursa saham regional dan bursa saham Hongkong terhadap
pergerakan Bursa Saham Jakarta
Pergerakan bursa saham di Jakarta ternyata tidak dipengaruhi oleh pergerakan bursa
Mengkaji Perubahan Nilai Tukar Rupiah dan Pasar Saham 357
saham Singapore dan bursa saham Hongkong., namun perkembangan bursa saham Jakarta
dipengaruhi oleh perkembangan bursa saham regional lainnya. Pada umumnya pengaruh
regional pasar saham tersebut terjadi pada 1, 3, 4, 5 , 6 dan 7 hari kemudian. Terutama oleh
perkembangan bursa saham Thailand (1, 3, 4 dan 7 hari sebelumnya), perkembangan bursa
saham Hongkong (1, 3 dan 5 hari sebelumnya) dan perkembangan bursa saham Kuala Lumpur
(3 dan 6 hari sebelumnya),
dari tanggal 1 Januair 2002 hingga 30 Juni 2006; dan periode waktu secara keseluruhan yaitu
dari 1 Juli 1997 hingga 30 Juni 2006 dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
a. Pergerakan nilai tukar rupiah dipengaruhi oleh perkembangan bursa saham regional dan
bursa saham Hongkong kecuali bursa saham Thailand, yang secara statistik ternyata tidak
berdampak pada pergerakan nilai tukar rupiah.
b. Pergerakan bursa saham Jakarta dipengaruhi oleh perkembangan bursa saham regional,
selain bursa saham Singapore dan bursa saham Hongkong.
c. Terbukti secara statistik bahwa gejolak nilai tukar rupiah mempengaruhi pergerakan bursa
saham regional dan bursa saham Hongkong, walaupun dalam koefisien yang terbatas
d. Pergerakan bursa saham Jakarta terintegrasi dengan pergerakan bursa saham regional lainnya
. Bursa saham Jakarta mempengaruhi pergerakan pasar saham regional dan Hongkong,
pada periode yang berbeda. Pergerakan bursa saham Jakarta lebih banyak mempengaruhi
bursa saham Kuala Lumpur dalam 2, 3, 4 dan 5 hari kemudian, kemudian Bursa saham
Phillipine dalam 1, 2, dan 3 hari kemudian, bursa saham Thailand dalam 1 dan 3 hari
kemudian, dan bursa saham Sinngapore dan bursa saham Hongkong dalam 4 hari kemudian.
V.2. Rekomendasi
Disadari bahwa kajian ini tidak dapat secara langsung dipakai sebagai dasar pengambilan
kebijakan di bidang nilai tukar maupun di bidang capital market mengingat kajian hubungan
antara nilai rupiah dan perkembangan bursa saham regional maupun hubungan antara bursa
saham Jakarta dengan bursa regional hanya mendasarkan pada data variabel indeks harga
saham dan nilai rupiah.
Namun demikian temuan dari kajian ini dapat dipergunakan sebagai sinyal atas hubungan
pengaruh antara perkembangan nilai tukar rupiah dan pergerakan pasar saham di regional
dan pasar saham Hongkong, maupun hubungan integrasi antar pasar saham di kawasan regional
dan pasar Hongkong.
Daftar Pustaka
Abdalla, Issam S.A. and Victor Murinde, 1997, Exchange Rate and Stock Price Interactions in
Emerging Financial Markets: Evidence on India, Korea, Pakistan and the Philippines, Applied
Financial Economics, 7, 25 - 35
Aggarwal, Reena, Carla Inclan, and Ricardo Leal, 2001,Volatility in Emerging Stock Markets,
The Journal of Financial and Quantitative Analysis, Vol. 34.
Ajayi, Richard A and Mbodja Mougoue, 1996, On the dynamic relaption between stock prices
and exchange rates, The Journal of Financial Research, Vol. XIX, No. 2, pages 193-207.
Ajayi, Richard A, Joseph Friedman, and Seyed M. Mehdian, 1998, On the relationship between
stock returns and exchange rates: tests of granger causality, Global Finance Journal, 9(2):241-
251
Bekaert, Geert and Campbell R. Harvey, 2000, Foreign Speculators and Emerging Equity Market,
The Journal of Finance, VOL. LV, No. 2
Crowder, William J. and Mark E. Wohar, Cointegration, 1998, Forecasting and International
Stock Prices, Global Finance Journal, 9(2): 181 √ 204
Edison, Hali J., 1991, Forecast performance of exchange rate models revised, Applied Economics,
23, 187 √ 1996.
Fang, Wenshwo, 2001, Stock Return Process and Expected Depreciation Over the Asian Financial
Crisis, Applied Economics, 33, 905 - 912
Granger, C.W.J., Namwon Hyung, and Yongil Jeon, 2001, Spurious regressions with stationary
series, Applied Economics, Vol 33, 899-904
Hatemi-J, Abdulnasser and Manuchehr Irandoust, 2002, On the Causality Between Exchange
Rates and Stock Prices: A Note, Bulletin of Economic Research 54:2
Huang, Roger D. and William A. Kracaw, 1984, Stock Market Returns and Real Activity: A
Note, The Journal of Finance, VOL. XXXIX, No. I.
Oskooee, Mohsen Bahmani and Ahmad Sohrabian, 1992, Stock prices and the effective exchnge
rate of the dollar, Applied Economics, Vol 24, 459-464
Solnik, Bruno, 1987, Using Financial Price to Test Exchange Rate Models: A Note, The Journal
of Finance, VOL. XLII, No. 1
360 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008
Abstract
The mutual fund is a fast growing, flexible and sizely attainable product, hence make it as favourable
choice for the investors. As in other developing countries, however, the management of the fund invested
in mutual fund is done by pointed fund manager. This paper raises and answers the question of how
efficient the fund management is. This paper ustilizes the decomposition return model on the monthly
data set from 2002-2006 in Indonesia. The model derived, enable us to trace and decompose the
management performance into (i) the allocation policy skill, (ii) the security selection skill and (iii) the
market timing strategy or the tactical asset allocation abilty.
The model estimation result shows significant management capabilities on allocating the fund into
suitable asset class. We record that the best asset allocation policy was on February 2002, June 2004,
August 2004 and February 2006. Inline with this, another result shows the negatif contribution of the
short term-tactical asset allocation as conformed by several previous studies; Treynor-Mazuy (1996),
Wardhani (2003), and Henriksson (1984) among others. There is an exception for February 2006 where
a successful market timing strategy contributed an additional 7.34% return. The security selection strategy
is confirmed to have a positive and significant impact on the mutual fund performance. During the
observation period, the best security selection strategy was achieved on February, March and July 2002,
September 2003, and March, October, and December 2005. For these certain period, the security selection
activities gave more than 2% additional monthly return.
1 Yuyun Istavirti adalah lulusan Program Pascasarjan Ilmu Manejemen Universits Indonesia (yuyun.istavirti@gmail.com); Dr. Ruslan
Prijadi adalah Ketua PPS Bidang Ilmu Manajemen Universitas Indonesia; Andi M. Alfian Parewangi adalah staf pengajar FEUI dan
konsultan pada Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter - Bank Indonesia (andi.alfian@ui.edu). Penulis berterima kasih
kepada Prof Dr. I Gusti Ngurah Agung dan Dr. Rofiqoh Rokhim atas komentar dan saran yang diberikan dalam penelitian ini.
362 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008
Keywords: Mutual fund, asset allocation, security selection, market timing, period specific
estimation, financial investment.
Kinerja Pengelolaan Dana pada Pasar Modal Indonesia 363
I. PENDAHULUAN
Indonesia sebagaimana negara berkembang lainnya, cenderung didominasi oleh pasar
uang ketimbang pasar modal. Sejauh ini, dapat dikatakan bahwa peran industri perbankan
dalam mengakselerasi sektor riil belum dapat dikatakan memuaskan. Berbagai permasalahan
seperti patahnya pass through effect suku bunga dari otorita moneter ke perbankan serta
tingginya resiko sektor riil merupakan kendala yang menghambat fungsi utama dari institusi
keuangan bank sebagai pool dan intermediator dana.
Menghadapi hal ini pasar modal merupakan salah satu alternatif. Meski pasar modal
Indonesia masih tergolong baru, namun merupakan pasar modal tertua di Asia Tenggara dan
keempat tertua di Asia setelah Bombay (1830), Hongkong (1871) dan Tokyo (1871) 2 . Dengan
jumlah investor yang sedikit, dari segi prestasi pasar modal Indonesia termasuk salah satu diantara
3 negara yang disebut sebagai the fastest growing capital market in Asia (Bapepam-LK,1995).
Selama 10 tahun terakhir rata-rata peningkatan indeks tahunan bursa Indonesia mencapai
12,76%, yang merupakan peningkatan tertinggi dibandingkan dengan pergerakan indeks bursa
regional lainnya.
Dalam pengelolaan reksadana, dana investor dipercayakan kepada manajer investasi. Ini
memunculkan pertanyaan tentang kemampuan manajer investasi untuk mengoptimalkan return
dana investasi untuk mencapai tujuan investasi3 sesuai dengan yang tercantum dalam
prospektus. Secara umum terdapat 3 jenis aktivitas pengelolaan yang dilakukan oleh manajer
investasi, pertama, kebijakan alokasi aset yakni keputusan untuk mengalokasikan dana kedalam
kelas aset yang ada, kedua, pemilihan sekuritas (stock picking) yakni keputusan untuk memilih
instrumen atau produk keuangan dari suatu kelas aset yang sama, dan ketiga, waktu pasar
(market timing atau sering dikenal dengan tactical asset allocation) yakni keputusan tentang
kapan transaksi dilakukan.
Di Indonesia studi tentang reksa dana menyangkut kemampuan manajer dalam hal
market timing dan stock picking dengan memasukkan variabel ekonomi makro pernah dilakukan
dengan menggunakan model Henriksson dan Merton (HM). Hasil yang diperoleh menunjukkan
bahwa secara keseluruhan manajer investasi masih belum memiliki kemampuan market timing
dan faktor ekonomi makro tidak memberikan pengaruh yang berarti terhadap kinerja reksa
dana saham (Partawidjaja, 2005).
Wardani (2003) dalam studinya mengaplikasikan model Henriksson dan Merton (HM)
yang dikombinasikan dengan model Carhart (1997), menemukan bahwa dari 18 reksa dana
saham yang diobservasi, hanya satu pengelola yang memiliki menunjukkan kemampuan stock
picking yang signifikan. Yati (2000) dengan data harian pada periode 1997-1999 menggunaka
model Treynor dan Mazuy (TM), menunjukkan adanya hubungan antara kinerja saham-saham
LQ 45 secara individual dengan kemampuan market timing pengelolaan dana. Dia juga
memperlihatkan bahwa beta adalah indikator penentu yang pentng dalam market timing saham-
saham di BEJ.
Sedangkan penelitian di luar negeri yang berkaitan dengan reksa dana dalam kaitannya
dengan asset allocation, security selection dan market timing telah banyak dilakukan diantaranya
oleh Kon (1983) yang menggunakan model pengukuran timing perfomance dari Fama dan
risk-adjusted selectivity perfomance-nya Jensen dengan meyertakan Quandt switching-regression
model ditambah faktor identitifiability condition dan prosedur diskriminan tambahan yang ia
kembangkan sendiri. Kon menemukan bahwa hanya 1 (satu) reksa dana yang memiliki
kemampuan pemilihan sekuritas dan market timing yang positif dan signifikan pada level
signifikansi 0.05.
Studi lain yang dilakukan Henriksson (1984) yang menggunakan model Henriksson-
Merton, menemukan bahwa hanya 3 dari 116 reksa dana yang memperlihatkan kemampuan
timing yang positif signifikan. Dari 3 reksa dana tersebut, keseluruhannya memiliki yang negatif
(2 diantaranya bahkan signifikan negatif) yang memperlihatkan inferior stock picking
perfomance.
Dari serangkaian telaah studi empiris yang penulis lakukan, sejauh ini penulis belum
mendapatkan studi yang menganalisa pengaruh kebijakan alokasi aset, pemilihan sekuritas,
dan waktu pasar terhadap kinerja reksa dana saham di Indonesia dalam satu analisis atau
model yang terintegrasi. Studi yang ada selama ini menganalisis 3 (tiga) strategi tersebut secara
terpisah-pisah. Ini yang merupakan latar belakang dari paper ini yakni apllikasi model yang
mampu mengintegrasikan 3 aspek pengelolaan dana secara bersamaan.
Secara eksplisit, paper ini berutujuan untuk menganalisa perkembangan pasar modal di
Indonesia melalui pengukuran kemampuan pengelolaan dana investasi oleh para pelaku di
pasar modal. Bagian selanjutnya dari paper ini akan menguraikan tinjauan teori dan model
teoritis yang menjadi landasaan. Bagian ketiga akan membahas model emprisi dan metodologi
yang dipergunakan untuk mengolah data, bagian keempat menyajikan hasil dan analisis
sementara kesimpulan akan diberikan pada bagian akhir.
Kinerja Pengelolaan Dana pada Pasar Modal Indonesia 365
II. TEORI
II.1 Konsep Dasar
Salah satu produk keuangan yang dipandang sebagai terobosan besar dalam pasar
keuangan khususnya pasar modal adalah mutal fund. Per definisi, reksa dana adalah wadah
yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya
diinvestasikan dalam bentuk portofolio efek oleh manajer investasi. Karena sifatnya yang seperti
ini, maka potensi partisipatory pelaku ekonomi menjadi lebih besar. Ditambah denngan
fleksibilitasnya yang besar, dalam skala agregat reksadana berpotensi menciptakan akumulasi
modal yang signifikan.
Dalam pengelolaan dana, manajer investasi dapat mengaplikasikan strategi pertama yakni
kebijakan alokasi aset yang merupakan informasi penting bagi setiap investor, terkait dengan
toleransi risiko yang mereka miliki. Alokasi aset ini biasanya diartikan sebagai pembentukan
bobot kelas aset normal atau bobot kelas aset pasif (Drobetz dan Kohler, 2002). Secara empiris,
kebijakan alokasi pasif ini disimpulkan sebagai faktor utama yang menentukan return investasi
(Blake et.al.,1998)4 dengan peran mencapai 91.5% (Brinson, Hood dan Beebower, 1986)5 .
Konsep utama yang melatarbelakangi lahirnya konsep pengalokasian aset adalah teori portofolio
modern6 yang diformalkan oleh Harry Markowitz dalam bentuk memasukkan prinsip diversifikasi.
Paper seminalnya ini yang mengantarkannya memperoleh hadiah Nobel Ekonomi pada tahun
1990.
4 Blake,David,Bruce N.Lehmann,Allan Timmerman (1998),∆Asset Allocation Dynamics and Pension Fund Perfomance∆, Journal of
Economics Literature,G11,G23
5 Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Brinson, Hood dan Beebower dengan data tahun 1977 sampai dengan tahun 1987, alokasi
aset menyumbangkan 91.5% bagi kinerja investasi, sisanya ditentukan pemilihan sekuritas, market timing dan faktor lainnya.
6 Markowitz, H.M (1952), ≈ Portfolio Selection∆ The Journal of Finance, March ,Vol.7-1,77-91
366 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008
Strategi alokasi aset dapat diverifikasi lebih lanjut menjadi 3 tipe (Manurung,2007)7 ,
yaitu (i) strategic asset allocation, (ii) tactical asset allocation yang merekomendasikan contrarian
trades sesuai dengan kondisi pasar (market timing) yang terjadi, dan (iii) dynamic asset allocation,
yang menyerupai aset alokasi strategis namun lebih menekankan pada pengendalian risiko.
Pendekatan ini disebut juga sebagai portfolio insurance.
Strategi kedua yang dapat dilakukan manajer investasi adalah pemilihan sekuritas (security
selection). 2 buah portofolio dapat memiliki komposisi alokasi yang sama namun dapat berbeda
dalam pilihan sekuritas. Tergantung pada kinerja sekuritas yang ada dalam masing-masing
portofolio, return kedua portofolio tersebut dapat berbeda.
Kebijakan yang ketiga adalah penentuan kapan harus membeli dan kapan harus menjual
instrumen dalam portfolio atau sering disebut strategi waktu pasar (market timing). Rule of
thumb implementasi strategi ini adalah buy low sell high. Strategi market timing yang tepat
membutuhkan pemahaman atas kondisi dan dinamika pasar. Disini, kemampuan untuk
memprediksi variabel-variabel kunci akan menentukan keberhasilan strategi ini.
Informasi investor yang lengkap tentang perilaku dan kinerja manajer investasi, akan
memudahkan penilaian apakah manajer investasi mereka telah melakukan smart-investing atau
speculative investing. Jika ditelusuri, akar teori untuk alokasi aset dan pemilihan sekuritas adalah
sama; kebijakan alokasi merupakan upaya untuk membentuk sebuah frontier yang efisien
(efficient frontier) 8 , sementara pemilihan sekuritas sesungguhnya adalah upaya untuk memilih
portofolio tertentu di-sepanjang frontier yang telah dipilih sebelumnya.
Terdapat satu isu yang seringkali menjadi area kontroversi diantara studi-studi tersebut,
yakni pemilihan dan penentuan tolok ukur ( benchmark ). Patokan ini perlu untuk
membandingkan kinerja investasi dan mengetahui portofolio mana yang memiliki kinerja lebih
baik ditinjau dari besarnya tingkat return dari risiko dibandingkan patokan tersebut (Izakia et
al, 1997). Tolak ukur yang digunakan dalam paper ini menggunakan pembanding yang relevan
dan umum dipakai oleh pihak reksa dana, seperti Tabel 1.
7 Manurung, Adler. H (2007). ≈Reksa Dana Investasiku∆, September, Penerbit Buku Kompas-Jakarta
8 Grafik yang menunjukkan portofolio-portofolio yang memaksimalkan imbal hasil harapan untuk setiap tingkat risiko.
Kinerja Pengelolaan Dana pada Pasar Modal Indonesia 367
Tabel IV.1
Pembanding Kinerja Reksa Dana (Benchmark) 9
Sumber: Izakia Mahdi, Eko P.Pratomo,Jasper J.Meijerink,1997:144, Mengukur Kinerja Reksa Dana, Mengapa Harus Reksa Dana?
cetakan kedua, Jakarta:Glory Offset Press
Pada bagian berikutnya akan diuraikan konstruksi model empiris yang mengintegrasikan
kebijakan alokasi aset, stock picking dan market timing secara bersamaan.
Misalkan dalam suatu kurun periode tertentu t, terdapat M = 3 variasi kejadian yakni
kondisi pasar yang baik, sedang dan buruk. Probabilita suatu masing-masing kejadian untuk
suatu aset i adalah Pij. Tentu saja untuk 2 aset yang berbeda, katakan saham 1 dan saham 2 (i
=1 dan i =2), probabilita untuk masing-masing kejadian sangat mungkin berbeda. Dengan
spesifikasi seperti ini, maka return yang diharapkan dari sebuah investasi i, secara umum dapat
dinyatakan dengan rumus sebagai berikut: (Elton et al,2003:46):
M (IV.I)
Rˆ i = E ( Ri ) = ∑ Pij Rij
j =1
Dalam hal ini Rˆ i = E (Ri ) adalah tingkat return yang diharapkan dari investasi i, Pij
merupakan probabilitas memperoleh return pada investasi i untuk peristiwa j, dan M adalah
banyaknya peristiwa (event) j yang mungkin terjadi. Rumus tersebut hanya dapat dipergunakan
apabila tingkat probabilitas kejadian (probabilitas masing-masing tingkat return) dapat
9 Tolak ukur yang sama juga dikemukakan dalam buku Karvof, Anatoli., (2004). ≈Guide to Investing in Capital Market∆ ,PT. Citra
Aditya Bakri-Bandung. Pratomo, Eko dan Ubaidillah Nugraha (2005). ≈ Reksa Dana Solusi Perencanaan Investasi di Era Modern∆, PT.
Gramedia Pustaka Utama-Jakarta.
368 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008
diperkirakan. Dalam kenyataan umumnya sulit menentukan probabilitas tingkat return, oleh
1
karena itu probabilitas return untuk setiap investasi dianggap sama yaitu: sehingga:
M
M
∑R ij
(IV.2)
j =1
Ri =
M
Mengacu pada setting di atas, model dekomposisi total return yang mampu mengadopsi
kebijakan alokasi aset, stock picking dan market timing dapat diturunkan dari \h Gambar 1.
Model ini dikembangkan dari model dasar yang diajukan oleh Brinson, Hood dan Beebower
(1986) dan kemudian diaplikasikan oleh Blake et.al.(1999). Aplikasi model ini untuk Indonesia
dilakukan pertama kali oleh Isavirti (2008).
PEMILIHAN SEKURITAS
AKTUAL PASIF
Kuadran-4 Kuadran-2
AKTUAL
Return dari
MARKET TIMING
Return
Kebijakan Alokasi dan
Aktual
Market Timing
Kuadran-3 Kuadran-1
PASIF
Return dari
Return dari Kebijakan Alokasi
Kebijakan Alokasi dan (Sesuai dengan
benchmark
Kerangka ini menampilkan kombinasi dari 2 teknik pengelolaan dana, yakni pemilihan
sekuritas dan market timing. Setiap pengelola dana memiliki pilihan apakah secara aktif
mengaplikasikan teknik tersebut (kolom/ baris pertama) atau tidak mengaplikasikannya alias
pasif (kolom/ baris kedua). Jika pengelola dana tidak melakukan aktifitas pemilihan sekuritas
dan market timing, maka return yang dihasilkan semata-mata merefleksikan kebijakan alokasi
aset sesuai dengan benchmark. Keuntungan alokasi aset ini tercermin pada Kuadran √ 1.
Retun aktual yang dihasilkan oleh dana yang dikelola, tergambar pada Kuadran √ 4
(return aktual). Return aktual ini meliputi semua teknik pengelolaan dana. Jika pengelola dana
Kinerja Pengelolaan Dana pada Pasar Modal Indonesia 369
secara aktif melakukan pemilihan sekuritas dan tidak melakukan aktifitas market timing, maka
return yang diperoleh merupakan gabungan antara pemilihan sekuritas dan kebijakan alokasi,
dan tercermin pada Kuadran √ 3. Sebaliknya, ketika pengeola dana secara aktif melakukan
market timing namun tidak melakukan pemilihan sekuritas, maka return yang diperoleh semata-
mata merupakan return dari aktivitas pemilihan sekuritas dan kebijakan alokasi aset. Ini tercermin
pada Kuadran √ 2.
Perlu diperhatikan bahwa selain kebijakan alokasi aset, pemilihan sekuritas dan market
timing, terdapat kemungkinan perbedaan total return di atas dengan aktual return (Kuadran √
4). Selisih ini merupakan faktor lain seperti perubahan harga aset akibat perubahan ekspektasi
masyarakat, dinamika bursa di luar negeri, atau hal-hal sebab lain yang memberikan shock
pada pasar keuangan.
Formulasi kerangka dekomposisi ini dapat diberikan secara eksplisit. Asumsikan pengelola
dana menghadapi K kelas aset. Jika diasumsikan bahwa pengelola dana tidak melakukan aktifitas
pemilihan sekuritas dan market timing, maka satu-satunya yang dilakukan adalah kebijakan
alokasi yang merupakan kebijakan pasif. Kebijakan alokasi ini merupakan kebijakan alokasi
normal yang idealnya merefleksikan alokasi aset dalam kondisi keseimbangan pasar modal
jangka panjang. Alokasi normal untuk setiap kelas aset k pada periode t dinotasikan sebagai
Wnit. Retun yang diperoleh dari kebijakan alokasi aset semata ini, dinotasikan sebagai Rnit.
Dengan asumsi bahwa terdapat K kelas aset, maka total return dari kebijakan alokasi aset pada
K
periode t, adalah sebesar: ∑ Wn pkt .Rn pkt , berkesesuaian dengan Kuadran √ 1 pada Gambar IV.1.
k
Dalam dinamika pasar, retun setiap kelas aset ini dapat berubah-ubah sesuai dengan
tarik menarik permintaan dan penawaran pasar. Return aktual setiap kelas aset k pada periode
t dinotasikan sebagai Rait. Menyikapi hal tersebut, sangat rasional jika pengelola dana
mengantisipasi return aktual yang terjadi sedemikian rupa sehingga komposisi alokasi aktual
dalam portofolio akan berubah menjadi Wait. Dari sini kita memperoleh total aktual return
370 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008
Untuk strategi pemilihan sekuritas, alokasi aset tidak mengalami perubahan sehingga
bobot yang dipergunakan tetap bobot alokasi normal Wnkt. Namun strategi ini merupakan
strategi yang mengantisipasi perubahan return aktual yang terjadi, sehingga net return yang
K
Dengan kerangka ini kita dapat mengkonstruksi model empiris yang mendekomposisikan
total return secara lengkap kedalam komponen-komponennya yakni,
K K K
∑Wa
k =1
pkt Ra pkt = ∑Wn
k =1
pkt Rn pkt + ∑Wn pkt ( Ra pkt − Rn pkt )
k =1
(IV.3)
K K
+ ∑ (Wa pit − Wn pit ) Rn pit + ∑ (Wa pkt − Wn pkt )( Ra pkt − Rn pkt )
k =1 k =1
Wn pkt dan Wa pkt adalah strategi alokasi normal dan aktual untuk kelas aset k periode t
dalam suatu portofolio p, sementara dan menunjukkan return normal dan aktual dan untuk
kelas aset k pada periode t, dalam suatu portofolio p. Suku pertama dari model di atas merupakan
kontribusi kebijakan alokasi aset terhadap total kinerja, suku kedua merupakan kontribusi
pemilihan sekuritas, suku ketiga menunjukkan kontribusi market timing, dan suku keempat
merupakan residu yang diasumsikan sangat kecil.
III. METODOLOGI
III.1. Data
Data yang berhasil dikumpulkan untuk penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber
dari BEJ, Bapepam dan dari pengelola dana. Variabel yang terlibat adalah (i) Net Asset Value
(NAV/unit)10 , (ii) return harian saham yang terdaftar di BEJ, (iii) tingkat suku bunga SBI (1-
10 Data reinvested Dividend/Cash/Capital Gain Distribution tidak berhasil dikumpulkan karena tidak dipublikasikan.
Kinerja Pengelolaan Dana pada Pasar Modal Indonesia 371
Bulan) yang merupakan proxy dari Risk-Free Rate, (iv) rencana alokasi aset masing-masing reksa
dana saham yang terdapat dalam prospektusnya, (v) realisasi alokasi aset masing-masing reksa
dana saham yang didapatkan dari Bapepam, (vi) tolok ukur (benchmark) return untuk masing-
masing kelas aset yakni Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) penutupan untuk kelas aset
saham, rata-rata suku bunga deposito 3 bulan bank pemerintah dan swasta untuk kelas aset
hutang, dan suku bunga SBI 1 bulan untuk kelas aset deposito.
Secara umum, perkembangan return dan alokasi dana oleh 14 pengelola reksadana saham
yang diobservasi, tampak pada gambar berikut:
Dalam paper ini, penulis mengaplikasikan model data panel dengan teknik estimasi period-
specific. Teknik estimasi ini memungkinkan untuk menganalisa kontribusi ketiga strategi
pengelola dana dari waktu ke waktu yang terefleksi pada arah, besaran dan signifikansi dari
parameter βit. Secara umum, estimasi yang melibatkan series dan cross section dapat
diklassfikasikan berdasarkan variasi parameternya.
Model yang paling sederhana adalah ketika seluruh koefisien konstan lintas waktu dan
lintas individu. Model dengan parameter yang konstan ini akan mengarah pada (i) model variabel
dummy atau model kovarian dan (ii) seemingly unrelated regression (SUR). Model dengan
koefisien yang bersifat random akan mengarah pada model error components dan Swamy
random coefficient model.
Model panel period-specific ini tergolong dalam varian model Swamy random coefficient
372 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008
model (Swamy dan Mehta, 1975, 1977), dalam hal sifat random parameter lintas waktu.
Spesifikasi yang paling umum untuk model panel adalah yang memungkinkan parameter
bervariasi lintas individu dan waktu,
K
y it = ∑ β k .it x k .it + ϑit (IV.4)
k =1
Vektor yit merupakan serangkaian variabel endogen berukuran (NxT), xk.it adalah vektor variabel
penjelas berukuran (NxTxK) untuk individu i ∈ N pada periode t ∈ T dan k ∈ K jumlah variabel
penjelas. Jika diasumsikan tidak ada perbedaan parameter lintas individu (cross section invariant)
maka modelnya menjadi,
K
y it = ∑ ( β k + λ kt ) x k .it + eit (IV.5)
k =1
Sebagaimana umumnya permasalahan model time series, model panel period specific ini
juga berpotensi mengalami kasus otokorelasi dan kasus heteroscedasticity. Untuk model standar
y = xβ + ε , dengan kovarian E[ε , ε ' ] = σ t2 .Φ , kasus ini muncul ketika matriks kovarian residual
2
Φ , tidak diagonal dengan elemen diagonal yang merupakan fungsi dari regressor, σ t = f (x k .it ) .
Mengatasi kemungkinan ini, maka struktur kovarian parameter random diset secara lebih
bebas yakni;
∆ ; ∀ t = s (IV.6)
E[λ t , λ s ] =
0 ;∀ t ≠ s
∆ ; ∀ i = j , t = s
E[eit , e js ] = ii
0 ; otherwise
Setting ini menunjukkan bahwa vektor residual persamaan yang terdiri dari K-buah residul,
eit=( e1it , e2it , ..., eKit) selain memiliki rata-rata nol E(e
e)= 0, juga tidak direstriksi untuk diagonal.
Keleluasaan yang sama juga diaplikasikan pada efek waktu yang random terhadap slope
parameter dengan struktur kovarian E[λλ ' ] = ∆ , yang juga tidak harus diagonal. Dalan notasi
matriks, model ini dapat diberikan sebagai:
~ ~ (IV.7)
yi = Xi β + Z i λ +e i
‘ ‘ ‘ ‘
Dimensi dari yi dan Xi masing-masing (T x 1) dan (T x K). Matriksλ = ( λ 1 , λ 2 , ...., λ T ) merupakan
vektor dengan T buah elemen yang mana elemennya sendiri juga merupakan matriks
Kinerja Pengelolaan Dana pada Pasar Modal Indonesia 373
λ t = ( λ 1t , λ 2t , ...., λ Kt ) dengan ukuran (T x K) sehingga secara total ukuran λ» adalah (TK x T).
Residu dari persamaan et = (eit , eit ,..., eit ) juga merupakan matriks dengan ukuran (T x 1).
~ '
Matriks Z i merupakan matirks diagonal dengan elemen x it = ( xi1 , x i2 , xi 3 ,...., xiT ) yang
juga merupakan matriks dengan ukuran (N x T). Ukuran total matriks ~
Z i adalah (T x TK)
xi'1
(IV.8)
xi' 2
~
Zi = .
.
xiT'
~ ~
Jika diperhitungkan N individu, maka (4 dapat dituliskan kembali sebagai y = X β + Z λ + e,
~
dimana y, X, dan Z i masing-masing berukuran (NT), (NT x K), dan (NT x TK).
Sejauh ini, kita mengasumsikan bahwa hanya time effect yang ada dalam model. Dengan
setting seperti ini, maka matriks kovarian dari seluruh komponen random model diberikan
sebagai:
~ ~ ~ ~
I
O = E [( Z λ + e )( Z λ + e )' = E [ Z ( λλ ' ) Z '+ ee ' ] (IV.9)
= Z ( I T ⊗ ∆ ) Z ' + σ 2 I NT
e
Bermodalkan ini maka dengan mengaplikasikan teknik estimated generalized least square
(EGLS), estimator yang tidak bias dan efisien dapat diperoleh yakni:βˆ = ( X' O
I −1 X) −1 X' OI −1 y .
Berdasarkan model teoritis yang diuraikan sebelumnya model empiris yang diestimasi
adalah:
dimana RETit, ALit, dan SSit beruturut-turut adalah return investasi yang dihasilkan, keputusan
alokasi, pemilihan sekuritas, dan market timing yang dilakukan oleh pengelola dana untuk
reksadana i pada periode t. Variabel Otherit menangkap faktor lain yang mempengaruhi return
diluar 3 kebijakan dan strategi pengelolaan dana. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya,
parameter random λ1 t , λ2 t , λ3t dan λ4 t yang menunjukkan time effect dari setiap kebijakan
pengelolaan dana yang dilakukan oleh fund manajer, dapat kita peroleh dengan estimasi
~
Estimated Generalized Least Square (EGLS). Parameter EGLS (β̂) ditaksir dari estimator GLS (β)
Iˆ dari O .
dengan terlebih dahulu menaksir matriks kovarian O I
Berdasarkan arah, besaran dan signifikansi dari parameter ini, kita dapat mengukur tingkat
efisiensi pengelolaan dana pada pasar modal di Indonesia. Dalam taraf aplikasi, mengacu pada
model panel period specific yang dijelaskan sebelumya, maka estimasi model empiris ini dilakuan
dengan metode kovarian koefisien (coefficient covariant method) Period SUR yang tergolong
dalam pendekatan Panel Corrected Standard Error (PCSE), (Beck dan Katz, 1995).
Kovarian koefisien ini robust terhadap perbedaan varian lintas periode meski tidak robust
ketika terdapat korelasi contemporenous antar lintas residu persamaan T. Sesungguhnya terdapat
asumsi yang lebih tepat dalam menspesifiksi residu seperti mengasumsikan proses residu berjalan
mengikuti first order autoregressive namun dalam aplikasi empiris, hal ini dapat menurunkan
tingkat akurasi parameter yang diestimasi sehingga tidak penulis ikuti (Doran dan Griffiths,
1983 dalam Judge et.al., 1985).
Pengujian atas normalitas error tidak dilakukan sebab jumlah series data yang
dipergunakan sebanyak 60 periode dengan 14 cross section. Jumlah observasi ini 2 kali lebih
besar dari yang umumnya dipersyaratkan yakni 30 periode. Uji multikolinearitas juga tidak
dilakukan sebab data merupakan data panel yang merupakan salah satu cara mengatasi kasus
multikolinearitas selain transformasi (Gujarati, 1986). Selain itu tanda-tanda adanya kasus
multikolinearitas yang ditandai dengan nilai R2 yang besar dan t-statistik yang umumnya tidak
signifikan, tidak ditemukan pada setiap hasil estimasi model.
Kinerja Pengelolaan Dana pada Pasar Modal Indonesia 375
Tabel IV.2
Kontribusi Strategi Pengelolaan Dana terhadap Return Bulanan Reksadana
Periode Kebijakan Alokasi Alokasi Aset Taktis Stock Picking Lainnya
Feb-02 0,84 4,76 2,06 * 0,79
Mar-02 1,95 * -1,74 * 2,06 * -1,85 **
Apr-02 1,80 * -1,32 * 1,80 * -0,90 **
May-02 2,43 * -2,76 * 1,72 * -1,10 ***
Jun-02 1,68 * -0,64 * 1,60 * 0,08
Jul-02 1,94 * 0,15 2,13 * 0,93 **
Aug-02 1,76 * -0,23 1,84 * 0,40
Sep-02 1,76 * -1,52 ** 1,77 * -0,18
Oct-02 1,81 * -1,12 * 1,81 * -0,35
Nov-02 1,82 * -0,86 * 1,83 * 0,13
Dec-02 1,69 * -0,73 * 1,60 * -0,10
Jan-03 1,69 * -0,83 * 1,56 * -0,38 **
Feb-03 1,74 * -1,00 * 1,72 * 0,02
Mar-03 -7,04 15,25 1,80 * -1,52 *
Apr-03 1,82 * -1,48 * 1,78 * -1,22 *
May-03 1,68 * -0,83 * 1,55 * -0,27 *
Jun-03 1,70 * -0,88 * 1,65 * -0,72 *
Jul-03 1,97 * -2,78 * 1,83 * -1,58 *
Aug-03 1,64 * -0,55 1,55 * -0,09
Sep-03 1,95 * -1,43 * 2,24 * -0,46
Oct-03 1,79 * -1,27 * 1,72 * -0,75 **
Nov-03 1,83 * -1,35 * 1,78 * -0,99 *
Dec-03 1,75 * -1,06 * 1,66 * -0,62 *
Jan-04 1,74 * -1,04 * 1,61 * -0,47 *
Feb-04 1,80 * -1,22 * 1,84 * -1,25 *
Mar-04 1,85 * -1,44 * 1,67 * -0,86 *
Apr-04 1,73 * -0,96 * 1,65 * 0,18
May-04 1,67 * -0,56 * 1,58 * 0,23 *
Jun-04 2,37 * -1,00 1,83 * -1,26 *
Jul-04 1,75 * -1,18 * 1,69 * -0,30 **
Aug-04 3,17 * -2,16 * 1,61 * -0,61 *
Sep-04 1,80 * -1,38 * 1,75 * -1,19 *
Oct-04 1,78 * -1,25 * 1,74 * -0,35
Nov-04 1,74 * -1,02 * 1,77 * -1,05 *
Dec-04 1,35 * 0,72 1,71 * -0,91 *
Jan-05 1,96 * -3,08 * 1,62 * -0,34 *
Feb-05 1,83 * -2,13 * 1,70 * -0,62 *
Mar-05 1,89 * -0,56 2,04 * -2,21
Apr-05 1,68 * -0,68 ** 1,58 * 0,09
May-05 1,68 * -0,86 * 1,43 * 0,09
Jun-05 1,71 * -0,91 * 1,64 * -0,67 *
Jul-05 1,75 * -1,16 * 1,68 * -0,82 *
Aug-05 1,80 * -1,31 * 1,65 * -0,74 *
Sep-05 1,99 * -0,98 1,87 * 1,39
Oct-05 1,96 * -1,94 * 2,01 * -2,15 *
Nov-05 1,78 * -1,23 * 1,83 * -1,48 *
Dec-05 1,92 * -1,47 * 2,07 * -0,70 ***
Jan-06 1,81 * -1,38 * 1,87 * -1,19 *
Feb-06 3,88 *** -2,35 * 1,79 * -1,47 *
Mar-06 1,72 * -0,97 * 1,73 * -1,04 *
Apr-06 1,79 * -1,16 * 1,80 * -0,48
May-06 1,73 * -0,99 * 1,73 * -1,02 *
Jun-06 1,88 * -1,63 * 1,82 * -1,17 **
Jul-06 1,75 * -1,16 * 1,57 * -0,29
Aug-06 1,71 * -0,95 * 1,70 * -0,94 *
Sep-06 1,74 * -0,95 *** 1,73 * -0,62
Oct-06 1,71 * -1,14 ** 1,59 * -0,55
Nov-06 1,90 * -1,49 ** 1,87 * -1,13
Dec-06 1,63 * 1,05 1,86 * 2,34 ***
*) Signifikan pada α = 1%, , **) pada 5% dan ***) pada 10%.
Estimasi model dekomposisi period specific. Variable dependent : Total Return, Method: Pooled EGLS (Period weights).
R-squared = 0.999905, Adjusted R-squared = 0.999867, S.E. of regression = 0.007401, DW stat = 2.004910.
376 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008
Hasil estimasi divisualisasikan pada Gambar IV.2 dan Tabel IV.2. Secara umum model
empiris tergolong baik dengan Adjusted R2 = 0.999, standar error = 0.007401, dan statistik
Durbin Watson = 2.0049 yang menunjukkan model terbebas dari serial korelasi.
Sepanjang periode observasi, hasil estimasi menunjukkan signifikansi peran positif strategi
alokasi aset dan pemilihan sekuritas terhadap kinerja reksa dana di Indonesia. Untuk tahun
2002, kontribusi strategi alokasi aset terbesar terjadi pada bulan Mei 2002 dengan koefisien
2,43. Besaran koefisien ini menunjukkan bahwa kebijakan alokasi pasif ini mampu memberikan
return yang senantiasa lebih besar dari return pasar, dan untuk bulan Mei 2002 ini, kebijakan
alokasi pasif tersebut memberikan tambahan return 2,43% per bulan diatas return pasar. Pada
bulan Mei 2002 ini NAB mencapai angka tertinggi sepanjang tahun dengan rata-rata 1488,2.
Setelah itu, NAB mengalami penurunan hingga 1211,23 pada akhir tahun.
-5
-10
M02 M05 M08 M11 M02 M05 M08 M11 M02 M05 M08 M11 M02 M05 M08 M11 M02 M05 M08 M11
2002 2003 2004 2005 2006
Gambar IV.2
Perkembangan Rata-rata Kemampuan manajer
investasi dalam Alokasi Aset, Pemilihan Sekuritas
dan Market Timing
Hasil estimasi panel dengan alokasi sesuai prospektus sebagai proksi bobot alokasi normal.
Secara umum, perkembangan kinerja reksa dana saham di Indonesia sampai tahun 2002
relatif buruk. Rata-rata tingkat return masing-masing reksa dana saham pada tahun ini bernilai
negatif kecuali 3 reksa dana Si Dana Saham, Nikko Saham Nusantara dan Arjuna dari 14
reksadana yang diobservasi. Salah satu penyebabnya adalah lebih banyak investor yang tertarik
untuk menaruh dana-nya pada jenis reksa dana pendapatan tetap.
Ketertarikan penempatan dana pada reksa dana pendapatan tetap ini didorong oleh
sekuritisasi obligasi rekap (securitization of recap bond) yakni obligasi negara yang dipak dan
Kinerja Pengelolaan Dana pada Pasar Modal Indonesia 377
dijual sebagai reksa dana. Hal ini juga ditunjang oleh tren penurunan suku bunga SBI. Kelesuan
pasar saham secara umum tercermin dari peningkatan total nilai perdagangan saham di BEJ
yang sangat kecil, Rp 7.063 miliar, menyusul penurunan frekuensi perdagangan per November
2002 hanya 1.763 kali sedangkan tahun sebelumnya 1.814 kali (Bapepam, 2002).
Tabel IV.3
NAB dan Rata-rata Alokasi Kelas Aset, Tahun 2002
Nilai Aktiva Kelas Aset Kelas Aset Kelas Aset
Periode
Bersih Uang Hutang Ekuitas
Januari 1.255,75 18,7% 1,9% 79,4%
Februari 1.257,96 25,4% 7,8% 66,8%
Maret 1.312,51 16,4% 2,4% 81,2%
April 1.474,64 16,8% 3,1% 80,1%
Mei 1.488,22 13,4% 2,4% 84,3%
Juni 1.424,98 18,7% 1,9% 79,4%
Juli 1.337,11 18,3% 18,9% 62,8%
Agustus 1.298,05 31,2% 24,5% 44,3%
September 1.198,86 16,4% 19,7% 63,9%
Oktober 1.077,55 22,2% 1,1% 76,7%
November 1.127,50 21,4% 18,4% 60,2%
Desember 1.211,23 19,4% 1,0% 79,6%
Sumber: Bapepam (2007), diolah.
Menghadapi hal ini, reaksi utama dari para pengelola dana adalah melakukan realokasi
dana sebagaimana diilustrasikan pada Gambar IV.3. Terdapat 2 titik waktu yakni bulan September
dan November 2002 yang mana alokasi atas ekuitas mengalami titik terendah. Upaya realokasi
jangka pendek atau tactical asset allocation yang disesuikan dengan kondisi pasar ini tidak
membantu bahkan memberikan kontribusi negatif terhadap return. Berdasaran hasil estimasi
panel period-specific, koefisien alokasi aset taktis adalah sebesar minus 1,52 (September 2002)
dan minus 0,86 (November 2002). Bahkan pada bulan Mei 2002 ketika NAB mengalami titik
tertinggi dan kebijakan alokasi pasif memberikan marginal return terbesar (2,43% per bulan),
kebijakan alokasi aset taktis (market timing) justru memberikan pengurangan return terbesar,
minus 2,76% per bulan (signifikan pada). Satu-satunya kontribusi kebijakan market timing
yang positif hanya terjadi pada bulan Juni 2002 dengan koefisien yang sangat kecil (0,15),
itupun secara statistik tidak signifikan. Kegagalan alokasi aktif para menajer investasi reksadana
saham ini menunjukkan bahwa kebijakan alokasi pasif yang tertuang dalam prospektus masih
merupakan kebijakan alokasi yang superior dan memberikan return lebih dibandingkan return
benchmark.
Berbeda dengan upaya realokasi dana, upaya pemilihan sekuritas (stock picking) selama
tahun 2002 ini mampu memberikan kontribusi positif terhadap total return, terutama pada
378 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008
5000 .20
4000 .15
3000 .10
2000 .05
1000 .00
2002 2003 2004 2005 2006 2002 2003 2004 2005 2006
.30 0.9
.25 0.8
.20 0.7
.15 0.6
.10 0.5
.05 0.4
2002 2003 2004 2005 2006 2002 2003 2004 2005 2006
Gambar IV.3
Perkembangan NAB dan Kebijakan Alokasi Aktual
semester pertama. Khususnya pada bulan Juli 2002 para pengelola reksadana mampu memilih
efek yang memberikan return lebih diatas return rata-rata pasar. Hasil estimasi juga menunjukkan
bahwa kemampuan pemilihan sekuritas ini senantiasa positif sepanjang periode observasi.
Pada periode 2003, meski NAB reksadana saham secara rata-rata masih lebih rendah
dari tahun 2002, reksadana saham mulai kembali mengalami peningkatan. Alokasi dana untuk
ekuitas naik 11% menjadi 91% yang merupakan pengalihan dari kelas aset uang. Salah satu
faktor pedorong utama menggeliatnya pasar modal pada tahun ini adalah kecenderungan
inflasi yang semakin menurun dengan volatilitas yang rendah. Tercatat inflasi sebesar 8,76%
(y.o.y) pada awal tahun dan terus menurun hingga 5,09% pada akhir tahun 2003. Penurunan
inflasi domestik ini berkebalikan dengan laju inflasi dunia. Pada kelompok negara maju, laju
inflasi meningkat menjadi menjadi 1,9% dari 1,5% pada tahun 2002
Pada sisi lain, nilai tukar Rupiah mengalami apresiasi terhadap Dollar dan stabil pada
level rata-rata Rp8.577,13. Faktor ini mendorong suku bunga terus menurun sepanjang tahun
Kinerja Pengelolaan Dana pada Pasar Modal Indonesia 379
Tabel IV.4
NAB dan Rata-rata Alokasi atas Kelas Aset, Tahun 2003
Nilai Aktiva Kelas Aset Kelas Aset Kelas Aset
Periode
Bersih Uang Hutang Ekuitas
Januari 1117,83 8% 1% 91%
Februari 1149,30 19% 1% 80%
Maret 1139,86 16% 2% 81%
April 1287,80 17% 3% 80%
Mei 1406,07 13% 2% 84%
Juni 1440,31 8% 1% 91%
Juli 1449,04 13% 2% 84%
Agustus 1477,72 17% 3% 80%
September 1617,44 20% 4% 75%
Oktober 1699,80 22% 1% 77%
November 1683,13 19% 1% 80%
Desember 1856,15 17% 3% 80%
Sumber : Bapepam, diolah.
seiring menurunnya tingkat suku bunga SBI 1 bulan sebesar 462 bps dibandingkan tahun
sebelumnya, yang diantisipasi oleh pelaku bursa dengan pengalokasian dana dari pasar uang
ke pasar modal.
Meski tahun 2003 ini dapat dikategorikan sebagai tahun yang stabil, reaksi dari pengelola
reksa dana saham bervariasi dari bulan ke bulan sepanjang tahun ini, sebagaimana terlihat
dalam Tabel IV.4. Berdasarkan hasil estimasi, kebijakan alokasi taktis yang dilakukan oleh para
pengelola dana yang disesuaikan dengan kondisi pasar secara statistik justru memberikan
tambahan negatif bagi return. Kesalahan terbesar dalam hal pembobotan kelas aset terjadi
pada bulan Juli 2003 yang memberikan marginal return negatif sebesar minus 2,78%. Ini
berarti setiap pergerakan alokasi sebesar 1% yang menyimpang dari rencana alokasi awal,
secara rata-rata menurunkan return rekasadana saham sebesar minus 2,78% per bulan.
Dalam hal strategi pememilihan sekuritas, para pengelola dana berhasil memilih sekuritas
yang memberikan return diatas rata-rata return pasar sepanjang tahun 2003. Pada bulan
September 2003, kemampuan stock picking dalam memberikan marginal return mencapai
2,4% yang tertinggi selang periode 2002- 2006.
Maret 2003 merupakan pengecualian. Pada bulan ini, koefisien marginal untuk pemilihan
sekuritas sebesar 1,8%, yang menunjukkan performa baik para manajer investasi dalam memilih
sekuritas yang menguntungkan. Pada sisi lain, kebijakan alokasi pasif yang direncanakan sesuai
dengan prospektus, justru memberikan return yang jauh dibawah return benchmark. Hal ini
ditunjukkan dengan koefisien marginal return sebesar minus 7,04%. Strategi alokasi taktis
yang merupakan keputusan realokasi dana lintas kelas aset oleh manajer investasi, justru
membuahkan tambahan return sebesar 15,25% per bulan.
380 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008
Fenomena bulan Maret 2003 ini perlu digarisbawahi; yakni secara statistik 2 strategi
terakhir (alokasi pasif dan alokasi taktis) tidak signifikan. Ini dapat diinterpretasikan bahwa
kebijakan alokasi ini tidak berlaku umum untuk seluruh pengelola dana yang diobservasi dalam
penelitian ini. Pada bulan Maret 2003 ini, variasi return reksa dana sangat tinggi (1,62), atau
28 kali lebih tinggi dibanding rata-rata variasi 11 bulan lainnya pada tahun yang sama.
Pemicu fenomena bursa saham pada bulan Maret 2003 ini adalah mencuatnya
kekhawatiran akan percahnya perang di Irak, menyusul berakhirnya masa tenggak waktu yang
diberikan Amerika kepada Irak untuk melucuti senjatanya. Dalam skala global, antisipasi telah
dilakukan oleh berbagai pihak antara lain Jepang dan Amerika yang membuat kesepakatan
untuk mengambil langkah bersama ketika perang mengancam bursa (Fukuda, konferensi pers
19 Maret 2003) sementara Taiwan menurunkan band pergerakan harga saham yang tadinya +
7% dalam sehari dan bahkan membuka kemungkinan untuk menghentikan transaksi bursa
sama sekali. Selain itu Taiwan juga berencana mengaktifkan Dana Stabilitas Nasional (NSF). Di
Korea Selatan, otoritas moneter menegaskan langkah intervensi dalam bentuk tax break dan
injeksi likuiditas manakala diperlukan untuk meredam gejolak bursa.
Ketika pasar sedang menunggu, reaksi dari 14 pengelola dana yang diobservasi ini
beragam sehingga memberikan hasil yang sangat variatif, lihat Lampiran 1. Penelusuran individual
menunjukkan reksa dana Nikko, BIG Nusantara, Master Dinamis, Mawar dan Bahana mencatat
return yang fantastis pada Maret 2003 ini yakni 459%, 141%, 88% , 66% dan 27,88%. Pada
sisi lain, reksa dana yang terpuruk adalah Si Dana Saham, Panin Dana Maksima, Phinisi dan
Schroder masing-masing dengan return minus 66%, minus 47%, minus 40% dan minus
37%. Hal ini dapat diilustrasikan pada perkembangan NAB dari 14 reksadana saham yang
diobservasi pada Gambar IV.4.
6000
ABN AMRO Bahana D.P Si Dana Nikko
Cerdas BIG Nus. Schroder Arjuna
5000 Sentosa Panin D.M BNI Berk.
Master Din. Phinisi Mawar
4000
3000
2000
1000
0
M01 M04 M07 M10
2003
Gambar IV.4
Perkembangan NAB atas 14 Reksa
Dana Saham selama tahun 2003
Kinerja Pengelolaan Dana pada Pasar Modal Indonesia 381
Tahun 2004 merupakan tahap perkembangan lebih lanjut reksa dana di Indonesia. Dengan
situasi perekonomian yang relatif stabil, rata-rata return reksa dana saham di Indonesia tercatat
34% relatif lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata return di Asia seperti di Filipina, 27,1%
(Lipper Company). Lonjakan NAB untuk reksa dana secara umum di Indonesia sangat signifikan
yakni Rp104,04 trilyun dibandingkan dengan tahun 2003 sebesar Rp69,47 trilyun. Meskipun
demikian 14 reksa dana saham yang diobservasi dalam penelitian ini hanya menunjukkan tingkat
return rata-rata 3,7%. Rata-rata return tertinggi sepanjang tahun 2004 ini dibukukan oleh BIG
Nusantara sebesar 21,6% sementara yang terburuk adalah Danareksa Mawar dengan return
rata-rata minus 1,6%.
Variasi alokasi aset taktis lintas 14 reksa dana yang diobservasi cukup besar. Kecuali untuk
beberapa pengeloa dana, secara umum hasil estimasi menunjukkan strategi alokasi aset taktis tidak
mampu meningkatkan return, bahkan memberikan marginal return yang negatif yang menunjukkan
pembobotan kelas aset yang salah arah. Pada bulan Agustus 2004, kesalahan pembobotan ini
memberikan penurunan marginal atas return sebesar minus 2,16%. Pada saat yang bersamaan,
kebijakan alokasi pasif secara signifikan memberikan tambahan return sebesar 3,17%.
Tahun 2005 ditandai dengan pengetatan likuiditas otoritas moneter melalui peningkatan
suku bunga SBI dan mengakibatkan crash pada pasar modal. Kondisi ini kemudian mendorong
sebagian pemilik reksa dana melakukan redemption sehingga mengakibatkan aset industri
reksa dana diawal tahun sebesar Rp 108,223 triliun anjlok 74.49% menjadi Rp 27,589 diakhir
tahun 2005. Dampak dari kebijakan ini mengalami puncaknya pada bulan Maret dengan
beralihnya alokasi dana ke pasar uang menjadi 22% dari 13% pada awal tahun. Reaksi individual
dalam bentuk kebijakan alokasi taktis dapat dilihat dalam Lampiran IV.1.
Pada akhir Agustus 2005, harga minyak dunia merangkak naik dan mencapai level tertinggi
pada US$ 71 per barel. Ini memicu kenaikan harga BBM yang pada akhirnya memicu inflasi.
Menghadapi shock eksternal ini, pengelola dana merealokasi dana dalam portofolio mereka,
dan berupaya memilih sekuritas yang berpotensi memberikan keuntungan lebih besar, dalam
hal ini pasar uang dana aset riil. Saat ini harga minyak mentah per Mei 2008 telah menyentuh
US$143 per barel, atau 200% dibandingkan Agustus 2005. Meski tidak masuk dalam periode
observasi, namun pola perilaku investor menghadapi kenaikan harga minyak mentah yang
memicu inflasi, relatif sama.
Perbandingan inflasi yang kontras dapat terlihat pada angka inflasi 1.42% per Januari
2005, dan di akhir Oktober mencapai 15.65% (Bank Indonesia, 2005). Meski inflasi berdampak
secara menyeluruh terhadap semua produk pasar uang dan pasar modal, namun reaksi dari
jenis produk tersebut terhadap perubahan inflasi berbeda-beda, tergantung pada tingkat
elastisitas pasar atas inflasi. Peningkatan inflasi ini menurunkan tingkat suku bunga riil yang
382 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008
merupakan biaya dalam memegang uang. Dari sudut pandang investor, ini merupakan
penurunan daya tarik produk pasar uang, dan pada periode ini rata-rata tingkat realokasi untuk
pasar uang menurunkan sebesar 3%.
Bagi produk pasar modal terutama obligasi, inflasi yang terjadi selang tahun 2005 ini
akan meningkatkan penawaran obligasi akibat menurunnya biaya relatif pendanaan perusahaan
melalui penerbitan obligasi. Pada saat yang bersamaan inflasi secara relatif menurunkan return
obligasi dibandingkan dengan aset riil, dari sudut pandang investor. Hal ini memicu penurunan
permintaan obligasi.
Hasil estimasi menunjukkan bahwa upaya realokasi dana yang dilakukan oleh para manajer
investor pada tahun 2005 ini, tidak berhasil. Berdasarkan hasil estimasi hanya upaya pemilihan
sekuritas yang mampu memberikan marginal return yang positif. Pada akhir 2005, strategi
pemilihan sekuritas mampu memberikan marginal return sebesar 2,97%.
Pada sisi lain, strategi alokasi aset taktis yang disesuaikan dengan kondisi pasar (market
timing) justru memberikan marginal return yang negatif. Secara rata-rata, kesalahan manajer
investasi dalam hal strategi market timing yang terbesar, terjadi pada Januari 2005, Juli 2003,
Mei 2002 dan Februari 2006, masing-masing dengan koefisien sebesar minus 3.0773, minus
2.7850, minus 2.7636 dan minus 2.3539. Ini menunjukkan stretegi pembobotan kelas aset
oleh manajer investasi pada bulan-bulan ini, salah dalam arah pengalokasian.
Mengingat alokasi aset memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kinerja
reksa dana, maka sebaiknya Bapepam melakukan monitoring yang intensif terhadap pelaksanaan
kebijakan alokasi aset yang telah ditetapkan oleh masing-masing reksa dana sebagaimana
tercantum di dalam prospektusnya. Hal ini diharapkan dapat memicu para manajer investasi
untuk melakukan kebijakan investasi yang konsisten sehingga para investor merasa terlindungi.
Hasil penelitian ini menyarankan perlunya penyediaan informasi yang memadai untuk
investor mengenai risiko oleh pengelola aset (asset management). Memang setelah crash tahun
Kinerja Pengelolaan Dana pada Pasar Modal Indonesia 383
2005 prospektus yang terbit telah mencantumkan risiko tetapi risiko yang tercantum hanya
informasi umum yang berkaitan dengan pengelolaan investasi. Saran ini didasarkan pada
identifikasi kuantitatif atas dinamika return dan risiko yang cukup bervariasi lintas reksa dana
yang menunjukkan tingkat pengambilan risiko yang bervariasi lintas pengelola.
Negatifnya kontribusi strategi market timing yang ditunjukkan dalam penelitian ini, secara
eksplisit memberikan saran kepada para pengelola dana untuk memperpanjang horizon waktu
yang dipertimbangkan dalam optimalisasi kinerja pengelolaan dana mereka. Dengan kata lain,
penulis menyarankan agar para pengelola dana tidak terlalu bereaksi atas volatilitas pasar jangka
pendek.
Sebaliknya, kontribusi positif dari strategi security selection secara eksplisit memberikan
saran agar para pengelola lebih mencermati kondisi fundamental dari para perusahaan yang
me-listing sahamnya pada bursa. Ini menggiring pada saran lebih lanjut agar dilakukan
penyempurnaan informasi tentang kondisi fundamental perusahaan baik oleh pengelola dana
maupuan oleh lembaga yang memiliki otoritas atas pasar modal termasuk Bapepam dan
pengelola bursa. Informasi ini juga melingkupi informasi tentang fundametal makro
perekonomian seperti ekonomi dan politik, peraturan, nilai tukar, risiko likuiditas.
Untuk penelitian lebih lanjut, paper ini perlu dikembangkan dalam bentuk aplikasi teknik
estimasi yang memiliki selain kelebihan teknik estimasi panel, juga berkemampuan untuk
mengatasi masalah-masalah yang sering terjadi pada data runtun waktu seperti masalah serial
korelasi. Salah satu contoh teknik seperti ini adalah panel GARCH. Hal ini penting untuk
mempertajam analisis terhadap reksa dana yang ada di Indonesia.
Mengingat keterbatasan data sebagaimana yang penulis alami, maka perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut dengan cakupan data yang lebih baik. Baik dalam hal jumlah jenis reksa
dana, dan juga dalam hal panjang series serta frekuensi yang lebih tinggi misalnya harian.
Penelitian ini telah berhasil mendekomposisikan dan mengatribusikan total return kedalam
3 komponennya; alokasi aset, pemilihan sekuritas dan waktu pasar. Namun demikian, penelitian
ini tidak secara khusus menguraikan tentang penyebab dinamika dan variasi dari 3 komponen
tersebut sepanjang waktu. Ini juga membuka ruang penelitian lebih lanjut yang turut
memperhitungkan faktor-faktor perilaku, persepsi dan interprestasi terhadap kondisi pasar,
serta variabel kebijakan.
384 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008
Daftar Pustaka
1,0 1,0
0,8 0,8
0,6 0,6
0,4 0,4
0,2 0,2
0,0 0,0
2002 2003 2004 2005 2006 2002 2003 2004 2005 2006
Eku_1Aasahe Ht_1Aasahe Eku_1Uparje Ht_1Uparje
Uang_1Aasahe Ret_1Aasahe Uang_1Uparje Ret_1Uparje
1,0 4
0,5
2
1
0,0
0
2002 2003 2004 2005 2006 2002 2003 2004 2005 2006
Ret_1Dxprie Uang_1Dxprie Ret_1Epnuse Uang_1Epnuse
Eku_1Dxprie Ht_1Dxprie Eku_1Epnuse Ht_1Epnuse
1,2 1.0
0.8
0,8
0.6
0,4
0.4
0.2
0,0
0.0
-0,4
-0.2
1.0 5
0.5 3
0.0 1
1.6 2,5
1.2 2,0
1,5
0.8
1,0
0.4
0,5
0.0
0,0
-0.4
-0,5
-0.8 PANIN DANA MAKSIMA -1,0
2002 2003 2004 2005 2006 2002 2003 2004 2005 2006
Ret_1Gr Make Uang_1Gr Make Ret_1Hzphse Uang_1Hzphse
Eku_1Gr Make Ht_1Gr Make Eku_1Hzphse Ht_1Hzphse
1.2 1.0
0.8
0.8
0.6
0.4 0.4
0.2
0.0
0.0
DANA SENTOSA RENCANA CERDAS
-0.4 -0.2
2002 2003 2004 2005 2006 2002 2003 2004 2005 2006
Ret_1Bs Sene Uang_1Bs Sene Ret_1Axcere Uang_1Axcere
Eku_1Bs Sene Ht_1Bs Sene Eku_1Axcere Ht_1Axcere
1.0 2.4
0.8 2.0
1.6
0.6
1.2
0.4
0.8
0.2
0.4
0.0
0.0
-0.2 -0.4
SCHRODER SI DANA SAHAM
-0.4 -0.8
2002 2003 2004 2005 2006 2002 2003 2004 2005 2006
Ret_1Kxplue Uang_1Kxplue Ret_1In Sahe Uang_1In sahe
Eku_1Kxplue Ht_1Kxplue Eku_1In Sahe Ht_1In Sahe
16
16
14
12 12
10
8
8
4 6
2002 2003 2004 2005 2006 2002 2003 2004 2005 2006
16
12
0
2002 2003 2004 2005 2006
Harga Minyak Mentah (US$ per Barrel) Kurs Rata-rata Rupiah terhadap US$
80 10400
70 10000
60
9600
50
9200
40
8800
30
20 8400
10 8000
2002 2003 2004 2005 2006 2002 2003 2004 2005 2006
1. Naskah harus merupakan karya asli penulis (perorangan, kelompok atau institusi) yang tidak
melanggar hak cipta. Naskah yang dikirimkan, belum pernah diterbitkan dan tidak sedang
dikirimkan ke penerbit lain pada waktu yang bersamaan. Hak cipta atas naskah yang diterima,
TETAP menjadi hak penulis.
2. Setiap naskah yang disetujui untuk diterbitkan, akan mendapatkan kompensasi finansial
sebesar Rp 1.000.000,- s.d. Rp 3.000.000,-.
3. Naskah dapat dikirimkan dalam bentuk softcopy (file). Sangat disarankan untuk mengirimkan
softcopy anda ke:
bemp_bi@yahoo.com
Jika tidak memungkinkan, file tersebut dapat disimpan dalam disket atau CD dan dikirimkan
melalui pos ke alamat redaksi berikut:
4. Naskah dibatasi.+ 25 halaman berukuran A4, spasi satu (1), font Times New Roman dengan
ukuran font 12.
5. Persamaan matematis dan simbol harap ditulis dengan mempergunakan Microsoft Equation.
6. Setiap naskah harus disertai abstraksi, maksimal satu (1) halaman ukuran A4. Untuk naskah
yang ditulis dalam bahasa Indonesia, abstraksi-nya ditulis dalam Bahasa Inggris, dan
sebaliknya.
7. Naskah harus disertai dengan kata kunci (Keyword) dan dua digit nomor Klasifikasi Journal
of Economic Literature (JEL). Lihat klasifikasi JEL pada, http:// www.acaweb.org/journal/
jel_class_system.html.
I. JUDUL BAB
a. Publikasi buku:
John E. Hanke dan Arthur G. Reitsch,, (1940), Business Forecasting, PrenticeHall, New
Jersey.
c. Artikel dalam buku yang diedit orang lain: Frankel, Jeffrey A. dan Rose, Andrew K.
≈Empirical Research on Nominal Exchange Rates∆, dalam Gene Grossman dan Kenneth
Rogoff, eds., Handbook of International Economics. Amsterdam: North-Holland, 1995,
hal. 397-416.
f. Artikel dari situs WEB dan bentuk elektronik lainnya: Summers, Robert dan Heston,, Alan
W. ≈Penn World Table, Version 5.6∆∆http:// pwtecon.unpenn.edu/, 1997.
g. Artikel di koran, majalah dan periodicals sejenis: Begley, Sharon. ≈Killed by Kindness∆,
Newsweek, April 12, 1993, hal. 50-56.
11.Naskah harus disertai dengan biodata penulis, lengkap dengan alamat, telepon, rekening
Bank dan e-mail yang dapat dihubungi. Disarankan untuk menulis biodata dalam bentuk
CV (curriculum vitae) lengkap.