Anda di halaman 1dari 32

ABSES HEPAR A.

PENDAHULUAN Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh karena infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel darah didalam parenkim hati .(1) Secara umum, abses hati terbagi 2, yaitu abses hati amebik (AHA) dan abses hati piogenik (AHP). AHA merupakan salah satu komplikasi amebiasis ekstraintestinal yang paling sering dijumpai di daerah tropik/subtropik, termasuk Indonesia. AHP dikenal juga sebagai hepatic abscess, bacterial liver abscess, bacterial abscess of the liver, bacterial hepatic abscess. AHP ini merupakan kasus yang relatif jarang, pertama ditemukan oleh Hippocrates (400 SM) dan dipublikasikan pertama kali oleh Bright pada tahun 1936. (1) Prevalensi yang tinggi sangat erat hubungannya dengan sanitasi yang jelek, status ekonomi yang rendah serta gizi yang buruk. Meningkatnya arus urbanisasi menyebabkan bertambahnya kasus abses hati di daerah perkotaan. Di negara yang sedang berkembang abses hati amuba lebih sering didapatkan secara endemik dibandingkan dengan abses hati piogenik. Dalam beberapa dekade terakhir ini telah banyak perubahan mengenai aspek epidemiologis, etiologi, bakteriologi, cara diagnostik maupun mengenai pengelolaan serta prognosisnya. (2) B. ANATOMI DAN FISIOLOGI HATI Hati adalah kelenjar terbesar dalam tubuh, berat rata-rata sekitar 1.500gr atau 2 % berat badan orang dewasa normal. Letaknya sebagian besar di regio hipokondria dekstra, epigastrika, dan sebagian kecil di hipokondria sinistra. Hati memiliki dua lobus utama yaitu kanan dan kiri. Lobus kanan dibagi menjadi segmen anterior dan posterior oleh fisura segmentalis kanan. Lobus kiri dibagi menjadi segmen medial dan lateral oleh ligamentum

falsiformis. Di bawah peritonium terdapat jaringan ikat padat yang disebut kapsula Glisson yang meliputi seluruh permukaan hati. Setiap lobus hati terbagi menjadi struktur-struktur yang disebut sebagai lobulus, yang merupakan unit mikroskopis dan fungsional organ yang terdiri atas lempenglempeng sel hati dimana diantaranya terdapat sinusoid. Selain sel-sel hati, sinusoid vena dilapisi oleh sel endotel khusus dan sel Kupffer yang merupakan makrofag yang melapisi sinusoid dan mampu memfagositosis bakteri dan benda asing lain dalam darah sinus hepatikus. Hati memiliki suplai darah dari saluran cerna dan limpa melalui vena porta hepatika dan dari aorta melalui arteria hepatika. (2,3,4)

Hati mempunyai fungsi yang sangat beraneka ragam. Beberapa di antaranya yaitu: (3,4,5,6) Pembentukan dan ekskresi empedu

Dalam hal ini terjadi metabolisme pigmen dan garam empedu. Garam empedu penting untuk pencernaan dan absopsi lemak serta vitamin larut-lemak di dalam usus. Pengolahan metabolik kategori nutrien utama (karbohidrat, lemak, protein) setelah penyerapan dari saluran pencernaan a. Metabolisme karbohidrat : menyimpan glikogen dalam jumlah besar, konversi galaktosa dan friktosa menjadi glukosa, glukoneogenesis, serta pembentukan banyak senyawa kimia dari produk antara metabolisme karbohidrat. b. Metabolisme lemak : oksidasi asam lemak untuk menyuplai energi bagi fungsi tubuh yang lain, sintesis kolesterol,fosfolipid,dan sebagian besar lipoprotein, serta sintesis lemak dari protein dan karbohidrat c. Metabolisme protein : deaminasi asam amino, pembentukan ureum untuk mengeluarkan amonia dari cairan tubuh, pembentukan protein plasma, serta interkonversi beragam asam amino dan sintesis senyawa lain dari asam amino. Penimbunan vitamin dan mineral Vitamin larut-lemak ( A,D,E,K ) disimpan dalam hati, juga vitamin B12, tembaga, dan besi dalam bentuk ferritin. Vitamin yang paling banyak disimpan dalam hati adalah vitamin A, tetapi sejumlah besar vitamin D dan B12 juga disimpan secara normal. Hati menyimpan besi dalam bentuk ferritin Sel hati mengandung sejumlah besar protein yang disebut apoferritin, yang dapat bergabung dengan besi baik dalam jumlah sedikit maupun banyak. Oleh karena itu, bila besi banyak tersedia dalam cairan tubuh, maka besi akan berikatan dengan apoferritin membentuk ferritin dan disimpan dalam bentuk ini di dalam sel hati sampai diperlukan. Bila besi dalam sirkulasi cairan tubuh mencapai kadar rendah, maka ferritin akan melepaskan besi. Hati membentuk zat-zat yang digunakan untuk koagulasi darah dalam jumlah banyak

Zat-zat yang dibentuk di hati yang digunakan pada proses koagulasi meliputi fibrinogen, protrombin, globulin akselerator, faktor VII, dan beberapa faktor koagulasi lainnya. Vitamin K dibutuhkan oleh proses metabolisme hati, untuk membentuk protrombin dan faktor VII, IX, dan X. Hati mengeluarkan atau mengekskresikan obat-obatan, hormon, dan zat lain Medium kimia yang aktif dari hati dikenal kemampuannya dalam melakukan detoksifikasi atau ekskresi berbagai obat-obatan meliputi sulfonamid, penisilin, ampisilin, dan eritromisin ke dalam empedu. Beberapa hormon yang disekresi oleh kelenjar endokrin diekskresi atau dihambat secara kimia oleh hati meliputi tiroksin dan terutama semua hormon steroid seperti estrogen, kortisol, dan aldosteron. Hati berfungsi sebagai gudang darah dan filtrasi Hati adalah organ venosa yang mampu bekerja sebagai tempat penampungan darah yang bermakna saat volume darah berlebihan dan mampu menyuplai darah ekstra di saat kekurangan volume darah. Sinusoid hati merupakan depot darah yang mengalir kembali dari vena cava (gagal jantung kanan). kerja fagositik sel Kupffer membuang bakteri dan debris dari darah.

C. EPIDEMIOLOGI Di negara negara yang sedang berkembang, AHA didapatkan secara endemik dan jauh lebih sering dibandingkan AHP. AHP ini tersebar di seluruh dunia, dan terbanyak di daerah tropis dengan kondisi hygiene /sanitasi yang kurang. Secara epidemiologi, didapatkan 8 15 per 100.000 kasus AHP yang memerlukan perawatan di RS, dan dari beberapa kepustakaan Barat, didapatkan prevalensi autopsi bervariasi antara 0,29 1,47% sedangkan prevalensi di RS antara 0,008 0,016%. AHP lebih sering terjadi pada pria dibandingkan perempuan, dengan rentang usia berkisar lebih dari 40 tahun, dengan insidensi puncak pada dekade ke 6. (1)

Abses hati piogenik sukar ditetapkan. Dahulu hanya dapat dikenal setelah otopsi. Sekarang dengan peralatan yang lebih canggih seperti USG, CT Scan dan MRI lebih mudah untuk membuat diagnosisnya. Prevalensi otopsi berkisar antara 0,29-1,47 % sedangkan insidennya 8-15 kasus/100.000 penderita. (2) Hampir 10 % penduduk dunia terutama negara berkembang terinfeksi E.histolytica tetapi hanya 1/10 yang memperlihatkan gejala. Insidens amubiasis hati di rumah sakit seperti Thailand berkisar 0,17 % sedangkan di berbagai rumah sakit di Indonesia berkisar antara 5-15% pasien/tahun. Penelitian di Indonesia menunjukkan perbandingan pria dan wanita berkisar 3:1 sampai 22:1, yang tersering pada dekade keempat. Penularan umumnya melalui jalur oral-fekal dan dapat juga oral-anal-fekal. Kebanyakan yang menderita amubiasis hati adalah pria dengan rasio 3,4-8,5 kali lebih sering dari wanita. Usia yang sering dikenai berkisar antara 20-50 tahun terutama dewasa muda dan lebih jarang pada anak. Infeksi E.histolytica memiliki prevalensi yang tinggi di daerah subtropikal dan tropikal dengan kondisi yang padat penduduk, sanitasi serta gizi yang buruk. (2,7)

D. ETIOLOGI D.1 Abses Hati Amebik Didapatkan beberapa spesies amoeba yang dapat hidup sebagai parasit non-patogen dalam mulut dan usus, tetapi hanya Entamoeba histolytica yang dapat menyebabkan penyakit. Hanya sebagian kecil individu yang terinfeksi Entamoeba histolytica yang memberikan gejala amebiasis invasif, sehingga diduga ada 2 jenis Entamoeba histolytica yaitu strain patogen dan non-patogen. Bervariasinya virulensi berbagai strain Entamoeba histolytica ini berbeda berdasarkan kemampuannya menimbulkan lesi pada hati. (2)

Amuba bentuk trofozoit dengan pseupoda ukuran besar(5)

Entamoeba histolytica adalah protozoa usus kelas Rhizopoda yang mengadakan pergerakan menggunakan pseupodia/kaki semu. Terdapat 3 bentuk parasit, yaitu tropozoit yang aktif bergerak dan bersifat invasif, mampu memasuki organ dan jaringan, bentuk kista yang tidak aktif bergerak dan bentuk prakista yang merupakan bentuk antara kedua stadium tersebut. Tropozoit adalah bentuk motil yang biasanya hidup komensal di dalam usus. Dapat bermultiplikasi dengan cara membelah diri menjadi 2 atau menjadi kista. Tumbuh dalam keadaan anaerob dan hanya perlu bakteri atau jaringan untuk kebutuhan zat gizinya. Tropozoit ini tidak penting untuk penularan karena dapat mati terpajan hidroklorida atau enzim pencernaan. Jika terjadi diare, tropozoit dengan ukuran 10-20 um yang berpseudopodia keluar, sampai yang ukuran 50 um.Tropozoit besar sangat aktif bergerak, mampu memangsa eritrosit, mengandung protease yaitu hialuronidase dan mukopolisakaridase yang mampu mengakibatkan destruksi jaringan. Bentuk tropozoit ini akan mati dalam suasana kering atau asam. Bila tidak diare/disentri tropozoit akan membentuk kista sebelum keluar ke tinja. (2,6) Kista akan berinti 4 setelah melakukan 2 kali pembelahan dan berperan dalam penularan karena tahan terhadap perubahan lingkungan, tahan asam lambung dan enzim pencernaan. Kista infektif mempunyai 4 inti merupakan bentuk yang dapat ditularkan dari penderita atau karier ke

manusia lainnya. Kista berbentuk bulat dengan diameter 8-20 um, dinding kaku. Pembentukan kista ini dipercepat dengan berkurangnya bahan makanan atau perubahan osmolaritas media. (2,9) D.2 Abses Hati Piogenik Etiologi AHP adalah enterobacteriaceae, microaerophilic

streptococci, anaerobic streptococci, klebsiella pneumoniae, bacteriodes, fusobacterium, staphylococcus aureus, staphylococcus milleri, candida albicans, aspergillus, actinomyces, eikenella corrodens, yersinia

enterolitica, salmonella typhi, brucella melitensis, dan fungal. Organisme penyebab yang paling sering ditemukan adalah E.Coli, Klebsiella pneumoniae, Proteus vulgaris, Enterobacter aerogenes dan spesies dari bakteri anaerob ( contohnya Streptococcus Milleri ). Staphylococcus aureus biasanya organisme penyebab pada pasien yang juga memiliki penyakit granuloma yang kronik. Organisme yang jarang ditemukan sebagai penyebabnya adalah Salmonella, Haemophillus, dan Yersinia. Kebanyakan abses hati piogenik adalah infeksi sekunder di dalam abdomen. Bakteri dapat mengivasi hati melalui : 1. Vena porta yaitu infeksi pelvis atau gastrointestinal atau bisa menyebabkan fileplebitis porta 2. Arteri hepatika sehingga terjadi bakteremia sistemik 3. Komplikasi infeksi intra abdominal seperti divertikulitis,

peritonitis, dan infeksi post operasi 4. Komplikasi dari sistem biliaris, langsung dari kantong empedu atau saluran-saluran empedu. Obstruksi bilier ekstrahepatik

menyebabkan kolangitis. Penyebab lainnya biasanya berhubungan dengan choledocholithiasis, tumor jinak dan ganas atau

pascaoperasi striktur. 5. Trauma tusuk atau tumpul. Selain itu embolisasi transarterial dan cryoablation massa hati sekarang diakui sebagai etiologi baru abses piogenik.

6. Kriptogenik tanpa faktor predisposisi yang jelas, terutama pada orang lanjut usia. Namun insiden meningkat pada pasien dengan diabetes atau kanker metastatik. (1,7,10,11)

E. PATOGENESIS E.1 Abses Hepar Amebik Cara penularan umumnya fecal-oral yaitu dengan menelan kista, baik melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi atau transmisi langsung pada orang dengan higiene yang buruk. Kasus yang jarang terjadi adalah penularan melalui seks oral ataupun anal. (11,12) E.hystolitica dalam 2 bentuk, baik bentuk trofozoit yang

menyebabkan penyakit invasif maupun kista bentuk infektif yang dapat ditemukan pada lumen usus. Bentuk kista tahan terhadap asam lambung namun dindingnya akan diurai oleh tripsin dalam usus halus. Kemudian kista pecah dan melepaskan trofozoit yang kemudian menginvasi lapisan mukosa usus. Amuba ini dapat menjadi patogen dengan mensekresi enzim cysteine protease, sehingga melisiskan jaringan maupun eritrosit dan menyebar keseluruh organ secara hematogen dan perkontinuinatum. Amoeba yang masuk ke submukosa memasuki kapiler darah, ikut dalam aliran darah melalui vena porta ke hati. Di hati E.hystolitica mensekresi enzim proteolitik yang melisis jaringan hati, dan membentuk abses. Di hati terjadi fokus akumulasi neutrofil periportal yang disertai nekrosis dan infiltrasi granulomatosa. Lesi membesar, bersatu, dan granuloma diganti dengan nekrotik. Bagian nekrotik ini dikelilingi kapsul tipis seperti jaringan fibrosa. Lokasi yang sering adalah di lobus kanan (70% - 90%) karena lobus kanan menerima darah dari arteri mesenterika superior dan vena portal sedangkan lobus kiri menerima darah dari arteri mesenterika inferior dan aliran limfatik. Dinding abses bervariasi tebalnya,bergantung pada lamanya penyakit. Secara klasik, cairan abses menyerupai achovy paste dan berwarna coklat kemerahan, sebagai akibat jaringan hepar serta sel darah merah yang dicerna. (2,8,12,13)

E.2 Abses Hepar Piogenik Hati adalah organ yang paling sering untuk terjadinya abses. Dari suatu studi di Amerika, didapatkan 13% abses hati dari 48% abses viseral. Abses hati dapat berbentuk soliter maupun multipel. Hal ini dapat terjadi dari penyebaran hematogen maupun secara langsung dari tempat terjadinya infeksi di dalam rongga peritoneum. Hati menerima darah secara sistemik maupun melalui sirkulasi vena portal, hal ini memungkinkan terinfeksinya hati oleh karena paparan bakteri yang berulang, tetapi dengan adanya sel Kuppfer yang membatasi sinusoid hati akan menghindari terinfeksinya hati oleh bakteri tersebut. Bakteri piogenik dapat memperoleh akses ke hati dengan ekstensi langsung dari organ-organ yang berdekatan atau melalui vena portal atau arteri hepatika. Adanya penyakit sistem biliaris sehingga terjadi obstruksi aliran empedu akan menyebabkan terjadinya proliferasi bakteri. Adanya tekanan dan distensi kanalikuli akan melibatkan cabang-cabang dari vena portal dan limfatik sehingga akan terbentuk formasi abses fileflebitis. Mikroabses yang terbentuk akan menyebar secara hematogen sehingga terjadi bakteremia sistemik. Penetrasi akibat trauma tusuk akan menyebabkan inokulasi bakteri pada parenkim hati sehingga terjadi AHP. Penetrasi akibat trauma tumpul menyebabkan nekrosis hati, perdarahan intrahepatik dan terjadinya kebocoran saluran empedu sehingga terjadi kerusakan dari kanalikuli. Kerusakan kanalikuli menyebabkan masuknya bakteri ke hati dan terjadi pembentukan pus. Lobus kanan hati lebih sering terjadi AHP dibanding lobus kiri, kal ini berdasarkan anatomi hati, yaitu lobus kanan menerima darah dari arteri mesenterika superior dan vena portal sedangkan lobus kiri menerima darah dari arteri mesenterika inferior dan aliran limfatik. (1,10)

F. GAMBARAN KLINIS F.1 Abses Hepar Amebik (2,8,9,13,) Gejala : a. Demam internitten ( 38-40 oC) b. Nyeri perut kanan atas, kadang nyeri epigastrium dan dapat menjalar hingga bahu kanan dan daerah skapula c. Anoreksia d. Nausea e. Vomitus f. Keringat malam g. Berat badan menurun h. Batuk i. Pembengkakan perut kanan atas j. Ikterus k. Buang air besar berdarah l. Kadang ditemukan riwayat diare m. Kadang terjadi cegukan (hiccup) Kelainan fisis : a. Ikterus b. Temperatur naik c. Malnutrisi d. Hepatomegali yang nyeri spontan atau nyeri tekan atau disertai komplikasi e. Nyeri perut kanan atas f. Fluktuasi F.2 Abses hati piogenik (1,2,8,15) Gambaran klinis abses hati piogenik menunjukkan manifestasi sistemik yang lebih berat dari abses hati amuba. Keluhan :

10

a. Demam yang sifatnya dapat remitten, intermitten atau kontinyu yang disertai menggigil b. Nyeri spontan perut kanan atas ditandai dengan jalan membungkuk ke depan dan kedua tangan diletakkan di atasnya. c. Mual dan muntah d. Berkeringat malam e. Malaise dan kelelahan f. Berat badan menurun g. Berkurangnya nafsu makan h. Anoreksia Pemeriksaan fisis : a. Hepatomegali b. Nyeri tekan perut kanan c. Ikterus, namun jarang terjadi d. Kelainan paru dengan gejala batuk, sesak nafas serta nyeri pleura e. Buang air besar berwarna seperti kapur f. Buang air kecil berwarna gelap g. Splenomegali pada AHP yang telah menjadi kronik

G. DIAGNOSIS G.1 Abses hati amebik (2,9) Diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi hati untuk menemukan trofozoit amuba. Diagnosis abses hati amebik di daerah endemik dapat dipertimbangkan jika terdapat demam, nyeri perut kanan atas,

hepatomegali yang juga ada nyeri tekan. Disamping itu bila didapatkan leukositosis, fosfatase alkali meninggi disertai letak diafragma yang tinggi dan perlu dipastikan dengan pemeriksaan USG juga dibantu oleh tes serologi. Untuk diagnosis abses hati amebik juga dapat menggunakan kriteria Sherlock (1969), kriteria Ramachandran (1973), atau kriteria Lamont dan Pooler.

11

a. Kriteria Sherlock (1969) 1. Hepatomegali yang nyeri tekan 2. Respon baik terhadap obat amebisid 3. Leukositosis 4. Peninggian diafragma kanan dan pergerakan yang kurang. 5. Aspirasi pus 6. Pada USG didapatkan rongga dalam hati 7. Tes hemaglutinasi positif b. Kriteria Ramachandran (1973) Bila didapatkan 3 atau lebih dari: 1. Hepatomegali yang nyeri 2. Riwayat disentri 3. Leukositosis 4. Kelainan radiologis 5. Respons terhadap terapi amebisid c. Kriteria Lamont Dan Pooler Bila didapatkan 3 atau lebih dari: 1. Hepatomegali yang nyeri 2. Kelainan hematologis 3. Kelainan radiologis 4. Pus amebik 5. Tes serologi positif 6. Kelainan sidikan hati 7. Respons terhadap terapi amebisid G.2 Abses hati piogenik Menegakkan diagnosis AHP berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan laboratoris serta pemeriksaan penunjang. Diagnosis AHP kadangkadang sulit ditegakkan sebab gejala dan tanda klinis sering tidak spesifik. Diagnosis dapat ditegakkan bukan hanya dengan CT-Scan saja, meskipun pada akhirnya dengan CT-Scan mempunyai nilai prediksi yang tinggi untuk diagnosis AHP, demikian juga dengan tes serologi yang dilakukan.

12

Tes serologi yang negatif menyingkirkan diagnosis AHA, meskipun terdapat pada sedikit kasus, tes ini menjadi positif beberapa hari kemudian. Diagnosis berdasarkan penyebab adalah dengan menemukan bakteri penyebab pada pemeriksaan kultur hasil aspirasi, ini merupakan standar emas untuk diagnosis. (1)

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG H.1 Pemeriksaan Laboratorium Pada pasien abses hati amebik, pemeriksaan hematologi didapatkan hemoglobin 10,4-11,3 g% sedangkan lekosit 15.000-16.000/mL3 . pada pemeriksaan faal hati didapatkan albumin 2,76-3,05 g%, globulin 3,623,75 g%, total bilirubin 0,9-2,44 mg%, fosfatase alkali 270,4-382,0 u/L, SGOT 27,8-55,9 u/L dan SGPT 15,7-63,0 u/L. Jadi kelainan yang didapatkan pada amubiasis hati adalah anemia ringan sampai sedang, leukositosis berkisar 15.000/mL3. Sedangkan kelainan faal hati didapatkan ringan sampai sedang. Uji serologi dan uji kulit yang positif menunjukkan adanya Ag atau Ab yang spesifik terhadap parasit ini, kecuali pada awal infeksi. Ada beberapa uji yang banyak digunakan antara lain hemaglutination (IHA), countermunoelectrophoresis (CIE), dan ELISA. Real Time PCR cocok untuk mendeteksi E.histolityca pada feses dan pus penderita abses hepar. (2,7,9) Pada pasien abses hati piogenik, mungkin didapatkan leukositosis dengan pergeseran ke kiri, anemia, peningkatan laju endap darah, gangguan fungsi hati seperti peninggian bilirubin, alkalin fosfatase, peningkatan enzim transaminase, serum bilirubin, berkurangnya

konsentrasi albumin serum dan waktu protrombin yang memanjang menunjukkan bahwa terdapat kegagalan fungsi hati. Kultur darah yang memperlihatkan bakterial penyebab menjadi standar emas untuk menegakkan diagnosis secara mikrobiologik. Pemeriksaan biakan pada permulaan penyakit sering tidak ditemukan kuman. Kuman yang sering ditemukan adalah kuman gram negatif seperti Proteus vulgaris,

13

Aerobacter aerogenes atau Pseudomonas aeruginosa, sedangkan kuman anaerib Microaerofilic sp, Streptococci sp, Bacteroides sp, atau Fusobacterium sp. (1,2) H.2 Pemeriksaan Radiologi Pada pasien abses hati amebik, foto thoraks menunjukkan peninggian kubah diafragma kanan dan berkurangnya pergerakan diafragma efusi pleura kolaps paru dan abses paru. Kelainan pada foto polos abdomen tidak begitu banyak. Mungkin berupa gambaran ileus, hepatomegali atau gambaran udara bebas di atas hati. Jarang didapatkan air fluid level yang jelas, USG untuk mendeteksi amubiasis hati, USG sama efektifnya dengan CT atau MRI. Gambaran USG pada amubiasis hati adalah bentuk bulat atau oval tidak ada gema dinding yang berarti ekogenitas lebih rendah dari parenkim hati normal bersentuhan dengan kapsul hati dan peninggian sonic distal. Gambaran CT scan : 85 % berupa massa soliter relatif besar, monolokular, prakontras tampak sebagai massa hipodens berbatas suram. Densitas cairan abses berkisar 10-20 H.U. Pasca kontras tampak penyengatan pada dinding abses yang tebal. Septa terlihat pada 30 % kasus. Penyengatan dinding terlihat baik pada fase porta. (2)

Gambaran CT Scan pada abses hati amebic(8)

Pada pasien abses hati piogenik, foto polos abdomen kadang-kadang didapatkan kelainan yang tidak spesifik seperti peninggian diafragma kanan, efusi pleura, atelektasis basal paru, empiema, atau abses paru. Pada foto thoraks PA, sudut kardiofrenikus tertutup, pada posisi lateral sudut

14

kostofrenikus anterior tertutup. Secara angiografik abses merupakan daerah avaskuler. Kadang-kadang didapatkan gas atau cairan pada subdiafragma kanan. Pemeriksaan USG, radionuclide scanning, CT scan dan MRI mempunyai nilai diagnosis yang tinggi. CT scan dan MRI dapat menetapkan lokasi abses lebih akurat terutama untuk drainase perkutan atau tindakan bedah. Gambaran CT scan : apabila mikroabses berupa lesi hipodens kecil-kecil < 5 mm sukar dibedakan dari mikroabses jamur, rim enhancement pada mikroabses sukar dinilai karena lesi terlalu kecil. Apabila mikroabses > 10 mm atau membentuk kluster sehingga tampak massa agak besar maka prakontras kluster piogenik abses tampak sebagai masa low density berbatas suram. Pasca kontras fase arterial tampak gambaran khas berupa masa dengan rim enhancement dimana hanya kapsul abses yang tebal yang menyengat. Bagian tengah abses terlihat hipodens dengan banyak septa-septa halus yang juga menyengat, sehingga membentuk gambaran menyerupai jala. Fase porta penyengatan dinding kapsul abses akan semakin menonjol dan sekitar dinding abses tampak area yang hipodens sebagai reaksi edema di sekitar abses. Sebagian kecil piogenik bersifat monokuler, tidak bersepta, dan menyerupai abses amoebiasis. Pembentukan gas di dalam abses biasanya pada infeksi oleh kuman Klebsiella. (1,2,)

Gambaran CT Scan dengan multifokal abses hati piogenik pada segmen IV. Abses lainnya terdapat pada segmen VII dan VIII.(8)

Karateristik abses pada pemeriksaan MRI adalah lesi dengan penyengatan kontras yang berbentuk cincin dan bagian sentral yang tidak

15

tampak penyengatan. Cincin penyengatan tetap terlihat pada fase tunda.(2) Sangat sukar dibedakan gambaran USG antara abses piogenik dan amebik. Biasanya sangat besar, kadang-kadang multilokular. Struktur eko rendah sampai cairan ( anekoik ) dengan adanya bercak-bercak hiperekoik (debris) di dalamnya. Tepinya tegas, ireguler yang makin lama makin bertambah tebal. (16)

I. PENATALAKSANAAN I.1 Abses hati amebik (2,12,14,17) 1. Medikamentosa Abses hati amoeba tanpa komplikasi lain dapat menunjukkan penyembuhan yang besar bila diterapi hanya dengan antiamoeba. Pengobatan yang dianjurkan adalah: a. Metronidazole Metronidazole merupakan derivat nitroimidazole, efektif untuk amubiasis intestinal maupun ekstraintestinal., efek samping yang paling sering adalah sakit kepala, mual, mulut kering, dan rasa kecap logam. Dosis yang dianjurkan untuk kasus abses hati amoeba adalah 3 x 750 mg per hari selama 5 10 hari. Sedangkan untuk anak ialah 3550 mg/kgBB/hari terbagi dalam tiga dosis. Derivat nitroimidazole lainnya yang dapat digunakan adalah tinidazole dengan dosis 3 x 800 mg perhari selama 5 hari, untuk anak diberikan 60 mg/kgBB/hari dalam dosis tunggal selama 3-5 hari. b. Dehydroemetine (DHE) Merupakan derivat diloxanine furoate. Dosis yang direkomendasikan untuk mengatasi abses liver sebesar 3 x 500 mg perhari selama 10 hari atau 1-1,5 mg/kgBB/hari intramuskular (max. 99 mg/hari) selama 10 hari. DHE relatif lebih aman karena ekskresinya lebih cepat dan kadarnya pada otot jantung lebih rendah. Sebaiknya tidak digunakan pada penyakit jantung, kehamilan, ginjal, dan anak-anak c. Chloroquin

16

Dosis klorokuin basa untuk dewasa dengan amubiasis ekstraintestinal ialah 2x300 mg/hari pada hari pertama dan dilanjutkan dengan 2x150 mg/hari selama 2 atau 3 minggu. Dosis untuk anak ialah 10 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis terbagi selama 3 minggu. Dosis yang dianjurkan adalah 1 g/hari selama 2 hari dan diikuti 500 mg/hari selama 20 hari. 2. Aspirasi Apabila pengobatan medikamentosa dengan berbagai cara tersebut di atas tidak berhasil (72 jam), terutama pada lesi multipel, atau pada ancaman ruptur atau bila terapi dcngan metronidazol merupakan kontraindikasi seperti pada kehamilan, perlu dilakukan aspirasi. Aspirasi dilakukan dengan tuntunan USG. 3. Drainase Perkutan Drainase perkutan indikasinya pada abses besar dengan ancaman ruptur atau diameter abses > 7 cm, respons kemoterapi kurang, infeksi campuran, letak abses dekat dengan permukaan kulit, tidak ada tanda perforasi dan abses pada lobus kiri hati. Selain itu, drainase perkutan berguna juga pada penanganan komplikasi paru, peritoneum, dan perikardial. 4. Drainase Bedah Pembedahan diindikasikan untuk penanganan abses yang tidak berhasil mcmbaik dengan cara yang lebih konservatif, kemudian secara teknis susah dicapai dengan aspirasi biasa. Selain itu, drainase bedah diindikasikan juga untuk perdarahan yang jarang tcrjadi tetapi mengancam jiwa penderita, disertai atau tanpa adanya ruptur abses. Penderita dengan septikemia karena abses amuba yang mengalami infeksi sekunder juga dicalonkan untuk tindakan bedah, khususnya bila usaha dekompresi perkutan tidak berhasil Laparoskopi juga

dikedepankan untuk kemungkinannya dalam mengevaluasi tcrjadinya ruptur abses amuba intraperitoneal. I.2 Abses hati piogenik (1,2,7,10)

17

Pencegahan Merupakan cara efektif untuk menurunkan mortalitas akibat abses hati piogenik yaitu dengan cara: a. Dekompresi pada keadaan obstruksi bilier baik akibat batu ataupun tumor dengan rute transhepatik atau dengan melakukan endoskopi b. Pemberian antibiotik pada sepsis intra-abdominal Terapi definitif Terapi ini terdiri dari antibiotik, drainase abses yang adekuat dan menghilangkan penyakit dasar seperti sepsis yang berasal dari saluran cerna. Pemberian antibiotika secara intravena sampai 3 gr/hari selama 3 minggu diikuti pemberian oral selama 12 bulan. Antibiotik ini yang diberikan terdiri dari: a. Penisilin atau sefalosporin untuk coccus gram positif dan beberapa jenis bakteri gram negatif yang sensitif. Misalnya sefalosporin generasi ketiga seperti cefoperazone 1-2 gr/12jam/IV b. Metronidazole, klindamisin atau kloramfenikol untuk bakteri anaerob terutama B. fragilis. Dosis metronidazole 500 mg/6 jam/IV c. Aminoglikosida untuk bakteri gram negatif yang resisten. d. Ampicilin-sulbaktam Drainase abses Pengobatan pilihan untuk keberhasilan pengobatan adalah drainase terbuka terutama pada kasus yang gagal dengan pengobatan konservatif. Penatalaksanaan saat ini adalah dengan menggunakan drainase perkutaneus abses intraabdominal dengan tuntunan abdomen ultrasound atau tomografi komputer. Drainase bedah atau kombinasi klindamisin-

metronidazole, aminoglikosida dan siklosporin.

18

Drainase bedah dilakukan pada kegagalan terapi antibiotik, aspirasi perkutan, drainase perkutan, serta adanya penyakit intra-abdomen yang memerlukan manajemen operasi. J. KOMPLIKASI J.1 Abses Hepar Amoeba Komplikasi yang paling sering adalah ruptur abses sebesar 5 - 5,6 %. Ruptur dapat terjadi ke pleura, paru, perikardium, usus, intraperitoneal atau kulit. Kadang-kadang dapat terjadi superinfeksi, terutama setelah aspirasi atau drainase. Infeksi pleuropneumonal adalah komplikasi yang paling umum terjadi. Mekanisme infeksi termasuk pengembangan efusi serosa simpatik, pecahnya abses hati ke dalam rongga dada yang dapat menyebabkan empiema, serta penyebaran hematogen sehingga terjadi infeksi parenkim. Fistula hepatobronkial dapat menyebabkan batuk produktif dengan bahan nekrotik mengandung amoeba. Fistula bronkopleural mungkin jarang terjadi. Komplikasi pada jantung biasanya dikaitkan pecahnya abses pada lobus kiri hati dimana ini dapat menimbulkan kematian. Pecah atau rupturnya abses dapat ke organ-organ peritonium dan mediastinum. Kasus pseudoaneurysm arteri hepatika telah dilaporkan terjadi sebagai komplikasi. (12,13,14)

J.2 Abses Hepar Piogenik Saat diagnosis ditegakkan, menggambarkan keadaan penyakit berat seperti septikamia/bakterimia dengan mortalitas 85%, ruptur abses hati disertai peritonitis generalisata dengan mortalitas 6-7%, kelainan pleuropulmonal, gagal hati, perdarahan ke dalam rongga abses, hemobilia, empiema, fistula hepatobronkial, ruptur ke dalam perikard atau retroperineum. Sesudah mendapatkan terapi, sering terjadi diatesis hemoragik, infeksi luka, abses rekuren, perdarahan sekunder dan terjadi rekurensi atau reaktifasi abses. (1)

K. PROGNOSIS Pada kasus AHA, sejak digunakan obat seperti dehidroemetin atau emetin, metronidazole dan kloroquin, mortalitas menurun tajam. Mortalitas di rumah sakit dengan fasilitas menurun tajam. Mortalitas di rumah sakit dengan

19

fasilitas memadai sekitar 2% dan pada fasilitas yang kurang memadai mortalitasnya 10%. Pada kasus yang membutuhkan tindakan operasi mortalitas sekitar 12%. Jika ada peritonitis amuba, mortalitas dapat mencapai 40-50%. Kematian yang tinggi ini disebabkan keadaan umum yang jelek, malnutrisi, ikterus, dan renjatan. Sebab kematian biasanya sepsis atau sindrom hepatorenal. Selain itu, prognosis penyakit ini juga dipengaruhi oleh virulensi penyakit, status imunitas, usia lanjut, letak serta jumlah abses dan terdapatnya komplikasi. Kematian terjadi pada sekitar 5% pasien dengan infeksi ektraintestinal, serta infeksi peritonial dan perikardium. (2,13) Prognosis abses piogenik sangat ditentukan diagnosis dini, lokasi yang akurat dengan ultrasonografi, perbaikan dalam mikrobiologi seperti kultur anaerob, pemberian antibiotik perioperatif dan aspirasi perkutan atau drainase secara bedah. Faktor utama yang menentukan mortalitas antara lain umur, jumlah abses, adanya komplikasi serta bakterimia polimikrobial dan gangguan fungsi hati seperti ikterus atau hipoalbuminemia. Komplikasi yang berakhir mortalitas terjadi pada keadaan sepsis abses subfrenik atau subhepatik, ruptur abses ke rongga peritonium, ke pleura atau ke paru, kegagalan hati, hemobilia, dan perdarahan dalam abses hati. Penyakit penyerta yang menyebabkan mortalitas tinggi adalah DM, penyakit polikistik dan sirosis hati. Mortalitas abses hati piogenik yang diobati dengan antibiotika yang sesuai bakterial penyebab dan dilakukan drainase adalah 10-16 %. Prognosis buruk apabila: terjadi umur di atas 70 tahun, abses multipel, infeksi polimikroba, adanya hubungan dengan keganasan atau penyakit immunosupresif, terjadinya sepsis, keterlambatan diagnosis dan pengobatan, tidak dilakukan drainase terhadap abses, adanya ikterus, hipoalbuminemia, efusi pleural atau adanya penyakit lain. (1,2) L. DIFFERENTIAL DIAGNOSIS (18) Differential Diagnosis Hepatoma Manifestasi Klinis Merupakan tumor ganas hati primer. Anamnesis: penurunan berat badan, nyeri perut kanan

20

atas, anoreksia, malaise, benjolan perut kanan atas. Pemeriksaaan fisik : hepatomegali berbenjol-benjol, stigmata penyakit hati kronik. Laboratorium : peningkatan AFP, PIVKA II, alkali fosatase USG : lesi lokal/ difus di hati Kolesistitis akut Merupakan reaksi inflamasi kandung empedu akibat infeksi bakterial akut yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan, dan panas badan. Anamnesis : nyeri epigastrium atau perut kanan atas yang dapat menjalar ke daerah scapula kanan, demam. Pemeriksaan fisik : teraba massa kandung empedu, nyeri tekan disertai tanda-tanda peritoitis lokal, Murphy sign (+), ikterik biasanya menunjukkan adanya batu di saluran empedu ekstrahepatik. Laboratorium: leukositosis USG : penebalan dining kandung empedu, sering ditemukan pula sludge atau batu.

Hipoalbuminemia

A. Definisi Hipoalbuminemia Hipoalbuminemia adalah kadar albumin yang rendah/dibawah nilai normal atau keadaan dimana kadar albumin serum < 3,5 g/dL (Muhammad Sjaifullah Noer, Ninik Soemyarso, 2006 dan Diagnose-Me.com, 2007). Hipoalbuminemia mencerminkan pasokan asam amino yang tidak memadai dari protein, sehingga mengganggu sintesis albumin serta protein lain oleh hati (Murray, dkk, 2003). Di Indonesia, data hospital malnutrition menunjukkan 40-50% pasien mengalami hipoalbuminemia atau berisiko hipoalbuminemia, 12% diantaranya

21

hipoalbuminemia berat, serta masa rawat inap pasien dengan hospital malnutrition menunjukkan 90% lebih lama daripada pasien dengan gizi baik (Tri Widyastuti dan M. Dawan Jamil, 2005). B. Klasifikasi Hipoalbuminemia Defisiensi albumin atau hipoalbuminemia dibedakan berdasarkan selisih atau jarak dari nilai normal kadar albumin serum, yaitu 3,55 g/dl atau total kandungan albumin dalam tubuh adalah 300-500 gram (Albumin.htm, 2007 dan Peralta, 2006). Klasifikasi hipoalbuminemia menurut Agung M dan Hendro W (2005) adalah sebagai berikut: 1. Hipoalbuminemia ringan : 3,53,9 g/dl

2. Hipoalbuminemia sedang : 2,53,5 g/dl 3. Hipoalbuminemia berat C. Penyebab Hipoalbuminemia Menurut Iwan S. Handoko (2005), Adhe Hariani (2005) dan Baron (1995) hipoalbuminemia adalah suatu masalah umum yang terjadi pada pasien. Hipoalbuminemia dapat disebabkan oleh masukan protein yang rendah, pencernaan atau absorbsi protein yang tak adekuat dan peningkatan kehilangan protein yang dapat ditemukan pada pasien dengan kondisi medis kronis dan akut: 1. Kurang Energi Protein, 2. Kanker, 3. Peritonitis, 4. Luka bakar, 5. Sepsis, : < 2,5 g/dl

22

6. Luka akibat Pre dan Post pembedahan (penurunan albumin plasma yang terjadi setelah trauma), 7. Penyakit hati akut yang berat atau penyakit hati kronis (sintesa albumin menurun), 8. Penyakit ginjal (hemodialisa), 9. Penyakit saluran cerna kronik, 10. 11. 12. Radang atau Infeksi tertentu (akut dan kronis), Diabetes mellitus dengan gangren, dan TBC paru.

D. Terapi Hipoalbuminemia Hipoalbuminemia dikoreksi dengan Albumin intravena dan diet tinggi albumin (Sunanto, 2006), dapat dilakukan dengan pemberian diet ekstra putih telur, atau ekstrak albumin dari bahan makanan yang mengandung albumin dalam kadar yang cukup tinggi. Penangan pasien hipoalbumin di RS dr. Sardjito Yogyakarta dilakukan dengan pemberian putih telur sebagai sumber albumin dan sebagai alternatif lain sumber albumin adalah ekstrak ikan lele (Tri Widyastuti dan M. Dawan Jamil, 2005). Sedangkan pada RS dr. Saiful Anwar Malang, penanganan pasien hipoalbuminemia dilakukan dengan pemberian BSA (Body Serum Albumer), dan segi gizi telah dilakukan pemanfaatan bahan makanan seperti estrak ikan gabus, putih telur dan tempe kedelai (Illy Hajar Masula, 2005).

EFUSI PLEURA

1. DEFINISI3,4

23

Efusi pleura adalah penimbunan cairan pada rongga pleura(1)atau Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapatnya cairan pleura dalam jumlah yang berlebihan di dalam rongga pleura, yang disebabkan oleh ketidak seimbangan antara pembentukan dan pengeluaran cairan pleura. Dalam konteks ini perlu di ingat bahwa pada orang normal rongga pleura ini juga selalu ada cairannya yang berfungsi untuk mencegah melekatnya pleura viseralis dengan pleura parietalis. Sehingga dengan demikian gerakan paru (mengembang dan mengecil) dapat berjalan dengan mulus. Dalam keadaan normal, jumlah cairan dalam rongga pleura sekitar 10-20 ml. Cairan pleura komposisinya sama dengan cairan plasma, kecuali pada cairan pleura mempunyai kadar protein lebih rendah yaitu< 1,5 gr/dl. Ada beberapa jenis cairan yang bisa berkumpul di dalam rongga pleura antara lain darah, pus, cairan seperti susu dan cairan yang mengandung kolesterol tinggi(2)

a. Hidrotoraks Pada keadaan hipoalbuminemia berat, bisa timbul transudat. Dalam hal ini penyakitnya disebut hidrotorak dan biasanya ditemukan bilateral. Sebab-sebab lain yang mungkin adalah kegagalan jantung kanan, sirosis hati dengan asites, serta sebgai salah satu tias dari syndroma meig (fibroma ovarii, asites dan hidrotorak). b. Hemotoraks Hemotorak adalah adanya darah di dalam rongga pleura. Biasanya terjadi karena trauma toraks. Trauma ini bisa karna ledakan dasyat di dekat penderita, atau trauma tajam maupu trauma tumpul. Kadar Hb pada hemothoraks selalu lebih besar 25% kadar Hb dalam darah. Darah hemothorak yang baru diaspirasi tidak membeku beberapa menit. Hal ini mungkin karena faktor koagulasi sudah terpakai sedangkan fibrinnya diambil oleh permukaan pleura. Bila darah aspirasi segera membeku, maka biasanya darah tersebut berasal dari trauma dinding dada.Penyebab lainnya hemotoraks adalah: Pecahnya sebuah pembuluh darah yang kemudian mengalirkan darahnya ke dalam rongga pleura. Kebocoran aneurisma aorta (daerah yang menonjol di dalam aorta) yang kemudian mengalirkan darahnya ke dalam rongga pleura.

24

Gangguan pembekuan darah, akibatnya darah di dalam rongga pleura tidak membeku secara sempurna, sehingga biasanya mudah dikeluarkan melelui sebuah jarum atau selang.

c. Empiema Bila karena suatu infeksi primer maupun sekunder cairan pleura patologis iniakan berubah menjadi pus, maka keadaan ini disebut piotoraks atau empiema. Pada setiap kasus pneumonia perlu diingat kemungkinan terjadinya empiema sebagai salah satu komplikasinya. merupakan komplikasi dari: Pneumonia Infeksi pada cedera di dada Pembedahan dada Empiema bisa

d. Chylotoraks
Kilotoraks adalah suatu keadaan dimana terjadi penumpukan kil/getah bening pada rongga pleura. Adapun sebab-sebab terjadinya kilotoraks antaralain :

Kongenital, sejak lahir tidak terbentuk (atresia) duktus torasikus, tapi terdapat fistula antara duktus torasikus rongga pleura. Trauma yang berasal dari luar seperti penetrasi pada leher dan dada, atau pukulan pada dada (dengan/tanpa fratur).Yang berasal dari efek operasi daerah torakolumbal, reseksi esophagus 1/3 tengah dan atas, operasi leher, operasi kardiovaskular yang membutuhkan mobilisasi arkus aorta. Obstruksi Karena limfoma malignum, metastasis karsinima ke mediastinum, histoplasmosis).
Penyakit-penyakit ini memberi efek obstruksi dan juga perforasi terhadap duktus torasikus secara kombinasi. Disamping itu terdapat juga penyakit trombosis vena subklavia dan nodul-nodul tiroid yang menekan duktus torasikus dan menyebabkan kilotoraks

granuloma

mediastinum

(tuberkulosis,

25

2. EPIDEMIOLOGI 4 Estimasi prevalensi efusi pleura adalah 320 kasus per 100.000 orang di negaranegara industri, dengan distribusi etiologi terkait dengan prevalensi penyakit yang mendasarinya. Secara umum, kejadian efusi pleura adalah sama antara kedua jenis kelamin. Namun, penyebab tertentu memiliki kecenderungan seks. Sekitar dua pertiga dari efusi pleura ganas terjadi pada wanita. Efusi pleura ganas secara signifikan berhubungan dengan keganasan payudara dan ginekologi. Efusi pleura yang terkait dengan lupus eritematosus sistemik juga lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pada pria

3. ETIOLOGI 4 Ruang pleura normal mengandung sekitar 1 mL cairan, hal ini memperlihatkan adanya keseimbangan antara tekanan hidrostatik dan tekanan onkotik dalam pembuluh darah pleura viseral dan parietal dan drainase limfatik luas. Efusi pleura merupakan hasil dari ketidakseimbangan tekanan hidrostatik dan tekanan onkotik. Efusi pleura merupakan indikator dari suatu penyakit paru atau non pulmonary, dapat bersifat akut atau kronis. Meskipun spektrum etiologi efusi pleura sangat luas, efusi pleura sebagian disebabkan oleh gagal jantung kongestif,. pneumonia, keganasan, atau emboli paru. Mekanisme sebagai berikut memainkan peran dalam pembentukan efusi pleura:

1. Perubahan permeabilitas membran pleura (misalnya, radang, keganasan, emboli paru) 2. Pengurangan tekanan onkotik intravaskular (misalnya,

hipoalbuminemia, sirosis) 3. Peningkatan permeabilitas kapiler atau gangguan pembuluh darah (misalnya, trauma, keganasan, peradangan, infeksi, infark paru, obat hipersensitivitas, uremia, pankreatitis) 4. Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler dalam sirkulasi sistemik dan / atau paru-paru (misalnya, gagal jantung kongestif, sindrom vena kava superior)

26

5. Pengurangan tekanan dalam ruang pleura, mencegah ekspansi paru penuh (misalnya, atelektasis yang luas, mesothelioma) 6. Penurunan drainase limfatik atau penyumbatan lengkap, termasuk obstruksi duktus toraks atau pecah (misalnya, keganasan, trauma) 7. Peningkatan cairan peritoneal, dengan migrasi di diafragma melalui limfatik atau cacat struktural (misalnya, sirosis, dialisis peritoneal) 8. Perpindahan cairan dari edema paru ke pleura viseral 9. Peningkatan tekanan onkotik di cairan pleura yang persisiten menyebabkan adanaya akumulasi cairan di pleura

4. KLASIFIKASI (5) Efusi pleura umumnya diklasifikasikan berdasarkan mekanisme pembentukan cairan dan kimiawi cairan menjadi 2 yaitu atas transudat atau eksudat. Transudat hasil dari ketidakseimbangan antara tekanan onkotik dengan tekanan hidrostatik, sedangkan eksudat adalah hasil dari peradangan pleura atau drainase limfatik yang menurun. Dalam beberapa kasus mungkin terjadi kombinasi antara karakteristk cairan transudat dan eksudat.

1. Klasifikasi berasarkan mekanisme pembentukan cairan: a. Transudat


Dalam keadaan normal cairan pleura yang jumlahnya sedikit itu adalah transudat. Transudat terjadi apabila terjadi ketidakseimbangan antara tekanan kapiler hidrostatik dan koloid osmotic, sehingga terbentuknya cairan pada satu sisi pleura melebihi reabsorpsinya oleh pleura lainnya. Biasanya hal ini terjadi pada:

1. Meningkatnya tekanan kapiler sistemik 2. Meningkatnya tekanan kapiler pulmoner 3. Menurunnya tekanan koloid osmotic dalam pleura 4. Menurunnya tekanan intra pleura
Penyakit-penyakit yang menyertai transudat adalah: a. Gagal jantung kiri (terbanyak) b. Sindrom nefrotik

27

c. Obstruksi vena cava superior d. Asites pada sirosis hati (asites menembus suatu defek diafragma atau masuk melalui saluran getah bening)

b. Exusadat
Eksudat merupakan cairan yang terbentuk melalui membrane kapiler yang permeabelnya abnormal dan berisi protein berkonsentrasi tinggi dibandingkan protein transudat. Bila terjadi proses peradangan maka

permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat sehingga selmesotelial berubahmenjadi bulat atau kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan kedalam rongga pleura. Penyebab pleuritis eksudativa yang paling sering adalah karena mikobakterium tuberkulosis dan dikenal sebagai pleuritis eksudativa tuberkulosa. Protein yang terdapat dalam cairan pleura kebanyakan berasal dari saluran getah bening. Kegagalan aliran protein getah bening ini (misalnya pada pleuritis tuberkulosis) akan menyebabkan peningkatan konsentasi protein cairan pleura, sehingga menimbulkan eksudat. Penyakit yang menyertai eksudat, antara lain:

a. Infeksi (tuberkulosis, pneumonia) b. Tumor pada pleura c. Infark paru, d. Karsinoma bronkogenik e. Radiasi, f. Penyakit dan jaringan ikat/ kolagen/ SLE (Sistemic Lupus Eritematosis).
Efusi pleura tipe transudatif dibedakan dengan eksudatif melalui pengukuran kadar Laktat Dehidrogenase (LDH) dan protein di dalam cairan, pleura. Efusi pleura eksudatif memenuhi paling tidak salah satu dari tiga kriteria berikut ini, sementara efusi pleura transudatif tidak memenuhi satu pun dari tiga criteria ini:

Protein cairan pleura / protein serum > 0,5 LDH cairan pleura / cairan serum > 0,6

28

LDH cairan pleura melebihi dua per tiga dari batas atas nilai LDH yang normal didalam serum.

5 . PATOFISIOLOGI3, 4 Dalam keadaan normal, selalu terjadi filtrasi cairan ke dalam rongga pleura melalui kapiler pada pleura parietalis tetapi cairan ini segera direabsorpsi oleh saluran limfe, sehingga terjadi keseimbangan antara produksi dan reabsorpsi. Kemampuan untuk reabsorpsinya dapat meningkat sampai 20 kali. Apabila antara produk dan reabsorpsinya tidak seimbang (produksinya meningkat atau reabsorpsinya menurun) maka akan timbul efusi pleura Patofisiologi terjadinya efusi pleura tergantung pada keseimbangan antara cairan dan protein dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal cairan pleura dibentuk secara lambat sebagai filtrasi melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi yang terjadi karena perbedaan tekanan osmotic plasma danjaringan interstitial submesotelial kemudian melalui sel mesotelial masuk kedalam rongga pleura. Selain itucairan pleura dapat melalui pembuluh limfe sekitar pleura. Pergerakan cairan dari pleura parietalis ke pleura visceralis dapat terjadi karena adanya perbedaantekanan hidrostatik dan tekanan koloid osmotik. Cairan kebanyakan diabsorpsi oleh sistem limfatik dan hanya sebagian kecil yang diabsorpsi oleh sistem kapiler pulmonal. Hal yang memudahkan penyerapan cairan pada pleura visceralis adalah terdapatnya banyak mikrovili di sekitar sel-sel mesothelial.

29

Bila penumpukan cairan dalam rongga pleura disebabkan oleh peradangan. Bila proses radang oleh kuman piogenik akan terbentuk pus/nanah, sehingga terjadi empiema/piotoraks. Bila proses ini mengenai pembuluh darah sekitar pleura dapat menyebabkan hemotoraks. Penumpukan cairan pleura dapat terjadi bila:

1. Meningkatnya pembentukan

tekanan cairan

intravaskuler melalui

dari

pleura

meningkatkan hukum

pleura

pengaruh

terhadap

Starling.Keadaan ni dapat terjadi pada gagal jantung kanan, gagal jantung kiri dan sindroma vena kava superior. 2. Tekanan intra pleura yang sangat rendah seperti terdapat pada atelektasis, baik karena obstruksi bronkus atau penebalan pleura visceralis. 3. Meningkatnya kadar proteindalam cairan pleura dapat menarik lebih banyak cairan masuk ke dalam rongga pleura 4. Hipoproteinemia seperti pada penyakit hati dan ginjal bisa menyebabkan transudasi cairan dari kapiler pleura ke arah rongga pleura 5. Obstruksi dari saluran limfe pada pleum parietalis. Saluran limfe bermuara pada vena untuk sistemik. Peningkatan dari tekanan vena sistemik akan menghambat pengosongan cairan limfe, gangguan kontraksi saluran limfe, infiltrasi pada kelenjar getah bening.
Efusi pleura akan menghambat fungsi paru dengan membatasi pengembangannya. Derajat gangguan fungsi dan kelemahan bergantung pada ukuran dan cepatnya perkembangan penyakit. Bila cairan tertimbun secara perlahan-lahan maka jumlah cairan yang cukup besar mungkin akan terkumpul dengan sedikit gangguan fisik yang nyata. Kondisi efusi pleura yang tidak ditangani, pada akhirnya akan menyebabkan gagal nafas. Gagal nafas didefinisikan sebagai kegagalan pernafasan bila tekanan partial Oksigen (Pa O2) 60 mmHg atau tekanan partial Karbondioksida arteri (Pa Co2) 50 mmHg melalui pemeriksaan analisa gas darah.

30

DAFTAR PUSTAKA 1. Wenas,Nelly Tendean. Waleleng,B.J. Abses hati piogenik. Dalam : Sudoyo,Aru W. Setiyohadi,Bambang. Alwi,Idrus. Simadibrata,Marcellus. Setiati,Siti. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. Hal 460-461. 2. Sofwanhadi, Rio. Widjaja, Patricia. Koan, Tan Siaw. Julius. Zubir, Nasrul. Anatomi hati. Gambar tomografi dikomputerisasi (CT SCAN). Magnetic resonance imaging (MRI) hati. Abses hati. Penyakit hati parasit. Dalam : Sulaiman, Ali. Akbar, Nurul. Lesmana, Laurentius A. Noer, Sjaifoellah M. Buku ajar ilmu penyakit hati edisi pertama. Jakarta : Jayabadi. 2007. Hal 1, 80-83, 93-94, 487-491, 513-514. 3. Lindseth, Glenda N. Gangguan hati, kandung empedu, dan pankreas. Dalam : Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit vol.1 edisi 6. Jakarta : EGC. 2006. Hal 472-476. 4. Guyton, Arthur C. Hall, John E. Hati sebagai suatu organ. Dalam : Buku ajar fisiologi kedokteran edisi 11. Jakarta : EGC. 2008. Hal 902-906. 5. Sherwood, Lauralee. Sistem pencernaan. Dalam : Fisiologi manusia dari sel ke sistem edisi 2. Jakarta : EGC. 2001. Hal 565. 6. Keshav, Satish. Structure and function. In : The gastrointestinal system at a glance. United Kingdom : Ashford Colour Press, Gosport. 2004. Chapter 27-28. 7. Friedman, Lawrence S. Rosenthal, Philip J. Goldsmith, Robert S. Liver, biliary tract and pancreas. Protozoal and helminthic infections. In : Papadakis, Maxine A. McPhee, Stephen J. Tierney, Lawrence M. Current medical diagnosis and treatment 2008 forty-seventh edition. Jakarta : PT. Soho Industri Pharmasi. 2008. Page 596, 1304-1306. 8. Krige,J. Beckingham, I.J. Liver abscesses and hydatid disease. In : Beckingham, I.J. ABC of Liver, Pancreas, and Gall Bladder. Spain : GraphyCems,Navarra. 2001. Chapter 40-42 9. Soedarto. Penyakit protozoa. Dalam : Sinopsis kedokteran tropis. Surabaya : Airlangga University Press. 2007. Hal 23-24, 27-29.

31

10. Nickloes, Todd A. Pyogenic liver abcesses. January 23th, 2009. November 1st, 2011. Available from http://emedicine.medscape.com/article/193182overview#showall. 11. Crawford, James M. Hati dan saluran empedu. Dalam : Kumar. Cotran. Robbins. Robbins buku ajar patologi vol.2 edisi 7. Jakarta : EGC. 2007. Hal 684. 12. Fauci. et all. Infectious disease. In : Harrisons principles of internal medicine 17th edition. USA. 2008. Chapter 202. 13. Brailita, Daniel. Amebic liver abscesses. September 19th, 2008. November 1st, 2011. Available from http://emedicine.medscape.com/article/183920overview#showall. 14. Junita,Arini. Widita,Haris. Soemohardjo,Soewignjo. Beberapa kasus abses hati amuba. Dalam : Jurnal penyakit dalam vol. 7 nomor 2. Mei 2006. 1 November 2011. Diunduh dari : http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/beberapa%20kasus%20abses%20hati%2 0amuba%20(dr%20arini).pdf. 15. Kliegman. Behrman. Jenson. Stanton. The digestive system. In : Nelson textbook of pediatric 18th edition. USA. 2007. Chapter 356. 16. Iljas, Mohammad. Ultrasonografi hati. Dalam : Rasad, Sjahriar. Radiologi diagnostik edisi kedua. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2008. Hal 469. 17. Syarif, Amir. Elysabeth. Amubisid. Dalam : Gunawan, Sulistia Gan. Setiabudy, Rianto. Nafrialdi. Farmakologi dan terapi edisi 5. Jakarta : Balai Penerbit UI. 2008. Hal 551-554. 18. Rani, Aziz. Soegondo, Sidartawan. Nasir, Anna Uyainah. Wijaya, Ika Prasetya. Nafrialdi. Mansjoer, Arif. Abses hati. Kolesistitis akut. Dalam : Panduan pelayanan medik perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam Indonesia. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. 2009. Hal 321324. 19. Almatsier, Sunita. Diet penyakit hati dan kandung empedu. Dalam : Penuntun diet edisi baru. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. 2010. Hal 120-122.

32

Anda mungkin juga menyukai