Anda di halaman 1dari 17

REFERAT

MANAJEMEN NYERI POST OPERASI

Pembimbing : dr. Kurnianto Trubus P, M. Kes, Sp. An Oleh : Kkoirurrohmah Nuzula, S. Ked 20080310068

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF RUMAH SAKIT PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2014

PENDAHULUAN Nyeri bukan hanya sebuah modalitas sensorik akan tetapi merupakan pengalaman.1 Nyeri terutama merupakan mekanisme pertahanan tubuh, rasa nyeri timbul bila ada jaringan rusak, dan hal ini akan menyebabkan individu bereaksi dengan cara memindahkan stimulus nyeri. Bahkan aktivitas ringan saja, misalnya duduk dengan bertopang dada pada tulang iskhia selama jangka waktu lama, dapat menyebabkan kerusakan jaringan, sebab aliran darah ke kulit berkurang akibat tertekannya kulit oleh berat badan. Bila kulit menjadi nyeri akibat iskemia, maka secara tak sadar orang itu akan mengubah posisinya. Penderita yang telah kehilangan rasa sakitnya, misalnya setelah mengalami kecelakaan pada medula spinalis, tak akan mempunyai rasa nyeri sehingga tak akan merubah posisinya. Akhirnya, keadaan ini akan menimbulkan ulserasi pada daerah yang tertekan.2 Rasa nyeri merupakan masalah yang unik, disatu pihak bersifat melindungi badan kita dan di pihak lain merupakan suatu siksaan. Nyeri sering dilukiskan sebagai sesuatu yang berbahaya (noksius) atau yang tidak berbahaya (nonnoksius) misalnya sentuhan ringan, kehangatan, tekanan ringan. Umumnya penyakit pada tubuh menimbulkan nyeri. Kemampuan untuk mendiagnosis bermacam-macam penyakit tergantung pada seberapa jauh pengetahuan seorang dokter mengenai bermacam-macam kualitas rasa nyeri.2

I.

DEFINISI Nyeri berdasarkan definisi IASP (International Association for the Study of Pain)

adalah perasaan atau pengalaman tidak menyenangkan yang dihubungkan dengan kerusakan jaringan atau potensial terjadi kerusakan. Persepsi terhadap nyeri tidak tergantung hanya pada derajat kerusakan jaringan tetapi juga dipengaruhi latar belakang budaya, pengalaman terhadap nyeri sebelumnya, rasa takut dan tidak berdaya.1,3 II. ANATOMI JALUR NYERI Jalur nyeri dimulai dari jalur saraf perifer dari kulit melewati dorsal root ganglion menuju ke dorsal horn, selanjutnya menjadi tractus spinotalamicus. Saraf aferen primer yang mengandung serat A , A dan C akan berakhir di Cornu dorsalis pada lamina-lamina tertentu.4 Mechanoreceptors A berakhir di lamina III,IV,V,VI dan laminanya terus menuju ke dorsal columns untuk nyeri tekan. Serat A yang mengandung mechanoreceptors berakhir pada lamina III dan IV yang mengandung nociceptors dan cold receptors berakhir di laminal dan V untuk nyeri tajam yang terlokasi dengan baik.4

Gambar 1. Anatomi jalur nyeri (Dikutip dari daftar pustaka no.5)

Serat C yang mengandung nociceptors, thermoreceptors dan mechanoreceptors berakhir dilamina I dan II untuk nyeri tumpul / terbakar, tidak terlokasi.4 Reseptor reseptor ini diaktifkan oleh adanya rangsangan-rangsangan dengan intensitas tinggi, misalnya berupa rangsangan termal, mekanik, elektrik dan rangsangan kimiawi.6,7 Zat-zat algesik yang mengaktifkan reseptor nyeri adalah ion K, H, asam laktat, 5hidroksi triptain. Selanjutnya setelah reseptorreseptor nyeri diaktifkan oleh zat-zat algesik tersebut, impuls nyeri disalurkan ke sentral melalui beberapa saluran saraf. Nyeri ini dapat berlangsung berjam-jam sampai berhari-hari.6,7

III.

PATOFISIOLOGI NYERI Nyeri dibedakan antara nyeri nosiseptif (somatic pain) dan nyeri non nosiseptif

(neuropathic pain), dimana nyeri nosiseptif berhubungan dengan kerusakan jaringan perifer. Rangsangan nosiseptif ditimbulkan oleh mediator nyeri yang dilepas pada kerusakan jaringan perifer, misalnya nyeri pasca bedah karena sayatan operasi, luka bakar, luka kecelakaan dll.8 Sedangkan nyeri non nosiseptif tidak berhubungan dengan kerusakan jaringan perifer, rangsangan timbul pada disfungsi atau kerusakan pada neuron nosiseptif itu sendiri, misalnya nyeri pada kerusakan jaringan saraf perifer, misalnya neuropathic diabeticum atau herpes zoster.8 Rangkaian proses yang menyertai antara kerusakan jaringan (sebagai sumber stimuli nyeri) sampai dirasakannya persepsi nyeri adalah suatu proses elektro-fisiologik, yang disebut sebagai nosisepsi (nociception).9 Ada empat proses yang jelas terjadi mengikuti suatu proses elektro-fisiologik nosisepsi, yakni: 1. Transduksi Merupakan proses stimuli nyeri (naxious stimuli) yang diterjemahkan atau diubah menjadi suatu aktivitas listrik pada ujung-ujung saraf. 2. Transmisi Merupakan proses penyaluran impuls melalui saraf sensoris menyusul proses trasnduksi. Impuls ini akan disalurkan oleh serabut saraf A delta dan serabut C sebagai neuron pertama dari perifer ke medulla spinalis. 3. Modulasi

Merupakan proses interaksi antara sistem analgetik endogen dengan impuls nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis. Sistem analgesik endogen meliputi enkefalin, endorfin, dan noradrenalin yang mempunyai efek menekan impuls nyeri kornu posterior medulla spinalis. Dengan demikian kornu posterior medulla spinalis diibaratkan sebagai pintu gerbang nyeri yang bisa tertutup atau terbuka untuk menyalurkan impuls nyeri. Proses tertutupnya atau terbukanya pintu nyeri tersebut diperankan oleh sistem analgesik endogen. 4. Persepsi Persepsi adalah hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan unik yang dimulai dari proses transduksi, transmisi, dan modulasi yang pada gilirannya menghasilkan suatu perasaan yang subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri.9

IV.

KLASIFIKASI NYERI

Berdasarkan waktu terjadinya: 1. Nyeri Akut, merupakan nyeri yang dialami mulai dari 1 detik sampai dengan 3 bulan. Nyeri akut dapat didefinisikan sebagai nyeri yang disebabkan oleh rangsangan noksius karena kerusakan, proses penyakit, atau fungsi abnormal dari otot atau organ visera.1 1.1 Nyeri Somatik Luar Nyeri tajam di kulit, subkutis, mukosa. Berdurasi pendek, lokalisasi terpusat, tidak menjalar, biasa disebabkan oleh cedera, laserasi, dan suhu panas atau dingin. 1.2 Nyeri Somatik Dalam Nyeri tumpul di otot rangka, tulang, sendi, jaringan ikat. Lokalisasi menyebar, tidak menjalar, biasa disebabkan oleh cedera, panas, iskemia, pergeseran. 1.3 Nyeri Visceral Nyeri karena penyakit atau disfungsi alat dalam. Lokalisasi menyebar, menjalar, biasa disebabkan oleh distensi, iskemia, spasme, dan iritasi kimiawi. 1.4 Nyeri Phantom

Nyeri khusus yang dirasakan oleh pasien yang mengalami amputasi. Nyeri yang dirasakan melalui persepsi pasien pada organ yang telah diamputasi seolah-olah organnya masih ada. 1.5 Nyeri Alih (referred pain) Nyeri yang timbul akibat adanya nyeri viseral yang menjalar ke organ lain, sehingga dirasakan nyeri pada beberapa lokasi. Lokasi Dermatom kutan Diafragma sentral C4 Paru T2-T6 Jantung T1-T4 Aorta T1-L2 Esofagus T3-L8 Pankreas dan limpa T5-L10 Lambung, hati dan kantong empedu T6-L9 Kelenjar adrenal T8-L1 Usus halus T9-T11 Usus besar T10-L1 Ginjal, ovaroium, testis T10-L1 Ureter T10-T12 Uterus T11-L2 Kandung kemih dan prostat S2-S4 Uretra dan rektum S2-S4 Tabel 1. Pola Nyeri Alih (Dikutip dari daftar pustaka no.1)

2. Nyeri Kronik, merupakan nyeri yang dialami lebih dari 3 bulan. Sangat subjektif dan dipengaruhi oleh kelakuan, kebiasaan, dan lain-lainnya. Bentuk paling umum dari nyeri kronik termasuk didalamnya berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal, gangguan visera kronik, lesi pada saraf perifer, radiks saraf, atau radiks ganglion dorsalis ( termasuk neuropati diabetikum, nyeri phanthom limb, dan neuralgia post herpetik).1

Gambar 2. Perbandingan nyeri akut dan nyeri kronik (Dikutip dari daftar pustaka no.13)

Berdasarkan kualitasnya, nyeri dibagi menjadi : 1. Nyeri cepat (Fast Pain) Nyeri yang singkat dan tempatnya jelas sesuai rangsang yang diberikan misalnya nyeri tusuk, nyeri pembedahan. Nyeri ini dihantarkan oleh serabut saraf kecil bermielin jenis A-delta dengan kecepatan konduksi 12-30meter/detik.4 2. Nyeri Lambat (Slow Pain) Nyeri ini sulit dilokalisir dan tak ada hubungan dengan rangsang misalnya rasa terbakar, rasa berdenyut, atau rasa ngilu, dan linu. Nyeri ini dapat dihantarkan oleh serabut saraf primitif tak bermielin jenis C dengan kecepatan konduksi 0,5-2 meter/detik.4

Menurut patofisiologinya, nyeri dapat dibagi menjadi 4 yaitu:

Nyeri Nosiseptif atau nyeri inflamasi, yaitu nyeri yang timbul akibat adanya stimulus mekanis terhadap nosiseptor. Nyeri Neuropatik, yaitu nyeri yang timbul akibat disfungsi primer pada sistem saraf akibat gangguan pada neuron, bisa bersifat akut maupun kronis. Nyeri Idiopatik, nyeri dimana kelainan patologik tidak dapat ditemukan. Nyeri Psikologik, bersumber dari emosi/psikis dan biasanya tidak disadari. Gangguan ini lebih menngarah pada gangguan psikologis yang umumnya terjadi akibat efek-efek psikogenik seperti cemas dan takut yang timbul pada pasien.4

V.

TATALAKSANA NYERI

Nyeri merupakan gejala paling umum yang menyebabkan seorang pasien datang mencari dokter. Berbagai rencana terapi nyeri harus langsung diarahkan pada proses yang mendasarinya agar bisa mengontrol rasa nyeri tersebut dengan baik.1,9 Peran ahli anestesi selain diruang operasi juga di dalam mengelola nyeri akut maupun kronik di klinik nyeri maupun di rumah sakit. Ahli anestesi dididik tidak hanya dalam aspek teknik pengelolaan nyeri seperti blok saraf dan pemasangan kateter spinal tetapi juga di dalam menggunakan ketrampilan diagnosa klinik, pengetahuan prinsip farmakologi dan pengetahuan tentang problem nyeri.1 Istilah pada manajemen terapi nyeri merupakan hal yang berkaitan pada semua disiplin ilmu dari anestesiologi. Aplikasi terapi nyeri pada saat ini juga berlaku pada ruang di luar ruang operasi. Aplikasi praktek ini membagi nyeri menjadi nyeri akut dan nyeri kronik, pada nyeri akut biasanya terjadi pada pasien setelah menjalani pembedahan. Sayangnya sering terjadi tumpang tindih misalnya pada pasien yang menderita kanker seringkali mendapatkan terapi jangka pendek serta jangka panjang baik di dalam maupun di luar rumah sakit.1 Praktek dari terapi nyeri tidak hanya terbatas bagi ahli anestesi akan tetapi melibatkan praktisi kesehatan lainnya seperti tenaga medis (internis, ahli bedah tumor, ahli saraf) dan juga tenaga non medis (ahli kejiwaan, ahli akupuntur). Ahli anestesi yang mempelajari manajemen nyeri disebutkan merupakan sebuah posisi yang unik karena mengkoordinasikan manajemen nyeri multi disiplin dari berbagai keilmuan yang luas berupa

bedah, obstetrik, pediatrik, dan subspesialis lain yang dituntut keahliannya dalam farmakologi klinik dan neuroanatomi termasuk blok saraf pusat dan perifer.1 Penanganan nyeri perlu memahami proses patofisiologi. Terdapat empat proses yang terjadi dimulai dari transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi. Sisi target obat pereda nyeri adalah : NSAID pada proses transduksi Anestetik lokal pada proses transmisi Opioid pada proses modulasi

Yang disebut sebagai balanced analgesia adalah pemberian analgetik yang sisi targetnya pada proses transduksi, transmisi dan modulasi.10 A. Non medikamentosa Hipnosis dan sugesti. Dalam upaya menghilangkan rasa nyeri, rasa takut perlu perlu dihilangkan untuk menciptakan kondisi yang optimal bagi pelaksanaan pembedahan. Oleh karena hal tersebut maka hypnosis dan sugesti dapat membantu menghilangkan komplikasi nyeri pasca bedah.

B. Medikamentosa Penanganan nyeri umumnya bersifat pendekatan multidisiplin yang meliputi penggunaan farmakologis (analgesik berupa opioid atau NSAIDs) atau pendekatan non-farmakologik (berupa intervensional, terapi fisik, penggunaan es atau panas) dan pendekatan psikologis seperti terapi kognitif. WHO mengajurkan penanganan nyeri sesuai pain ladder di mana pertama kali dipublikasikan untuk penanganan kanker, tetapi kemudian digunakan sebagai prinsip dasar ketika berhadapan degan nyeri tipe apapun.

Golongan Opioid Opiat berasal dari biji-bijian opium, opioid berarti mirip opiat (opiat-like) adalah derivat opium termasuk opium natural dan sintetik. Opioid merupakan obat penghilang nyeri yang terkuat.11

Ada lima kelompok reseptor opiat yang tersebar dalam tubuh (otak, medula spinalis, saraf perifer, ganglion, medula adrenal, dan usus). Reseptor yang berbeda akan memberikan efek farmakologis yang berbeda pula tergantung di mana lokasinya. Sebagian besar reseptor opioid di otak berada di PAG (periaqueductal gray). Stimulasi pada reseptor ini akan mengaktifkan serabut desenden, yang mana akan memodulasi input serabut C ke dalam lamina II medula spinalis. Modulasi ini akan menyebabkan medula spinalis merilis neurotransmiternya (nor-epinefrin dan serotonin).

Gambar 3. Analgesic ladder (Dikutip dari daftar pustaka no.14) Reseptor opioid di tingkat medula spinalis berada di lamina II (subtansia gelatinosa). Stimulasi pada reseptor ini akan menghambat rilis SP (Subtansi P) dari terminal saraf presinaptik, dan akan meningkatkan konduksi kalium pada terminal post-sinaptik.

Ada 3 jenis utama reseptor opioid yaitu mu (), delta (), dan kappa (). Reseptor memperantarai efek analgetik mirip morfin, euforia, depresi pernapasan, miosis, dan berkurangnya motilitas saluran cerna. Reseptor diduga memperantarai analgesia seperti yang ditimbulkan pentazosin, sedasi serta miosis dan depresi pernapasan yang tidak sekuat agonis . Selain itu di susunan saraf pusat juga terdapat reseptor yang memegang peranan penting dalam menimbulkan depresi pernapasan yang ditimbulkan opioid. Berdasarkan kerjanya pada reseptor, obat golongan opioid dibagi menjadi agonis penuh (kuat), agonis parsial (agonis lemah sampai sedang), campuran agonis dan antagonis. Yang termasuk golongan agonis kuat adalah morfin, hidromorfon, oksimorfon, metadon, meperidin, fentanil, dan levorfanol. Yang termasuk golongan agonis parsial adalah kodein, oksikodon, hidrokodon, propoksifen, dan difenoksilat. Dan yang termasuk dalam golongan campuran agonis dan antagonis adalah nalbufin, buprenorfin, dan pentazosin.11

Golongan Non-Opioid Yang termasuk golongan ini adalah golongan obat anti inflamasi non steroid, golongan obat asetaminofen dan obat golongan tramadol.11

1. Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS/NSAID) OAINS adalah obat analgetik non-opioid yang mempunyai efek anti-inflamasi, antipiretik dan analgetik. Obat golongan ini direkomendasikan untuk menanggulangi nyeri ringan sampai dengan sedang. Cara kerja OAINS terutama melalui penghambatan enzim COX, yang mencegah pemecahan asam arakhidonat membentuk prostaglandin (PG). PG ini akan memicu reaksi inflamasi dan secara langsung mensensitisasi terminal saraf serabut C di perifer terhadap stimulus termal, mekanis, dan kimia. Karena sensitisasi ini maka mediator kimia seperti bradikinin, histamin dan SP akan memberikan efek yang lebih besar pada reseptor nyeri (nosiseptor).11

2. Obat Asetaminofen Asetaminofen adalah derivat parasetamol dan berbeda dengan golongan OAINS

karena tidak mempunyai efek anti inflamasi. Obat ini baik untuk menghilangkan nyeri sedang yang tidak mempunyai efek anti inflamasi. Obat ini sering dikombinasikan dengan narkotik (codein).

Cara kerja obat masih belum jelas. Analgesia disebabkan oleh inhibisi NO dalam medula spinalis. NO adalah neurotransmiter yang dirilis pada kornu dorsalis medula spinalis bila aktivasi dari serabut C. dengan adanya NO pada celah sinaptik dapat mengaktivasi neuron traktus spinotalamikus post sinaptik. Selain

asetaminophen akan menginhibisi COX di otak, yang mana akan menyebabkan efek antipiretik.

3. Obat Tramadol Tramadol menyebabkan analgesi melalui dua mekanisme yaitu: a. Ikatan lemah pada reseptor , karenanya ia merupakan opioid agonis yang lemah. b. Memudahkan rilis dan menghambat re-uptake dari serotonin atau norepinephrin. Efek samping yang sering terjadi adalah mual, muntah dan sakit kepala. Efek farmakologis tramadol ialah terserap melalui traktus gastrointestinal dan parenteral.

Golongan Obat Adjuvan Obat golongan ini digunakan dalam penanggulangan nyeri walaupun tidak mempunyai efek analgetik. Obat ini menghilangkan nyeri sebagai suatu sindrom atau potensiasi dengan obat analgetik seperti halnya kerja opioid. Obat adjuvan sebelumnya digunakan untuk tujuan lain dari penanggulangan nyeri, tetapi seiring perkembangan pengetahuan fisiologi yang mendasari sindrom nyeri, obat adjuvan semakin banyak digunakan dalam penanggulangan nyeri.12 1. Obat anti depresan Obat anti depresan sering digunakan pada penanggulangan sindroma nyeri kronis. Obat anti depresan menginhibisi re-uptake amin biogenik (norepinephrin dan serotonin) kembali ke dalam terminal saraf, sehingga meningkatkan konsentrasi dan durasi dari kerja neurotransmiter pada sinaps. Neuron serotonergik dan noradrenergik dalam batang otak akan menginhibisi input serabut C ke medulla spinalis. Obat anti depresan akan mengaktifkan neuron inhibisi desenden yang juga diaktifkan oleh opioid. Anti depresan akan berpotensiasi dengan serotonin dan norepinefrin yang dirilis oleh opioid. 2. Obat anti konvulsan

Obat anti konvulsan efektif dalam penanggulangan sindroma nyeri yang bersifat intermiten-tajam, neuropatik dan kontinyu burning. Obat yang sering digunakan adalah golongan karbamazepine, gabapentin dan fenitoin. Cara kerja obat memblok Sodium Channel yang akan menekan fokus ektopik dalam otak karenanya dapat mencegah kejang dan obat ini juga mengurangi pelepasan fokus ektopik dari cedera saraf perifer yang diperkirakan sebagai penyebab dari nyeri intermiten yang tajam.12 3. Obat anti aritmia Obat anti aritmia tampaknya berguna pada penanggulangan sindroma nyeri yang bersifat intermiten-tajam, allodinia dan dysesthetic. Obat yang sering digunakan adalah golongan Bretylium, Guanetidin, dan Lidokain. Cara kerja obat golongan ini hampir sama seperti obat anti-konvulsan. 4. Obat antagonis alfa-1 dan agonis alfa-2 Sistem saraf simpatis terlibat banyak sindroma nyeri kronis. Obat alfa-1 antagonis dan alfa-2 agonis digunakan untuk maksud ini. Terminal saraf perifer bertindak sebagai reseptor alfa yang akan menjadi aktif pada keadaan nyeri neuropatik. Sistem saraf simpatis akan merilis norepinephrine (NE), yang menstimuli reseptor ini dan menyebabkan rasa nyeri. Alfa bloker akan memblok kerja NE pada reseptor ini. Alfa-2 agonis akan obat ini membuat suatu simpatektomi kimia.12

NYERI PASCA OPERASI Nyeri yang timbul pada keadaan akibat trauma dan proses inflamasi akibat tindakan pembedahan, bersifat nosiseptif pada waktu istirahat dan seringkali bertambah pada waktu bergerak. Nyeri ini memicu respon stress yaitu respon neuro endokrin yang berpengaruh pada mortalitas dan morbiditas komplikasi pasca operasi. Nyeri ini dibagi menurut tindakan operasinya, antara lain;7 a. Nyeri hebat, diakibatkan oleh tindakan operasi thorakal, abdomen bagian atas, sendi lutut, dan operasi aorta. b. Nyeri sedang, biasa dijumpai pada operasi abdomen bawah, mandibula, replacement pinggul. c. Nyeri ringan timbul menyertai operasi herniorafi inguinal, varisektomi, laparoskopi.7 Terdapat berbagai konsep penangulangan nyeri operasi:

1. Analgesi balans atau analgesi multi modal Konsep ini merujuk pada perjalanan nyeri nosisepsi dan penggunaan NSAID pada proses transduksi, anestetik lokal pada proses transmisi dan opioid pada proses modulasi dan persepsi. 2. Konsep penanganan nyeri akut Sesuai dengan tangga analgesik WHO, prinsip terapi nyeri akut adalah descending the ladder.

Gambar 4. Three step ladder analgesic (dikutip dari daftar pustaka no.15)

3. Konsep analgesi preemtif Konsep ini merujuk pada pemberian obat sebelum nyeri tersebut terjadi. 4. Kateter kontinyu regional analgesi Penggunaan kateter epidural pada majemen nyeri perioperatif mendapatkan tempat pada torakotomi dan laparatomi abomen atas. Sedangkan penggunaan kateter pada blok regional seperti blok pleksus brakhialis.7 5. Konsep Patient Controlled Analgesia (PCA) Konsep ini menyediakan: infus tetap sediaan analgesik sehingga pemberian analgetik tetap berada dalam jendela terapetik obat, infus bolus analgetik dalam jumlah tertentu yang bisa diberikan oleh pasien sendiri sehingga memberikan kepercayaan dan rasa nyaman penderita dan pengaman kunci infus sehingga infus bolus dan infus tetap terjaga pada dosis yang telah ditetapkan.7

VI.

KESIMPULAN Nyeri bukan hanya sebuah modalitas sensorik akan tetapi merupakan pengalaman.

Rasa nyeri merupakan masalah yang unik, disatu pihak bersifat melindungi badan kita dan di

pihak lain merupakan suatu siksaan. Secara klinis penting untuk membagi nyeri menjadi dua kategori: nyeri akut dan nyeri kronik Terdapat empat proses patofisiologi nyeri yang terjadi yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi. Beberapa serabut aferen yag terlibat diantaranya adalah serabut serat A, A dan C . Peran ahli anestesi selain diruang operasi juga di dalam mengelola nyeri akut maupun kronik di klinik nyeri maupun di rumah sakit. Manajemen terapi nyeri merupakan hal yang berkaitan pada semua disiplin ilmu dari anestesiologi. Praktek dari terapi nyeri tidak hanya terbatas bagi ahli anestesi akan tetapi melibatkan praktisi kesehatan lainnya seperti tenaga medis dan juga non medis. Manajemen nyeri melibatkan semua proses pengobatan yang ada, farmakologis, intervensi atau diluar farmakologis. Tujuan utama dari manajemen nyeri adalah untuk mengurangi kesakitan dan kematian yang diakibatkan oleh nyeri pasca operasi.

DAFTAR PUSTAKA 1. Morgan GE, Mikhail MS. Pain management. In: Clinical Anesthesiology. 4th ed. United States of America: Mc Graw-Hill Companies, 2006: 359-411. 2. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta: EGC, 1997: 760-765. 3. Australian and New Zealand College of Anesthesists and Faculty of Medicine. Acute Pain Management. Victoria.: Autralian Government NHMRC, 2005: 1-6. 4. Sidharta P. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum. Jakarta: Dian Rakyat. 2009: 2560. 5. Anatomi Jalur Nyeri. Available from: Diunduh

http://physioworks.com.au/FAQRetrieve.aspx?ID=30895#.UO2UdqypIXI. pada tanggal 26 Desember 2012.

6. Gede M. Ilmu Anestesia dan Reaminasi. Denpasar: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Universitas Udayana. 2010: 217-227. 7. Soenarjo dkk. Anestesiologi. Semarang: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran UNDIP/RSUP Kariadi; 2010: 295-305. 8. Rasa Nyeri. Available from: http://spiritia.or.id/li/bacali.php?lino=560. Diunduh pada tanggal 26 Desember 2012.

9. Holdcroft A, Jaggar S.Core Topics in Pain. London: Cambridge University, 2005: 223 10. Marwoto. Masalah Nyeri: Anatomi, Fisiologi dan Manajemen Nyeri Secara Rasional. Semarang: Bagian/SMF Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 2003: 1-6. 11. Budiman G. Basic Neuroanatomical Pathway. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2005: 5-11. 12. Muhiman M, Thaib R, Sunatrio S, Dahlan R. Anestesiologi. Jakarta: Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. 2004: 27-33. Bagian

13. Table

of

Acute

pain

versus

Chronic

pain.

Available

from: Diunduh

http://www.whatworksforpain.com/2010/02/understanding-chronic-pain. pada tanggal 28 Desember 2012. 14. WHO Analgesic Ladder. Available

from:

http://www.medscape.com/viewarticle/452533_2. Diunduh pada tanggal 28 Desember 2012.

15. Three

step

analgesic

ladder

for

acute

pain.

Available

from:

http://www.medicine.ox.ac.uk/bandolier/booth/painpag/wisdom/493HJM.html. Diunduh pada tanggal 28 Desember 2012.

Anda mungkin juga menyukai