Anda di halaman 1dari 46

CASE REPORT SEORANG WANITA 68 TAHUN DENGAN KONGESTI HEPATOPATI DAN DIABETES MELITUS TIPE II

Oleh: M. Rizky Huryamin H., S.Ked J500090106

Pembimbing: dr. Asna Rosida, Sp.PD

KEPANITRAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM RSUD DR. HARJONO PONOROGO FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2014 1

LAPORAN KASUS SEORANG WANITA 68 TAHUN DENGAN KONGESTI HEPATOPATI DAN DIABETES MELITUS TIPE II

OLEH: Muhammad Rizky Huryamin Hasdinata, S.Ked J500090106

Telah disetujui dan disyahkan oleh bagian Program Pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta Pada hari tanggal Februari 2014

Pembimbing: dr.Asna Rosida, Sp.PD ( )

dipresentasikan dihadapan: dr. Asna Rosida, Sp.PD ( )

Disyahkan Ka. Program Profesi : dr. Dona Dewi Nirlawati ( )

STATUS PASIEN

I.

IDENTITAS PASIEN Nama pasien Umur Jenis kelamin Alamat Pekerjaan Status perkawinan Agama Suku Tanggal rawat di RS Tanggal pemeriksaan : Ny. M : 68 tahun : Perempuan : Morojogo, Jetis, Ponorogo : Wiraswasta : Menikah : Islam : Jawa : 27 Januari 2014 : 23 Januari 2014

II.

ANAMNESIS Riwayat penyakit pasien diperoleh secara autoanamnesis dan aloanamnesis.

A. Keluhan Utama Nyeri perut sebelah kanan atas.

B. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke IGD RSUD Ponorogo pada tangal 23 Januari 2014 dengan keluhan nyeri perut kanan atas. Keluhan ini sudah dirasakan sejak 3 minggu SMRS. Nyeri perut terasa seperti ditusuk-tusuk dan panas yang menjalar ke pinggang secara berangsur-angsur, kadang hilang sendiri dan diperparah bila diberi makanan dan minuman. Sehingga pasien jarang makan.. Pasien juga mengeluh sesak pada malam hari sehingga pasien menggunakan 2 bantal dan saat aktivitas juga, nyeri dada kiri,pusing, lemas, mual. Pasien mengaku BAK normal. BAB konsistensi lembek, darah tidak ada, lender tidak ada.

C. Riwayat Penyakit Dahulu 1. Riwayat hipertensi 2. Riwayat diabetes melitus 3. Riwayat penyakit jantung 4. Riwayat penyakit ginjal 5. Riwayat penyakit liver 6. Riwayat maag 7. Riwayat atopi 8. Riwayat opname 9. Riwayat trauma 10. Riwayat penyakit serupa : diakui : disangkal : diakui (PJK) : disangkal : disangkal : diakui : disangkal : diakui (3x) : disangkal : disangkal

D. Riwayat Penyakit Keluarga 1. Riwayat penyakit serupa 2. Riwayat hipertensi 3. Riwayat diabetes melitus 4. Riwayat penyakit jantung 5. Riwayat atopi : disangkal : disangkal : disangkal : diakui (anak perempuan 50 tahun) : disangkal

E. Riwayat Pribadi 1. Merokok 2. Konsumsi alkohol 3. Konsumsi obat bebas 4. Konsumsi jamu 5. Konsumsi kopi 6. Makan tidak teratur F. Riwayat Sosial Ekonomi Pasien tinggal bersama suami dan cucu laki-lakinya. Kegiatan sehari-hari bekerja sebagai pedagang di warung, dan sejak sekitar 3 minggu yang lalu istirahat karena pasien merasa sakit. Pasien berobat dengan biaya sendiri. : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : diakui

III. PEMERIKSAAN FISIK (27 Januari 2014) Keadaan umum Kesadaran Vital Sign Tekanan darah Nadi Respiratory rate Suhu : lemah, kurus : kompos mentis, E4 V5 M6 : : 120/80 mmHg (berbaring, pada lengan kanan) : 80 x/menit (isi dan tegangan cukup), irama reguler : 26 x/menit tipe thorakoabdominal : 36,4 0C per aksiler

A. Kulit Ikterik (-), petekie (-), purpura (-), akne (-), turgor cukup, hiperpigmentasi (-), bekas garukan (-), kulit kering (-), kulit hiperemis ().

B. Kepala Bentuk mesosefal, rambut warna hitam keputihan , mudah rontok (-), luka (-).

C. Mata Sklera ikterik (+/+), konjungtiva anemis (-/-), injeksi konjungtiva (-/-), perdarahan subkonjungtiva (-/-), pupil isokor dengan diameter 3 mm/3 mm, reflek cahaya (+/+), edema palpebra (-/-), strabismus (-/-).

D. Hidung Nafas cuping hidung (+/+), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-).

E. Telinga Deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-).

F. Mulut Sianosis (-), gusi berdarah (-), kering (-), stomatitis (-), mukosa pucat (-), lidah tifoid (-), papil lidah atrofi (-), luka pada tengah bibir (-), luka sudut bibir (-).

G. Leher Leher simetris, deviasi trakea (-), JVP(+) meningkat, pembesaran kelenjar limfe (-).

H. Thorak 1. Paru Inspeksi : kelainan bentuk (-), simetris (+), ketinggalan gerak (-), retraksi otot-otot bantu pernapasan (-).

Palpasi

: Fremitus Depan Belakang N N N n n n n n n n n n

Ketinggalan gerak Depan Belakang -

Perkusi Depan S S S S S S

: Belakang S S S S S S

S: sonor Auskultasi :

Suara dasar vesikuler Depan Belakang

+ + +

+ + +

+ + +

+ + +

Suara tambahan: wheezing (-/-), ronkhi kering (+/+). 2. Jantung - Inspeksi - Palpasi - Perkusi Batas kiri jantung Atas Bawah Batas kanan jantung Atas Bawah - Auskultasi : SIC II linea parasternalis dextra. : SIC IV linea parasternalis dextra. : bunyi jantung I-II reguler, bising sistolik (+) derajad III 3. Abdomen Inspeksi : dinding abdomen lebih tinggi dari dinding dada, : SIC II linea parasternalis sinistra. : SIC V linea midclavicula sinistra. : iktus kordis tidak tampak. : iktus kordis tidak kuat angkat. : batas jantung.

venektasi (-), distended (-). Auskultasi : peristaltik (+) normal, metallic sound (-). Perkusi : timpani, pekak alih (+), undulasi (+), hepatomegali (+),

splenomegali (-). Palpasi : hepatomegali teraba 7cm di BACD konsistensi kenyal,

tidak berbenjol-benjol dan tepi tumpul, defans muskuler (-), nyeri tekan (+) pada epigastrium dan umbilical dextra. Nyeri tekan + + -

4.

Pinggang Nyeri ketok kostovertebra (-/-).

5.

Ekstremitas - Superior : clubbing finger (-), koilonikia (-), palmar eritema (-), edema (-), akral hangat (+). - Inferior : clubbing finger (-), koilonikia (-), edema pitting (+), akral hangat (+).

IV.

PEMERIKSAAN PENUNJANG A. Pemeriksaan darah rutin (tanggal 23 Januari 2014) Pemeriksaan WBC Lymph # Mid# Gran# Lymph% Mid% Gran% Hb Eritrosit Hematokrit Indeks Eritrosit MCV MCH MCHC Trombosit 82.1 26,2 32,0 415 fl Pg % 103 uL 82-95 27-31 32-36 100-300 Hasil 11,4 2,1 0,6 8,7 18,0 5,9 76,1 11,7 4.36 36,6 Satuan 103 uL 103 uL 103 uL 10 uL % % % gr/dl 106 uL %
3

Nilai Normal 4.0-10.0 0,8-4 0,1-0,9 2-7 20-40 0.7-1.4 50-70 11,0-16,0 3,50 5,50 37-50

B. GDA: - 280 (<140) pada tanggal 23-01-14 - 213 (<140) pada tanggal 24-01-14 - 280 (<140) pada tanggal 25-01-14 - 130 (<140) pada tanggal 26-01-14 - 215 (<140) pada tanggal 27-01-14

C. Pemeriksaan kimia darah

Pemeriksaan GDA DBIL TBIL SGOT SGPT ALP GAMA GT TP ALB Glob UREA CREAT UA

Hasil 103 0,66 1,45 48,9 18,7 162 16,5 8,3 3,4 4,9 74,92 1,31 3,8

Satuan mg/dl mg/dl Mg/dl u/L u/L u/L u/L g/dl g/dl g/dl g/dl mg/dl mg/dl

Nilai Normal < 140 0-0,35 0,2-1,2 0-38 0-40 98-279 10-54 6,6-8,3 3,5-5,5 2-3,9 10-50 0,7-1,2 3,4-7

CHOL TG HDL LDL

193 106 37 135

mg/dl mg/dl mg/dl mg/dl

140-200 36-165 45-150 0-190

D. EKG (26 januari 2014) a. Frekuensi : 83 x/menit : reguler : sinus : normal (lead I (+), aVF (+)) : gelombang P selalu diikuti gelombang QRS dan T interval PR 0,12 detik gelombang QRS 0,08 detik terdapat Q patologis di lead V1: curiga Infark miokard, RBBB

b. Ritme c. Jenis irama

d. Aksis e. Morfologi gelombang

10

E.

RESUME / DAFTAR ABNORMALITAS (yang ditemukan positif) A. Anamnesis 1. Nyeri perut kanan atas sejak 3 minggu SMRS. 2. Nyeri perut terasa di tusuk-tusuk dan panas yang menjalar 3. Mengeluh sesak sudah 4 hari. 4. Nyeri dada kiri yang sudah lama . 5. Lemas dan mual 6. Riwayat penyakit dahulu pernah mengalami hipertensi dan Gagal jantung kongestif sempat mondok 3x karena sakit tersebut.

B. Pemeriksaan 1. Vital sign Tekanan darah :120/80 mmHg (berbaring, pada lengan kanan). Nadi RR Suhu :80 x/menit (isi dan tegangan cukup), iramareguler. :26 x/menit tipe thorakoabdominal (takipnea) :36,4 0C per aksiler

2. Pemeriksaan fisik Sklera Ikterik (+/+), cuping hidung (+/+), JPV meningkat, Rhonki kering (+/+), bising sistolik (+) derajat III, Hepatomegali 7cm di BACD konsistensi keras, tidak berbenjol dan tepi tumpul, nyeri tekan regio epigastrium dan umbilical dextra.

3. Pemeriksaan darah rutin Pemeriksaan WBC Lymph # Mid# Hasil 11,4 2,1 0,6 Satuan 103 uL 10 uL 103 uL
3

Nilai Normal 4.0-10.0 0,8-4 0,1-0,9

11

Gran# Lymph% Mid% Gran% Hb Eritrosit Hematokrit Indeks Eritrosit MCV MCH MCHC Trombosit

8,7 18,0 5,9 76,1 11,7 4.36 36,6

103 uL % % % gr/dl 106 uL %

2-7 20-40 0.7-1.4 50-70 11,0-16,0 3,50 5,50 37-50

82.1 26,2 32,0 415

fl Pg % 103 uL

82-95 27-31 32-36 100-300

4. GDA - 280 (<140) pada tanggal 23-01-14 - 213 (<140) pada tanggal 24-01-14 - 280 (<140) pada tanggal 25-01-14 - 130 (<140) pada tanggal 26-01-14 - 215 (<140) pada tanggal 27-01-14

5. EKG

ket: terdapat Q patologis ( dalamnya >2 kotak kecil): curiga Infark miokard

12

6. Pemeriksaan kimia darah

Pemeriksaan DBIL TBIL SGOT SGPT ALP GAMA GT TP ALB Glob UREA CREAT UA CHOL TG HDL LDL

Hasil 0,66 1,45 48,9 18,7 162 16,5 8,3 3,4 4,9 74,92 1,31 3,8 193 106 37 135

Satuan mg/dl Mg/dl u/L u/L u/L u/L g/dl g/dl g/dl g/dl mg/dl mg/dl mg/dl mg/dl mg/dl mg/dl

Nilai Normal 0-0,35 0,2-1,2 0-38 0-40 98-279 10-54 6,6-8,3 3,5-5,5 2-3,9 10-50 0,7-1,2 3,4-7 140-200 36-165 45-150 0-190

13

POMR (Problem Oriented Medical Record) Daftar Abnormalitas - Nyeri perut kanan atas, mual, sesak pada siang dan malam, riwayat gagal jantung kongesti, criteria Framingham (+) (3 mayor + 2 minor. - sklera ikterik (+/+), JPV meningkat, bising sistolik, hepatomegali 7cm di BACD, NT di regio epigastrium dan umbilical dextra. Lab SGOT: 48,9. DBIL: 0,66. TBIL: 1,45 - GDA: 215 (27-01-14) - diabetes melitus -diabetes mellitus tipe II - GD 2 jam RImaintenance: -Klinis PP 3x 4 unit -GDA -HbA1C Problem - Hepatomegali Assesment - Kongesti hepatopati (cardiac liver) e.c CHF derajat 4 Planning Diagnosa -EKG -Kimia darah -USG/CT scan/MRI abdomen - Biposi hepar (PA) -Konsul dr jantung atau -Captopril 3x12,5mg Digoxin 1x1 Furosemid 1x100mg Planning Terapi - Inf PZ 10 tpm, - O2 3 liter, - ondacentron 3X1 amp, - Ranitidine 2x1 amp Planning Monitoring -Klinis -kimia darah -LFT dan RFT

14

FOLLOW UP Date Subject KU: lemah T: 120/80 RR:24 Object KS: CM N: 80 S: 36,2 Assesment Dyspepsia + DM tipe II Planning Inf PZ 12 tpm Inj amp ondacentron 3X1 amp antacid 3x8mg pasang D/C cek GDA Ranitidine 2x1

23/1/14 Nyeri ulu hati, mual (+)

K/L: CA (-/-), SI (+/+), JPV >> Thorak: c/ bising sistolik der III Abdomen: hepatomegali, NT (+), peristaltic (+) Ekstremitas: dbn. GDA : 280

24/1/14 Nyeri perut kanan ats

KU: lemah T: 120/80 RR:24

KS: CM N: 80 S: 36,2

Cardiac liver Tx lanjut + konsul dr. + DM tipe II setyo Sp.JP Captopril 3x12,5 Asa 1-0-0 200mg Digoxin 1x1 Furosemid 2x1

K/L: CA (-/-), SI (+/+), JPV >> Thorak: c/ bising sistolik der III Abdomen: hepatomegali, NT (+), peristaltic (+) Ekstremitas: dbn. GDA : 213

25/1/14 Nyeri perut kanan ats,

KU: lemah T: 120/90

KS: CM N: 80

Cardiac liver Tx lanjut+ PZ 10 tpm + DM tipe II Rantin 2x1 amp

15

sesak

RR: 32

S: 36,5

ODR 3x1 AI 3x14 Lansoprazole 0-0-1 Diet DM 2100

K/L: CA (-/-), SI (+/+), JPV >>, Thorak: dbn Abdomen: hepatomegali, NT (+), peristaltic (+) Ekstremitas: dbn. GDA: 280

26/1/14 Nyeri perut kanan ats, sesak

KU: lemah T: 120/90 RR: 20

KS: CM N: 72 S: 36,5

Cardiac liver Terapi lanjut + + DM tipe II atunex 0-0-1/2 tab

K/L: CA (-/-), SI (+/+), JPV >>, Thorak: dbn Abdomen: hepatomegali, NT (+), peristaltic (+) Ekstremitas: dbn GDA : 130

27/1/14 Nyeri perut kanan ats, sesak

KU: lemah T: 120/90 RR: 20

KS: CM N: 72 S: 36,5

Cardiac liver Tx lanjut + + DM tipe II Inf PZ 12 tpm Ranitidine 2x1 Ondacentron 3x1 Lansoprazole 1x1 Acrapit 3x14 unit

K/L: CA (+/+), SI (-/-), IK (-/-), PKGB (-/-). Thorak: dbn Abdomen: distended (+), pekak alih (+), Undulasi (+) Ekstremitas: edema piting (+) GDA : 215

16

PEMABAHASAN
Congestive Heart Failure (CHF) adalah suatu sindroma klinik yang disebabkan oleh berkurangnya volume pemompaan jantung untuk keperluan relatif tubuh disertai hilangnya curah jantung dalam mempertahankan aliran balik vena.Faktor risiko terjadinya CHF yaitu dari usia 35-44 tahun dan meningkat dengan bertambahnya umur. kita ketahui dari segi umur pasien berusia 68 tahun. Dan pada kriteria Framingham pasien ini memenuhi 3 kriteria mayor (Irama derap S3, Peningkatan tekanan vena jugularis, Paroksismal nocturnal dispnea) dan 2 kriteria minor (Dyspneu deffort, Hepatomegali). Berdasarkan gejala sesak nafas New York Heart Association (NYHA) pasien masuk derajat IV karena pasien sama sekali tidak dapat melakukan aktifitas. Selain itu dari riwayat penyakit dahulu juga pasien mengaku pernah mondok 3x karena sakit jantung. Pemeriksaan EKG pun pasien diindikasikan terdapat gelombang Q patologis yaitu terdapat miokard infark.

Cardiac liver / kongesti hepatopati adalah suatu manifestasi dari penyakit jantung koroner (PJK). Kongesti hepatopati disebabkan oleh dekompensasi ventrikel kanan jantung atau gagal jantung biventrikular. Dimana terjadi peningkatan tekanan atrium kanan ke hati melalui vena kava inferior dan vena hepatik. Ini merupakan komplikasi umum dari gagal jantung kongestif, dimana akibat anatomi yang berdekatan terjadi peningkatan tekanan vena sentral secara langsung dari atrium kanan ke vena hepatic. Pada congestive heaptopathy hepar ikut membesar, pasien ditinjau dari anamnesis mengeluh nyeri perut kanan atas yang dimana adalah letak anatomi dari hepar, dan pada pemeriksaan fisik didapatkan hepar membesar 7 cm di BACD. Disini perlu dibedakan antara pembesaran hepar yang disebabkan karena komplikasi dari penyakit jantung atau dari penyakit hepar primer. Penyakit hepar Komplikasi - Nyeri perut kanan atas, NT (+) Penyakit hepar primer - Nyeri perut kanan atas, kadang

17

disertai demam, NT (+) - JPV meningkat - Hepar konsistensi kenyal - JPV kadang meningkat -Hepar konsistensi keras, berbenjolbenjol - Hepatomegali (+) - Hepatomegali terkadang atropi e.c. sirosis - SGOT >>, bilirubin >> - ikterus - Kardiomegali (+) - Bising jantung (+) - SGOT dan SGPT >>, bilirubin >> Ikterus - Kardiomegali (-) - Bising jantung (-)

Nilai SGOT meningkat namun SGPT menurun. Kita ketahui SGPT dihasilkan tidak hanya di hepar saja. Namun di jantung juga. Jadi apabila terjadi dekompensasi jantung maka kerja jantung meningkat dan enzimnya pun turut meningkat. Ini berbeda dengan hepatomegali yang disebabkan oleh Hepatitis dimana SGPT dan SGOT cenderung meningkat. Selain itu bilirubin meningkat dan albumin menurun karena fungsi kerja hepar yang berat diakibatkan flowback darah yang dari jantung ke hepar. Dan pada pemeriksaan CT scan abdomen juga didapatkan pelebaran vena cava inferior. Sehingga tatalaksana pada cardiac liver sesungguhnya hanya simptomatik saja karena causanya adalah dari jantung. Pada pasien ini juga mengidap DM tipe II. Hal ini berkaitan erat dengan beberapa literatur. Pemantauan pada Framingham Heart Study terhadap penderita DM yang berusia 30-64 tahun menunjukkan kejadian-kejadian kardiovaskular yang tampaknya lebih banyak terjadi pada wanita. Diabetes melitus (DM) telah diketahui merupakan faktor risiko yang penting untuk penyakit jantung koroner. Selain telah dipastikan bahwa mereka yang mengidap DM lebih banyak yang menderita akibat terjadinya penyakit jantung koroner, mereka juga mempunyai prognosis lebih buruk bila mendapat serangan infark miokard akut. Mekanisme yang diduga terjadi pada DM sehingga terjadi proses aterogenesis: - Abnormalitas pada distribusi partikel-partikel apoprotein dan lipoprotein.

18

- Glkosilasi dan glikasi lanjut protein-protein dalam plasma dan dinding arteri. - Glycoxidation dan oksidasi - Procoagulant state - Insulin resistance dan hyperinsulinemia - Proloferasi sel otot polos dan pembentukan from cell karena rangsangan hormonal, growth factor, dan cytokine.

Oleh karena itulah bagi mereka yang menderita DM tata laksananya harus lebih agresif, misalnya target pengontrolan tekanan darah pada mereka harus kurang dari 130/80 mmHg. Pengontrolan kolesterol pada penderita DM pun harus lebih rendah dan agresif dengan target LDL kurang dari 100mg/dl. Pengobatan diberikan bila kadar kolesterol diatas 130 mmHg, tetapi dapat juga diberikan bila kadar kolesterol LDLnya kurang dari 130 mg/dl

19

TINJAUAN PUSTAKA
1. GAGAL JANTUNG KONGESTI

Gagal Jantung Kongesti / Congestive Heart Failure (CHF) adalah suatu kondisi patofisiologis dimana jantung gagal memompakan darah yang sesuai dengan kebutuhan jaringan sekalipun aliran balik darah ke jantung dalam keadaan normal ataupun bisa tetapi dengan pengisian tekanan diastole ventrikel kiri yang lebih tinggi. Gagal jantung dapat disebabkan oleh kegagalan miokardium atau dapat juga muncul pada keadaan jantung normal akan tetapi kebutuhan jaringan meningkat. Gagal jantung selalu menyebabkan kegagalan sirkulasi tetapi kegagalan sirkulasi tidak selalu disebabkan oleh gagal jantung. Pada awalnya tubuh mempunyai mekanisme kompensasi untuk

mempertahankan curah jantung yang tetap optimal sesuai dengan kebutuhan jaringan. Mekanisme-makanisme tersebut adalah mekanisme Frank Strarling yang bekerja dengan meningkatkan preload, hypertrophy dari miokardium yang mana akan memperkuat kontraktilitas dari jantung dan aktifasi system neurohormonal seperti pelepasan norephineprin dan aktivasi RAA system. Kesemua mekanisme diatas bermanfaat hanya pada awal penyakit, pada akhirnya mekanismemekanisme diatas malah akan memperberat gagal jantung itu sendiri. Diagnosis dari gagal jantung dapat didasarkan atas kriteria Framingham yaitu 2 dari kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor pada saat bersamaan.

Kriteria Mayor Paroksismal nocturnal dispnea

Kriteria minor Edema pergelangan kaki Batuk malam hari Dyspneu deffort Hepatomegali Efusi pleura

Peningkatan tekanan vena jugularis Rhonki basah tidak nyaring Kardiomegali Edema paru akut -

20

Irama derap S3 Peningkatan tekanan vena 16cm H2O Refluks hepatojugular

Kapasitas vital berkurang menjadi maksimum

Takikardi

Berdasarkan gejala sesak nafas New York Heart Association (NYHA) membuat klasifikasi fungsional CHF kedalam 4 kelas(5) Kelas I Kelas II tanpa keluhan Kelas III keluhan Kelas IV : Bila pasien sama sekali tidak dapat melakukan aktifitas : Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa : Bila pasien dapat melakukan aktifitas berat tanpa keluhan : Bila pasien tidak dapat melakukan aktifitas lebih berat dari biasa

Salah satu penyebab terjadinya gagal jantung adalah kelainan katup yang dapat berupa stenosis atau regurgitasi. Kelaianan ini dapat disebabkan oleh banyak hal. Berdasarkan etiologinya penyakit ini dibedakan atas rematik dan non rematik. Salah satu penyebab non rematik adalah Mitral Valve Prolaps yang akan menyebabkan terjadinya mitral insufisiensi pada beberapa pasien

2. KONGESTI HEPATOPATI

A. PENDAHULUAN Kerusakan hati diakibatkan oleh penyakit jantung merupakan hal yang biasa terjadi, tetapi jarang terdiagnosa. Sejak tahun 1951 telah dilaporkan sindroma yang sekarang dike nal sebagai cardiac hepatopathy atau congestive hepatopathy dengan berbagai riwayat penyakit, hasil tes diagnostik, dan hasil histologi.

Tetapi sedikit penelitian yang dilaporkan (Myers, 2003). Congestive hepatopathy mungkin terlewatkan pada penderita dengan gagal jantung dan mild hepatic congestion dengan gejala yang samar-samar. Oleh karena itu, dokter harus

21

mempertimbangkan congestive hepatopathy pada gagal jantung kanan dengan hepatomegali dengan atau tanpa ikterus (Bayraktar, 2007). Congestive hepatopathy merupakan kelainan hati yang sering dijumpai pada penderita gagal jantung. Kelainan ini ditandai dengan adanya gejala klinis gagal jantung (terutama gagal jantung kanan), tes fungsi hati yang abnormal dan tidak ditemukan penyebab lain dari disfungsi hati (Allen, 2008; Lau, 2002).

Congestive hepatopathy juga dikenal dengan istilah cardiac hepatopathy, nutmeg liver, atau chronic passive hepatic congestion. Bila kondisi ini berlangsung lama akan mengakibatkan timbulnya jaringan fibrosis pada hati, yang sering disebut dengan cardiac cirrhosis atau cardiac fibrosis. Meskipun cardiac cirrhosis menggunakan istilah sirosis, jarang memenuhi kriteria patologis sirosis. Congestive hepatopathy ini sangat sulit dibedakan dari sirosis hati primer karena klinisnya relatif tidak spesifik. Tetapi tidak sama seperti sirosis yang disebabkan oleh hepatitis virus atau penggunaan alkohol, pengobatan ditujukan pada pengelolaan gagal jantung sebagai penyakit dasar (Bayraktar, 2007; Myers, 2003; Giallourakis, 2002; Wanless, 1995). Patogenesis congestive hepatopathy umumnya dianggap sebagai reaksi stroma hati terhadap hipoksia, tekanan atau nekrosis hepatoselular. Tetapi hal ini tidak menjelaskan hubungan antara gejala dan tingkat keparahan fibrosis, dimana pada pasien jantung dekompensasi pada derajat yang sama, fibrosis tidak selalu

terjadi. Patogenesis congestive hepatopathy penting, karena definisi congestive hepatopathy masih menjadi perdebatan (Wanless, 1995). Prevalensi congestive hepatopathy tidak jelas. Tidak ada data perbandingan laki-laki dan wanita untuk congestive hepatopathy, namun karena gagal jantung kongestif lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan wanita, kemungkinan yang sama untuk congestive hepatopathy (Mathew, 2004; Burns, 1997).

22

B. PATOFISIOLOGI Congestive hepatopathy disebabkan oleh dekompensasi ventrikel kanan jantung atau gagal jantung biventrikular. Dimana terjadi peningkatan tekanan atrium kanan ke hati melalui vena kava inferior dan vena hepatik. Ini merupakan komplikasi umum dari gagal jantung kongestif, dimana akibat anatomi yang berdekatan terjadi peningkatan tekanan vena sentral secara langsung dari atrium kanan ke vena hepatik (Nowak, 2004; Gore, 1994). Penyebab paling umum dari gagal jantung kongestif pada usia lanjut berdasarkan data dari RS.Dr.Kariadi pada tahun 2006 adalah penyakit jantung iskemik 65,63%, penyakit jantung hipertensi 15,63%, kardiomiopati 9,38%,

penyakit katub jantung, rheumatic heart disease, penyakit jantung pulmonal masing-masing 3,13%. Penyebab paling umum dari gagal jantung kongestif pada usia lebih muda adalah penyakit jantung iskemik 55%, penyakit katub jantung 15%, kardiomiopati 12,5%, rheumatic heart disease 7,5%, penyakit jantung

bawaan 5%, penyakit jantung hipertensi dan penyakit jantung pulmonal keduanya 2,5%. Tidak ada perbedaan etiologi gagal jantung kongestif antara pasien muda dan tua, dimana yang penyeba terbanyak adalah penyakit jantung iskemik (Ardini,2007). Pada tingkat selular, kongesti vena menghambat efisiensi aliran darah sinusoid ke venula terminal hati. Stasis darah dalam parenkim hepar terjadi karena usaha hepar mengatasi perubahan saluran darah vena. Sebagai usaha mengakomodasi aliran balik darah (backflow), sinusoid hati membesar, mengakibatkan hepar menjadi besar. Stasis sinusoid menyebabkan akumulasi deoksigenasi darah, atrofi parenkim hati, nekrosis, deposisi kolagen dan fibrosis. Hepatosit mempunyai sifat sangat sensitif terhadap trauma iskemik, meski dalam jangka waktu yang pendek. Hepatosit dapat rusak oleh berbagai kondisi, seperti arterial hypoxia, acute left sided heart failure, central venous hypertension (Nowak, 2004; Gore, 1994). Stasis kemudian menyebabkan timbulnya trombosis. Trombosis sinusoid memperburuk stasis, dimana trombosis menambah aktivasi fibroblast dan

23

deposisi kolagen. Dalam kondisi yang parah menyebabkan nekrosis berlanjut menyebabkan hilangnya parenkim hati, dan dapat menyebabkan trombosis pada vena hepatik. Proses ini sering diperparah oleh trombosis lokal vena porta (Wanless, 1995).

GAMBAR 1. Skema patofisiologi cardiac cirrhosis

Pembengkakan sinusoidal dan perdarahan akibat nekrosis nampak jelas di area perivenular dari liver acinus. Fibrosis berkembang di daerah perivenular, akhirnya menyebabkan timbulnya jembatan fibrosis antara vena sentral yang berdekatan. Hal ini menyebabkan proses cardiac fibrosis, oleh karena itu tidak tepat disebut sebagai cardiac cirrhosis karena berbeda dengan sirosis hati dimana jembatan fibrosis cenderung untuk berdekatan dengan daerah portal. Regenerasi hepatosit periportal pada kondisi ini dapat mengakibatkan regenerasi hiperplasia nodular.

Nodul cenderung kurang bulat dan sering menunjukkan koneksi antar nodul (Bayraktar, 2007; Wanless, 1995). Cardiac cirrhosis telah didefinisikan dalam berbagai cara dan telah ditetapkan sebagai klinis dari hipertensi portal atau akibat penyakit jantung kongestif. Pada kongestif kronis, hipoksia berkelanjutan menghambat regenerasi hepatoselular dan membentuk jaringan fibrosis, yang akan mengarah ke cardiac cirrhosis.

24

Definisi morfologi fibrosis telah seragam, tetapi beberapa penulis tidak menganggap cardiac cirrhosis sebagai sirosis sebenarnya karena sebagian besar cardiac cirrhosis bersifat fokal dan gangguan arsitektur serta fibrosis secara menyeluruh tidak separah sirosis tipe yang lain. Istilah congestive hepatopathy dan chronic passive hepatic congestion cirrhosis lebih akurat, tetapi istilah istilah cardiac

telah menjadi konvensi. Oleh karena itu

cardiac cirrhosis

banyak digunakan untuk congestive hepatopathy dengan atau tanpa fibrosis hati (Faya, 2008; Bayraktar, 2007; Myers, 2003;Wanless, 1995; Gore, 1994). Distorsi struktur hati nampak pada saat parenkim hati rusak dan parenkim yang berbatasan memperluas menuju daerah parenkim yang rusak. Sirosis dapat didefinisikan sebagai distorsi struktur hati disertai fibrosis pada daerah parenkim hati yang musnah. Pada saat perubahan menunjukkan kehadiran nodul pada sebagian besar organ, secara umum dianggap sirosis. Hanya saja deskripsi kualitatif tidak dapat mendeskri psikan semua tahapan pada pada penyakit, oleh karena itu diperlukan nomenklatur menyangkut aspek kuantitatif fibrosis hati dan sirosis, seperti pada TABEL 1. Tabel ini merupakan klasifikasi sirosis apapun penyebabnya (Wanless, 1995). TABEL 1. Definisi Sirosis (Wanless, 1995) Definisi Sirosis Sirosis Komplit Sirosis Inkomplit
Terdapat septum fibrosa yang membagi parenkim ke nodul Terdapat septum fibrosa yang membagi parenkim ke nodul, nodul melibatkan lebih dari 75% dari volume hati* Terdapat septum fibrosa yang membagi parenkim ke nodul, nodul yang cukup berseragam melibatkan kurang dari 75% dari volume hati

Sirosis Fokal

Terdapat septum fibrosa yang membagi parenkim ke nodul, fibrosa dan nodul melibatkan wilayah lokal hati (distribusi tidak seragam)

25

C. DIAGNOSIS a. Manifestasi Klinis Tanda dan gejala Gangguan fungsi hati pada congestive hepatopathy biasanya ringan dan tanpa gejala. Sering terdeteksi secara kebetulan pada pengujian biokimia rutin. Tanda dan gejala dapat muncul berupa ikterus ringan. Pada gagal jantung berat, ikterus dapat muncul lebih berat dan menunjukkan kolestasis. Timbul ketidaknyamanan pada kuadran kanan atas abdomen akibat peregangan kapsul hati. Kadang-kad ang asites dapat muncul (Bayraktar, 2007). Kadang-kadang gambaran klinis dapat menyerupai hepatitis virus akut, dimana timbul ikterus disertai peningkatan aminotransferase. Beberapa kasus gagal hati fulminan yang mengakibatkan kematian telah dilaporkan akibat gagal jantung kongestif. Namun sebagian besar disebabkan pasien memiliki hepatic congestion dan iskemia. Gejala seperti dispnea exertional, ortopnea dan angina serta temuan fisik seperti peningkatan vena jugularis, murmur jantung dapat membantu membedakan congestive hepatopathy dengan

penyakit hati primer. Pada pemeriksaan fisik ditemukan hepatomegali lunak, kadang masif, batas tepi hati tegas, dan halus. Splenomegali jarang terjadi. Asites dan edema dapat tampak, tetapi tidak disebabkan oleh kerusakan hati, melainkan akibat gagal jantung kanan b. Laboratorium Pemeriksaan laboratorium pada congestive hepatopathy menunjukkan peningkatan Liver Function Test (LFT) yang berkarakter cholestatic profile yakni Alkaline Phosphatase (ALP), Gamma Glutamyl Transpeptidase (GGT) dan bilirubin, serta hipoalbumin, bukan hepatitic profile, Alanine transaminase (ALT) dan Aspartate transaminase (AST). ALP dan GGT meningkat akibat meningkatnya sistesis protein enzim, yang biasanya disertai peningkatan bilirubin (kecuali terjadi obstruksi bilier atau intrahepatal). Karena ALP (Bayraktar, 2007; Myers, 2003).

26

diproduksi oleh hepatosit dan GGT oleh sel epitel bilier. Bilirubin yang meningkat adalah bilirubin total, sebagian besar yang tidak terkonjugasi. Hiperbilirubinemia terjadi sekitar 70% pasien dengan congestive hepatopathy. Hiperbilirubinemia yang berat mungkin dapat terjadi pada pasien dengan gagal jantung kanan yang berat dan akut (Allen, 2009; Bayraktar, 2007; Pincus, 2006; Giannini, 2005; Lau, 2002). Meskipun terjadi deep jaundice, serum alkaline phospatase level pada umumnya hanya meningkat sedikit sehingga dapat membedakan congestive hepatopathy dengan ikterus obstruksi. Serum aminotransferase level

menunjukkan peningkatan ringan, kecuali terjadi hepatitis iskemia, dimana dapat terjadi peningkatan serum aminotransferase (AST dan ALT) yang tajam. Prothrombin time dapat sedikit terganggu, albumin dapat turun dan serum ammonia level dapat meningkat. Serologi hepatitis virus perlu

dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya virus tersebut (Allen, 2009; Bayraktar, 2007; Pincus, 2006; Giannini, 2005; Lau, 2002). Diagnosa paracentesis cairan asites pada congestive hepatopathy menunjukkan tingginya protein dan gradien serum albumin >1,1g/dL. Hal ini menunjukkan konstribusi dari hepatic lymph dan hipertensi portal. Perbaikan LFT setelah pengobatan penyakit jantung mendukung diagnosa congestive hepatopathy (Bayraktar, 2007). c. Pemeriksaan radiologi Pemeriksaan radiologi yang menunjang pemeriksaan congestive hepatopathy: - Abdominal Doppler ultrasonography : dipertimbangkan bila klinis terdapat asites, nyeri perut kuadran kanan atas, ikterus dan/atau serum LFT abnormal yang refrakter terhadap pengobatan gagal jantung yang mendasari.

Pemeriksaan ini dilakukan untuk mencari diagnosa alternatif seperti sindroma Budd-Chiari (Martinez, 2011, Bayraktar, 2007).

27

- CT scan dan MRI: Pemeriksaan ini dapat menunjukkan cardiac cirrhosis, termasuk hepatomegali, hepatic congestion, pembesaran vena cava inferior dan splenomegali (Martinez, 2011). Pemeriksaan radiologi untuk menunjang pemeriksaan penyakit dasar congestive hepatopathy: - X foto dada: dapat menunjukkan kardiomegali, hipertensi vena pulmonal, perubahan pada ruang jantung dan miokard tergantung pada penyebab gagal jantung. Paru-paru menunjukkan chronic passive congestion, tampak edema interstitial atau paru-paru, atau efusi pleura (Martinez, 2011; Brashers, 2009; Bayraktar, 2007). - Transthoracic Echocardiogram dengan Doppler: dasar penyebab mendiagnosa penyakit

cardiac cirrhosis. Tampak adanya peningkatan arteri

pulmonalis, dilatasi sisi kanan jantung, Tricuspid Regurgitasi (TR), diastolic ventricular filling yang abnormal (Martinez, 2011; Brashers, 2009). - Radionuclide imaging dengan thallium atau technetium merupakan pemeriksaan noninvasif yang berarti. Tujuannya untuk mengidentifikasi reversible cardiac ischemia pada pasien cardiac cirrhosis pada gagal jantung kompensasi atau dekompensasi. Technetium-labeled agents dan positronemission tomography (PET) mengidentifikasi dilated cardiomyopathy dan menentukan fungsi miokard (Martinez, 2011; Brashers, 2009). - CT scan dan MRI mengidentifikasikan pembesaran ruang jantung, hipertrofi ventrikel, diffuse cardiomyopathy, valvular disease dan kelainan struktural yang lain. Keduanya dapat mengukur ejection fraction dan effectively rule out cardiac cirrhosis (Martinez, 2011). d. Pemeriksaan histopatologi Biopsi hati dapat membantu menegakkan diagnosa. Patologi pada kelainan ini dikenal dengan istilah nutmeg liver. Istilah ini dikarenakan penampilan hati pada congestive hepatopathy merupakan perpaduan 2 area, yakni area kontras 28

berwarna merah yang diakibatkan sinusoidal congestion dan perdarahan pada area nekrosis di sekeliling vena hepatika yang membesar, serta area berwarna kekuningan yang merupakan area hati normal atau fatty liver tissue (Guido, 2011; Allen, 2009; Lasitschka, 2009; Bayraktar, 2007).

Histopatologi congestive hepatopathy dengan kelainan hati yang lain (Guido, 2011; Allen, 2009; Lasitschka, 2009; Bayraktar, 2007):

GAMBAR 2. Nutmeg liver. Gambar A : Potongan pala (Nutmeg). Gambar B : Potongan permukaan hati nampak berbintik-bintik. Area kontras kemerahan dan kuning (Lasitschka, 2009).

- Congestive hepatopathy: terjadi penyatuan darah merah di dekat vena sentral dari beberapa vena sentral dari beberapa lobulus. Dalam proses ini fibrosis terjadi dari dalam ke luar lobulus. (Gb.3A)

- Sirosis alkoholik : Alkohol yang berasal dari usus, awal bersentuhan dengan hepatosit di portal triad, oleh karena itu yang pertama terpengaruh toksisitas

29

alkohol adalah hepatosit. Fibrosis akan terbentuk dari bagian luar ke dalam lobus, lobulus sendiri terhindar dari kerusakan. (Gb.3B)

- Sirosis hati karena virus : virus hepatitis, utamanya hepatitis B menyebabkan nekrosis luas hati, kerusakan meliputi lobulus dan interstitium sehingga jaringan sulit dikenali. (Gb.3C).

GAMBAR 3A. Congestive Hepatopathy

GAMBAR 3B. Sirosis Alkoholik

GAMBAR 3C. Sirosis karena virus

D. DIAGNOSIS BANDING Veno-occlusive disease : obstruksi pada sinusoid hati dan venul terminal. Kelainan ini disebabkan oleh kerusakan endotel sinusoid karena

Hematopoietic Stem Cell Transplantation, kemoterapi, radioterapi abdominal dan pyrrolizidine alkaloids (Bayraktar, 2007). Sindroma Budd-Chiari : obstruksi dari vena hepatik ke ujung superior vena cava inferior. Kelainan ini disebabkan trombosis vena hepatik, pembuntuan

30

vena cava inferior, kompresi vena cava inferior oleh tumor, kista, abses (Bayraktar, 2007).

E. TATALAKSANA Pengobatan penyakit dasar sangat penting untuk manajemen congestive hepatopathy. Ikterus dan asites biasanya respon dengan baik terhadap diuresis. Jika gagal jantung diobati dengan sukses, awal perubahan histologi congestive hepatopathy dapat diatasi dan bahkan cardiac fibrosis mungkin secara histologis dan klinis mengalami regresi (Bayraktar, 2007; Figueroa, 2006).

F. PROGNOSA Penderita dengan congestive hepatopathy meninggal terbanyak

diakibatkan oleh penyakit jantung itu sendiri. Kelainan hati jarang memberi konstribusi pada morbiditas dan mortalitas pasien congestive hepatopathy. Tidak seperti pasien sirosis hati, pasien dengan cardiac cirrhosis jarang menyebabkan komplikasi serius seperti perdarahan varises esofagus. Congestive hepatopathy yang mengakibatkan hepatocellular carcinoma jarang dilaporkan. Namun, insiden hepatocellular carcinoma dan gagal hati karena congestive hepatopathy kemungkinan meningkat diakibatkan peningkatan survival pasien ini dengan kemajuan dalam pengobatan gagal jantung (Bayraktar, 2007).

31

3. DIABETES MELITUS

Diabetes Melitus (DM) merupakan kumpulan gejala yang timbul pada seseorang karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Sudoyo Aru, 2006). Diabetes Melitus (DM) bukan penyakit yang disebabkan oleh satu faktor, tetapi merupakan suatu sindrom yang disebabkan oleh banyak faktor (multifaktor). DM dikarakterisasi oleh hiperglikemia kronik karena penurunan kerja insulin pada jaringan target (disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, resistensi insulin atau keduanya). Penurunan kerja insulin ini berhubungan dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein pada jaringan termasuk hati (Sudoyo Aru, 2006).

A. ETIOLOGI Diabetes Melitus (DM) tipe 2 disebut juga Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) disebabkan karena kegagalan relatif sel dan resistensi insulin. Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel tidak mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel pankreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa (Gustaviani, 2006). Pada awalnya resistensi insulin belum menyebabkan klinis Diabetes Melitus (DM). Sel pankreas masih dapat mengkompensasi, sehingga terjadi hiperinsulinemia, kadar glukosa darah masih normal atau baru sedikit meningkat. Kemudian setelah terjadi kelelahan sel pankreas, baru terjadi diabetes melitus klinis, yang ditandai dengan adanya kadar glukosa darah yang meningkat, memenuhi kriteria diagnosis diabetes melitus (Gustaviani, 2006).

32

B. KLASIFIKASI Menurut ADA tahun 2009, DM diklasifikasikan menjadi I. DM tipe 1: destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut. a. Melalui proses imunologik b. Idiopatik II. DM tipe 2: bervariasi mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relative sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin. III. DM tipe lain: a.Defek Genetik fungsi sel beta b.Defek genetik kerja insulin c.Penyakit Eksokrin Pankreas d.Endokrinopati e. Karena Obat atau Zat Kimia f.Infeksi g.Imunologi h.Sindroma genetik lain IV. DM Gestasional

C. PATOFISIOLOGI Tubuh memerlukan bahan untuk membentuk sel baru dan mengganti sel yang rusak. Di samping itu tubuh juga memerlukan energi supaya sel tubuh berfungsi dengan baik. Energi pada mesin tubuh manusia berasal dari bahan makanan yang dimakan sehari-hari, yang terdiri dari karbohidrat, protein dan lemak (Suyono, 2007). Supaya dapat berfungsi sebagai bahan bakar, zat makanan harus masuk dulu ke dalam sel untuk dapat diolah. Di dalam sel, zat makanan terutama glukosa dibakar melalui proses kimia yang rumit, yang hasil akhirnya adalah timbulnya energi. Proses ini disebut metabolisme. Dalam proses metabolisme itu insulin memegang peranan yang sangat penting yaitu bertugas

33

memasukkan glukosa ke dalam sel, untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan bakar. Insulin ini adalah suatu zat atau hormon yang dikeluarkan oleh sel beta pankreas (Suyono, 2007). Diabetes Melitus (DM) tipe 1 disebabkan adanya reaksi otoimun yang disebabkan oleh peradangan pada sel beta. Ini menyebabkan timbulnya antibodi terhadap sel beta yang disebut Islet Cell Antibody (ICA). Reaksi antigen (sel beta) dengan antibodi (ICA) menyebabkan hancurnya sel beta (Suyono, 2007). Pada Diabetes Melitus (DM) tipe 2 jumlah insulin normal, malah mungkin lebih banyak tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang kurang. Reseptor insulin ini dapat diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk ke dalam sel. Pada keadaan tadi jumlah lubang kuncinya yang kurang, hingga meskipun anak kuncinya (insulin) banyak, tetapi karena lubang kuncinya (reseptor) kurang, maka glukosa yang masuk akan sedikit, sehingga sel akan kekurangan bahan bakar (glukosa) dan glukosa dalam pembuluh darah meningkat. Keadaan ini disebut sebagai resistensi insulin (Suyono, 2007). Penyebab resistensi insulin pada NIDDM sebenarnya tidak begitu jelas tetapi faktor-faktor di bahwa ini banyak berperan (Suyono, 2007) : Obesitas terutama yang berbentuk sentral Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat Kurang gerak badan Faktor keturunan (herediter)

D. MANIFESTASI KLINIK Diabetes seringkali muncul tanpa gejala. Namun demikian ada beberapa gejala yang harus diwaspadai sebagai isyarat kemungkinan diabetes. Gejala tipikal yang sering dirasakan penderita diabetes antara lain poliuria (sering buang air kecil), polidipsia (sering haus), dan polifagia (banyak lapar). Selain itu sering pula muncul keluhan penglihatan

makan/mudah

kabur, koordinasi gerak anggota tubuh terganggu, kesemutan pada tangan

34

atau kaki, timbul gatal-gatal yang seringkali sangat mengganggu (pruritus), dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas. Pada DM Tipe I gejala klasik yang umum dikeluhkan adalah poliuria, polidipsia, polifagia, penurunan berat badan, cepat merasa lelah (fatigue), iritabilitas, dan pruritus (gatal-gatal pada kulit). Pada DM Tipe 2 gejala yang dikeluhkan umumnya hampir tidak ada. DM Tipe 2 seringkali muncul tanpa diketahui, dan penanganan baru dimulai beberapa tahun kemudian ketika penyakit sudah berkembang dan komplikasi sudah terjadi. Penderita DM Tipe 2 umumnya lebih mudah terkena infeksi, sukar sembuh dari luka, daya penglihatan makin buruk, dan umumnya menderita hipertensi, hiperlipidemia, obesitas, dan juga komplikasi pada pembuluh darah dan syaraf.

E. DIAGNOSIS Diagnosa DM harus didasarkan oleh pemeriksaan konsentrasi glukosa darah, gejala khas DM , yaitu poliuria, polidipsia, polifagia dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas. Sedangkan gejala tidak khas Dm diantaranya lemes, kesemutan luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi dan pruritus vulva, apabila ditemukan gejala khas DM ditambah pemeriksaan gula darah abnormal satu kali saja sudah cukup untuk menegakkan diagnosis. Namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka diperlukan pemeriksaan ulang gula darah abnormal. Kriteria ntuk mendiagnosis Diabetes Militus 1. Adanya gejala DM dan ditambah dengan konsentrasi gl darah sewaktu 11 mmol/l (200mg/dl) 2. Gula darah puasa 7mmol/l atau 126mg/dl 3. Gula darah 2 jam 11 mol/l (200mg/dl) diikuti dengan tes toleransi glukosa oral

Toleransi glukosa diklasifikasikan menjadi tiga kategori berdasarkan FPG : (1) gula darah puasa <5,6 mmol / L (100 mg / dL) dianggap normal;

35

(2) gula darah puasa = 5,6-6,9 mmol / L ( 100-125 mg / dL) didefinisikan sebagai IFG, dan (3) gula darah puasa 7.0 mmol / L (126 mg / dL) diagnosis DM.

Berdasarkan TTGO, IGT didefinisikan sebagai kadar glukosa plasma antara 7,8 dan 11,1 mmol / L (140 dan 199 mg / dL) dan diabetes didefinisikan sebagai glukosa > 11,1 mmol / L (200 mg / dL) 2 jam setelah 75 -g beban glukosa oral . Beberapa individu memiliki keduanya IFG dan IGT. Induvidu dengan IFG dan / atau IGT, baru-baru ini ditetapkan pra-diabetes oleh american Diabetes Associaton (ADA), berada dalam resiko cukup besar untuk menjadi DM tipe 2 (25-40% resiko selama 5 tahun beroikutnya) dan memiliki peningkatan resiko penyakit kardiovaskular. Kriteria saat diagnosis DM menekankan bahwa gula darah puasa adalah tes yang paling dapat diandalkan untuk mengidentifikasi DM pada individu yang tidak menunjukkan gejala. Sebuah plasma konsentrasi glukosa 11,1 mmol / L (200 mg / dL) disertai dengan gejala klasik DM (poliuria, polidipsia, penurunan berat badan) sudah cukup untuk diagnosis DM . Pengujian toleransi glukosa oral, meskipun masih alat yang valid untuk mendiagnosis DM, tidak dianjurkan sebagai bagian dari perawatan rutin. Diagnosis DM memiliki implikasi yang mendalam bagi seorang individu dari kedua sudut pandang medis dan keuangan. Dengan demikian, kriteria diagnostik harus puas sebelum menetapkan diagnosis DM. Kelainan pada tes skrining untuk diabetes harus diulang sebelum membuat diagnosis definitif DM, kecuali derangements metabolik akut atau glukosa plasma meningkat nyata hadir. Kriteria direvisi juga memungkinkan untuk diagnosis DM harus ditarik dalam situasi di mana glukosa darah puasa akan kembali normal.

36

Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994) 1. Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti Biasa 2. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan

3. Diperiksa kadar glukosa darah puasa 4. Diberikan glukosa 75 g (orang dewasa), Atau 1,75 g/Kg BB (anak-anak), dilarutkan dalam 250 ml air dan diminum dalam waktu 5 menit 5. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai 6. Diperiksa kadar glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa 7. Selama proses pemeriksaan, subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok. 37

F. PENATALAKSANAAN Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatnya kualitas hidup Diabetes Melitus (DM) (Sudoyo Aru, 2006). Tujuan penatalaksanaan A. Jangka pendek : hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan

rasa nyaman dan tercapainya target pengendalian glukosa darah. B. Jangka panjang : tercegah dan terhambatnya progresivitas penyulit mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan maortalitas dini DM. C. Cara : menormalkan kadar glukosa, lipid, insulin. Mengingat mekanisme dasar kelainan DM tipe-2 adalah terdapatnya faktor genetik, tekanan darah, resistensi insulin dan insufisiensi sel beta pankreas, maka cara-cara untuk memperbaiki kelainan dasar yang dapat dikoreksi harus tercermin pada langkah pengelolaan. D. Kegiatan : mengelola pasien secara holistik, mengajarkan perawatan

Pilar penatalaksanaan Diabetes Melitus (PERKENI, 2006) 1. Edukasi Edukasi yang diberikan kepada pasien meliputi pemahaman tentang : - Perjalanan penyakit DM - Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM - Penyulit DM dan risikonya - Intervensi farmakologis dan non-farmakologis serta target perawatan - Interaksi antara asupan makanan, aktifitas fisik, dan obat hipoglikemik oral atau insulin serta obat-obatan lain - Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau urin mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah mandiri tidak tersedia) - Mengatasi sementara keadaan gawat darurat seperti rasa sakit, atau hipoglikemia - Pentingnya latihan jasmani yang teratur

38

- Masalah khusus yang dihadapi ( missal : hiperglikemia pada kehamilan) - Pentingnya perawatan diri - Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan

2. Terapi gizi medis (TGM) - Setiap diabetisi sebaiknya mendapat TGM sesuai dengan

kebutuhannya guna mencapai target terapi - Prinsip pengaturan makan pada diabetisi hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada diabetisi perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.

3. Latihan jasmani Dianjurkan latihan jasmani teratur 3-4 kali tiap minggu selama + 30 menit yang sifatnya CRIPE ( Continous Rhytmical Interval Progressive Endurace training ). Continous Latihan harus berkesinambungan dan dilakukan terus-menerus tanpa henti. Contoh : bila dipilih jogging 30 menit, maka selama 30 menit pasien melakukan jogging tanpa istirahat. - Rytmical Latihan olah raga harus dipilih yang berirama, yaitu otot-otot berkontraksi dan berelaksasi secara teratur. - Interval Latihan dilakukan selang-seling antara gerak cepat dan lambat. Contoh : jalan cepat diselingi dengan jalan lambat, dsb. - Progressive

39

Latihan dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan dari intensitas ringan sampai hingga mencapai 30-60 menit. Sasaran Heart Rate Rate Maksimum Heart Rate - Endurance Latihan daya tahan untuk meningkatkan kemampuan = 220-umur = 75-85 % dari Maksimum Heart

kardiorespirasi, seperti jalan (jalan santai/cepat, sesuai umur), jogging, berenang dan bersepeda.

4. Terapi Farmakologis Intervesi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai dengan TGM dan latihan jasmani (Sudoyo Aru, 2006). 1. Obat Hipoglikemik Oral ( OHO ) Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan (Sudoyo Aru, 2006) : A. Pemicu sekresi insulin (insuline secretagogue): sulfonilurea dan glinid B. Penambah sensitifitas terhadap insulin : metformin, tiazolidindion C. Penghambat glukoneogenesis : metformin D. Pengambat absorpsi glukosa : penghambat glukosidase

Cara pemberian OHO terdiri dari (PERKENI, 2006) : OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respon kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis hampir maksimal Sulfonilurea generasi I & II : 15 30 menit sebelum makan Glimepiride Repaglinid, Nateglinid Metformin Acarbose : sebelum / sesaat sebelum makan : sebelum / sesaat sebelum makan : sebelum / pada saat / sesudah makan karbohidrat : bersama suapan pertama makan 40

Tiazolidindion

: tidak bergantung pada jadwal makan

Tabel 2 . Obat Hipoglikemik Oral di Indonesia Golongan Generik Mg/tab Dosis harian Klorpropamid 100-250 100500 Glibenklamid 2,5 - 5 2,5 15 Sulfonilurea Glipizid Glikuidon 5 - 10 30 5 230 120 Glimepirid Glinid Repaglinid Nateglinid Tiazolidindio n Rosiglitazon 1,2,3,4 0,5,1,2 120 4 0,5 - 6 1,5 - 6 360 4-8 24 24 1 3 3 1 Tdk bergantun g Pioglitazon 15,30 15 - 45 24 1 jadwal makan Penghambat glukosidase Acarbose 50-100 100300 3 Bersama suapan pertama Biguanid Metformin 500-850 2503000 6-8 1-3 Bersama/s esudah makan Sumber : Sudoyo Aru, 2006 10-16 6-8 12 23 Sebelum makan 12-24 12 Lama kerja 24-36 1 Frek/hari Waktu

2. INSULIN (Sudoyo Aru, 2006) Insulin diperlukan pada keadaan : Penurunan berat badan yang cepat 41

Hiperglikemia berat yang disertai ketosis Ketoasidosis diabetik Hiperglikemia hiperosmolar nonketotik Hiperglikemia dengan asidosis laktat Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal Stres berat ( infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke ) Diabetes melitus gestasional yang tidak trkendali dengan TGM Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Efek samping terapi insulin : Efek samping utama adalah terjadinya hipoglikemia Efek samping yang lain berupa reaksi imun terhadap insulin yang dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.

G. KOMPLIKASI Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi penyulit akut dan menahun (Sudoyo Aru, 2006). I. Penyulit akut Penyulit akut DM sampai saat ini masih merupakan kegawatan yang harus ditangani dengan tepat dan benar karena hanya dengan cara itulah angka kematiannya dapat ditekan serendah mungkin. Ketoasidosis diabetik Hiperosmolar nonketotik Hipoglikemia II. Penyulit menahun 1. Makroangiopati, yang melibatkan : Pembuluh darah jantung Pembuluh darah tepi Pembuluh darah otak

42

2. Mikroangiopati: Retinopati diabetik Nefropati diabetik 3. Neuropati

H. PROGNOSIS Risiko komplikasi diabetes jangka panjang dapat dikurangi jika anda dapat mengontrol glukosa darah dan tekanan darah dengan baik. Anda dapat mengurangi risiko kematian, stroke, gagal jantung, dan komplikasi lainnya dengan mengendalikan kedua hal

tersebut. Pengurangan kadar HbA1c sebanyak 1% saja dapat menurunkan risiko komplikasi sebesar 25%.

43

DAFTAR PUSTAKA Allen LA, Felker GM, Pocock S, McMurray JJV, Pfeffer MA, Swedberg K, Wang D, Yusuf S, Michelson EL, Granger CB. 2009. Liver function abnormalities and outcome in patients with chronic heart failure: data from the candesartan in heart failure: assessment of reduction in mortality and morbidity (CHARM) program. European Journal of Heart Failure 11:170-177

Ardini DNE. 2007. Perbedaan etiologi gagal jantung kongestif pada usia lanjut dengan usia dewasa di rumah sakit dr. Kariadi januari-desember 2006. UNDIP

Bayraktar UD, Seren S, Bayraktar Y. 2007. Hepatic venous outflow obstruction: three similar syndromes. World J Gastroenterol (13913): 1912-1927

Brashers V, McCance KL. 2009. Structure and function of cardiovascular and lymphatic systems. In: Pathophysiology the biologic basis for disease in adults and children. Eds:McCance KL, Huether SE, Brashers VL, Rote HS. 6th edition. Elsevier Health Science. Phil, pp1091-1141

Burns RB, McCarthy EP, Moskowitz MA. 1997. Outcomes for older men and women with congestive heart failure. J Am Geriatr Soc. 45(3):276-80

Fava M, Meneses L, Loyola S, Castro P, Barahona F. 2008. TIPSS procedure in the treatment of a single patient after recent heart transplantation because of

44

refractory ascites due to cardiac cirrhosis. Cardiovasc Intervent Radiol. 31:S188 S191

Figueroa

MS,

Peters

JA.

2006.

Congestive

heart

failure:

diagnosis,

pathophysiology, therapy, and implications for respiratory care. Respiratory care. 51(4): 403-412

Giallourakis CC, Rosenberg PM, Friedman LS. 2002. The liver in heart failure. Clin Liver Dis 6 (4): 94767

Giannini EG, Testa R, Savarino V. 2005 Gustaviani Reno. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 4th. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 1857-9.

Hendromartono. 2007. Nefropati Diabetik: dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 1898-1901.

Hiatt WR,. 2001. Medical Treatment of Peripheral Arterial Disease and Claudication. N Engl J Med. 344;1608-1621.

Mansjoer Arif, dkk. 2001. Kapita selekta kedokteran ed III jl I. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.Jakarta : 2001.

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2002. Konsensus Pengelelolaan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. PB Perkeni, Jakarta: hal 1-19

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2006. Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2 Di Indonesia. Semarang.

45

Powers C Alvin. 2005. Harrisons Principle of Internal Medicine 16th. Medical Publishing Division Mc Graw-Hill. North America. Soegondo S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 4th . Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: Hal 1860-3.

Subekti I. 2004. Penatalaksanaan diabetes mellitus terpadu. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: Hal 217-23.

Sudoyo Aru.W, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed IV, jl III.

46

Anda mungkin juga menyukai