Anda di halaman 1dari 22

Shinta Kharisma Dewi

Mikrotia

PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat dan karunia-Nya, yang memungkinkan referat ini dapat diselesaikan tepat waktu. Referat mengenai Mikrotia ini disusun pada saat melaksanakan kepaniteraan Ilmu Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher di Rumah Sakit Umum Daerah Cibinong pada periode 13 Januari 15 Februari 2014, dengan berbekalkan pengetahuan, bimbingan, serta pengarahan yang diperoleh baik selama kepaniteraan berlangsung maupun pada saat kuliah pra-klinis. Banyak pihak yang turut membantu dan berperan dalam penyusunan referat ini, dan untuk itu penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.) Pimpinan dan staf SMF THT-KL RSUD Cibinong atas kesempatan yang diberikan sehingga penulis dapat melaksanakan kepaniteraan di rumah sakit ini. 2.) dr. H.R. Krisnabudhi Sp.THT-KL dan dr. Dadang Chandra Sp.THT-KL sebagai pembimbing yang telah dengan sabar membimbing dan berbagi pengalaman dan pengetahuan kepada penulis. 3.) dr. Martinus atas perhatian dan bimbingannya. 4.) Ibu Yosephine atas bantuan dan kerjasamanya selama melaksanakan kepaniteraan. 5.) Rekan- rekan ko-asisten selama kepaniteraan ilmu penyakit THT-KL di RSUD Cibinong atas kerjasama dan kekompakannya. Walau telah berusaha menyelesaikan referat ini dengan sebaik-baiknya, penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna. Oleh karenanya segala saran dan kritik yang membangun akan diterima dengan senang hati, untuk perbaikan di masa mendatang, sehingga dapat bermanfaat bagi kita semua.

Jakarta, 7 Februari 2014

Shinta Kharisma Dewi

Kepaniteraan Ilmu Penyakit THT-KL di RSUD Cibinong Periode 13 Januari 15 Februari 2014 Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Shinta Kharisma Dewi

Mikrotia

BAB I PENDAHULUAN

Pada mikrotia, daun telinga bentuknya lebih kecil dan tidak sempurna. Kelainan bentuk ini sering kali disertai dengan tidak terbentuknya (atresia) liang telinga dan kelainan tulang pendengaran. 1 Namun kelainan ini jarang disertai dengan kelainan telinga dalam, karena perkembangan embriologi yang berbeda antara telinga dalam dan telinga tengah. 1 Kejadia pada lelaki lebih sering daripada perempuan. Angka kejadian 1:7000 kelahiran. Lebih sering pada telinga kanan. Kejadian pada telinga unilateral dibandingkan bilateral adalah S:1. Sekitar 90% mengenai telinga unilateral dan 10% bilateral. 1 Terjadi pada setiap 5000-7000 kelahiran (bergantung kepada statistik tiap-tiap negaradan ras indi vi dua l ). Jum l ahn ya di Indonesi a bel um diket ahui dengan past i karena t idak pernah ada koleksi data sehubungan dengan mikrotia. Ras Asia lebih sering terkena daripada ras lainnya.2,3

Kepaniteraan Ilmu Penyakit THT-KL di RSUD Cibinong Periode 13 Januari 15 Februari 2014 Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Shinta Kharisma Dewi

Mikrotia

BAB II PEMBAHASAN

II.1. Embriologi
Telinga mamalia dibagi menjadi tiga komponen yang berbeda dan saling berhubungan. Unit-unit ini, telinga eksternal, tengah, dan bagian dalam, berbeda dalam asal embriologik (Gambar 2.1). Telinga luar terdiri dari daun telinga, liang telinga, dan membran timpani.4 Telinga eksternal embriologis berasal dari lengkungan brankhial pertama dan kedua , dan mencakup baik ektodermal dan komponen mesodermal . Lengkungan jaringan mesenkim terdiri dari mesoderm paraksial dan sel pial neural . Sel-sel ini pial neural berasal dari otak belakang dan karenanya memiliki implikasi untuk regulasi genetik pembentukan otak belakang dan segmentasi serta pembentukan telinga luar.4

Gambar 2.1 Perkembangan telinga pada hari ke 29 dari gestasi4

Kepaniteraan Ilmu Penyakit THT-KL di RSUD Cibinong Periode 13 Januari 15 Februari 2014 Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Shinta Kharisma Dewi

Mikrotia

Lengkungan pertama menimbulkan daun telinga anterior, liang telinga, cincin timpani, dan bagian superior dari maleus dan inkus. Lengkungan kedua menimbulkan daun telinga posterior, bagian-bagian dari meatus auditori eksternal, bagian inferior maleus dan inkus, dan stapes suprastruktur. Daun telinga dibentuk oleh perubahan bertahap dalam bentuk dan fusi komponen hillocks auricular, yang berasal dari lengkungan brankhial pertama dan kedua ( Gambar 2.2 ) . Pembentukan hasil pendengaran meatus eksternal dari piring padat epitel sel ektodermal, steker meatus yang akhirnya teresorbsi dengan hanya lapisan kanal yang tersisa. Kanal dilapisi oleh sel epitel asal ektodermal. Membran timpani mulai berkembang selama minggu ke-28 kehamilan dan muncul dari aspek yang paling medial meatus, yang akhirnya menjadi lapisan luar dari membran timpani.4

Gambar 2.2 pertumbuhan dari 6 hiloks telinga4

Kepaniteraan Ilmu Penyakit THT-KL di RSUD Cibinong Periode 13 Januari 15 Februari 2014 Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Shinta Kharisma Dewi

Mikrotia

II.2. Anatomi
II.2.1 Telinga luar Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai mebran timpani. Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya kira-kira 2-3 cm.1 Telinga eksternal terdiri dari, kerangka tulang rawan 3-dimensi yang elegan dengan lobulus jaringan lunak. Sebuah terminologi yang rumit telah dikembangkan untuk menggambarkan daun telinga terbaik ditinjau secara visual (Gambar 2.3).1 Pada sepertiga bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak kelenjar serumen (modifikasi dari kelenjar keringat) dan rambut. Kelenjar keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Pada duapertiga bagian dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen.1

Gambar 2.3 anatomi daun telinga 3


Kepaniteraan Ilmu Penyakit THT-KL di RSUD Cibinong Periode 13 Januari 15 Februari 2014 Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Shinta Kharisma Dewi II.2.1 Telinga tengah

Mikrotia

Telinga tengah berbentuk kubus dengan batas luar adalah membran timpani, batas depan tuba eustachius, batas bawah vena jugularis, batas belakang aditus ad antrum, batas atas tegmen timpani (meningen otak), batas dalam berturut-turut dari atas ke bawah adalah: (1) kanalis semi sirkularis, (2) kanalis fasialis, (3) tingkap lonjong (oval window), (4) tingkap bundar (round window) dan (5) promontorium.1 Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut pars flaksida (membran Shrapnell), sedangkan bagian bawah pars tensa (membran propria). Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar adalah lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubis bersilia, seperti epitel mukosa saluran napas. Pars tensa mempunyai satu lapis lagi di tengah, yaitu lapisan yang terdiri dari sekret kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan secara radier di bagian luar dan sirkuler pada bagian dalam.1 Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpani disebut umbo. Dari umbo bermula suatu reflek cahaya (cone of light) yaitu pada pukul 7 untuk membran timpani kiri dan pada pukul lima untuk membran timpani kanan. Reflek cahaya adalah cahaya dari luaryang dipantulkan oleh membran timpani. Di membran timpani terdapat dua macam serabut, sirkuler dan radier. Serabut inilah yang menyebabkan timbulnya reflek cahaya berupa kerucut.1 Membran timpani dibagi dalam empat kuadran, dengan menarik garis searah dengan prosesus longus maleus dan garis tegak lurus pada garis itu di umbo, sehingga didapatkan bagian atas-depan, atas belakang, bawah-depan, bawah-belakang untuk menyatakan letak perforasi pada membran timpani.1 Tulang pendengaran di dalam telinga tengah saling berhubungan. Prosesus longus maleus melekat pada membran timpani, maleus melekat pada inkus, dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan dengan koklea. Hubungan antar tulangtulang pendengaran merupakan persendian.1

Kepaniteraan Ilmu Penyakit THT-KL di RSUD Cibinong Periode 13 Januari 15 Februari 2014 Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Shinta Kharisma Dewi

Mikrotia

Pada pars flaksida terdapat daerah yang disebut atik. Di tempat ini terdapat aditus ad antrum, yaitu lubang yang menghubungkan telinga tengah dengan antrum mastoid.1 Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah yang menghubungkan dengan daerah nasofaring dengan telinga tengah.1

Gambar 2.4 anatomi telinga tengah 3

II.3. Fisiologi
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skalavestibuli bergerak. Getaran diteruskan melalui membrana Reissner yang mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanalion terbuka dan terjadi penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut,
Kepaniteraan Ilmu Penyakit THT-KL di RSUD Cibinong Periode 13 Januari 15 Februari 2014 Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Shinta Kharisma Dewi

Mikrotia

sehingga melepaskan neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis. Gangguan telinga luardan telinga tengah dapat menyebabkan tuli konduktif.1

Gambar 2.5 Fisiologi Pendengaran3

Kepaniteraan Ilmu Penyakit THT-KL di RSUD Cibinong Periode 13 Januari 15 Februari 2014 Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Shinta Kharisma Dewi

Mikrotia

BAB III MIKROTIA

III.1. Definisi
Mikrotia terbentuk dari dua kata yaitu micro yang artinya kecil dan otia yang artinya telinga. Microtia adalah malformasi daun telinga yang memperlihatkan kelainan bentuk ringan sampai berat, dengan ukuran kecil sampai tidak berbentuk sama sekali (anotia). Biasanya bilateral dan berhubungan dengan stenosis atau atreasia meatus akustikus eksternus dan mungkin malformasi inkus dan maleus.4 Pada mikrotia, daun telinga bentuknya lebih kecil dan tidak sempurna. Kelainan bentuk ini sering kali disertai dengan tidak terbentuknya (atresia) liang telinga dan kelainan tulang pendengaran. 1

III.2. Epidemiologi
Melnick dan Myranthopoulos meneliti cacat dan anomalidaun telinga terkait dalam serangkaian 56.000 kehamilan pada populasi etnis yang beragam ( Kaukasia 46 % , 46% Afrika Amerika , Latino 8 % ) , cacat telinga terjadi pada sekitar 1,1 % ( 11 1000 ) kelahiran . Anomali yang parah , seperti mikrotia , terjadi pada sekitar 3 di 10.000 kelahiran hidup . Kejadian telah dilaporkan 1 di 4000 pada populasi Jepang dan setinggi 1 di 900-1 tahun 1200 pada populasi Navajo.3 Hampir setengah dari pasien mikrotia dalam studi Melnick dan Myranthopoulos disajikan dengan mikrosomia kraniofasial, juga dikenal sebagai sindrom wajah - auricular - vertebral. Dalam studi yang sama, sisi kanan dipengaruhi hampir dua kali sesering kiri, dan deformitas bilateral terjadi pada 10 % pasien, dengan rasio dilaporkan kanan- ke - kiri - ke - bilateral sekitar 05:03:01 . Banyak sumber melaporkan bahwa tulang belakang, urogenital, dan anomali ginjal

Kepaniteraan Ilmu Penyakit THT-KL di RSUD Cibinong Periode 13 Januari 15 Februari 2014 Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Shinta Kharisma Dewi

Mikrotia

terjadi dalam sindrom mikrosomia kraniofasial, meskipun hal ini tidak dikonfirmasi dalam kelompok ini.3 Kejadian pada lelaki lebih sering daripada perempuan. Angka kejadian 1:7000 kelahiran. Lebih sering pada telinga kanan. Kejadian pada telinga unilateral dibandingkan bilateral adalah S:1. Sekitar 90% mengenai telinga unilateral dan 10% bilateral. 1 Terjadi pada setiap 5000-7000 kelahiran (bergantung kepada statistik tiap-tiap negaradan ras indi vi dua l ). Jum l ahn ya di Indonesi a bel um diket ahui dengan past i karena t idak pernah ada koleksi data sehubungan dengan mikrotia. Ras Asia lebih sering terkena daripada ras lainnya.1

III.3. Etiologi dan Faktor Risiko Kedua faktor keturunan dan kecelakaan pembuluh darah dalam rahim telah diusulkan sebagai faktor etiologi mikrotia. Beberapa kelompok telah mempelajari pasien mikrotia mereka sebagai probands, menemukan bukti untuk mikrosomia kraniofasial keluarga dan pola sugestif warisan multifaktorial.3 Faktor penyebab yang spesifik juga dapat mencakup rubella ibu selama trimester pertama kehamilan, Brent telah melaporkan eksposur thalidomide selama kehamilan sebagai penyebab poin Poswillo dengan waktu bervariasi dari cacat teratogenik pada pasien dengan kelainan bentuk telinga terkait dengan dysostosis mandibulofacial (Treacher Collins. -Franceschetti syndrome) dan bentuk yang lebih umum dari lengkungan branchial anomali dalam microsomia spasm.3 Namun hingga saat ini belum diketahui benar apa penyebab dari mikrotia. Tapi hal-hal berikut harus diperhatikan ibu hamil pada trimester pertama kehamilan: (1) faktor makanan, (2) stress, (3) menghindari obat-obatan.3,5

Kepaniteraan Ilmu Penyakit THT-KL di RSUD Cibinong Periode 13 Januari 15 Februari 2014 Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

10

Shinta Kharisma Dewi III.4 Manifestasi Klinis

Mikrotia

Kelainan biasanya terlihat pada saat lahir dengan malformasi aurikular jelas. Tingkat hipoplasia dari telinga eksternal adalah variabel. Ketika mikrotia terlihat dalam hubungannya dengan anomali lainnya, karyotyping dapat mengungkapkan kelainan kromosom.3 Ada tiga kategori penting yang memudahkan menilai kelainan daun telinga dengan cepat. Kriteria menurut Aguilar dan Jahrsdoerfer, yaitu: (1) Derajat 1: Jika telinga luar terlihat normal tetapi sedikit lebih kecil. Tidak diperlukan prosedur operasi untuk kelainan daun telinga ini. Telinga berbentuk lebih kecil dari telinga normal. Semua struktur telinga luar ada pada grade 1 ini. Kita bisa melihat adanya lobule, helix dan anti helix. Grade 1 ini dapat disertai dengan atau tanpa lubang telinga luar. (2) Derajat 2: Jika terdapat defisiensi struktur telinga seperti tidak terbentuknya skapa, lobul, heliks atau konka. Ada beberapa struktur normal telinga yang hilang. Namun masih terdapat lobule dan sedikit bagian dari helix dan antihelix. (3) Derajat 3: terlihat seperti bentuk kacang tanpa struktur telinga atau anotia. Kelainan ini membutuhkan proses operasi rekonstruksi dua tahap atau lebih. Kelompok ini diklasifikasikan sebagai mikrotia klasik. Sebagian besar pasien anak akan mempunyai mikrotia jenis ini. Telinga hanya akan tersusun dari kulit dan lobulus yang tidak sempurna pada bagian bawahnya. Biasanya juga terdapat jaringan lunak di bagian atasnya. Dimana ini merupakan tulang kartilgo yang terbentuk tidak sempurna. Biasanya pada kategori ini juga akan disertai atresia atau ketidakadaan lubang telinga luar.3,5

Kepaniteraan Ilmu Penyakit THT-KL di RSUD Cibinong Periode 13 Januari 15 Februari 2014 Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

11

Shinta Kharisma Dewi Gambar 3.1 klasifikasi mikrotia3

Mikrotia

Sedangkan Tanzer mengklasifikasikan mikrotia berdasarkan deskripsi dan lokasi dari defek: (1) tipe A yaitu telinga anotik, (2) tipe B yaitu telinga hipoplastik yang lengkap dengan atau tanpa atresia aural, (3) tipe C hipoplasia dari 1/3 tengah dari aurikel, (4) tipe D hipoplasia dari 1/3 superior dari aurikel, (5) tipe E yaitu telinga yang prominen.5 Kemudian ada klasifikasi Nagata yang berhubungan dengan pendekatan operasi: (1) Tipe lobulus. Pasien memiliki sisa telinga dan lobulus salah posisi tapi tidak memiliki konka, meatus akusitikus atau tragus; (2) Tipe konka: Pasien memiliki sisa telinga, lobulus salah posisi, konka (dengan atau tanpa meatus akustikus), tragus, dan anti tragus dengan insisura intertragica ; (3) Tipe konka kecil, pasien memiliki sisa telinga, lobulus salah posisi, dan indentasi kecil daripada konka; (4) Anotia, pasien dengan tidak ada atau hanya sedikit telinga yang tersisa; (5) Mikrotia atipikal, pasien ini memiliki deformitas yang tidak sesuai dengan kategori diatas. 4 Sebagian besar pasien dengan mikrotia tidak memiliki gangguan lain. Namun sepertiga dari keseluruhan kasus akan mengalami jaringan dan tulang yang tidak berkembang di sisi mikrotianya. Hal ini biasanya disebut dengan hemifacial microsomia. Sekitar 15% dari keseluruhan kasus mengalami kelemahan saraf fasialis. Kelainan lainnya yang sangat jarang bisa berupa gangguan pembentukan palatum (bibir sumbing), gangguan jantung dan gangguan ginjal. Jantung dan ginjal bisa terkena karena kedua organ ini berkembang bersamaan dengan perkembangan telinga luar dan tengah.6 Anak-anak dengan mikrotia menjadi sadar dengan kondisi dirinya pada saat menginjak usia tiga setengah tahun. Sebelum usia itu anak-anak cenderung tidak peduli dengan kondisinya. Setelah menginjak usia tersebut anak-anak mulai menanyakan tentang telinganya yang kecil sebelah atau telinganya yang berukuran berbeda dari teman-temannya.6 III.4 Diagnosis Mikrotia akan terlihat jelas pada saat kelahiran, ketika anak yang dilahirkan memiliki telinga yang kecil atau tidak ada telinga. Tes pendengaran akan dilakukan untuk mengetahui apakah ada gangguan pendengaran di telinga yang bermasalah atau tidak. Dan jika ada gangguan pendengaran, maka derajat berapa gangguan pendengarannya.3,6
Kepaniteraan Ilmu Penyakit THT-KL di RSUD Cibinong Periode 13 Januari 15 Februari 2014 Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

12

Shinta Kharisma Dewi

Mikrotia

III.5 Penatalaksanaan Usia pasien menjadi pertimbangan operasi, minimal berumur 6-8 tahun. Pada usia ini kartilago tulang iga sudah cukup memadai untuk dibentuk sebagai rangka telinga dan telinga sisi normal telah mencapai pertumbuhan maksimal, sehingga dapat digunakan sebagai contoh rangka telinga. Pada usia ini daun telinga mecapai 80-90% ukuran dewasa.2,6 Dengan tidak adanya tulang rawan daun telinga, pembedahan rekonstruksi jarang menghasilkan kosmetik yang memuaskan. Prostesis yang artistik adalah pemecahan yang paling baik untuk kosmetiknya. Pada kelainan unilateral dengan pendengaran normal dari telinga sisi lain, rekonstruksi telinga tengah tengah tidak dianjurkan, tetapi bila terjadi gangguan pendengaran bilateral, dianjurkan rekonstruksi telinga tengah.5 Terdapat tiga model rangka telinga untuk operasi rekonstruksi, antara lain: (1) tandur autologus, yaitu rekonstruksi menggunakan kartilalo autologus, telah menjadi standar operasi rekonstruksi karena tandur diterima dengan baik dan tidak terjadi reaksi penolakan jaringan. (2) prosthetic farmwork, bila rekosntruksi menggunakan rangka silikon atau gorotex. Metode ini sering menimbulkan komplikasi nekrosis. Integritas jaringan host dengan bahan prostetik masih memerlukan penelitian lebih lanjut. (3) prosthetic ear replacement.5 Dibawah ini adalah tiga pilihan utama untuk rekonstruksi mikrotia: (1) rekonstruksi autogenik, dua teknik utama yang menjelaskan untuk rekonstruksi autogenik dari aurikel yang menggunakan kerangka kartilago dari tulang rusuk adalah teknik Brent dan teknik Nagata.5 Teknik Brent meliputi empat tahapan: (a) pembuatan dan penempatan dari kerangka aurikuler kartilago tulang rusuk. (b) lubang telinga dirotasi dari malposisi vertikal menjadi posisi yang benar di aspek kaudal dari kerangka. (c) pengangkatan dari aurikel yang direkonstruksi dan pembuatan dari sulkus retroaurikuler. (d) pendalaman dari konka dan pembuatan tragus.6

Kepaniteraan Ilmu Penyakit THT-KL di RSUD Cibinong Periode 13 Januari 15 Februari 2014 Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

13

Shinta Kharisma Dewi

Mikrotia

Gambar 3.2 Keterangan gambar: Pemuatan dari kerangka telinga dari kartilago tulang rusuk. Teknik brent tahap 1. A: Blok dasar diperoleh dari sinkondrosis dari dua kartilago tulang rusuk. Pinggrian heliks dipertahankan dari sebuah kartilago rusuk yang mengambang. B: Mengukir detail menjadi dasar menggunakan gouge. C: Penipisan dari kartilago tulang rusuk untuk membuat pinggiran heliks. D: Mengaitkan pinggiran ke blok dasar menggunakan benang nilon. E: Kerangka selesai.4

Kepaniteraan Ilmu Penyakit THT-KL di RSUD Cibinong Periode 13 Januari 15 Februari 2014 Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

14

Shinta Kharisma Dewi

Mikrotia

Gambar 3.3 Keterangan Gambar: Pemasangan dari kerangka telinga teknik Brent tahap 1. A: Tanda preoperative menandakan lokasi yang diinginka dari kerangka (garis lurus) dan pelebaran dari pembedahan yang diperlukan (garis putus-putus). B: Pemasangan dari kerangka kartilago. C: Tampilan setelah tahap pertama. Kateter suction digunakan untuk menghisap kulit ke dalam jaringan interstisial dari kerangka.4

Gambar 3.4 Keterangan Gambar: Rotasi dari lobules. Teknik Brent tahap 2. Lubang telinga di rotasi dari malposisi vertical menjadi posisi yang benar di aspek kaudal dari kerangka. A: Desain dari rotasi
Kepaniteraan Ilmu Penyakit THT-KL di RSUD Cibinong Periode 13 Januari 15 Februari 2014 Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

15

Shinta Kharisma Dewi

Mikrotia

lobus dibuat dengan incise yang dapat digunakan di tahap 4, konstruksi tragus. B: Setelah rotasi dari lobules.4

Gambar Gambar 3.5 Keterangan Gambar: Pengangkatan dari aurikel yang di rekonstruksi dan pembuatan dari sulkus retroaurikuler. Elevasi dari kerangka dan skin graft menjadi sulkus. Teknik Brent tahap 3. A: Insisi dibuat dibelakang telinga. B: Kulit kepala retroaurikuler dimajukan ke sulkus jadi graft akhir tidak akan terlihat. C: Graft yang tebal pada permukaan medial yang tidak tersembunya dari aurikel.3

Kepaniteraan Ilmu Penyakit THT-KL di RSUD Cibinong Periode 13 Januari 15 Februari 2014 Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

16

Shinta Kharisma Dewi Gambar 3.6

Mikrotia

Keterangan Gambar: Pendalaman dari konka dan pembuatan tragus. Konstruksi dari tragus. Teknik Brent tahap 4. A: Graft konka diambil dari dinding konka posterior dari telinga yang berlawanan. B: Insisi bentuk L dibuat dan graft diamasukkan dengan permukaan kulit di bawah. C: Graft sembuh dengan baik.3

A Gambar 3.7

Keterangan Gambar: Pembuatan kerangka kerangka telinga dari kartilago tulang rusuk. Teknik Nagata tahap 1. A. Secaa garis besar mirip dengan Brent, dasar dan detailnya di buat dari sinkrondosis dari 2 tulang rusuk. B: Empat buah kartilago yang membuat kerangka kartilago diberikan nomor. Dasar dan pinggiran heliks seperti pada teknik Brent. Terdapat potongan antiheliksa-fossa triangular tambahan dan ada tambahan potongan tragus-antitragus yang khas pada prosedur Nagata.3,5

Kepaniteraan Ilmu Penyakit THT-KL di RSUD Cibinong Periode 13 Januari 15 Februari 2014 Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

17

Shinta Kharisma Dewi

Mikrotia

Gambar 3.8 Keterangan Gambar: Penempatan dari kerangka kartilago, teknik Nagata tahap 1. A: Insisi di desain, mengambil sebagian besar dari kulit di permukaan medial dari lobulus yang akan dibutuhkan untuk membentuk garis konka. B: Kantung di bedah, membuat pedikel yang intak di ujung kaudal dari flap. C: Kerangka di masukkan. D: Tampilan dari kerangka setelah tahap 1. Drain suction ditempatkan untuk menghisap kulit yang berada dibawah kartilago.3,5

Gambar 3.9 Keterangan Gambar: Elevasi dari rekonstruksi telinga dan pembuatan dari sulkus retroaurikuler. Pengangkatan dari kerangka. Teknik Nagata tahap 2. A: Aurikel diangkat, kulit kepala dibuat menjadi sulkus, dan kulit yang dipindahkan di tutup dengan flap temporoparietal dan skin graft. B: Skin graft berada di tempatnya. Nagata menjelaskan kegunaan dari ketebalan kulit yang dipisah , tetapi penulis telah memperhatikan penyusutan yang drastic dari graft yang tipis dan
Kepaniteraan Ilmu Penyakit THT-KL di RSUD Cibinong Periode 13 Januari 15 Februari 2014 Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

18

Shinta Kharisma Dewi

Mikrotia

menyarankan graft yang sangat tebal. C: Pemotongan melintang menunjukkan bahwa gaft kartilago berada pada tempatnya menyediakan gambaran sebagaimana flap temporoparietal menutupi flap temporoparietal.3,5,6 (2) Rekonstruksi alloplastik sejumlah material telah pernah digunakan untuk membuat kerangka aurikuler. Sekarang ini bahan yang paling sering digunakan adalah silastik atau cetakan polietilen yang bisa menyerap. Kerangka alloplastik memiliki resiko yang lebih tinggi untuk erosi dan eksposur dibandingkan dengan autogenus. Faktor yang berkontribusi terhadap tingginya resiko ekstrusi adalah jaringan luka, kulit yang terlalu tipis, tekanan pada implan, tekanan dan infeksi. Walaupun begitu dengan penutupan jaringan lunak yang adekuat, seperti flap temporoparietal fasial, kerangka alloplastik dapat digunakan dengan sukses. Banyak penulis menyatakan bahwa rekonstruksi alloplastik merupakan pilihan kedua setelah kartilago tulang rusuk.3,6 ; (3) Rekonstruksi prostetik, sebuah alternatif untuk operasi rekonstruksi telinga adalah dengan menggunakan prostetik aurikuler. Pada beberapa pasien, ini merupakan alternatif yang tepat. Prostetik aurikuler digunakan untuk menghindarkan operasi telinga dalam. Implan titanium dari gabungan tulang merupakan yang pertama ditanamkan pada tulang mastoid. Setelah implant telah sembuh secara sempurna, dibuatlah prostetik silikon aurikuler yang sesuai dengan telinga yang lain. Gabungan titanium ditonjolkan melalui tempelan kulit ke prostetik dengan mekanisme tertentu. Lem tidak diperlukan. Prostetik bisadikeluarkan dengan mudah dan area tersebut dapat dibersihkan.5,6,7

III.6 Komplikasi Seperti yng disebutkan sebelumnya, kerangka alloplastik memiliki resiko ekstrusi yang lebih besar dibandingkan dengan kerangka kartilago tulang rusuk. Ekstrusi yang membutuhkan pemindahan terjadi pada 5-30% dari kerangka silastik, dibandingkan pada 1-2% dari kartilago tulang rusuk. Komplikasi lainnya termasuk infeksi, hematom dan kehilangan kulit. Hal ini biasanya jarang terjadi dan kerangka hampir selalu bisa diselamatkan. Komplikasi daerah donor termasuk luka pada dadayang tidak bagus, retrusi ringan sampai berat dan peraturan dari kontur tulang rusuk.5,6
Kepaniteraan Ilmu Penyakit THT-KL di RSUD Cibinong Periode 13 Januari 15 Februari 2014 Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

19

Shinta Kharisma Dewi III.7 Prognosis

Mikrotia

Sekitar 90% anak dengan mikrotia akan mempunyai pendengaran yang normal. Karena adanya atresia pada telinga yang terkena, anak-anak ini akan terbiasa dengan pendengaran yang mono aural (tidak stereo). Sebaiknya orang tua berbicara dengan gurunya untuk menempatkan anak di kelas sesuai dengan sisi telinga yang sehat agar anak bisa mengikuti pelajaran dengan baik. Pada kasus bilateral (pada kedua telinga) umumnya juga tidak terjadi pendengaran. Hanya saja anak-anak perlu dibantu untuk dipasang dengan alat bantu dengar konduksi tulang (BAHA = Bone Anchor Hearing Aid). Hal ini diperlukan agar tidak terjadi gangguan perkembangan bicara pada anak. Lebih jauh lagi agar proses belajar anak tidak terganggu.2,7

Kepaniteraan Ilmu Penyakit THT-KL di RSUD Cibinong Periode 13 Januari 15 Februari 2014 Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

20

Shinta Kharisma Dewi

Mikrotia

BAB IV PENUTUP

IV.1 Kesimpulan Microtia merupakan malformasi daun telinga yang memperlihatkan kelainan bentuk ringan sampai berat, dengan ukuran kecil sampai tidak terbentuk sama sekali (anotia). Kelaian telinga luar kongenital berupa mikrotia dan stenosis liang telinga berisiko tinggi untuk terbentuknya kolesteatoma dan infeksi telinga tengah. Sekitar 90%, kasus mikrotia hanya mengenai satu telinga tengah saja (unilateral) dan 10% dari kasus mikrotia adalah mikrotia bilateral. Telinga terbanyak yang terkena adalah telinga kanan. Anak laki-laki lebih sering terkena dibandingkan dengan anak perempuan. (sekitar 65:35). Sampai sekarang tidak diketahui dengan pasti apa penyebab terjadinya mikrotia. Tapi banyak hal yang harus diperhatikan oleh ibu hamil di trimester pertama kehamilan untuk mencegah terjadinya mikrotia pada janin, misalnya faktor makanan, stress, kurang gizi, menghindari pemberian atau penggunaan obat-obatan dan zat kimia. Selain itu, genetik bisa menjadi salah satu faktor penyebab mikrotia tapi belum pernah diketahui bagaimana genetik bisa mempengaruhi atau menjadi faktor penyebab mikrotia.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit THT-KL di RSUD Cibinong Periode 13 Januari 15 Februari 2014 Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

21

Shinta Kharisma Dewi

Mikrotia

DAFTAR PUSTAKA
1. Averdi Roezin, Armiyanto. Tumor hidung dan sinonasal. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, et al. Buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala & leher, edisi keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007 2. Thorne, Charles H. Otoplasty and Ear Reconstruction. In Thorne CH et al eds, Grabb and Smiths Plastic Surgery, edisi ke-6, 2007, Wolters Kluwer/Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia. 3. Leach J.L.. Ear Reconstruction. [article on internet]. 2011. Available on:

http://www.emedicine.medscape.com 4. Lalwani A.K. Current Diagnosis and Treatment in Otolaringology Head and Neck Surgery, 2007, Mc Graw Hill, New York. 5. Sarkissian, Raffi der. Otoplasty. In Dolan, W editor. Facial Plastic, Reconstructice, and Trauma Surgery, 2005, Marcell-Decker, New York. 6. Kryger, Zol B. Mikrotia Repair. In Kryger, ZB. Practical Plastic Surgery. 2007. Landes Biosciense, Texas 7. Throne C.H. Information about microtia/ aural atresia [article on internet] 2012. Available on: http://www.microtia.com

Kepaniteraan Ilmu Penyakit THT-KL di RSUD Cibinong Periode 13 Januari 15 Februari 2014 Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

22

Anda mungkin juga menyukai