Anda di halaman 1dari 17

DIABETES MELITUS TIPE 2 Definisi Diabetes melitus tipe II (DM tipe II) ini membentuk 90 - 95% dari semua

kasus diabetes, dahulu disebut diabetes melitus non-dependen insulin atau diabetes onset dewasa. Diabetes ini meliputi individu yang memiliki resistensi insulin dan biasanya mengalami defisiensi insulin relatif atau kekurangan insulin pada awalnya dan sepanjang masa hidupnya, individu ini tidak membutuhkan pengobatan insulin untuk bertahan hidup. Ada banyak kemungkinan berbeda yang menyebabkan timbulnya diabetes ini. Walaupun etiologi spesifiknya tidak diketahui, tetapi pada diabetes tipe ini tidak terjadi destruksi sel beta. Kebanyakan pasien yang menderita DM tipe ini mengalami obesitas, dan obesitas dapat menyebabkan beberapa derajat resistensi insulin (American Diabetes Association, 2004). Etiologi Penyebab diabetes yang utama adalah kurangnya produksi insulin (DM tipe I) atau kurang sensitifnya jaringan tubuh terhadap insulin (DM tipe II). Namun jika dirunut lebih lanjut, ada beberapa faktor yang menyebabkan DM sebagai berikut : 1. Genetik atau faktor keturunan DM sering diturunkan atau diwariskan, bukan ditularkan. Anggota keluarga penderita DM memiliki kemungkinan lebih besar terserang penyakit ini dibandingkan dengan anggota keluarga yang tidak menderita DM. Para ahli kesehatan juga menyebutkan DM merupakan penyakit yang terpaut kromosomseks atau kelamin. Biasanya kaum laki-laki menjadi penderita sesungguhnya,sedangkan kaum perempuan sebagai pihak yang membawa gen untuk diwariskankepada anak-anaknya (Maulana, Mirza:2008). 2. Sindrom ovarium polikistik (PCOS)

Menyebabkan peningkatan produksi androgen di ovarium dan resistensi insulin serta merupakan salah satu kelainan endokrin tersering pada wanita, dan kira-kira mengenai 6 persen dari semua wanita, selama masa reproduksinya (Guyton and Hall, 2007). 3. Virus dan bakteri

Virus penyebab DM adalah rubella, mumps, dan human coxsackievirus B4. Melalui mekanisme infeksi sitolitik dalam sel beta. Virus ini mengakibatkan destruksi atau perusakan sel. Bisa juga, virus ini menyerang melalui reaksi autoimunitas yang menyebabkan hilangnya otoimun dalam sel beta. Sedangkan bakteri masih belum bisa dideteksi, tapi menurut ahli mengatakan bahwa bakteri juga berperan penting menjadi penyebab timbulnya DM (Maulana, Mirza, 2008). 4. Bahan toksik atau beracun

Bahan beracun yang mampu merusak sel beta secara langsung adalah alloxan,pyrineuron (rodentisida), dan streptozoctin (produk dari sejenis jamur) (Maulana,Mirza:2008). 1. Nutrisi 2. Kadar Kortikosteroid yang tinggi 3. Kehamilan diabetes gestational 4. Obat-obtan yang dapat merusak pankreas 5. Racun yang memengaruhi pembentukan atau efek dari insulin

Epidimiologi Saat ini diabetes melitus menjadi salah satu ancaman utama bagi kesehatan umat manusia pada abad ke-21. WHO membuat perkiraan bahwa pada tahun 2000 jumlah penderita diabetes diatas umur 20 tahun berjumlah 150 juta orang dan dalam kurun waktu 25 tahun kemudian, pada tahun 2025, jumlah itu akan membengkak menjadi 300 juta orang (Suyono, 2009). Menurut Powers (2005) kejadian diabetes melitus meningkat seiring bertambahnya usia. Pada tahun 2000, prevalensi DM di dunia diperkirakan sebesar 0,19% pada orang usia < 20 tahun dan 8,6% pada orang usia > 20 tahun. Pada orang usia > 65 tahun prevalensi diabetes melitus sebesar 20,1%. Di tahun 2004 sekitar 3,4 juta orang meninggal akibat konsekuensi dari tingginya kadar gula darah pada orang yang menderita DM dan lebih dari 80% kematian tersebut terjadi di negara-negara dengan pendapatan menengah ke bawah (WHO, 2011). Di Indonesia sendiri diperkirakan bahwa pada tahun 2030 prevalensi diabetes melitus (DM) mencapai 21,3 juta orang (Diabetes Care, 2004). Menurut penelitian epidemiologi yang dilaksanakan di Indonesia, kekerapan diabetes di Indonesia berkisar antara 1,4 sampai 1,6% kecuali di dua tempat yaitu di

Pekajangan, suatu desa dekat Semarang, sebesar 2,3% dan di Manado sebesar 6% (Suyono, 2009). Sedangkan hasil Riset kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, diperoleh bahwa proporsi penyebab kematian akibat DM pada kelompok usia 45-54 tahun di daerah perkotaan menduduki ranking ke-2 yaitu 14,7%. Dan daerah pedesaan, DM menduduki ranking ke-6 yaitu 5,8% (Depkes, 2009).

Klasifikasi American Diabetes Association (ADA) dalam Standards of Medical Care in Diabetes (2009) memberikan klasifikasi Diabetes Mellitus berdasarkan pengetahuan mutakhir mengenai patogenesis sindrom diabetes dan gangguan toleransi glukosa. Klasifikasi ini telah disahkan oleh WHO dan telah dipakai di seluruh dunia. Empat klasifikasi Diabetes Mellitus: Diabetes Mellitus tipe 1, Diabetes Mellitus tipe 2, Diabetes Mellitus Gestasional (Diabetes kehamilan), dan Diabetes Mellitus tipe khusus lain. Dikenal 2 jenis utama Diabetes Mellitus yaitu Diabetes Mellitus tipe 1 dan Diabetes Mellitus tipe 2. Kedua jenis DM ini dibagi dengan melihat faktor etiologisnya Diabetes Mellitus Tipe 1 Diabetes Mellitus tipe 1 merupakan kondisi autoimun sel-sel beta pulau Langerhans sehingga timbul defisiensi insulin. Individu yang memiliki kecenderungan penyakit ini tampaknya menerima faktor pemicu dari lingkungan. Sebagai contoh faktor pencetus yang mungkin antara lain infeksi virus seperti gondongan (mumps), rubella, dan sitomegalovirus (CMV) kronis. Pajanan terhadap obat atau toksin tertentu juga diduga dapat memicu serangan autoimun ini. Karena proses penyakit DM tipe 1 terjadi dalam beberapa tahun, sering kali tidak ada faktor pencetus yang pasti. Pada saat diagnosis DM tipe 1 ditegakkan, ditemukan antibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans pada sebagian besar pasien. Mengapa individu membentuk antibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans sebagai respon terhadap faktor pencetus belum diketahui penyebabnya. Salah satu mekanisme yang kemungkinan adalah bahwa terdapat agen lingkungan yang secara antigenis mengubah sel-sel prankreas sehingga menstimulasi pembentukan autoantibodi. Kemungkinan lain bahwa para

individu yang mengidap DM tipe 1 memiliki kesamaan antigen antara sel-sel beta prankreas mereka dengan mikroorganisme atau obat tertentu. Sewaktu berespons terhadap virus atau obat, sistem imun mungkin gagal mengenali sel prankreas. Pada saat diagnosis DM tipe 1 ditegakkan lebih dari 80% sel beta telah dihancurkan. Sebelumnya DM tipe 1 disebut sebagai Diabetes Mellitus dependen insulin atau IDDM (insulin dependent diabetes mellitus), karena individu pengidap penyakit ini harus mendapat insulin pengganti. DM tipe 1 dulu juga dikenal sebagai tipe juvenile-onset. Akan tetapi, DM tipe 1 dapat muncul pada sembarang usia . Insidens DM tipe 1 sebanyak 30.000 kasus baru setiap tahunnya.18 2.2.2. Diabetes Mellitus Tipe 2 DM tipe 2 merupakan tipe DM yang paling sering terjadi, mencakup sekitar 85% pasien DM. Keadaan ini ditandai dengan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif. Individu yang mengidap DM tipe 2 tetap menghasilkan insulin. Akan tetapi sering terjadi keterlambatan awal dalam sekresi dan penurunan jumlah total insulin yang dilepaskan. Hal ini cenderung semakin parah seiring dengan pertambahan usia pasienDM tipe 2 dulu disebut DM tidak tergantung insulin atau NIDDM (noninsulin dependent diabetes mellitus), sebenarnya kurang tepat karena banyak individu yang mengidap DM tipe 2 dapat ditangani dengan insulin.DM tipe 2 dulu juga dikenal sebagai tipe dewasa atau tipe onset maturitas karena lebih sering terjadi pada pasien berusia di atas 40 tahun. Namun, dengan menigkatnya insidensi obesitas di negara barat dan onsetnya yang semakin dini, saat ini terjadi peningkatan frekuensi DM tipe 2 pada orang dewasa muda dan anak-anak.Insidens DM tipe 2 sebesar 650.000 kasus baru setiap tahunnya. Sekitar 80% pasien DM tipe 2 mengalami obesitas. Karena obesitas berkaitan dengan resistensi insulin, maka kelihatannya akan timbul kegagalan toleransi glukosa yang menyebabkan DM tipe 2 Patofisiologi a. Resistensi insulin Penurunan kemampuan insulin untuk beraksi pada jaringan target perifer (terutama otot dan hati) merupakan ciri yang menonjol pada DM tipe II dan merupakan kombinasi dari kerentanan genetik dan obesitas. Resistensi insulin mengganggu penggunaan glukosa oleh jaringan yang sensitif insulin dan meningkatkan keluaran glukosa hepatik, keduanya menyebabkan hiperglikemia (Powers, 2005). Pada prinsipnya resistensi insulin dapat terjadi di tingkat reseptor insulin atau di salah satu jalur sinyal pascareseptor. Pada DM tipe II jarang terjadi defek kualitatif dan kuantitatif pada reseptor insulin. Oleh karena itu, resistensi insulin diperkirakan terutama berperan dalam pembentukan sinyal pascareseptor (ClareSalzler, et al., 2007).

Polimorfisme pada IRS-1 mungkin berhubungan dengan intoleransi glukosa, meningkatkan kemungkinan bahwa polimorfisme dalam berbagai molekul postreceptor dapat menyebabkan resistensi insulin. Patogenesis resistensi insulin saat ini berfokus pada defek sinyal PI-3-kinase, yang menurunkan translokasi GLUT 4 pada membran plasma, diantara kelainan lainnya (Powers, 2005). Asam lemak bebas juga memberikan kontribusi pada patogenesis DM tipe II. Asam lemak bebas menurunkan ambilan glukosa pada adiposit dan otot serta meningkatkan keluaran glukosa hepatik yang terkait dengan resistensi insulin (Thvenod, 2008). b. Gangguan Sekresi Insulin Defek pada sekresi insulin bersifat samar dan secara kuantitatif kurang berarti jika dibandingkan dengan yang terjadi pada DM tipe I. Pada awal perjalanan penyakit DM tipe II, sekresi insulin tampaknya normal dan kadar insulin plasma tidak berkurang. Namun pola sekresi insulin yang berdenyut dan osilatif lenyap, dan fase pertama sekresi insulin (yang cepat) yang dipicu oleh glukosa menurun. Manifestasi Diagnosis klinik DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikenakan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan pemastian yang lebih lanjut dengan dengan mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu 200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil t es toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah postprandial 200 mg/dl seperti ditunjukkan oleh gambar 2.3 (Gustaviani, 2006) . Beberapa peneliti menyarankan HbA1C (Hemoglobin A1C) sebagai salah satu uji diagnosa pada diabetes melitus. Walaupun HbA1C memiliki hubungan yang kuat dengan peningkatan glukosa plasma tetapi hubungan antara glukosa darah puasa dengan HbA1C pada individu yang toleransi glukosanya normal

atau intoleransi glukosa ringan masih belum jelas dan penggunaan HbA1C dalam diagnosa diabetes melitus tidak dianjurkan (Powers, 2005)

Untuk diagnosis dan klasifikasi ada indeks tambahan yang dapat dibagi atas 2 bagian: 1. Indeks penentuan derajat kerusakan sel beta Hal ini dapat dinilai dengan pemeriksaan kadar insulin, pro-insulin, dan sekresi peptide penghubung (C-peptide). Nilai-nilai Glycosilated haemoglobin (WHO istilah Glyclated haemoglobin), nilai derajat glikosilasi dari protein lain dan tingkat gangguan toleransi glukosa juga bermanfaat untuk penilaian kerusakan ini. 2. Indeks proses diabetogenik Untuk penilaian proses diabetogenik pada saat ini telah dapat dilakukan penentuan tipe dan subtipeHLA; adanya tipe dan titer antibodi dalam sirkulasi yang ditujukkan untuk pulau-pulau Langerhans (islet cell antibody), Anti GAD (Glutamic Acid Decarboxilase) dan sel endokrin lainnya adanya cell-mediated immunity terhadap pankreas; ditemukannya susunan DNA spesifik pada genoma manusia dan ditemukkannya penyakit lain pada pankreas dan penyakit endokrin lainnya (Gustaviani, 2006).

Komplikasi a. Komplikasi akut 1) Hipoglikemia Hipoglikemia (kadar gula darah yang abnormal rendah) terjadi apabila kadar glukosa darah turun dibawah 50 mg/ dl. Keadaan ini dapat terjadi akibat pemberian insulin atau preparat oral yang berlebihan, konsumsi makanan yang terlalu sedikit atau karena aktivitas fisik yang berat. Hipoglikemia dapat terjadi setiap saat pada siang atau malam hari. Kejadian ini dapat terjadi sebeum makan, khususnya jika makan yang tertunda atau bila pasien lupa makan camilan. Gejala hipoglikemia dapat dikelompokkan menjadi dua kategori : gejala adrenergik dan gejala sistem saraf pusat. a) Hipoglikemia ringan

Ketika kadar glukosa darah menurun, sistem saraf simpatis akan terangsang. Pelimpahan adrenalin kedalam darah menyebabkan gejala seperti perspirasi, tremor, takhikardia, palpitasi, kegelisahan dan rasa lapar. b) Hipoglikemia Sedang Penurunan kadar glukosa darah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapatkan cukup bahan bakar untuk bekerja dengan baik. Tanda-tanda gangguan fungsi pada sistem saraf pusat mencakup ketidakmampuan berkonsentrasi, sakit kepala, vertigo, confuse, penurunan daya ingat, mati rasa didaerah bibir serta lidah, bicara rero, gerakan tidak terkoordinasi, perubahan emosional, perilaku yang tidak rasional, pengllihatan ganda, dan perasaan ingin pingsan c) Hipoglikemia Berat Fungsi sitem saraf pusat menagalami gangguan yang sangat berat sehingga pasien memerlukan pertolongan orang lain untuk mengatasi Hipoglikemia yang dideritanya. Gejala dapat mencakup perilaku yang mengalami disorientasi, serangan kejang, sulit dibangunkan, atau bahkan kehilangan kesadaran.

2) Diabetes Ketoasidosis Diabetes ketoasidosis disebabkan oleh tidak adanya insulin atau tidak cukup jumlah insulin yang nyata. Keadaan ini mengakibatkan gangguan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Ada tiga gambaran klinik yang penting pada diabetes ketoasidosis : (1) Dehidrasi (2) Kehilangan elektrolit (3) Asidosis Apabila jumlah insulin berkurang, maka jumlah glukosa yang memasuki sel akan berkurang pula. Selain itu prroduksi glukosa oleh hati menjadi tidak terkendali, kedua faktor tersebut akan mengakibatkan hiperglikemia. Dalam upaya untuk menghilangkan glukosa dalam tubuh, ginjal akan mensekresikan glukosa bersama-sama air dan elektrolit (natriun dan kalium). Diuresis osmotik yang ditandai oleh urinasi yang berlebihan (poliuria) ini akan menyebabkan dehidrasi dan kehilangan elektrolit. 3) Syndrom Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik (SHHNK) Merupakan keadaan yang didominasi oleh hiperosmolaritas dan hipergklikemia yang disertai perubahan tingkat kesadaran (Sense of Awareness). Keadaan hiperglikemia persisten menyebabkan diuresis osmotik sehingga terjadi kehilangan cairan dan elektrolit. Untuk mempertahankan keseimbangan osmotik, cairan akan berpindah dari intrasel keruang ekstrasel. Dengan adanya glukosuria dan dehidrasi, maka akan dijumpai keadaan hipernatremia dan peningkatan osmolaritas.

b. Komplikasi Kronik Komplikasi kronik dari diabetes mellitus dapat menyerang semua sistem organ tubuh. Kategori komplikasi kronik diabetes yang lajim digunakan adalah penyakit makrovaskuler, mikrovaskuler, dan neurologis. 1) Komplikasi Makrovaskuler Perubahan aterosklerotik dalam pembuluh darah besar sering terjadi pada diabetes. Perubahan aterosklerotik ini serupa degan pasien-pasien non diabetik, kecuali dalam hal bahwa perubahan tersebut cenderung terjadi pada usia yang lebih muda dengan frekuensi yang lebih besar pada pasien-pasien diabetes. Berbagai tipe penyakit makrovaskuler dapat terjadi tergantung pada lokasi lesi ateerosklerotik. Aterosklerotik yang terjadi pada pembuluh darah arteri koroner, maka akan menyebabkan penyakit jantung koroner. Sedangkan aterosklerotik yang terjadi pada pembuluh darah serebral, akan menyebabkan stroke infark dengan jenis TIA (Transiennt Ischemic Attack). Selain itu ateerosklerotik yang terjadi pada pembuluh darah besar ekstremitas bawah, akan menyebabkan penyakit okluisif arteri perifer atau penyakit vaskuler perifer. 2) Komplikasi Mikrovaskeler a) Retinopati Diabetik Disebabkan oleh perubahan dalam pembuluh-pembuluh darah kecil pada retina mata, bagian ini mengandung banyak sekali pembuluh darah dari berbagai jenis pembuluh darah arteri serta vena yang kecil, arteriol, venula dan kapiler. b) Nefropati Diabetik Bila kadar gluoksa darah meninggi maka mekanisme filtrasi ginjal ajkan mengalami stress yang mengakibatkan kebocoran protein darah ke dalam urin. Sebagai akibatnya tekanan dalam pembuluh darah ginjal meningkat. Kenaikan tekanan tersebut diperkirakan berperan sebagai stimulus untuk terjadinya nefropati c) Neuropati Diabetikum Dua tipe neuropati diabetik yang paling sering dijumpai adalah : (1) Polineuropati Sensorik Polineuropati sensorik disebut juga neuropati perifer. Neuropati perifer sering mengenai bagian distal serabut saraf, khususnya saraf extremitas bagian bawah. Kelainan ini mengenai kedua sisi tubuh dengan distribusi yang simetris dan secara progresif dapat meluas ke arah proksimal. Gejala permulaanya adalah parastesia (rasa tertusuk-tusuk, kesemutan dan peningkatan kepekaan) dan rasa terbakar (khususnya pada malam hari). Dengan bertambah lanjutnya neuropati ini kaki akan terasa baal.

Penurunan sensibilitas terhadap sentuhan ringan dan penurunan sensibilitas nyeri dan suhu membuat penderita neuropati beresiko untuk mengalami cedera dan infeksi pada kaki tanpa diketahui. (2) Neuropati Otonom (Mononeuropati) Neuropati pada system saraf otonom mengakibatkan berbagai fungsi yang mengenai hampir seluruh system organ tubuh. Ada lima akibat utama dari neuropati otonom (Smeltzer, B, alih bahasa Kuncara, H.Y, dkk., 2001 : 1256-1275) antara lain : (a) Kardiovaskuler Tiga manifestasi neuropati pada sistem kardiovaskuler adalah frekuensi denyut jantung yang meningkat tetapi menetap, hipotensi ortostatik, dan infark miokard tanpa nyeri atau silent infark. (b) Pencernaan Kelambatan pengosongan lambung dapat terjadi dengan gejala khas, seperti perasaan cepat kenyang, kembung, mual dan muntah. Konstipasi atau diare diabetik (khususnya diare nokturia) juga menyrtai neuropati otonom gastrointestinal. (c) Perkemihan Retensi urine penurunan kemampuan untuk merasakan kandung kemih yamg penuh dan gejala neurologik bladder memiliki predisposisi untuk mengalami infeksi saluran kemih. Hal ini terjadi pada pasien dengan diabetes yang tidak terkontrol, mengingat keadaan hiperglikemia akan mengganggu resistensi terhadap infeksi. (d) Kelenjar Adrenal (Hypoglikemik Unawarenass) Neuropati otonom pada medulla adrenal menyebabkan tidak adanya atau kurangnya gejala hipoglikemia. Ketidakmampua klien untu mendeteksi tanda-tanda peringatan hipoglikemia akan membawa mereka kepada resiko untuk mengalami hipogllikemi yang berbahaya. (e) Disfungsi Seksual Disfungsi Seksual khususnya impotensi pada laki-laki merupakan salah satu komplikasi diabetes yang paling ditakuti. Efek neuropati otonom pada fungsi seksual wanita tidak pernah tercatat dengan jelas Pencegahan encegahan penyakit diabetes melitus tipe 2 terutama ditujukan kepada orang-orang yang memiliki risiko untuk menderita DM tipe 2. Tujuannya adalah untuk memperlambat timbulnya DM tipe 2, menjaga fungsi sel penghasil insulin di pankreas, dan mencegah atau memperlambat munculnya gangguan pada jantung dan pembuluh darah. Faktor risiko DM tipe 2 dibedakan menjadi faktor yang dapat dimodifikasi

dan faktor yang tidak dapat dimodifikasi. Usaha pencegahan dilakukan dengan mengurangi risiko yang dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi contohnya ras dan etnik, riwayat anggota keluarga menderita DM, usia >45 tahun, riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi>4000 gram atau riwayat pernah menderita DM gestasional (DMG), dan riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5 kg. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi contohnya berat badan berlebih, kurangnya aktivitas fisik, hipertensi (> 140/90 mmHg), gangguan profil lipid dalam darah (HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL, dan diet tak sehat tinggi gula dan rendah serat. Pencegahan DM juga harus dilakukan oleh pasien-pasien prediabetes yakni mereka yang mengalami intoleransi glukosa (GDPP dan TGT) dan berisiko tinggi mederita DM tipe 2. Pencegahan DM tipe 2 pada orang-orang yang berisiko pada prinsipnya adalah dengan mengubah gaya hidup yang meliputi olah raga, penurunan berat badan, dan pengaturan pola makan. Berdasarkan analisis terhadap sekelompok orang dengan perubahan gaya hidup intensif, pencegahan diabetes paling berhubungan dengan penurunan berat badan. Menurut penelitian, penurunan berat badan 5-10% dapat mencegah atau memperlambat munculnya DM tipe 2. Dianjurkan pula melakukan pola makan yang sehat, yakni terdiri dari karbohidrat kompleks, mengandung sedikit lemak jenuh dan tinggi serat larut. Asupan kalori ditujukan untuk mencapai berat badan ideal. Akitivitas fisik harus ditingkatkan dengan berolah raga rutin, minimal 150 menit perminggu, dibagi 3-4 kali seminggu. Olah raga dapat memperbaiki resistensi insulin yang terjadi pada pasien prediabetes, meningkatkan kadar HDL (kolesterol baik), dan membantu mencapai berat badan ideal. Selain olah raga, dianjurkan juga lebih aktif saat beraktivitas sehari-hari, misalnya dengan memilih menggunakan tangga dari pada elevator, berjalan kaki ke pasar daripada menggunakan mobil, dll. Merokok, walaupun tidak secara langsung menimbulkan intoleransi glukosa, dapat memperberat komplikasi kardiovaskular dari intoleransi glukosa dan DM tipe 2. Oleh karena itu, pasien juga dianjurkan berhenti merokok Prognosis

FAAL DAN BIOKIMIA INSULIN a. Proses Pembentukan Insulin Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino, dihasilkan sel beta kelenjar pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada rangsangan pada sel beta, insulin disintesis kemudian disekresikan ke dalam darah sesuai kebutuhan tubuh untuk keperluan regulasi glukosa darah (Manaf, 2006).Insulin disintesis sebagai suatu prepohormon (berat molekul sekitar 11.500) dan merupakan prototipe untuk peptida yang diproses dari molekul prekursor yang lebih besar. Rangkaian pemandu yang bersifat hidrofobik dengan 23 asam amino mengarahkan molekul tersebut ke dalam sisterna retikulum endoplasma dan kemudian dikeluarkan. Proses ini menghasilkan proinsulin dengan berat molekul 9000 yang menyediakan bentuk yang diperlukan bagi pembentukkan jembatan disulfida yang sempurna. Penyusunan proinsulin, yang dimulai dari bagian terminal amino, adalah rantai B peptida C penghubung rantai A. Molekul proinsulin menjalani serangkaian pemecahan peptida tapak-spesifik sehingga terbentuk insulin yang matur dan peptida C dalam jumlah ekuimolar dan disekresikan dari granul sekretorik pada sel beta pankreas (Granner, 2003). c. Sekresi Insulin Glukosa merupakan kunci regulator sekresi insulin oleh sel beta pankreas, walaupun asam amino, keton dan nutrien lainnya juga mempengaruhi sekresi insulin. Kadar glukosa > 3,9 mmol/L (70 mg/dl) merangsang sintesis insulin. Glukosa merangsang sekresi insulin dengan masuk ke dalam sel beta melalui transporter glukosa GLUT 2. Selanjutnya di dalam sel, glukosa mengalami proses fosforilasi oleh enzim glukokinase dan glikolisis yang akan membebaskan molekul ATP (Powers, 2005). Molekul ATP yang terbebas tersebut, dibutuhkan untuk mengaktifkan proses penutupan K channel yang terdapat pada membran sel. Terhambatnya pengeluaran ion K dari dalam sel menyebabkan depolarisasi membran sel, yang diikuti kemudian oleh proses pembukaan Ca channel. Keadaan inilah yang memungkinkan masuknya ion Ca sehingga meningkatkan kadar ion Ca intrasel, suasana yang dibutuhkan bagi proses sekresi insulin melalui mekanisme yang cukup rumit dan belum seutuhnya dapat dijelaskan. Aktivasi penutupan K channel Universitas Sumatera Utaraterjadi tidak hanya disebabkan oleh rangsangan ATP hasil proses fosforilasi glukosa intrasel, tetapi juga dapat oleh pengaruh beberapa faktor lain termasuk obat-obatan. Namun senyawa obat-obatan tersebut (biasanya tergolong obat diabetes), bekerja mengaktivasi K channel tidak pada reseptor yang sama dengan

glukosa, tapi pada reseptor tersendiri yang disebut sulphonilurea receptor (SUR), yang juga terdapat pada membran sel beta seperti terlihat pada gambar 2.1 (Manaf, 2006) Gambar 2.1. Mekanisme sekresi insulin (Harrisons Principle of Internal Medicine, 2005). c. Aksi Insulin Kerja insulin dimulai ketika hormon tersebut terikat dengan sebuah reseptor glikoprotein yang spesifik pada permukaan sel target. Reseptor insulin terdiri dari dua heterodimer yang terdiri atas dua subunit yang diberi simbol dan . Subunit terletak pada ekstrasel dan merupakan sisi yang berikatan dengan insulin. Subunit merupakan protein transmembran yang melaksanakan fungsi sekunder yang utama pada sebuah reseptor yaitu transduksi sinyal (Granner, 2003). Ikatan ligan menyebabkan autofosforilasi beberapa residu tirosin yang terletak pada bagian sitoplasma subunit dan kejadian ini akan memulai suatu rangkaian peristiwa yang kompleks. Reseptor insulin memiliki aktivitas intrinsik tirosin kinase dan berinteraksi dengan protein substrat reseptor insulin (IRS dan Shc). Sejumlah protein penambat (docking protein) mengikat protein selular dan memulai aktivitas metabolik insulin [GrB-2, SOS, SHP-2, p65, p110 dan phosphatidylinositol 3 kinase (PI-3-kinase)]. Insulin meningkatkan transport glukosa melalui lintasan PI-3-kinase dan Cbl yang berperan dalam translokasi vesikel intraselular yang berisi transporter glukosa GLUT 4 pada membran plasma. Aktivasi jalur sinyal reseptor insulin juga menginduksi sintesa glikogen, protein, lipogenesis dan regulasi berbagai gen dalam perangsangan insulin seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.2 (Powers, 2005).

Penatalaksanaan Penatalaksanaan DM tipe 2 : 1.Penyuluhan (Edukasi Diabetes) Penyuluhan untuk rencana pengelolaan sangatpenting untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Edukasi diabetes adalah pendidikan dan pelatihan mengenai pengetahuan dan ketrampilan bagi pasien diabetes, yang bertujuanmenunjang perubahan perilaku untuk meningkatkan pemahaman pasien akan penyakitnya,yang diperlukan untuk mencapai keadaan sehat optimal, dan penyesuaian keadaanpsikologik serta kualitas hidup yang lebih baik. Edukasi merupakan bagian integral dariasuhan

perawatan pasien diabetes. Pembicaraan lebih lanjut mengenai penyuluhan dapatdilihat pada bab khusus penyuluhan. 2.Perencanaan makan Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam halkarbohidrat, protein, dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut :Karbohidrat 60 - 70% Protein 10 15% Lemak 20 - 25% Jumlah kalori disesuaikan denganpertumbuhan, status gizi, umur, stres akut dan kegiatan jasmani untuk mencapai danmemper tahankan berat badan idaman.Untuk penentuan status gizi, dipakai Body Mass Index (BMI) = Indeks Massa Tubuh (IMT).BB (kg) BMI = IMT = ------------------ {TB (m)}2 IMT normal Wanita = 18,5 - 22,9 kg/m2 IMT normal Pria = 20 - 24,9 kg/m2 Untuk kepentingan klinik praktis, dan menghitung jumlah kalori, penentuan status gizimemanfaatkan Rumus Broca, yaitu: BB idaman = (TB 100) 10% Status gizi :- Berat Badan kurang = < 90% BB idaman - Berat Badan normal = 90 - 110% BB idaman -Berat Badan lebih = 110 - 120% BB idaman - Gemuk = > 120% BB idamanJumlah kalori yang diperlukan dihitung dari berat badan idaman dikalikan kebutuhan kaloribasal (30 Kkal/kg BB untuk laki-laki dan 25 Kkal/kg BB untuk wanita). Kemudian ditambahdengan kebutuhan kalori untuk aktivitas (10 - 30%; untuk atlet dan pekerja berat dapat lebihbanyak lagi, sesuai dengan kalori yang dikeluarkan dalam kegiatannya), koreksi status gizi(gemuk dikurangi, kurus ditambah) dan kalori yang diperlukan untuk menghadapi stres akut(infeksi, dan sebagainya) sesuai dengan kebutuhan. Untuk masa pertumbuhan (anak dandewasa muda) serta ibu hamil, diperlukan perhitungan tersendiri (lihat konsensus DM tipe 1dan konsensus DM gestasional).Makanan sejumlah kalori terhitung, dengan komposisi tersebut di atas dibagi dalam 3 porsibesar untuk makan pagi (20%), siang (30%) dan sore (25%) serta 2-3 porsi (makananringan, 10 - 15%) di antaranya. Pembagian porsi tersebut sejauh mungkin disesuaikandengan kebiasaan pasien untuk kepatuhan pengaturan makanan yang baik. Untuk pasienDM yang mengidap pula penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan denganpenyakit penyertanya. Perlu diingatkan bahwa pengaturan makan pasien DM tidak berbedadengan orang normal, kecuali jumlah kalori dan waktu makan yang terjadwal. Untukkelompok sosial ekonomi rendah, makanan dengan komposisi karbohidrat sampai 70 - 75% juga memberikan hasil yang baik.

Jumlah kandungan kolesterol < 300 mg/hari. Diusahakan lemak dari sumber asam lemaktidak jenuh dan menghindari asam lemak jenuh.Jumlah kandungan serat 25 g/hari, diutamakan serat larut.Pasien DM dengan tekanan darah yang normal masih diperbolehkan mengkonsumsi garamseperti orang sehat, kecuali bila mengalami hipertensi, harus mengurangi konsumsi garam.Pemanis buatan dapat dipakai secukupnya. Gula sebagai bumbu masakan tetap diizinkan.Pada keadaan kadar glukosa darah terkendali,masih diperbolehkan untuk mengkonsumsi sukrosa (gula pasir) sampai 5% kalori.Untuk mendapatkan kepatuhan terhadap pengaturan makan yang baik, adanyapengetahuan mengenai bahan penukar akan sangat membantu pasien. 3.Latihan Jasmani Dianjurkan latihan jasmani secara teratur (3 - 4 kali seminggu) selama kurang lebih 30menit, yang sifatnya sesuai CRIPE ( continuous, rhythmical, interval, progressive,endurance training ). Sedapat mungkin mencapai zona sasaran 75 - 85% denyut nadimaksimal (220 - umur), disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penyakit penyerta.Sebagai contoh olahraga ringan adalah berjalan kaki biasa selama 30 menit, olahragasedang adalah berjalan cepat selama 20 menit dan olahraga berat misalnya jogging. 4.Obat Berkhasiat Hipoglikemik Jika pasien telah menerapkan pengaturan makan dan kegiatan jasmani yang teratur namunpengendalian kadar glukosa darahnya belum tercapai (lihat sasaran pengendalian glukosadarah), dipertimbangkan pemakaian obat berkhasiat hipoglikemik (oral/suntikan).4.1. Obat Hipoglikemik Oral (OHO)Pada umumnya dalam menggunakan obat hipoglikemik oral, baik golongan sulfonilurea,metformin maupun inhibitor glukosidase alfa, harus diperhatikan benar fungsi hati danginjal. Tidak dianjurkan untuk memberikan obat-obat tersebut pada pasien dengangangguan fungsi hati atau ginjal. Sulfonilurea : Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin olehsel beta pankreas. Oleh sebab itu merupakan pilihan utama untuk pasien dengan beratbadan normal dan kurang, namun masih

boleh diberikan kepada pasien dengan beratbadan lebih. Untuk menghindari risiko hipoglikemia yang berkepanjangan, pada pasien usialanjut obat golongan sulfonilurea dengan waktu kerja panjang sebaiknya dihindari. Biguanid (Metformin) : Obat golongan ini mempunyai efek utama mengurangi produksiglukosa hati di samping juga efek memperbaiki ambilan glukosa perifer. Obat golongan initerutamadianjurkan dipakai sebagai obat tunggal pada pasien gemuk. Biguanid merupakankontraindikasi pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan hati, serta pasien-pasiendengan kecenderungan hipoksemia (misalnya pasien dengan penyakit serebrokardiovaskular). Obat biguanid dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangikeluhan tersebut dapat diberikan bersamaan atau sesudah makan. Inhibitor Glukosidase Alfa (Acarbose) : Obat golongan ini mempunyai efek utamamenurunkan puncak glikemik sesudah makan. Terutama bermanfaat untuk pasien dengankadar glukosa darah puasa yang masih normal. Biasanya dimulai dengan dosis 2 kali 50mg setelah suapan pertama waktu makan. Jika tidak didapati keluhan gastrointestinal,dosis dapat dinaikkan menjadi 3 kali 100 mg. Pada pasien yang menggunakan acarbose jangka panjang perlu pemantauan faal hati dan ginjal secara serial, terutama pasien yangsudah mengalami gangguan faal hati dan ginjal.4.2. InsulinIndikasi penggunaan insulin pada DM - tipe 2 :ketoasidosis, koma hiperosmolar dan asidosis laktat - stres berat (infeksi sistemik, operasiberat) - berat badan yang menurun dengan cepat - kehamilan/DM gestasional yang tidakterkendali dengan perencanaan makan. - tidak berhasil dikelola dengan OHO dosismaksimal atau ada kontra indikasi dengan OHO. Tabel 2. Mekanisme Kerja, Efek Samping Utama dan Pengaruh terhadap HbA1c Cara kerja utama Efek samping utama Pengaruh terhadap HbA 1c Sulfonilurea Meningkatkan sekresiinsulinBB naik Hipoglikemia 1,52,5%Metformin Menekan produksiglukosa hatiDiare, dispepsia,asidosis laktat1,5-2,5%Inhibitor glukosidasealfaMenghambat absorpsiglukosaFlatulens, tinja lembek 0,51,0%Insulin Menekan produksiglukosa hati, stimulasipemanfaatan glukosaHipoglikemia, BB naik Potensial normal

Pada umumnya pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untukkemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan kadar glukosa darah pasien. Kalaudengan sulfonilurea atau metformin sampai dosis maksimal ternyata sasaran kadar glukosadarah belum tercapai, perlu dipikirkan kombinasi 2 kelompok obat hipoglikemik oral yangberbeda (sulfonilurea + metformin atau metformin + sulfonilurea, acarbose + metformin atausulfonilurea). Kombinasi OHO dosis kecil dapat pula digunakan untuk menghindari efeksamping masing-masing kelompok obat. Dapat pula diberikan kombinasi ketiga kelompokOHO bila belum juga dicapai sasaran yang diinginkan, atau ada alasan klinik di manainsulin tidak memungkinkan untuk dipakai.Kalau dengan dosis OHO maksimal baik sendiri-sendiri ataupun secara kombinasi sasaranglukosa darah belum tercapai, dipikirkan adanya kegagalan pemakaian OHO. Padakeadaan demikian dapat dipakai kombinasi OHO dan insulin (lihat skema pengelolaan DM).Ada berbagai cara kombinasi OHO dan insulin (OHO + insulin kerja cepat 3 kali sehari,OHO + insulin kerja sedang pagi hari, OHO + insulin kerja sedang malam hari). Yangbanyak dipergunakan adalah kombinasi OHO dan insulin malam hari mengingat walaupundapat diperoleh keadaan kendali glukosa darah yang sama, tetapi jumlah insulin yangdiperlukan paling sedikit pada kombinasi OHO dan insulin kerja sedang malam hari. jangka panjang perlu pemantauan faal hati dan ginjal secara serial, terutama pasien yangsudah mengalami gangguan faal hati dan ginjal.4.2. InsulinIndikasi penggunaan insulin pada DM - tipe 2 :ketoasidosis, koma hiperosmolar dan asidosis laktat - stres berat (infeksi sistemik, operasiberat) - berat badan yang menurun dengan cepat - kehamilan/DM gestasional yang tidakterkendali dengan perencanaan makan. - tidak berhasil dikelola dengan OHO dosismaksimal atau ada kontra indikasi dengan OHO. Pada umumnya pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untukkemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan kadar glukosa darah pasien. Kalaudengan sulfonilurea atau metformin sampai dosis maksimal ternyata sasaran kadar glukosadarah belum tercapai, perlu dipikirkan kombinasi 2 kelompok obat hipoglikemik oral yangberbeda (sulfonilurea + metformin atau metformin + sulfonilurea, acarbose + metformin atausulfonilurea). Kombinasi OHO dosis kecil dapat pula digunakan untuk menghindari efeksamping masing-masing kelompok obat. Dapat pula diberikan kombinasi ketiga kelompokOHO bila belum juga dicapai sasaran yang diinginkan, atau ada alasan klinik di manainsulin tidak memungkinkan untuk dipakai.Kalau dengan dosis OHO maksimal baik sendiri-sendiri ataupun secara kombinasi sasaranglukosa darah belum tercapai, dipikirkan adanya kegagalan pemakaian OHO. Padakeadaan demikian dapat dipakai kombinasi OHO dan insulin (lihat skema pengelolaan DM).Ada

berbagai cara kombinasi OHO dan insulin (OHO + insulin kerja cepat 3 kali sehari,OHO + insulin kerja sedang pagi hari, OHO + insulin kerja sedang malam hari). Yangbanyak dipergunakan adalah kombinasi OHO dan insulin malam hari mengingat walaupundapat diperoleh keadaan kendali glukosa darah yang sama, tetapi jumlah insulin yangdiperlukan paling sedikit pada kombinasi OHO dan insulin kerja sedang malam hari.

Anda mungkin juga menyukai