Anda di halaman 1dari 30

BAB I PENDAHULUAN Respiratory distress syndrome (RDS) adalah penyebab tersering dari gagal nafas pada bayi prematur,

khususnya yang lahir pada usia kehamilan 32 minggu. Respiratory Distress Syndrome merupakan salah satu penyebab kematian pada bayi baru lahir. Kurang lebih 30 % dari semua kematian pada neonatus disebabkan oleh RDS atau komplikasinya. RDS disebut juga Sindroma Gawat Nafas (SGP) tipe 1, yaitu gawat napas pada bayi kurang bulan yang terjadi segera atau beberapa saat setelah lahir, ditandai adanya kesukaran bernafas, (pernafasan cuping hidung, tipe pernapasan dispnea/ takipnea, retraksi dada, dan sianosis) yang menetap atau menjadi progresif dalam 48 96 jam pertama kehidupan dan pada pemeriksaan radiologis ditemukan pola retikulogranuler yang uniform dan air bronchogram. Pengenalan surfaktan eksogen sebagai pencegahan dan terapi telah merubah keadaan klinik dari penyakit dan menurunkan morbiditas dan mortalitas dari penyakit.1

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Definisi Respiratory distress syndrome (RDS) atau Sindroma Gawat Nafas (SGN) tipe 1, yaitu gawat napas yang umumnya terjadi pada bayi kurang bulan yang terjadi segera atau beberapa saat setelah lahir, ditandai adanya kesukaran bernafas, (pernafasan cuping hidung, grunting, tipe pernapasan dispnea / takipnea, retraksi dada, dan sianosis) yang menetap atau menjadi progresif dalam 48 96 jam pertama kehidupan. Penyebabnya adalah kurangnya surfaktan. Gagal nafas dapat didiagnosa dengan analisis gas darah. Edema sering didapatkan pada hari ke-2, disebabkan oleh retensi cairan dan kebocoran kapiler. Diagnosa dapat dikonfirmasi dengan foto rontgen. Pada pemeriksaan radiologis ditemukan pola retikulogranuler yang uniform, gambaran ground glass appearance dan air bronchogram. Namun gambaran ini bukan patognomonik RDS.1,2 2.2 Insidensi Respiratory Distress Sydnrome merupakan salah satu penyebab kematian pada bayi baru lahir. Di US, RDS terjadi pada sekitar 40.000 bayi per tahun. Kurang lebih 30 % dari semua kematian pada neonatus disebabkan oleh RDS atau komplikasinya. RDS pada bayi prematur bersifat primer, insidensinya berbanding terbalik dengan umur kehamilan dan berat lahir. Insidensinya sebesar 60-80% pada bayi kurang dari 28 minggu, 15-30% pada bayi 32-36 minggu, 5% pada bayi kurang dari 37 minggu, dan sangat jarang terjadi pada bayi matur.1 Frekuensinya meningkat pada ibu yang diabetes, kelahiran sebelum usia kehamilan 37 minggu, kehamilan dengan lebih dari 1 fetus, kelahiran dengan operasi caesar, kelahiran yang dipercepat, asfiksia, stress dingin, dan riwayat bayi terdahulu mengalami RDS. Pada ibu diabetes, terjadi penurunan kadar protein surfaktan, yang menyebabkan terjadinya disfungsi surfaktan. Selain itu dapat juga disebabkan pecahnya ketuban untuk waktu yang lama serta halhal yang menimbulkan stress pada fetus seperti ibu dengan hipertensi / drug abuse, atau adanya infeksi kongenital kronik.1,2 Insiden tertinggi didapatkan pada bayi prematur laki-laki atau bayi kulit putih. Pada lakilaki, androgen menunda terjadinya maturasi paru dengan menurunkan produksi surfaktan oleh sel pneumosit tipe II. Insidensinya berkurang pada pemberian steroid / thyrotropin releasing hormon pada ibu.2
2

2.3 Etiologi dan Patofisiologi 2.3.1 Pembentukan Paru dan Surfaktan Pembentukan paru dimulai pada kehamilan 3 - 4 minggu dengan terbentuknya trakea dari esofagus. Pada 24 minggu terbentuk rongga udara yang terminal termasuk epitel dan kapiler, serta diferensiasi pneumosit tipe I dan II. Sejak saat ini pertukaran gas dapat terjadi namun jarak antara kapiler dan rongga udara masih 2 -3 kali lebih lebar dibanding pada dewasa. Setelah 30 minggu terjadi pembentukan bronkiolus terminal, dengan pembentukan alveoli sejak 32 34 minggu.2 Surfaktan muncul pada paru-paru janin mulai usia kehamilan 20 minggu tapi belum mencapai permukaan paru. Muncul pada cairan amnion antara 28-32 minggu. Level yang matur baru muncul setelah 35 minggu kehamilan. Surfaktan mengurangi tegangan permukaan pada rongga alveoli, memfasilitasi ekspansi paru dan mencegah kolapsnya alveoli selama ekspirasi. Selain itu dapat pula mencegah edema paru serta berperan pada sistem pertahanan terhadap infeksi.2 Komponen utama surfaktan adalah Dipalmitylphosphatidylcholine (lecithin) 80 %, phosphatidylglycerol 7 %, phosphatidylethanolamine 3 %, apoprotein (surfactant protein A, B, C, D) dan cholesterol. Dengan bertambahnya usia kehamilan, bertambah pula produksi fosfolipid dan penyimpanannya pada sel alveolar tipe II. Protein merupakan 10 % dari surfaktan., fungsinya adalah memfasilitasi pembentukan film fosfolipid pada perbatasan udara-cairan di alveolus, dan ikut serta dalam proses perombakan surfaktan.2

Gambar 1. Metabolisme surfaktan Sumber : www.ttuhsc.edu


3

Surfaktan disintesa dari prekursor di retikulum endoplasma dan dikirim ke aparatus Golgi melalui badan multivesikular. Komponen-komponennya tersusun dalam badan lamelar, yaitu penyimpanan intrasel berbentuk granul sebelum surfaktan disekresikan. Setelah disekresikan (eksositosis) ke perbatasan cairan alveolus, fosfolipid-fosfolipid surfaktan disusun menjadi struktur kompleks yang disebut mielin tubular. Mielin tubular menciptakan fosfolipid yang menghasilkan materi yang melapisi perbatasan cairan dan udara di alveolus, yang menurunkan tegangan permukaan. Kemudian surfaktan dipecah, dan fosfolipid serta protein dibawa kembali ke sel tipe II, dalam bentuk vesikel-vesikel kecil , melalui jalur spesifik yang melibatkan endosom dan ditransportasikan untuk disimpan sebagai badan lamelar untuk didaur ulang. Beberapa surfaktan juga dibawa oleh makrofag alveolar . Satu kali transit dari fosfolipid melalui lumen alveoli biasanya membutuhkan beberapa jam. Fosfolipid dalam lumen dibawa kembali ke sel tipe II dan digunakan kembali 10 kali sebelum didegradasi. Protein surfaktan disintesa sebagai poliribosom dan dimodifikasi secara ekstensif di retikulum endoplasma, aparatus Golgi dan badan multivesikular. Protein surfaktan dideteksi dalam badan lamelar sebelum surfaktan disekresikan ke alveolus.2 Kegagalan mengembangkan functional residual capacity (FRC) dan kecenderungan dari paru yang terkena untuk mengalami atelektasis berhubungan dengan tingginya tegangan permukaan dan absennya phosphatydilglycerol, phosphatydilinositol, phosphatydilserin, phosphatydilethanolamine dan sphingomyelin. Pembentukan surfaktan dipengaruhi pH normal, suhu dan perfusi. Asfiksia, hipoksemia, dan iskemia pulmonal; yang terjadi akibat hipovolemia, hipotensi dan stress dingin; menghambat pembentukan surfaktan. Epitel yang melapisi paru-paru juga dapat rusak akibat konsentrasi oksigen yang tinggi dan efek pengaturan respirasi, mengakibatkan semakin berkurangnya surfaktan.2,3 2.3.2 Patofisiologi Imaturitas paru secara anatomis dan dinding dada yang belum berkembang dengan baik mengganggu pertukaran gas yang adekuat. Pembersihan cairan paru yang tidak efisien karena jaringan interstitial paru imatur bekerja seperti spons. Edema interstitial terjadi sebagai resultan dari meningkatnya permeabilitas membran kapiler alveoli sehingga cairan dan protein masuk ke

rongga alveoli yang kemudian mengganggu fungsi paru-paru. Selain itu pada neonatus pusat respirasi belum berkembang sempurna disertai otot respirasi yang masih lemah.2 Alveoli yang mengalami atelektasis, pembentukan membran hialin, dan edema interstitial mengurangi compliance paru-paru; dibutuhkan tekanan yang lebih tinggi untuk mengembangkan saluran udara dan alveoli kecil. Dinding dada bagian bawah tertarik karena diafragma turun dan tekanan intratorakal menjadi negatif, membatasi jumlah tekanan intratorakal yang dapat diproduksi. Semua hal tersebut menyebabkan kecenderungan terjadinya atelektasis. Dinding dada bayi prematur yang memiliki compliance tinggi memberikan tahanan rendah dibandingkan bayi matur, berlawanan dengan kecenderungan alami dari paru-paru untuk kolaps. Pada akhir respirasi volume toraks dan paru-paru mencapai volume residu, cencerung mengalami atelektasis.2 Kurangnya pembentukan atau pelepasan surfaktan, bersama dengan unit respirasi yang kecil dan berkurangnya compliance dinding dada, menimbulkan atelektasis, menyebabkan alveoli memperoleh perfusi namun tidak memperoleh ventilasi, yang menimbulkan hipoksia. Berkurangnya compliance paru, tidal volume yang kecil, bertambahnya ruang mati fisiologis, bertambahnya usaha bernafas, dan tidak cukupnya ventilasi alveoli menimbulkan hipercarbia. Kombinasi hiperkarbia, hipoksia, dan asidosis menimbulkan vasokonstriksi arteri pulmonal dan meningkatkan pirau dari kanan ke kiri melalui foramen ovale, ductus arteriosus, dan melalui paru sendiri. Aliran darah paru berkurang, dan jejas iskemik pada sel yang memproduksi surfaktan dan bantalan vaskuler menyebabkan efusi materi protein ke rongga alveoli.2 Pada bayi imatur, selain defisiensi surfaktan, dinding dada compliant, otot nafas lemah dapat menyebabkan kolaps alveolar. Hal ini menurunkan keseimbangan ventilasi dan perfusi, lalu terjadi pirau di paru dengan hipoksemia arteri progresif yang dapat menimbulkan asidosis metabolik. Hipoksemia dan asidosis menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah paru dan penurunan aliran darah paru. Kapasitas sel pnuemosit tipe II untuk memproduksi surfaktan turun. Hipertensi paru yang menyebabkan pirau kanan ke kiri melalui foramen ovale dan duktus arteriosus memperburuk hipoksemia.2 Aliran darah paru yang awalnya menurun dapat meningkat karena berkurangnya resistensi vaskuler paru dan PDA. Sebagai tambahan dari peningkatan permeabilitas vaskuler, aliran darah paru meningkat karena akumulasi cairan dan protein di interstitial dan rongga alveolar. Protein pada rongga alveolar dapat menginaktivasi surfaktan. Berkurangnya functional residual capacity (FRC) dan penurunan compliance paru merupakan karakteristik RDS.
5

Beberapa alveoli kolaps karena defisiensi surfaktan, sementara beberapa terisi cairan, menimbulkan penurunan FRC. Sebagai respon, bayi premature mengalami grunting yang memperpanjang ekspirasi dan mencegah FRC semakin berkurang.2 2.4 Manifestasi Klinik Tanda dari RDS biasanya muncul beberapa menit sesudah lahir, namun biasanya baru diketahui beberapa jam kemudian di mana pernafasan menjadi cepat dan dangkal (60x /menit).Bila didapatkan onset takipnea yang terlambat harus dipikirkan penyakit lain. Beberapa pasien membutuhkan resusitasi saat lahir akibat asfiksia intrapartum atau distres pernafasan awal yang berat (bila berat badan lahir sangat rendah).2,3 Biasanya ditemukan takipnea, grunting, retraksi interkostal dan subkostal, dan pernafasan cuping hidung. Sianosis meningkat, yang biasanya tidak responsif terhadap oksigen. Suara nafas dapat normal atau hilang dengan kualitas tubular yang kasar, dan pada inspirasi dalam dapat terdengan ronkhi basah halus, terutama pada basis paru posterior. Terjadi perburukan yang progresif dari sianosis dan dyspnea.2,3 Bila tidak diterapi dengan baik, tekanan darah dan suhu tubuh akan turun, terjadi peningkatan sianosis, lemah dan pucat, grunting berkurang atau hilang seiring memburuknya penyakit.apnea dan pernafasan iregular muncul saat bayi lelah, dan merupakan tanda perlunya intervensi segera.2,3 Dapat juga ditemukan gabungan dengan asidosis metabolik, edema, ileus, dan oliguria. Tanda asfiksia sekunder dari apnea atau kegagalan respirasi muncul bila ada progresi yang cepat dari penyakit. Kondisi ini jarang menyebakan kematian pada bayi dengan kasus berat. Tapi pada kasus ringan, tanda dan gejala mencapai puncak dalam 3 hari. Setelah periode inisial tersebut, bila tidak timbul komplikasi, keadaan respirasi mulai membaik. Bayi yang lahir pada 32 33 minggu kehamilan, fungsi paru akan kembali normal dalam 1 minggu kehidupan. Pada bayi lebih kecil (usia kehamilan 26 28 minggu) biasanya memerlukan ventilasi mekanik.2 Perbaikan ditandai dengan diuresis spontan, dan kemampuan oksigenasi pada kadar oksigen lebih rendah. Kematian jarang terjadi pada 1 hari pertama, biasanya terjadi pada hari kedua sampai ketujuh, sehubungan dengan adanya kebocoran udara alveoli (emfisema interstitial, pneumothorax) perdarahan paru atau intraventrikular.2 Kematian dapat terjadi setelah beberapa minggu atau bulan bila terjadi
2

bronchopulmonary displasia (BPD) pada penderita dengan ventilasi mekanik (RDS berat).

2.5 Diagnosis 2.5.1 Gejala klinis Bayi kurang bulan (Dubowitz atau New Ballard Score) disertai adanya takipneu (>60x/menit), retraksi kostal, sianosis yang menetap atau progresif setelah 48-72 jam pertama kehidupan, hipotensi, hipotermia, edema perifer, edema paru, ronki halus inspiratoir. Manifestasi klinis berupa distress pernafasan dapat dinilai dengan Silverman Score.

Gambar 2. Silverman score Sumber : Silverman W, Anderson D. Pediatrics 17:1, 1956. American Academy of Pediatrics. Score 10 = Severe respiratory distress Score 7 = Impending respiratory failure Score 0 = No respiratory distress

Tabel 1. Evaluasi gawat nafas pada neonatus dengan skor downes Pemeriksaan Skor

Frekuensi nafas Retraksi Sianosis

< 60 x/menit (-) (-)

60-80 x/menit Retraksi ringan Sianosis dengan 02

80 x/menit Retraksi berat

hilang Sianosis menetap walau dengan 02

Air entry

Udara masuk

Penurunan ringan Tidak ada udara udara masuk masuk didengar

Merintih

(-)

Dapat

didengar Dapat

dengan stetoskop Total : 1-3 Sesak nafas ringan Headbox (oxyhood) 4-5 Sesak nafas sedang C-PAP 6 Sesak nafas berat ventilator Sumber : http://ocw.usu.ac.id 2.5.2 Gambaran Rontgen

tanpa alat bantu

Berdasarkan gambaran rontgen, paru-paru dapat memberikan gambaran yang karakteristik, tapi bukan patognomonik, meliputi gambaran retikulogranular halus dari parenkim dan gambaran air bronchogram tampak lebih jelas di lobus kiri bawah karena superimposisi dengan bayangan jantung. Awalnya gambaran rontgen normal, gambaran yang tipikal muncul dalam 6-12 hari.2,4 Gambaran rontgen RDS dapat dibagi menjadi 4 tingkat :4 Stage I Stage II Stage III Stage IV : bercak retikulogranuler dengan air bronchogram : bercak retikulogranuler menyeluruh dengan air brochogram : opasitas lebih jelas, dengan air bronchogram lebih jelas meluas ke cabang di perifer; gambaran jantung menjadi kabur : seluruh lapangan paru terlihat putih (opak), tidak tampak air bronchogram, jantung tidak terlihat, disebut juga white lung
8

Gambar 3. Rontgen RDS Sumber : http://www.kinderradiologie-online 2.5.3 Laboratorium Dari pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan Hb, Ht dan gambaran darah tepi tidak menunjukan tanda-tanda infeksi. Kultur darah tidak terdapat Streptokokus. Analisis gas darah awalnya dapat ditemukan hipoksemia, dan pada keadaan lanjut ditemukan hipoksemia progresif, hipercarbia dan asidosis metabolik yang bervariasi.2 2.5.4 Amniosentesis Berbagai macam tes dapat dilakukan untuk memprediksi kemungkinan terjadinya RDS, antara lain mengukur konsentrasi lesitin dari cairan amnion dengan melakukan amniosentesis (pemeriksaan antenatal). Rasio lesitin-spingomielin normal adalah 2:1.2,6 2.6 Diagnosis Banding 2.6.1 Pneumonia neonatal Pneumonia neonatal disebabkan infeksi intrauterin atau selama persalinan, umumnya infeksi bakterialis. Pada bayi prematur, infeksi E. coli merupakan penyebab yang biasa ditemukan. Dalam diagnosis banding, sepsis akibat Streptococcus grup B kurang bisa dibedakan dengan RDS. Pada pneumonia yang muncul saat lahir, gambaran rontgen dada dapat identik

dengan RDS, namun ditemukan coccus gram positif dari aspirat lambung atau trakhea, dan apus buffy coat. Tes urin untuk antigen streptococcus positif, serta adanya netropenia.1,4

Gambar 4. Rontgen pneumonia AP Sumber : http://www.aafp.org/journals/afp.html 2.6.2 Transient Tachypnea of The Newborn Takipnea transien dari bayi yang baru lahir adalah penyebab paling umum dari gangguan pernapasan neonatal, yang merupakan lebih dari 40 persen kasus. Terjadi ketika cairan paru residual tetap dalam jaringan paru-paru janin setelah melahirkan. Biasanya pada bayi cukup bulan atau sedikit prematur, lahir dengan operasi caesar, precipitous labour. Anak mengalami distres pernapasan ringan segera setelah lahir yang membaik dalam beberapa jam kemudian, umumnya kurang dari 24 jam. Bila tidak segera membaik pikirkan kemungkinan neonatal pneumonia. Hiperaerasi adalah ciri khas TTN (kebalikan dari RDS hipoaerasi). Densitas retikulogranular bilateral akan hilang bilang diberi ventilasi, sementara pada RDS gambaran opak menetap minimal 3 4 hari.1,4

10

Gambar 5. Rontgen dada TTN Sumber : http://www.aafp.org/journals/afp.html 2.6.3 Sindroma aspirasi mekonium Sindrom Aspirasi Mekonium merupakan penyebab terbanyak distres pernapasan pada bayi cukup atau lebih bulan. Mekonium yang masuk ke dalam saluran napas menyebabkan terjadinya obstruksi bronkial, air-trapping (akibat partikel mekonium menyumbat bronkus kecil di perifer) dan pneumonitis kimiawi. Dapat terjadi komplikasi pneumotoraks, pneumomediastinum, hipertensi pulmonal, pirau kanan ke kiri serta kerusakan otak akibat anoksia. Terlihat adanya air trapping, gambaran opak noduler kasar difus, serta area emfisema fokal. Berbeda dengan gambaran opak granuler halus pada RDS. Paru-paru biasanya hiperaerasi.1,4

Gambar 6. Sindrom aspirasi mekonium Sumber : http://www.aafp.org/journals/afp.html

11

Tabel 2. Perbedaan TN, RDS, MAS

Sumber : http://www.aafp.org/journals/afp.html 2.6.4 Lain-lain Penyakit jantung sianotik (anomali total aliran balik vena pulmonal), sirkulasi fetal yang persisten, sindroma aspirasi, pneumotorax spontan, efusi pleura, eventrasi diafragma, dan hernia diafragma, atau emfisema lobaris harus dipertimbangkan, dan untuk membedakannya diperlukan gambaran rontgen.1,5 Proteinosis alveoli kongenital adalah kelainan familial yang jarang dan kadang muncul sebagai respiratory distress syndrome (RDS) yang berat dan mematikan. Perdarahan paru, sepsis. Hal-hal yang dapat menimbulkan edema paru seperti PDA, obstruction of pulmonary venous drainage, hypoplastic left heart syndrome, dan edema pulmo neurogenik, sekunder dari perdarahan intracranial.1,5
12

Hal-hal yang diasosiasikan dengan hipoaerasi paru seperti sedasi ibu, hipoksemia berat, hipotermia, kerusakan CNS. Keadan ini tidak menimbulkan gambaran opak granular bilateral pada rontgen thoraks (berbeda dengan RDS).1,5 2.7 Pencegahan 2.7.1 Mencegah kelahiran prematur Yang terpenting adalah mencegah prematuritas, seperti menghindari operasi caesar yang tidak perlu, penganan yang baik dari kehamilan dan persalinan yang berisiko tinggi, prediksi dan terapi intra uterin dari imaturitas paru-paru. Menurut Goldenberg, hal-hal yang dapat meningkatkan resiko terjadinya kelahiran prematur adalah, ibu yang merokok, abnormalitas ductus Mulerian, ibu yang bekerja terlalu keras selama kehamilan. Pemberian preparat Fe mencegah ibu mengalami anemia, hal ini ternyata dapat mengurangi angka kelahiran prematur. Pada 10 % wanita hamil yang menjalani apus vagina pada kehamilan 24 27 minggu, ditemukan fibronektin yang merupakan penanda terjadinya infeksi. Infeksi dapat menimbulkan kelahiran yang prematur, oleh karena itu sedang dilakukan penelitian apakah aman bila ibu hamil dengan infeksi diberikan terapi metronidazol.5 Pada saat menentukan waktu untuk induksi persalinan atau operasi caesar, perkiraan lingkar kepala fetus dengan USG dan penentuan konsentrasi lecithin pada cairan amnion dengan rasio lecithin : sphingomyelin, menurunkan kemungkinan lahirnya bayi prematur. Pemantauan intrauterin antenatal dan intrapartum menurunkan kemungkinan terjadinya asfiksia, yang dikaitkan dengan meningkatnya insidensi dan beratnya RDS. 2.7.2 Membantu pematangan paru Menurut Gulck dan Kulovich (1973), cairan paru-paru fetus merupakan bagian yang penting dari cairan amnion. Insidensi RDS hanya 0,5 % bila rasio lecithin : sphingomyelin > 2. Clements et al (1972) menentukan ada tidaknya surfaktan pada cairan amnion dengan melakukan tes kocok. Dasar dari tes ini adalah sifat surfaktan yang membentuk buih yang stabil bila ada ethanol. Sejumlah cairan amnion diencerkan berseri dengan ethanol 95 %. Masing-masing dikocok 15 detik, diamkan 15 menit. Adanya cincin buih yang tidak terputus pada meniskus pada tiga tabung pertama atau lebih berarti positif (paru-paru matur).5 Untuk mengetahui maturitas paru, dapat juga dilakukan pemeriksaan ada tidaknya phosphatydilglycerol dari cairan amnion. Phosphatydilglycerol muncul di cairan amnion pada usia kehamilan 36 minggu. Keberadaannya menunjukan kematangan paru.

13

Tabel 3. Biochemical assays untuk kematangan paru Matur Lecithin/sphingomyelin Konsentrasi L total Konsentrasi L disaturasi Phosphatydilglycerol Pellet pada 10.000xgr % dari phospholipids total Determinasi enzimatik Konsentrasi as. Palmitat As. palmitat/as. Stearat Konsentrasi PL total PL phosphorus total PAPase Surfaktan dengan MWapoprotein tinggi Sumber : http://www.scribd.com 2.7.2.1 Kortikosteroid Pemberian dexamethasone atau betamethasone pada ibu hamil 48 72 hari sebeum melahirkan fetus berusia 32 minggu kehamilan atau kurang menurunkan insidensi, mortalitas dan morbiditas RDS. Corticosteroid dapat diberikan secara intramuskular pada wanita hamil yang kadar lecithin pada cairan amnionnya menunjukan imaturitas paru-paru, dan bagi yang direncanakan akan melahirkan 1 minggu kemudian, atau persalinan akan ditunda 48 jam atau lebih. Steroid berikatan dengan reseptor spesifik di sel paru-paru dan merangsang produksi phosphatydilcholine oleh sel tipe II. Proses ini membutuhkan waktu, karena itulah efektifitas steroid berkurang bila diberikan kurang dari 24 jam sebelum melahirkan. Efektifitasnya juga berkurang bila diberikan pada usia kehamilan lebih dari 34 minggu, dan efeknya hilang pada 7 10 hari setelah pemberian. Keuntungan terbesar didapatkan bila interval pemberian dengan kelahiran lebih dari 48 jam namun kurang dari 7 hari. Pemberian steroid tidak mempengaruhi
14

>2 > 2,5 mg/100 ml > 35 nM/ml Present >3% > 10 nM/ml

> 0,072 nM/L > 5,0 > 2,8 mg / 100 ml > 0,140 mg / 100 ml > 0,50 > 30 % term pool

insidensi penyakit paru kronis namun menurunkan kejadian perdarahan intracranial sehingga menurunkan insidensi cerebral palsy di kemudian hari.2,5 Semua wanita dengan usia kehamilan 23 34 minggu yang diperkirakan beresiko akan melahirkan dalam 7 hari, diberikan kortikosteroid. Dapat diberikan bethametasone 12 mg IM diulang setelah 24 jam (total dosis 24 mg selama 24 48 jam diperbolehkan). Dapat juga diberikan dexamethasone 6 mg IM tiap 12 jam untuk 4 dosis. Terapi tidak disarankan untuk diulang dalam jangka waktu 7 hari. Kontraindikasi pemberian steroid adalah ibu dengan tirotoksikosis, kardiomiopati, infeksi aktif atau chorioamnionitis. Diabetes, preeklamsi, preterm prelabour rupture of the membran, dan chorioamnionitis dalam terapi bukan merupakan kontraindikasi pemberian steroid.2,5 Terapi glukokortikoid prenatal menurunkan deratnya RDS dan menurunkan insidensi komplikasi prematuritas yang lain dan seperti perdarahan intraventrikular, patent tanpa ductus arteriosus (PDA), pneumothorax, enterokolitis nekrotikan, mempengaruhi

pertumbuhan dan perkembangan neonatus, mekanisme atau pertumbuhan paru, ataupun insidensi infeksi. Glukokortikoid prenatal dapat beraksi sinergis dengan terapi surfaktan eksogen posnatal.2,5 2.7.2.2 Lain-lain Bahanbahan lain yang dapat mempercepat pematangan paru adalah hormon tiroid, epidermal growth factor, dan cyclic adenosine monophosphate. Bahan bahan tersebut dapat memacu sintesa surfaktan, namun penggunaannya sangat jarang.5 2.8 Terapi Terapi terutama ditujukan pada pertukaran O2 dan CO2 yang tidak adekuat di paru-paru, asidosis metabolik dan kegagalan sirkulasi adalah manifestasi sekunder. Beratnya RDS akan berkurang bila dilakukan penanganan dini pada bayi BBLR, terutama terapi asidosis, hipoksia, hipotensi dan hipotermia. Kebanyakan kasus RDS bersifat self-limiting, jadi tujuan terapi adalah untuk meminimalkan kelainan fisiologis dan masalah iatrogenik yang memperberat. Penanganan sebaiknya dilakukan di NICU. 2,5 2.8.1 Resusitasi di tempat melahirkan Resusitasi adekuat di kamar bersalin untuk semua kelahiran prematur. Mencegah perinatal asfiksia yang dapat mengganggu produksi surfaktan. Mencegah terjadinya hipotermia
15

dengan menjaga suhu bayi sekitar 36,5-37,5 derajat Celcius di mana kebutuhan oksigen berada pada batas minimum.2,6 Pemberian obat selama resusitasi :2,6 Adrenalin 10 microgram /kg (0,1 ml/kg larutan 1 : 10.000) bila bradikardi persisten setelah ventilasi dan kompresi yang adekuat. Dosis pertama dapat diberikan intratrachea atau intravena, 1 dosis lagi diberikan intravena bila bayi tetap bradikardi, dosis ketiga dapat diberikan sebesar 100 microgram/kg bila situasi sangat buruk. Pemberian bicarbonat 4 mmol/kg merupakan setengah koreksi untuk defisit basa 20 mmol (larutan bicarbonat 8,4% mengandung 1 mmol/ml), atau 2 mEq/kg dari konsentrasi 0,5 mEq/ml. Pemberian dilakukan secara intravena dengan hati-hati. Volume expander 10 ml/kg Bolus glukosa 10 % 1 ml/kg BB. 2.8.2 Surfaktan Eksogen Instilasi surfaktan eksogen multidosis ke endotrakhea pada bayi BBLR yang membutuhkan oksigen dan ventilasi mekanik untuk terapi penyelamatan RDS sudah memperbaiki angka bertahan hidup dan menurunkan insidensi kebocoran udara dari paru sebesar 40 %, tapi tidak menurunkan insidensi bronchopulmonary dysplasia (BPD) secara konsisten. Efek yang segera muncul meliputi perbaikan oksigenasi dan perbedaan oksigen alveoli arteri dalam 4872 jam pertama kehidupan, menurunkan tidal volume ventilator, meningkatkan compliance paru, dan memperbaiki gambaran rontgen dada. Pemberian surfaktan eksogen menurunkan insidensi BPD, namun tidak berpengaruh terhadap insidensi PDA, perdarahan intrakranial, dan necrotizing enterocolitis (NEC). Terdapat peningkatan insiden perdarahan paru pada pemberian surfaktan sintetik sebesar 5 %.6 Surfaktan dapat diberikan segera setelah bayi lahir (terapi profilaksis) atau beberapa jam kemudian setelah diagnosa RDS ditegakkan (terapi penyelamatan). Terapi profilaksis lebih efektif dibandingkan bila diberi beberapa jam kemudian. Bayi yang mendapat surfaktan eksogen sebagai terapi profilaksis membutuhkan oksigen dan ventilasi mekanik lebih sedikit disertai angka bertahan hidup yang lebih baik. Bayi yang lahir kurang dari 32 minggu kehamilan harus diberi surfaktan saat lahir bila ia memerlukan intubasi. Terapi biasa dimulai 24 jam pertama kehidupan, melalui ETT tiap 12 jam untuk total 4 dosis. Pemberian 2 dosis atau lebih

16

memberikan hasil lebih baik dibanding dosis tunggal. Pantau radiologi, BGA, dan pulse oxymetri.6 Ada 4 surfaktan yang memiliki lisensi di UK untuk terapi. Yang berasal dari binatang adalah Curosurf, diekstrak dari paru-paru babi, diberikan 1,25-2,5 ml/kg, dan Survanta, ekstrak dari paru-paru sapi dengan penambahan 3 jenis lipid (phosphatidylcholine, asam palmitat, dan trigliserid), diberikan 4 ml/kg. Kedua surfaktan ini mengandung apoprotein SP-B dan SP-C dengan proporsi yang berbeda dengan yang dimiliki manusia. Apoprotein SP-A dan SP-D tidak ditemukan. Surfaktan sintetik tidak mengandung protein. Exosurf merupakan gabungan phospholipid dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC), hexadecanol dan tyloxapol, diberikan 5 ml/kg. Hexadecanol, dan tyloxapol memperbaiki penyebaran surfaktan di antara alveolus. ALEC (artificial lung expanding compound) merupakan gabungan DPPC and phosphatidylglycerol dengan perbandingan 7:3, diberikan 1,2 ml berapapun beratnya. Yang sedang diteliti adalah Infasurf (alami).6 Tipe Survanta Surfactant TA Tabel 4. Macam-macam surfaktan Asal Komposisi Dosis DPPC, 4 mL (100 Bovine lung tripalmitin mg)/kg, mince SP (B<0.5%,> 1-4 doses q6h Bovine lung lavage Bovine lung lavage 99% PL, 1% 45 mg/mL SP-B and SP-C 75% PC and 1% SP-B and SP-C DPPC, tripalmitin, SP (B290 g/mL, C360 g/mL) Keterangan refrigerate Federal Republic of Germany Canadian

Alveofact bLES (bovine lipid extract surfaktan)

Infasurf

Calf lung lavage

3 mL (105 mg)/kg, 1-4 doses, q612h

6 mL vials, refrigerate

Calf lung surfactant extract (CLSE) Curosurf

Sama seperti Infasurf DPPC, 2.5 mL (200 SP-B and SP-C mg)/kg (?amount) 1.25 mL (100

Minced pig lung

1.5 and 3 mL

17

85% DPPC, 9% Exosurf Synthetic hexadecanol, 6% tyloxapol DPPC, Surfaxan (KL4) Synthetic synthetic peptide 70% DPPC, ALEC Synthetic 30% unsaturated PG Sumber : http://www.nlm.nih.gov/medlineplus

mg)/kg 5 mL (67.5 mg)/kg, 1-4 doses, q12h

Lyophilized; dissolve in 8 Ml

Possibly discontinued

Studi yang membandingkan antara surfaktan natural dan sintetik menunjukan bahwa oksigenasi arteri lebih cepat pulih (onset of action surfaktan natural lebih cepat dari surfaktan sintetik) dan komplikasi kebocoran udara lebih jarang terjadi pada bayi yang diterapi dengan surfaktan natural.5 Komplikasi pemberian surfaktan antara lain hipoksia transien dan hipotensi, blok ETT, dan perdarahan paru. Perdarahan paru terjadi akibat menurunnya resistensi pambuluh darah paru setelah pemberian surfaktan, yang menimbulkan pirau kiri ke kanan melalui duktus arteriosus.5

2.8.3 Oksigenasi dan monitoring analisa gas darah Oksigen lembab hangat diberikan untuk menjaga agar kadar O2 arteri antara 55 70 mmHg dengan tanda vital yang stabil untuk mempertahankan oksigenasi jaringan yang normal, sementara meminimalkan resiko intoksikasi oksigen. Bila oksigen arteri tak dapat dipertahankan di atas 50 mmHg saat inspirasi oksigen dengan konsentrasi 70%, merupakan indikasi menggunakan continuous positive airway pressure (CPAP).2 Monitor frekuensi jantung dan nafas, PO2, PCO2, pH arteri, bikarbonat, elektrolit, gula darah, hematokrit, tekanan darah dan suhu tubuh, kadang diperlukan kateterisasi arteri umbilikalis. Transcutaneus oxygen electrodes dan pulse oxymetry diperlukan untuk memantau oksigenasi arteri. Namun yang terbaik tetaplah analisa gas darah karena dapat memberi informasi berkelanjutan serta tidak invasif, memungkinkan deteksi dini komplikasi seperti pneumotoraks, juga merefleksikan respon bayi terhadap berbagai prosedur seperti intubasi endotrakhea, suction, dan pemberian surfaktan. PaO2 harus dijaga antara 50 80 mmHg, dan Sa O2 antara 90 94 %.
18

Hiperoksia berkepanjangan harus dihindarkan karena merupakan faktor resiko retinopathy of prematurity (ROP).2 Kateter radioopak harus selalu digunakan dan posisinya diperiksa melalui foto rontgen setelah pemasangan. Ujung dari kateter arteri umbilikalis harus berada di atas bifurkasio aorta atau di atas aksis celiaca (T6 T10). Penempatan harus dilakukan oleh orang yang ahli. Kateter harus diangkat segera setelah tidak ada indikasi untuk penggunaan lebih lanjut, yaitu saat PaO2 stabil dan Fraction of Inspiratory O2 (FIO2) kurang dari 40 %.2,5 Pengawasan periodik dari tekanan oksigen dan karbondioksida arteri serta pH adalah bagian yang penting dari penanganan, bila diberikan ventilasi buatan maka hal hal tersebut harus dilakukan. Darah diambil dari arteri umbilikal atau perifer. Arteri temporalis merupakan kontra indikasi karena menimbulkan emboli cerebral retrograd. PO2 jaringan harus selalu dipantau dari elektroda yang ditempatka di kulit atau pulse oximetry (saturasi oksigen). Darah kapiler tidak berguna untuk menentukan PO2 tapi dapat digunakan untuk memantau PCO2 dan pH.2,5 2.8.4 Fluid and Nutrition Kalori dan cairan diberikan secara intravena. Dalam 24 jam pertama berikan infus glukosa 10% dan cairan melalui vena perifer sebanyak 65-75 ml/kg/24 jam. Kemudian tambahkan elektrolit, volume cairan ditingkatkan bertahap sampai 120-150 ml/kg/24 jam. Cairan yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya Patent Ductus Arteriosus(PDA). Pemberian nutrisi oral dapat dimulai segera setelah bayi secara klinis stabil dan distres nafas mereda. ASI adalah pilihan terbaik untuk nutrisi enteral yang minimal, serta dapat menurunkan insidensi NEC.2 2.8.5 Ventilasi 2.8.5.1 Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) CPAP memperbaiki oksigenasi dengan meningkatkan functional residual capacity (FRC) melalui perbaikan alveoli yang kolaps, menstabilkan rongga udara, mencegahnya kolaps selama ekspirasi. CPAP diindikasikan untuk bayi dengan RDS PaO2 < 50%. Pemakaian secara nasopharyngeal atau endotracheal saja tidak cukup untuk bayi kecil, harus diberikan ventilasi mekanik bila oksigenasi tidak dapat dipertahankan. Pada bayi dengan berat lahir di atas 2000 gr atau usia kehamilan 32 minggu, CPAP nasopharyngeal selama beberapa waktu dapat
19

menghindari pemakaian ventilator. Meski demikian observasi harus tetap dilakukan dan CPAP hanya bisa diteruskan bila bayi menunjukan usaha bernafas yang adekuat, disertai analisa gas darah yang memuaskan.5 CPAP diberikan pada tekanan 6-10 cm H2O melalui nasal prongs. Hal ini menyebabkan tekanan oksigen arteri meningkat dengan cepat. Meski penyebabnya belum hilang, jumlah tekanan yang dibutuhkan biasanya berkurang sekitar usia 72 jam, dan penggunaan CPAP pada bayi dapat dikurangi secara bertahap segera sesudahnya. Bila dengan CPAP tekanan oksigen arteri tak dapat dipertahankan di atas 50 mmHg (sudah menghirup oksigen 100 %), diperlukan ventilasi buatan.5 2.8.5.2 Ventilasi Mekanik Bayi dengan RDS berat atau disertai komplikasi, yang berakibat timbulnya apnea persisten membutuhkan ventilasi mekanik buatan. Indikasi penggunaannya antara lain :5 1 Analisa gas darah menunjukan hasil buruk pH darah arteri < 7,25 pCO2 arteri > 60 mmHg pO2 arteri < 50 mmHg pada konsentrasi oksigen 70 100 % 2 Kolaps cardiorespirasi 3 apnea persisten dan bradikardi Memilih ventilator mekanik Ventilasi tekanan positif pada bayi baru lahir dapat diberikan berupa ventilator konvensional atau ventilator berfrekuensi tinggi (150 x / menit).5 Ventilator konvensional dapat berupa tipe volume atau tekanan, dan dapat diklasifikasikan lebih lanjut dengan dasar cycling mode biasanya siklus inspirasi diterminasi. Pada modus pressure limited time cycled ventilation, tekanan puncak inspirasi diatur dan selama inspirasi udara dihantarkan untuk mencapai tekanan yang ditargetkan. Setelah target tercapai, volume gas yang tersisa dilepaskan ke atmosfer.Hasilnya, penghantaran volume tidal setiap kali nafas bervariabel meski tekanan puncak yang dicatat konstan. Pada modus volume limited, preset volume dihantarkan oleh setiap nafas tanpa memperhatikan tekanan yang dibutuhkan. Beberapa ventilator menggunakan aliran udara sebagai dasar dari cycling mode di mana inspirasi berakhir bila aliran telah mencapai level pre-set atau sangat rendah (flow ventilators). Ada juga

20

ventilator

yang

mampu

menggunakan
5

baik

volume

atau pressure

controlled

ventilationbergantung pada keinginan operator.

Ventilasi dengan fekuensi tinggi biasanya diberikan dengan high frequency oscillatory ventilators (HFOV). Terdapat piston pump atau vibrating diaphragmyang beroperasi pada frekuensi sekitar that 10 Hz (1 Hz = 1 cycle per second, 60cycles per minute). Selama HFOV, baik inspirasi maupun ekspirasi sama-sama aktif. Tekanan oscillator pada jalan udara memproduksi volume tidal sekitar 2-3 ml dengan tekanan rata-rata jalan udara dipertahankan konstan, mempertahankan volume paru ekivalen untuk menggunakan CPAP dengan level sangat tinggi. Volume gas yang dipindahkan pada volume tidal ditentukan oleh ampiltudo tekanan jalan udara oscillator (P). Ventilator konvensional Hipoksemia pada RDS biasanya terjadi karena ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi (V/Q) atau pirau dari kanan ke kiri, abnormalitas difusi dan hipoventilasi merupakan factor tambahan. Oksigenasi terkait langsung pada FiO2 dan tekanan rata-rata jalan udara (mean airway pressure - MAP). MAP dapat ditingkatkan dengan perubahan tekanan puncak inspirasi (peak inspiratory pressure - PIP), positive end expiratory pressure (PEEP) atau dengan mengubah rasio inspirasi : ekspirasi (I:E) dengan memperpanjang waktu inspirasi sementara kecepatannya tetap konstan. MAP yang sangat tinggi dapat menyebabkan distensi berlebihan, meski oksigenasi adekuat, transport oksigen berkurang karena penurunan curah jantung. Pembuangan CO2 berbanding lurus dengan minute ventilation, ditentukan oleh produk volume tidal (dikurangi ventilasi ruang mati) dan kecepatan pernafasan. Untuk minute ventilation yang sama, perubahan penghantaran volume tidal lebih efektif untuk merubah eliminasi CO2 dibanding perubahan kecepatan pernafasan karena ventilasi ruang mati tetap konstan.5 a. Peak Inspiratory Pressure (PIP) Perubahan pada PIP mempengaruhi oksigenasi (dengan mengubah MAP) dan CO2 dengan efek pada volume tidal dan ventilasi alveolar. Peningkatan PIP menurunkan PaCO2 dan memperbaiki oksigenasi (PaO2 meningkat). Pemakainan PIP ditentukan oleh compliance system pernafasan dan bukan oleh ukuran atau berat bayi. Gunakan PIP terendah yang menghasilkan ventilasi adekuat berdasarkan pemeriksaan klinik (gerakan dada dan suara nafas) dan analisa gas darah. PIP berlebih dapat menyebabkan paru mengalami distensi berlebihan dan meningkatkan resiko baro/volutrauma dan menimbulkan kebocoran udara.5
21

b. Positive End Expiratory Pressure (PEEP) PEEP yang adekuat mencegah kolaps alveoli dan dengan mempertahankan volume paru saat akhir respirasi, memperbaiki keseimbangan V/Q. Peningkatan PEEP memperbesar MAP dan memperbaiki oksigenasi. Sebaliknya, PEEP berlebih (> 8 cm H2O) menginduksi hiperkarbia dan memperburuk compliance paru dan mengurangi hantaran volume tidal karena alveoli terisi berlebihan P = PIP - PEEP). PEEP berlebih juga dapat menimbulkan efek sampping pada hemodinamik karena paru mengalami distensi berlebih, menyebabkan penurunan venous return, yang kemudian menurunkan curah jantung. Tekanan 3 6 cm H2O memperbaiki oksigenasi pada bayi baru lahir dengan RDS tanpa mengganggu mekanisme paru-paru, eliminasi CO2 atau stabilitas hemodinamik.5 c. Frekuensi Terdapat 2 metode dasar, frekuensi rendah dan frekuensi tinggi Frekuensi rendah dimulai pada kecepatan 30 - 40 nafas / menit (bpm). Metode cepat sekitar 60 bpm dan dapat ditingkatkan hingga 120 bpm bila bayi bernafas lebih cepat dari ventilator. Waktu ekspirasi harus lebih panjang dari inspirasi untuk mencegah alveoli mengalami distensi berlebihan, waktu inspirasi harus dibatasi maksimum 0,5 detik selama ventilasi mekanik kecuali dalam keadaan khusus. Pada frekuensi tinggi terjadi penurunan insidensi pneumotoraks , mungkin karena frekuensi ini sesuai dengan usaha nafas bayi. Waktu inspirasi memanjang akan meningkatkan MAP dan memperbaiki oksigenasi, dan merupakan alternative dari peningkatan PIP. Namun hal ini merupakan predisposisi dari distensi berlebihan pada paru serta air trapping karena waktu ekspirasi berkurang.5 d. Kecepatan Aliran Aliran minimum setidaknya 2 kali minute ventilation bayi (normal : 0.2 1 L / menit) cukup adekuat, tapi dalam prakteknya digunakan 4 10 L / menit. Bila digunakan frekuensi nafas lebih tinggi dengan waktu inspirasi lebih pendek, kecepatan aliran di atas kisaran harus diberikan untuk menjamin penghantaran volume tidal. Kecepatan aliran yang tinggi memperbaiki oksigenasi karena efeknya pada MAP. Beberapa ventilator memiliki kecepatan aliran yang tetap, yaitu sebesar 5 L / menit.5

22

Kegagalan surfaktan Bila oksigenasi arteri tetap rendah setelah pemberian 2 dosis surfaktan, bayi dikatakan tidak berespon terhadap surfaktan. Penyebabnya antara lain sepsis, hipertensi pulmonal, pneumotoraks, atau pulmonary interstitial emphysema (PIE). Segera naikan FiO2 hingga 90%, kemudian naikan PIP and PEEP sambil mengobservasi pergerakan dada. Lakukan roentgen thoraks. Usahakan menjaga waktu inspirasi agar terjadi sinkronisasi. Bila tetap asinkron setelah pemberian sedasi dan analgesi lakukan paralysis (pankuronium bromide IV 0,04 0,1 mg/kg). Waktu inspirasi dapat diperpanjang >0,5 detik, dengan frekuensi ventilator diturunkan hingga 30-60 nafas / menit. Beberapa bayi berespon terhadap HFOV.5 Aktivitas pernafasan bayi Bernafas tidak selaras dengan ventilator merupakan factor resiko dari beberapa komplikasi seperti pertukaran udara yang tidak efektif, air trapping, pneumothorax, dan perdarahan intraventricular. Sedasi dapat mengurangi aktivitas pernafasan bayi atau dapat digunakan penghambat muscular non-depolarising (tidak disarankan). Pilihan lain adalah dengan menaikan kecepatan ventilator atau menggunakan patient triggered ventilation (PTV).5 2.8.6 Keseimbangan asam basa Asidosis respiratoar mungkin membutuhkan ventilasi buatan jangka pendek atau jangka panjang. Pada asidosis respiratoar yang berat dengan disertai hipoksia, terapi dengan sodium karbonat dapat menimbulkan hiperkarbia. Asidosis metabolik harus dicegah karena dapat menggangu produksi surfaktan, meningkatkan resistensi pembuluh darah paru, dan memberi pengaruh buruk pada sistem cardiovaskular. Meski demikian infus cepat sodium bikarbonat harus dihindari karena meningkatkan insidensi perdarahan intraventrikular.2 Asidosis metabolik pada RDS bisa merupakan hasil asfiksia perinatal, sepsis, perdarahan intraventrikular dan hipotensi (kegagalan sirkulasi), dan biasanya muncul saat bayi telah membutuhkan resusitasi. Sodium bicarbonat 1 2 mEq/kg dapat diberikan untuk terapi selama 10 15 menit melalui vena perifer, dengan pengulangan kadar asam basa dalam 30 menit atau dapat pula diberikan selama beberapa jam. Sodium bikarbonat lebih sering diberikan pada kegawatan melalui kateter vena umbilikalis. Terapi alkali dapat menimbulkan kerusakan kulit akibat terjadinya infiltrasi, peningkatan osmolaritas serum, hipernatremia, hipokalsemia,

23

hipokalemia, dan kerusakan hepar bila larutan berkonsentrasi tinggi diberikan secara cepat melalui vena umbilikalis.2 2.8.7 Tekanan darah dan Cairan Monitor tekanan darah aorta melalui kateter vena umbilikalis atau oscillometric dapat berguna dalam menangani keadaan yang menyerupai syok yang dapat muncul selama 1 jam atau lebih setelah kelahiran prematur dari bayi yang telah mengalami asfiksia atau mengalami distres nafas.2 Monitor tekanan darah arteri diperlukan. Hipotensi arterial memfasilitasi pirau kanan ke kiri melalui PDA lalu menimbulkan hipoksemia. Hipotensi umumnya ditimbulkan oleh asfiksia perinatal, sepsis dan hipotensi. Terapi lini I adalah dengan memberikan volume expander (10 20 ml/kg larutan saline atau koloid). Terapi lini II dengan memberi obat inotropik. Dopamin lebih efektif dibanding dobutamin. Dopamin meningkatkan tahanan sistemik, sementara dobutamin meningkatkan output ventrikel kiri. Dosis dopamine 10 micrograms / kg / menit. Dosis > 15 micrograms / kg / menit meningkatkan tahanan paru, menimbulkan hipertensi paru. Terapi lini III diberikan pada kasus yang resisten. Mula-mula dapat dicoba menambahkan dobutamin 10-20 micrograms / kg / menit pada dopamine. Dapat pula dicoba memberikan hydrocortisone, adrenaline dan isoprenaline.2 Edema paru merupakan bagian dari patofisiologi RDS, bayi yang mengalaminya cenderung menghasilkan sedikit urin output selama 48 jam pertama, diikuti fase diuretik dengan penurunan berat badan. Pemberian cairan berlebih harus dihindari, masukan cairan biasa dimulai dengan 60 80 ml/kg/hari kemudian ditingkatkan secara bertahap. Asupan cairan lebih tinggi diperlukan untuk bayi dengan berat lahir sangat rendah dengan insensible water loss tinggi. Asupan cairan harus selalu dikoreksi bila terdapat perubahan pada berat badan, output urin, dan kadar elektrolir serum. Penggunaan fototerapi, kelembaban rendah, dan penghangat radiant meningkatkan kebutuhan cairan. Pemberian cairan berlebih pada hari pertama dapat menimbulkan PDA dan BPD.2 2.8.8 Antibiotik Karena sulit untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi streptokokus grup B atau infeksi lain dari RDS, diindikasikan untuk memberikan antibakteri sampai hasil kultur darah selesai. Penisilin atau ampisilin dengan kanamisin atau gentamisin dapat diberikan, tergantung pola
24

sensitivitas bakteri di rumah sakit tempat perawatan. Hal hal yang diasosiasikan dengan peningkatan insidensi infeksi pada bayi prematur antara lain ketuban pecah untuk waktu yang lama, ibu demam selama persalinan, fetus mengalami takikardi, leukositosis / leukopeni, hipotensi dan asidosis.5 2.9 Komplikasi dari RDS dan Perawatan intensif Berdasarkan waktu terjadinya, komplikasi dapat dibagi menjadi akut dan kronis. Yang tergolong akut adalah kebocoran udara, infeksi, perdarahan intrakranial, dan PDA. Sedangkan yang tergolong kronis adalah penyakit paru kronis, retinopathy of prematurity (ROP), serta kelainan neurologis.2,5 2.9.1 Komplikasi akibat pemasangan ETT Komplikasi yang paling serius dari intubasi trachea adalah asfiksia akibat obstruksi yang ditimbulkan pipa, henti jantung selama intubasi atau suctioning, dan kadang dapat terjadi stenosis subglottis. Komplikasi lain meliputi perdarahan dari trauma selama intubasi, pseudodivertikel pada posterior faring, extubasi yang sulit sehingga memerlukan tracheostomi, ulserasi nasal akibat tekanan pipa, penyempitan permanen rongga hidung akibat kerusakan jaringan dan scar dari iritasi atau infeksi sekitar pipa, erosi palatum, avulsi pita suara, ulkus laring, papiloma pita suara, dan edema laring, stridor atau suara serak yang persisten. Komplikasi ETT (memasukkan, ekstubasi, granuloma subglotis dan stenosis) dan ventilasi mekanik (pneumotoraks, emfisema interstitial, penurunan cardiac output) dapat diminimalkan dengan intervensi dari tenaga ahli. 2.9.2 Komplikasi akibat kateterisasi Resiko dari kateterisasi arteri umbilikalis meliputi emboli vaskular, trombosis, spasme, dan perforasi, nekrosis viscera abdominal baik akibat iskemia atau zat kimia. Infeksi, perdarahan, dan gangguan sirkulasi ke kaki yang dapat menimbulkan gangren. Meski saat necropsy insiden komplikasi trombosis berkisar 1 23 %, aortografi menunjukkan clot ditemukan di atau sekitar ujung kateter yang dimasukan ke arteri umbilikalis (95%). USG aorta dapat digunakan untuk mendeteksi adanya trombosis. Resiko terjadinya komplikasi yang serius dari kateterisasi umbilikal antara 2 5 %. Kateterisasi vena umbilikalis memeliki resiko yang sama dengan arteri, ditambah kemungkinan terjadinya hipertensi portal dari trombosis vena porta.

25

2.9.3 Komplikasi akut Patent Ductus Arteriosus Konstriksi dan penutupan duktus biasanya terjadi dalam 48 jam setelah lahir pada bayi term dan preterm tanpa distress nafas. PDA terjadi sebanyak 36% pada bayi prematur dengan ventilasi buatan. PDA memberikan gejala bila diameter duktus > 1,5 mm. Pemberian steroid antenatal atau indometasin profilaksis mencegah terjadinya PDA. Insidensi PDA pada bayi prematur dengan RDS sekitar 90%. Dengan meningkatnya angka bertahan hidup bayi sangat kecil disertai penggunaan surfaktan eksogen, PDA sebagai komplikasi RDS merupakan masalah dari penanganan RDS pada awal kehidupan. Hemorrhagic Pulmonary Edema Perdarahan paru seringkali terjadi sekunder akibat edema paru berat yang merupakan komplikasi dari RDS dan PDA. Insidensinya pada bayi prematur sekitar 1 % namun pada otopsi ditemukan sekitar 55 %. Cairan hemoragis di rongga udara merupakan filtrat kapiler yang berasal dari rongga interstitial atau perdarahan alveoli. Bentuk interstitial ditandai dengan perdarahan pleura, septum interlobularis, peribronkial, perivaskular, dan dinding aleolar. Bila perdarahan masuk ke alveoli, eritrosit memenuhi rongga udara dan meluas hingga ke bronkiolus dan bronkus. Penanganan segera meliputi ventilasi buatan yang adekuat. Meningkatkan tekanan jalan udara dengan menggunakan PEEP dapat mencegah perdarahan lebih lanjut. Transfusi PRC dan FFP mungkin diperlukan untuk mengganti volume yang hilang, namun restriksi cairan diindikasikan bila perdarahan terjadi akibat kegagalan ventrikel kiri. Bila penyebabnya PDA, maka PDA harus diterapi. Pulmonary Interstitial Emphysema (PIE) Bila terjadi ruptur alveolus atau saluran napas terminal, udara akan masuk ke ruang interstitial paru menyebabkan PIE. Kemudian udara masuk bronchovascular sheat menyebar ke perifer. PIE dapat terjadi simetris, asimetris atau terlokalisasi pada satu bagian paru. PIE yang terletak di perifer dapat menimbulkan bleb subpleura yang bila pecah akan menimbulkan pneumotoraks. Bisa juga menyebabkan terjadinya pneumomediastinum atau pneomopericardium. Bila alveoli ruptur, udara dapat terlokalisasi dan bersatu di parenkim membentuk pseudokista. Rupturnya alveoli dapat menyebabkan udara masuk ke vena pulmonalis, menimbulkan emboli udara. Merupakan komplikasi RDS setelah terapi ventilasi

26

buatan. Gambaran linear berbatas tegas serta kumpulan udara berbentuk kistik dan radiolusen di paru kanan. Infeksi Infeksi dapat bermanifestasi sebagai kegagalan untuk membaik, perburukan mendadak, perubahan jumlah leukosit, trombositopenia. Terdapat peningkatan insidensi septicemia sekunder terhadap staphylococcal epidermidis dan/atau Candida. Bila curiga akan adanya septicemia, lakukan kultur darah dari 2 tempat berbeda dan berikan antibiotik Perdarahan intracranial dan leukomalasia periventrikuler Perdarahan intrakranial didapatkan pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi lebih tinggi pada bayi RDS yang membutuhkan ventilasi mekanik. Ultrasound kepala dilakukan dalam minggu pertama. Terapi indometasin profilaksis dan pemberian steroid antenatal menurunkan insidensinya. Hipokarbia dan chorioamnionitis dikaitkan dengan peningkatan periventricular leukomalacia. Persistent Pulmonary Hipertension (PPHN) / Persistent Fetal Circulation PPHN dapat terjadi pada bayi term dan posterm. Faktor predisposisinya antara lain asfiksia saat lahir, pneumonia akibat aspirasi mekonium, sepsis onset dini, RDS, hipoglikemi, polisitemia, ibu yang menggunakan AINS dengan konstriksi in utero dari Duktus Arteriosus, dan adanya hipoplasia pulmo sebagai hasil dari hernia diafragmatika, kebocoran cairan amnion, oligohidramnion atau efusi pleura. PPHN sering kali bersifat idiopatik. 2.9.4 Komplikasi Kronik Bronchopulmonary Dysplasia (BPD) Bronchopulmonary Dysplasia (BPD) pada awalnya didefinisikan sebagai penyakit paru kronik pada bayi prematur dengan distres pernapasan yang mendapat terapi oksigen dengan ventilator mekanik sekurang-kurangnya 1 minggu. Definisi lain menyebutkan adanya kebutuhan oksigen dalam 28 hari kehidupan untuk mempertahankan tekanan oksigen arteri > 50 mmHg. Kelainan ini dapat disebabkan penyakit paru lain seperti sindrom aspirasi mekonium dan pneumonia. Sebagian besar BPD disebabkan pemberian oksigen tekanan positif (akibat baro trauma atau toksisitas oksigen). Angka kejadian BPD 12% pada neonatus usia gestasi <33 minggu. Oksigen bersifat toksik bagi paru-paru, terutama bila diberikan dengan respirator tekanan positif, menyebabkan terjadinya BPD. Beberapa bayi yang mendapat bentuan nafas berupa intermittent positive pressure secara berkepanjangan dengan konsentrasi oksigen yang
27

ditingkatkan, menunjukkan perburukan paru pada gambaran rontgen. Distres nafas menetap ditandai hipoksia, hiperkarbia, ketergantungan pada oksigen, dan terjadinya gagal jantung kanan. Gambaran rontgen berubah, sebelumnya menunjukan gambaran opak hampir menyeluruh disertai air bronchogram dan emfisema interstitial, menjadi area lusen bulat kecil berselang seling dengan area dengan densitas yang iregular, seperti gambaran spons.4 Retinopathy of prematurity (ROP) Bayi dengan RDS dan PaO2 > 100 mmHg memiliki resiko terkena ROP, maka monitor PaO2 harus dilakukan secara ketat dan dipertahankan antara 50-70 mmHg. Pulse oximetry tidak membantu mencegah ROP pada bayi sangat kecil karena kurva disosiasi oksigen-hemoglobin hampir rata. Bila ROP berlanjut, terapi laser atau cryotherapy dilakukan untuk mencegah terlepasnya retina dan kebutaan. Gangguan neurologis Terjadi pada + 10-70 % bayi, dan dikaitkan dengan usia kehamilan, tipe patologi intracranial, adanya hipoksia, serta adanya infeksi. Gangguan pendengaran dan penglihatan dapat mengganggu perkembangan bayi di kemudian hari. Dapat terjadi gangguan belajar dan perilaku. 2.10 Prognosis Melakukan observasi intensif dan perhatian pada bayi baru lahir beresiko tinggi dengan segera akan mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat RDS dan penyakit neonatus akut lainnya. Hasil yang baik bergantung pada kemampuan dan pengalaman personel yang menangani, unit rumah sakit yang dibentuk khusus, peralatan yang memadai, dan kurangnya komplikasi seperti asfiksia fetus atau bayi yang berat, perdarahan intrakranial, atau malformasi kongenital. Terapi surfaktan telah mengurangi mortalitas 40 %. Mortalitas dari bayi dengan berat lahir rendah yang dirujuk ke ICU menurun dengan pasti, 75 % dari bayi dengan berat < 2.500 gr bertahan. Meski 85 90 % bayi yang selamat setelah medapat bantuan respirasi dengan ventilator adalah normal, penampakan luar lebih baik pada yang berat badannya > 1.500 gr, sekitar 80 % dari yang beratnya < 1500 gr.5

28

BAB III PENUTUP

Penyakit Membran Hialin merupakan gangguan pernapasan yang disebabkan imaturitas paru dan defisiensi surfaktan, terutama terjadi pada neonatus usia gestasi <34 minggu atau berat lahir <1500 gram. Surfaktan mulai dibentuk pada usia kehamilan 24-28 minggu oleh karena itu kejadian PMH berbanding terbalik dengan usia gestasi. Angka kejadian PMH pada neonatus dengan usia gestasi < 30 minggu 60%, usia gestasi 30-34 minggu 25%, dan pada usia gestasi 3536 minggu adalah 5%. Faktor predisposisi lain adalah kelahiran operasi caesar dan ibu dengan DM. Penanganan dapat meliputi manajemen suplai oksigen, tekanan darah dan cairan, pemberian antibiotik dan pemberian surfaktan eksogen. Dengan terapi yang cepat dan tepat diharapkan distress pernafasan dapat segera diatasi sehingga tidak menimbulkan gejala sisa.

29

DAFTAR PUSTAKA 1. Hermansen CL, Lorah KN. Respiratory distress in the newborn. 2007. Available from : http://www.aafp.org/journals/afp.html, Oktober 2013. 2. Kliegman R, Marcdante K, Jenson H, Behrman RE. Nelson essentials of pediatrics: fifth edition. Virginia; 2006.p.271-331. 3. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku ajar neonatologi edisi pertama. Jakarta; 2008. h. 126-46. 4. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Distres pernapasan neonatus. Dalam : Pedoman pelayanan medis. Jakarta; 2011. h. 66-77. 5. Neonatal respiratory distress syndrome. Diunduh dari http://www.nlm.nih.gov/medlineplus, 28 Juni 2013. 6. Zet Z, Sunoto, Sumarmo, Samsudin, Sudiyanto, Suharyono, dkk. Buku kuliah ilmu kesehatan anak. Jilid 3. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI; 2005.h.1081-9.

30

Anda mungkin juga menyukai