Anda di halaman 1dari 37

BENCANA

Definisi UU No. 24 tahun 2007 mendefinisikan bencana sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Sementara Asian Disaster Preparedness Center (ADPC) mendefinisikan bencana dalam formulasi The serious disruption of the functioning ofsociety, causing widespread human, material or environmental losses, which exceed theability of the affected communities to cope using their own resources Definisi bencana seperti dipaparkan diatas mengandung tiga aspek dasar, yaitu: 1. Terjadinya peristiwa atau gangguan yang mengancam dan merusak (hazard). 2. Peristiwa atau gangguan tersebut mengancam kehidupan, penghidupan, dan fungsi dari masyarakat. 3. Ancaman tersebut mengakibatkan korban dan melampaui kemampuan masyarakat untuk mengatasi dengan sumber daya mereka. Bencana dapat terjadi, karena ada dua kondisi yaitu adanya peristiwa atau gangguan yang mengancam dan merusak (hazard) dan kerentanan (vulnerability) masyarakat. Bila terjadi hazard, tetapi masyarakat tidak rentan, maka berarti masyarakat dapat mengatasi sendiri peristiwa yang mengganggu, sementara bila kondisi masyarakat rentan, tetapi tidak terjadi peristiwa yang mengancam maka tidak akan terjadi bencana.

Karakteristik Bencana Definisi bencana mengandung tiga aspek dasar, yaitu: 1. Terjadinya peristiwa atau gangguan yang mengancam dan merusak (hazard). 2. Peristiwa atau gangguan tersebut mengancam kehidupan, penghidupan, dan fungsi dari masyarakat. 3. Ancaman tersebut mengakibatkan korban dan melampaui kemampuan masyarakat untuk mengatasi dengan sumber daya mereka. Bencana dapat terjadi, karena ada dua kondisi yaitu adanya peristiwa atau gangguan yang mengancam dan merusak (hazard) dan kerentanan (vulnerability) masyarakat. Bila terjadi hazard, tetapi masyarakat tidak rentan, maka berarti masyarakat dapat mengatasi sendiri peristiwa yang mengganggu, sementara bila kondisi masyarakat rentan, tetapi tidak terjadi peristiwa yang mengancam maka tidak akan terjadi bencana. Bukti-bukti yang ada telah memperlihatkan dengan jelas bahwa tanah air kita merupakan wilayah yang rawan bencana alam. Unsur kunci dari terjadinya bencana adalah resiko, yaitu kemungkinan timbulnya kerugian (kematian, luka-luka, kerusakan harta, gangguan kegiatan perekonomian, dan berbagai kerugian lainnya) karena suatu bahaya atau ancaman bencana terhadap suatu wilayah dan pada suatu kurun waktu tertentu. Tidak semua potensi bahaya alam akan menimbulkan resiko bencana. Apabila suatu peristiwa yang memiliki potensi bahaya terjadi di suatu daerah dengan kondisi yang rentan, maka daerah tersebut berisiko terjadi bencana. Jadi resiko dipengaruhi oleh faktor-faktor bahaya (Hazards) dan kerentanan (vulnerability). Modul 4 Blok 21 Thanty 1

Faktor-faktor yang dapat menyebabkan bencana antara lain:

Bahaya alam (natural hazards) dan bahaya karena ulah manusia (man-made hazards) yang menurut United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UN-ISDR) dapat dikelompokkan menjadi bahaya geologi (geological hazards), bahaya hidrometeorologi (hydrometeorological hazards), bahaya biologi (biological hazards), bahaya teknologi (technological hazards) dan penurunan kualitas lingkungan (environmental degradation)

Kerentanan (vulnerability) yang tinggi dari masyarakat, infrastruktur serta elemen-elemen di dalam kota/ kawasan yang berisiko bencana

Kapasitas yang rendah dari berbagai komponen di dalam masyarakat

Rangkaian Kerentanan
Kondisi tidak aman lingkungan fisik yang rentan :

Bahaya
Kejadian-kejadian pemicu BENCANA

Penyebab yang mendasari kemiskinan akses yang terhadap :

Tekanan dinamis kurangnya :

strukturstruktur tenaga listrik sumber daya idiologi system ekonomi faktor-faktor prakondisi umum

institusi local pendidikan pelatihan ktrampilan yang memadai - investasi local - kebebasan pers
Kekuatan makro :

lokasi yang berbahaya infrastruktur dan bangunan yang berbahaya

Ekonomi local yang rentan :

= Kerentanan + Bahaya

- ekspansi penduduk - urbanisasi - degradasi lingkungan

kehidupan yang berisiko tingkat pendapatan yang rentan

Tindakan umum

gempa bumi angin kencang banjir letusan gunung berapi tanah longsor Kekeringan Perang /konflik sipil Kecelakaan teknologi

Gambar : Model Hubungan antara resiko, kerentanan dan bahaya

Besarnya penggambaran suatu resiko bencana dapat dilakukan dengan menggunakan suatu rumus :

Dengan parameter-parameternya adalah: Bahaya atau ancaman adalah kejadian atau peristiwa baik alam maupun buatan manusia yang mempunyai potensi untuk menimbulkan kerusakan atau kerugian. Misalnya, keberadaan suatu gunung api, sungai tebing, cekungan air dan sebagainya Kerentanan adalah sekelompok kondisi yang ada dan melekat, baik fisik, ekonomi, social, dan tabiat/perilaku yang melemahkan kemampuan suatu masyarakat untuk mencegah, menjinakkan, mencapai kesiapan dan manganggapi dampak suatu bahaya.

Modul 4 Blok 21 Thanty

Kemampuan atau kapasitas adalah sumber daya, cara, dan kekuatan yang dimilki oleh seseorang, masyarakat, atau Negara yang memungkinkan mereka untuk menanggulangi, bertahan dari, mempersiapkan diri, mencegah, dan memitigasi atau dengan cepat memulihkan diri dari bencana. Bencana (disaster) merupakan fenomena sosial akibat kolektif atas sistem penyesuaian dalam

merespon ancaman (Paripurno, 2002).Respon itu bersifat jangka pendek yang disebut mekanisme penyesuaian (coping mechanism) atau yang lebih jangka panjang yang dikenal sebagai mekanisme adaptasi (adaptatif mechanism). Mekanisme dalam menghadapi perubahan dalam jangka pendek terutama bertujuan untuk mengakses kebutuhan hidup dasar : keamanan, sandang, pangan, sedangkan jangka panjang bertujuan untuk memperkuat sumber-sumber kehidupannya (Paripurno, 2002). Dalam kajian risiko bencana ada faktor kerentanan rendahnya daya tangkal masyarakat dalam menerima ancaman, yang mempengaruhi tingkat risiko bencana, kerentanan dapat dilihat dari faktor lingkungan, sosial budaya, kondisi sosial seperti kemiskinan, tekanan sosial dan lingkungan yang tidak strategis, yang menurunkan daya tangkal masyarakat dalam menerima ancaman. Besarnya resiko dapat dikurangi oleh adanya kemampuan adalah kondisi masyarakat yang memiliki kekuatan dan kemampuan dalam mengkaji dan menilai ancaman serta bagaimana masyarakat dapat mengelola lingkungan dan sumber daya yang ada, di mana dalam kondisi ini masyarakat sebagai penerima manfaat dan penerima risiko bencana menjadi bagian penting dan sebagai aktor kunci dalam pengelolaan lingkungan untuk mengurangi risiko bencana dan ini menjadi suatu kajian dalam melakukan manajemen bencana berbasis masyarakat (Comunity Base Disaster Risk Management). Pengelolaan lingkungan harus bersumber pada 3 aspek penting yaitu Biotik (makluk hidup dalam suatu ruang), Abiotik (sumber daya alam) dan Culture (Kebudayaan). Daya tahan/berdaya tahan (resilience/resilient) adalah kapasitas sebuah sistem, komunitas atau masyarakat yang memiliki potensi terpapar pada bencana untuk beradaptasi, dengan cara bertahan atau berubah sedemikian rupa sehingga mencapai dan mempertahankan suatu tingkat fungsi dan struktur tyang dapat diterima. Hal ini ditentukan oleh tingkat kemampuan sistem sosial dalam mengorganisasi diri dalam meningkatkan kapasitasnya untuk belajar dari bencana di masa lalu, perlindungan yang lebih baik di masa mendatang, dan meningkatkan upaya-upaya pengurangan risiko bencana (ISDR, 2004 dalam MPBI, 2007). Pengelolaan risiko bencana (disaster risk management) adalah suatu proses yang sistematis dalam menggunakan keputusan-keputusan administratif, lembaga, keterampilan operasional, dan kapasitas penyesuaian masyarakat dan komunitas untuk mengurangi dampak bahaya alam dan bencana-bencan lingkungan dan teknologi terkait (ISDR, 2004 dalam MPBI, 2007). Kemampuan penyesuaian (coping capabilities) adalah cara orang-orang atau lembaga-lembaga baik lokal maupun luar untuk menggunakan sumberdaya dan kemampuan yang ada untuk menghadapi akibatakibat yang merugikan yang dapat mengarah kepada suatu bencana. Secara umum, ini mencakup peng merugikan.pelolaan sumberdaya baik di waktu-waktu normal serta selama krisis atau kondisi merugikan. Penguatan kapasitas penyesuaian biasanya memperkuat ketahanan untuk menghadapi dampak-dampak bahaya alam dan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia. Pengurangan risiko bencana (disaster risk reduction) adalah suatu kerangka kerja konseptual yang terdiri dari elemen-elemen yang dipandang mempunyai kemungkinan untuk meminimalkan kerentanan dan Modul 4 Blok 21 Thanty 3

risiko bencan di seluruh masyarakat, untuk menghindari (pencegahan) atau membatasi (mitigasi dan kesiapsiagaan) dampak merugikan yang ditimbulkan bahaya, dalam kontek luas pembangunan berkelanjuatan (ISDR, 2004 dalam MPBI, 2007). Dalam pengurangan risiko bencana perlu dilakukan upayaupaya, baik yang dilakukan sebelum bencana, saat bencana dan setelah bencana, namun untuk mengurangi risiko bencana penanggulangan bencana lebih ditekankan pada upaya-upaya pada saat sebelum terjadi bencana antara lain: 1. Pencegahan (prevention) adalah aktivitas untuk secara total menghindari dampak merugikan yang ditimbulkan bahaya dan cara-cara untuk meminimalkan bencana-bencana lingkungan, teknologi dan biologi terkait (ISDR, 2004 dalam MPBI, 2007). 2. Mitigasi (mitigation) adalah langkah-langkah struktural dan non struktural yang diambil untuk membatasi dampak merugikan yang ditimbulkan bahaya alam, kerusakan lingkungan dan bahaya teknologi (ISDR, 2004 dalam MPBI, 2007). Mitigasi dapat dilakukan secara struktural yaitu pembangunan infrastruktur sabo, tanggul, alat pendeteksi atau peringatan dini, dan dapat dilakukan secara non struktural seperti pelatihan dan peningkatan kapasitas di masyarakat. 3. Kesiapsiagaan (preparedness) adalah aktivitas-aktivitas dan langkah-langkah yang diambil sebelumnya untuk memastikan respons yang efektif terhadap dampak bahaya, termasuk dengan mengeluarkan peringatan dini yang tepat dan efektif dan dengan memindahkan penduduk dan harta benda untuk sementara dari lokasi yang terancam (ISDR, 2004 dalam MPBI, 2007) dalam hal ini bisa diimplementasikan dengan adanya tim siaga, standar operasional tetap yang berkaitan dengan pengurangan risiko bencana dan rencana aksi komunitas yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan pengurangan risiko bencana.

Jenis-Jenis Bencana terdiri dari berbagai bentuk. UU No. 24 tahun 2007 mengelompokan bencana ke dalam tiga kategori yaitu: 1. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. 2. Bencana non-alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. 3. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror. Ethiopian Disaster Preparedness and Prevention Commission (DPPC) mengelompokkan bencana berdasarkan jenis hazard, yang terdiri dari: Natural hazard. Ini adalah hazard karena proses alam yang manusia tidak atau sedikit memiliki kendali. Manusia dapat meminimalisir dampak hazard dengan mengembangkan kebijakan yang sesuai, seperti tata ruang dan Modul 4 Blok 21 Thanty 4

wilayah, prasyara bangunan, dan sebagainya. Natural hazard terdiri dari beragam bentuk seperti dapat dilihat pada tabel berikut:

Human made hazard. Ini adalah hazard sebagai akibat aktivitas manusia yang mengakibatkan kerusakan dan kerugian fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan. Hazard ini mencakup: Technological hazard sebagai akibat kecelakaan industrial, prosedur yang berbahaya, dan kegagalan infrastruktur. Bentuk dari hazard ini adalah polusi air dan udara, paparan radioaktif, ledakan, dan sebagainya. Environmental degradation yang terjadi karena tindakan dan aktivitas manusia sehingga merusak sumber daya lingkungan dan keragaman hayati dan berakibat lebih jauh terganggunya ekosistem. Conflict adalah hazard karena perilaku kelompok manusia pada kelompok yang lain sehingga menimbulkan kekerasan dan kerusakan pada komunitas yang lebih luas.

Modul 4 Blok 21 Thanty

Dampak Bencana Adapaun beberapa potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana adalah sebagai berikut :

Bencana alam dapat mengakibatkan dampak yang merusak pada bidang ekonomi, sosial dan lingkungan.Kerusakan infrastruktur dapat mengganggu aktivitas sosial, dampak dalam bidang sosial mencakup kematian, luka-luka, sakit, hilangnya tempat tinggal dan kekacauan komunitas, sementara kerusakan lingkungan dapat mencakup hancurnya hutan yang melindungi daratan.Salah satu bencana alam yang paling menimbulkan dampak paling besar, misalnya gempa bumi, selama 5 abad terakhir, telah menyebabkan lebih dari 5 juta orang tewas, 20 kali lebih banyak daripada korban gunung meletus. Dalam hitungan detik dan menit, jumlah besar luka-luka yang sebagian besar tidak menyebabkan kematian, membutuhkan pertolongan medis segera dari fasilitas kesehatan yang seringkali tidak siap, rusak, runtuh karena gempa. Bencana seperti tanah longsor pun dapat memakan korban yang signifikan pada komunitas manusia karena mencakup suatu wilayah tanpa ada peringatan terlebih dahulu dan dapat dipicu oleh bencana alam lain terutama gempa bumi, letusan gunung berapi, hujan lebat atau topan. Dampak bencana dalam tataran sistem sosial-ekonomi yang beragam diakibatkan dari kelangkaan informasi dan metodologi yang belum bisa bersifat universal dalam mengukur dampak bencana. European Commission for Latin America and Caribbean (ECLAC) mengusulkan sebuah metodologi yang dirancang untuk melakukan penilaian dampak bencana bagi ekonomi (Zapata-Marti,1997), yang dibedakan dalam tiga kelompok : 1. Direct damages (kerusakan langsung), meliputi semua kerusakan pada aset tetap, modal dan persediaan barang jadi dan setengah jadi, bahan baku dan suku cadang yang terjadi secara bersamaan sebagai konsekuensi langsung. Pada tahap ini akan menyangkut pengeluaran untuk bantuan darurat. Modul 4 Blok 21 Thanty 6

2. Indirect damages (kerusakan tidak langsung), dampaknya lebih pada arus barang yang tidak akan diproduksi dan jasa yang tidak akan diberikan setelah bencana. Kerusakan tidak langsung ini dapat meningkatkan pengeluaran operasional karena rusaknya infrastruktur. Biaya yang bertambah terletak pada penyediaan layanan alternatif (alternatif cara produksi, distribusi dan penyediaan barang dan jasa). 3. Secondary effect (dampak sekunder), meliputi dampak pada kinerja ekonomi secara keseluruhan yang diukur melalui variabel ekonomi makro yang paling signifikan. Variabel yang relevan dapat Produk Domestik Bruto (PDB) yang mencakup keseluruhan dan sektoral, neraca perdagangan dan neraca pembayaran, tingkat utang dan cadangan moneter, keadaan keuangan publik dan investasi modal bruto. Pada sisi keuangan publik seperti penurunan pendapatan pajak atau peningkatan pengeluaran dapat menjadi sangat penting. Dampak sekunder ini akan sangat dirasakan pada tahun fiskal dimana bencana terjadi, namun memungkinkan juga berdampak pada tahun fiskal selanjutnya.

MODEL MANAJEMEN BENCANA Disaster management continuum model. Model ini mungkin merupakan model yang paling popular karena terdiri dari tahap-tahap yang jelas sehingga lebih mudah diimplementasikan. Tahap-tahap manajemen bencana di dalam model ini meliputi emergency, relief, rehabilitation, reconstruction, mitigation, preparedness, dan early warning.

Pre-during-post disaster model. Model manajemen bencana ini membagi tahap kegiatan di sekitar bencana. Terdapat kegiatankegiatan yang perlu dilakukan sebelum bencana, selama bencana terjadi, dan setelah bencana. Model ini seringkali digabungkan dengan disaster management continuum model.

Contract-expand model. Model ini berasumsi bahwa seluruh tahap-tahap yang ada pada manajemen bencana (emergency, relief, rehabilitation, reconstruction, mitigation, preparedness, dan early warning) semestinya tetap dilaksanakan pada daerah yang rawan bencana. Perbedaan pada kondisi bencana dan tidak bencana adalah pada saat bencana tahap tertentu lebih dikembangkan (emergency dan relief) sementara tahap yang lain seperti rehabilitation, reconstruction, dan mitigation kurang ditekankan.

The crunch and release model. Manajemen bencana ini menekankan upaya mengurangi kerentanan untuk mengatasi bencana. Bila masyarakat tidak rentan maka bencana akan juga kecil kemungkinannya terjadi meski hazard tetap terjadi.

Modul 4 Blok 21 Thanty

Disaster risk reduction framework. Model ini menekankan upaya manajemen bencana pada identifikasi risiko bencana baik dalam bentuk kerentanan maupun hazard dan mengembangkan kapasitas untuk mengurangi risiko tersebut. Pendekatan lain adalah lingkaran manajemen bencana (disaster management cycle) yang terdiri dari dua kegiatan besar. Pertama adalah sebelum terjadinya bencana (pre event) dan kedua adalah setelah terjadinya bencana (post event). Kegiatan setelah terjadinya bencana dapat berupa disaster

response/emergency response (tanggap bencana) ataupun disaster recovery. Kegiatan yang dilakukan sebelum terjadinya bencana dapat berupa disaster preparedness (kesiapsiagaan menghadapi bencana) dan disaster mitigation (mengurangi dampak bencana). Ada juga yang menyebut istilah disaster reduction, sebagai perpaduan dari disaster mitigation dan disaster preparedness.

Terkait dengan manajemen penanggulangan bencana, maka UU No. 24 tahun 2007 menyatakan Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Rumusan penanggulangan bencana dari UU tersebut mengandung dua pengertian dasar yaitu: Penanggulangan bencana sebagai sebuah rangkaian atau siklus. Penanggulangan bencana dimulai dari penetapan kebijakan pembangunan yang didasari bencana dan diikuti tahap kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam UU No. 24 tahun 2007 secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut: risiko

Modul 4 Blok 21 Thanty

Manajemen Bencana SIKLUS MANAJEMEN BENCANA

Pem ulihan

Pencegahan dan Mitigasi

Tanggap

Darurat

Kesiapsiagaan

B EN C A N A

MANAJEMEN PRA BENCANA 1. Pencegahan (Preventif) Upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya bencana (jika mungkin dengan meniadakan bahaya). Misalnya : Melarang pembakaran hutan dalam perladangan Melarang penambangan batu di daerah yang curam.

2. Mitigasi Serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana (UU 24/2007). Bentuk mitigasi : Mitigasi struktural (membuat chekdam, bendungan, tanggul sungai, rumah tahan gempa, dll.) Mitigasi non-struktural (peraturan perundang-undangan, pelatihan, dll.)

3. Kesiapsiagaan Serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna (UU 24/2007). Modul 4 Blok 21 Thanty 9

Misalnya: Penyiapan sarana komunikasi, pos komando, penyiapan lokasi evakuasi, Rencana Kontinjensi, dan sosialisasi peraturan / pedoman penanggulangan bencana. 4. Peringatan Dini Serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang (UU 24/2007) Pemberian peringatan dini harus : Menjangkau masyarakat (accesible) Segera (immediate) Tegas tidak membingungkan (coherent) Bersifat resmi (official)

UPAYA PENANGGULANGAN BENCANA Upaya yang dilakukan dalam manajemen SDM Kesehatan yang terkait dengan penanggulangan krisis akibat bencana dibagi dalam tiga tahap berikut sesuai dengan siklus penanggulangan bencana. 1. Prabencana (pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan) a. Penyusunan peta rawan bencana Penyusunan peta rawan bencana dan peta geomedik sangat penting artinya untuk memperkirakan kemungkinan bencana yang akan terjadi serta kebutuhan fasilitas pelayanan kesehatan dan ketersediaan SDM Kesehatan berikut kompetensinya. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penyusunan peta rawan bencana adalah: i. Ancaman (hazard), jenis bahaya bencana apa yang mungkin terjadi. Informasi ini dapat diperoleh dengan melihat keadaan geografis wilayah setempat. ii. Kerentanan (vulnerability), sejauh mana akibat dari bencana ini terhadap kehidupan masyarakat (khususnya kesehatan). Informasi yang dibutuhkan dalam menilai kerentanan yang terkait SDM Kesehatan berhubungan dengan data tentang inventarisasi ketenagaan yang dimiliki, contohnya dokter ahli, dokter umum, perawat, bidan, sanitarian, ahli gizi, dll. iii. Penyusunan peta rawan bencana sebaiknya dilakukan secara lintas program (melibatkan unitunit program yang ada di Dinas Kesehatan) dan lintas 10ntibi (melibatkan instansi terkait seperti Pemda, RSU, TNI, POLRI, Dinas Kessos, PMI, Ormas, LSM, Peta rawan bencana secara berkala dievaluasi kembali agar sesuai dengan keadaan dan kondisi setempat. b. Penyusunan peraturan dan pedoman dalam penanggulangan krisis akibat bencana yang salah satunya terkait dengan penempatan dan mobilisasi SDM Kesehatan. c. Pemberdayaan tenaga kesehatan pada sarana kesehatan khususnya Puskesmas dan RS, terutama di daerah rawan bencana. d. Penyusunan standar ketenagaan, sarana dan pembiayaan. e. Penempatan tenaga kesehatan disesuaikan dengan situasi wilayah setempat (kerawanan terhadap bencana). f. Pembentukan Tim Reaksi Cepat (Brigade Siaga Bencana, BSB). 10

Modul 4 Blok 21 Thanty

g. Sosialisasi SDM Kesehatan tentang penanggulangan krisis akibat bencana. h. Pelatihan-pelatihan dan gladi. i. Pembentukan Pusat Pelayanan Kesehatan Terpadu atau PSC di Kabupaten/Kota.

2. Saat bencana (tanggap darurat) a. Mobilisasi SDM Kesehatan sesuai dengan kebutuhan pelayanan kesehatan. b. Pengorganisasian SDM Kesehatan dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan. 3. Pascabencana (pemulihan/rehabilitasi dan rekonstruksi) a. Mobilisasi SDM Kesehatan sesuai dengan kebutuhan pelayanan kesehatan. b. Pengorganisasian SDM Kesehatan dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan. c. Upaya pemulihan SDM Kesehatan yang menjadi korban agar dapat menjalankan fungsinya kembali. d. Rekruitmen SDM Kesehatan untuk peningkatan upaya penanggulangan krisis akibat bencana pada masa yang akan datang. e. Program pendampingan bagi petugas kesehatan di daerah bencana.

MITIGASI BENCANA Dalam siklus penanggulangan bencana, proses mitigasi diterapkan sebelum terjadi bencana (preevent), bersamaan dengan tindakan pencegahan dan kesiapsiagaan. Istilah mitigasi digunakan untuk menggambarkan segala tindakan yang dilakukan untuk menurunkan dampak dari suatu bencana dan dapat dilakukan sebelum, saat, atau setelah bencana terjadi. Pengertian lain menyebutkan mitigasi adalah suatu usaha yang dilakukan untuk memperkecil jatuhnya korban manusia atau kerugian harta benda akibat rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, manusia, ataupun keduanya. Singkatnya mitigasi merupakan tindakan perlunakan atau penjinakan dampak suatu bencana. Mitigasi yang dilakukan sebelum terjadi bencana meliputi upaya persiapan (preparedness) untuk memberikan informasi kepada masyarakat tentang potensi timbulnya suatu bencana, dan melakukan sjumlah perencanaan untuk mereduksi risiko bencana. Mitigasi yang dilakukan pada saat bencana terjadi meliputi respon cepat untuk menyikapi bencana yang terjadi, seperti menyelamatkan korban ataupun harta benda, dan tindakan evakuasi. Tindakan mitigasi yang dilakukan pasca terjadi bencana meliputi upaya rehabilitasi dan rekonstruksi. Tindakan konkret yang dilakukan dalam proses mitigasi antara lain :

1.

Sebelum bencana, dapat dilakukan peringatan dini (early warning systems) secara optimal dan terus menerus kepada masyarakat: Mendatangi area rawan bencana dan malakukan penilaian Melakukan sejumlah upaya preventif, seperti pmabangunan parit dan reboisasi hutan untuk mengantisipasi banjir, membuat terasering dan membangun pemukimanyang jauh dari tebing untuk antisipasi longsor, dan lain sebagainya.

2.

Saat bencana terjadi, antara lain diberikan penerangan kepada masyrakat tentang bagaimana menyelamatkan diri, ke arah mana. Informasi ini harus diketahui oleh masyarakat.

Modul 4 Blok 21 Thanty

11

3.

Sesudah terjadi bencana dilakukan upaya pemulihan (recovery) dan upaya ini harus melibatkan masyarakat. Menyelamatkan korban secepatnya ke area yang lebih aman Menyelamatkan harta benda yang masih mungkin diselamatkan Menyiapkan tempat pengungsian sementara atau tenda-tenda darurat untuk para korban bencana Menyediakan dapur-dapur umum Menyediakan searan air bersih dan kesehatan Memberikan dorongan kepada korban bencana untuk menghindrai frustrasi atau ntibi pasca trauma (lebih sering terjadi pada anak-anak dan wanita) Koordinasi dengan aparat pusat atau daerah secepatnya. Sekaligus dilakukan evaluasi penanganan bencana untuk mengurangi risiko jika terjadi bencana kembali

Berikut ini adalah contoh tindakan mitigasi pada bencana tanah longsor. Langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut :

1.

Pemetaan Menyajikan informasi visual tentang tingkat kerawanan bencana geologi di suatu wilayah, sebagai masukan kepada masyarakat atau pamerintah kabupaten/kota dan provinsi sebagai data dasar untuk melakukan pembangunan wilayah agar terhindar dari bencana.

2.

Penyelidikan Mempelajari penyebab dan dampak dari suatu bencana sehingga dapat digunakan dalam perencanaan penanggulangan bencana dan rencana pembangunan wilayah.

3.

Pemeriksaan Melakukan penyelidikan pada saat dan setelah terjadi bencana, sehingga dapat diketahui penyebab dan cara penanggulangannya.

4.

Pemantauan Pemantauan dilakukan di area rawan bencana, pada daerah strategis secara ekonomi dan jasa, agar dapat diketahui secara dini tingkat bahaya, oleh pengguna dan masyarakat yang tinggal di daerah tersebut.

5.

Sosialisasi Memberikan pemahaman kepada pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota atau kepada masyarakat umum, tentang bencana alam dan tanah longsor. Sosialisasi dilakukan dengan beberapa cara seperti berita, poster, booklet, leaflet, atau dapat juga secara langsung kepada aparat pemerintah.

MANAJEMEN SAAT BENCANA Pada saat terjadi bencana perlu diadakan mobilisasi SDM Kesehatan yang tergabung dalam suatu Tim Penanggulangan Krisis yang meliputi Tim Gerak Cepat, Tim Penilaian Cepat Kesehatan (Tim RHA) dan Tim Bantuan Kesehatan. Koordinator Tim dijabat oleh Kepala Dinas Kesehatan

Modul 4 Blok 21 Thanty

12

Provinsi/Kabupaten/Kota

(mengacu

Surat

Keputusan

Menteri

Kesehatan

Nomor

1653/Menkes/SK/XII/2005). Kebutuhan minimal tenaga untuk masing-masing tim tersebut, antara lain: a. Tim Gerak Cepat, yaitu tim yang diharapkan dapat segera bergerak dalam waktu 0-24 jam setelah ada informasi kejadian bencana. Tim Gerak Cepat ini terdiri atas: 1. Pelayanan Medis a. Dokter umum/BSB : 1 org b. Dokter Spesialis Bedah : 1 org c. Dokter Spesialis Anestesi : 1 org d. Perawat mahir (perawat bedah, gawat darurat) : 2 org e. Tenaga DVI : 1 org f. Apoteker/Asisten Apoteker : 1 org

g. Supir ambulans : 1 org 2. Surveilans : 1 org Ahli epidemiologi/Sanitarian 3. Petugas Komunikasi : 1 org Tenaga-tenaga di atas harus dibekali minimal pengetahuan umum mengenai bencana yang dikaitkan dengan bidang pekerjaannya masingmasing. b. Tim RHA, yaitu tim yang bisa diberangkatkan bersamaan dengan Tim Gerak Cepat atau menyusul dalam waktu kurang dari 24 jam. Tim ini minimal terdiri atas: 1) Dokter umum : 1 org 2) Ahli epidemiologi : 1 org 3) Sanitarian : 1 org c. Tim Bantuan Kesehatan, yaitu tim yang diberangkatkan berdasarkan kebutuhan setelah Tim Gerak Cepat dan Tim RHA kembali dengan laporan dengan hasil kegiatan mereka di lapangan.

MANAJEMEN PASCA BENCANA Pascabencana (pemulihan/rehabilitasi dan rekonstruksi) a. Mobilisasi SDM Kesehatan sesuai dengan kebutuhan pelayanan kesehatan. b. Mobilisasi SDM kesehatan dilakukan dalam rangka pemenuhan kebutuhan SDM kesehatan pada saat dan pasca bencana bila: 1) Masalah kesehatan yang timbul akibat bencana tidak dapat diselesaikan oleh daerah tersebut sehingga memerlukan bantuan dari daerah atau regional. 2) Masalah kesehatan yang timbul akibat bencana seluruhnya tidak dapat diselesaikan oleh daerah tersebut sehingga memerlukan bantuan dari regional, nasional dan internasional c. Langkah-langkah mobilisasi yang dilakukan: 1) Menyiagakan SDM kesehatan untuk ditugaskan ke wilayah yang terkena bencana 2) Menginformasikan kejadian bencana dan meminta bantuan melalui: i. Jalur administrasi/Depdagri (Puskesmas Camat Bupati Gubernur Mendagri) Modul 4 Blok 21 Thanty 13

ii. Jalur administrasi/Depkes (Puskesmas Dinkes Kab/Kota Dinkes Provinsi Depkes) iii. Jalur rujukan medic (Puskesmas RS Kab/Kota RS Provinsi RS rujukan wilayah Ditjen Bina Yanmed/ Depkes) d. Pengorganisasian SDM Kesehatan dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan. e. Upaya pemulihan SDM Kesehatan yang menjadi korban agar dapat menjalankan fungsinya kembali. f. Rekruitmen SDM Kesehatan untuk peningkatan upaya penanggulangan krisis akibat bencana pada masa yang akan datang. g. Program pendampingan bagi petugas kesehatan di daerah bencana. Pada pasca bencana ada beberapa yang perlu di perhatikan dan kajian lebih lanjut. Yaitu : 1. Perkiraan jumlah korban yang menjadi korban bencana 2. Jumlah fasilitas kesehatan yang masih berfungsi milik pemerintah 3. Kesehatan obat dan alat kesehatan 4. Tenaga kesehatan 5. Kelompok masyarakat yang berisiko tinggi 6. Kemampuan dan sumber daya setempat. Tolok Ukur : 1. Puskesmas setempat, Puskesmas Pembantu, Bidang Desa dan Pos kesehatan yang ada. 2. Bila mungkin, RS Swasta, Balai pengobatan Swasta, LSM Lokal maupun LSM Internasional yang terkait dengan bidang kesehatan bekerja sama serta mengkoordinasikan upayaupaya pelayanan kesehatan bersama. 3. Memakai standar pelayanan puskesmas. 4. Dalam kasuskasus tertentu rujukan dapat dilakukan melalui system rujukan yang ada. 5. 1 (satu) Pusat Kesehatan pengungsi untuk 20.000 orang. 6. 1 (satu) Rumah Sakit untuk 200.000 orang. Koordinasi pada lintas sektor, yaitu: a. Pemulihan (rehabilitasi) prasarana/sarana kesehatan yang mengalami kerusakan. b. Pemulihan (rehabilitasi) kehidupan masyarakat ke arah kehidupan normal. c. Relokasi masyarakat pengungsi. d. Rekonsiliasi masyarakat yang terlibat bencana konflik sosial dengan kekerasan e. Pembangunan kembali (rekonstruksi) prasarana/sarana kondisi yang permanen. f. Pemantauan, evaluasi dan analisis dampak bencana serta penanganan pengungsi

SISTEM PENANGGULANGAN BENCANA Upaya penanggulangan bencana merupakan kegiatan yang mempunyai fungsi manajemen seperti perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengendalian dalam lingkup "Siklus Penanggulangan Bencana" (disaster management cycle).

Modul 4 Blok 21 Thanty

14

Siklus di dalam gambar memperlihatkan bahwa kegiatan penanggulangan bencana dilakukan melalui tiga tahap, yaitu tahap sebelum terjadi (prabencana), saat dan pasca bencana. Kegiatan sebelum terjadi bencana meliputi pencegahan, mitigasi (pelunakan/penjinakan dampak), dan kesiapsiagaan. Pada saat bencana dilakukan kegiatan tanggap darurat sementara pada saat setelah terjadinya (pasca) bencana dilakukan kegiatan pemulihan dan rekonstruksi. Pencegahan dilakukan sebagai upaya mencegah timbulnya krisis akibat bencana, sedangkan mitigasi dilakukan untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan sebelum bencana terjadi. Kegiatan mitigasi perlu dievaluasi untuk perbaikan secara berkala dengan melibatkan program dan sektor terkait, agar sesuai dengan situasi dan kondisi yang berkembang di wilayah setempat. Kesiapsiagaan merupakan upaya-upaya yang difokuskan kepada pengembangan rencana-rencana untuk menghadapi bencana. Ini penting artinya untuk memastikan bahwa tindakan-tindakan yang akan diambil segera setelah bencana terjadi merupakan tindakan yang cepat, tepat dan efektif. Tujuan dari usaha kesiapsiagaan dalam bidang kesehatan antara lain: a. Meminimalkan jumlah korban. b. Mengurangi penderitaan korban. c. Mencegah munculnya masalah kesehatan pascabencana. d. Memudahkan upaya tanggap darurat dan pemulihan yang cepat. Tanggap darurat merupakan upaya-upaya yang dilakukan segera sesudah terjadinya suatu bencana. Tindakan yang di lakukan umumnya ditujukan untuk menyelamatkan jiwa korban dan melindungi harta benda serta menangani kerusakan dan pengaruh terhadap bencana lainnya (kejadian lanjutan). Penanganan darurat pada kejadian bencana pada dasarnya dilaksanakan dalam waktu yang terbatas, yaitu sekitar 2-3 minggu sesudah bencana terjadi. Upaya pemulihan mer upakan kegi atan yang di lakuk an segera setelah bencana mereda atau setelah masa tanggap darurat telah terlampaui agar masyarakat kembali mampu melaksanakan fungsinya dengan sebaik-baiknya. Sementara itu, upaya rekonstruksi adalah kegiatan untuk membangun kembali berbagai sarana, prasarana dan pelayanan umum yang rusak akibat bencana agar lebih balk dari sebelumnya. Kegiatan Rekonstruksi merupakan komponen penanggulangan bencana yang menghubungkan semua kegiatan penanggulangan bencana dengan pembangunan kesehatan keseluruhan. Kegiatan rekonstruksi akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan pembangunan kesehatan yang ada. Pelaksanaan kegiatan rekonstruksi harus direncanakan dengan teliti dan seksama dengan mengikutsertakan berbagai disiplin ilmu, instansi dan swasta secara terpadu dan terintegrasi. Modul 4 Blok 21 Thanty 15

Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Penanggulangan Bencana 1. Prabencana Kegiatan yang dilaksanakan: a. Tingkat Pusat 1) Membuat, menyebarluaskan dan memutakhirkan pedoman pelayanan kesehatan pada penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi. 2) Membuat standar-standar penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi. 3) Membuat peta geomedik serta mengadakan pelatihan, bagi setiap unit dan petugas yang terlibat dalam penanggulangan bencana, dilanjutkan dengan gladi posko dan gladi lapang. 4) Inventarisasi sumber daya kesehatan pemerintah dan swasta termasuk LSM. 5) Membuat standar dan mekanisme penerimaan bantuan dari dalam dan luar negeri. 6) Inventarisasi jenis dan lokasi kemungkinan terjadinya bencana di wilayahnya dengan mengupayakan informasi Early Warning atau peringatan dini. 7) Membentuk Tim Reaksi Cepat Penanggulangan Bencana. 8) Mengembangan mitigasi dan kesiapsiagaan penanggulangan bencana (sarana dan prasarana). 9) Mengadakan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan penanggulangan bencana. 10) Mengembangan sistem komunikasi dan informasi 11) Koordinasi lintas program dan lintas sektor meliputi sinkronisasi kegiatan penanggulangan bencana dari pusat sampai daerah. 12) Kegiatan bimbingan teknis. b. Tingkat Provinsi Kepala Dinas Kesehatan Provinsi melakukan kegiatan: 1) Membuat peta geomedik daerah rawan bencana. 2) Membuat rencana kontinjensi (Contingency Plan). 3) Menyusun dan menyebarluaskan pedoman penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi. 4) Mengadakan pelatihan penanggulangan bencana. 5) Membentuk dan mengembangkan tim reaksi cepat. 6) Menyelenggarakan pelatihan gladi posko dan gladi lapang dengan melibatkan semua unit terkait. 7) Membentuk Pusdalops penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi. 8) Melengkapi sarana/fasilitas yang diperlukan termasuk mengembangkan sistem komunikasi dan informasi di daerah tersebut. 9) Mengadakan koordinasi lintas program dan lintas sector meliputi sinkronisasi kegiatan penanggulangan bencana dengan pusat dan kabupaten/kota. 10) Melakukan evaluasi dan memutakhirkan protap yang ada sesuai kebutuhan. 11) Kegiatan bimbingan teknis.

Modul 4 Blok 21 Thanty

16

c. Tingkat Kabupaten/Kota Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melakukan kegiatan: 1) Membuat peta geomedik daerah rawan bencana. 2) Membuat rencana kontinjensi (Contingency Plan). 3) Mengadakan pelatihan penanggulangan bencana. 4) Membentuk dan mengembangkan tim reaksi cepat 5) Membentuk Pusdalops penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi. 6) Inventarisasi sumber daya sesuai dengan potensi bahaya yang mungkin terjadi, mencakup: a. Jumlah dan lokasi Puskesmas. b. Jumlah ambulans. c. Jumlah tenaga kesehatan. d. Jumlah RS termasuk fasilitas kesehatan Iainnya. e. Obat dan perbekalan kesehatan. f. Unit transfusi darah.

7) Mengadakan koordinasi lintas program dan lintas sector meliputi sinkronisasi kegiatan penanggulangan bencana dengan provinsi dan Kecamatan. 8) Kegiatan bimbingan teknis. d. Tingkat Kecamatan Kepala Puskesmas melakukan kegiatan: 1) Membuat jalur evakuasi dan mengadakan pelatihan. 2) Mengadakan pelatihan triase. 3) Inventarisasi sumber daya sesuai dengan potensi bahaya yang mungkin terjadi 4) Menerima dan menindaklanjuti informasi peringatan dini (early warning system) untuk kesiapsiagaan bidang kesehatan. 5) Membentuk tim kesehatan lapangan yang tergabung dalam Satgas. 6) Mengadakan koordinasi lintas sektor.

2. Saat bencana a. Tingkat Pusat Koordinasi pada saat bencana adalah Sekretaris Jenderal Depkes. Sedangkan Direktoratdirektorat Jenderal mempunyai tugas sebagai berikut: 1) Dirjen Bina Pelayanan mengkoordinasikan daerah darurat medik di lapangan dan pelayanan kesehatan rujukan di rumah sakit serta mobilisasi SDM Kesehatan pada fase tanggap darurat. 2) Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan lingkungan (P2 dan PL) berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi untuk menggerakkan kinerja surveilans epidemiologi kesehatan lingkungan dan pemberantasan penyakit, logistik dan peralatan kesehatan lapangan dalam rangka pencegahan KLB penyakit menular di tempat penampungan pengungsi dan lokasi sekitarnya. Modul 4 Blok 21 Thanty 17

3) Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. mengkoordinasikan bantuan obat, bahan habis pakai dan perbekalan kesehatan yang diperlukan. Sementara itu, Kepala Badan POM mengawasi kualitas obat dan makanan bantuan untuk korban. 4) Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi untuk memberikan dukungan pelayanan kesehatan dan gizi, kesehatan reproduksi, promosi kesehatan a. dan penanggulangan penyakit akibat kerja. 5) Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) membantu Dirjen terkait dan PPK Setjen Depkes sesuai tugas dan fungsinya agar pelayanan medik pada penanggulangan b. bencana lebih efektif dan efisien. 6) Inspektur Jenderal melakukan pengawasan kegiatan yang terkait dalam penanggulangan bencana. 7) Kepala Pusat Penanggulangan Krisis (PPK) Setjen Depkes sebagai pelaksana koordinasi mempunyai tugas sebagai berikut: a. Mengaktifkan Pusdalops penanggulangan bencana c. Mengadakan koordinasi lintassektor untuk angkutan personil, peralatan, bahan bantuan, dan lain-lain. d. Mengkoordinasikan bantuan swasta dan sektor lain. e. Berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi untuk mempersiapkan bantuan bila diperlukan. f. Berkoordinasi dengan Tim Identifikasi Nasional untuk mengidentifikasi korban meninggal massal. 8) Dalam keadaan darurat, Departemen Kesehatan dapat memanfaatkan potensi dan fasilitas kesehatan yang berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (misalnya Pertamina, PTP, BUMN, Swasta, dll.). b. Tingkat Provinsi Kepala Dinas Kesehatan Propinsi melakukan kegiatan : 1) Melapor kepada Gubernur dan menginformasikan kepada PPK Setjen Depkes tentang terjadinya bencana atau adanya pengungsi. 2) Mengaktifkan Pusdalops Penanggulangan Bencana tingkat Provinsi. 3) Berkoordinasi dengan Depkes cq. PPK, bila ada kebutuhan bantuan obat dan perbekalan kesehatan. Pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan. 4) Berkoordinasi dengan Rumah Sakit Provinsi untuk mempersiapkan penerimaan rujukan dari lokasi bencana atau tempat penampungan pengungsi. Bila diperlukan, menugaskan Rumah Sakit Provinsi untuk mengirimkan tenaga ahli ke lokasi bencana atau tempat penampungan pengungsi. 5) Berkoordinasi dengan Rumah Sakit rujukan (RS Pendidikan) di luar Provinsi untuk meminta bantuan dan menerima rujukan pasien. 6) Berkoordinasi dengan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk melakukan "Re-Rapid Health Assessment" atau evaluasi pelaksanaan upaya kesehatan. Modul 4 Blok 21 Thanty 18

7) Memobilisasi tenaga kesehatan untuk tugas perbantuan ke daerah bencana. 8) Berkoordinasi dengan sektor lain terkait untuk penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi. 9) Menuju lokasi terjadinya bencana atau tempat penampungan pengungsi. 10) Apabila kejadian bencana melampaui batas wilayah Provinsi, koordinator pelayanan kesehatan pada penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi dipegang oleh Sekjen Depkes. Direktur Rumah Sakit Provinsi melakukan kegiatan: 1) Mengadakan koordinasi dengan Rumah Sakit Kabupaten/Kota untuk mengoptimalkan sistem rujukan. 2) Menyiapkan instalasi gawat darurat dan instalasi rawat inap untuk menerima penderita rujukan dan melakukan pengaturan jalur evakuasi. 3) Mengajukan kebutuhan obat dan peralatan lain yang diperlukan. 4) Mengirimkan tenaga dan peralatan ke lokasi bencana bila diperlukan. b. Tingkat Kabupaten/Kota Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setelah menerima berita tentang terjadinya bencana dari Kecamatan, melakukan kegiatan: 1) Berkoordinasi dengan anggota Satlak PB dalam penanggulangan bencana. 2) Mengaktifkan Pusdalops Penanggulangan Bencana Tingkat Kabupaten/Kota . 3) Berkoordinasi dengan RS Kabupaten/Kota termasuk dengan RS Swasta Rumkit TNI dan POLRI untuk mempersiapkan penerimaan penderita yang dirujuk dari lokasi bencana dan tempat penampungan pengungsi. 4) Menyiapkan dan mengirim tenaga kesehatan, obat dan perbekalan kesehatan ke lokasi bencana. 5) Menghubungi Puskesmas di sekitar lokasi bencana untuk mengirimkan dokter, perawat dan peralatan yang diperlukan termasuk ambulans ke lokasi bencana 6) Melakukan Penilaian Kesehatan Cepat Terpadu (Integrated Rapid Health Assessment). 7) Melakukan penanggulangan gizi darurat. 8) Memberikan imunisasi campak di tempat pengungsian bagi anak-anakdi bawah usia 15 tahun. 9) Melakukan surveilans epidemiologi terhadap penyakit potensial wabah, pengendalian vektor serta pengawasan kualitas air dan lingkungan. 10) Apabila kejadian bencana melampaui baths wilayah Kabupaten/ Kota, penanggung jawab upaya penanggulangan bencana adalah Kepala Dinas Kesehatan Provinsi. Direktur Rumah Sakit Kabupaten/Kota melakukan kegiatan: 1) Menghubungi lokasi bencana untuk mempersiapkan instalasi gawat darurat dan ruang perawatan untuk menerima rujukan penderita dari lokasi bencana dan tempat penampungan pengungsi. 2) Menyiapkan instalasi gawat darurat dan instalasi rawat inap untuk menerima rujukan penderita dari lokasi bencana atau tempat penampungan pengungsi dan melakukan pengaturan a. jalur evakuasi. Modul 4 Blok 21 Thanty 19

3) Menghubungi RS Provinsi tentang kemungkinan adanya penderita yang akan dirujuk. 4) Menyiapkan dan mengirimkan tenaga dan peralatan ke lokasi bencana bila diperlukan. c. Tingkat Kecamatan Kepala Puskesmas di lokasi bencana melakukan kegiatan: 1) Beserta staf menuju lokasi bencana dengan membawa peralatan yang diperlukan untuk melaksanakan triase dan memberikan pertolongan pertama. 2) Melaporkan kepada Kadinkes Kabupaten/Kota tentang terjadinya bencana. 3) Melakukan Initial Rapid Health Assessment (Penilaian Cepat Masalah Kesehatan Awal) 4) Menyerahkan tanggung jawab pada Kadinkes Kabupaten/ Kota apabila telah tiba di lokasi. 5) Apabila kejadian bencana melampaui batas wilayah kecamatan, penanggung jawab upaya penanggulangan bencana adalah Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

Kepala Puskesmas di sekitar lokasi bencana melakukan kegiatan: 1) Mengirimkan tenaga dan perbekalan kesehatan serta ambulans/ alat transportasi lainnya ke lokasi bencana dan tempat penampungan pengungsi. 2) Membantu melaksanakan perawatan dan evakuasi korban serta pelayanan kesehatan pengungsi.

3. Pascabencana a. Tingkat Pusat 1) Koordinasi lintas program untuk: a. Evaluasi dampak bencana guna menanggulangi kemungkinan timbulnya KLB penyakit menular. b. Upaya pemulihan kesehatan korban bencana. c. Berkoordinasi dengan, program terkait dalam upaya rekonsiliasi, khususnya untuk wilayah yang mengalami konflik dengan kekerasan. d. Penyelesaian administrasi dan pertanggungjawaban anggaran yang telah dikeluarkan selama berlangsungnya pelayanan kesehatan penanggulangan bencana serta penanganan pengungsi. 2) Koordinasi lintas sektor untuk: a. Pemulihan (rehabilitasi) prasarana/sarana kesehatan yang mengalami kerusakan. b. Pemulihan (rehabilitasi) kehidupan masyarakat ke arah kehidupan normal. c. Relokasi masyarakat pengungsi. d. Rekonsiliasi masyarakat yang terlibat bencana konflik sosial dengan kekerasan e. Pembangunan kembali (rekonstruksi) prasarana/sarana kondisi yang permanen. f. Pemantauan, evaluasi dan analisis dampak bencana serta penanganan pengungsi.

b. Tingkat Provinsi 1) Mendukung upaya kesehatan dalam pencegahan KLB penyakit menular dan perbaikan gizi di tempat penampungan pengungsi maupun lokasi sekitar dengan kegiatan surveilans epidemiologi, kesehatan lingkungan, dan pemberantasan penyakit. Modul 4 Blok 21 Thanty 20

2) Jika terjadi KLB penyakit menular dan gizi buruk, segera mengirimkan tenaga ahli yang relevan ke lokasi bencana atau tempat penampungan pengungsi. 3) Melakukan evaluasi dan analisis dampak bencana terhadap kesehatan lingkungan/KLB. 4) Membantu upaya rekonsiliasi khusus untuk konflik dengan tindak kekerasan dapat dilakukan rekonsiliasi antara pihakpihak yang bertikai dengan mediasi sektor kesehatan, yaitu kesehatan sebagai jembatan menuju perdamaian dengan kegiatan berupa: a. Pelatihan bersama dengan melibatkan pihak-pihak yang bertikai. b. Sosialisasi netralitaspetugas kesehatan untuk menjalankan profesinya kepada pihak yang bertikai. c. Kerja sama petugas kesehatan dari pihak-pihak yang bertikai dalam menyusun program kesehatan bagi korban kerusuhan. d. Pelayanan kesehatan terpadu antara pihak bertikai tanpa membedakan perbedaan (azas netralitas). 5) Memantau, mengevaluasi dan melaksanakan kegiatan Post Trauma Stress Disorder (PTSD). c. Tingkat kabupaten 1) Mengirimkan tenaga surveilans dan tenaga kesehatan lingkungan untuk membantu upaya kesehatan dalam pencegahan KLB penyakit menular di lokasi bencana dan tempat penampungan pengungsi maupun lokasi sekitarnya dengan kegiatan surveilans, kesehatan lingkungan dan pemberantasan penyakit. 2) Jika terjadi KLB penyakit menular dan gizi buruk, segera lakukan upaya pemberantasan penyakit dan perbaikan gizi serta melaporkannya ke dinas kesehatan provinsi. 3) Melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap upaya penanggulangan yang dilakukan. 4) Menentukan strategi intervensi berdasarkan analisis status gizi setelah rapid assessment dilakukan, merencanakan kebutuhan pangan untuk suplemen gizi dan menyediakan paket bantuan pangan (ransum) yang cukup, mudah dikonsumsi oleh semua golongan usia. 5) Menyediakan pelayanan kesehatan, pengawasan kualitas air bersih dan sanitasi lingkungan bagi penduduk di penampungan sementara. 6) Memulihkan kesehatan fisik, mental dan psikososial korban berupa : a. Promosi kesehatan dalam bentuk konseling ( bantuan psikososial) dan lain-lain kegiatan diperlukan agar para pengungsi dapat mengatasi psikotrauma yang dialami. b. Pencegahan masalah psiko-sosial untuk menghindari psikosomatis. c. Pencegahan berlanjutnya psiko-patologis pasca pengungsian. d. Tingkat kecamatan Puskesmas kecamatan tempat terjadinya bencana: 1) Menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar di penumpangan dengan mendirikan Pos Kesehatan Lapangan. 2) Melaksanakan pemeriksaan kualitas air bersih dan pengawasan sanitasilingkungan. 3) Melaksanakan surveilans penyakit menular dan gizi buruk yang mungkin timbul Modul 4 Blok 21 Thanty 21

4) Segera melapor ke Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota bila terjadi KLB penyakit menular dan gizi buruk. 5) Memfasilitasi relawan, kader dan petugas pemerintah tingkat kecamatan dalam memberikan KIE kepada masyarakat luas, bimbingan pada kelompok yang berpotensi mengalami gangguan stres pascatrauma. 6) Merujuk penderita yang tidak dapat ditangani dengan konseling awal dan membutuhkan konseling lanjut, psikoterapi atau penanganan lebih spesifik. Kecamatan di sekitar terjadinya bencana : mengirim tenaga dokter dan perawat ke pos kesehatan lapangan (bila masih diperlukan). 4. Bencana susulan Meningkatkan kewaspadaan terhadap adanya bencana susulan dan pola penanganannya sama seperti yang telah diuraikan di atas.

MANAJEMEN KESEHATAN DALAM PENANGANAN PENANGGULANGAN BENCANA Kebijakan Dan Strategi Penanggulangan Bencana Dalam upaya peningkatan penanggulangan krisis akibat bencana, Departemen Kesehatan telah mengeluarkan kebijakan dan strategi berupa Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor

1362/Menkes/SK/XII/2001 tanggal 13 Desember 2001 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Penanggulangan Masalah Kesehatan Akibat Kedaruratan dan Bencana. Dalam manajemen SDM kesehatan juga telah dikeluarkan kebijakan dan strategi berupa Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 850/Menkes/SK/V/2000 tentang Kebijakan Pengembangan Tenaga Kesehatan Tahun 2000-2010 dan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 81/Menkes/SK/I/2004 tentang Pedoman Perencanaan Tenaga Kesehatan di Provinsi, Kabupaten/Kota serta Rumah Sakit yang isinya sebagai berikut: A. Kebijakan a) Penanggulangan krisis kedaruratan dan bencana dilakukan dengan koordinasi dan kemitraan (partnership) serta memperkuat jejaring secara lintas program, lintas sektor dan kerja sama baik nasional maupun internasional. b) Setiap korban bencana mendapatkan pelayanan kesehatan sesegera mungkin secara manusiawi dan optimal. c) Penanggulangan krisis kedaruratan dan bencana dilaksanakan sebelum terjadinya bencana, serta sesudah terjadinya bencana. d) Pengorganisasian penanggulangan krisis di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota, dilaksanakan dengan semangat desentralisasi dan otonomi. e) Pemberdayaan potensi daerah rawan bencana dengan peningkatan kuantitas dan kualitas sumber daya. f) Mengurangi risiko krisis kedaruratan dan bencana. g) Pengembangan SDM Kesehatan yang mencakup perencanaan, pengadaan serta pendayagunaan SDM perlu dimantapkan secara terus-menerus agar dapat lebih berdaya guna dan berhasil guna. Modul 4 Blok 21 Thanty 22

h) Dalam rancangan SKN, khususnya dalam subsistem SDM Kesehatan, perencanaan SDM Kesehatan merupakan salah satu unsur utama dari subsistem tersebut yang menekankan pentingnya upaya penetapan jenis, jumlah dan kualifikasi SDM Kesehatan sehingga sesuai dengan kebutuhan pembangunan kesehatan. B. Strategi a) Mengubah pola pikir (mind set) penanggulangan bencana dengan lebih menekankan upaya pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan dibanding upaya tanggap darurat dan rehabilitasi. b) Memperkuat organisasi penanggulangan krisis kedaruratan dan bencana di tingkat Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota. c) Memperkuat jejaring kerjasama lintas program dan lintas sektor serta dengan organisasi nonpemerintah, masyarakat dan mitra kerja internasional melalui pengembangan sistem informasi penanggulangan krisis kedaruratan dan bencana. d) Pemberdayaan semua potensi di daerah melalui pelatihan petugas dan mensosialisasikan gerakan masyarakat yang sadar bencana guna mencegah kedaruratan kesehatan (safe community). e) Peningkatan mutu/kualitas SDM Kesehatan. f) Peningkatan pengabdian SDM Kesehatan dalam mewujudkan pemerataan pembangunan kesehatan. g) Mengatasi kelemahan pembangunan kesehatan dari sudut SDM Kesehatan yang menyangkut penyebaran yang belum merata, mutu pendidikan yang belum memadai, komposisi tenaga kesehatan yang timpang karena masih sangat didominasi oleh tenaga medis, serta kinerja dan produktivitas yang rendah

Sistem Penanggulangan Bencana Upaya penanggulangan bencana merupakan kegiatan yang mempunyai fungsi-fungsi manajemen seperti perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengendalian dalam lingkup "Siklus Penanggulangan Bencana" (disaster management cycle). seperti gambar dibawah ini. Siklus di dalam gambar memperlihatkan bahwa kegiatan penanggulangan bencana dilakukan melalui tiga tahap, yaitu tahap sebelum terjadi (prabencana), saat dan pascabencana. Kegiatan sebelum terjadi bencana meliputi pencegahan, mitigasi (pelunakan/penjinakan dampak), dan kesiapsiagaan. Pada saat bencana dilakukan kegiatan tanggap darurat sementara pada saat setelah terjadinya (pasca) bencana dilakukan kegiatan pemulihan dan rekonstruksi.

Siklus Penanggulangan Bencana

Modul 4 Blok 21 Thanty

23

Pencegahan dilakukan sebagai upaya mencegah timbulnya krisis akibat bencana, sedangkan mitigasi dilakukan untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan sebelum bencana terjadi. Kegiatan mitigasi perlu dievaluasi untuk perbaikan secara berkala dengan melibatkan program dan sektor terkait, agar sesuai dengan situasi dan kondisi yang berkembang di wilayah setempat. Kesiapsiagaan merupakan upaya-upaya yang difokuskan kepada pengembangan rencana-rencana untuk menghadapi bencana. Ini penting artinya untuk memastikan bahwa tindakan-tindakan yang akan diambil segera setelah bencana terjadi merupakan tindakan yang cepat, tepat dan efektif. Tujuan dari usaha kesiapsiagaan dalam bidang kesehatan antara lain: a. Meminimalkan jumlah korban. b. Mengurangi penderitaan korban. c. Mencegah munculnya masalah kesehatan pascabencana. d. Memudahkan upaya tanggap darurat dan pemulihan yang cepat. Tanggap darurat merupakan upaya-upaya yang dilakukan segera sesudah terjadinya suatu bencana. Tindakan yang di lakukan umumnya ditujukan untuk menyelamatkan jiwa korban dan melindungi harta benda serta menangani kerusakan dan pengaruh terhadap bencana lainnya (kejadian lanjutan). Penanganan darurat pada kejadian bencana pada dasarnya dilaksanakan dalam waktu yang terbatas, yaitu sekitar 2-3 minggu sesudah bencana terjadi. Upaya pemulihan merupakan kegiatan yang dilakukan segera setelah bencana mereda atau setelah masa tanggap darurat telah terlampaui agar masyarakat kembali mampu melaksanakan fungsinya dengan sebaik-baiknya. Sementara itu, upaya rekonstruksi adalah kegiatan untuk membangun kembali berbagai sarana, prasarana dan pelayanan umum yang rusak akibat bencana agar lebih baik dari sebelumnya. Kegiatan rekonstruksi merupakan komponen penanggulangan bencana yang menghubungkan semua kegiatan penanggulangan bencana dengan pembangunan kesehatan keseluruhan. Kegiatan rekonstruksi akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan pembangunan kesehatan yang ada. Pelaksanaan kegiatan rekonstruksi harus direncanakan dengan teliti dan seksama dengan mengikutsertakan berbagai disiplin ilmu, instansi dan swasta secara terpadu dan terintegrasi. Upaya Penanggulangan Bencana Upaya yang dilakukan dalam manajemen SDM Kesehatan yang terkait dengan penanggulangan krisis akibat bencana dibagi dalam tiga tahap berikut sesuai dengan siklus penanggulangan bencana. 1. Prabencana (pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan) a) Penyusunan peta rawan bencana Penyusunan peta rawan bencana dan peta geomedik sangat penting artinya untuk memperkirakan kemungkinan bencana yang akan terjadi serta kebutuhan fasilitas pelayanan kesehatan dan ketersediaan SDM Kesehatan berikut kompetensinya. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penyusunan peta rawan bencana adalah: 1) Ancaman (hazard), jenis bahaya bencana apa yang mungkin terjadi. Informasi ini dapat diperoleh dengan melihat keadaan geografis wilayah setempat. Modul 4 Blok 21 Thanty 24

2) Kerentanan (vulnerability), sejauh mana akibat dari bencana ini terhadap kehidupan masyarakat (khususnya kesehatan). Informasi yang dibutuhkan dalam menilai kerentanan yang terkait SDM Kesehatan berhubungan dengan data tentang inventarisasi ketenagaan yang dimiliki, contohnya dokter ahli, dokter umum, perawat, bidan, sanitarian, ahli gizi, dll. 3) Penyusunan peta rawan bencana sebaiknya dilakukan secara lintas program (melibatkan unitunit program yang ada di Dinas Kesehatan) dan lintas sektor (melibatkan instansi terkait seperti Pemda, RSU, TNI, POLRI, Dinas Kessos, PMI, Ormas, LSM, Peta rawan bencana secara berkala dievaluasi kembali agar sesuai dengan keadaan dan kondisi setempat. b) Penyusunan peraturan dan pedoman dalam penanggulangan krisis akibat bencana yang salah satunya terkait dengan penempatan dan mobilisasi SDM Kesehatan. c) Pemberdayaan tenaga kesehatan pada sarana kesehatan khususnya Puskesmas dan RS, terutama di daerah rawan bencana. d) Penyusunan standar ketenagaan, sarana dan pembiayaan. e) Penempatan tenaga kesehatan disesuaikan dengan situasi wilayah setempat (kerawanan terhadap bencana). f) Pembentukan Tim Reaksi Cepat (Brigade Siaga Bencana, BSB). g) Sosialisasi SDM Kesehatan tentang penanggulangan krisis akibat bencana. h) Pelatihan-pelatihan dan gladi. i) Pembentukan Pusat Pelayanan Kesehatan Terpadu atau PSC di Kabupaten/Kota.

2. Saat bencana (tanggap darurat) a) Mobilisasi SDM Kesehatan sesuai dengan kebutuhan pelayanan kesehatan. b) Pengorganisasian SDM Kesehatan dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan. 3. Pascabencana (pemulihan/rehabilitasi dan rekonstruksi) a) Mobilisasi SDM Kesehatan sesuai dengan kebutuhan pelayanan kesehatan. b) Pengorganisasian SDM Kesehatan dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan. c) Upaya pemulihan SDM Kesehatan yang menjadi korban agar dapat menjalankan fungsinya kembali. d) Rekruitmen SDM Kesehatan untuk peningkatan upaya penanggulangan krisis akibat bencana pada masa yang akan datang. e) Program pendampingan bagi petugas kesehatan di daerah bencana.

Manajemen SDM Kesehatan A. Perencanaan Kebutuhan SDM Kesehatan Perencanaan kebutuhan SDM Kesehatan dalam penanggulangan krisis akibat bencana mengikuti siklus penanggulangan bencana, yaitu mulai dari pra-, saat, dan pasca bencana. 1. Prabencana Perencanaan kebutuhan SDM Kesehatan pada masa prabencana menyangkut penempatan SDM Kesehatan dan pembentukan Tim Penanggulangan Krisis akibat Bencana. Dalam perencanaan

Modul 4 Blok 21 Thanty

25

penempatan SDM Kesehatan untuk perayanan kesehatan pada kejadian bencana perlu diperhatikan beberapa hal berikut: a. Analisis risiko pada wilayah rawan bencana b. Kondisi penduduk di daerah bencana (geografi, populasi, ekonomi, sosial budaya, dan sebagainya) c. Ketersediaan fasilitas kesehatan d. Kemampuan SDM Kesehatan setempat e. Kebutuhan minimal pelayanan kesehatan di wilayah setempat Sementara itu, dalam pembentukan Tim Penanggulangan Krisis akibat bencana perlu diperhatikan hal-hal berikut. a. Waktu untuk bereaksi yang singkat dalam memberikan pertolongan. b. Kecepatan dan ketepatan dalam bertindak untuk mengupayakan pertolongan terhadap korban bencana sehingga jumlah korban dapat diminimalkan. c. Kemampuan SDM Kesehatan setempat (jumlah dan jenis serta kompetensi SDM Kesehatan setempat) d. Kebutuhan minimal pelayanan kesehatan pada saat bencana. Disamping upaya pelayanan kesehatan (kegiatan teknis medis) diperlukan ketersediaan SDM Kesehatan yang memiliki kemampuan manajerial dalam upaya penanggulangan krisis akibat bencana. Untuk mendukung kebutuhan tersebut, maka tim tersebut harus menyusun rencana: a. Kebutuhan anggaran (contingency budget). b. Kebutuhan sarana dan prasarana pendukung. c. Peningkatan kemampuan dalam penanggulangan krisis akibat bencana. d. Rapat koordinasi secara berkala. e. Gladi posko dan gladi lapangan. 2. Saat dan pascabencana Pada saat terjadi bencana perlu diadakan mobilisasi SDM Kesehatan yang tergabung dalam suatu Tim Penanggulangan Krisis yang meliputi Tim Gerak Cepat, Tim Penilaian Cepat Kesehatan (Tim RHA) dan Tim Bantuan Kesehatan. Koordinator Tim dijabat oleh Kepala Dinas Kesehatan Provinsi/Ksbupaten/Kota 1653/Menkes/SK/XII/2005). Kebutuhan minimal tenaga untuk masing-masing tim tersebut, antara lain: a. Tim Gerak Cepat, yaitu tim yang diharapkan dapat segera bergerak dalam waktu 0-24 jam setelah ada informasi kejadian bencana. Tim Gerak Cepat ini terdiri atas: 1) Pelayanan Medis a. Dokter umum/BSB : 1 org b. Dokter Spesialis Bedah : 1 org c. Dokter Spesialis Anestesi : 1 org d. Perawat mahir (perawat bedah, gawat darurat) : 2 org Modul 4 Blok 21 Thanty 26 (mengacu Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor

e. Tenaga DVI : 1 org f. Apoteker/Asisten Apoteker : 1 org

g. Supir ambulans : 1 org 2) Surveilans : 1 org 3) Ahli epidemiologi/Sanitarian 4) Petugas Komunikasi : 1 org Tenaga-tenaga di atas harus dibekali minimal pengetahuan umum mengenai bencana yang dikaitkan dengan bidang pekerjaannya masing-masing. b. Tim RHA, yaitu tim yang bisa diberangkatkan bersamaan dengan Tim Gerak Cepat atau menyusul dalam waktu kurang dari 24 jam. Tim ini minimal terdiri atas: 1) Dokter umum : 1 org 2) Ahli epidemiologi : 1 org 3) Sanitarian : 1 org

Koordinasi Pelaksanaan Penanggulangan Bencana A. Organisasi 1. Tingkat Pusat a) Penanggung jawab pelayanan kesehatan penanggulangan bencana serta penanganan pengungsi di tingkat Pusat adalah Menteri Kesehatan dibantu oleh seluruh Pejabat Eselon 1 dan Kepala Badan POM serta berkoordinasi dengan instansi terkait dan selalu berpedoman pada petunjuk Ketua Bakornas PB yang diketuai oleh Wakil Presiden. b) Pelaksanaan tugas penanggulangan krisis akibat bencana di lingkungan Departemen Kesehatan dikoordinasi oleh Sekretaris Jenderal melalui Pusat Penanggulangan Krisis (PPK). 2. Tingkat Provinsi a) Penanggung jawab pelayanan kesehatan penanggulangan bencana serta penanganan pengungsi di Provinsi adalah Kepala Dinas Kesehatan Provinsi. Bila diperlukan dapat meminta bantuan kepada Departemen Kesehatan. Dalam melaksanakan tugas Kepala Dinkes Provinsi dibawah Satkorlak PB yang diketuai oleh Gubernur. b) Pelaksanaan tugas penanggulangan krisis akibat bencana di lingkungan Dinas Kesehatan Provinsi dikoordinasi oleh pejabat yang ditunjuk oleh Kepala Dinas Kesehatan. 3. Tingkat Kabupaten/Kota a) Penanggung jawab pelayanan kesehatan penanggulangan bencana serta penanganan pengungsi di Kabupaten/Kota adalah Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Bila diperlukan dapat meminta bantuan kepada Provinsi. Dalam melaksanakan tugas, Kepala Dinkes Kabupaten/Kota berada dibawah Satlak PB yang diketuai oleh Bupati/Walikota. b) Pelaksanaan tugas penanggulangan krisis akibat bencana di lingkungan Dinas Kesehatan Provinsi dikoordinasi oleh pejabat yang ditunjuk oleh Kepala Dinas Kesehatan. 4. Di Lokasi Kejadian Modul 4 Blok 21 Thanty 27

Pelayanan kesehatan penanggulangan bencana serta penanganan pengungsi di lokasi kejadian dibawah tanggung jawab Kepala Dinas Kesehatan sedangkan Kepala Puskesmas sebagai pelaksana tugas Dinas Kesehatan.

MITIGASI BENCANA Dalam siklus penanggulangan bencana, proses mitigasi diterapkan sebelum terjadi bencana (preevent), bersamaan dengan tindakan pencegahan dan kesiapsiagaan. Istilah mitigasi digunakan untuk menggambarkan segala tindakan yang dilakukan untuk menurunkan dampak dari suatu bencana dan dapat dilakukan sebelum, saat, atau setelah bencana terjadi. Pengertian lain menyebutkan mitigasi adalah suatu usaha yang dilakukan untuk memperkecil jatuhnya korban manusia atau kerugian harta benda akibat rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, manusia, ataupun keduanya. Singkatnya mitigasi merupakan tindakan perlunakan atau penjinakan dampak suatu bencana. Mitigasi yang dilakukan sebelum terjadi bencana meliputi upaya persiapan (preparedness) untuk memberikan informasi kepada masyarakat tentang potensi timbulnya suatu bencana, dan melakukan sjumlah perencanaan untuk mereduksi risiko bencana. Mitigasi yang dilakukan pada saat bencana terjadi meliputi respon cepat untuk menyikapi bencana yang terjadi, seperti menyelamatkan korban ataupun harta benda, dan tindakan evakuasi. Tindakan mitigasi yang dilakukan pasca terjadi bencana meliputi upaya rehabilitasi dan rekonstruksi. Tindakan konkret yang dilakukan dalam proses mitigasi antara lain :

1.

Sebelum bencana, dapat dialkukan peringatan dini (early warning systems) secara optimal dan terus menerus kepada masyarakat. 1.1. 1.2. Mendatangi area rawan bencana dan malakukan penilaian Melakukan sejumlah upaya preventif, seperti pmabangunan parit dan reboisasi hutan untuk mengantisipasi banjir, membuat terasering dan membangun pemukimanyang jauh dari tebing untuk antisipasi longsor, dan lain sebagainya

2. 3.

Saat bencana terjadi, antara lain diberikan penerangan kepada masyrakat tentang bagaimana menyelamatkan diri, 28ntibi arah mana. Informasi ini harus diketahui oleh masyarakat. Sesudah terjadi bencana dilakukan upaya pemulihan (recovery) dan upaya ini harus melibatkan masyarakat. 3.1. 3.2. 3.3. Menyelamatkan korban secepatnya ke area yang lebih aman Menyelamatkan harta benda yang masih mungkin diselamatkan Menyiapkan tempat pengungsian semantara atau tenda-tenda darurat untuk para korban bencana 3.4. 3.5. 3.6. Menyediakan dapur-dapur umum Menyediakan searan air bersih dan kesehatan Memberikan dorongan kepada korban bencana untuk menghindrai frustrasi atau 28ntibi pasca trauma (lebih sering terjadi pada anak-anak dan wanita)

Modul 4 Blok 21 Thanty

28

3.7.

Koordianasi dengan aparat pusat atau daerah secepatnya. Sekaligus dilakukan evaluasi penanganan bencana untuk mengurangi risiko jika terjadi bencana kembali

Berikut ini adalah contoh tindakan mitigasi pada bencana tanah longsor. Langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut :

6.

Pemetaan Menyajikan informasi visual tentang tingkat kerawanan bencana geologi di suatu wilayah, sebagai masukan kepada masyarakat atau pamerintah kabupaten/kota dan provinsi sebagai data dasar untuk melakukan pembangunan wilayah agar terhindar dari bencana.

7.

Penyelidikan Mempelajari penyebab dan dampak dari suatu bencana sehingga dapat digunakan dalam perencanaan penanggulangan bencana dan rencana pembangunan wilayah.

8.

Pemeriksaan Melakukan penyelidikan pada saat dan setelah terjadi bencana, sehingga dapat diketahui penyebab dan cara penanggulangannya.

9.

Pemantauan Pemantauan dilakukan di area rawan bencana, pada daerah strategis secara ekonomi dan jasa, agar dapat diketahui secara dini tingkat bahaya, oleh pengguna dan masyarakat yang tinggal di daerah tersebut.

10.

Sosialisasi Memberikan pemahaman kepada pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota atau kepada masyarakat umum, tentang bencana alam dan tanah longsor. Sosialisasi dilakukan dengan beberapa cara seperti berita, poster, booklet, leaflet, atau dapat juga secara langsung kepada aparat pemerintah.

PERMASALAHAN

KESEHATAN

BERKAITAN

DENGAN

BENCANA

DAN

UPAYA

PENANGGULANGANNYA. A. Permasalahan Kesehatan Akibat Bencana 1. Masalah pada korban bencana Masalah kesehatan pada korban bencana dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu sebagai akibat langsung dan tidak langsung. Akibat langsung merupakan dampak primer yang dialami korban di daerah bencana pada saat bencana terjadi. Kasus-kasus yang sering terjadi, antara lain: a. Trauma Trauma terjadi akibat terkena langsung benda-benda keras/ tajam atau tumpul. Contoh trauma, antara lain: luka robek, luka tusuk, luka sayat, dan fraktur. Pada umumnya kasus trauma perlu penanganan balk ringan maupun berat (lanjut). Kasus-kasus trauma banyak terjadi pada korban bencana semacam gempa bumi, tsunami, tanah longsor, banjir, angin puyuh, kerusuhan, kecelakaan transportasi, kecelakaan industri,tindakan teror born, dan lain-lain. Modul 4 Blok 21 Thanty 29

b.

Gangguan pernapasan Gangguan pernapasan terjadi akibat trauma pada jalan napas, misalnya masuknya partikel debu, cairan dan gas beracun pada saluran pernapasan. Kasus-kasus gangguan pernapasan banyak terjadi pada korban bencana semacam tsunami, gunung meletus, kebakaran, kecelakaan industri, dan lain-lain.

c. Luka bakar Luka bakar terjadi akibat terkena langsung benda panas/api/ bahan kimia. Kasus-kasus luka bakar banyak terjadi pada korban bencana semacam kebakaran, gunung meletus, kecelakaan industri, kerusuhan,tindakan teror born, dan lain-lain d. Keluhan psikologis dan gangguan psikiatrik (stres pascatrauma) Stres pascatrauma adalah keluhan yang berhubungan dengan pengalaman selama bencana terjadi. Kasus ini sering ditemui hampir di setiapkejadian bencana. e. Korban meninggal Disaster Victim Identification (DVI) semakin dirasakan perlu untuk mengidentifikasi korban meninggal pasca bencana baik untuk kepentingan kesehatan maupun untuk kepentingan penyelidikan. Untuk kecepatan dan ketepatan pertolongan maka setiap korban bencana perlu diklasifikasikan sebagai berikut: a. Kasus gawat darurat b. Kasus gawat tidak darurat c. Kasus tidak gawat tidak darurat (non gawat darurat) d. Kasus mati

Akibat tidak langsung merupakan dampak sekunder yang dialami korban bencana pada saat terjadinya pengungsian. Masalah kesehatan yang sering terjadi antara lain: a. Kuantitas dan kualitas air bersih yang tidak memadai. b. Kurangnya sarana pembuangan kotoran, kebersihan lingkungan yang buruk (sampah dan limbah cair) sehingga kepadatan vektor (lalat) menjadi tinggi, sanitasi makanan di dapur umum yang tidak higienis, dan kepenuhsesakan (overcrowded). Penyakit menular yang sering timbul di pengungsian akibat faktor risiko di atas antara lain, diare, tipoid, ISPA/pneumonia, campak, malaria, DBD, dan penyakit kulit. c. Kasus penyakit sebagai akibat kurangnya sumber air bersih dan kesehatan lingkungan yang buruk. Kasus-kasus yang sering terjadi antara lain, diare, ISPA, malaria, campak, penyakit kulit, tetanus, TBC,cacar, hepatitis, cacingan, tifoid, dan lain-lain. d. Kasus gizi kurang sebagai akibat kurangnya konsumsi makanan. Kasuskasus yang sering terjadi antara lain, KEP, anemia dan xeroftalmia. e. Masalah kesehatan reproduksi yang sering terjadi seperti gangguan selama kehamilan dan persalinan, terjadinya kehamilan yang tidak diharapkan, menyebarnya infeksi menular seksual (IMS), kekerasan terhadap perempuan dan anak, dsb. Modul 4 Blok 21 Thanty 30

f.

Berbagai bentuk keluhan psikologis dan gangguan psikiatrik yang berhubungan dengan pengalaman yang dialami selama bencana terjadi seperti stres pascatrauma, depresi, ansietas, dan lain-lain.

2. Masalah pada SDM Kesehatan Masalah SDM Kesehatan yang dihadapi dalam penanggulangan krisis akibat bencana di Indonesia, antara lain: a. Kurangnya informasi mengenai peta kekuatan SDM Kesehatan di daerah yang terkait dengan bencana. b. Belum semua tenaga setempat termasuk Puskesmas mampu laksana dalam penanggulangan bencana. c. Masih sedikitnya peraturan yang mengatur penempatan SDM Kesehatan di daerah rawan bencana. d. Distribusi SDM Kesehatan masih belum mengacu pada kerawanan suatu wilayah terhadap bencana. e. Kurangnya minat SDM Kesehatan untuk bertugas di daerah bencana atau konflik karena tidak adanya jaminan keselamatan dan keamanan. f. Belum semua daerah mempunyai Tim Reaksi Cepat penanggulangan krisis akibat bencana. ada daerah yang belum pernah menyelenggarakan pelatihanpelatihan alam

g. Masih

penanggulangan krisis akibat bencana. a. h.Masih ada daerah yang belum pernah menyelenggarakan gladi penanggulangan krisis akibat bencana. h. Pelayanan kesehatan pada saat kejadian bencana seringkali terhambat karena masalah kekurangan SDM Kesehatan. i. Dibutuhkn masa pemulihan yang cukup lama bagi SDM Kesehatan yang menjadi korban bencana sehingga mengganggu kelancaran pelaksanaan pelayanan kesehatan di daerah bencana.

B. Upaya Penanggulangan Bencana Upaya yang dilakukan dalam manajemen SDM Kesehatan yang terkait dengan penanggulangan krisis akibat bencana dibagi dalam tiga tahap berikut sesuai dengan siklus penanggulangan bencana. 1. Prabencana (pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan) a. Penyusunan peta rawan bencana. Penyusunan peta rawan bencana dan peta geomedik sangat penting artinya untuk memperkirakan kemungkinan bencana yang akan terjadi serta kebutuhan fasilitas pelayanan kesehatan dan ketersediaan SDM Kesehatan berikut kompetensinya. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penyusunan peta rawan bencana adalah: 1) Ancaman (hazard), jenis bahaya bencana apa yang mungkin terjadi. Informasi ini dapat diperoleh dengan melihat keadaan geografis wilayah setempat.

Modul 4 Blok 21 Thanty

31

2) Kerentanan (vulnerability), sejauh mana akibat dari bencana ini terhadap kehidupan masyarakat (khususnya kesehatan). Informasi yang dibutuhkan dalam menilai kerentanan yang terkait SDM Kesehatan berhubungan dengan data tentang inventarisasi ketenagaan yang dimiliki, contohnya dokter ahli, dokter umum, perawat, bidan, sanitarian, ahli gizi, dll. 3) Penyusunan peta rawan bencana sebaiknya dilakukan secara lintas program (melibatkan unitunit program yang ada di Dinas Kesehatan) dan lintas sektor (melibatkan instansi terkait seperti Pemda, RSU, TNI, POLRI, Dinas Kessos, PMI, Ormas, LSM, Peta rawan bencana secara berkala dievaluasi kembali agar sesuaiu dengan keadaan dan kondisi setempat. b. Penyusunan peraturan dan pedoman dalam penanggulangan krisis akibat bencana yang salah satunya terkait dengan penempatan dan mobilisasi SDM Kesehatan. c. Pemberdayaan tenaga kesehatan pada sarana kesehatan khususnya Puskesmas dan RS, terutama di daerah rawan bencana. d. Penyusunan standar ketenagaan, sarana dan pembiayaan. e. Penempatan tenaga kesehatan disesuaikan dengan situasi wilayah setempat (kerawanan terhadap bencana). f. Pembentukan Tim Reaksi Cepat (Brigade Siaga Bencana, BSB).

g. Sosialisasi SDM Kesehatan tentang penanggulangan krisis akibat bencana. h. Pelatihan-pelatihan dan gladi. i. Pembentukan Pusat Pelayanan Kesehatan Terpadu atau PSC di Kabupaten/Kota.

2. Saat bencana (tanggap darurat) a. Mobilisasi SDM Kesehatan sesuai dengan kebutuhan pelayanan kesehatan. b. Pengorganisasian SDM Kesehatan dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan. 3. Pascabencana (pemulihan/rehabilitasi dan rekonstruksi) a. Mobilisasi SDM Kesehatan sesuai dengan kebutuhan pelayanan kesehatan. b. Pengorganisasian SDM Kesehatan dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan. c. Upaya pemulihan SDM Kesehatan yang menjadi korban agar dapat menjalankan fungsinya kembali. d. Rekruitmen SDM Kesehatan untuk peningkatan upaya penanggulangan krisis akibat bencana pada masa yang akan datang. e. Program pendampingan bagi petugas kesehatan di daerah bencana.

PENGANTAR MANAJEMEN KESEHATAN A. Konsep dasar dalam manajemen kesehatan 1. Pengertian manajemen a. Manajemen adalah pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditentukan dengan menggunakan orang lain (Robert D. Terry) b. Manajemen adalah proses dimana pelaksanaan dari suatu tujuan diselenggarakan dan diawasi (Encyclopaedia of sosial sciences) Modul 4 Blok 21 Thanty 32

c. Manajemen membuat tujuan tercapai melalui kegiatan-kegiatan orang lain dan fungsi-fungsinya dapat dipecahkan sekurang-kurangnya 2 tanggung jawab utama (perencanaan dan pengawasan) d. Manajemen adalah suatu proses yang dilakukan oleh satu orang /lebih untuk mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan orang lain guna mencapai hasil (tujuan) yang tidak dapat dicapai oleh hanya satu orang saja. (Evancevich) Dari batasan-batasan tersebut di atas dapat diambil suatu kesimpulan umum bahwa Manajemen adalah suatu kegiatan untuk mengatur orang lain guna mencapai suatu tujuan atau menyelesaikan pekerjaan. Apabila batasan ini diterapkan dalam bidang kesehatan masyarakat dapat dikatakan sebagai berikut : Manajemen kesehatan adalah suatu kegiatan atau suatu seni untuk mengatur para petugas kesehatan dan nonpetugas kesehatan guna meningkatkan kesehatan masyarakat melalui program kesehatan. Dengan kata lain manajemen kesehatan masyarakat adalah penerapan manajemen umum dalam sistem pelayanan kesehatan masyarakat sehingga yang menjadi objek dan sasaran manajemen adalah sistem pelayanan kesehatan masyarakat. (Notoatmodjo, 2003) 2. Fungsi manajemen Perbandingan beberapa fungsi manajemen menurut 4 pakar manajemen ilmiah Tokoh George Terry L. Gullick Fungsi manajemen Planning, Organizing, Actuating, Controlling Planning, Organizing, Staffing, Directing, Coordinating, Reporting, Budgetting H. Fayol Koonzt O Donnel Planning, Controlling Planning, Organizing, Staffing, Directing, Controlling Organizing, Commanding, Coordinating,

Planning (perencanaan) adalah sebuah proses yang dimulai dengan merumuskan tujuan organisasi sampai dengan menetapkan alternative kegiatan untuk pencapaiannya. Organizing (pengorganisasian) adalah rangkaian kegiatan menajemen untuk menghimpun semua sumber daya (potensi) yang dimiliki oleh organisasi dan memanfaatkannya secara efisien untuk mencapai tujuan organisasi. Actuating (directing, commanding, motivating, staffing, coordinating) atau fungsi penggerakan pelaksanaan adalah proses bimbingan kepada staff agar mereka mampu bekerja secara optimal menjalankan tugas-tugas pokoknya sesuai dengan ketrampilan yang telah dimiliki, dan dukungan sumber daya yang tersedia. Controlling (monitoring) atau pengawasan dan pengendalian (wasdal) adalah proses untuk mengamati secara terus menerus pelaksanaan kegiatan sesuai dengan rencana kerja yang sudah disusun dan mengadakan koreksi jika terjadi penyimpangan.

B. Penerapan manajemen di bidang kesehatan

Modul 4 Blok 21 Thanty

33

Sehat adalah suatu keadaan yang optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan tidak hanya terbatas pada keadaan bebas dari penyakit atau kelemahan saja. Tujuan sehat yang ingin dicapai oleh sistem kesehatan adalah peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Sesuai dengan tujuan sistem kesehatan tersebut, administrasi (manajemen) kesehatan tidak dapat disamakan dengan administrasi niaga (business adminstration) yang lebih banyak berorientasi pada upaya untuk mencari keuntungan finansial (profit oriented). Administrasi kesehatan lebih tepat digolongkan ke dalam administrasi umum/publik (public administration) oleh karena organisasi kesehatan lebih mementingkan pencapaian kesejahteraan masyarakat umum. Manajemen kesehatan harus dikembangkan di tiap-tiap organisasi kesehatan di Indonesia seperti Kantor Depkes, Dinas Kesehatan di daerah, Rumah Sakit dan Puskesmas dan jajarannya. Untuk memahami penerapan manajemen kesehatan di RS, Dinas Kesehatan dan Puskesmas perlu dilakukan kajian proses penyusunan rencana tahunan Depkes dan Dinas Kesehatan di daerah. Khusus untuk tingkat Puskesmas, penerapan manajemen dapat dipelajari melalui perencanaan yang disusun setiap lima tahun (micro planning), pembagian dan uraian tugas staf Puskesmas sesuai dengan masing-masing tugas pokoknya.

C. Ruang lingkup manajemen kesehatan 1. manajemen personalia (mengurusi SDM) 2. manajemen keuangan 3. manajemen logistik (mengurusi logistik-obat dan peralatan) 4. manajemen pelayanan kesehatan dan sistem informasi manajemen (mengurusi pelayanan kesehatan)

D. Ekonomi layanan kesehatan Masyarakat Indonesia sejak awal tahun 1998 kembali dilanda krisis ekonomi seperti yang terjadi pada tahun 1965. Bom Bali tanggal 12 Oktober 2002 juga memperburuk krisis ekonomi yang berkepanjangan juga berdampak pada bidang kesehatan. Kemampuan pusat-pusat pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta yang menyediakan jasa pelayanan kesehatan bermutu dan harga obat yang terjangkau oleh masyarakat umum semakin menurun. Di sisi lain, kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya kesadaran mereka akan arti hidup sehat. Namun, daya beli masyarakat untuk memanfaatkan jasa pelayanan kesehatan semakin menurun akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan, terutama harga obat-obatan yang hampir semua komponennya masih diimpor. Depkes sudah mengantisipasi dampak krisis ekonomi di bidang kesehatan dengan menyesuaikan terus kebijakan pelayanannya terutama di tingkat operasional. Peningkatan mutu pelayanan kesehatan primer, baik di Puskesmas maupun di RS Kabupaten harus dijadikan indikator penerapan kebijakan baru di bidang pelayanan kesehatan. Realokasi dana DAU dan DAK juga perlu terus dikembangkan oleh Pemda untuk membantu penduduk miskin. Beberapa kebijakan operasional yang sudah mendapat perhatian dalam menghadapi krisis kesehatan ini adalah : Modul 4 Blok 21 Thanty 34

1. Meletakkan landasan kebijakan kesehatan yang lebih bersifat pencegahan (preventif) 2. Kebijakan obat nasional harus diarahkan untuk pemasyarakatan obat-obatan esensial yang terjangkau oleh masyarakat. Meskipun dengan dalih untuk membuka peluang bagi penanaman modal asing (PMA), pembatasan jumlah industri farmasi harus dilaksanakan secara ketat. 3. Etika kedokteran dan tanggung jawab profesi seharusnya mendapat porsi yang lebih besar dalam pendidikan dokter agar dokter yang ditamatkan oleh Fakultas Kedokteran di Indonesia juga dapat berfungsi sebagai cendikiawan di bidang kesehatan. 4. Kesehatan merupakan hak masyarakat yang perlu terus diperjuangkan terutama penduduk miskin karena sudah merupakan komitmen global pemerintah. Oleh karena itu, LSM kesehatan perlu terus diberdayakan (bagian dari reformasi kesehatan) agar mereka mampu menjadi pendamping kelompok-kelompok masyarakat yang membutuhkan perlindungan. Sumber kegiatan sektor kesehatan 1. Pemerintah, yaitu APBN yang disalurkan ke daerah dalam bentuk Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus. Dengan diberlakukannya otonomi daerah, porsi dana sektor kesehatan yang bersumber dari APBN menurun. Pemerintah pusat jg masih ttp membantu pelaksanaan program kesehatan didaerah melalui bantuan dana dekonsentrasi khususnya u/ pemberantasan penyakit menular. 2. APBD yang bersumber dari PAD (pendapatan asli daerah) baik yang bersumber dari pajak, atau penghasilan Badan Usaha Milik Pemda. Mobilisasi dana kesehatan juga bisa bersumber dari masyarakat dalam bentuk asuransi kesehatan, investasi pembangunan sarana pelayanan kesehatan oleh pihak swasta dan biaya langsung yang dikeluarkan oleh masyarakat untuk perawatan kesehatan. Dana pembangunan kesehatan yang diserap oleh berbagai sektor harus dibedakan dengan dana sektor kesehatan yang diserap oleh Dinas kesehatan. 3. Bantuan luar negeri, dapat dalam bentuk hibah (grant) atau pinjaman (loan) untuk investasi atau pengembangan pelayanan kesehatan. Secara umum manajemen merupakan suatu kegiatan untuk mengatur orang lain guna mencapai suatu tujuan atau menyelesaikan pekerjaan. Hal ini berdasarkan beberapa pendapat ahli berikut : 1. Manajemen adalah suatu proses yang dilakukan oleh satu orang /lebih untuk mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan orang lain guna mencapai hasil (tujuan) yang tidak dapat dicapai oleh hanya satu orang saja. (Evancevich) 2. Manajemen adalah proses dimana pelaksanaan dari suatu tujuan diselenggarakan dan diawasi (Encyclopaedia of sosial sciences) 3. Manajemen membuat tujuan tercapai melalui kegiatan-kegiatan orang lain dan fungsi-fungsinya dapat dipecahkan sekurang-kurangnya 2 tanggung jawab utama (perencanaan dan pengawasan) 4. Manajemen adalah pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditentukan dengan menggunakan orang lain (Robert D. Terry). Dalam bidang kesehatan masyarakat Manajemen kesehatan adalah suatu kegiatan atau suatu seni untuk mengatur para petugas kesehatan dan nonpetugas kesehatan guna meningkatkan kesehatan masyarakat Modul 4 Blok 21 Thanty 35

melalui program kesehatan. Dengan kata lain manajemen kesehatan masyarakat adalah penerapan manajemen umum dalam sistem pelayanan kesehatan masyarakat sehingga yang menjadi objek dan sasaran manajemen adalah sistem pelayanan kesehatan masyarakat. Sedangkan Fungsi manajemen, menurut beberapa ahli mengandung berbagai komponen sebagai berikut : 1. Menurut L. Gullick manajemen mengandung beberapa unsur antara lain Planning, Organizing, Staffing, Directing, Coordinating, Reporting, Budgetting 2. Menurut George Terry Planning, Organizing, Actuating, Controlling 3. Menurut Koonzt O Donnel Planning, Organizing, Staffing, Directing, Controlling 4. Menurut H. Fayol Planning, Organizing, Commanding, Coordinating, Controlling Berbagai komponen fungsi manajemen diatas dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Planning (perencanaan) adalah sebuah proses yang dimulai dengan merumuskan tujuan organisasi sampai dengan menetapkan alternative kegiatan untuk pencapaiannya. 2. Organizing (pengorganisasian) adalah rangkaian kegiatan menajemen untuk menghimpun semua sumber daya (potensi) yang dimiliki oleh organisasi dan memanfaatkannya secara efisien untuk mencapai tujuan organisasi. 3. Actuating (directing, commanding, motivating, staffing, coordinating) atau fungsi penggerakan pelaksanaan adalah proses bimbingan kepada staff agar mereka mampu bekerja secara optimal menjalankan tugas-tugas pokoknya sesuai dengan ketrampilan yang telah dimiliki, dan dukungan sumber daya yang tersedia. 4. Controlling (monitoring) atau pengawasan dan pengendalian (wasdal) adalah proses untuk mengamati secara terus menerus pelaksanaan kegiatan sesuai dengan rencana kerja yang sudah disusun dan mengadakan koreksi jika terjadi penyimpangan. Aplikasi Manajemen Bidang Kesehatan Banyak pengertian sehat disampaikan para ahli, WHO, maupun menurut Undang-Undang, antara lain disebutkan bahwa sehat adalah suatu keadaan yang optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan tidak hanya terbatas pada keadaan bebas dari penyakit atau kelemahan saja. Sesuai dengan tujuan sistem kesehatan tersebut, administrasi (manajemen) kesehatan tidak dapat disamakan dengan administrasi niaga (business adminstration) yang lebih banyak berorientasi pada upaya untuk mencari keuntungan finansial (profit oriented). Administrasi kesehatan lebih tepat digolongkan ke dalam administrasi umum/publik (public administration) oleh karena organisasi kesehatan lebih mementingkan pencapaian kesejahteraan masyarakat umum. Manajemen kesehatan harus dikembangkan di tiap-tiap organisasi kesehatan di Indonesi

HAMBATAN DAN KENDALA 1. Kehadiran stakeholder tdk selalu lengkap sering ganti-ganti 2. Kurangnya dana dan perlengkapan 3. Tidak semua mau berpikir serius 4. Konsultan belum siap Modul 4 Blok 21 Thanty 36

5. Penentuan Jadwal kegiatan

Modul 4 Blok 21 Thanty

37

Anda mungkin juga menyukai