Anda di halaman 1dari 27

17

BAB II HAK-HAK KONSUMEN PROPERTI DI INDONESIA

Menurut Blacks Law Dictionary, properti berarti the right to possess, use, and enjoy a determinate thing (either a tract of land or a chattel); the right of ownership.25 Masih menurut Black, real property is land and anything growing on, attaching to, or erected on it, excluding anything that may be severed without injury to the land.26 Properti menunjukkan kepada sesuatu yang biasanya dikenal sebagai entitas dalam kaitannya dengan kepemilikan seseorang atau sekelompok orang atas suatu hak eksklusif.27 Bentuk utama dari properti ini adalah real property (tanah), kekayaan pribadi (personal property), kepemilikan barang secara fisik lainnya, dan kekayaan intelektual. Secara umum real properti dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan fungsi bangunan, apakah sebagai tempat tinggal, pertokoan/kios yang berfungsi komersial, gedung, gudang, dan sebagainya. Dalam tulisan ini, properti yang dimaksud adalah real properti yang berfungsi sebagai tempat tinggal, terutama rumah, rumah susun, atau apartemen. Perlindungan konsumen sesungguhnya dimulai sejak adanya niat pelaku usaha untuk menawarkan produknya kepada calon konsumen dan berlanjut pada masa terjadinya transaksi hingga masa perawatan atau adanya jaminan perawatan pada saat berakhirnya transaksi. Singkatnya perlindungan konsumen timbul sejak masa pratransaksi, masa transaksi, hingga masa purna-transaksi. Timbulnya perlindungan

Black, Blacks Law Dictionary. Seventh Edition, (St. Paul, Minn: West Publishing Co., 1999), hal. 1232 26 Ibid, hal 1234 27 Toyo, Apartemen Sudirman Park: Definisi Poperti, tanggal 2 September 2009, apartemen Sudirman Park.mht, artikel diunduh pada tanggal 17 April 2010

25

Universitas Indonesia

Penerapan klausula..., Hanardi Agung Hendranata, FH UI, 2011.

18 konsumen pada masa pra transaksi menimbulkan hak calon konsumen dan melahirkan pula kewajiban pelaku usaha untuk memenuhi hak-hak konsumen. Secara umum, Pasal 4 Undang-undang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa hak-hak konsumen adalah: a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang/jasa. b. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa. d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang/jasa yang digunakan. e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. f. g. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Hak-hak konsumen yang tersebut diatas berguna untuk melindungi kepentingan konsumen, sebagaimana tercantum dalam tujuan dari perlindungan konsumen yaitu mengangkat harkat hidup dan martabat konsumen. Sehingga

Universitas Indonesia

Penerapan klausula..., Hanardi Agung Hendranata, FH UI, 2011.

19 diharapkan konsumen menyadari akan hak-haknya dan pelaku usaha diharuskan untuk memerhatikan apa saja perbuatan-perbuatan usaha yang dilarang menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen sehingga tidak ada lagi pelanggaran hakhak konsumen. Tidak hanya memberikan hak-hak konsumen, Undang-undang Perlindungan Konsumen juga memberikan kewajiban kepada pelaku usaha untuk memenuhi hakhak-hak konsumen sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 yang menyebutkan bahwa kewajiban pelaku usaha adalah : a. b. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Universitas Indonesia

Penerapan klausula..., Hanardi Agung Hendranata, FH UI, 2011.

20 Hak-hak konsumen menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen ini tidak terlepas dari adanya 5 (lima) asas perlindungan konsumen, yaitu asas manfaat, asas keadilan, asas keseimbangan, asas keamanan dan keselamatan, dan asas kepastian hukum. Apabila memperhatikan substansi kelima asas tersebut,

sesungguhnya dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas, yaitu:28 1. Asas kemanfaatan, yang didalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen; 2. 3. Asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan; Asas kepastian hukum.

Radbruch menyebut keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum sebagai tiga nilai dasar hukum yang berarti dapat dipersamakan dengan asas hukum.29 Apabila hak-hak konsumen lebih dikhususkan dalam masa pra-transaksi, calon konsumen memiliki hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa. Hak konsumen atas informasi ini menimbulkan kewajiban bagi pelaku usaha untuk memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. Hak konsumen pada masa pra transaksi di bidang properti tidak hanya diatur dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen saja. Beberapa peraturan yang mengatur tentang properti, baik secara tersirat maupun tersurat, telah ada sebelum berlakunya Undang-undang Perlindungan Konsumen, walaupun ada pula peraturan
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op.cit., hal. 26 Gustav Radbruch, Legal Philosophy, in the Legal Philosophies of Lask, Radbruch and Dabin, translated by Kurt Wilk, Massachusetts: Harvard University Press, 1950, hal. 107, sebagaimana dikutip dari Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007, hal. 26
29 28

Universitas Indonesia

Penerapan klausula..., Hanardi Agung Hendranata, FH UI, 2011.

21 yang timbul setelah berlakunya Undang-undang Perlindungan Konsumen. Berikut ini adalah uraian hak-hak konsumen berdasarkan undang-undang yang berlaku di bidang property, yang untuk lebih mudahnya dibagi dalam 2 (dua) bagian, yaitu sebelum berlakunya Undang-undang Perlindungan Konsumen dan setelah berlakunya Undangundang Perlindungan Konsumen.

2.1

Hak

Konsumen

Properti

sebelum

berlakunya

Undang-undang

Perlindungan Konsumen. Hak konsumen sebelum berlakunya Undang-undang Perlindungan Konsumen dapat dilindungi dengan mendasarkan adanya hubungan kontrak sebagai dasar hubungan hukum dalam sistem hukum perlindungan konsumen sehingga

mempersempit kesempatan konsumen yang berhak mengajukan gugatan. Sebagai contoh adalah kasus Janizal dkk vs PT Kentamik Super Internasional yang terkenal dengan kasus Perumahan Narogong Indah.30 Duduk perkara kasus ini adalah gugatan diajukan karena para penggugat, Janizal dkk, membaca iklan Perumahan Taman Narogong Indah melalui brosur yang mencantumkan fasilitas pemancingan dan rekreasi seluas 1,2 ha (12.000 meter persegi). Iklan inilah yang menyebabkan para penggugat tertarik untuk membeli rumah yang ditawarkan. Di kemudian hari tergugat, PT Kentamik Super Internasional selaku pihak pengembang perumahan, ternyata mengubah fasilitas pemancingan dan menjual kepada kosnumen. Tindakan tersebut oleh para penggugat dikualifikasikan sebagai cidera janji. Penggugat berpendapat bahwa brosur yang berisi iklan tersebut
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 3138/K/Pdt/1994/PN.Jkt.Pst. Putusan Pengadilan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 3138/K/Pdt/1994 sebagaimana dikutip dari Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal. 77, 131, 139
30

Universitas Indonesia

Penerapan klausula..., Hanardi Agung Hendranata, FH UI, 2011.

22 merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pendahuluan pembelian rumah antara Penggugat dengan Bank Tabungan Negara. Dalam eksepsinya, Tergugat mendalilkan bahwa hanya konsumen yang telah menandatangani kontrak pembelian yang diakui dan dapat mengajukan gugatan. Sebaliknya para penggugat, yang belum mengikat kontrak pembelian belum dapat diakui sebagai konsumen dan tidak bisa mengajukan gugatan. Hakim berpendapat bahwa brosur atau iklan tidak menjadi bagian dari pernyataan pihak pengembang sebagai pelaku usaha yang mengikat pengembang untuk memenuhi standar produk sesuai dengan apa yang dituangkan dalam brosur atau iklan. Putusan hakim yang memenangkan pihak pengembang sebagai pelaku usaha tersebut menyebabkan pengembang mengajukan gugatan balik kepada konsumen karena dianggap melakukan pencemaran nama baik. Penggunaan hubungan kontrak sebagai dasar hukum perlindungan konsumen, selain memperkecil kesempatan konsumen untuk mengajukan gugatan juga membatasi tanggung jawab pelaku usaha yang mengakibatkan berkurangnya tanggung jawab pelaku usaha.31 Padahal pernyataan-pernyataan yang dikemukakan pelaku usaha pada masa pra transaksi atau sebelum dilaksanakannya hubungan kontrak adalah janji-janji yang mengikat dan juga menjadi tanggung jawab pelaku usaha itu sendiri untuk memenuhinya.32 Dengan kata lain, tanggung jawab pelaku usaha tidak hanya terbatas berdasarkan hubungan kontrak saja tetapi juga meliputi saat pelaku usaha melakukan kegiatan promosi produknya di masa pra transaksi. Pernyataan-pernyataan pada masa promosi penting karena sebenarnya dimaksudkan

Inosentius Samsul, op.cit., hal. 76 Dalam hukum perlindungan konsumen dikenal dengan teori express warranty, yaitu a warranty created by the over words or actions of the seller, atau oleh Arthur Best disebut a sellers specific statement about a products features or attributes atau menurut Kimberly Jade Tillman adalah liability is imposed as a result of representations made by the seller or manufacturer sebagaimana dikutip dari Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal. 76
32

31

Universitas Indonesia

Penerapan klausula..., Hanardi Agung Hendranata, FH UI, 2011.

23 untuk menarik konsumen membeli suatu produk. Sebaliknya, bagi konsumen pernyataan-pernyataan tersebut menjadi informasi yang menjadi bahan pertimbangan untuk membeli suatu produk. Prinsip adanya hubungan kontrak ini sangat merugikan konsumen, karena:33 1. Dengan adanya suatu kontrak, pihak produsen menggunakan kekuatannya untuk menerapkan kontrak-kontrak baku yang menguntungkan pihak produsen. 2. Produsen dapat menghindari tanggung jawab terhadap pihak ketiga yang tidak memiliki hubungan hukum dengan produsen berdasarkan doktrin privity of contract 3. penerapan prinsip caveat emptor, yang menekankan konsumen harus berhatihati dalam melakukan transaksi dengan produsen, mengakibatkan pengadilan atau lembaga legislatif menolak untuk melakukan intervensi terhadap pasar. Selain itu, prinsip adanya hubungan kontrak juga mengandung kelemahan dilihat dari perspektif kepentingan konsumen, yaitu:34 1. Persyaratan bahwa jaminan yang diberikan produsen terbatas hanya kepada konsumen dalam arti sempit, yaitu pihak yang memiliki hubungan hukum dengan tergugat atau pelaku usaha sebagai produsen. 2. Persyaratan pemberitahuan dalam waktu yang layak, setelah konsumen mengetahui atau seharusnya mengetahui adanya pelanggaran terhadap janji dalam kontrak. 3. Ketentuan bahwa dalam kontrak pihak produsen dapat mengajukan pengecualian-pengecualian

33 34

Inosentius Samsul, op.cit, hal. 29 Ibid, hal. 76

Universitas Indonesia

Penerapan klausula..., Hanardi Agung Hendranata, FH UI, 2011.

24 Asas adanya hubungan kontrak ini telah memungkiri tahap-tahap perlindungan konsumen yang sesungguhnya telah dimulai pada masa pra transaksi. Prinsip adanya hubungan kontrak ini semakin mempersempit tanggung jawab yang harus dipikul pelaku usaha dan memperluas tanggung jawab yang berada di pundak konsumen. Padahal sebagaimana telah dikemukakan berdasarkan teori express warranty, pernyataan yang dilakukan dalam masa pra transaksi (promosi) bermaksud untuk menarik konsumen membeli produk yang ditawarkan. Apabila produk yang ditawarkan tidak sesuai dengan yang dijanjikan dalam masa pra transaksi maka itu bisa dianggap sebagai penipuan. Pernyataan-pernyataan pada masa promosi penting karena sebenarnya dimaksudkan untuk menarik konsumen membeli suatu produk. Sebaliknya, bagi konsumen pernyataan-pernyataan tersebut menjadi informasi yang menjadi bahan pertimbangan untuk membeli suatu produk. Asas yang mendasarkan adanya hubungan kontrak inilah yang menjadi nyawa perlindungan hak konsumen sebelum berlakunya Undang-undang Perlindungan Konsumen. Pada masa ini ada 2 (dua) peraturan perundangan yang berlaku yang mengatur bidang property, yaitu Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tantang Rumah Susun dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan.

2.1.1 Hak Konsumen Berdasarkan Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun (selanjutnya disebut Undang-undang Rumah Susun) diundangkan pemerintah pada tanggal 31 Desember 1985. Pemerintah, berdasarkan Undang-undang Rumah Susun ini, mengakui bahwa untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah bagi pembangunan perumahan dan untuk lebih meningkatkan kualitas lingkungan

Universitas Indonesia

Penerapan klausula..., Hanardi Agung Hendranata, FH UI, 2011.

25 permukiman terutama di daerah-daerah yang berpenduduk padat tetapi hanya tersedia luas tanah yang terbatas, dirasakan perlu untuk membangun perumahan dengan sistem lebih dari satu lantai yang dibagi atas bagian-bagian yang dimiliki bersama dan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki secara terpisah untuk dihuni dengan memperhatikan faktor sosial budaya yang hidup dalam masyarakat35, yaitu rumah susun. Tujuan pembangunan rumah susun ini, terutama, adalah untuk memenuhi kebutuhan perumahan yang layak bagi rakyat, terutama golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah.36 Perumahan yang layak adalah perumahan yang memenuhi syarat-syarat tehnik, kesehatan, keamanan, keselamatan, dan norma-norma sosial budaya.37 Demi memenuhi tujuan pembangunan rumah susun dan ketentuan standar rumah susun pemerintah mensyaratkan adanya persyaratan teknis dan persyaratan administratif pembangunan suatu rumah susun.38 Mengingat konsumen yang dituju, berdasarkan Undang-undang Rumah Susun, adalah rakyat berpenghasilan rendah maka pemerintah sangat memperhatikan hal-hal teknis rumah susun. Pemerintah melindungi hak-hak konsumen dengan mewajibkan perusahaan pengembang rumah susun untuk melengkapi rumah susun, misalnya dengan pencahayaan dan aliran udara, struktur dan penggunaan bahan bangunan, jaringan listrik dan telekomunikasi, sebagaimana tercantum dalam persyaratan teknis pembangunan rumah susun. Rumah susun dibuat sedemikian rupa untuk melindungi kepentingan rakyat berpenghasilan rendah. Kewajiban pihak pengembang, sebagai pelaku usaha, menimbulkan adanya hak bagi calon konsumen untuk menempati rumah susun.
35

Republik Indonesia (3), Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3318, bagian menimbang, huruf (b) 36 Ibid, pasal 3 ayat (1) huruf (a) 37 Ibid, penjelasan pasal 3 ayat (1) huruf (a) 38 Ibid, pasal 6 ayat (1)

Universitas Indonesia

Penerapan klausula..., Hanardi Agung Hendranata, FH UI, 2011.

26 Tidak lama setelah menerbitkan Undang-undang Rumah Susun, tepatnya tanggal 26 April 1988, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun sebagai peraturan pelaksana dari Undang-undang Rumah Susun (selanjutnya disebut PP Rumah Susun). PP Rumah Susun ini berisi pedomanpedoman teknis yang harus dipenuhi oleh perusahaan pengembang rumah susun dalam mendirikan rumah susun, baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, dan tahap penghunian. Dalam PP Rumah Susun ini tercantum persyaratan teknis dan persyaratan administratif pembangunan rumah susun. Persyaratan teknis adalah persyaratan mengenai struktur bangunan, kemanan, keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan lain-lain yang berhubungan dengan rancang bangun, termasuk kelengkapan prasarana dan fasilitas lingkungan, yang diatur dengan peraturan perundang-undangan serta disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan.39 Persyaratan teknis ini misalnya adanya pertukaran udara dan pencahayaan yang cukup,40 struktur, komponen, dan penggunaan bahan bangunan yang kuat dan tahan terhadap beban mati, beban bergerak, gempa bumi, banjir.41 Selain itu rumah susun harus pula dilengkapi dengan:42 a. Jaringan air bersih yang memenuhi persyaratan mengenai perpipaan dan perlengkapannya; b. Jaringan listrik yang memenuhi persyaratan mengenai kabel dan

perlengkapannya; c. Jaringan gas yang memenuhi persyaratan beserta perlengkapannya;

Republik Indonesia (5), Peraturan Pemerintah tentang Rumah Susun. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988, Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3372, pasal 1 angka (5). 40 Ibid, pasal 11 41 Ibid, pasal 13 42 Ibid, pasal 14

39

Universitas Indonesia

Penerapan klausula..., Hanardi Agung Hendranata, FH UI, 2011.

27 d. Saluran pembuangan air hujan yang memenuhi persyaratan kualitas, kuantitas, dan pemasangan; e. Saluran pembuangan air limbah yang memenuhi persyaratan kualitas, kuantitas, dan pemasangan; f. Saluran dan/atau tempat pembuangan sampah yang memenuhi persyaratan terhadap kebersihan, kesehatan, dan kemudahan; g. Tempat untuk kemungkinan pemasangan jaringan telepon dan alat komunikasi lainnya; h. Alat transportasi berupa tangga, lift, atau eskalator sesuai dengan tingkat keperluan dan persyaratan yang berlaku; i. j. k. l. m. n. o. Pintu dan tangga darurat kebakaran; Tempat jemuran; Alat pemadam kebakaran; Penangkal petir; Alat/system alarm; Pintu kedap asap pada jarak-jarak tertentu; Generator listrik disediakan untuk rumah susun yang menggunakan lift.

Lingkungan rumah susun juga harus dilengkapi dengan prasarana lingkungan untuk kegiatan sehari-hari penghuni seperti jalan setapak, jalan kendaraan, dan tempat

Universitas Indonesia

Penerapan klausula..., Hanardi Agung Hendranata, FH UI, 2011.

28 parkir.43 Fasilitas untuk tempat berkumpul, melakukan kegiatan masyarakat, tempat bermain anak-anak juga harus ada.44 Persyaratan administratif adalah persyaratan mengenai perizinan usaha dari perusahaan pembangunan perumahan, izin lokasi dan/atau peruntukannya, perizinan mendirikan bangunan (IMB), serta izin layak huni yang diatur dengan peraturan perundang-undangan dan disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan.45 Rumah susun dan lingkungannya harus dibangun dan dilaksanakan berdasarkan perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan peruntukannya.46 Setelah selesai melaksanakan pembangunan rumah susun, perusahaan pembangunan rumah susun wajib memperoleh izin layak huni.47 Selain persyaratan administratif dan persyaratan teknis pembangunan rumah susun yang ketat, demi memberikan perlindungan pada konsumen rumah susun, pemerintah juga membuka kesempatan kepada penghuni rumah susun untuk membentuk perhimpunan penghuni rumah susun.48 Perhimpunan penghuni ini adalah suatu badan hukum yang dibentuk untuk mengatur dan mengurus kepentingan bersama penghuni rumah susun dan dapat mewakili para penghuni atau pemilik satuan rumah susun di dalam maupun di luar pengadilan.49 Pelanggaran atas persyaratan administratif, persyaratan teknis pembangunan rumah susun, dan izin layak huni dianggap sebagai kejahatan dan dapat dikenakan

Ibid, pasal 25 Ibid, pasal 27 45 Ibid, pasal 1 angka (6) 46 Ibid, pasal 30 ayat (1) 47 Ibid, pasal 35 ayat (1). Bagian Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 angka 6 menyebutkan bahwa untuk menjamin keselamatan, keamanan, ketenteraman, dan ketertiban para penghuni dan pihak lainnya, maka sebelum rumah susun tersebut dipergunakan, harus memenuhi persyaratan berupa Izin Layak Huni yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah. Di samping itu ketentuan pasal 1609 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia berlaku juga untuk upaya pengamanan pembangunan rumah susun ini. 48 Republik Indonesia (3), op.cit., pasal 19 49 Ibid, penjelasan pasal 19 ayat (2)
44

43

Universitas Indonesia

Penerapan klausula..., Hanardi Agung Hendranata, FH UI, 2011.

29 hukuman pidana. Pasal 21 ayat (1) Undang-undang Rumah Susun menyebutkan bahwa, Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan dalam pasal 6, pasal 17 ayat (2), dan pasal 18 ayat (1) diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah).

Adanya ketentuan pidana atau hukuman denda atas pelanggaran persyaratan administrative, persyaratan teknis, dan izin layak huni tersebut mengisyaratkan pengakuan dan jaminan pemerintah secara tegas atas hak konsumen rumah susun untuk mendapatkan kenyamanan dan kemanan dalam menempati rumah susun.. Pemberdayaan konsumen menurut Undang-undang Rumah Susun beserta peraturan pelaksananya lebih ditekankan pada aspek pidana atas pelanggaran ketentuan administratif yang harus dipenuhi pihak pembangunan rumah susun. Konsumen belum memiliki hak, misalnya, untuk melakukan pengawasan, hak untuk memperoleh penggantian yang layak akibat tidak dipenuhinya ketentuan standar perumahan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Rumah Susun dan peraturan pelaksananya, dan hak untuk mengajukan gugatan sengketa konsumen serta hak-hak lain dalam perspektif Undang-undang Perlindungan Konsumen. Hak konsumen yang dijamin dalam Undang-undang Rumah Susun, sesuai dengan perspektif Undang-undang Perlindungan Konsumen, adalah hak atas keamanan, kenyamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi produk perumahan, yaitu dengan diterapkannya sanksi tegas bagi perusahaan pembangunan rumah susun yang melanggar Undang-undang Rumah Susun dan peraturan pelaksananya.

Universitas Indonesia

Penerapan klausula..., Hanardi Agung Hendranata, FH UI, 2011.

30

2.1.2 Hak Konsumen Berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan Dan Permukiman Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman (selanjutnya disebut Undang-undang Perumahan) diundangkan pemerintah pada tanggal 10 Maret 1992. Pemerintah, berdasarkan Undang-undang Perumahan ini, mengakui bahwa perumahan dan permukiman merupakan kebutuhan dasar manusia dan mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa, dan perlu dibina serta dikembangkan demi kelanngsungan dan peningkatan kehidupan dan penghidupan masyarakat.50 Perumahan dan permukiman merupakan proses bermukim manusia dalam menciptakan ruang kehidupan untuk memasyarakatkan dirinya dan menampakkan jati dirinya. Pentingnya fungsi perumahan dan permukiman tersebut dan terbatasnya lahan untuk perumahan dan permukiman menyebabkan proses penyediaan lahan perumahan harus dikelola dan dikendalikan oleh pemerintah supaya penggunaan dan pemanfataannya dapat menjangkau masyarakat secara adil dan merata tanpa menimbulkan kesenjangan ekonomi dan sosial dalam proses bermukimnya masyarakat. Demi kepentingan masyarakat itulah pemerintah menetapkan bahwa suatu wilayah permukiman yang ditetapkan sebagai kawasan siap bangun wajib dilengkapi dengan jaringan prasarana primer dan sekunder.51

Republik Indonesia (2), Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3211, penjelasan umum, paragraph (2) 51 Ibid, penjelasan umum, paragraph (6)

50

Universitas Indonesia

Penerapan klausula..., Hanardi Agung Hendranata, FH UI, 2011.

31 Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan.52 Menurut ketentuan ini, pemerintah melindungi hak-hak konsumen dengan mewajibkan pengembang perumahan untuk melengkapi perumahan yang

dibangunnya dengan sarana utama dan sarana penunjang. Sarana utama suatu perumahan adalah jaringan jalan untuk mobilitas manusia dan angkutan barang, jaringan saluran pembuangan air limbah dan tempat pembuangan sampah, jaringan saluran air hujan untuk drainase, dan jaringan air bersih apabila tidak tersedia air tanah. Sementara, sarana penunjang perumahan meliputi antara lain bangunan perbelanjaan, pelayanan umum dan pemerintahan, sarana ibadah, rekreasi dan olahraga, permakaman dan pertamanan. Sarana-sarana inilah yang wajib disediakan oleh pihak pengembang perumahan dan menjadi hak konsumen. Pemerintah mengakui dan menjamin hak konsumen tersebut dengan mewajibkan setiap orang atau badan usaha yang membangun rumah atau perumahan untuk mengikuti persyaratan teknis, ekologis, dan administratif.
53

Persyaratan teknis

berkaitan dengan keselamatan dan kenyamanan bangunan, dan kehandalan sarana dan prasarana lingkungan. Persyaratan ekologis berkaitan dengan keserasian dan keseimbangan, baik antara lingkungan buatan dengan lingkungan alam maupun sosial budaya, termasuk nilai-nilai budaya bangsa yang perlu dilestarikan. Persyaratan administratif berkaitan dengan pemberian izin usaha, izin lokasi, dan izin mendirikan bangunan, serta pemberian hak atas tanah. Pelanggaran atas tidak dipenuhinya persyaratan teknis, ekologis, dan administratif dapat menyebabkan pihak pengembang perumahan diancam pidana serta denda sebagai berikut:

52 53

Ibid, pasal 1 angka (2) Ibid, pasal 7 ayat (1) huruf a

Universitas Indonesia

Penerapan klausula..., Hanardi Agung Hendranata, FH UI, 2011.

32 1. setiap orang atau badan yang sengaja melanggar ketentuan Pasal 7 ayat (1) dikenakan hukuman pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah). 2. setiap orang karena kelalaiannya mengakibatkan pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda stinggi-tingginya Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah). 3. Setiap badan karena kelalaiannya mengakibatkan pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan selama 1 (satu) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah).

Adanya pembangunan

ketentuan perumahan

pidana tersebut

dan

denda

atas

pelanggaran pengakuan

persyaratan jaminan

mengisyaratkan

dan

pemerintah secara tegas atas perlindungan konsumen di bidang perumahan. Hak konsumen menurut Undang-undang Perumahan ini lebih ditekankan pada adanya aspek pidana atas pelanggaran ketentuan administratif yang harus dipenuhi pihak pengembang perumahan. Konsumen belum memiliki hak, misalnya, untuk melakukan pengawasan, hak untuk memperoleh penggantian yang layak akibat tidak dipenuhinya ketentuan standar perumahan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Perumahan, dan hak untuk mengajukan gugatan sengketa konsumen serta hak-hak lain dalam perspektif Undang-undang Perlindungan Konsumen. Hak konsumen yang dijamin dalam Undang-undang Perumahan ini, sesuai dengan perspektif Undang-undang Perlindungan Konsumen, adalah hak atas keamanan, kenyamanan, dan keselamatan

Universitas Indonesia

Penerapan klausula..., Hanardi Agung Hendranata, FH UI, 2011.

33 dalam mengkonsumsi produk perumahan, yaitu dengan diterapkannya sanksi tegas bagi pihak pengembang atas pelanggaran-pelanggaran dalam membangun perumahan. Hal ini dapat dimengerti mengingat saat disahkannya undang-undang ini adalah masa Orde Baru dimana negara sangat berperan dalam mengatur kehidupan masyarakat. Pun sikap kritis dan peran serta masyarakat dalam menjalankan haknya sebagai konsumen sangat dibatasi. Sehingga perlindungan konsumen dalam perspektif Undang-undang Perumahan ini hanya dilihat dari aspek pidana dan administratif saja, belum sampai pada tahap pendidikan dan pengawasan konsumen, juga belum sampai tahap pemberian ganti rugi atas dasar gugatan perdata. Merujuk pada asas perlindungan konsumen, sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen, Undang-undang Perumahan ini belum memenuhi asas keseimbangan yang memberikan keseimbangan kepentingan konsumen dan pelaku usaha. Hak-hak konsumen belum seluruhnya terpenuhi. Padahal hakikat asas keseimbangan adalah keadilan bagi kepentingan masing-masing pihak, yaitu konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah.54 Peran pemerintah adalah mewakili kepentingan publik melalui berbagai pembatasan dalam bentuk kebijakan yang dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Sebagian besar hak konsumen tampaknya diambil alih oleh pemerintah melalui pembentukan peraturan perundang-undangan.

54

Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, op.cit., hal. 28

Universitas Indonesia

Penerapan klausula..., Hanardi Agung Hendranata, FH UI, 2011.

34 2.2 Hak Konsumen Properti setelah berlakunya Undang-undang

Perlindungan Konsumen. Prinsip perlindungan konsumen setelah berlakunya Undang-undang

Perlindungan Konsumen sedikit berbeda dengan prinsip perlindungan konsumen sebelum berlakunya Undang-undang Perlindungan Konsumen. Undang-undang Perlindungan Konsumen mulai mengenal dan akan menuju dianutnya prinsip tanggung jawab mutlak (strict product liability). Prinsip ini adalah suatu jawaban atas konsep tanggung jawab pelaku usaha, dalam hal ini adalah pihak pengembang, yang didasarkan pada adanya suatu hubungan kontrak antara produsen dan konsumen. Pemikiran utama yang mendasari prinsip tanggung jawab mutlak adalah bahwa pihak pelaku usaha atau produsen memilliki posisi yang lebih kuat dibandingkan pihak konsumen untuk mengetahui dan mengawasi produk. Produsen atau pelaku usaha memiliki kemampuan yang lebih besar untuk mengawasi produk yang cacat supaya tidak sampai kepada konsumen.55 Dengan demikian tanggung jawab mutlak merupakan sarana atau instrumen kebijakan publik dan dimaksudkan untuk mendapatkan keamanan bagi publik. Tujuan utama dari hukum tanggung jawab produk yang menerapkan tanggung jawab mutlak adalah untuk menjamin agar konsekuensi atau akibat hukum dari suatu produk yang mengakibatkan kerugian bagi konsumen dibebankan pada orang atau pihak yang memiliki tanggung jawab moral untuk menanggung kerugian tersebut.56 Selain itu tujuan lain dari prinsip strict product lia/bility adalah:57 a. memberikan jaminan secara hukum bahwa biaya kecelakaan yang diakibatkan oleh produk cacat ditanggung oleh orang yang menghasilkan dan

55 56

Ibid, hal. 100 David G. Owen, sebagaimana dikutip dari Inosentius Samsul, ibid, hal 11 57 Ibid, hal. 101

Universitas Indonesia

Penerapan klausula..., Hanardi Agung Hendranata, FH UI, 2011.

35 mengedarkan produk tersebut ke pasar, bukan oleh pembeli atau konsumen yang tidak memiliki kemampuan untuk melindungi diri. b. Penjual dengan memasarkan produk untuk digunakan atau keperluan konsumen, telah menyadari dan sudah siap dengan tanggung jawab terhadap masyarakat umumyang akan mengalami cidera akibat mengkonsumsi barang yang ditawarkan atau dijualnya, dan sebaliknya masyarakat juga memiliki hak dan harapan untuk terpenuhinya hak tersebut. Berdasarkan tuntutan kebijakan publik beban dari kecelakaan akibat produk yang cacat harus ditanggung oleh orang yang memasarkannya. Biaya tersebut akan diperlakukan sebagai ongkos produksi yang dapat dimasukkan dalam asuransi tanggung jawab produk, sehingga konsumen dilindungi. c. Untuk menjamin konsumen yang mengalami kecelakaan akibat produk yang cacat tanpa harus membuktikan kelalaian si produsen. d. Agar risiko kerugian dari produk cacat harus ditanggung oelh supplier, karena mereka berada pada posisi yang dapat memasukkan kerugian sebagai biaya dalam kegiatan bisnis. e. f. Sebagai instrumen kebijakan sosial dan jaminan bagi keselamatan publik Tanggung jawab khusus untuk keselamatan masyarakat oleh seseorang yang mensuplai produk yang dapat membahayakan keselamatan orang dan harta benda. Pihak yang memiliki dasar hukum untuk mengajukan gugatan adalah konsumen yang menderita kerugian.

Pentingnya prinsip tanggung jawab mutlak ini didasarkan pada 4 (empat) alasan, yaitu:58

58

Ibid, hal. 1

Universitas Indonesia

Penerapan klausula..., Hanardi Agung Hendranata, FH UI, 2011.

36 a. Tanggung jawab mutlak merupakan instrument yang relatif masih baru untuk memperjuangkan hak konsumen memperoleh ganti kerugian b. Tanggung jawab mutlak merupakan bagian dan hasil dari perubahan hukum di bidang ekonomi, khususnya industri dan perdagangan yang dalam prakteknya sering memperlihatkan adanya kesenjanganantara standar yang diterapkan di negara yang satu dengan negara lainnya, dan kesenjangan dalam Negara yang bersangkutan, yaitu antara kebutuhan keadilan masyarakat dengan standar perlindungan konsumen dalam hukum positifnya. c. Penerapan prinsip tanggung jawab mutlak melahirkan masalah baru bagi produsen, yaitu bagaimana produsen menangani risiko gugatan konsumen. d. Indonesia merupakan contoh yang menggambarkan kesenjangan yang dimaksud, yaitu antara standar norma dalam hukum positif dan kebutuhan perlindungan kepentingan dan hak-hak konsumen.

Di dalam UU Perlindungan Konsumen, prinsip tanggung jawab mutlak ini mulai coba diterapkan dengan mulai dilindunginya konsumen sejak masa promosi (masa pra transaksi). Pasal 62 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen menegaskan adanya sanksi pidana maksimal 5 (lima) tahun penjara atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000 (dua miliar rupiah) bagi pelaku usaha yang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan, atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut. Prinsip tanggung jawab mutlak ini melahirkan adanya pemberian ganti kerugian terkait dengan besarnya tanggung jawab pelaku usaha kepada konsumen atas penggunaan produk yang dihasilkannya oleh konsumen, yang pada akhirnya

Universitas Indonesia

Penerapan klausula..., Hanardi Agung Hendranata, FH UI, 2011.

37 melahirkan besarnya tanggung jawab produsen. Tanggung jawab produsen sebagai pelaku usaha diatur dalam Pasal 19 Undang-undang Perlindungan Konsumen. Pasal 19 ayat (1) menyebutkan bahwa, pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan

Berdasarkan ketentuan Pasal 19 ayat (1) ini, pelaku usaha wajib memberi ganti rugi atas setiap kerusakan, pencemaran, dan kerugian yang diderita konsumen akibat dari mengkonsumsi barang atau jasa. Dari kata-kata yang mengkonsumsi, jelas bahwa konsumen yang dituju adalah konsumen akhir, bukan konsumen yang memperdagangkan kembali barang atau jasa yang dibelinya. Selanjutnya Pasal 19 ayat (2) menyebutkan bahwa, ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku

Pasal ini mengatur bentuk ganti kerugian yang wajib diberikan oleh pelaku usaha kepada konsumen yang menderita kerugian, yaitu: a. b. c. d. pengembalian uang; penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau sama nilainya; perawatan kesehatan; pemberian santunan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Universitas Indonesia

Penerapan klausula..., Hanardi Agung Hendranata, FH UI, 2011.

38 Pasal 19 ayat (3) menentukan bahwa ganti kerugian wajib dilaksanakan dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. Ketentuan pasal 19 ayat (3) ini dapat diartikan bahwa: a. konsumen harus mengetahui kerusakan, pencemaran, dan kerugian yang dideritanya selambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari sejak dibelinya barang tersebut. b. pelaku usaha bebas dari kewajiban memberikan ganti rugi apabila kerusakan, pencemaran, dan kerugian yang dideritanya telah melewati waktu 7 (tujuh) hari dari tanggal transaksi, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundangan yang mengatur lebih spesifik atau kerusakan, pencemaran, dan kerugian tersebut mengandung tuntutan pidana. c. Atas barang atau jasa yang dikonsumsi secara bertahap yang melebihi waktu 7 (tujuh) hari dari tanggal transaksi tentunya tidak terkena ketentuan pasa 19 ayat (3) ini, kecuali mengandung tuntutan pidana.

Pasal 19 ayat (4) menyebutkan bahwa, pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.

Pasal ini mengatur bahwa tuntutan pidana tetap berlaku, sepanjang terbukti adanya unsur pidana, walaupun pemberian ganti rugi telah dilaksanakan oleh pelaku usaha. Pasal 19 ayat (5) menentukan bahwa sepanjang pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan yang menyebabkan timbulnya ganti kerugian tersebut

Universitas Indonesia

Penerapan klausula..., Hanardi Agung Hendranata, FH UI, 2011.

39 diakibatkan oleh kesalahan konsumen, maka pelaku usaha tidak dapat dituntut ganti kerugian. Namun sayangnya perlindungan konsumen berdasarkan atas adanya hubungan kontrak tetap tercantum dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen,

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 ayat (3) bahwa, Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.

Dengan kata lain, sebelum terjadi transaksi pelaku usaha tidak diwajibkan memberikan ganti kerugian. Kata transaksi dalam hal ini mengisyaratkan telah terjadi perbuatan hukum kontrak antara pelaku usaha dan konsumen. Sehingga konsumen hanya dapat menuntut ganti rugi apabila telah terjadi hubungan kontrak antara pelaku usaha dan konsumen. Berikut ini adalah peraturan perundangan yang terbit setelah berlakunya Undang-undang Perlindungan Konsumen.

2.2.1 Hak Konsumen Berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi Undang-undang Nomor 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (selanjutnya disebut Undang-undang Jasa Konstruksi) diundangkan pada tanggal 7 Mei 2000. Diberlakukannya Undang-undang Jasa Konstruksi ini merupakan babak baru dalam dunia jasa konstruksi Indonesia. Para pihak yang terlibat dalam kegiatan jasa konstruksi adalah pengguna jasa dan penyedia jasa. Posisi konsumen dalam perspektif Undang-undang Jasa Konstruksi adalah sebagai bagian dari pengguna jasa sehingga pemberdayaan terhadap konsumen

Universitas Indonesia

Penerapan klausula..., Hanardi Agung Hendranata, FH UI, 2011.

40 diharapkan mampu meningkatkan peran konsumen dalam menentukan standar produk konstruksi yang dihasilkan, baik dari segi kualitas mutu (quality assurance), waktu penyerahan (product delivery), maupun harga (cost product).59 Penyadaran hak-hak konsumen dalam menerima dan menggunakan produk konstruksi perlu merujuk pada Undang-undang Perlindungan Konsumen mengingat pemahaman bahwa konsumen selaku pengguna jasa belum sepenuhnya menjangkau kepentingan konsumen sebagai pengguna produk akhir dari kegiatan jasa konstruksi. Undang-undang Jasa Konstruksi telah mengatur hak-hak masyarakat dalam penyelenggaraan jasa konstruksi, antara lain sebagai berikut:60 1. Melakukan konstruksi.61 2. Memperoleh penggantian yang layak sebagai akibat kesalahan pengawasan untuk mewujudkan tertib pelaksanaan jasa

penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.62 3. Mengajukan gugatan ke pengadilan, baik secara perorangan maupun kelompok dalam bentuk class action.63 4. Mendapatkan perlindungan dari kegagalan bangunan konstruksi.64 Kegagalan bangunan konstruksi adalah tidak berfungsinya bangunan secara keseluruhan maupun sebagian, tidak sesuainya penyelenggaraan dengan ketentuan kontrak kerja konstruksi dan penyimpangan dari sisi pemanfaatan karena kesalahan penyedia/pengguna jasa. Kesalahan pengguna jasa adalah perbuatan yang disebabkan karena pengelolaan bangunan yang tidak sesuai dengan fungsifungsinya.

59 60

Dr. Asron Lubis, MBA, loc.cit Ibid 61 Republik Indonesia (4), op.cit., Pasal 29 huruf (a) 62 Ibid, Pasal 29 huruf (b) 63 Ibid, Pasal 38 64 Ibid, Pasal 26

Universitas Indonesia

Penerapan klausula..., Hanardi Agung Hendranata, FH UI, 2011.

41 5. Mendapatkan informasi tentang ketentuan dalam penyelenggaran jasa konstruksi.

Dari uraian mengenai hak-hak masyarakat dalam penyelenggaraan jasa konstruksi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kepuasan konsumen menjadi hal penting dalam memenuhi permintaan atas kebutuhan konsumen sebagai pengguna jasa konstruksi. Konsumen jasa konstruksi berhak mendapatkan produk konstruksi yang sesuai dengan keinginan sebagaimana tertuang dalam Term of Refferen (TOR).65 Pada produk perumahan seperti ruko atau gudang yang ditawarkan oleh pihak

pengembang selaku pelaku usaha kepada calon konsumen melalui brosur harus sesuai dengan apa yang telah ditawarkan.66 Dilihat dari sisi hukum perlindungan konsumen, Undang-undang Jasa Konstruksi ini tampaknya telah mulai memberikan pelindungan bagi konsumen, seperti tampak pada adanya pengajuan gugatan oleh pengguna jasa konstruksi, adanya penggantian yang layak sebagai akibat kesalahan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, dan melakukan diskusi dengan masyarakat demi meningkatkan mutu dan pelayanan pelaku usaha jasa konstruksi. Adanya prinsip-prinsip perlindungan konsumen yang diadopsi oleh Undangundang Jasa Konstruksi ini tidak mengherankan, mengingat Undang-undang Jasa Konstruksi diterbitkan pada tahun yang sama dengan diterbitkannya Undang-undang Perlindungan Konsumen. Undang-undang Jasa Konstruksi menjadi landasan untuk menyesuaikan ketentuan yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan

Terms of reference, or TOR, describe the purpose and structure of a project, committee, meeting, negotiation, or any similar collection of people who have agreed to work together to accomplish a shared goal. The TOR of a project is often referred to as the project charter, www.wikipedia.org, artikel diunduh pada tanggal 1 Juni 2010. 66 Dr. Asron Lubis, MBA, loc.cit.

65

Universitas Indonesia

Penerapan klausula..., Hanardi Agung Hendranata, FH UI, 2011.

42 lainnya yang terkait yang tidak sesuai dan memiliki hubungan komplementaritas dengan Undang-undang Perlindungan Konsumen.67 Pemberian ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan dianut pula oleh Pasal 29 Undang-undang Jasa Konstruksi. Disebutkan bahwa, masyarakat berhak untuk : a. b. melakukan pengawasan untuk mewujudkan tertib pelaksanaan jasa konstruksi; memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang dialami secara langsung sebagai akibat penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, sepanjang dapat dibuktikan bahwa konsumen secara langsung dirugikan sebagai akibat perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pekerjaan konstruksi didasarkan atas ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Tanggung jawab pelaku usaha sesuai dengan Pasal 25 Undang-undang Jasa Konstruksi adalah bertanggung jawab atas kegagalan bangunan yang terjadi terhitung sejak penyerahan akhir pekerjaan konstruksi dan paling lama adalah 10 (sepuluh) tahun. Ada atau tidaknya kegagalan bangunan ditetapkan oleh pihak ketiga yang bertindak selaku penilai ahli. Tanggung jawab atas kegagalan bangunan ini diikuti pula oleh kewajiban memberikan ganti kerugian. Kewajiban pemberian ganti kerugian oleh pelaku usaha kepada konsumen dipertegas pula oleh Pasal 26 Undang-undang Jasa Konstruksi yang menyebutkan bahwa, (1) Jika terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan karena kesalahan perencana atau pengawas konstruksi, dan hal tersebut terbukti menimbulkan

67

Republik Indonesia (4), op.cit., Penjelasan Umum.

Universitas Indonesia

Penerapan klausula..., Hanardi Agung Hendranata, FH UI, 2011.

43 kerugian bagi pihak lain, maka perencana atau pengawas konstruksi wajib bertanggung jawab sesuai dengan bidang profesi dan dikenakan ganti rugi. (2) Jika terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan karena kesalahan pelaksana konstruksi dan hal tersebut terbukti menimbulkan kerugian bagi pihak lain, maka pelaksana konstruksi wajib bertanggung jawab sesuai dengan bidang usaha dan dikenakan ganti rugi.

Adanya ketentuan ini menegaskan bahwa prinsip perlindungan konsumen telah mulai dianut dalam Undang-undang Jasa Konstruksi

Universitas Indonesia

Penerapan klausula..., Hanardi Agung Hendranata, FH UI, 2011.

Anda mungkin juga menyukai