KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA 25 OKTOBER 2013
STATUS PASIEN
I. ANAMNESIS Alloanamnesis dari ibu pasien tanggal 20 Oktober 2013 Identitas Nama penderita Jenis kelamin Umur Tanggal Lahir : An. Liberto Moses Papuano Koyari : Laki - laki : 5 bulan : 28 Mei 2013
: Tn. AA : 37 tahun (Sudah menginggal) : PNS : Katolik : Ny. Erwina Sirait : 32 tahun : Ibu Rumah Tangga
Hub. dg orangtua : Anak kandung Agama Suku Alamat : Katolik : Papua : Pondok Timur Mas, Bekasi
Riwayat Penyakit Keluhan utama : Pasien merupakan rujukan klinik VCT RSUD Jayapura
dengan dugaan infeksi HIV transplacenta ( konfirmasi hasil test HIV + dari PMTCT ) Keluhan tambahan : Demam, batuk, pilek 3 hari SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang Pasien merupakan rujukan klinik VCT RSUD Jayapura dengan dugaan infeksi HIV transplacenta Pasien datang ke Poliklinik Anak RSUD kota Bekasi untuk
konfirmasi hasil test HIV.Saat ini Ibu pasien mengeluh bahwa ia sedang demam sudah 3 hari, demam tiba tiba tinggi. Turun saat diberi obat proris sirup tetapi demam tetap 1
naik kembali. Disertai batuk dan pilek, batuk berdahak berwarna putih berbusa dan batuknya sering terutama saat minum susu dari botol, jadi pasien sering tersedak. Pilek yang dialami pasien disertai sekret dari kedua hidung berwarna jernih, tidak terdapat darah. BAB dan BAK biasa. Sesak nafas(-), berat badan yang menurun (-), diare persisten (-).
Riwayat Penyakit Keluarga Ayah pasien sudah meninggal dunia sebulan (April 2013) sebelum pasien lahir karena penyakit paru + HIV/AIDS. Ibu HIV + belum dalam pengobatan ARV. Tidak ada riwayat alergi obat dan makanan pada keluarga
Riwayat Kehamilan KEHAMILAN Morbiditas kehamilan Perawatan antenatal Tidak ditemukan kelainan Setiap bulan periksa ke dokter, bulan ke 8 baru VCT , ibu pasien HIV + KELAHIRAN Tempat kelahiran Penolong persalinan Cara persalinan Masa gestasi RSUD Jayapura, Papua Dokter Obsgyn Seksio Cesarea 9 bulan Berat lahir 2800 g Panjang badan 45 cm Keadaan bayi Lingkar kepala tidak ingat Langsung menangis 2
Riwayat Imunisasi BCG Polio DPT Campak Hepatitis B Kesan :: 4 x, umur 0, 2, 4, 5 : 3 x, umur 2, 4, 5 :: 3 x, umur 0, 1, 5 bulan : Imunisasi dasar belum lengkap
Riwayat Sosial Ekonomi Penderita merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Ayah pasien sudah meninggal berumur 37 tahun, pendidikan terakhir SMA dengan pekerjaan PNS. Ibu pasien berumur 32 tahun, pendidikan SMA dengan pekerjaan ibu rumah tangga.
Ayah/37th/ SMA/PNS
Pasien : 5 bulan
II. PEMERIKSAAN FISIK, 11 Desember 2010 Keadaan umum Kesadaran Nadi Respirasi Suhu Tekanan darah BB TB Status gizi : Tampak sakit ringan : Compos mentis : 100 x/menit (reguler) : 25 x/menit (teratur) : 36,7 C (aksilla) :: 6,2 kg : 65 cm : Baik
Status Antopometri ( Z-score WHO 2013 ) BB/TB BB/U TB/U :-1 : 0 (- 2) : 0 (-2)
Status Generalis Kelainan mukosa kulit /subkutan yang menyeluruh Eritema makulopapular Pucat Sianosis Ikterus Perdarahan Oedem tungkai Turgor Lemak bawah kulit : (-) : (-) : (-) : (-) : (-) : (-) : Baik : Cukup
KEPALA Bentuk Rambut Mata : Bulat, simetris : Hitam, tebal, tidak mudah dicabut : Kelopak mata oedem -/-, konjungtiva anemis, sklera Ikterik -/- , kornea jernih Telinga Hidung : Normotia, simetris, liang sempit, serumen minimal, pus (-/-) : Bentuk normal, septum deviasi (-), pernafasan cuping hidung (-), sekret (+) bening Mulut : Bibir basah, lidah kotor (-) tonsil T1-T1 tenang, faring hiperemis (+)
LEHER Bentuk Trakhea KGB JVP : Simetris : Di tengah : Tidak membesar : Tidak meningkat
THORAKS Inspeksi : Bentuk simetris, retraksi intercostal (-), retraksi suprasternal (-), retraksi substernal (-), spider naevi (-) PARU
ANTERIOR KIRI Inspeksi Pergerakan pernafasan simetris KANAN Pergerakan pernafasan simetris Palpasi Fremitus taktil = kanan Perkusi Sonor Fremitus taktil = kiri Sonor KIRI Pergerakan pernafasan simetris Fremitus taktil = kanan Sonor POSTERIOR KANAN Pergerakan pernafasan simetris Fremitus taktil = kiri Sonor
Auskultasi
JANTUNG Inspeksi Palpasi Perkusi : Iktus kordis tidak terlihat : Iktus kordis teraba sela iga IV garis midclavicula sinistra : Batas atas sela iga II garis parasternal sinistra Batas jantung kanan sela iga IV garis parasternal dextra Batas jantung kiri sela iga IV garis midclavicula sinistra Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni, murmur (-), Gallop (-)
ABDOMEN Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi : Datar, simetris, venektasis (-) : Turgor kulit cukup, hepar dan lien tidak teraba. : Timpani, shifting dullness (-) : Bising usus normal.
EKSTREMITAS III. Superior Inferior : Oedem (-/-), Sianosis (-), ikterik (-) : Oedem (-/-), Sianosis (-), ikterik (-)
Pemeriksaan
Luas 5 Eutoni -
IV.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Hematologi 2) Imunologi dan Serologi Molekular Hasil Nilai Rujukan Virus tidak terdeteksi Satuan Copies/mL log 10 copies/mL
3) Kimia Darah V. Diagnosis Kerja 1. Suspek HIV + 2. Rhinofaringitis akut 3. Ibu dengan HIV +
VII. Penatalaksanaan 1. Cotrimoxazol 1 x 20 mg 2. Amoxicillin Sirup 3 x cth 3. Ibuprofen sirup 3 x 1 cth VII. Pemeriksaan Anjuran HIV 1 Real time PCR dalam 2 minggu VII. Prognosa ad Vitam ad Functionam ad Sanationam : Dubia ad bonam : Dubia ad bonam : Dubia ad bonam
Pembahasan
Dari anamnesis bahwa pasien memiliki orang tua yang HIV +, ayah pasien meninggal April 2013 karena komplikasi dari HIV, informasi dari ibu pasien bahwa penyakit HIV baru diketahui beberapa hari sebelum ayahnya meninggal karena baru di periksa VCT saat sudah dirawat di RSUD Jayapura. Maka itu ibu pasien juga diperiksa saat sedang hamil 8 bulan, kemudian hasilnya HIV + untuk ibu pasien. Diagnosis HIV + berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium.(4) Anamnesis yang mendukung kemungkinan adanya infeksi HIV ialah : 1. Lahir dari ibu resiko tinggi atau terinfeksi HIV Bayi-bayi yang terlahir dari ibu-ibu yang terinfeksi HIV akan tetap mempertahankan status seropositif hingga usia 18 bulan oleh karena adanya respon antibodi ibu yang ditransfer secara transplacental. Selama priode ini, hanya anak-anak yang terinfeksi HIV saja yang akan mengalami respon serokonversi positif pada pemeriksaan dengan enzyme immunoassays (EIA), immunofluorescent assays (IFA) atau HIV-1 antibody western blots (WB).(1) 2. Lahir dari ibu pasangan resiko tinggi atau terinfeksi HIV
Menyingkirkan Diagnosis HIV Pada Bayi dan Anak Diagnosis definitif infeksi HIV pada bayi dan anak membutuhkan uji diagnostik yang memastikan adanya virus HIV. Uji antibodi HIV mendeteksi adanya antibodi HIV yang diproduksi sebagai bagian respons imun terhadap infeksi HIV. Pada anak usia 18 bulan, uji antibodi HIV dilakukan dengan cara yang sama seperti dewasa. Antibodi HIV maternal yang ditransfer secara pasif selama kehamilan, dapat terdeteksi sampai umur anak 18 bulan oleh karena itu interpretasi hasil positif uji antibodi HIV menjadi lebih sulit pada usia < 18 bulan. Bayi yang terpajan HIV dan mempunyai hasil positif uji antibodi HIV pada usia 9-18 bulan dianggap berisiko tinggi mendapat infeksi HIV, namun diagnosis 8
definitif menggunakan uji antibodi HIV hanya dapat dilakukan saat usia 18 bulan. Untuk memastikan diagnosis HIV pada anak dengan usia < 18 bulan, dibutuhkan uji virologi HIV yang dapat memeriksa virus atau komponennya. Anak dengan hasil positif pada uji virologi HIV pada usia berapapun dikatakan terkena infeksi HIV. Anak yang mendapat ASI akan terus berisiko terinfeksi HIV, sehingga infeksi HIV baru dapat disingkirkan bila pemeriksaan dilakukan setelah ASI dihentikan > 6 minggu.
Diagnosis Bayi dan Anak < 18 Bulan, Status Ibu HIV Positif Dengan Hasil Uji Virus Awal Negatif dan Terdapat Tanda atau Gejala HIV Pada Kunjungan Berikutnya Pemeriksaan Fisik Tidak ditemukan tanda tanda kriteria klinis infeksi HIV
Pemeriksaan Laboratorium Hasil PCR HIV 1 tidak ditemukan virus viral load negative
TINJAUAN PUSTAKA
Infeksi HIV Infeksi Human immunodeficiency virus (HIV) pertama kali ditemukan pada anak tahun 1983 di Amerika Serikat, yang mempunyai beberapa perbedaan dengan infeksi HIV pada orang dewasa dalam berbagai hal seperti cara penularan, pola serokonversi, riwayat perjalanan dan penyebaran penyakit, faktor resiko, metode diagnosis, dan manifestasi oral.(8) Dampak acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) pada anak terus meningkat, dan saat ini menjadi penyebab pertama kematian anak di Afrika, dan peringkat keempat penyebab kematian anak di seluruh dunia. Saat ini World Health Organization (WHO) memperkirakan 2,7 juta anak di dunia telah meninggal karena AIDS. (8) Kasus pertama AIDS di Indonesia ditemukan pada tahun 1987 di Bali yaitu seorang warga negara Belanda. Sebenarnya sebelum itu telah ditemukan kasus pada bulan Desember 1985 yang secara klinis sangat sesuai dengan diagnosis AIDS dan hasil tes Elisa 3 (tiga) kali diulang, menyatakan positif, namun hasil Western Blot yang dilakukan di Amerika Serikat ialah negatif sehingga tidak dilaporkan sebagai kasus AIDS. Penyebaran HIV di Indonesia meningkat setelah tahun 1995. Berdasarkan pelaporan kasus HIV/AIDS dari tahun 1987 hingga 31 Desember 2008 terjadi peningkatan signifikan. Setidaknya, 2007 hingga akhir Desember 2008 tercatat penambahan penderita AIDS sebanyak 2.000 orang. Angka ini jauh lebih besar dibanding tahun 2005 ke 2006 dan 2006 ke 2007 yang hanya ratusan. Sedangkan dari
10
keseluruhan penderita, pada akhir 2008, AIDS sudah merenggut korban meninggal sebanyak 3.362 (20,87 persen), sedangkan mereka yang hidup adalah 12.748 (79,13 persen) orang. Untuk proporsi berdasarkan jenis kelamin hingga kini masih banyak diderita oleh kaum laki-laki yaitu 74,9 persen, dibanding perempuan sebanyak 24,6 persen. Fakta baru tahun 2002 menunjukkan bahwa penularan infeksi HIV di Indonesia telah meluas ke rumah tangga, sejumlah 251 orang diantara penderita HIV/AIDS di atas adalah anak-anak dan remaja, dan transmisi perinatal (dari ibu kepada anak) terjadi pada 71 kasus. (5), (8),(10) Transmisi HIV secara vertikal dari ibu kepada anaknya merupakan jalur tersering infeksi pada masa kanak-kanak, dan angka terjadinya infeksi perinatal diperkirakan sebesar 83% antara tahu 1992 sampai 2001. Di Amerika Serikat, infeksi HIV perinatal terjadi pada hampir 80% dari seluruh infeksi HIV pediatri. Infeksi perinatal sendiri dapat terjadi in-utero, selama periode peripartum, ataupun dari pemberian ASI, sedangkan transmisi virus melalui rute lain, seperti dari transfusi darah atau komponen darah relatif lebih jarang ditemukan. Selain itu, sexual abuse yang terjadi pada anak juga dapat menjadi penyebab terjadinya infeksi HIV, di mana hal ini lebih sering ditemukan pada masa remaja.(1),(2) Berbagai gejala dan tanda yang bervariasi dapat bermanifestasi dan ditemukan pada anak-anak yang sebelumnya tidak diperkirakan mengidap infeksi HIV harus menjadi suatu tanda peringatan bagi para petugas kesehatan, terutama para dokter untuk memikirkan kemungkinan terjadinya infeksi HIV. Gejala dan tanda-tanda yang mungkin terjadi meliputi infeksi bakteri yang berulang, demam yang sukar sembuh, diare yang sukar sembuh, sariawan yang sukar sembuh, parotitis kronis, pneumonia
11
berulang, lymphadenopati generalisata, gangguan perkembangan yang disertai failure to thrive, dan kelainan kulit kronis-berulang. Etiologi HIV Virus penyebab defisiensi imun yang dengan nama Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah suatu virus RNA dari famili Retrovirus dan subfamili Lentiviridae. Sampai sekarang baru dikenal dua serotype HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang juga disebut lymphadenopathy associated virus type-2 (LAV-2) yang hingga kini hanya dijumpai pada kasus AIDS atau orang sehat di Afrika,dan spektrum penyakit yang ditimbulkannya belum banyak diketahui. HIV-1, sebagai penyebab sindrom defisiensi imun (AIDS) tersering, dahulu dikenal juga sebagai human T cell-lymphotropic virus type III (HTLV-III), lymphadenipathy-associated virus (LAV) dan AIDS-associated virus.(4) Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas kesepakatan internasional pada tahun 1986 nama virus dirubah menjadi HIV.(9) Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam bentuknya yang asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T, karena ia mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan selama hidup penderita tersebut. (9) 12
Secara mortologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan bagian selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian RNA (Ribonucleic Acid). Enzim reverce transcriptase dan beberapa jenis prosein. Bagian selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp 120 akan berikatan dengan reseptor CD4, yaitu suatu reseptor yang terdapat pada permukaan sel T helper, makrofag, monosit, sel-sel langerhans pada kulit, sel-sel glial, dan epitel usus (terutama sel-sel kripta dan sel-sel enterokromafin). Sedangkan gp 41 atau disebut juga protein transmembran, dapat bekerja sebagai protein fusi yaitu protein yang dapat berikatan dengan reseptor sel lain yang berdekatan sehingga sel-sel yang berdekatan tersebut bersatu membentuk sinsitium. Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV termasuk virus sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan mudah dimatikan dengan berbagai disinfektan seperti eter, aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan sebagainya, tetapi telatif resisten terhadap radiasi dan sinar utraviolet. (9) Virus HIV hidup dalam darah, savila, semen, air mata dan mudah mati diluar tubuh. HIV dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrotag dan sel glia jaringan otak. (9) Patofisologi Infeksi HIV Sistem imun manusia sangat kompleks, kerusakan pada salah satu komponen sistem imun akan mempengaruhi sistem imun secara keseluruhan. HIV menginfeksi sel T helper yang memiliki reseptor CD4 di permukaannya, makrofag, sel dendritik, organ limfoid. Fungsi penting sel T helper antara lain menghasilkan zat kimia yang berperan sebagai stimulasi pertumbuhan dan pembentukan sel-sel lain dalam sistem
13
imun dan pembentukan antibodi, sehingga penurunan sel T CD4 menurunkan imunitas dan menyebabkan penderita mudah terinfeksi.(8) Ketika HIV masuk melalui mukosa, sel yang pertama kali terinfeksi ialah sel dendritik. Kemudian sel-sel ini menarik sel-sel radang lainnya dan mengirim antigen tersebut ke sel-sel limfoid. HIV mempunyai target sel utama yaitu sel limfosit T4, yang mempunyai reseptor CD4. Setelah masuk ke dalam tubuh, HIV akan menempel pada sel yang mempunyai molekul CD4 pada permukaannya. Molekul CD4 ini mempunyai afinitas yang sangat besar terhadap HIV, sehingga limfosit CD4 dihasilkan dan dikirim ke sel limfoid yang peka terhadap infeksi HIV. Limfositlimfosit CD4 yang diakumulasikan di jaringan limfoid akan tampak sebagai limfadenopati dari sindrom retrovirus akut yang dapat terlihat pada remaja dan orang dewasa. HIV akan menginfeksi sel CD4 yang sangat berespon terhadapnya sehingga kehilangan respon dan kontrol pertumbuhan terhadap HIV. Ketika replikasi virus melebihi batas (biasanya 3-6 minggu sejak infeksi) akan terjadi viremia yang tampak secara klinis sebagai flulike syndrome (demam, rash, limfadenopati, atrhralgia) terjadi 50-70% pada orang dewasa. Dengan terbentuknya respon imun humoral dan seluler selama 2-4 bulan, muatan virus dalam darah mengalami penurunan secara substansial, dan pasien memasuki masa dengan gejala yang sedikit dan jumlah CD4 yang meningkat sedikit. (1) Replikasi HIV-1 permulaan pada anak tidak menunjukkan adanya manifestai klinis pada anak. Walaupun di tes dengan menggunakan PCR atau isolasi virus untuk sequence asam nukleat dari virus, hanya <>(1) Beberapa mekanisme yang diduga berhubungan dengan turunnya kadar CD4 pada orang dewasa dan anak-anak ialah mekanisme-mekanisme dari HIV-mediated 14
single cell killing, formasi multinukleus dari sel giant pada CD4 baik yang terinfeksi maunpun yang tidak (formasi syncytia), respon imun spesifik untuk virus (sel natural killer, sitotoksisitas seluer tergantung antibodi), aktivasi mediasi superantigen sel T (membuat sel T lebih peka terhadap HIV), autoimun dan apoptosis.(1) Tiga pola penyakit ditemukan pada anak-anak. Tepatnya 15-25% bayi baru lahir yang terinfeksi HIV pada negara berkembang muncul dengan perjalanan penyakit yang cepat, dengan gejala dan onset AIDS dalam beberapa bulan pertama kehidupan, median waktu ketahanan hidup ialah 9 bulan jika tidak diobati. Pada negara miskin, mayoritas bayi baru lahir akan mengalami perjalanan penyakit seperti ini. Telah diketahui bahwa infeksi intrauterin bertepatan dengan periode pertumbuhan cepat CD4 pada janin. Migrasi yang normal dari sel-sel ini menuju ke sumsum tulang, limpa, dan timus yang menghasilkan penyebaran sistemik HIV, tidak dapat dicegah oleh sistem imun yang imatur dari janin. Infeksi dapat terjadi sebelum pembentukan ontogenik normal sel imun, yang mengakibatkan gangguan dari imunitas. Anak-anak dengan keadaan seperti ini menunjukkan hasil tes PCR yang positif (nilai median 11.000 kopi/ml) pada 48 jam pertama kehidupan. Bukti ini menunjukkan terjadinya infeksi inuterin. Muatan virus akan terus meningkat dalam 2-3 bulan (750000kopi/ml) dan menurun secara perlahan. Berbeda dengan orang dewasa bahwa muatan virus pada anak-anak tetapi tinggi selama 1-2 tahun pertama. (1) Infeksi perinatal mayoritas yang terjadi di negara berkembang (60-80%) mengalami pola penyakit yang kedua ini, yang mempunyai perjalanan penyakit yang lebih lambat, dengan median ketahanan hidup selama 6 tahun. Banyak pasien dengan penyakit ini memiliki tes kultur yang negatif dalam 1 minggu pertama kehidupan dan dipertimbangkan sebagai pasien bayi yang terinfeksi intrapartum. Pada pasien mauatn
15
virus akan meningkat dengan cepat dalam 2-3 bulan pertama kehidupan (median 100.000 kopi/ml) dan menurun secara lambat setelah 24 bulan. Ini berbeda dengan orang dewasa dimana muatan virus berkurang dengan cepat setelah infeksi primer. (1) Pola ketiga dari perjalanan penyakit (long-term suvivors) muncul dalam jumlah kecil (<5%) style="">host, dan infeksi virus yang cacat (adanya defek pada gen virus). (1) Perubahan sistem imun anak-anak karena infeksi HIV akan menyerupai infeksi HIV pada orang dewasa. Penurunan sel T akan kurang dramatis disebabkan karena pada bayi terjadi limfositosis relatif. Sebagai contoh, jumlah CD4 1.500 sel/mm3 pada anak <1>(1) Aktivasi sel B muncul pada infeksi awal pada kebanyakan anak sebagai bukti hipergammaglobulinemia dengan kadar antibodi anti-HIV-1 yang tinggi. Respon ini memperlihatkan adanya disregulasi dari supresi sel T dari sintesis antibodi sel B dan peningkatan jumlah CD4 aktif dari respon humoral sel limfosit B. Disregulasi dari sel B mendahului berkurangnya CD4 pada kebanyaka anak, dan dapat berguna sebagai alat bantu diagnosis infeksi HIV pengganti bila tes diagnosis spesific (PCR, kultur) tidak ada atau terlalu mahal. Meskipun peningkatan kadar imunoglobulin, bukti dari produksi antibodi spesifik tidak muncul pada beberapa anak. Hipogamaglobulinemia sangat jarang. (1) Pengaruh terhadap sistem saraf pusat lebih sering terjadi pada anak-anak dibandingkan orang dewasa. Makrofag dan mikroglia mempunyai peran penting dalam dalam neuropatogenesis HIV, dan dari data dilaporkan astrosit juga dapat berpengaruh. Meskipun mekanisme pada sistem saraf pusat belum begitu jelas, pertumbuhan otak pada bayi muda dipengaruhi 2 mekanisme, yaitu virus itu sendiri 16
yang dapat menginfeksi bermacam-macam sel otak secara langsung ,atau secara tidak langsung dengan cara mengeluarkan sitokin (IL-1, IL-1b, TNF- , IL-2) atau oksigen reaktif dari limfosit atau makrofag yang terinfeksi HIV. (1) Perjalanan Penyakit Perjalanan alamiah infeksi HIV dapat dibagi dalam tahapan sebagai berikut :
Infeksi HIV/AIDS simtomatik (rata-rata 1,3 tahun) Kematian Bagan 1 Perjalanan penyakit alamiah infeksi HIV(7)
Kejadian awal yang timbul setelah infeksi HIV disebut Sindrom retroviral akut atau Acute Retroviral Syndrome. Sindrom retroviral akut diikuti oleh penurunan CD4 dan
17
peningkatan kadar RNA HIV dalam plasma (viral load). Hitung CD4 perlahan-lahan akan menurun dalam beberapa tahun dengan laju penurunan CD4 yang lebih cepat pada 1,5-2,5 tahun sebelum pasien jatuh dalam keadaan AIDS. Viral load akan meningkat dengan cepat pada awal infeksi dan kemudian turun sampai titik tertentu. Dengan berlanjutnya infeksi, viral load secara perlahan akan meningkat. Pada fase akhir penyakit akan ditemukan hitung sel CD4<200/mm3, diikuti timbulnya infeksi opportunistik, munculnya kanker tertentu, berat badan menurun, dan munculnya komplikasi neurologis. Tanpa obat ARV rata-rata kemampuan bertahan setelah CD4 turun <>3 ialah 3,7 tahun. (7) Window period adalah masa dimana pemeriksaan tes serologis untuk antibodi HIV masih menunjukka hasil negatif sementara sebenarnya virus sudah ada dalam jumlah banyak dalam darah penderita. Window period menjadi hal yang penting untuk diperhatikan karena pada masa itu orang dengan HIV sudah mampu menularkan kepada orang lain misalnya melalui darah yang didonorkan, bertukar jarum suntik pada IDU atau melalui hubungan seksual. Sebenarnya pada saat itu pemeriksaan laboratorium telah mampu mendeteksinya karena pada window period terdapat peningkatan kadar antigen p24 secara bermakna. (7) Manifestasi Klinik Manifestasi klinis infeksi bervariasi antara bayi, anak-anak dan remaja. Pada kebanyakan bayi pemeriksaan fisik biasanya normal. Gejala inisial dapat sangat sedikit, seperti limfadenopati, hepatosplenomegali, atau yang tidak spesifik seperti kegagalan untuk tumbuhm diare rekuren atau kronis, pneumonia interstitial. Di Amerika dan Eropa sering terjadi gangguan paru-paru dan sistemik, sedangkan di Afrika lebih sering terjadi diare dan malnutrisi. (1) 18
Terdapat berbagai klasifikasi klinis HIV/AIDS 2 diantaranya menurut enter for Disease Control and Prevention (CDC) dan World Health Organization (WHO). Klasifikasi HIV menurut CDC pada anak menggunakan 2 parameter yaitu status klinis dan derajat gangguan imunologis, lihat tabel 2.1 dan tabel 2.2.
KATEGORI IMUNOLOGIS JUMLAH CD4+ DAN PERSENTASI TOTAL LIMFOSIT EFINISI STATUS TERHADAP USIA IMUNOLOGIS <> L 1. Nonsuppressed 2. Moderate suppression 3. Severe suppression 1500 750-1499 <> % 25 15-24 <15 1-5 tahun L 1000 500-999 <> % 25 15-24 <15 6-12 tahun L 500 200-499 <> % 25 15-24 <15
Tabel 1 Klasifikasi HIV pada Anak Kurang dari 13 Tahun Berdasarkan Jumlah CD4 dan Persentasi Total Limfosit Terhadap Usia(1),(2)
19
Klasifikasi Secara Klinis N : Tanpa Gejala dan Tanda 1. Nonsuppressed 2. Moderate suppression 3. Severe suppression N1 A2 A3 A : Gejala dan Tanda Ringan A1 C2 C3 B : Gejala C : Gejala dan Tanda Sedang B1 B2 B3 dan Tanda Berat C1 C2 C3
Tabel 2 Klasifikasi HIV menurut CDC pada Anak Kurang dari 13 Tahun Secara Klinis(1)
Kriteria klinis untuk infeksi HIV pada anak-anak kurang dari 13 tahun. (1),(7) Kategori N : pasien-pasien asimptomatik. Tidak ditemukan tanda maupun gejala yang menunjukkan adanya infeksi HIV, atau pasien hanya dapat ditemukan satu bentuk kelainan berdasarkan kategori A. Kategori A : pada pasien dapat ditemukan dua atau lebih kelainan, tetapi tidak termasuk kategori B atau C : o Lymphadenopathy ( 0.5 cm pada dua tempat atau lebih, dua KGB yang bilateral dianggap sebagai satu kesatuan). o Hepatomegali o Splenomegali o Dermatitis 20
o Parotitis o URTI berulang atau persisten Kategori B: moderately symptomatic. Pasien menunjukkan gejala-gejala yang tidak termasuk ke dalam keadaan-keadaan pada kategori A maupun C, dan gejalagejala yang terjadi merupakan akibat dari terjadinya infeksi HIV o Anemia o Meningitis bakterial, pneumonia, atau sepsis (terjadi dalam satu episode). o Candidiasis orofaring yang terjadi lebih dari dua bulan pada anak-anak berusia enam bulan atau kurang. o Kardiomiopati.
o Infeksi CMVyang terjadi lebih dari satu bulan. o Diare o Hepatitis o Stomatitis yang disebabkan oleh HSV (rekuren, minimal terjadi 2 kali dalam satu tahun). o Bronkitis yang disebabkan oleh HSV, pneumonitis, atau esofagitis yang terjadi sebelum usia satu bulan. o Herpes zoster yang terjadi dalam dua episode berbeda pada satu dermatom. o Leiomyosarcoma o Pneumonia limfoid interstitiel, atau hiperplasia kelenjar limfoid pulmonal kompleks. o Nefropati. 21
o Nocardiosis. o Demam yang berlangsung selama satu bulan atau lebih. o Toksoplasmosis yang timbul sebelum usia satu bulan. o Varicella diseminata atau dengan komplikasi. Kategori C: pasien-pasien dengan gejala-gejala penyakit yang parah dan ditemukan pada pasien AIDS. (1),(7) o Kandidiasis bronki, trakea, dan paru o Kandidiasis esofagus o Kanker leher rahim invasif o Coccidiomycosis menyebar atau di paru o Kriptokokus di luar paru o Retinitis virus sitomegalo o Ensefalopati yang berhubungan dengan HIV o Herpes simpleks dan ulkus kronis > 1 bulan o Bronkhitis, esofagitis dan pneumonia o Histoplasmosis menyebar atau di luar paru o Isosporiasi intestinal kronis > 1 bulan o Sarkoma Kaposi o Limfoma Burkitt o Limfoma imunoblastik o Limfoma primer di otak 22
o Mycobacterium Avium Complex (MAC) atau M. Kansasii tersebar di luar paru o M. Tuberculosis dimana saja o Ikobacterium jenis lain atau jenis yang tidak dikenal tersebar atau di luar paru o Pneumonia Pneumoncystitis carinii o Pneumonia berulang o Leukoensefalopati multifokal progresif o Septikemia salmonella yang berulang o Toksoplasmosis di otak Sedangkan klasifikasi WHO pada anak ialah :(11) Stadium Klinis 1 Stadium Klinis 2 (Ringan) Hepatosplenomegaly persisten tanpa alasani Erupsi papular pruritis Infeksi virus kutil yang luas Moluskum kontagiosum yang luas Infeksi jamur di kuku Ulkus mulut yang berulang Pembesaran parotid persisten tanpa alasan 23 Tanpa gejala (asimtomatis) Limfadenopati generalisata persisten
Eritema lineal gingival (LGE) Herpes zoster Infeksi saluran napas bagian atas yang berulang atau kronis (ototis media, otore, sinusitis, atau tonsilitis)
Stadium Klinis 3 (Sedang) Malanutrisi sedang tanpa alasan jelas tidak membaik dengan terapi baku Diare terus-menerus tanpa alasan (14 hari atau lebih) Demam terus-menerus tanpa alasan (di atas 37,5C, sementara atau terusmenerus, lebih dari 1 bulan) Kandidiasis oral terus-menerus (setelah usia 6-8 minggu) Oral hairy leukoplakia (OHL) Gingivitis atau periodonitis nekrotising berulkus yang akut Tuberkulosis pada kelenjar getah bening Tuberkulosis paru Pneumonia bakteri yang parah dan berulang Pneumonitis limfoid interstitialis bergejala Penyakit paru kronis terkait HIV termasuk brokiektasis Anemia (<8g/dl)
24
Stadium Klinis 4 (Berat) Toksoplasmosis sistem saraf pusat (setelah usia 1 bulan) Ensefalopati HIV Infeksi sitomegalovirus: retinitis atau infeksi CMV yang mempengaruhi organ lain, yang mulai pada usia lebih dari 1 bulan) Kriptokokosis di luar paru (termasuk meningitis) Mikosis diseminata endemis (histoplasmosis luar paru, kokidiomikosis) Kriptosporidiosis kronis Isosporiasis kronis Infeksi mikobakteri non-TB diseminata Limfoma serebral atau non-Hodgkin sel-B Progressive multifocal leucoencephalopathy (PML) Nefropati bergejala terkait HIV atau kardiomiopati bergejala terkait HIV(11)
Catatan: a. Tanpa alasan berarti keadaan tidak dapat diakibatkan oleh alasan lain. b. Beberapa penyakit khusus yang juga dapat dimasukkan pada klasifikasi wilayah (misalnya penisiliosis di Asia)
25
Diagnosis Seperti penyakit lain, diagnosis HIV lain juga ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium.(4) Anamnesis yang mendukung kemungkinan adanya infeksi HIV ialah : 3. Lahir dari ibu resiko tinggi atau terinfeksi HIV Bayi-bayi yang terlahir dari ibu-ibu yang terinfeksi HIV akan tetap mempertahankan status seropositif hingga usia 18 bulan oleh karena adanya respon antibodi ibu yang ditransfer secara transplacental. Selama priode ini, hanya anak-anak yang terinfeksi HIV saja yang akan mengalami respon serokonversi positif pada pemeriksaan dengan enzyme immunoassays (EIA), immunofluorescent assays (IFA) atau HIV-1 antibody western blots (WB).(1) 4. Lahir dari ibu pasangan resiko tinggi atau terinfeksi HIV 5. Penerima transfusi darah atau komponennya dan tanpa uji tapis HIV 6. Penggunaan obat parenteral atau intravena secara keliru (biasanya pecandu narkotika) 7. Kebiasaan seksual yang keliru, homoseksual atau biseksual.(4) Menyingkirkan Diagnosis HIV Pada Bayi dan Anak Diagnosis definitif infeksi HIV pada bayi dan anak membutuhkan uji diagnostik yang memastikan adanya virus HIV. Uji antibodi HIV mendeteksi adanya antibodi HIV yang diproduksi sebagai bagian respons imun terhadap infeksi HIV. Pada anak usia 18 bulan, uji antibodi HIV dilakukan dengan cara yang sama seperti dewasa.
26
Antibodi HIV maternal yang ditransfer secara pasif selama kehamilan, dapat terdeteksi sampai umur anak 18 bulan oleh karena itu interpretasi hasil positif uji antibodi HIV menjadi lebih sulit pada usia < 18 bulan.
Bayi yang terpajan HIV dan mempunyai hasil positif uji antibodi HIV pada usia 9-18 bulan dianggap berisiko tinggi mendapat infeksi HIV, namun diagnosis definitif menggunakan uji antibodi HIV hanya dapat dilakukan saat usia 18 bulan.
Untuk memastikan diagnosis HIV pada anak dengan usia < 18 bulan, dibutuhkan uji virologi HIV yang dapat memeriksa virus atau komponennya.
Anak dengan hasil positif pada uji virologi HIV pada usia berapapun dikatakan terkena infeksi HIV.
Anak yang mendapat ASI akan terus berisiko terinfeksi HIV, sehingga infeksi HIV baru dapat disingkirkan bila pemeriksaan dilakukan setelah ASI dihentikan > 6 minggu. Gejala klinis yang sesuai dengan penjelasan sebelumnya, pada bagian
manifestasi klinis. Sedangkan untuk diagnostik pasti dikerjakan pemeriksaan laboratorium.(4) Tes untuk mendiagnosis virus harus dilakukan dalam 48 jam kehidupan pertama. Hampir 40% bayi dapat didiagnosis pada masa ini. Disebabkan karena banyak bayi yang terinfeksi HIV mempunyai perkembangan penyakit yang cepat sehingga memerlukan terapi yang progresif pula. Pada anak yang terpapar HIV dengan tes virologis yang negatif pada 2 hari pertama, beberapa pendapat
27
mengusulkan perlu untuk dilakukan pemeriksaan kembali pada hari ke-14 untuk memaksimalkan deteksi dari virus ini.(1) Terdapat beberapa tes HIV yang cepat dengan sensitivitas dan spesifisitas yang baik. Kebanyakan dari tes-tes ini hanya membutuhkan satu step pengambilan sampel dan hasilnya didapat lebih cepat (< style=""> pada 2 hari pertama kehidupan, dan > 90% pada usia > 2 minggu kehidupan. Uji RNA HIV plasma, yang mendeteksi replikasi virus lebih sensitif daripada PCR DNA untuk diagnosis awal, namun data yang menyatakan seperti itu masih terbatas. Kultur HIV mempunyai sensitivitas yang hampir sama dengan PCR HIV DNA, namun tekniknya lebih sulit dan mahal, dan hasilnya sulit didapat pada beberapa minggu, dibandingkan dengan PCR yang membutuhkan hanya 2-3 hari. Uji antigen p24 bersifat lebih spesifik dan mudah untuk dilakukan namun kurang sensitif dibandingkan dengan uji virologis lainnya, dan tidak direkomendasikan untuk usia.1 Seorang bayi yang terpapar oleh virus HIV dapat dinyatakan positif terinfeksi HIV jika pada pemeriksaan serologis dari 2 (dua) sampel darah yang berbeda pada bayi (tidak termasuk darah yang berasal dari pusat, karena adanya risiko terkontaminasi oleh darah ibu); baik dua kali hasil positif pada pemeriksaan kultur HIV darah perifer untuk sel-sel mononuklear (peripheral blood mononuclear cell (PMBC)), dan/atau satu hasil positif untuk DNA atau RNA polymerase chain reaction (PCR) assay dan satu hasil postif pada kultur PMBC HIV. Pemeriksaan-pemeriksaan terebut harus dilakukan pada dua waktu yang berlainan pada bayi-bayi yang belum pernah diberi ASI sebelumnya. (1)
28
Seorang bayi yang terlahir dari seorang ibu pengidap infeksi HIV dapat dinyatakan tidak terinfeksi HIV jika tes-tes di atas tetap memberikan hasil negatif sampai usia bayi lebih dari empat bulan dan bayi tidak mendapat ASI. (1)
Bagan 2. Diagnosis HIV Pada Bayi dan Anak < 18 bulan Dengan status HIV Ibu tidak diketahui
29
Bagan 3. Diagnosis HIV Pada Bayi dan Anak < 18 Bulan dan Mendapatkan Asi
Bagan 4. Diagnosis Bayi dan Anak < 18 Bulan, Status Ibu HIV Positif Dengan Hasil Uji Virus Awal Negatif dan Terdapat Tanda atau Gejala HIV Pada Kunjungan Berikutnya
30
Tabel 3 Penegakkan Diagnosis Presumptif Hiv Pada Bayi dan Anak < 18 Bulan dan Terdapat Tanda/Gejala Hiv Yang Berat
31
Penatalaksanaan Terapi Anti Retroviral (ARV) Terapi saat ini tidak dapat mengeradikasi virus namun hanya untuk mensupres virus untuk memperpanjang waktu dan perubahan perjalanan penyakit ke arah yang kronis. Pengobatan infeksi virus HIV pada anak dimulai setelah menunjukkan adanya gejala klinis. Gejala klinis menurut klasifikasi CDC. Pengobatan ARV diberikan dengan pertimbangan : (1),(7) 1. Adanya bukti supresi imun yang ditandai dengan menurunnya jumlah CD4 atau persentasenya. (7) 2. Usia 3. Bagi anak berusia > 1 tahun asimtomatis dengan status imunologi normal, terdapat 2 pilihan : a. Awali pengobatan tidak bergantung kepada gejala klinis. b. Tunda pengobatan pada keadaan resiko progresifitas perjalanan penyakit rendah atau adanya faktor lain misalnya pertimbangan lamanya respon pengobatan, keamanan dan kepatuhan. Pada kasus seperti ini faktor lain yang harus dipertimbangkan ialah : (7) 1. Peningkatan viral load 2. Penurunan dengan cepat CD4 baik jumlah atau presentasi supresi imun (Kategori Imun 2 pada tabel 2.1) 3. Timbulnya gejala klinis(7)
32
Keputusan untuk memberikan terapi antiretrovirus harus memenuhi kriteria sebagai berikut : (7) 1. Tes HIV secara sukarela disertai konseling yang mudah dijangkau untuk mendiagnosis HIV secara dini. 2. Tersedia dana yang cukup untuk membiayai Anti Retrovirus Terapi (ART) selama sedikitnya 1 tahun 3. Konseling bagi pasien dan pendamping untuk memberikan pengertian tentang ART, pentingnya kepatuhan pada terapi, efek samping yang mungkin terjadi, dll. 4. Konseling lanjutan untuk memberi dukungan psikososial dan mendorong kepatuhan serta untuk menghadapi masalah nutrisi yang dapat timbul akibat ART 5. Laboratorium untuk memantau efek samping obat termasuk Hb, tes fungsi hati, dll. 6. Kemampuan untuk mengenal dan menangani penyakit umum dan infeksi oportunistik akibat HIV 7. Tersedianya obat yang bermutu dengan jumlah yang cukup, termasuk obat untuk infeksi oportunistik dan penyakit yang berhubungan dengan HIV. 8. Tersedianya tim kesehatan termasuk dokter, perawat, konselor, pekerja sosial, dukungan sebaya. Tim ini seharusnya membantu pembentukan kelompok dukungan Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) dan pendampinya. 9. Adanya pelatihan, pendidikan berkelanjutan, pemantauan dan umpan balik tentang penatalaksanaan penyakit HIV yang efektif termasuk sistem untuk
menyebarluaskan informasi dan pedoman baru. 10. Obat ARV digunakan secara rasional sesuai pedoman yang berlaku. (7)
33
Perjalanan penyakit infeksi HIV dan penggunaan ART pada anak adalah serupa dengan orang dewasa tetapi ada beberapa pertimbangan khusus yang dibutuhkan untuk bayi, balita, dan anak yang terinfeksi HIV.(7) Efek obat berbeda selama transisi dari bayi ke anak. Oleh karena itu dibutuhkan perhatian khusus tentang dosis dan toksisitas pada bayi dan anak. Kepatuhan berobat pada anak menjadi tantangan tersendiri. (7) Terapi ARV memberi manfaat klinis yang bermakna pada anak yang terinfeksi HIV yang menunjukkan gejala. Uji klinis terhadap anak sudah menunjukkan bahwa ART memberi manfaat serupa dengan pemberian ART pada orang dewasa. (7) Saat ini ada 3 (tiga) golongan ART yang tersedia di Indonesia: (7) 1. Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTIs): Obat ini dikenal sebagai analog nukleosida yang menghambat proses perubahan RNA virus menjadi DNA. Proses ini diperlukan agar virus dapat bereplikasi. Obat dalam golongan ini termasuk Zidovudine (AZT), Lamivudine (3TC), Didanosine (ddl), Stavudine (d4T), Zalcitabin (ddC), Abacavir (ABC). (7) 2. Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI): obat ini berbeda dengan NRTI walaupun juga menghambat proses perubahan RNA menjadi DNA. Obat dalam golongan ini termasuk nevirapine (NVP), Efavirenz (EFV), dan Delavirdine (DLV). (7) 3. Protease Inhibitor (PI): Obat ini bekerja menghambat enzim protease yang memotong rantai panjang asam amino menjadi protein yang lebih kecil. Obat dalam golongan ini termasuk Indinavir (IDV), Nelfinavir (NFV), Saquinavir (SQV), Ritonavir (RTV), Amprenavir (APV), dan Lopinavir/ritonavir (LPV/r).(7)
34
Regimen obat yang diusulkan di Indonesia ialah : Salah satu dari Kolom A dan salah satu kombinasi dari Kolom B Kolom A Nevirapine (NVP) Nelfinavir (NVF) Kolom B AZT + ddl ddl+3TC d4T + ddl AZT + 3TC d4T + 3TC Tabel 2.3 Regimen ART yang diusulkan di Indonesia(7) Untuk neonatus, regimen obat yang diberikan berupa 2 nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTIs) atau nevirapine dengan 2NRTIs atau protease inhibitor dengan 2NRTIs. Selain itu, juga direkomendasikan pemberian zidovudine dengan didanosine atau zidovudine dengan lamivudine dikombinasi dengan nelfinavir atau ritonavir. Untuk bayi-bayi yang lebih tua dan anak-anak, direkomendasikan beberapa regimen antiretroviral. Protease inhibitor sebagai pilihan utama dengan 2NRTIs. Nonnucleoside reverse transcriptase inhibitor yang paling direkomendasikan untuk anak-anak berusia lebih dari tiga tahun adalah 2NRTIs dengan efavirenz (dapat disertai dengan atau tanpa protease inhibitor). Untuk anak-anak berusia kurang dari tiga tahun yang belum dapat mendapat tablet, regimen nonnucleoside terpiliih adalah 35
2NRTIs dengan nevirapine. Alternatif pemberian regimen terapi nucleoside analogue adalah zidovudine dengan lamivudine dan abacavir. Pemantauan pengobatan Pemantauan pengobatan diperlukan untuk melihat : (7) 1. Kepatuhan minum obat. 2. Gejala baru yang timbul akibat efek samping obat maupun dari perjalanan penyakit itu sendiri. Pemantauan sebaiknya dilakukan setelah 1 bulan pengobatan dimulai dan selanjutnya setiap 3 bulan sekali. Pemantauan keberhasilan dan toksisitas ART: (7) 1. Secara klinis a. Berat badan meningkat b. Tidak kena infeksi opportunistik, atau kalau pun terkena, infeksi tidak berat c. Anamnesis gejala yang berhubungan dengan HIV seperti batuk lebih dari 2 minggu, demam, diare, dll disertai pemeriksaan fisik. 2. Pemeriksaan laboratorium Tes darah rutin termasuk tes darah lengkap, SGOT/SGPT, kreatinin, gula darah, kolesterol dan trigliserid dibutuhkan untuk memantau efek samping obat dan perjalanan penyakit. Jenis tes yang dibutuhkan bergantung pada regimen obat yang digunakan. Tes jumlah CD4 setiap 6 bulan sekali diperlukan untuk menentukan kapan profilaksis dapat dihentikan. Bila tes ini belum dapat dilakukan maka dapat dipakai hitung limfosit total. (7) Indikasi untuk Mengganti Regimen atau Berhenti ART
36
Mengganti regimen akibat toksisitas obat dapat dilakukan degan mengganti satu atau lebih obat dari golongan yang sama dengan obat yang dicurigai mengakibatkan toksisitas. (7) Mengganti terapi akibat kegagalan, untuk hal ini terdapat kriteria khusus untuk penggantian terapi menjadi regimen yang baru secara keseluruhan (masing-masing obat dalam kombinasi diganti dengan yang baru) atau penghentian terapi penggantian atau penghentian dilakukan apabila : (7) 1. ODHA pernah menerima regimen yang sama sekali tidak efektif lagi misalnya monoterapi atau terapi dengan 2 nukleosida Nucleosida reverse transcriptase inhibitor (NRTI) 2. Viral load masih terdeteksi setelah 4-6 bulan terapi, atau bila viral load menjadi terdeteksi kembali setelah beberapa bulan tidak terdeteksi. 3. Jumlah CD4 terus-menerus menurun setelah dites 2 kali dengan interval beberapa minggu 4. Infeksi opportunistik dengan immune reconstitution syndrome/sindrom pemulihan kembali kekebalan. (7) Asuhan Gizi Asuhan gizi merupakan komponen penting dalam perawatan individu yang terinfeksi HIV. Mereka akan mengalami gangguan pertumbuhan dan penurunan berat badan dan hal ini berkaitan dengan kurang gizi. Penyebabnya multifaktorial antara lain karena anoreksia, gangguan penyerapan sari makanan pada saluran cerna, hilangnya cairan tubuh akibat diare dan muntah, dan gangguan metabolisme. Jika seseorang dengan HIV mempuyai status gizi yang baik maka daya tahan tubuh akan lebih baik sehingga menghambat memasuki tahap AIDS. (7) 37
Asuhan gizi dan terapi gizi bagi ODHA sangat penting bagi mereka yang mengkonsumsi ARV. Makanan yang dikonsumsi mempengaruhi penyerapan ARV dan obat infeksi opoortunistik dan juga sebaliknya, sehingga mmerlukan pengaturan diet seperti obat ARV dimakan ketika saat lambung kosong. (7) Prinsip gizi medis pada ODHA ialah tinggi kalori tinggi protein (TKTP) diberikan secara oral, juga kaya vitamin meneral dan cukup air. Berdasarkan beberapa penelitian, pemberian stimulan nafsu makan, seperti megestrol acetate dan human recombinant growth hormone dapat memberikan kenaikan berat badan dan pertumbuhan. (7) Seiring dengan berkembangnya penyakit, akan terjadi penurunan berat badan yang sangat drastis (drastic wasting) dan terhambatnya pertumbuhan anak. Berkurangnya cadangan protein dapat diatasi dengan meningkatkan intake asam amino, terutama threonine dan methionine. (7) Bayi yang lahir dari ibu HIV tidak boleh diberi ASI ibunya, sehingga bayi diberikan pengganti air susu ibu (PASI). Namun dalam keadaan tertentu dimana pemberian PASI tidak memungkinkan dan bayi akan jatuh ke dalam kurang gizi, ASI masih dapat diberikan dengan cara diperas dan dihangatkan terlebih dahulu pada suhu di atas 66OC untuk membunuh virus HIV. (7) Rekomendasi terkait menyusui untuk ibu dengan HIV adalah sebagai berikut : 1. Menyusui bayinya secara eksklusif selama 4-6 bulan untuk ibu yang tidak terinfeksi atau ibu yang tidak diketahui status HIV-nya. 2. Ibu dengan HIV positif dianjurkan untuk tidak memberikan ASI dan sebaliknya memberikan susu formula (PASI) atau susu sapi atau kambing yag diencerkan.
38
3. Bila PASI tidak memungkinkan disarankan pemberian ASI eksklusif selama 4-6 bulan kemudian segera dihentikan untuk diganti dengan PASI. (7) Prognosis Viremia plasma dan hitung limfosit CD4 sesuai usia dapat menentukan resiko perjalanan penyakit dan komplikasi HIV. Prognosis yang buruk pada infeksi perinatal berhubungan dengan terjadinya encephalofati, infeksi, perkembangan menjadi AIDS lebih awal, dan berkurangnya jumlah limfosit CD4 yang cepat. Tanpa terapi, kurang lebih 30% bayi yang terinfeksi berkembang menjadi gejala klinis berat kategori C atau kematian dalam 1 tahun kehidupan. Dengan terapi yang optimal angka mortalitas dan morbiditas menjadi rendah.(2) Pencegahan Edukasi dan konseling pasien yang terdeteksi terinfeksi HIV. Infeksi HIV yang muncul pada wanita biasanya karena pengguna obat-obatan dan pasangan seksual laki-laki yang resiko tinggi. Sehingga dibutuhkan pendidikan seks yang baik dan sehat. Konseling juga jangan hanya membahas tentang modifikasi stress namun juga memodifikasi perubahan gaya hidup melalui pesan-pesan budaya dan religi.(3) Perlu dilakukan uji tapis serologis bagi darah pendonor dan pengawasan serta perlakuan yang lebih ketat bagi bahan-bahan yang berasal dari darah, terutama yang akan diberikan pada anak yang perlu mendapat transfusi atau pemberian bahan yang berasal dari darah berulang-ulang atau daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi.(4) Program pendidikan kesehatan reproduksi untuk remaja, perlu dipikirkan strategi penerapannya di sekolah dan akademi dan untuk remaja yang berada di luar sekolah.(5)
39
Transmisi vertical dapat dicegah dengan memberikan terapi antiretrovirus pada ibu selama kehamilan dan memberikan profilaksis pada bayinya yang baru lahir. Wanita hamil yang terinfeksi HIV sebaiknya diberikan terapi kombinasi 3 (tiga) obat. Terapi kombinasi dapat membuat supresi virus(2)
HIV PADA IBU HAMIL HIV berarti virus yang dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia.Ini adalah retrovirus, yang berarti virus yang mengunakan sel tubuhnya sendiri untuk memproduksi kembali dirinya. Asal dari HIV tidak jelas, penemuan kasus awal adalah dari sampel darah yang dikumpulkan tahun 1959 dari seorang laki laki dari Kinshasa di Republik Demokrat Congo. Tidak diketahui bagaimana ia terinfeksi. Saat ini terdapat dua jenis HIV: HIV1 dan HIV2. HIV1 mendominasi seluruh dunia dan bermutasi dengan sangat mudah.Keturunan yang berbedabeda dari HIV1 juga ada, mereka dapat dikategorikan dalam kelompok dan sub jenis.Terdapat dua kelompok, yaitu kelompok M dan O. Dalam kelompok M terdapat sekurangkurangnya 10 subjenis yang dibedakan secara turun temurun.Ini adalah subjenis AJ. Subjenis B kebanyakan ditemukan di Amerika, Jepang, Australia, Karibia dan Eropa. Subjenis C ditemukan di Afrika Selatan dan India. HIV2 teridentifikasi pada tahun 1986 dan semula merata di Afrika Barat. Terdapat banyak kemiripan diantara HIV1 dan HIV2, contohnya adalah bahwa keduanya menular dengan cara yang sama, keduanya dihubungkan dengan infeksiinfeksi oportunistik dan AIDS yang serupa. Pada orang yang terinfeksi dengan HIV2, ketidakmampuan menghasilkan kekebalan tubuh
40
terlihat berkembang lebih lambat dan lebih halus. Dibandingkan dengan orang yang terinfeksi dengan HIV1, maka mereka yang terinfeksi dengan HIV2 ditulari lebih awal dalam proses penularannya. HIV dapat menular melalui kontak darah, namun disini kami akan mencoba membahas bagaiamana HIV AIDS yang dialami ibu hamil dan bagaimana melakukan sebuah proses keperawatan pada ibu hamil dengan HIV AIDS.
I.a. Pengertian HIV (Human immunodeficiency Virus) adalah virus pada manusia yang menyerang system kekebalan tubuh manusia yang dalam jangka waktu yang relatif lama dapat menyebabkan AIDS, sedangkan AIDS sendiri adalah suatu sindroma penyakit yang muncul secara kompleks dalam waktu relatif lama
karena penurunan sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi HIV. AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah sindroma yang menunjukkan defisiensi imun seluler pada seseorang tanpa adanya penyebab yang diketahui untuk dapat menerangkan terjadinya defisiensi tersebut sepertii keganasan, obat-obat supresi imun, penyakit infeksi yang sudah dikenal dan sebagainya. AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang merusak sistem kekebalan tubuh manusia. AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh. Infeksi pada kehamilan adalah penyebab morbiditas ibu dan neonatal yang sudah diketahui. Banyak kasus dapat dicegah, dan dalam makalah ini akan
41
dibahas mengenai penyakit infeksi yang sering ditemukan yang dapat terjadi dalam kehamilan.
I.b. Etiologi Penyebab infeksi adalah golongan retrovirus yang disebut human immunodeficiency virus (HIV). HIV pertama kali ditemukan pada tahun 1983 sebagai retrovirus dan disebut HIV-1. Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan lagi retrovirus baru yang diberi nama HIV-2. HIV-2 dianggap sebagai virus kurang pathogen dibandingkaan dengan HIV-1.Maka untuk memudahkan keduanya disebut HIV. Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu : 1. Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak ada gejala. 2. Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1-2 minggu dengan gejala flu likes illness. 3. Infeksi asimtomatik. Lamanya 1-15 atau lebih tahun dengan gejala tidak ada. 4. Supresi imun simtomatik. Diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat malam hari, berat badan menurun, diare, neuropati, lemah, rash, limfadenopati, lesi mulut. 5. AIDS Lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada berbagai sistem tubuh, dan manifestasi neurologis.
42
Cara penularan HIV: 1. Melakukan penetrasi seks yang tidak aman dengan seseorang yang telah terinfeksi. Kondom adalah satusatunya cara dimana penularan HIV dapat dicegah. 2. Melalui darah yang terinfeksi yang diterima selama transfusi darah dimana darah tersebut belum dideteksi virusnya atau pengunaan jarum suntik yang tidak steril. 3. Dengan mengunakan bersama jarum untuk menyuntik obat bius dengan seseorang yang telah terinfeksi. 4. Wanita hamil dapat juga menularkan virus ke bayi mereka selama masa kehamilan atau persalinan dan juga melalui menyusui.
Penularan secara perinatal 1. Ibu hamil yang terinfeksi HIV dapat menularkan HIV pada bayi yang dikandungnya. 2. Penularan dari ibu terjadi terutama pada saat proses melahirkan, karena pada saat itu terjadi kontak secara lansung antara darah ibu dengan bayi sehingga virus dari ibu dapat menular pada bayi. 3. Bayi juga dapat tertular virus HIV dari ibu sewktu berada dalam kandungan atau juga melalui ASI 4. Ibu dengan HIV dianjurkan untuk PASI
43
2. Orang yang ketagian obat intravena 3. Partner seks dari penderita AIDS 4. Penerima darah atau produk darah (transfusi). 5. Bayi dari ibu/bapak terinfeksi.
I.c. Macam infeksi HIV Atas dasar interaksi HIV dengan respon imun pejamu, infeksi HIV dibagi menjadi tiga Tahap : 1. Tahap dini, fase akut, ditandai oleh viremia transien, masuk ke dalam jaringan limfoid, terjadi penurunan sementara dari CD4+ sel T diikuti serokonversi dan pengaturan replikasi virus dengan dihasilkannya CD8+ sel T antivirus. Secara klinis merupakan penyakit akut yang sembuh sendiri dengan nyeri tenggorok, mialgia non-spesifik, dan meningitis aseptik. Keseimbangan klinis dan jumlah CD4+ sel T menjadi normal terjadi dalam waktu 6-12 minggu. 2. Tahap menengah, fase kronik, berupa keadaan laten secara klinis dengan replikasi. Virus yang rendah khususnya di jaringan limfoid dan hitungan CD4+ secara perlahan menurun. Penderita dapat mengalami pembesaran kelenjar limfe yang luas tanpa gejala yang jelas. Tahap ini dapat mencapai beberapa tahun. Pada akhir tahap ini terjadi demam, kemerahan kulit, kelelahan, dan viremia. Tahap kronik dapat berakhir antara 7-10 tahun. 3. Tahap akhir, fase krisis, ditandai dengan menurunnya pertahanan tubuh penderita secara cepat berupa rendahnya jumlah CD4+, penurunan berat badan, diare, infeksi oportunistik, dan keganasan sekunder. Tahap ini
44
umumnya dikenal sebagai AIDS. Petunjuk dari CDC di Amerika Serikat menganggap semua orang dengan infeksi HIV dan jumlah sel T CD4+ kurang dari 200 sel/l sebagai AIDS, meskipun gambaran klinis belum terlihat.
I.d. Patofisiologi HIV masuk kedalam darah dan mendekati sel Thelper dengan melekatkan dirinya pada protein CD4. Sekali ia berada di dalam, materi viral (jumlah virus dalam tubuh penderita) turunan yang disebut RNA (ribonucleic acid) berubah menjadi viral DNA (deoxyribonucleic acid) dengan suatu enzim yang disebut reverse transcriptase. Viral DNA tersebut menjadi bagian dari DNA manusia, yang mana, daripada menghasilkan lebih banyak sel jenisnya, benda tersebut mulai menghasilkan virusvirus HI. Enzim lainnya, protease, mengatur viral kimia untuk membentuk virusvirus yang baru. Virusvirus baru tersebut keluar dari sel tubuh dan bergerak bebas dalam aliran darah, dan berhasil menulari lebih banyak sel. Ini adalah sebuah proses yang sedikit demi sedikit dimana akhirnya merusak sistem kekebalan tubuh dan meninggalkan tubuh menjadi mudah diserang oleh infeksi dan penyakitpenyakit yang lain. Dibutuhkan waktu untuk menularkan virus tersebut dari orang ke orang.
45
I.e. Periode Penularan HIV pada Ibu hamil 1. Periode Prenatal Timbulnya HIV pada wanita hamil diperkirakan meningkat (Minkoff, 1987).Sejarah kesehatan, uji fisik dan tes laboratorium harus merefleksikan pengharapan ini jika wanita dan bayinya menerima perawatan yang tepat. Para wanita yang termasuk dalam kategori beresiko tinggi terhadap infeksi HIV mencakup: a. Wanita dan atau pasangannya yang berasal dari wilayah geografis dimana HIV merupakan sesuatu yang umum. b. Wanita dan atau pasangannya yang menggunakan obat-obatan yang disuntikkan melalui pembuluh darah. c. Wanita yang menderita STD tetap dan kambuhan. d. Wanita yang menerima tranfusi darah dari pengidap HIV. e. Wanita yang yakin bahwa dirinya mungkin terjangkit HIV. Tes HIV sebaiknya ditawarkan kepada wanita beresiko tinggi pada awal mereka memasuki perawatan prenatal. Namun, seronegativitas pada uji prenatal pertama bukan jaminan untuk titer negatif yang berlangsung. Misalnya, seorang wanita berusia 24 tahun yang mendapatkan perawatan prenatal selama 8 minggu mempunyai hasil tes western blot yang negatif. Namun, setelah terinfeksi HIV, serum antibodi membutuhkan waktu sampai 12 minggu untuk berkembang. Tes western blot harus diulangi dalam 1 atau 2 bulan dan pada trimester ketiga. Tes prenatal rutin dapat membantu mengidentifikasi wanita yang terinfeksi HIV (Foster, 1987; Kaplan et al, 1987; Minkoff, 1987; Rhoads et al, 1987).
46
Tes ini juga dapat mengungkap Gonorrhea, Siphilis, Herpes yang tetap dan menjadi lebih lama, C.Trakomatis, Hepatitis B, Micobacterium tuberculosis, Candidiasis (oropharingeal atau infeksi Vagina Chronic), Cytomegalo Virus (CMV), dan Toxophlasmosis. Sekitar separuh penderita AIDS mengalami peningkatan titer CMV.Karena masuknya penyakit CMV memiliki bahaya yang serius terhadap janin, para wanita hamil dianjurkan dengan yang terinfeksi HIV. Sejarah vaksinasi dan kekebalan telah didokumentasikan. Titer untuk cacar dan rubella ditentukan dan tes kulit tuberkulosa (Derivasi protein yang dimurnikan/puriviet protein derivatif (PPD)) telah dilakukan vaksinasi sebelumnya dengan vaksin rekonbivak Hb dicatat karena vaksin tersebut berisi produk darah manusia (Vaksin ini sekarang bebas dari darah manusia dan produk-produk darah). Wanita dapat menjadi calon yang menerima Rho D Imunoglobulin. Penularan HIV belum ditemukan adanya vaksin Rh. Proses persiapan melibatkan alcohol ethyl yang membuat virus tidak aktif. Vaksin ini dibuat dari darah yang diambil dari kelompok donor regular yang tidak dikenali. Darah yang digunakan untuk memproduksi vaksin menjalani tes darah yang dapat mendeteksi darah adanya HIV (Francis, Chin, 1987, MMWR, 1987).Beberapa ketidaknyamanan yang dihadapi pada masa prenatal (seperti kelelahan, anoreksia, dan penurunan berat badan) menyiratkan tanda-tanda dan gejal-gejala infeksi HIV. Diagnosa yang berbeda-beda terhadap seluruh keluhan dan gejala infeksi yang disebabkan kehamilan dibenarkan. Tanda-tanda utama infeksi HIV yang semakin memburuk mencakup turunnya berat badan lebih dari 10% dari berat badan sebelum kehamilan, diare kronis lebih dari 1 bulan dan
47
demam (kambuhan atau konstan) selama lebih dari 1 bulan. Untuk mendukung sistem, wanita hamil harus mendapat nutrisi yang optimal, tidur, istirahat, latihan, dan reduksi stress. Jika infeksi HIV telah didiagnosa, wanita tersebut diberitahukan mengenai konsekwensi yang mungkin terjadi pada bayi.
2. Periode Intrapartum Perawatan wanita yang sakit saat melahirkan tidak diubah secara substansial untuk infeksi tanpa gejala dengan HIV (Minkoff,1987). Cara kelahiran didasarkan hanya pada pertimbangan obstetrik karena virus melalui plasenta pada awal kehamilan. Fokus utama pencegahn penyebaran HIV nosocomial dan perlindungan terhadap pelaku perawatan. Resiko penularan HIV dianggap rendah selama kelahiran vaginal. EPM (Elektrinic Fetal Monitoring) eksternal dilakukan jika EPM diperlukan.Terdapat kemungkinan inokulasi virus ke dalam neonatus jika dilakukan pengambilan sempel darah pada bayi dilakukan atau jika elektroda jangat kepala bayi
diterapkan.Disamping itu, seseorang yang melakukan prosedur ini berada pada resiko tertular virus HIV.
3. Periode Postpartum. Hanya sedikit yang diketahui tentang tindakan klinis selama periode postpartum yang dapat dilakukan pada wanita yang terinfeksi HIV. Walaupun periode postpartum pertengahan tercatat signifikan (update, 1987), tindak lanjut yang lebih lama telah mengungkap frekwensi penyakit kilinis yang tinggi pada ibu-ibu yang anaknya menderita penyakit (Skott, 1985; Minkoff et
48
al, 1987). Tindakan pencegahan universal dilakukan terhadap ibu dan bayi, seperti yang dilakukan terhadap semua pasien. Wanita dan bayinya diarahkan pada dokter yang berpengalamn dalam pengobatan AIDS dan keadaan-keadaan yang menyertainya. Pengaruh infeksi pada bayi dan neonatal mungkin tidak jelas. Karena virus yang melalui plasenta, darah di tali pusat akan menunjukkan antibodi HIV baik apabila bayi terinfeksi ataupun tidak. Selama itu antibodi yang melalui palang plasenta mungkin tidak terdapat pada bayi yang tidak terinfeksi sampai usia 15 bulan. Ketika infeksi HIV menjadi aktif banyak infeksi lain yang biasa menyertai pada orang dewasa terjadi pada bayi. Komplikasi yang menyertai infeksi HIV pada bayi mencakup Enchephalopati, Microchephalli, Defisit Kognitif, system saraf pusat (CNS/central nervous system) Lhympoma, Cerebro Vaskuler Accident, gagal pernapasan dan Lhympadenophaty.
I.f. Gejala HIV AIDS 1. Gejala mayor a. BB menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan b. Diare kronik yang berlangsung lebih dari 1 bulan c. Penurunan kesadaran dan adanya gangguan neurologis d. Demensia / HIV Ensefalopati 2. Gejala minor a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan b. Dermatitis generalist c. Adanya herpes zoster yang berulang
49
d. Candidiasis orofaringeal e. Herpes simplex kronik progresif f. Limfadenopati generalist g. Infeksi jamur berulang pada kelamin wanita h. Retinitis Cytomegalovirus
I.g. Pemeriksaan diagnostik 1. Tes untuk diagnosa infeksi HIV : ELISA Western blot P24 antigen test Kultur HIV
2. Tes untuk deteksi gangguan system imun. Hematokrit. LED CD4 limfosit Rasio CD4/CD limfosit Serum mikroglobulin B2 Hemoglobulin
I.h. Pengobatan Obatobatan Antiretroviral (ARV) bukanlah suatu pengobatan untuk HIV/AIDS tetapi cukup memperpanjang hidup dari mereka yang mengidap HIV. Pada tempat yang kurang baik pengaturannya permulaan dari
50
pengobatan ARV biasanya secara medis direkomendasikan ketika jumlah sel CD4 dari orang yang mengidap HIV/AIDS adalah 200 atau lebih rendah. Untuk lebih efektif, maka suatu kombinasi dari tiga atau lebih ARV dikonsumsi, secara umum ini adalah mengenai terapi Antiretroviral yang sangat aktif (HAART). Kombinasi dari ARV berikut ini dapat mengunakan: 1. Nucleoside Analogue Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI'), mentargetkan pencegahan protein reverse transcriptase HIV dalam mencegah perpindahan dari viral RNA menjadi viral DNA (contohnya AZT, ddl, ddC & 3TC). 2. Nonnucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI's)
memperlambat reproduksi dari HIV dengan bercampur dengan reverse transcriptase, suatu enzim viral yang penting. Enzim tersebut sangat esensial untuk HIV dalam memasukan materi turunan kedalam selsel. Obatobatan NNRTI termasuk: Nevirapine, delavirdine (Rescripta), efavirenza (Sustiva). 3. Protease Inhibitors (PI) menargetkan protein protease HIV dan menahannya sehingga suatu virus baru tidak dapat berkumpul pada sel tuan rumah dan dilepaskan. Pencegahan perpindahan dari ibu ke anak (PMTCT): seorang wanita yang mengidap HIV(+) dapat menularkan HIV kepada bayinya selama masa kehamilan, persalinan dan masa menyusui. Dalam ketidakhadiran dari intervensi pencegahan, kemungkinan bahwa bayi dari seorang wanita yang mengidap HIV(+) akan terinfeksi kirakira 25%35%. Dua pilihan
51
pengobatan tersedia untuk mengurangi penularan HIV/AIDS dari ibu ke anak. Obatobatan tersebut adalah: 1. Ziduvidine (AZT) dapat diberikan sebagai suatu rangkaian panjang dari 1428 minggu selama masa kehamilan. Studi menunjukkan bahwa hal ini menurunkan angka penularan mendekati 67%. Suatu rangkaian pendek dimulai pada kehamilan terlambat sekitar 36 minggu menjadi 50% penurunan. Suatu rangkaian pendek dimulai pada masa persalinan sekitas 38%. Beberapa studi telah menyelidiki pengunaan dari Ziduvidine (AZT) dalam kombinasi dengan Lamivudine (3TC). 2. Nevirapine: diberikan dalam dosis tunggal kepada ibu dalam masa persalinan dan satu dosis tunggal kepada bayi pada sekitar 23 hari. Diperkirakan bahwa dosis tersebut dapat menurunkan penularan HIV sekitar 47%. Nevirapine hanya digunakan pada ibu dengan membawa satu tablet kerumah ketika masa persalinan tiba, sementara bayi tersebut harus diberikan satu dosis dalam 3 hari. Postexposure prophylaxis (PEP) adalah sebuah program dari beberapa obat antiviral, yang dikonsumsi beberapa kali setiap harinya, paling kurang 30 hari, untuk mencegah seseorang menjadi terinfeksi dengan HIV sesudah terinfeksi, baik melalui serangan seksual maupun terinfeksi occupational. Dihubungankan dengan permulaan pengunaan dari PEP, maka suatu pengujian HIV harus dijalani untuk menetapkan status orang yang bersangkutan. Informasi dan bimbingan perlu diberikan untuk memungkinkan orang tersebut mengerti obatobatan, keperluan untuk mentaati, kebutuhan untuk mempraktekan hubungan seks yang aman dan memperbaharui
52
pengujian HIV. Antiretrovirals direkomendasikan untuk PEP termasuk AZT dan 3TC yang digunakan dalam kombinasi. CDC telah memperingatkan mengenai pengunaan dari Nevirapine sebagai bagian dari PEP yang berhutang pada bahaya akan kerusakan pada hati. Sesudah terkena infeksi yang potensial ke HIV, pengobatan PEP perlu dimulai sekurangnya selama 72 jam, sekalipun terdapat bukti untuk mengusulkan bahwa lebih awal seseorang memulai pengobatan, maka keuntungannya pun akan menjadi lebih besar. PEP tidak merekomen dasikan proses terinfeksi secara biasa ke HIV/AIDS sebagaimana hal ini tidak efektif 100%; hal tersebut dapat memberikan efek samping yang hebat dan mendorong perilaku seksual yang tidak aman.
53
DAFTAR
PUSTAKA
1. Ilmu Kesehatan Anak. Dalam Kapita selekta Kedokteran edisi ketiga; Jakarta : Media Aesculapius, 2000, hal.525-539. 2. Acute Glomeruonephritis. In Nelson Textbook of Pediatrics 16th edition Part XXII section 2 chapter 519 3. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Glomerulonefritis akut. Dalam Buku Ilmu Kesehatan Anak, Jilid II, Balai Pustaka FKUI, Jakarta, hal. 835-839 4. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku Ajar ilmu Kesehatan anak FKUI. Jakarta; Infomedika Jakarta, 1985. 5. Ikatan Dokter Anak Indonesia, Buku Ajar Nefrologi Anak Edisi 2, Jakarta, 2002 4. Staf Pengajar IKA UI, Standar Pelayanan Medis IDAI, Jakarta, 2004 5. Altas H.,Tambuan T., Trihono Partini P. Nefrologi Anak, balai penerbit FKUI, 1993 6. Behrman, Kliegman, Arvin. Nelson Textbook of Pediatrics, 15th
Edition.Philadhelphia, Pennsylvania, 1996. 7. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Jakarta; Balai Penerbit FKUI, 2001. 8. Kher K, Makker S, Clinical Pediatric Nephrology. Health Proffesion Division. Mc.Graw-Hill, INC.New York, 1992.
54