Para pengkultus kuburan –dalam hal ini diwakili oleh Tim Bahtsul Masa’il PCNU Jember
– membolehkan bertabarruk dengan kuburan orang shaleh dengan berhujjah dengan
perbuatan Imam Syafi’I yang bertabarruk dengan kuburan Abu Hanifah. Inilah riwayat
yang mereka bawakan dalam buku mereka “MEMBONGKAR KEBOHONGAN BUKU H
Mahrus Ali” halaman: 44-45.
مل أم ي ا ا ا أ ام أ:ادي ال ا
ه ء إ وأ ك إم:ل ا :ل ن مل م اإ
ه ا اه و إ و ر ذا ا زا
Bantahan:
Mari kita kupas sanadnya.
Ali bin Maimun adalah Abul Hasan Al-Aththar Ar-Raqqii. Berkata Ibnu Abi
Hatim: “Ayahku ditanya tentangnya, maka beliau menyatakan: “tsiqat.” Wafat
tahun 246 H. (Al-Jarh wat Ta’dil: 6/206, Tahdzibut Tahdzib:7/340).
Umar bin Ibrahim bin Ahmad adalah Al-Kattani Al-Muqri’ Al-Baghdadi dinilai
tsiqat oleh Al-Khathib Al-Baghdadi, lahir tahun 300 H dan wafat tahun 390 H.
(Al-Wafi bil Wafayat: 7/127, Siyar A’lamin Nubala’:16/482).
Al-Qadli Abu Abdillah Al-Husain bin Ali bin Muhammad Ash-Shaimari. Berkata
Adz-Dzahabi: “Ia seorang kibar fuqaha’, pakar debat, shaduq, sempurna akalnya.
Wafat tahun 436 H pada usia 81 tahun. (Siyar A’lamin Nubala’: 17/615-6).
Termasuk imam madzhab hanafi di Baghdad.(At-Thabaqatus Sunniyyah fi
Tarajimil Hanafiyyah: 1/255).
1
Yang menunjukkan kebohongan kisah ini adalah tidak ketemunya Ali bin Maimun Ar-
Raqqii yang wafat 246 H dengan Umar bin Ibrahim Al-Kattani Al-Muqri’ yang lahir
tahun 300H.
Sudah masyhur bagi para peneliti sejarah bahwa pada masa itu terjadi saling fanatik
antara Hanafiyah dan Syafi’iyah. Masing-masing pengikut madzhab menulis dan
mengarang hadits palsu untuk membela para imam mereka.
Di antara hadits-hadits yang dikarang oleh Hanafiyah yang fanatik adalah hadits palsu:
أ ن و، إ أ أ إدر ل ر أ ن
Termasuk cerita yang dipalsu oleh para fanatikus Hanafiyah adalah kisah tabaruknya
Al-Imam Asy-Syafi’I di kubur Al-Imam Abi Hanifah.
2
Komentar Para Ulama Ahli Hadits tentang Tabarruknya Asy-Syafi’I di
makam Abu Hanifah
Komentar Syaikh Al-Muhaddits Al-Albani tentang kisah ini: “Kisah ini telah datang
dalam riwayat yang dlaif bahkan batil dari jalan Umar bin Ishaq bin Ibrahim..dst.”
(As-Silsilah Adl-Dlaifah Al-Mukhtasharah: 1/76).
Komentar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang kisah ini: ”Ini adalah kedustaan yang
diketahui secara pasti dustanya menurut orang yang memiliki ilmu tentang periwayatan.
Imam Asy-Syafi’I ketika tiba di Baghdad, di sana tidak dijumpai kuburan yang didatangi
untuk berdoa di sisinya. Dan cara seperti ini (memohon terkabulnya hajat di kuburan,
pen) tidak dikenal pada jaman beliau. Dan beliau telah melihat di Hijaz, Yaman, Syam,
Iraq dan Mesir kuburan para nabi, para sahabat, tabiin dan lain-lainnya yang menurut
kaum muslimin lebih afdlal dari Abu Hanifah dan semisalnya dari para ulama. Lalu
kenapa Imam Syafi’I tidak berdo’a di sisi kuburan mereka? Kemudian sahabat-sahabat
Abu Hanifah yang menjumpainya seperti Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, Zufar dan
Hasan bin Ziad dan seangkatan mereka tidak berdoa di kuburan, tidak di kuburan Abu
Hanifah atau yang lainnya.” (Iqtidla’ Shirathil Mustaqim: 2/170).
Selain itu, bertabarruk dengan kuburan orang shalih juga termasuk dalam bab
“Menjadikan kuburan sebagai ied”. Rasulullah bersabda:
3
ُْْ َُْ َُِْ َْ
َ ن َ ا
َ ًَا وِ يْ اَ َْ َرًا وُ َُُْ اَ َْ
“Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan dan jangan kalian jadikan
kuburku sebagai ied dan bacakan shalawat kepadaku karena shalawat kalian akan
sampai kepadaku di manapun kalian berada.” (HR. Abu Dawud: 1746, Ahmad: 8449,
Ath-Thabrani dalam Al-Kabir hadits no: 1159, sanadnya dishahihkan dalam Raudlatul
Muhadditsin hadits: 4667, Syaikh Abdul Qadir Al-Arna’uth berkata dalam takhrij beliau
terhadap Al-Adzkar: 1/97: “Sanadnya dihasankan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam
Takhrijul Adzkar”)
Bahkan suatu ketika Al-Imam Ali bin Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib pernah melihat
seseorang memasuki sebuah celah pada kuburan Rasulullah dan berdo’a di situ. Maka
Al-Imam Ali bin Al-Husain berkata kepada orang itu:
ي وا ) : ل و ا ل ا ر ي أ أأ
( ن ارا و ا و
“Maukah kamu kubacakan sebuah hadits yang aku dengar dari ayahku dari kakekku dari
Rasulullah ? Beliau bersabda: “Janganlah kalian jadikan kuburku sebagai ied dan juga
janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan dan bacakan shalawat
kepadaku karena shalawat kalian akan sampai kepadaku di manapun kalian berada.” (HR.
Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf: 2/268, Bukhari dalam Al-Ahaditsil Marfu’ah fit
Tarikhil Kabir lil Bukhari: 477 dan dihasankan oleh Al-Hafizh As-Sakhawi dalam Al-
Qaulul Badi’ halaman: 228. Lihat catatan kaki Kitab Al-Ghuluw wa Mazhahiruhu
halaman 17).
Al-Allamah Abdur Ra’uf Al-Munawi Asy-Syafi’I berkata:
ا أو ا إ ار ع ا ه ا و ي وا أي
دَةَِي اََِ ََ ، رُ ِ اَْ ِ نَ َاءَةِء وَاَ وَاَِ ة
ْ اِ تُُا ا َ ُ َِ اَْ َ
ْ
وْ اع أُْد اَُ ْو أَ
د اَُ َ ًاَِ دَْ ُ ْ َوَ َّع اَِْ ِْ اِ دَُ َ ِْ اِ وَا.
َِ ذْوَم
4
“Makna hadits adalah “Janganlah kalian kosongkan rumah-rumah dari sholat di
dalamnya, berdo’a dan membaca Al-Quran sehingga dianggap sebagai kuburan”
Maka beliau memerintahkan untuk menunaikan ibadah di rumah-rumah dan melarang
menunaikannya di kuburan kebalikan dengan apa yang dilakukan orang-orang musyrik
dari kalangan Nashara dan orang-orang yang menyerupai mereka dari kalangan umat ini.
Dan “ied” adalah nama untuk suatu kumpul-kumpul yang dibiasakan. Ada yang berulang
tiap tahun, tiap minggu, tiap bulan atau semisalnya.” (Dikutip dalam Aunul Ma’bud:
4/425).
ل( وإن) إ ى أو و ى أو وأن ا ه أنل( وأ)
د ا ا " ل و ا ل ا أن ر م أ،ء أأه و أ إ
ر وأم وا ا هل( وأ) " برض ا ن د ر ام وارى اوا
ل وا ا ذ ا و ه ا أ أن أ ه وا
م رض ا دع ا ن أه وا ط أه وا
5
ح را ن ا اء ا ء ا ب واص ا موا
ه أو ن ا اء ر اة اه اب و وال ا د ا ه أو
ه و إ و ا رام ا ا ال ا أل ا
Kesimpulan
Cerita bahwa Al-Imam Asy-Syafi’I bertabarruk dengan kuburan Al-Imam Abu
Hanifah adalah dusta dan batil.
Selain dusta, cerita tersebut bertentangan dengan ushul syari’at yang melarang
kita menjadikan kuburan orang shalih sebagai masjid.
Dalam hal ini Tim Bahtsul Masa’il PCNU Jember telah mengadakan
kebohongan atas umat islam dan ikut andil membuka pintu-pintu kesyirikan
yang telah ditutup oleh Rasulullah melalui hadits-hadits yang shahih yang
melarang memakmurkan kuburan seperti memakmurkan masjid. Cukuplah hadits-
hadits shahih yang kita pedomani dalam beribadah. Kalau ada satu ulama atau
lebih yang kebetulan pendapatnya cocok dengan hadits tersebut maka kita
gunakan sebagai penenang hati seperti ucapan Al-Imam Asy-Syafii dan teman-
temannya. Kalau tidak ada maka bukan berarti hadits shahih tersebut kita
tinggalkan.
Al-Imam Asy-Syafi’I dan ulama Syafi’iyyah jaman dulu sangat getol memerangi
kesyirikan dan menutup pintu-pintunya.