Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Sofi Auliana
Abstrak
ABSTRAK
Auliana Sofi. 2009. Eksistensi Perempuan dalam Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer (Sebuah Kajian Kritik Sastra Feminisme). Skripsi Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia. Jurusan Sastra Indonesia. Fakultas Sastra. Universitas Negeri Malang. Pembimbing: Dr. Hj. Yuni Pratiwi M.Pd.
Novel merupakan salah satu bentuk refleksi dari kesadaran mental pengarang terhadap nilai yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat karena novel tidak pernah lepas dari sistem sosial budaya yang melingkupinya. Dengan demikian, suatu fenomena sosial dapat menjadi salah satu unsur sebuah novel. Setiap novel sebagai cipta sastra pada umumnya mempunyai kandungan amanat tertentu. Artinya, pengarang berusaha mengaktifkan pembaca untuk menerima gagasan-gagasannya tentang berbagai segi kehidupan. Begitu juga cara pengarang memandang tokoh perempuan sebagai salah satu bentuk konkretisasi dari aspirasi, gagasan, pandangan dan nilai-nilai tentang perempuan itu sendiri. Perempuan sebagai makhluk sosial dan individu diciptakan dengan kedudukan dan peranan yang sejajar dengan pria. Perkembangan selanjutnya perempuan lebih rendah dari pria yang menimbulkan adanya eksistensi perempuan sebagai wujud dari adanya nilai feminisme. Eksistensi merupakan sebuah filsafat yang memandang segala gejala berpangkal pada keberadaan (eksistensi) dan titik sentralnya adalah manusia. Novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer merefleksikan adanya eksistensi pribadi perempuan dalam
menjalankan peran dan kedudukannya di dalam keluarga dan masyarakatnya melalui sikap, tindakan, perilaku, ucapan, jalan pikiran dan rencana hidup tokoh perempuan. Penelitian ini secara umum bertujuan memperoleh deskripsi tentang eksistensi perempuan dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Adapun tujuan khusus penelitian ini, yakni mendeskripsikan (1) eksistensi pribadi perempuan, (2) eksistensi perempuan dalam keluarga, dan (3) eksistensi perempuan dalam masyarakat berdasarkan strata sosial masyarakat yang terkandung dalam novel. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan feminisme. Sumber data dalam penelitian ini adalah teks novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Data berupa unit-unit teks yang berisi deskripsi eksistensi pribadi perempuan, deskripsi eksistensi perempuan dalam keluarga, dan deskripsi eksistensi perempuan dalam masyarakat. Pengumpulan data dilakukan dengan membaca sumber data dan peneliti berperan sebagai instrument (human instrument). Peneliti melakukan identifikasi, klasifikasi, dan kodifikasi data berdasarkan permasalahan yang dikaji. Teknik pengumpulan data penelitian ini menggunakan teknik dokumentasi atau studi kepustakaan. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dengan menyeleksi, mengklasifikasi, menafsirkan, dan memaknai data kemudian mengambil kesimpulan. Berdasarkan hasil analisis data diperoleh beberapa kesimpulan, Pertama eksistensi pribadi perempuan dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, terefleksi melalui sikap, tindakan, jalan pikiran, rencana hidup serta ucapan tokoh perempuan yang memiliki ciri-ciri: (1) tokoh sebagai perempuan yang memiliki ciri seperti perempuan terpelajar dan cerdas, (2) tokoh sebagai perempuan yang kuat dan berkuasa, (3) tokoh sebagai perempuan yang berani mengambil keputusan, dan (4) tokoh sebagai perempuan yang pendendam dan mandiri. Tokoh perempuan sebagai perempuan yang memiliki ciri seperti perempuan terpelajar dan cerdas terlihat dari pelafalan bahasa Belanda tokoh yang fasih, menguasai banyak istilah-istilah Eropa, gemar membaca buku-buku Eropa, memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam berdagang dan mampu menerangkan layaknya seorang guru-guru di sekolah. Tokoh perempuan yang memiliki ciri-ciri sebagai perempuan yang kuat dan berkuasa terbukti dari kemampuan tokoh perempuan dalam mengurus semua kepentingannya (dirinya, keluarga, dan perusahaan) sendiri, tokoh memiliki kekuatan dalam mengetahui dan mengendalikan pedalaman orang lain, tokoh yang berani menghadapi kekuasaan Eropa dan pengendali seluruh perusahaan. Tokoh perempuan memiliki ciri sebagai perempuan yang berani mengambil keputusan terlihat dari berani mengambil keputusan untuk tidak mengakui orangtuanya, mempunyai keberanian dalam mengambil keputusan untuk tetap dipanggil dengan sebutan Nyai bukan Mevrouw. Tokoh sebagai perempuan yang memiliki ciri sebagai perempuan pendendam dan mandiri terlihat dari sikap yang menaruh dendam yang dalam kepada orangtuanya dan tuannya, tokoh perempuan tidak bergantung dengan suaminya, tokoh yang dapat melakukan semua pekerjaan kantor dan perusahaan dengan tangannya sendiri, serta mampu mengurusi kepentingan dirinya, keluarga dan perusahaan dengan tangannya sendiri.
Kedua eksistensi perempuan dalam keluarga yang terdapat dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, terefleksi dari tokoh perempuan yang berperan sebagai seorang istri, seorang ibu dan ibu mertua dalam keluarganya. Ketiga eksistensi perempuan dalam lingkungan masyarakat yang terdapat dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, terefleksi dari tokoh perempuan yang berkedudukan sebagai majikan dalam perusahaan, tokoh sebagai warga negara dari sistem pemerintah kolonial atau sebagai perempuan pribumi, dan sebagai perempuan yang berstatus sebagai gundik. Saran-saran yang dapat disimpulkan berdasarkan kesimpulan tersebut, yakni (1) peneliti berikutnya yang melakukan penelitian yang sejenis, diharapkan dapat menggunakan penelitian ini sebagai referensi penelitian dan disertai pengembangan masalah dari sudut pandang yang berbeda, (2) hasil penelitian ini hendaknya bagi pemerhati sastra sebagai salah satu referensi dalam memahami karya-karya sastra Pramoedya, dan (3) para guru SMP dan SMA/MA/SMK, penelitian ini disarankan dapat memanfaatkan hasil penelitian ini sebagai referensi dalam pengembangan bahan ajar.
JURUSAN SASTRA ARAB FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2013 BAB I Pendahuluan Sebagaimana yang kita ketahui bahwa pada Era modernisasi, keberadaan sastra dan perkembangan sastra berkembang begitu pesat. Perkembangan tersebut memicu munculnya sebuah teori sastra yang dirasa mengalami perkembangan pula. Perkembangan teori akan memunculkan kritik sastra yang semakin berkembang dan meluas. Sebuah karya sastra sangatlah erat hubungannya dengan kehidupan manusia, karena sastra dibuat tidak lepas dari unsur kemanusiaan dan kehidupan disekitar manusia yang membangun keutuhan sastra tersebut. Pada kenyataannya selama ini dalam membaca teks karya sastra, kita sering atau kita masih berpandangan satu arah saja dengan mengikuti pendapat atau kesimpulan yang telah dikonvensionalkan serta cepat menyimpulkan pemaknaan cerita dengan hanya membaca serta menelaah teks secara umum. Pada masa post-moderbisasi, pandangan-pandangan seperti demikian tidaklah diinginkan dalam pembacaan karya sastra, kita dituntut untuk lebih kritis dalam membaca karya sastra, sehingga muncullah metode-metode pembacaan teks seperti dekonstruksi. Dalam Wikipedia Indonesia, dekonstruksi merupakan sebuah metode pembacaan teks. Dalam hal ini dekonstruksi menolak pandangan bahwa bahasa memiliki makna yang pastry, tertentu, serta konstan sebagaimana halnya pandangan strukturalisme klasik. Tidak ada ungkapan atau bentuk-bentuk kebahasaan yang bermakna tertentu dan pasti. Hal ini yang menjadikan paham dekonstruksi sebagai ciri utama teori post-strukturalisme. Dengan menggunakan metode dekonstruksi dalam membaca teks atau sebuah karya sastra diharapkan kita bisa melihat faktafakta lain dalam teks karya sastra, sehingga tidak ada kemutlakan dalam memaknai karya sastra dan menghilangkan anggapan-anggapan yang sifatnya absolut serta menemukan hal-hal baru yang pada awalnya terabaikan. Oleh karena itu, penulis menulis makalah ini yang didalamnya akan dibahas tentang teori dekostruksi serja sejarah perkembangannya.
BAB II Pembahasan 1. Dekonstruksi Dalam bidang filsafat maupun sastra, dekonstruksi termasuk salah satu teori yang sangat sulit untuk dipahami. Dibandingkan dengan teori-teori postrukturalisme pada umumnya, secara definitif perbedaan sekaligus ciri khas dekonstruksi sebagaimana dikemukakan oleh Derrida (1976) adalah penolakannya terhadap logosentrisme dan fonosentrisme yang secara keseluruhan melahirkan oposisi biner dan cara-cara berpikir lainnya yang bersifat hierarkis dikotomis. Konsep dekontruksi (Selden, 1986:84) mulai dikenal sejak Derrida membawakan makalahnya yang berjudul Structure, sign, and play in the discourse of the human sciences ,di universitas Johns Hopkins tahun 1966. Dekonstruksi berasal dari kata de + construktio (latin). Pada umumnya deberarti ke bawah, pengurangan, atau terlepas dari. Sedangkan kata Construktioberarti bentuk, susunan, hal menyusun, hal mengatur. Dekonstruksi dapat diartikan sebagai pengurangan atau penurunan intensitas bentuk yang sudah tersusun, sebagai bentuk yang sudah baku. Kristeva (1980:36-37), misalnya, menjelaskan bahwa dekonstruksi merupakan gabungan antara hakikat destruktif dan konstruktif. Dekonstruksi adalah cara membaca teks, sebagai strategi. Dekonstruksi tidak semata-mata ditunjukkan terhadap tulisan, tetapi semua pernyataan kultural sebab keseluruhannya pernyataan tersebut adalah teks yang dengan sendirinya sudah mengandung nilai-nilai, prasyarat, ideologi, kebenaran, dan tujuan-tujuan tertentu. Dekonstruksi dengan demikian tidak terbatas hanya melibatkan diri dalam kajian wacana, baik lisan maupun tulisan, melainkan juga kekuatan-kekuatan lain yang secara efektif mentransformasikan hakikat wacana. Menurut Al-fayyadl (2011: 232) dekonstruksi adalah testimoni terbuka kepada mereka yang kalah, mereka yang terpinggirkan oleh stabilitas rezim bernama pengarang. Maka, sebuah dekonstruksi adalah gerak perjalanan menuju hidup itu sendiri. Memahami dekonstruksi bukan sesuatu yang mudah. Ini terkait pengartian yang sering keliru. Banyak orang mengartikan dekonstruksi sebagai pembongkaran sesuatu yang sudah mapan. Ini memang tidak dapat dikatakan salah sepenuhnya. Tetapi, ini juga tidak dapat dikatakan benar. Strategi dekonstruksi dalam membongkar suatu teks bukan hanya menciptakan makna baru. Bagi Derrida, dekonstruksi adalah sebuah strategi filsafat, politik, dan intelektual untuk membongkar modus membaca dan menginterpretasi yang mendominasi dan menguatkan
fondamen hierarki. Dengan demikian, dekonstruksi merupakan strategi untuk menguliti lapisanlapisan makna yang terdapat di dalam teks yang selama ini sudah mapan. a. Prinsip- prinsip yang terdapat pada teori dekonstruksi. Prinsip- prinsip yang terdapat dalam teori dekonstruksi adalah: 1. Melacak unsur-unsur aporia (makna paradoks, makna kontradiktif, dan makna ironi) 2. Membalikan atau merubah makna-makna yang sudah dikonvensionalkan Pada dasarnya dekonstruksi yang sudah dilakukan oleh Nietzsche (Culler, 1983:86-87) dalam kaitannya dengan usaha-usaha untuk memberikan makna baru terhadap prinsip sebabakibat. Prinsip sebab-akibat selalu memberikan perhatian terhadap sebab, sedangkan akibatnya sebagai gejala minor. Nietzsche menjelaskan bahwa prinsip sebab akibat bukanlah hukum universal melainkan merupakan retorika bahasa, sebagai gejala metonimi, gejala bahasa dengan cara melekatkan nama orang atau benda-benda pada pusat objek yang lain. Saussure menjelaskan bahwa makna yang diperoleh melalui pembagian lambang-lambang menjadi penanda dan petanda. Dekonstruksi menolak keputusan tersebut dengan cara terus menerus berusaha melepaskan diri, sekligus mencoba menemukan pusat-pusat yang baru. Menurut Saussure (Eagleton, 1983:128), hubungan penanda dengan petanda bersifat pasti. Derrida (Spivak, 1976:xliii) menjelaskan peristiwa diatas dengan istilahdifferEnce dan differAnce, dua kata yang ucapannya hampir sama tetapi penulisannya berbeda, dibedakan melalui huruf ke-7. Kedua kata tersebut berasal dari bahasa latin, differe, yang sekaligus berarti to differ (membedakan) yang berkonotasi spasial, dan to defer (menuda) yang berkonotasi temporal. Derrida (Norris, 1983:32) menghubungkan kerangka ruang dan waktu dengan tanda dan bendanya, tanda sebagai wakil dari bendanya. Tanda sekaligus menunjukkan kehadiran yang tertunda. Makna kata difference berada dalam posisi yang mengambang antara to differ dan to defer, keduanya berpengaruh terhadap kekuatan tekstual, tetapi tidak secara utuh mewakili kata difference tersebut. Oleh karena tanda-tanda mengimplikasikan makna, maka makna karya pun selalu berbeda dan tertunda, sesuai dengan ruang dan waktu. Artinya, antara konsep dan kenyataan selalu mempunyai jarak sekaligus perbedaan. Derrida menjdai terkenal karena konsep dekonstruksi, logosentrisme, fonosentrisme, differEnce / differAnce,trace, dandencentering. Differance (Derrida, 2002:45,61) adalah istilah yang diciptakan oleh Derrida tahun 1968 dalam kaitannya dengan pemahamannya mengenai ilmu bahasa Saussure dan antropologi LeviStrauss. Menurut Derrida, perbedaaan difference dandifferance, bahasa kamus baik bahasa Inggris maupun bahasa Perancis dan bahasa dekonstruksi Derrida, tidak dapat diketahui melalui
ucapan, melainkan melalui tulisan. Menurutnya, tulisan lebih utama dibandingkan dengan ucapan. Menurut Derrida (Eagleton, 1983:127-128) makna tidak dengan sendirinya hadir dalam suatu lambang. Lambang mempersoalkan sesuatu yang bukan dirinya, lambang mewakili sesuatu yang lain. Makna hadir dalam rangkaian penanda. b. Tujuan Teori Dekonstruksi Menurut Sarup (2003:51) dekonstruksi bertujuan untuk membongkar tradisi metafisika Barat seperti fenomenologi Husserlin, strukturalisme saussurean, strukturalisme Perancis pada umumnya, psikoanalisi Freudian, dan psikoanalisis Lacanian. Tugas dekonstruksi, disattu pihak mengungkap problematika wacana-wacana yang dipusatkan, di pihak lain membongkar metafisika dengan mengubah batas-batasnya secara konseptual. Sedangkan tujuan metode dekonstruksi adalah menunjukkan ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran absolut, dan ingin menelanjangi agenda tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan ketimpamgan di balik teks-teks. 2. Tokoh Dekonstruksi Tokoh terpenting didalam teori ini adalah Jacques Derrida (Al-Fayyadl, 2005: 2) adalah keturuan Yahudi. Ia dilahirkan di El-Biar, salah satu wilayah Aljazair pada 15 Juli 1930. Pada tahun 1949 ia pindah ke Prancis, tempat ia tinggal sampai akhir hayatnya. Pada tahun 1952, ia belajar di Ecole normale suprieure, Prancis, dan pernah juga mangajar di sana sesaat sebelum kematiannya. Derrida pernah mendapat gelar doctor honoris causa di Universitas Cambridge. Ia meninggal dunia karena penyakit kanker pada 2004 Derrida muda dibesarkan dalam lingkungan yang agak bersikap diskriminatif. Ia mundur atau dipaksa mundur dari sedikitnya dua sekolah, ketika ia masih anak-anak, semata-mata karena ia seorang Yahudi. Ia dipaksa keluar dari sebuah sekolah, karena ada batas kuota 7 persen bagi warga Yahudi. Meskipun Derrida mungkin tidak akan suka, jika dikatakan bahwa karyanya diwarnai oleh latar belakang kehidupannya ini, pengalaman kehidupan ini tampaknya berperan besar pada sikap Derrida yang begitu menekankan pentingnya kaum marginal dan yang lain, dalam pemikirannya kemudian. Derrida dua kali menolak posisi bergengsi di Ecole Normale Superieure, di mana Sartre, Simone de Beauvoir, dan mayoritas kaum intelektual serta akademisi Perancis memulai karirnya. Namun, akhirnya ia menerima posisi itu pada usia 19.Sejak tahun 1974 (Bertens, 2001: 327) Derrida ikut aktif dalam kegiatan-kegiatan dosen filsafat yang memperjuangkan tempat yang wajar untuk filsafat pada taraf sekolah menengah.
Karya awal Derrida di bidang filsafat sebagian besar berkaitan dengan fenomenologi. Latihan awalnya sebagai filsuf dilakukan melalui kacamata Edmund Husserl. Inspirasi penting lain bagi pemikiran awalnya berasal dari Nietzsche, Heidegger, De Saussure, Levinas dan Freud. Derrida mengakui utang budinya kepada para pemikir itu dalam pengembangan pendekatannya terhadap teks, yang kemudian dikenal sebagai 'dekonstruksi'. 3. Sejarah Perkembangan Aliran dekonsruksi lahir di Perancis sekitar tahun 1960-an, yang kemudian berpengaruh besar di Amerika sekitar tahun 1970-an hingga pada tahun 1980-an. Pada dasarnya, menurut Sarup (2003:51) dekonstruksi bertujuan untuk membongkar tradisi metafisika barat seperti fenomenologi Husserlian, strukturalisme Saussurean, strukturalisme Perancis pada umumnya, psikoanalisis Freudian dan Psikoanalisis Lacanian. Tugas dekonstruksi, mengungkap hakikat problematika wacana-wacana yang dipusatkan, dipihak yang lain membongkar metafisika dengan megubah batas-batasnya secara konseptual. Dekonstruksi juga berkembang di Amerika, sebagai aliran yale. Model dekonstruksi dalam sejarah dikemukakan oleh Hayden White dalam bukunya Tropics of Discourse (1987). Menurut White, sejarah tidak seratus persen objektif sebab bagaimanapun sejarahwan menyusun cerita kedalam suatu struktur, menceritakan kembali dalam suatu plot. Perbedaan antara pembaca non dekonstruksi dan dekonstruksi dapat dijelaskan sebagai berikut. Pembaca non dekonstruksi atau pembaca konvensional dilakukan dengan cara menemukan makna yang benar, makna terakhir, yang disebut sebagai makna optimal. Sebaliknya, pembaca dekonstruksi tidak perlu menemukan makna terakhir. Yang diperlukan adalah pembongkaran secara terus menerus, sebagai proses. Dekonstruksi dilakukan dengan cara pemberian perhatian terhadap gejala-gelaja yang tersembunyi, sengaja disembunyikan, seperti ketidakbenaran, tokoh sampingan, perempuan, dan sebagainya. Umar Junus (1996:109-109) memandang dekonstruksi sebagai persepektif baru dalam penelitian sastra. Dekonstruksi justru memberikan dorongan untuk menemukan segala sesuatu yang selama ini tidak memperoleh perhatian. Memungkinkan untuk melakukan penjelajahan intelektual dengan apa saja, tanpa terikat dengan sutu aturan yang dianggap telah berlaku universal.
BAB III Kesimpulan Dari penjabaran diatas maka penulis menyimpulkan bahwa Dekonstruksi ialah strategi pembacaan teks secara filosofis yang menunjuk pada proses yang tak terselesaikan dan bersifat dinamis. Dekonstruksi tidak melihat kebenaran dalam penafsiran sebagai satu kebenaran. Dekonstruksi juga bias diartikan merupakan metode pembacaan teks. Aliran dekonsruksi lahir di Perancis sekitar tahun 1960-an, yang kemudian berpengaruh besar di Amerika sekitar tahun 1970-an hingga pada tahun 1980-an.Tokoh terpenting dekonstruksi adalah Jacques Derrida, seorang Yahudi Aljazair yang kemudian menjadi ahli filsafat dan kritik sastra di Perancis. Tokoh lainnya yaitu Nietzsche, Paul de Man, J.Hillis Miller, Geoffery Hartman, Harold Bloom. Prinsip dekonstruksi yaitu melacak unsur-unsur aporia (makna paradoks, makna kontradiktif, dan makna ironi) dan Membalikkan atau merubah makna-makna yang sudah dikonvensionalkan. Metode dekonstruksi yang dilakukan Derrida lebih dikenal dengan istilah dekonstruksi metaforik. Metafora di sini bukan dipahami sebagai suatu aspek dari fungsi ekspresif bahasa tapi sebagai suatu kondisi yang esensial tentang tuturan. Dekonstruksi mentut kita lebih teliti dan kritis terhadap teks sastra. Tujuan metode dekonstruksi adalah menunjukkan ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran absolut, dan ingin menelanjangi agenda tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan ketimpangan di balik teks-teks. Daftar Pustaka Ratna, Nyoman Kutha. 2011.Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Pustaka Pelajar :Yogyakarta.. Norris, Christopher. 2003 Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida.Ar-Ruzz:Yogyakarta. http://id.wikipedia.org/wiki/Dekonstruksi, diakses pada tanggal 13 Mei 2013(19.25 wib)