Anda di halaman 1dari 8

PENYEBAB SNHL Etiologi Etiologi SHL dapat dibagi ke dalam kategori besar : (1) virus dan menular, (2)

autoimun, (3) labirin membran pecah/traumatis, (4) pembuluh darah, (5) neurologis, dan (6) neoplastik. Ada beberapa kondisi dalam masing-masing kategori yang telah terkait dengan kehilangan pendengaran mendadak. Berikut ini adalah daftar sebagian dari penyebab yang dilaporkan SHL: 2 v Infeksi

meningokokus meningitis Herpesvirus (simpleks, zoster, varisela, cytomegalovirus Penyakit gondok Human immunodeficiency virus Demam Lassa Mycoplasma Meningitis kriptokokal Toksoplasmosis Sipilis Rubeola Rubella Manusia spumaretrovirus

v Autoimmune

penyakit autoimun telinga bagian dalam (AIED) Kolitis ulserativa Kambuh polychondritis Lupus eritematosus Poliarteritis nodosa Sindrom Cogan Wegener Granulomatosis

v Trauma

Perilymph fistula Telinga bagian dalam penyakit dekompresi Temporal patah tulang Telinga bagian dalam, gegar otak Otologic operasi (stapedektomy) Bedah komplikasi dari operasi nonotologic

v Vaskular

Vascular penyakit / perubahan mikrosirkulasi Vascular penyakit yang berhubungan dengan mitochondriopathy Vertebrobasilar insufisiensi Deformabilitas sel darah merah Penyakit sel sabit Cardiopulmonary memotong

v Neurologis

Multiple sclerosis Focal iskemia pontine Migrain

v Neoplastik Neuroma akustik


Leukemia Myeloma Metastasis ke kanal auditori internal yang Meningeal karsinomatosis Kontralateral tuli setelah operasi akustik neuroma Patofisiologi

OBAT OTOTOKSIK Ototoksisitas didefinisikan oleh American Speech-Language-Hearing Association (ASHA) dan the National Cancer Institute Common Terminology

Criteria for Adverse Events (CTCAE) sebagai : 2 - Penurunan sebesar 20dB atau lebih pada audiometri nada murni pada satu frekuensi - Penurunan sebesar 10dB atau lebih pada pada dua frekuensi yang berdekatan - Tidak ada respon pada pemeriksaan dengan OAE atau BERA pada 3 kali pemeriksaan berulang dimana sebelumnya ada respon

Adapun derajat ototoksisitas didefinisikan oleh CTCAE dan Brock sebagai berikut : CTAE : - Derajat 1 : ambang dengar turun 15-25dB dari pemeriksaan sebelumnya(1 tahun), diratarata pada 2 atau lebih frekuensi yang berurutan. - Derajat 2 : ambang dengar turun 25-90dB dari pemeriksaan sebelumnya(1 tahun), diratarata pada 2 atau lebih frekuensi yang berurutan. - Derajat 3 : penurunan pendengaran yang membutuhkan intervensi alat bantu dengar (>20dB bilateral pada frekuensi percakapan, > 30dB unilateral pada frekuensi percakapan) - Derajat 4 : penurunan pendengaran yang membutuhkan intervensi alat bantu dengar dan implan kokhlea. Brocks : - Derajat 0 ambang dengar kurang dari 40dB pada semua frekuensi - Derajat 1 : ambang dengar > 40dB pada frekuensi 8.000Hz - Derajat 2 : ambang dengar > 40dB pada frekuensi 4.000-8.000Hz - Derajat 3 : ambang dengar > 40dB pada frekuensi 2.000-8.000Hz - Derajat 4 : ambang dengar > 40dB pada frekuensi 1.000-8.000Hz

Ototoksisitas pertama kali mendapat perhatian oleh para klinisi sejak penemuan streptomisin pada tahun 1944 sebagai pengobatan utama penyakit tuberkulosis, dimana sebagian besar pasien yang mendapat terapi streptomisin ternyata mengalami disfungsi kokhlea dan vestibuler yang ireversibel. Temuan ini diikuti oleh temuan selanjutnya tentang ototoksisitas dari pemakaian obat-obatan seperti antibiotik golongan aminoglokosid dan makrolid, obat kemoterapi, salisilat, quinine dan loop diuretik Sediaan obat topikal telinga dapat berupa serbuk, krim atau tetes. Sediaan serbuk dapat menempel dipermukaan yang lembab, dapat bertahan lebih lama di liang telinga luar, rongga telinga tengah atau rongga mastoid (dapat bertahan sampai dengan 1 bulan). Sediaan

serbuk untuk telinga luar dapat terdiri dari chloramfenikol, sulfanamide, hidrokortisone. Sediaan serbuk untuk rongga mastoid dapat terdiri dari ciprofloksasin, clotrimazole atau deksametasone. Penelitian pada tikus membuktikan bahwa pemberian tetes telinga ciprofloksasin-dexametasone intratimpani selama 21 hari tidak menimbulkan efek ototoksik. Sediaan krim biasanya digunakan untuk kelainan di liang telinga luar. Krim antibiotik biasanya terdiri dari neosporin atau tobramisin. Sediaan anti jamur juga biasanya dalam bentuk krim. Sediaan terbanyak obat topikal telinga adalah dalam bentuk tetes telinga. Tetes telinga dapat berupa agen tunggal atau kombinasi. Sediaan tetes telinga topikal sangat banyak dan dapat dikelompokkan berdasarkan ada tidaknya antibiotik, jenis antibiotik yang dikandung, pH, kekentalan dan apakah agen tunggal atau kombinasi. Pada pengobatan infeksi telinga, preparat antibiotik topikal telinga memiliki kelebihan dibandingkan pemberian sistemik. Kelebihannya antara lain konsentrasi antibiotik yang lebih tinggi di daerah infeksi, tidak berefek sistemik, dapat memperbaiki keadaan sekitar daerah infeksi dan biasanya harganya lebih murah bila dibandingkan pemberian obat secara sistemik. Aminoglikosid Sejak awal penemuannya tahun 1944, berbagai aminoglikosid telah tersedia seperti streptomisisn, dihidrostreptomisisn, kanamisin, gentamisin, neomisin, tobramisin, netilmisin dan amikasin. Aminoglikosid adalah antibiotik yang bersifat bakterisidal yang terikat pada ribosom 30S dan menghambat proses sintesis protein bakteri. Meskipun efek ototoksik obat antibiotik golongan aminoglikosid sudah terbukti, obat golongan ini masih dipakai secara luas hingga hari ini pada kasus seperti septisemia, infeksi saluran kemih, infeksi saluran pernafasan, infeksi intra abdominal dan osteomielitis yang disebabkan oleh kuman aerob batang gram negatif. Efek ototoksik aminoglikosid dapat berupa kokhleotoksik dan atau vestibulotoksik. Kanamisin, amikasin, neomisin dan dihidrostreptomisin lebih cenderung kokhleotoksik. Gentamisin mempengaruhi sistem kokhlea dan vestibuler. Streptomisin, tobramisin dan netilmisin lebih cenderung vestibulotoksik Beberapa contoh aminoglikosid : - Streptomisin :aminoglikosid yang pertama, efeknya terutama pada bakteri gram negatif. Efek vestibulotoksik lebih dominan.kerusakan vestibuler lebih sering dijumpai pada penggunaan jangka panjang dan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Sekarang sudah jarang digunakan. - Gentamisin : efek vestibulotoksik lebih dominan. Bila kadar dalam serum masih dalam rentang terapi 10-12mcg/mL masih dianggap aman namun mungkin masih bisa berefek toksik pada beberapa pasien. Dosis harus disesuaikan dengan hati-hati bila digunakan pada pasien dengan gangguan ginjal. - Neomisin : Neomisin adalah aminoglikosid yang paling kokhleotoksik jika diberikan secara oral dan dalam dosis tinggi, sehingga penggunaan secara sistemik tidak dianjurkan. Neomisin sangat lambat hilang dari perilimf sehingga toksisitas lambat setelah 1-2 minggu penghentian terapi dapat terjadi. Neomisin sekarang digunakan terutama sebagai obat antibiotik tetes telinga yang efektif. Meskipun neomisin dianggap aman untuk digunakan secara topikal pada telinga, alternatif yang sama efektifnya banyak tersedia. - Kanamisin : Meski efek toksiknya lebih rendah dibanding neomisin, efek ototoksik kanamisin cukup tinggi. Kanamisin dapat menyebabkan kerusakan berat sel rambut

kokhlea dan penurunan pendengaran berat pada frekuensi tinggi. Kanamisin sekarang sudah jarang digunakan, sebaiknya tidak diberikan secara parenteral. - Amikasin : Amikasin adalah produk turunan kanamisin dan efek vestibulotoksiknya sangat minimal dibandingkan gentamisin. Pada penanganan infeksi berat amikasin diindikasikan apabila sesuai dengan hasil kultur dan resistensi dan respon pasien. - Tobramisin: Efek ototoksik tobramisin mirip dengan amikasin, terjadi kurang dengar frekuensi tinggi. Tobramisin sering digunakan sebagai preparat ototopikal dan secara umum dianggap aman. Antibiotik lain - Eritromisin Eritromisin pertama kali dikenal dan digunakan secara luas sejak tahun 1952. Secara umum eritromisin dianggap sebagai obat yang aman. Eritromisin sudah digunakan sebagai pilihan utama pada kasus infeksi akibat streptokokus grup A dan pneumokokus pada individu yang masih sensitif terhadap penisilin. Efek ototoksik dari eritromisin pertama kali dilaporkan tahun 1973. Sejak itu hanya beberapa kasus ototoksisitas eritromisin yang dilaporkan secara sporadis dan umumnya bersifat reversibel. Pada kasus tersebut pasien umumnya memiliki faktor risiko lainnya seperti penyakit ginjal kronis, penyakit hati kronis, penggunaan dosis lebih dari 4 gram/hari dan pemberian intravena. Penurunan pendengaran yang cukup berat pada frekuensi percakapan yang bersifat reversibel juga dilaporkan pada pasien penerima operasi transplantasi ginjal yang menerima terapi eritromisin intravena. Onset biasanya mulai sejak 3 hari setelah terapi dimulai. - Azitromisin dan Clindamisin Azitromisin dan clindamisin adalah antibiotik makrolid generasi yang lebih baru. Antibiotik ini lebih luas dipakai secara klinis karena efek samping pada traktus gastrointestinal yang lebih sedikit dan spektrum antibiotik yang lebih luas daripada eritromisin. Namun demikian beberapa laporan yang menyebutkan tentang efek ototoksiknya mulai muncul. Namun laporannya masih bersifat sporadis dan penelitian lebih lanjut masih dibutuhkan. - Vankomisin Vankomisin adalah antibiotik glikopeptida yang pertama kali diperkenalkan tahun 1950. Sering digunakan pada kasus infeksi stafilokokus yang resiten terhadap methisilin. Beberapa kasus ototoksisitas yang biasanya muncul sebagai tinitus dilaporkan pada pasien dengan penginkatan kadar dalam serum akibat gagal ginjal atau pada pasien yang menerima obat antibiotik golongan aminoglikosid pada saat bersamaan. Data yang ada tidak lengkap namun pada beberapa kasus efek ototoksisitasnya bersifat sementara. Belum ada laporan yang memberikan bukti yang kuat bahwa pemberian vankomisin saja pada dosis terapeutik dapat menyebabkan efek ototoksik. Tidak ada rekomendasi yang diberikan untuk penggunaan vankomisin, namun perhatian harus diberikan pada pemberian vankomisn bersama obat ototoksik lainnya. Loop Diuretik Loop diuretik bekerja pada loop henle. Yang termasuk didalam golongan ini adalah sulfonamide, turunan asam fenoksiasetat, ethacrynic acid dan heterocyclic compounds. Obatobatan ini digunakan pada pengobatan gagal jantung kongestif, gagal ginjal, sirosis dan hipertensi. Diuretik yang paling sering digunakan seperti ethacrynic acid furosemide, bumetanide dapat menyebabkan ototoksisitas. Adapun diuretik lain yang jarang digunakan seperti torsemide, azosemide, ozolinone, indacrinone dan piretanide juga pernah dilaporkan dapat menimbulkan ototoksisitas. Sekarang telah diketahui dengan baik bahwa antibiotik aminoglikosid memiliki efek sinergistik dengan obat tertentu sehingga meningkatkan efek

ototoksitasnya. Sebagai contoh penggunaan aminoglikosid dengan loop diuretik dapat mengakibatkan kejadian ototoksik yang tinggi. Dan telah diketahui juga bahwa pemberian diuretik sebelum pemberian antibiotik aminoglikosid ternyata lebih tidak berakibat ototoksik dibandingkan apabila sebaliknya. Obat kemoterapi (antineoplastik) Sisplatin, obat kemoterapi yang sering digunakan pada keganasan di daerah kepala dan leher, sudah diketahui memiliki efek gangguan dengar sensori neural yang ireversibel. Hasil penelitian menunjukkan penurunan glutathione akibat terbentuknya radikal bebas pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan pada sel rambut kokhlea. Selain sisplatin, carboplatin juga dilaporkan mempunyai efek ototoksik yang lebih rendah dibandingkan sisplatin. Obat ini sering digunakan pada keganasan di kebidanan, paru-paru, sistem saraf pusat, kepala dan leher dan keganasan testikuler. Obat kemoterapi bersifat nonspesifik pada siklus hidup sel, mempengaruhi DNA mengganggu proses replikasi sel. Sisplatin terdistribusi secara luas ke seluruh tubuh dan konsentrasi tertinggi didapatkan di ginjal, hati dan prostat. Sisplatin membentuk ikatan yang reversibel dengan protein plasma dan masih dapat dideteksi sampai dengan 6 bulan setelah penghentian terapi. Carboplatin tidak berikatan dengan protein plasma dan dapat bersihkan lebih cepat melalui ginjal. Dosis dan efektifitas sisplatin dan karboplatin dibatasi oleh efek samping yang ditimbulkan. Efek samping yang paling utama adalah nefrotoksik dan ototoksik yang tergantung pada dosis. Salisilat Asam asetil salisilat atau yang lebih dikenal dengan aspirin digunakan secara luas sebagai anti inflamasi, anti piretik dan analgetik. Aspirin adalah suatu penghambat agregasi platelet dan digunakan pada pasien dengan riwayat stroke, angina atau infark jantung. Asam asetil salisilat diserap dengan cepat setelah pemeberian melalui oral dan mengalami hidrolisis di hati menjadi bentuk aktifnya asam salisilat. Kadar terapetik dalam serum berkisar antara 25-50mcg/mL sebagai analgesik dan antipiretik, 150-300 mcg/mL sebagai terapi demam rematik. Gejala tinitus dilaporkan dapat muncul pada kadar serum 200mcg/mL.

Sudden Deafness (Tuli Mendadak)

1 Votes

Definisi Sudden Deafness (tuli mendadak) adalah ketulian yang terjadi secara tiba-tiba, biasanya menyerang bagian koklea (lihat gambar) salah satu telinga. Penyakit ini dikemukakan pertama kali oleh De Klevn (1944) dan termasuk keadaan darurat otology namun tidak diketahui secara pasti penyebab serta pengobatannya. Apabila pasien menderita penyakit ini dalam waktu 1-3 hari (masa akut), maka pasien dianjurkan untuk rawat inap untuk

mendapatkan perawatan secara intensif. Namun apabila sudah melewati masa akut, maka pasien dianjurkan melakukan pengobatan rawat jalan, misalnya terapi hiperbarik (HBOT). Etiologi Sebagian besar kasus ini rata-rata idiopatik (tidak diketahui secara pasti).

Infeksi virus (misalnya ketika kita flu atau batuk) Iskemia koklea atau gangguan aliran darah ke bagian rumah siput (misalnya karena kebanyakan begadang) Benturan kepala (misalnya benturan ketika mengalami kecelakaan) Alergi terhadap debu Lingkungan yang crowded dan bising (misalnya di tempat dugem, ato di industri) Perubahan tekanan udara (misalnya menyelam, bepergian menggunakan pesawat terbang) Penggunaan earphone (misalnya telepon berjam-jam atau mendengarkan musik dalam waktu lama) Efek dari vertigo

Gejala Klinis Kejadiannya begitu mendadak, dan bisa terjadi kapan aja. Bila telinga Anda mulai berdenging/berdengung dan merasakan perubahan tekanan udara, bisa jadi Anda menderita Sudden Deafness. Penatalaksanaan Pada beberapa kasus dapat disembuhkan, namun tidak 100%, karena sebagian penderita Sudden Deafness akan menjadi tuli permanen. Untuk itu, bagi yang merasakan keanehan pada telinga, segera periksakan ke spesialis THT pada hari itu juga. Penanganan yang lebih cepat mungkin akan membantu (Tidak boleh dibiarkan lebih dari 5 hari). Biasanya pasien akan diminta untuk melakukan tes audiometri untuk mengetahui tingkat ketuliannya, dan selanjutnya dokter akan menyarankan terapi hiperbarik (HBOT) untuk metode penyembuhannya. Terapi Hiperbarik

Hyperbaric adalah sebuah terapi oksigen yang dilakukan dalam sebuah chamber (ruangan) bertekanan udara tinggi. Pasien berada di dalam chamber selama beberapa jam untuk menghirup oksigen murni. Dalam kasus ini, pasien diberikan 330 menit untuk menghirup oksigen. Awalnya terapi hiperbarik ini hanya dilakukan oleh penyelam dan digunakan oleh angkatan laut. Namun, saat ini terapi hiperbarik sudah dilakukan untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit lain, seperti luka bakar, kanker, diabetes, tetanus, stroke, dll (namun sifatnya hanya pengobatan alternatif, bukan pengobatan utama). Oh iya, saat ini banyak ibu-ibu yang memanfaatkan terapi hiperbarik ini untuk perawatan kulit. Yaitu dengan memanfaatkan oksigen yang baik untuk tubuh kita, untuk menunda masa penuaan.

Tapi sebelum terapi, harus lebih dulu menjalani serangkaian tes kesehatan, yaitu rontgen dada dan tes darah. Penderita TBC harus menggunakan masker sendiri, dan penderita kolesterol/diabetes harus menjalani pengobatan terlebih dahulu. Pada saat terapi hiperbarik kita akan diberi buku bacaan, permen dan air minum. Buku digunakan untuk mengusir rasa bosan, karena selama 2,5 jam di dalam chamber kita tidak diperkenankan untuk terlelap, Sedangkan air minum berguna untuk menyesuaikan tekanan udara dari dalam dan dari luar, begitu juga dengan gunanya permen, prinsipnya sama seperti saat kita dalam sebuah pesawat terbang yang akan take off. Terapi ini juga tidak mempunyai efek samping yang berbahaya, sehingga aman untuk digunakan, namun ada juga beberapa efek samping yang mungkin terjadi yaitu barotrauma telinga, barotrauma paru-paru, miopia dan katarak. Terapi Hiperbarik di Indonesia Di Indonesia ada beberapa titik, yaitu RSAL Dr. Mintohardjo, RSAL Halong (Ambarawa), RSAL Midiato, RSP Balikpapan, RSP Cilacap, RSU Makasar, RSU Manado, RSUP Sanglah Denpasar, Diskes Koarmabar. Obat-obatan yang dapat digunakan selama terapi hiperbarik

Disudrin (31, masing-masing 2 tablet), untuk menyembuhkan flu. Penderita flu akan kesusahan ketika berada di chamber. Indexon/Dexamethasone (31), untuk anti peradangan Bio ATP (21), suplemen untuk menambah tenaga Tarontal 400mg (21), untuk memperbaiki pengiriman oksigen ke otot

Anda mungkin juga menyukai