Anda di halaman 1dari 142

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INVESTOR ATAS PAILITNYA PERUSAHAAN PIALANG BERJANGKA DALAM PERJANJIAN KERJASAMA INVESTASI DIHUBUNGKAN DENGAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

INVESTOR PROTECTION AGAINST THE LAW FIRM BANKRUPTCY FUTURES BROKERS IN COOPERATION AGREEMENT WITH RELATED INVESTMENT LAW NUMBER 32 YEAR 1997 CONCERNING THE COMMODITY FUTURES TRADING JUNCTO LAW NUMBER 37 YEAR 2004 ON DELAY BANKRUPTCY AND DEBT OBLIGATIONS
SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat pada Progam Strata-1 Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia Oleh : RIMEI SUMINAR 3.16.09.010 Dibawah Bimbingan : Arinita Sandria S.H.,M.Hum NIP. 4127 3300 006

JURUSAN ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA 2013

DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN SURAT PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI ABSTRAK ABSTRACT BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah B. Identifikasi Masalah C. Maksud dan Tujuan Penelitian D. Kegunaan Penelitian E. Kerangka Pemikiran F. Metode Penelitian .. .. .. .. .. .. 1 8 9 9 10 18 ............................................................ ............................................................ ............................................................ i iv vii viii

BAB II RUANG LINGKUP PERDAGANGAN SERTA BERJANGKA KOMODITI DAN TINJAUAN TETANG KEPAILITAN SERTA RUANG LINGKUP

PERJANJIAN A. Perdagangan Berjangka Komoditi B. Tinjauan Kepailitan C. Ruang Lingkup Perjanjian .. .. .. 23 45 78

iv

BAB

III

PERJANJIAN

INVESTASI

ANTARA

INVESTOR

DENGAN

PERUSAHAAN PIALANG BERJANGKA A. Dasar Hukum Untuk Melaksanakan Investasi . 99

B. Kasus-Kasus Tentang Investasi di Perusahaan Pialang Berjangka 108 BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INVESTOR ATAS PAILITNYA PERUSAHAAN PIALANG BERJANGKA DALAM PERJANJIAN KERJASAMA INVESTASI DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32

TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG A. Pelaksanaan Perlindungan Hukum Bagi Investor Atas Pailitnya

Perusahaan Pialang Berjangka Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 Tentang Perdagangan Berjangka Komoditi Juncto UndangUndang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang B. Penyelesaian Sehubungan Berdasarkan Sengketa dengan dalam Pailitnya .. Perjanjian Perusahaan 32 Kerjasama Pialang 1997 113 Investasi Berjangka Tentang

Undang-Undang

Nomor

Tahun

Perdagangan Berjangka Komoditi Juncto Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang BAB V PENUTUP A. Simpulan .. . 127 119

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP

128

vi

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, rahmat serta karunia-NYA, akhirnya Penulis dapat menyelesaikan penulisan ini dengan judul: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INVESTOR ATAS PAILITNYA PERUSAHAAN PIALANG BERJANGKA DALAM

PERJANJIAN KERJASAMA INVESTASI DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANGUNDANG NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN

BERJANGKA KOMODITI JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUM 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN

PEMBAYARAN UTANG Penulisan ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat ujian guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia , Bandung. Penulis sangat menyadari bahwa dalam penulisan ini masih jauh dari sempurna, dan banyak kekurangan baik dalam metode penulisan, dari segi penggunaan tata bahasa maupun dalam pembahasan materi. Semua ini dikarenakan keterbatasan kemampuan Penulis oleh karena itu, Penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun kepada Penulis, yang dikemudian hari Penulis dapat memperbaiki segala kekuranganya. Selama penulisan ini, Penulis selalu mendapatkan dukungan, bimbingan, dorongan, serta semangat dari semua pihak yang telah membantu Penulis. Oleh karena itu Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pembimbing yang terhormat, yakni Yth. Ibu Arinita Sandria, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing, yang telah meluangkan waktunya, tenaga dan

pikirannya untuk membimbing Penulis dalam penulisan ini. Selain itu Penulis juga ingin mengucapkan banyak rasa terima kasih kepada: 1. Yth. Bapak Dr. Ir. Eddy Suryanto Soegoto, M.Sc, selaku Rektor Universitas Komputer Indonesia; 2. Yth. Ibu Prof. Dr. Umi Narimawati, Dra. S.E. M. Si., selaku Wakil Rektor Bidang Akademik Universitas Komputer Indonesia; 3. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Ria Ratna Ariawati, S.E., M.S, AK., selaku Wakil Rektor Bidang Administrasi dan Keuangan Universitas Komputer Indonesia; 4. Yth. Prof. Dr. Hj. Aelina Surya, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Universitas Komputer Indonesia; 5. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Mien Rukmini, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia; 6. Yth. Hetty Hassanah, S.H., M.H., selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia; 7. Yth. Ibu Rahmani Puspitadewi, S.H., M.Hum., selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia; 8. Yth. Ibu Febilita Wulansari, S.H., selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia; 9. Yth. Bapak Dwi Iman Muthaqin, S.H., M.H., selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia; 10. Yth ibu Yani Brilyani Tivipah, S.H., M.H., selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia; 11. Yth ibu Muntadhiroh Alchujjah, S.H., LLM., selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia; 12. Yth. Ibu Rika Rosilawati R, A.Md., selaku Staf Sekretariat Fakultas Hukum

ii

Universitas Komputer Indonesia; 13. Yth. Bapak Wahdi Suwardi (Pak Murai), selaku Pegawai di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia; 14. Seluruh Staf Dosen dan Karyawan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia; Kepada Orang Tuaku dan kaka-kaka ku yang telah memberikan dorongan dan doa sehingga Penulis dapat menyelesaikan Penulisan ini, serta kepada Yth. Alm. Bapak Prof. Dr. H . R. Otje Salman Soemadiningrat, S.H., selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia. Buat temen-temen fakultas Hukum, Rani, Andi, Firdausi, Maychal, Gerry, Amal dan teman-teman dijurusan lain yang selalu memberikan masukan dan spirit dalam penulisan ini serta pacarku Gilang Purwa Setia yang memberikan wawancara dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Dengan demikian Penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada semua pihak yang Penulis sebutkan, dan apabila ada yang tidak tersebutkan Penulis mohon maaf, dengan besar harapan semoga Tulisan ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan umumnya bagi pembaca. Bagi para pihak yang telah membantu dalam penulisan ini, semoga segala amal dan kebaikannya mendapatkan berkat yang berlimpah dari Tuhan Yang Maha Esa, Amin.

Bandung, Juli 2013

Penulis

iii

DAFTAR PUSTAKA A. Buku-Buku A. Qiram Syamsudin Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta, 1985. Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1990. C. Assers, Pengajian Hukum Perdata Belanda, Dian Rakyat, Jakarta 1991. Christhophorus Barutu, Sejarah dan Peraturan, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Badan Pengawasan dan Perdagangan Berjangka Komoditi, Jakarta, 2000. Fred Tumbuan, Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit , PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997. Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Direksi Atas Kepailitan Perseroan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004. Jono, Hukum Kepailitan, Cetakan. Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2008; Mariam Darus Badruzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bhakti, Jakarta, 2001. Martiman Prodojhamidjojo, Proses Kepailitan Menurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1988 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan, CV. Mandar Maju, Jakarta, 1999. Marzuki Usman Singgih Riphat Syahrir Ika, Pengetahuan Dasar Modal, Jurnal Keuangan dan Moneter, Jakarta, 1997. Munir Fuady, Hukum Pailit 1998 (Dalam Teori Dan Praktek), Cetakan. Pertama, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999. Otje Salman Soemadiningrat, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan, Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2004. Purwosutjipto, Pengertian Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia Jilid 8: Perwasitan, Kepailitan dan Penundaan Pembayaran , PT. Djambatan, Jakarta, 1992. Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Kepailitan Di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004. Rahayu Hartini, Edisi Revisi Hukum Kepailitan, UUM Pers, Malang, 2007.

Retnowulan Sutantio, Kapita Selekta Hukum Ekonomi dan Perbankan , Cetakan. Pertama, Varia Yustisia, 1996. Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis, Sinar Grafika, Jakarta, 2001. Siti Soemarti Hartono, Pengantar Hukum Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran, Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Jogjakarta, 1983. __________________, Seri Hukum Dagang, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Jakarta, 1993. Sri Rejeki Hartono,Hukum Kepailitan, UMM Pers, Malang, 2008. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1994. Subekti, Tjirosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramitha, Jakarta, 2001. Surajiman, Perjanjian Bernama, Posbakum, Jakarta, 2001. Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Faillissementsverordening Juncto Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, Pustaka Grafiti, Jakarta, 2002.

Widjarnako, Dampak Implementasi Undang-Undang Kepailitan Terhadap Sektor Perbankan, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 8, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, 1999. Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Sumur Bandung, Bandung, 1996. Zainal Asiki, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia , PT. Raja Grapindo Persada, Jakarta, 2000. B. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar 1945 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1982 tentang Bursa Komodi Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Perdagangan Komoditi Berjangka

C. Makalah Hetty Hassanah, Up-Grading Refreshing Course-Legal Research Methodolog, makalah disampaikan dalam Seminar Fakultas Hukum Unikom, pada tanggal 12 Februari 2011.

Parwoto Wignjosumarto, Tugas dan Wewenang Hakim Pengawas dalam Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Makalah disampaikan pada pelatihan Calon Hakim Pengadilan Niaga di Hotel Bumiraksa, Jakarta, 2006. D. Situs http://kasusinvestasi.bappebti.go.id http://bisniskeuangan.compas.com/read/waspadaiinvestasi bodong. http://kasus-kasus.hukumonline.com http://kerjasamainvestasi.detik.com http://pialangberjangka.google.com

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Investasi secara harfiah diartikan sebagai aktivitas atau kegiatan penanaman modal, sedangkan investor adalah orang atau badan hukum yang mempunyai uang melakukan investasi atau penanaman modal. 1 Kegiatan penanaman modal bukanlah hal yang baru dalam peradaban manusia, karena sudah sejak zaman dahulu masyarakat melakukan berbagai bentuk investasi. Pada zaman dahulu masyarakat melakukan investasi dalam bentuk investasi yang dilakukan secara langsung seperti, investasi dalam bentuk ternak, pembelian tanah dalam pertanian, atau investasi dalam pembuatan perkebunan dan lain sebagainya. Seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan ilmu teknologi, corak dan ragam investasi juga mulai mengalami

perkembangan, dari investasi yang bersifat kebendaan dan dilakukan secara langsung menjadi investasi terhadap modal atau bentuk-bentuk investasi yang baru seperti surat berharga, barang komoditi utama, seperti saham, obligasi, komoditi pekerbunan, seperti kelapa sawit, karet, minyak bumi dan lain-lain. Dunia investasi mulai menjadi ramai pada waktu kegiatan pembebasan tanah jajahan yang dilakukan oleh negara-negara Eropa. Pada abad ke- 16 pada saat bank mulai dikenal, yaitu sebagai lembaga tempat mempertemukan orang yang mempunyai kelebihan dana dengan

Marzuki Usman Singgih Riphat Syahrir Ika, Pengetahuan Dasar Modal, Jurnal Keuangan dan Moneter, Jakarta, 1997, Hlm. 45.

orang yang membutuhkan dana dengan memberikan imbalan dari pihak yang membutuhkan dana kepada yang memberikan dana pinjaman sesuai ketentuan lembaga bank. Berinvestasi tidak dapat lepas dari risiko, karena dalam setiap investasi pasti terdapat risiko yang besarnya tergantung dari jenis investasi tersebut dan pengetahuan para pihak yang terlibat dalam investasi tersebut. Perkembangan investasi yang semakin cepat dimulai dengan terbentuknya pasar modal yang disebabkan oleh pelaku usaha yang kekurangan modal. Banyak investasi yang dialihkan dari investasi secara langsung kepada investasi surat berharga, terutama oleh investor mandiri atau kecil dan menengah maupun oleh investor besar yang kurang menyukai risiko. Investor adalah orang yang menanamkan uangnya dalam usaha dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan, namun dapat dikatakan sebagai pihak-pihak yang melakukan kegiatan investasi. Investor pada umumnya dapat digolongkan menjadi dua yaitu: 1. Investor individual (individual/retail investors) adalah investor yang terdiri dari individu-individu yang melakukan aktivitas investasi. 2. Investor Institusional (Institutional Investors) biasanya terdiri dari perusahaan-perusahaan asuransi, lembaga penyimpanan dana bank dan lembaga simpan pinjam, lembaga dana pension, maupun perusahaan investasi.2

Christhophorus Barutu, Sejarah dan Peraturan, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Badan Pengawasan dan Perdagangan Berjangka Komoditi, Jakarta, 2000, Hlm.1.

Keberadaan Bursa Komoditi di Indonesia diawali terjadinya berbagai kasus penipuan tahun 1970- an yang dilakukan beberapa perusahaan komisioner yang menjalankan kegiatan penyaluran amanat kontrak berjangka komoditi dari nasabah di dalam negeri ke bursa berjangka luar negeri. Perusahaan komisioner pada praktiknya tidak melakukan penyaluran amanat dari nasabah tersebut ke bursa komoditi diluar negeri bahkan lebih parah lagi banyak nasabah yang dilarikan perusahaan komisioner. Akibat keadaan tersebut pada tahun 1977, Menteri Perdagangan pada waktu itu melarang kegiatan perdagangan berjangka komoditi dengan penyerahan kemudian. 3 Peran perdagangan berjangka yang diharapkan mampu untuk menunjang perekonomian pada umumnya. Pada tahun 1982 pemerintah mengeluarkan aturan tentang perdagangan berjangka yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1982 tentang Bursa Komoditi, yang diikuti dengan keluarnya Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 1982 tentang Pendirian dan Pokok-Pokok Organisasi Bursa Komoditi. Pada saat ini perdagangan komoditi diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tetang Perdagangan Berjangka Komoditi.4. Pada waktu itu pengawasan perdagangan komoditi dilakukan oleh Badan Pelaksana Bursa Komoditi (BAPPEBTI) yang berada dibawah kewenangan

Derpartemen Perdagangan kemudian terdapat aturan lain seperti Perjanjian kerjasama antara investor dengan perusahaan pialang merupakan dasar hukum utama dan acuan bagi para pihak untuk

Info Investasi, http://www.bappebti.go.id. Diakses Pada Hari Kamis, 28 Februari 2012, pukul 20.02 WIB. 4 Christhophorus Barutu, Op.cit, Hlm 19.

melaksanakan investasi dari investor di Bursa Berjangka. Beberapa hal yang harus diketahui tentang kerjasama investasi antara investor dengan perusahaan pialang berjangka diantaranya:5 1. Kedudukan Berjangka Investor Investor Terhadap adalah Pialang/ pemilik Wakil modal Pialang yang

mengamanatkan modalnya untuk diinvestasikan di bursa berjangka melalui pialang/wakil pialang berjangka dengan demikian terlihat bahwa pialang/wakil pialang berjangka hanya sebagai pihak perantara terhadap keinginan investasi yang akan dilakukan oleh investor. 2. Sistim Investasi di Bursa Berjangka Pelaksanaan investasi yang sudah ditanamkan melalui

pialang/wakil pialang berjangka adalah dengan jalan membeli kontrak-kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa berjangka. Seiring dengan perkembangannya banyak perusahaan yang dinyatakan pailit, salah satu penyebabnya adalah lemahnya aturan hukum yang dibuat oleh pemerintah sebagai regulator, sehingga kelemahannya itu dimanfaatkan oleh para pialang untuk berbuat curang terhadap investor. Perusahaan yang telah dinyatakan pailit dapat berimbas kepada perusahaan lainnya. Lembaga kepailitan merupakan salah satu kebutuhan pokok di dalam aktivitas bisnis karena adanya status pailit merupakan salah satu sebab pelaku bisnis keluar dari pasar. Apabila pelaku bisnis sudah tidak mampu lagi untuk bermain diarena

Ibid. Hlm.20.

pasar, maka dapat keluar dari pasar dalam hal seperti inilah kemudian lembaga kepailitan itu berperan.6 Realisasi dan tindakan pemerintah untuk melindungi hak-hak investor sebagai pihak yang berkaitan dengan masalah kepailitan adalah merevisi Undang-Undang Kepailitan sebagaiman diatur dalam Staatsblad Nomor 217 Tahun 1905 tentang Peraturan Kepailitan juncto Staatsblad Nomor 348 Tahun 1906 tentang Peraturan Kepailitan menjadi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan yang dikeluarkan pada tanggal 22 April 1998. Pada tanggal 9 September 1998 Perpu Nomor 1 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepalitian menjadi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Salah satu produk hukum yang bertujuan untuk menjamin kepastian,ketertiban, penegakan dan perlindungan hukum yang berisi keadilan dan kebenaran yang diperlukan saat ini untuk mendukung pembangunan perekonomian nasional adalah peraturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang.7 Tujuan utama dari perubahan peraturan perundang-undangan yang dimaksud di atas untuk memberikan keseimbangan antara investor dengan perusahaan pialang berjangka menghadapi masalah kepailitan, memberikan kepasdatian proses, baik menyangkut waktu, tata cara,
6 Rahayu Hartini, Edisi Revisi Hukum Kepailitan, UUM Pers, Malang, 2007, Hlm. 3. 7 Tujuan Menghadapi Keseimbangan Masalah Kepailitan, http://budisastra.info/home. Diakses Pada Hari Senin, 18 Maret 2012, pukul, 20.00 WIB.

tanggung jawab pengelolaan harta pailit dan memudahkan penyelesaian hutang piutang secara cepat, adil, terbuka, dan efektif.8 Pailit pada dasarnya merupakan suatu hal, di mana keadaan debitor (pihak yang berutang) yang berhenti membayar atau tidak membayar hutang-hutangnya pada kreditor (pihak yang memberi utang). Berhenti membayar bukan berati sama sekali tidak membayar, tetapi dikarenakan suatu hal pembayaran akan utang tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya, jadi apabila debitor mengajukan permohonan pailit, maka debitor tersebut tidak dapat membayar utang-utangnya atau tidak mempunyai pemasukan lagi bagi perusahaannya untuk menunaikan pembayaran utang. Tindakan pailit adalah suatu sitaan umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas. Harta Pailit akan dibagikan sesuai dengan porsi besarnya tuntutan Kreditor. Prinsip Kepailitan yang demikian ini merupakan realisasi dari ketentuan Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata yaitu kebendaan milik debitor menjadi jaminan bersama-sama bagi semua kreditor yang dibagi menurut prinsip keseimbangan atau Pari Pasu Prorata Parte. Fenomenanya dapat dilihat dari contoh kasus yang telah terjadi pada perusahaan pialang PT. Delta Indotama Gold mereka mengadakan perjanjian untuk melakukan investasi, di mana satu pihak sepakat untuk berinvestasi dan pihak lain mengelola investasi sesuai keinginan pihak ke satu. Perjanjian ini dibuat oleh PT. Delta Indotama Gold karena untuk
Widjarnako, Dampak Implementasi Undang-Undang Kepailitan Terhadap Sektor Perbankan, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 8, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, 1999, Hlm. 73.
8

meluruskan kekeliruan dan memberikan himbauan pada investor dari permasalahan yang sering muncul, dalam kenyataannya biasanya perjanjian dibuat secara sepihak oleh pialang atau pedagang berjangka yang diajukan kepada investor untuk disetujui. Memerlukan ketelitian dan kehati-hatian dari investor karena dalam pelaksanaanya banyak pialang dan pedagang berjangka yang hanya menginformasikan keuntungan yang besar tanpa disertai penjelasan tentang resiko yang memadai. Jika suatu saat perusahaan mengalami kerugian dalam jangka panjang maka perusahaan akan mengajukan pailit dan mengatur proses penyelesaian pengembalian modal dan penundaan pembayaran utangnya. Hal diatas jelas akan menimbulkan risiko yang lebih besar terhadap investor karena akan menimbulkan kerugian yang besar terhadap investasi mereka karena mereka tidak mampu memprediksikan apa yang akan terjadi dengan investasi mereka, sehingga akan menyebabkan investor akan menarik diri dalam melakukan investasi di Bursa Berjangka. Berdasarkan kasus yang terjadi di atas maka PT. Delta Indotama Gold menginginkan agar investor mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan kekeliruan mereka yang akan merugikannya. Perlindungan hukum yang diberikan bukanlah perlindungan yang diberikan ketika komoditi atau kontrak berjangka yang dimiliknya turun, kerugiannya akan dibayar atau diganti, akan tetapi perlindungan disini adalah sebuah perlindungan hukum dimana investor dijamin oleh sebuah sistem hukum atau aturan main yang akan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-hak dan pelaksanaan kewajiban dari investor tersebut.

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut yang akan dituangkan dalam bentuk Penulisan Skripsi yang berjudul :

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INVESTOR ATAS PAILITNYA PERUSAHAAN KERJASAMA PIALANG INVESTASI BERJANGKA DIHUBUNGKAN DALAM PERJANJIAN UNDANG-

DENGAN

UNDANG NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG.

B. Identifikasi Masalah Berdasarkan dari uraian latar belakang diatas, selanjutnya dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana pelaksanaan perlindungan hukum bagi investor atas pailitnya perusahaan pialang berjangka berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi Juncto Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang? 2. Bagaimana penyelesaian sengketa dalam perjanjian

kerjasama investasi sehubungan dengan pailitnya perusahaan pialang berjangka berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi Juncto

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?

C. Maksud dan Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui dan memahami pelaksanaan perlindungan hukum bagi investor atas pailitnya perusahaan pialang berjangka

berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi Juncto Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang. 2. Untuk mengetahui dan memahami penyelesaian sengketa dalam perjanjian kerjasama investasi antara investor dengan perusahaan pialang berjangka sehubungan dengan pailitnya perusahaan pialang berjangka berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi Juncto Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

D. Kegunaan Penelitian Penulisan hukum ini diharapkan dapat memperoleh kegunaan, baik secara teoritis maupun praktis. 1. Segi Teoretis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan rumusan pemikiran umumnya di bidang ilmu hukum, khususnya di bidang Hukum Kepailitan.

10

2. Segi Praktis Diharapkan dapat memberikan masukan bagi investor untuk lebih memahami perlindungan dan hak-hak bagi investor atas kepailitan perusahaan pialang berjangka dan diharapkan dapat menerapkan sistem penyelesaian sengketa kerjasama investasi yang sudah ada sehubungan dengan pailitnya perusahaan pialang berjangka.

E. Kerangka Pemikiran Alinea keempat pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 yang berbunyi: Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu UndangUndang Dasar Republik negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan atau perwakilan, serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945

menjelaskan tentang lima sila dari Pancasila. Pancasila secara substansial merupakan konsep luhur dan murni. Luhur karena telah mencerminkan nilai-nilai bangsa yang diwariskan turun temurun dan abstrak. Murni karena kedalaman substansial yang mencangkup beberapa pokok, baik agamis, ekonomis, ketuhanan, sosial, dan budaya yang memiliki corak partikular sehingga Pancasila secara konsep dapat

11

disebut sebagai suatu sistem tentang segala hal, karena secara konseptual seluruh hal yang tertuang dalam sila-sila berkaitan erat dan tidak dapat dipisahkan.9 Tujuan negara Indonesia dirumuskan dengan Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan iktu melaksanakan ketertiban dunia,yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial sedangkan prinsip dasar yang dipegang teguh untuk mencapai tujuan itu adalah dengan menyusun kemerdekaan Indonesia itu dalam suatu susunan Negera Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dan berdasarkan Pancasila. Rumusan dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sekaligus menegaskan

beberapa hal, yaitu: 1. Negara Indonesia mempunyai fungsi sekaligus menjadi tujuannya, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut

melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan pada kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social. 2. Negara Indonesia berbentuk Republik dan berkedaulatan rakyat. 3. Negara Indonesia mempunyai dasar falsafah Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan
Otje Salman Soemadiningrat, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan, Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2004, Hlm. 158.
9

12

beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang di pimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 4. dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Berkaitan dengan konsep Welfare State di mana, tujuan negara adalah untuk memberikan kesejahteraan bagi masyarakat seperti konsep yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham yaitu konsep The Greatest

Happiness Of The Greatest Number, kesejahteraan menjadi dasar utama bagi kaum masyarakat untuk berbahagia. Salah satu cara yang digunakan untuk mencapai kesejahteraan tersebut dengan di bukanya perusahaan investasi di Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Investasi dapat disebut juga dengan penanaman modal, yang dijelaskan pada bunyi Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yaitu: Penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanaman modal asing untuk melakukan usaha di wilayah Republik Indonesia. Berdasarkan ketentuan dari Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal tersebut investasi dapat disebut juga penanaman modal yang terdapat dua jenis modal yaitu:

13

1. Penanaman

modal

dalam

negeri

adalah

kegiatan

menanamkan modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesiia yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan menggunakan modal dalam negeri. 2. Penanaman modal asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri. Pengertian investor yang disebut Penanam Modal dalam Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang berbunyi: Penanam Modal adalah perseorangan atau badan usaha yang dapat melakukan penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing. Menurut penjelasan Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal diatas modal dibagi menjadi dua yaitu: 1. Investor asing atau penanam modal asing adalah

perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, badan hukum asing, dan/atau pemerintah asing yang melakukan penanaman modal di wilayah Republik Indonesia.

14

2. Investor dalam negeri atau penanam modal dalam negeri adalah perseorangan warga negara Indonesia, negara

Republik Indonesia, atau daerah yang melakukan penanaman modal di wilayah negara Republik Indonesia.

Masyarakat dapat berinvestasi secara langsung di perusahaan asing atau perusahaan negara lain dengan bentuk modal yang berwujud maupun tidak berwujud maupun berinvestasi secara tidak langsung di pasar modal atau pasar uang. Salah satu contoh investasi langsung yaitu di perusahaan pialang berjangka. Penanaman modal dalam kerjasama investasi antara investor dan perusahaan pialang ini berupa saham yang akan di kelola di Bursa Berjangka. Pengertian Bursa Berjangka terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang berbunyi: Bursa Berjangka adalah badan usaha yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan/atau sarana untuk kegiatan jual beli Komoditi berdasarkan Kontrak Berjangka dan Opsi atas Kontrak berjangka. Terdapat pula pengertian Pialang Berjangka yang di muat dalam Pasal 1 ayat (12) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang berbunyi: Pialang Perdagangan Berjangka yang selanjutnya disebut Pialang Berjangka adalah badan usaha yang melakukan jual beli Komoditi berdasarkan Kontrak Berjangka atas amanat Nasabah dengan menarik sejumlah uang dan/atau surat berharga tertentu sebagai margin untuk menjamin transaksi tersebut.

15

Berdasarkan Pasal 1 ayat (12) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi penjelasan Margin pada bunyi pasal diatas adalah sejumlah uang atau surat berharga yang harus ditempatkan oleh Nasabah pada Pialang Berjangka. Kegiatan kerjasama investasi antara investor dengan perusahaan pialang berjangka berdasarkan pada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang berbunyi: Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata kesepakatan dalam

perjanjian kerjasama investasi antara investor dengan perusahaan pialang berjangka berlaku sebagai undang-undang yang harus disepakati oleh kedua belah pihak yang bersepakat dalam pelaksanaan investasi. Suatu perusahaan dapat dinyatakan pailit oleh Pengadilan. Berkaitan dengan masalah kepailitan tersebut maka Pemerintah

mengeluarkan peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Pengertian kepailitan termuat dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang berbunyi: Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator

16

dibawah Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam UndangUndang ini. Menurut Siti Soemarti Hartono pailit adalah mogok melakukan pembayaran.10 Pailit dalam ilmu khasanah ilmu pengetahuan hukum diartikan sebagai keadaan debitor yang berutang berhenti membayar atau tidak membayarnya utang-utangnya, hal ini tercermin dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Udang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menyatakan bahwa: Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonanya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. Menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tersebut permohonan pernyataan pailit terhadap seorang debitor dapat diajukan oleh debitor sendiri. Istilah dalam Bahasa Inggris disebut voluntary petition, kemungkinannya tersebut menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang bukan saja untuk kepentingan kreditornya tetapi dapat pula diajukan untuk kepentingan debitornya sendiri. Debitor dapat mengajukan permohonan pailit terhadap dirinya hanya apabila terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. Debitor mempunyai dua atau lebih kreditor

Siti Soemarti Hartono, Pengantar Hukum Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran, Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Jogjakarta, 1983. Hlm.8.

10

17

2. Debitor sedikitnya tidak membayar satu utang yang telah jatuh waktu dan telah dapat ditagih Maksudnya yaitu apabila debitor tersebut tidak sanggup atau tidak mampu membayar utang-utangnya sehingga menimbulkan perebutan harta debitor tersebut oleh pihak kreditur, maka perlu pengaturan hukum agar utang-utang debitur dapat dibayar secara adil dan tertib. Berkaitan dengan penjelasan di atas terdapat pula lembaga kepailitan yang berfungsi sebagai berikut: 1. Sebagai lembaga pemberi jaminan kepada kreditornya bahwa debitur tidak akan berbuat curang dan tetap bertanggung jawab atas semua utang-utangnya kepada semua kreditur 2. Memberikan jaminan kepada debitor terhadap kemungkinan eksekusi masal oleh kreditur-krediturnya Asas-asas kepailitan yaitu: 1. Asas Keseimbangan Fungsi kepailitan adalah dapat mencegah terjadinya

penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitor yang tidak jujur dan di lail pihak mencegah kreditur yang tidak baik. 2. Asas Kelangsungan Usaha Terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan debitor yang prospektif tetap dilangsungkan. 3. Asas Keadilan

18

Ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak berkepentingan. Asas ini mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan-tagihan masing-masing terhadap debitor dengan tidak memperdulikan krediturnya. 4. Asas Integrasi Sistem hukum formil dan materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional. Para Pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yaitu: 1. Debitur 2. Seorang kreditur atau lebih 3. Kejaksaan 4. Bank Indonesia 5. Badan Pengawasan Pasa Modal 6. Menteri Keuangan

F. Metodologi Penelitian Metode penelitian yang digunakan penulis dalam menyusun skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Spesifikasi Penelitian Spesipikasi Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis, yaitu metode penelitian yang

19

digunakan dengan cara menggambarkan data dan fakta baik berupa: a. Data sekunder bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan antara lain: 1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(KUHPerdata) 2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) 3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi 4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi 5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang 6) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal 7) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas 8) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1982 tentang Bursa Komodi 9) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Perdagangan Komoditi Berjangka

20

b. Data sekunder bahan hukum sekunder berupa doktrin atau pendapat para ahli hukum terkemuka. c. Data sekunder bahan hukum tersier berupa bahan-bahan yang di dapat dari majalah, brosur, artikel-artikel, surat kabar dan internet. Berdasarkan data diatas maka penulis bertujuan untuk menggambarkan secara lengkap ciri-ciri keadaan, perilaku kepribadian, perilaku kelompok dengan memisahkan data yang telah terkumpul untuk kemudian ditafsirkan, digambarkan sejauh mana upaya penegak hukum dalam melaksanakan itikad baik dalam melakukan perjanjian dan cara penyelesaian sengketa perjajanjian perkara perdata tersebut. 2. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan hukum yang digunakan dalam penulisan hukum ini yaitu secara yuridis normatif, yaitu hukum dikonsepsikan sebagai norma, asas atau dogma-dogma.11 Pada penulisan hukum ini, penulis mencoba melakukan penafsiran hukum gramatikal yaitu penafsiran yang dilakukan dengan cara melihat arti kata pasal dalam undang-undang. Penafsiran yang dilakukan dengan hukum sosiologis yaitu penafsiran bahwa yang dilakukan pembuatan

mengahadapi undang-undang

kenyataan yang

kehendak

tertuang

dalam bentuk perjanjian

Hetty Hassanah, Up-Grading Refreshing Course-Legal Research Methodolog, makalah disampaikan dalam Seminar Fakultas Hukum Unikom, pada tanggal 12 Februari 2011, Bandung, Hlm. 6.

11

21

ternyata tidak sesuai lagi dengan tujuan sosial yang seharusnya dijadikan contoh pada saat ini. 3. Tahap Penelitian a. Penelitian Kepustakaan (Library Research) Penelitian bahan kepustakaan dilakukan untuk memperoleh primer, sekunder dan tersier yang

hukum

berhubungan dengan pelaksanaan perjanjian berjangka. b. Penelitian Lapangan (Field Research) Penelitian lapangan dilakukan untuk menunjang dan melengkapi studi kepustakaan dengan wawancara. 4. Tehnik Pengumpulan Data Tehnik Pengumpulan Data yang dilakukan penulis adalah sebagai berikut: a. Studi Dokumen, yaitu tehnik pengumpulan data yang berupa data primer, sekunder dan tersier yang berhubungan dengan permasalahan yang penulis teliti. b. Wawancara, yaitu mengadakan tanya jawab dengan pihak Riki sebagai Owner PT.Indotama Gold dengan cara mempersiapkan pertanyaan terlebih dahulu untuk memperlancar proses wawancara. 5. Metode Analisis Data Hasil Penelitian dianalisis secara yuridis kualitatif untuk mencapai kepastian hukum, dengan memperhatikan hirarki peraturan perundang-undangan, sehingga ketentuan-

22

ketentuan yang satu telah bertentangan dengan ketentuan lainnya serta menggali hukum yang tidak tertulis. 6. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian diambil untuk mendapatkan data yang dibutuhkan dalam penyusunan skripsi ini, yaitu: a. Perpustakaan 1) Universitas Komputer Indonesia Jl. Dipati Ukur No.112 Bandung 2) Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Jl. Imam Bonjol No. 21 Bandung b. Intansi 1) PT. Indotama Gold Jl. Surapati Core Ruko 1H, Bandung c. Situs 1) www.hukumonline.com 2) www.suaramedia.com 3) www.detik.com 4) www.google.com 5) www.bappebti.com

BAB II RUANG LINGKUP PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DAN TINJAUAN TENTANG KEPAILITAN SERTA RUANG LINGKUP PERJANJIAN A. Perdagangan Berjangka Komoditi 1. Sejarah Perdagangan Berjangka Komoditi di Indonesia Kehadiran perdagangan berjangka komoditi di Indonesia

sebenarnya sudah lama ada, akan tetapi perdagangan dilakukan melalui bursa berjangka yang ada di luar Indonesia. Pada waktu itu banyak perusahaan asing yang bekerjasama dengan perusahaan lokal menjalankan kegiatan penyaluran amanat nasabah ke bursa berjangka luar negeri melalui beberapa perusahaan komisioner.12 Seiring perkembangan jaman dengan maraknya kasus penipuan yang terjadi, maka pada tahun 1977, Menteri Perdagangan saat itu menerbitkan SK No. 03/m/INS/77 tentang Pelarangan Kegiatan Perdagangan Berjangka Komoditi sehingga membuat perkembangan perdagangan berjangka menjadi terhambat/mundur. Pemerintah masih menganggap penting keberadaan perdagangan berjangka, hal ini terlihat lima tahun kemudian tepatnya pada tahun 1982 Pemerintah membentuk suatu badan untuk mempersiapkan pendirian bursa komoditi di Indonesia melalui Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1982 tentang Bursa Komoditi, serta membentuk badan pelaksanaan perdagangan Berjangka Komoditi dibawah Departemen Perdagangan (BAPPEBTI).

12

Christhophorus Barutu, Op.cit. Hlm.10

23

24

Bertahun-tahun Badan Pengawasan Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI) menyiapkan keperluan untuk lahirnya bursa berjangka pertama di Indonesia, setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi, persiapan untuk membentuk bursa komoditi juga semakin mantap. Pada tanggal 21 November 2000, izin usaha bursa berjangka pertama dikeluarkan oleh BAPPEBTI, melalui Surat Keputusan Nomor 02/BAPPEBTI/SI/XI/2000 tentang Pemberian Izin Usaha Untuk Menyelenggarakan Bursa Berjangka Kepada PT Bursa Berjangka Jakarta. Pada saat itu Bursa Berjangka pertama yang dinamakan Bursa Berjangka Jakarta resmi berdiri dan pada tanggal 15 Desember 2000 untuk pertama kalinya Bursa Berjangka Jakarta melakukan transaksi berjangka.

2. Pengertian Perdagangan Berjangka Perdagangan Berjangka Komoditi yang selanjutnya disebut Perdagangan Berjangka adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan jual beli Komoditi dengan penyerahan kemudian berdasarkan Kontrak Berjangka dan Opsi Atas Kontrak Berjangka. Menurut Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang

Perdagangan Berjangka Komoditi yang berbunyi: Kontrak Berjangka adalah suatu bentuk kontrak standar untuk membeli atau menjual komoditi dalam jumlah, mutu, jenis, tempat dan waktu penyerahan di kemudian hari yang telah ditetapkan, dan termasuk dalam pengertian Kontrak Berjangka ini adalah Opsi Atas Kontrak Berjangka.

25

Opsi Atas Kontrak Berjangka tedapat dalam Pasal 1 angka (5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang berbunyi: Opsi Atas Kontrak Berjangka, yang selanjutnya disebut Opsi, adalah suatu kontrak yang memberikan hak kepada pembeli untuk membeli atau menjual Kontrak Berjangka Atas Komoditi tertentu pada tingkat harga, jumlah, dan jangka waktu tertentu yang telah ditetapkan terlebih dahulu dengan membayar sejumlah premi. Berdasarkan definisi di atas, pengertian perdagangan berjangka bukan hanya kegiatan transaksi jual beli yang terjadi di bursa berjangka saja tetapi mempunyai arti yang lebih luas yaitu mencangkup proses penawaran kontrak berjangka oleh Wakil Perusahaan Pialang Berjangka (wakil pialang) kepada nasabahnya, penempatan amanat oleh nasabah, pelaksanaan transaksi sampai penyelesaian keuangan dari transaksi yang bersangkutan atau penyerahan barangnya. Prosesnya juga termasuk dalam kegiatan perdagangan berjangka adalah kegiatan promosi yang dilakukan oleh para pelaku perdagangan berjangka (perusahaan pialang

berjangka/perusahaan trading).

3. Institusi dalam Perdagangan Berjangka Perdagangan berjangka mencakup institusi yang berperan penting dan secara langsung terlibat dalam kegiatan berjangka, yaitu: a. Badan Pengawas Badan Pengawas merupakan lembaga pemerintah yang diberi tugas dan wewenang berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku untuk mengawasi kegiatan perdagangan

26

berjangka. Keberadaan badan pengawas diatur dalam Bab II Pasal 4 sampai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi. Berikut uraian isi pasal-pasal di atas yaitu: Pasal 4 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang berbunyi: (1) Pembinaan, pengaturan, dan pengawasan sehari-hari kegiatan Perdagangan Berjangka dilakukan oleh Badan Pengawasan Berjangka Komoditi, yang selanjutnya disebut Bappebti. (2) Bappebti berada dibawah dan tanggung jawab kepada Menteri. (3) Susunan dan kedudukan organisasi ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang berbunyi: Pembinaan, pengaturan, dan pengawasan sehari-hari sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1), dilakukan dengan tujuan: a. Mewujudkan kegiatan Perdagangan Berjangka yang teratur, wajar, efisien, dan efektif serta dalam suasana persaingan yang sehat. b. Melindungi kepentingan semua pihak dalam Perdagangan Berjangka; dan c. Mewujudkan kegiatan Perdagangan Berjangka sebagai sarana pengelolaan risiko harga dan pembentukan harga yang transfaran. Pasal 6 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang berbunyi: Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5, Beppebti berwenang: a. Membuat pelaksanaan lebih lanjut yang bersifat teknis atas Undang-Undang ini dan/atau peraturan pelaksanaannya; b. Memberikan: 1) Izin usaha kepada Bursa Berjangka, Lembaga Kliring Berjangka, Pialang Berjangka, Penasihat

27

c. d.

e.

f.

g.

h.

i.

j.

k.

Berjangka, dan Pengelolaan Sentra Dana Berjangka; 2) Izin kepada orang peseorangan untuk menjadi Wakil Pialang Berjangka, Wakil Penasihat Berjangka, dan Wakil Pengelolaan Sentra Dana Berjangka; 3) Sertifikat pendaftaran kepada Perdagangan Berjangka; 4) Persetujuan kepada Pialang Berjangka dalam negeri untuk menyalurkan amanat Nasabah dalam Negeri ke Bursa Berjangka Luar Negeri; 5) Persetujuan kepada bank berdasarkan rekomendasi Bank Indonesia untuk menyiapakan dana Nasabah, Dana Kompensasi, dan dana jaminan yang berkaitan dengan Transaksi Kontrak Berjangka serta untuk Pembentukan Sentra Dana Berjangka; Menetapkan daftar Bursa Berjangka luar negeri dan Kontrak Berjangkanya; Melakukan pemeriksaan terhadap pihak yang memiliki izin usaha, izin orang perorangan, persetujuan atau sertifikat persetujuan; Menunjuk pihak lain untuk melakukan pemeriksaan tertentu dalam rangka pelaksanaan wewenang Bappebti sebagaimana dimaksud huruf d; Memerintahkan pemeriksaan dan penyidik kepada setiap pihak yang diduga melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang ini dan/atau peraturan pelaksanaanya; Menyetujui peraturan dan tata tertib Bursa Berjangka dan Lembaga Kliring Berjangka termasuk perubahannya; Memberikan persetujuan terhadap Kontrak Berjangka yang akan digunakan sebagai dasar jual beli Komoditi di Bursa Berjangka sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan; Menetapkan persyaratan dengan tata cara pencalonan dan memberhentikan untuk sementara waktu anggota dewan komisaris dan/atau direksi serta menunjuk manajemen sementara Bursa Berjangka dan Lembaga Kliring Berjangka sampai dengan terpilihnya anggota dewan komisaris dan/atau direksi yang baru oleh Rapat Umum Pemegang Saham; Menetapkan persyaratan keuangan minimum dan kewajiban pelaporan bagi Pihak yang memiliki izin usaha berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini dan/atau peraturan pelaksanaannya; Menetapkan batas jumlah maksimum dan batas jumlah wajib lapor posisi terbuka Kontrak Berjangka yang dapat dimiliki atau dikuasai oleh setiap Pihak;

28

l.

m.

n. o.

p. q.

r.

s.

Mengarahkan Bursa Berjangka dan Lembaga Kliring Berjangka untuk mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu apabila diyakini akan terjadi keadaan yang mengakibatkan perkembangan harga di Bursa Berjangka menjadi tidak wajar dan/atau pelaksanaan Kontrak Berjangka menjadi terhambat; Mewajibkan setiap pihak untuk menghentikan atau memperbaiki iklan atau kegiatan promosi yang menyesatkan berkaitan dengan Perdagangan Berjangka dan Pihak tersebut mengambil langkahlangkah yang diperlukan untuk mengatasi akibat yang timbul dari iklan atau promosi dimaksud; Menetapkan ketentuan tentang Dana Nasabah yang uberada pada Pialang yang mengalami pailit; Memerika keberatan yang diajukan oleh suatu pihak terhadap keputusan Bursa Berjangka atau Lembaga Kliring Berjangka serta memutuskan untuk menguatkan atau membatalkannya; Membentuk sarana penyelesaian permasalahan yang berkaitan dengan kegiatan Perdagangan Berjangka; Mengumumkan hasil pemerikasaan, apabila dianggap perlu, untuk menjamin terlaksananya mekanisme pasar dan ketaatan semua pihak terhadap ketentuan Undang-Undang ini dan/atau peraturan pelaksanaannya; Melakukan tindakan yang diperlukan untuk mencegah kerugian masyarakat sebagai akibat pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang ini dan/atau peraturan pelaksanaannya; Melakukan hal-hal lain yang diberikan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini dan/atau peraturan pelaksanaannya

Pasal 7 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang berbunyi: (1) Bappebti mengenakan biaya kepada Pihak atas kegiatan pelayanannya dalam memberikan izin, persetujuan dan kegiatan lain; (2) Ketentuan dan besar biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Pasal 8 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang berbunyi: Sebagai pegawai Bappebti dan/atau pihak lain yang ditugasi oleh Bappebti melakukan pemeriksaan atau

29

penyidikan dilarang memanfaatkan setiap informasi yang diperoleh untuk kepentingan pribadi atau mengungkapkan kepada pihak lain, kecuali pengungkapan informasi tersebut diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang berbunyi: Apabila diperlukan Bappebti dapat meminta pendapat dari ahli atau membentuk komite untuk memberikan pertimbangan dan/atau memberikan nasihat kepada Bappebti sehubungan dengan kegiatan dan pengembangan Perdagangan Berjangka. Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi tersebut, badan pengawasan merupakan salah satu unit yang berada dibawah dan

bertanggungjawab kepada Menteri dalam bidang Perdagangan dan badan pengawasan tersebut dinamakan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI). Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi

(BAPPEBTI) mempunyai wewenang yang cukup luas yang pada dasarnya diarahkan untuk memudahkan terselenggarakannya perdagangan berjangka yang tertib dan teratur. Kewenangan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI) diantaranya adalah:13 1) Mencakup memberikan penafsiran dan pembuatan peraturan teknis pelaksanaan perdagangan berjangka 2) Sebagai lembaga perizinan bagi pengelola pasar dan para profesional dalam perdagangan berjangka

13

Ibid, Hlm.40.

30

3) Sebagai lembaga yang memberi persetujuan berbagai bentuk peraturan dan tata tertib bursa berjangka serta lembaga kontrak) 4) Melakukan pemantauan harian, pemeriksaan dan penyidikan terhadap kegiatan perdagangan berjangka apabila tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi. kliring berjangka (termasuk persyaratan

b. Bursa Berjangka Bursa Berjangka merupakan institusi yang berperan sebagai penyelenggara kegiatan perdagangan berjangka. Hal ini sesuai dengan pengertian Bursa Berjangka itu sendiri sebagai mana diatur dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yaitu: Bursa Berjangka adalah badan usaha yang

menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan/atau sarana untuk kegiatan jual beli Komoditi berdasarkan Kontrak Berjangka dan Opsi atas Kontrak Berjangka. Bursa berjangka merupakan lembaga yang menyediakan fasilitas serta menyelenggarakan dan mengawasi kegiatan

transaksi di pasar berjangka agar sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pelaksanaan bursa berjangka mendapatkan wewenang untuk membuat aturan sendiri dalam organisasinya (Self

31

Regulatory Organization/SRO) yaitu peraturan dan tata tertib yang harus dipatuhi anggotanya dan para pelaku transaksi. Keberadaan bursa berjangka diatur dalam Bab II Pasal 10 sampai dengan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi, beikut rumusanrumusan isi pasalnya: Pasal 10 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang berbunyi: Bursa Berjangka didirikan dengan tujuan

menyelenggarakan transaksi Kontrak Berjangka yang teratur, wajar, efisien, efektif, dan transparan. Pasal 11 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang berbunyi: Izin usaha untuk menyelenggarakan Bursa Berjangka hanya dapat diberikan oleh Bappebti kepada badan usaha berbentuk perseroan terbatas. Pasal 12 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang berbunyi: (1) Bursa Berjangka didirikan oleh sejumlah badan usaha yang satu dengan yang lainnya tidak berafiliasi. (2) Pendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan anggota pertama Bursa Berjangka. (3) Yang dapat menjadi pemegang saham Bursa Berjangka adalah Anggota Bursa Berjangka yang bersangkutan. (4) Pedagang Berjangka wajib memperoleh sertifikat pendaftaran dari Bappebti sebelum diperkenankan melakukan kegiatan perdagangan di Bursa Berjangka.

32

Pasal 13 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang berbunyi: Penyaluran amanat Nasabah ke Bursa Berjangka luar negeri hanya dapat dilakukan ke Bursa Berjangka dan Kontrak Berjangka yang daftarnya ditetapkan oleh

Bappebti. Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang berbunyi: (1) Kegiatan transaksi Kontrak Berjangka hanya dapat dilakukan di Bursa Berjangka yang telah memperoleh izin usaha dari Bappebti dan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini dan/atau peraturan lainnya. (2) Kontrak Berjangka lainnya hanya dapat ditransaksikan di Bursa Berjangka setelah ketentuan dan persyaratannya mendapat persetujuan dari Bappebti. (3) Penerbitan Opsi hanya dapat dilakukan oleh Pihak yang telah memperoleh persetujuan da ri Bappebti. Pasal 15 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang berbunyi: Bursa Berjangka dapat menyelenggarakan transaksi fisik komoditi yang jenisnya sebagimana diatur dalam Pasal 3. Pasal 16 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang berbunyi: Bursa Berjangka Bertugas: a. Menyediakan fasilitas yang cukup untuk dapat terselenggaranya transaksi Kontrak Berjangka yang teratur, wajar, efisien, dan efektif; b. Menyusun rencana anggaran tahunan dan penggunaan laba Bursa Berjangka sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh dan dilaporkan kepada Bappebti; dan c. Menyusun peraturan dan tata tertib Bursa Berjangka. Pasal 17 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang berbunyi:

33

(1) Bursa Berjangka wajib: a. Memiliki modal yang cukup untuk menyelenggarakan kegiatan Bursa Berjangka dengan baik; b. Menyiapkan catatan dan laporan secara rinci seluruh kegiatan dengan Anggota Bursa Berjangka yang berkaitan dengan transaksi Kotrak Berjangka dan penguasaan komoditi yang menjadi subjek Kontrak Berjangka tersebut; c. Menjamin kerahasiaan informasi posisi keuangan serta kegiatan Usaha Bursa Berjangka, kecuali informasi tersebut diberikan dalam rangka pelaksanaan ketentuan Undang-Undang ini dan/atau peraturan pelaksanaannya; d. Membentuk Dana Kompensasi; e. Mempunyai satuan pemeriksa; f. Medokumentasikan dan menyimpan data dengan baik semua data yang berkaitan dengan kegiatan Bursa Berjangka; g. Menyebarluaskan informasi harga Kontrak Berjangka yang diperdagangkan; h. Memantau kegiatan dan kondisi keuangan Anggota Bursa Berjangka yang tidak memenuhi persyaratan keuangan dan pelaporan, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dan/atau peraturan pelaksanaannya. (2) Pimpinan satuan pemerikasa sebagaimana dimaksudpada ayat (1) huruf e, wajib melaporkan secara langsung kepada direksi, dewan komisaris Bursa Berjangka, dan Bappebti tentang masalah materiil yang ditemukan, yang dapat mempengaruhi Anggota Bursa Berjangka dan/atau Bursa Berjangka yang bersangkutan. (3) Bursa Berjangka wajib menyediakan semua laporan satuan pemeriksa setiap saat apabila diperlukan oleh Bappebti. (4) Sebelum diberlakukan peraturan, peraturan dan tata tertib Bursa Berjangka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf c termasuk perubahannya, wajib memperoleh persetujua dari Bappebti. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang berbunyi: Bursa Berjangka berwenang:

34

a. Mengevaluasi dan menguji kualifikasi calon serta menerima atau menolak calon tersebut menjadi Aggota Bursa Berjangka; b. Mengatur dan menetapkan sistem penentuan harga penyelesaian, bersama dengan Lembaga Kliring Berjangka; c. Menetapkan persyaratan keuangan minimum dan pelaporan bagi Anggota Bursa Berjangka; d. Melakukan pengawasan dan kegiatan serta pemeriksaan terhadap pembukuan dan catatan Anggota Bursa Berjangka secara berkala dan sewaktuwaktu diperlukan; e. Menetapkan biaya keanggotaan dan biaya lain; f. Melakukan tinggapan yang dianggap perlu untuk mengamankan transaksi Kontrak Berjangka, temasuk mencegah kemungkinan terjadinya manipulasi harga; g. Menetapkan mekanisme penyelesaian pengaduan dan perselisihan sehubungan dengan Transaksi Kontrak Berjangka; h. Mengambil langkah-langkah untuk menjamin terlaksananya mekanisme transaksi Kontrak Berjangka dengan baik serta melaporkannya kepada Bappebti; dan i. memperoleh informasi yang diperlukan dari Lembaga Kliring Berjangka yang berkaitan dengan transaksi yang dilakukan oleh Anggota Lembaga KliringnBerjangka. Pasl 19 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang berbunyi: Kegiatan transaksi di Bursa Berjangka dapat diberhentikan sementara waktu, baik untuk sebagian mampu seluruh Kontrak Berjangka, apabila terdapat halhal yang merugikan kepentingan masyarakat atau keadaan yang tidak memungkinkan diselenggarakannya kegiatan transaksi Kontrak berjangka secara wajar. Pasal 20 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang berbunyi: Penghentian sementara waktu, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19: a. untuk jangka waktu tidak lebih dari satu hari kerja dapat dilakukan oleh Bursa Berjangka dengan kewajiban segera melaporkannya kepada Bappebti dan

35

b.

untuk jangka waktu lebih dari satu hari kerja, hanya dapat dilakukan ole Bappebti.

Pasal 21 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang berbunyi: (1) Apabila penyebab penghentian sementara waktu transaksi seluruh Kontrak Berjangka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 tidak dapat diatasi dalam jangka waktu tertentu, Bappeti menghentikan kegiatan Bursa Berjangka secara tetap dan mencabut izin usahanya. (2) Sebelum menetapkan penghentian Bursa Berjangka secara tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bappebti wajib mempertimbangkan kepentingan masyarakat umum, Nasabah, Anggota Bursa Berjangka yang bersangkutan, dan lembaga lain yang berkaitan dengan kegiatan perizinan Bursa Berjangka. (3) Tindakan sebagamana dimaksud ayat (1) wajib dilaporkan oleh Bappebti kepada Menteri dan di umumkan secara luas. Pasal 22 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang berbunyi: (1) Apabila izin usaha Bursa Berjangka dicabut, badan hukum Bursa Berjangka yang bersangkutan diumbarkan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. (2) Apabila terdapat kekuasaan hasil likuidasi Bursa Berjangka yang menjadi hak pialang Berjangka sebagai pemegang saham, sisa kekayaan tersebut wajib digunakan terlebih dahulu untuk membayarkan kewajiban Pialang Berjangka yang bersangkutan kepada Nasabah. Pasal 23 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang berbunyi: Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pendirian, perizinan, penghentian, dan pembubaran Bursa Berjangka sebagaimana dimaksud dalam Pasal, 12, Pasal 13, Pasal

36

14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Bursa berjangka disyaratkan harus berbentuk perseroan terbatas (PT) dengan minimal 11 pendiri sebagai badan usaha yang tidak berafiliasi satu dengan yang lainnya untuk menghindari kepemilikan bursa berjangka dikuasai oleh satu orang atau kelompok tertentu, maka setiap pemegang saham hanya boleh memiliki satu saham saja.

c. Lembaga Kliring Berjangka Lembaga Kliring Berjangka merupakan lembaga

penunjang atau pelengkap bursa berjangka. Semua transaksi yang dilakukan di bursa berjangka dijamin dan diselesaikan oleh lembaga kliring berjangka. Hal ini lembaga kliring berjangka bertindak sebagai wakil penjual terhadap pembeli dan sebagai pembeli terhadap penjual.14 Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang berbunyi: Lembaga Kliring dan Penjamin Berjangka, yang selanjutnya disebut Lembaga Kliring Berjangka, adalah badan usaha yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan/atau sarana untuk pelaksanaan kliring dan penjamin transaksi di Bursa Berjangka. Lembaga Kliring Berjangka diatur dalam Bab II Pasal 24 sampai dengan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997

14

Ibid. Hlm.62.

37

tentang Perdagangan Berjangka Komoditi. Berikut rumusan isi pasalnya: Pasal 24 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang berbunyi: Lembaga Kliring Berjangka didirikan dengan tujuan mendukung terciptanya transaksi Kontrak Berjangka yang tertaur, wajar, efisien, dan efektif di Bursa Berjangka. Pasal 25 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang berbunyi: (1) Penyelenggaraan Bursa Berjangka dilengkapi dengan Lembaga Kliring Berjangka. (2) Lembaga Kliring Berjangka, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah badan usaha berbentuk perseroan terbatas yang telah memperoleh izin usaha sebagai Lembaga Kliring Berjangka dari Bappebti. (3) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2), hanya diberikan kepada badan usaha yang terpisah dari Bursa Berjangka dan bersifat mandiri. Pasal 26 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang berbunyi: Lembaga Kliring Berjangka, bertugas antara lain: a. Menyediakan fasilitas yang cukup untuk terlaksananya penyelesaian transaksi Kontrak Berjangka; dan b. Menyusun peraturan dan tata tertib Lembaga Kliring Berjangka. Pasal 27 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang berbunyi: Lembaga Kliring Berjangka wajib: a. Memiliki modal yang cukup untuk menyelenggarakan kegiatan Lembaga Kliring Berjangka dengan baik; b. Menyimpan dana yang diterima dari Anggota Kliring Berjangka pada Bank yang disetujui oleh Bappebti; c. Menjamin kerahasiaan informasi posisi keuangan serta kegiatan usaha Anggota Kliring Berjangka, kecuali

38

informasi tersebut diberikan dalam rangka pelaksanaan ketentuan Undang-Undang ini dan/atau peraturan pelaksanaannya; d. Mendokumentasikan dan menyimpan semua data yang berkaitan dengan kegiatan Lembaga Kliring Berjangka; dan e. Memantau kegiatan dan kondisi keuangan Anggota Kliring Berjangka serta mengambil tindakan pembekuan atau pemberhentian Anggota Kliring Berjangka yang tidak memenuhi persyaratan keuangan minimum dan pelaporan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dan/atau peraturan pelaksanaannya; f. Sebelum diberilakukan, peraturan dan tata tertib Lembaga Kliring Berjangka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf b termasuk perubahannya, wajib memperoleh persetujuan dari Bap pebti. Pasal 28 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang berbunyi: Lembaga Kliring Berjangka berwenang: a. Mengevaluasi dan menguji kualifikasi calon serta menerima atau menolak calon tersebut menjadi Anggota Kliring Berjangka; b. Menetapkan persyaratan keuangan minimum dan pelaporan bagi Anggota Kliring Berjangka; c. Melakukan pengawasan kegiatan serta pemeriksaan terhadap pembukuan dan catatan Anggota Kliring Berjangka secara berkala dan sewaktu-waktu diperlukan; d. Menetapkan biaya keanggotaan dan biaya lain; e. Memperoleh informasi yang diperlukan dari Bursa Berjangka yang berhubungan dengan transaksi yang dilakukan oleh Anggota Kliring Bejangka; dan f. Mengambil langkah-langkah untuk menjamin terlaksananya mekanisme kliring dan penjamin transaksi Kliring Berjangka dengan baik serta melaporkan kepada Bappebti. Pasal 29 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang berbunyi: (1) Kegiatan Lembaga Kliring Berjangka dihentikan apabila terjadi penghentian kegiatan transaksi di Bursa Berjangka secara tetap.

39

(2) Apabila kegiatan Lembaga Kliring Berjangka dihentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bappebti mencabut izin usaha Lembaga Kliring Berjangka dan selanjutnya badan hukum Kliring Berjangka yang bersangkutan dibubarkan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 30 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang berbunyi: Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara perizinan, penghentian, dan pembubaran Lembaga Kliring Berjangka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 29, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Berdasarkan rumusan pasal di atas tugas Lembaga Kliring Berjangka harus menyelesaikan semua transaksi yang terjadi di bursa berjangka, maka setiap anggota kliring disyaratkan memiliki kemampuan keuangan yang kuat, untuk menjamin terlaksananya kegiatan penjaminan dan penyelesaian transaksi dengan lancar dan baik. Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi pelaksanaan tugasnya tersebut Lembaga Kliring Berjangka diberikan wewenang untuk membuat peraturan dan tata tertib organisasinya sendiri termasuk sistim pelaporan dan pemantauan transaksi termasuk pemeriksaan terhadap anggotanya.

40

d. Perusahaan Pialang Berjangka (Perusahaan Trading) Pialang berjangka merupakan pelaku utama dan transaksi yang terjadi di bursa berjangka. Pialang Berjangka adalah pelaku yang mengelola amanat (order) dari nasabah dan meneruskannya untuk ditransaksikannya di bursa berjangka. Pengertian Pialang Berjangka terdapat dalam Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang berbunyi: Pialang Perdagangan Berjangka yang selanjutnya disebut Pialang Berjangka, adalah badan usaha yang melakukan kegiatan jual beli Komoditi berdasarkan Kontrak Berjangka atas amanat Nasabah dengan menarik sejumlah uang dan/atau surat berharga tertentu sebagai margin untuk menjamin transaksi tersebut. Pialang Berjangka diatur dalam Bab IV Pasal 31 sampai dengan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi. Berikut rumusan isi pasalnya: Pasal 31 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang berbunyi: (1) Kegiatan usaha sebagai Pialang Berjangka hanya dapat dilakukan oleh Anggota Bursa Berjangka yang berbentuk perseroan terbatas yang memperoleh izin usaha Pialang Berjangka dari Bappebti. (2) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya diberikan kepada Anggota Bursa Berjangka yang memiliki integritas keuangan, reputasi bisnis yang baik, dan kecakapan profesi.

41

(3) Pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang perseorangan yang telah memperoleh izin Wakil Pialang Berjangka dari Bappebti. Pasal 32 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang berbunyi: Penyaluran amanat Nasabah ke Bursa luar negeri hanya dapat dilakukan oleh Pialang Berjangka yang memenuhi persyaratan tertentu berdasarkan ketetapan Bappebti. Pasal 33 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang berbunyi: Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara perizinan Pilang Berjangka yang menyalurkan Amanat Nasabah ke Bursa Berjangka luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 32, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Perusahaan Pialang Berjangka disyaratkan berbentuk Perseroan Terbatas (PT) sesuai dengan Pasal 1 ayat 1 UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa: Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya. Pembagian wewenang dalam Perseroan Terbatas

kekayaan perusahaan dan pemilik modal harus terpisah. Struktur organisasi peseroan terbatas terdiri dari Pemegang Saham, Direksi, dan Komisaris dan menjadi anggota di bursa berjangka serta mendapat izin usaha dari Badan Pengawasan Perdagangan

42

Berjangka Komoditi (BAPPEBTI). Perusahaan pialang berjangka ini yang selanjutya disebut sebagai perusahaan trading dalam penulisan skripsi ini. Bentuk tanggung jawab Perseroan Terbatas dapat

dijelaskan dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa: (1) Pemegang saham Perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak berlaku apabila: a. persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi; b. pemegang saham yang bersangkutan baik

langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk

kepentingan pribadi; c. pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan atau d. pemegang saham baik langsung ataupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan yang mengakibatkan

43

Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan. Pelaksanaan memenuhi pedoman Kegiatannya berperilaku pialang yang berjangka ditetapkan harus dalam

menyalurkan amanat dari nasabahnya. Selain itu sebelum dapat menjadi pialang berjangka setiap orang harus mengikuti tes dan mendapakan sertifikasi dari Badan Pengawasan Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPEBBTI) sebagai bentuk izin dari pialang berjangka.

e. Sentra Dana Berjangka Sentra Dana Berjangka dikelola oleh Pengelola Sentra Dana Berjangka (PSDB) yang merupakan badan usaha berbadan hukum perseroan terbatas (PT) yang diberi izin usaha oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI) untuk menyelenggarakan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat yang dipergunakan dalam transaksi kontrak berjangka di bursa berjangka. Dana yang dihimpun tersebut dikelola dalam Sentra Dana Berjangka yang dibentuk atas kesepakatan dengan peserta Sentra Dana Berjangka mendapatkan sertifikat penyertaan yang telah ditetapkan nominalnya. Dana Setra Berjangka disimpan dan diadministrasikan di bank penitipan yang disetujui oleh Badan Pengawasan Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI).

44

Pengertian Sentra Dana Berjangka diatur dalam Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang berbunyi: Sentra Dana Berjangka yang selanjutnya disebut Sentra Dana Berjangka adalah wadah yang digunakan untuk menghimpun dana secara kolektif dari masyarakat untuk diinvestasikan dalam Kontrak Berjangka. Pengertian Pengelola Sentra Dana Berjangka, diatur dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang berbunyi: Pengelola Sentra Dana Berjangka yang selanjutnya disebut Pengelola Sentra Dana Berjangka adalah pihak yang melakukan usaha yang berkaitan dengan penghimpunan dan pengelolaan dana Berjangka untuk diinvestasikan dalam Kontrak Berjangka.

f.

Pedagang Berjangka Pedagangan Berjangka adalah anggota bursa berjangka yang berhak melakukan transaksi untuk rekeningnya sendiri dan/atau kelompok usahanya. Pedagang berjangka dapat

berbentuk perusahaan atau perorangan. Pedagang berjangka wajib memperoleh sertifikasi pendaftaran dari BAPPEBTI sebelum transaksi. 4. Peraturan dalam Perdagangan Berjangka Peraturan Perdagangan Berjangka diatur dalam berbagai

ketentuan sebagai berikut: a. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi

45

b. Peraturan

Pemerintah

Nomor

Tahun

1999

tentang

Penyelenggaraan Perdagangan Berjangka Komoditi c. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1999 tentang Tatacara Pemeriksaan Dibidang Perdagangan Berjangka Komoditi d. Keputusan Presiden Tahun 1999 tentang Komoditi yang dapat dijadikan Subjek Kontrak Berjangka Komoditi e. Peraturan Teknis dalam bentuk Surat Keputusan Kepala Badan Pengawasan Perdagangan Berjangka Komoditi

(BAPPEBTI) f. Peraturan dan Tata Tertib di Bursa Berjangka

g. Peraturan dan Tata Tertib di Lembaga Kliring Berjangka

B. Tinjauan Tentang Kepailitan 1. Pengertian Kepailitan Pailit jika ditinjau dari segi istilah dapat dilihat dalam

pembendaharaan bahasa Belanda, Perancis, Latin,dan Inggris. Bahasa Perancis istilah failite artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran sehingga orang yang mogok atau macet atau berhenti membayar disebut le failli, dalam bahasa Belanda untuk arti yang sama dengan bahasa Perancis juga digunakan istilah faiilete, sedangkan di dalam bahasa Inggris dikenal juga dengan istilah to fail dan dalam bahasa Latin digunakan istilah failure, yang memiliki arti rangkap yaitu, sebagai kata benda dan

46

sebagai kata sifat. Istilah failite artinya kemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran sedangkan didalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah to fail dan di dalam bahasa Latin digunakan istilah fallire.15 Kepailitan berarti segala hal yang berkaitan dengan pailit. Seluruh ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, tidak akan menemui satu rumusan atau ketentuan yang menjelaskan pengertian maupun definisi kepailitan atau pailit. Pengertian Pailit di Blacks Law Dictionary pailit atau Bankrupt adalah: The State or condition of a person (individual, parthnership, or corporation, municipality) who is unable to pay its debt as they are, or become due. Them term includes a person agains who an involuntary petition has been filed, or who as filed a voluntary petition, or who has been adjudged a bankrupt.16 Pengertian yang diberikan Blacks Laws Dictionary tersebut dapat dilihat bahwa pengertian pailit dihubungkan dengan ketidakmampuan untuk membayar dari seorang (debitor) atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Ketidakmampuan tersebut harus disertai dengan suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitor sendiri, maupun atas permintaan pihak ke tiga (diluar debitor), suatu pernyataan pailit pengadilan. 17

15 Zainal Asiki, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, Hlm.27. 16 Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Direksi Atas Kepailitan Perseroan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, Hlm.83. 17 Ibid. hlm.48.

47

Menurut Siti Soemarti Hatono pailit adalah mogok melakukan pembayaran.18 Pailit dalam khasanah ilmu pengetahuan hukum diartikan sebagai keadaan debitor yang berutang yang berhenti membayar atau tidak membayar utang-utangnya, hal ini tercemin dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menentukan: Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan salah satu atau lebih kreditornya. Istilah berhenti membayar ini tidak mutlak diartikan debitor sama sekali berhenti membayar utang-utangnya ketika diajukan

permohonan pailit ke Pengadilan. Berhubung pernyataan pailit harus melalui proses pengadilan, maka segala sesuatu yang menyangkut peristiwa pailit itu disebut dengan istilah kepailitan . Keadaan debitor yang perusahaannya dalam keadaan berhenti membayar utangnya disebut dengan insolvable. Negara-negara yang berbahasa Inggris untuk pengertian pailit dan kepailitan dipergunakan istilah

bankruptcy.19 Kepailitan adalah eksekusi yang ditetapkan dengan keputusan hakim, yang berlaku serta merta dengan melakukan penyitaan umum atas semua harta yang dinyatakan pailit, baik yang ada pada waktu pernyataan pailit maupun yang diperoleh selama kepailitan

berlangsung, untuk kepentingan kreditor dan dibawah pengawasan


18 19

Siti Soemarti Hartono, Op.cit. Zainal Asikin. Op.cit. Hlm.27.

48

pihak yang berwajib. Kesimpulannya bahwa kepailitan dimaksudkan untuk mencegah penyitaan dan eksekusi yang dimintakan oleh kreditor secara perseorangan.20 Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menyatakan bahwa: Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusannya dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

2. Pengaturan Kepailitan Sejak tahun 1905, Indonesia sudah mengenal Hukum Kepailitan dengan diberlakukannya Staatsblaad Nomor 217 tahun 1905 tenntang Peraturan Kepailitan juncto Staatsblaad Nomor 348 tahun 1906 tentang Peraturan Kepailitan. Tuntutan dari pelaku bisnis dan pakar hukum yang menginginkan agar hukum kepailitan bersifat universal yang berarti dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman sehingga tidak menutup adanya penambahan dan penyempurnaan perturan-peraturan dalam hukum kepailitan. Pemerintah melakukan penyempurnaan terhadap peraturan

hukum kepailitan dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang tentang Kepailitan, yang diundangkan pada
20

Retnowulan Sutantio, Kapita Selekta Hukum Ekonomi dan Perbankan, Cetakan. Pertama, Varia Yustisia, 1996, Hlm.85.

49

tanggal 22 April 1998 melalui Lembaran Negara Indonesia Nomor 87 Tahun 1998 berlaku efektif 120 hari sejak tanggal diundangkannya yaitu pada tanggal 20 Agustus 1998, setelah diterima Dewan Perwakilan Rakyat kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan ini berarti pemerintah telah memenuhi salah satu persyaratan yang diminta oleh kreditor-kreditor luar negeri, agar kreditor luar negeri memperoleh jaminan kepastian hukum. 21 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan banyak kekurangan dan perlu adanya penambahan materi, maka pada tanggal 18 Oktober 2004 Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Undang-Undang baru yang mengatur tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yaitu Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Muatan materi yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang terdiri dari tujuh bab yaitu, Bab I Ketentuan Umum, Bab II Kepailitan, Bab III Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bab IV Permohonan Penundaan Kembali, Bab V Ketentuan Lain-Lain, Bab VI Ketentuan Peralihan, Bab VII Ketentuan Penutup.

21 Martiman Prodojhamidjojo, Proses Kepailitan Menurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1988 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan, CV. Mandar Maju, Jakarta, 1999, Hlm.1.

50

Semua hal yang berkaitan dengan masalah kepailitan oleh Pemerintah diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang berisi tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 mengenai Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan menjadi Undang-Undang. Secara garis besar tidak ada perubahan yang besar hanya saja ada salah satu hal yang baru dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yaitu diperkenalkannya asas hukum yang disebut Verplichte Procueur Stelling yang artinya setiap permohonan kepailitan harus diajukan oleh penasihat hukum yang mempunyai ijin praktek. 22

3. Sejarah Hukum Kepailitan Kepailitan bukanlah merupakan salah satu hal baru karena sesungguhnya masalah kepailitan di Indonesia sudah banyak terjadi sejak zaman penjajahan Belanda. Hal itu terbukti dengan adanya Undang-Undang Kepailitan yang lebih dikenal dengan Staatsblaad Nomor 217 Tahun 1905 tentang Peraturan Kepailitan juncto

Staatsblaad Nomor 384 Tahun 1906 tentang Peraturan Kepailitan (verodening op het failissement en de surseance van betaling). Penelusuran sejarah hukum tentang kepailitan, diketahui bahwa hukum tentang kepailitan itu sendiri sudah ada sejak zaman Romawi. Kata bangkrut yang dalam bahasa Inggris disebut bankrupt berasal
22

Munir Fuady, Hukum Pailit 1998 (Dalam Teori Dan Praktek), Cetakan. Pertama, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, Hlm.6.

51

dari Undang-Undang Italia yang disebut dengan Banca Rupta. Pada abad pertengahan d Eropa, terjadi praktek kebangkrutan yang dilakukan dengan menghancurkan bangku-bangku dari para bankir atau pedagang yang melarikan diri secara diam-diam dengan membawa harta para kreditornya. Negara Venetia (Italia) pada waktu itu, di mana para pembeli pinjaman (bankir) saat itu yang banco (bangku) orang-orang tidak mampu lagi membayar utang atau gagal dalam usahanya, bangku tersebut benar-benar patah atau hancur.23 Bagi negara-negara yang menganut tradisi Common Law, tepatnya pada tahun 1952 merupakan tonggak sejarah, karena pada tahun tersebut Hukum Pailit dari tradisi hukum Romawi di adopsi ke negara Inggris. Hal tersebut ditandai dengan diundangkannya sebuah Undang-Undang yang disebut Act Against Such Person as Do Make Bankrupt, yang menempatkan kebangkrutan sebagai hukuman bagi debitor nakal yang tidak mau membayar utangnya sekaligus berusaha menyembunyikan asset-assetnya. Undang-Undang ini memberikan hak-hak bagi kelompok secara individual.24 Peraturan mengenai kepailitan diatur dalam peraturan tersendiri, yaitu dalam Faillissementsverordening (Staatsblaad Nomor 217

Tahun 1905 juncto Staatsblaad Nomor 384 Tahun 1906) yang juga berlaku bagi golongan Cina dan Timur Asing.25

Jono, Hukum Kepailitan, Cetakan. Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, Hlm.1. 24 Munir Fuady, Loc.Cit. Hlm.4. 25 Purwosutjipto, Pengertian Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia Jilid 8: Perwasitan, Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Djambatan, Jakarta, 1992, Hlm.28.

23

52

Kedua peraturan yang diberlakukan di Indonesia ini merupakan akibat dari perbedaan antara pedagang dan bukan pedagang. Adanya dua macam pengaturan tersebut, selain tidak perlu juga menimbulkan banyak kesulitan diantaranya ialah formalitasnya yang ditentukan terlalu banyak sehingga menimbulkan banyak kesulitan dalam pelaksanaannya seperti biaya tinggi, pengaruh kreditor terhadap jalannya kepailitan terlalu sedikit, serta pelaksanaan kepailitannya memakan waktu lama. Adanya kesulitan-kesulitan tersebut

menimbulkan keinginan untuk membuat peraturan kepailitan yang sederhana dengan biaya rendah sehingga pelaksanaannya lebih mudah.26 Pada tahun 1934 pemerintah Belanda melakukan perubahan terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yaitu penghapusan Buku Ketiga dan perubahan Buku Pertama Pasal 2 sampai dengan Pasal 5, yang diganti dengan Faillisementwet. Hal tersebut juga dipengaruhi dengan sistem hukum di Hindia Belanda, pengaruh ini dapat dilihat dengan diberlakukannya penyatuan peraturan kepailitan yang ada yang dilakukan dengan

Faillisementsverordening (Staatsblaad

Nomor 217

Tahun 1905

juncto Staatsblaad Nomor 384 Tahun 1906) yang berlaku sejak 1 November 1906. Pada saat ini terjadi banyaknya masalah dengan kredit macet yang dinilai oleh para ahli ekonomi tidak hanya menimbulkan krisis perbankan maupun krisis ekonomi, tetapi juga menimbulkan masalah
26

Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Kepailitan Di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004,Hlm.3.

53

sosial yang luas di dalam masyarakat seperti masalah tenaga kerja dan aspek-aspek sosial lainnya yang menyangkut kepentingan Korporasi baik sebagai kreditor maupun debitor. Penyelesaian masalah utang tersebut harus dilakukan dengan cepat dan efektif. Maksudnya pengaturan kepailitan termasuk masalah penundaan kewajiban pembayaran utang merupakan salah satu masalah penting yang harus diselesaikan. Masalah kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, tidak sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan penyelesaian masalah kepailitan termasuk masalah penundaan kewajiban pembayaran utang secara adil, cepat dan efektif. Sehubungan dengan adanya kebutuhan yang mendesak dari dunia usaha terhadap penyelesaian masalah utang pitang tersebut, maka pemerintah Indonesia segera melakukan reformasi hukum yaitu melakukan revisi terhadap peraturan tentang kepailitan yang termuat dalam Staatsblaad Nomor 217 Tahun 1905 tentang Peraturan Kepailitan juncto Staatsblaad

Nomor 384 Tahun 1906 tentang Peraturan Kepailitan. Kelahiran Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Kepailitan dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, mempunyai tujuan dan misi untuk meyakinkan para investor baik dari dalam maupun luar negeri terhadap kepastian hukum di Indonesia sehingga dapat meningkatkan kembali gairah investor untuk kembali menanamkan investasinya di Indonesia.

54

Kehadiran Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang di tengah masyarakat khususnya para pelaku bisnis yang sedang menghadapi masalah sengketa utang piutang diharapkan dapat membantu penyelesaiannya, karena sistem yang digunakan sangat cepat, adil, terbuka, dan efektif serta menjadi pegangan bagi penyelesaian utang piutang yang tidak saling merugikan melainkan sebaliknya justru saling menguntungkan para pihak kreditor dan debitor.

4. Asas-Asas Hukum Kepailitan Lembaga Kepailitan merupakan lembaga hukum yang mempunyai fungsi penting, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yakni Pasal 1131 dan 1132 mengenai tanggung jawab debitor terhadap utang-utangnya. Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa: Segala kebendaan si berhutang, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru ada dikemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi: Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan bendabenda itu dibagi-bagi menurut keseimbangannya, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk did ahulukan. Kedua pasal di atas memberikan jaminan kepastian hukum kepada kreditor bahwa kewajiban debitor akan tetap dipenuhi atau

55

lunas dengan jaminan dari kekayaan debitor baik yang sudah ada maupun yang masih akan ada di kemudian hari. Pasal 1131 dan 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ini merupakan perwujudan adanya asas jaminan kepastian pembayaran atas transaksi-transaksi yang telah diadakan. Hubungan kedua pasal tersebut adalah kekayaan debitor merupakan jaminan bersama bagi semua kreditornya secara proposional, kecuali bagi kreditor dengan hak mendahului (hak preferensi). Jadi pada dasarnya, asas yang terkandung didalam Pasal 1131 dan 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ini adalah bahwa undang-undang mengatur tentang hak menagih bagi kreditor atau kreditor-kreditornya terhadap terhadap transaksinya dengan debitor. Bertolak dari asas tersebut di atas sebagai Lex Generalis, maka ketetuan kepailitan mengaturanya dalam urutan yang lebih rinci dan operasional. Menurut Sri Rejeki Hartono, lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai dua fungsi sekaligus yaitu:27 a. Kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada

kreditornya bahwa debitor tidak akan berbuat curang, dan tetap bertanggung jawab atas semua utang-utangnya kepada semua kreditor-kreditornya. b. Juga memberi perlindungan kepada debitor terhadap

kemungkinan eksekusi massal oleh kreditor-kreditornya.

27

Sri Rejeki Hartono,Hukum Kepailitan, UMM Pers, Malang, 2008.Hlm.9.

56

Berdasarkan pemaparan di atas maka didirikannya Lembaga Kepailitan, yang berusahan untuk mengadakan tata yang adil mengenai pembayaran utang terhadap semua kreditor dengan cara seperti yang diperintahkan oleh Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jadi Pasal 1131 dan 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan dasar hukum dari kepailitan. Peraturan perundang-undangan yang lama yakni dalam

Verordening Faillisements maupun Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan tidak diatur secara khusus, namun pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam penjelasaanya menyebutkan bahwa keberadaan Undang-Undang ini mendasar pada sejumlah asas-asas kepailitan yakni: a. Asas Keseimbangan Undang-Undang ini mengatur kepada beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari asas keseimbangan, yaitu di satu pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitor yang tidak jujur, di lain pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditor yang tidak beritikad baik. b. Asas Kelangsungan Usaha Memungkinkan dalam Undang-Undang ini terdapat ketentuan perusahaan debitor yang prospektif dapat dilangsungkan. c. Asas Keadilan

57

Asas keadilan mengandung pengertian, bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang

mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap debitor dengan tidak memperdulikan kreditor lainnya. d. Asas Integrasi Asas Integrasi dalam Undang-Undang ini mengandung pengertian bahwa sistem hukum formil dam materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata internasional.

5. Tujuan dan Fungsi Kepailitan Ketentuan Kepailitan bertujuan untuk melakukan pembagian kekayaan milik debitor kepada kreditornya dengan melakukan sitaan bersama dan kekayaan debitor dapat dibagikan kepada kreditor sesuai dengan haknya. Berkaitan dengan ini berlaku ketentuan Pasal 1131 dan 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur dan memberikan kedudukan para kreditor sebagai konkuren sehingga boedel pailit akan dibagikan kepada para kreditor secara seimbang, kecuali apabila diberikan perkecualian oleh Undang-Udang, yaitu sebagaimana tertera dalam Pasal 1131 dan 1132 Kitab UndangUndang Hukum Perdata.28

Siti Soemarti Hartono, Seri Hukum Dagang, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Jakarta, 1993, Hlm.3.

28

58

Menurut Pendapat Siti Soemarti Harono, kepailitan adalah suatu lembaga hukum perdata Eropa sebagai asas realisasi dari dua asas pokok dalam hukum perdata Eropa yang tercantum dalam Pasal 1131 dan 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.29 Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa: Segala kebendaan si berhutang, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada, maupun yang baru ada dikemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa: Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan bendabenda itu dibagi-bagi menurut keseimbangannya, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. Menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang berbunyi: Debitor yang mempunyai dua atau lebih kr editor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan Putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.

29

Ibid.

59

Syarat-syarat yuridis agar suatu perusahaan dapat dinyatakan pailit adalah perusahaan tersebut mempunyai utang yang telah jatuh tempo, adanya debitor dan kreditor dan pernyataan pailit dari pengadilan khusus yaitu Pengadilan Niaga, syarat-syarat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: a. Adanya pihak-pihakyang berkaitan dengan proses penjualan pailit tersebut, yaitu pihak debitor dan pihak kreditor b. Adanya wanprestasi tentang suatu hal, yaitu utang c. Adanya suatu badan peradilan yang berkompeten dengan kasus kepailitan yaitu Pengadilan Niaga. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diketahui tujuan kepailitan sebenarnya adalah suatu usaha bersama baik oleh kreditor maupun oleh debitor untuk mendapatkan pembayaran bagi semua kreditor secara adil dan proposional. Lembaga kepailitan memungkinkan debitor membayar utangutangnya secara tenang, tertib dan adil, yaitu: a. Dengan dilakukannnya penjualan atas harta pailit yang ada, yakni seluruh harta kekayaan yang tersisa dari debitor b. Membagi hasil penjualan harta pailit tersebut kepada sekalian kreditor yang telah diperiksa sebagai kreditor yang sah, masing-masing sesuai dengan: 1) Hak preferensinya 2) Proposional dengan hak tagihannya di bandingkan

besarnya hak tagihan kreditor konkuren lainnya.

60

6. Syarat Pengajuan Pailit Seorang debitor agar dinyatakan pailit harus memenuhi syaratsyarat sebagai berikut: a. Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor b. Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih c. Atas permohonan sendiri atau permohonan satu atau lebih kreditornya Pasal 2 ayat (1) sampai ayat (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang mengatur syarat kepailitan yang lebih jelas, hal ini untuk menghindari adanya: a. Perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditor yang menagih piutangnya dari kreditor b. Kreditor memegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau para kreditor lainnya c. Kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditor atau debitor sendiri. Misalnya debitor berusaha memberikan keuntungan kepada seseorang atau beberapa orang kreditor tertentu sehingga kreditor lainnya dirugikan, atau adanya perbuatan curang dari debitor untuk melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepas tanggung jawabnya terhadap para kreditor

61

7. Permohonan Pailit Salah satu pihak yang terlibat dalam perkara kepailitan adalah pihak pemohon pailit, yakni pihak yang mengambil inisiatif untuk mengajukan permohonan pailit ke pengadilan, yang dalam perkara biasa disebut pihak penggugat.30 Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang disebutkan bahwa yang dapat menjadi permohonan dalam suatu perkara pailit adalah suatu pihak sebagai berikut: a. Pihak debitor itu sendiri b. Salah satu atau lebih dari pihak kreditor c. Pihak Kejaksaan jika menyangkut dengan kepentingan umum d. Pihak Bank Indonesia jika debitornya adalah suatu bank e. Pihak Badan Pengawas Pasar Modal jika debitornya adalah suatu perusahaan efek, lembaga kliring dan penjamin, lembaga penyimpanan dan penyelesaian f. Pihak Menteri Keuangan jika pihak debitornya adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pension, Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang

kepentingan public.

8. Pernyataan Pailit Pihak-pihak yang berhak dinyatakan pailit menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

30

Munir Fuady, Op.cit.Hlm.35.

62

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah debitor, debitor yang dimaksud adalah: a. Orang perorangan, baik laki-laki maupun perempuan yang telah menikah maupun belum menikah. Jika orang perorangan yang belum menikah maka permohonan tersebut hanya dapat diajukan dengan ijin suami atau istri yang bersangkutan, kecuali diantara mereka tidak ada percampuran harta. b. Debitor yang menikah harus ada persetujuan dari suami atau istrinya, apabila diantara mereka ada percampuran harta. Apabila seorang menikah dengan percampuran harta, maka kepailitan tersebut akan meliputi seluruh harta bersama. c. Harta peninggalan dari seorang yang meninggal dunia itu semasa hidupnya berada dalam keadaan berhenti membayar utangnya, atau harta warisannya pada saat meninggal dunia si pewaris tidak mencukupi untuk membayar utangnya. d. Perkumpulan Perseroan (Holding Company) dan anak-anak perusahaannya dapat diajukan dalam satu permohonan, tetapi dapat juga diajukan terpisah sebagai dua permohonan. e. Penjamin (Guarantor) kewajiban untuk membayar utang debitor pada kreditor ketika si debitor lalai atau cidera janji. Penjamin baru menjadi debitor atau kewajiban untuk

membayar setelah debitor utama yang utangnya cidera janji dan harta benda milik debitor yang ditanggung telah disita dan dilelang terlebih dahulu, tetapi hasilnya tidak mencukupi untuk

63

membayar utangya, atau debitor utama lalai atau cidera janji sudah tidak mempunyai harta apapun. f. Badan hukum diwakili oleh organ yang hanya dapat mengikatkan badan hukum jika tindakan-tindakannya dalam batas wewenangnya yang ditentukan dalam anggaran dasar, ketentuan-ketetuan lain dan hakikat dari tujuannya g. Perkumpulan bukan badan hukum harus memuat nama dan tempat kediaman masing-masing persero yang secara

tanggung renteng terikat untuk seluruh uatng firma. h. Bank permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia. i. Perusahaan Efek permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasa Modal. j. Perusahaan Asuransi, Reasuransi, Dana Pensiun, dan Badan Usaha Milik Negara permohonan pailit hanya dapat dilakukan oleh Menteri Keuangan.

9. Mekanisme Permohonan Kepailitan Permulaan dari pemeriksaan kepailitan didahului dengan

pengajuan kepailitan oleh pihak-pihak yang berwenang. Permohonan itu diajukan kepada Pengadilan Niaga yang di daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir debitor. Permohonan kepailitan harus diajukan secara tertulis, di mana harus diajukan oleh seorang penasihat hukum yang telah memiliki ijin praktek dan berpengalaman dalam masalah hukum, sehingga diharapkan

64

persidangan dapat berjalan dengan cepat dan pengadilan setelah menerima permohonan

fair. Panitera segera

tersebut

melakukan pendaftaran terhadap si pemohon dan di masukan ke dalam daftar register sekaligus memberikan nomor pendaftaran kepada si pemohon yang disertai bukti-bukti tertulis yang telah di tandatangani oleh panitera, di mana tanggal bukti penerimaan tersebut harus sesuai dengan tanggal pada si pemohon mendaftarkan ke pengadilan. Panitera wajib menolak pendaftaran permohonan pernyataan pailit bagi institusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang jika dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam ayat-ayat tersebut. Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menyatakan bahwa: Pengadilan: a. Wajib memanggil Debitor, dalam hal permohonan pernyataan pailit, diajukan oleh Kreditor, Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawasan Pasar Modal, atau Menteri Keuangan. b. Dapat memanggil kreditor, dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Debitor dan terdapat keraguan bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) terpenuhi. Panitera pengadilan dalam waktu 1x24 jam harus menyerahkan kepada ketua pengadilan, sedangkan ketua pengadilan memperlajari permohonan pailit tersebut dalam jangka waktu 2x24 jam, sekaligus menetapkan hari persidangan. Ketua pengadilan memanggil para pihak untuk menghadiri pemeriksaan kepailitan tersebut, dimana

65

pemeriksaan tersebut sudah harus dilakukan paling lambat 20 hari setelah permohonan tersebut didaftarkan. Pemeriksaan perkara yang diajukan oleh debitor, maka pengadilan tidak wajib untuk memanggil debitor, sedangkan untuk perkara kepailitan yang diajukan oleh kejaksaan, debitor wajib di panggil paling lambat 7 hari sebelum persidangan untuk mempelajari permohonan dan member waktu yang cukup pada para pihak yang tempatnya jauh agar hadir tepat waktu. Persidangan terhadap perkara kepailitan dapat ditunda selama 20 hari apabila terdapat alasan-alasan pembenar yang cukup mendasar dari para pihak, dimana dalam persidangan itu hakim akan mendengar keterangan dari pemohon, termohon, saksi-saksi dengan disertai bukti-bukti konkrit. Selama masa pemeriksaan hakim dapat memerintahkan penitera atau wakil panitera untuk melakukan penyegelan atau sita jaminan terhadap sebagian maupun seluruh harta kekayaan debitur atau permohonan kreditor. Kreditor juga mempunyai hak untuk mengajukan permohonan kepada pengadilan agar kurator yang sementara tugasnya mengawasi pengelolaan usaha debitor dan mengawasi pembayaran pada debitor baik pengalihan maupun pengagunan kekayaan debitor yang memerlukan persetujuan dari kurator. Hal tersebut akan dikabulkan oleh

pengadilan dengan syarat penyitaan tersebut sangat diperlukan untuk melindungi kepentingan kreditor. Poses setelah suatu permohonan pailit diterima dan kemudian diperiksa dan diadili oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga maka

66

pemeriksaan

terhadap

permohonan

tersebut

selesai

dengan

dijatuhkannya putusan. Jangka waktu pengaturannya paling lambat lima hari setelah tanggal putusan pernyataan pailit diterima oleh kurator dan hakim pengawas, kurator akan mengumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit dua surat kabar harian yang ditapkan oleh hakim pengawas, mengenai ikhtisar putusan

pernyataan pailit yang memuat hal-hal sebagai berikut: a. Nama, alamat dan pekerjaan debitor b. Nama Hakim Pengawas c. Nama, alamat dan pekerjaan Kurator; anggota panitia kreditor sementara, apabila teah di tunjuk, dan d. Tempat dan waktu penyelenggaraan rapat pertama kreditor Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menyatakan bahwa: Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menyatakan bahwa: Dalam Hal putusan pernyataan p ailit dibatalkan sebagai akibat adanya kasasi atau peninjauan kembali, segala perbuatan yang telah dilakukan oleh Kurator sebelum atau pada tanggal Kurator menerima pemberitahuan tentang putusan pembatalan

67

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 tetap sah dan mengikat Debitor. Maksud dari Pasal diatas yaitu Kurator yang berwenang melakukan pengurusan terhadap harta pailit meskipun diminta kasasi atau peninjauan kembali ke Mahkamah Agung dan apabila kasasi dan peninjauan kembali tersebut dikabulkan, maka semua tindakan hukum yang dilakukan oleh kurator tetap sah dan mengikat bagi debitor. Kurator juga bertugas untuk mengurus segala hubungan surat menyurat antara pihak lain dengan debitor. Segala pembiayaan yang menyangkut pengakhiran kepailitan dibebankan kepada debitor dan harus ditetapkan oleh hakim dengan mengeluarkan Fiat Eksekusi yang kekuatan hukumnya mutlak sehingga tidak dapat diminta keberatan atau upaya hukum dalam bentuk apapun.

10. Akibat Hukum Pernyataan Pailit Putusan pailit oleh pengadilan, pailit masih diperkenankan untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum di bidang harta kekayaan

apabila dengan perbuatan hukum itu akan memberikan keuntungan bagi harta kekayaan pailit, sebaliknya apabila dengan perbuatan hukum itu justru akan merugikan harta kekayaan pailit maka kerugiankerugian itu tidak mengikat harta kekayaan tersebut.31 Menurut Fred Tumbuan, pernyataan pailit berakibat bagi kreditor dan debitor yaitu:32

31 Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Faillissementsverordening Juncto Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, Pustaka Grafiti, Jakarta, 2002, Hlm.256-257. 32 Fred Tumbuan, Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997. Hlm.3-9.

68

a. Akibat hukum bagi Debitor Pailit dan Hartanya Pasal 21 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menyatakan bahwa: Kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan . Pasal 22 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyatakan bahwa: Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 tetap berlaku terhadap: a. Benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh debitor sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis yang dilakukan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang dgunakan oleh debitor dan keluarganya, dan bahan makanan untuk tiga puluh hari bagi debitor dan keluarganya, yang terdapat ditempat itu. b. Segala sesuatu yang diperoleh debitor dari pekerjaannya sendiri sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa sebagai upah, pension, uang tunggu, atau uang tunjangan sejauh yang ditentukan oleh Hakim Pengawas. c. Uang yang diberikan debitor untuk memenuhi suatu kewajiban memberi nafkah menurut undang-undang. Pasal 23 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menyatakan bahwa: Debitor pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 22 meliputi istri atau suami dari debitor pailit yang menikah dalam persatuan harta.

69

Pasal 24 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menyebutkan bahwa: (1) Debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaan yang temasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. (2) Tanggal Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak pukul 00.00 waktu setempat. (3) Dalam hal sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan telah dilaksanakan transfer dana melalui bank atau lembaga selain bank pada tanggal putusan sebagaimana dimaksud transfer tersebut wajib diteruskan. (4) Dalam hal sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan telah dilaksanakan transaksi di Bursa Efek aka transaksi tersebut wajib diselesaikan. Hasil putusan pernyataan pailit maka semua perikatan debitor yang terbit sesudahnya tidak dapat lagi dibayar dari harta pailit, kecuali perikatan tersebut menguntungkan harta pailit. Tuntutan mengenai hak atau kewajiban yang

menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap Kurator, dalam hal tuntutan tersebut diajukan atau diteruskan oleh atau terhadap debitor pailit maka apabila tuntutan tersebut mengakibatkan suatu penghukuman terhadap debitor pailit, peghukuman tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap harta pailit. b. Akibat Hukum bagi Kreditor Pailit Akibat pernyataan paili bagi kreditor dalah kedudukan para kreditor sama (paritas creditorium) dan karenanya kreditor

70

mempunyai hak yang sama atas hasil eksekusi pailit sesuai dengan besarnya tagihan mereka masing-masing (pari passa pro rata parte). Asas tersebut mengenal pengecualian, yaitu golongan kreditor yang haknya didahulukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan peraturan perundang-undangan lainnya seperti dalam Pasal 1139 dan Pasal 1149 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Asas paritas creditorium berlaku bagi para kreditor konkuren saja. Hasil putusan pailit tersebut kreditor separatis tidak dapat mengeksekusi pailit karena dalam hal ini jangka waktu 90 hari yang tersebut lewat, pailit. kreditur Adanya separatis lembaga baru dapat

mengeksekusi

penangguhan

pelaksanaan hak eksekusinya dalam tenggang waktu 90 hari terhitung sejak tanggal putusan pernyataan pailit ditetapkan, dalam pelaksanaan hak eksekusinya harus mendapat

persetujuan dari curator dan hakim pengawas.

11. Pengurusan Harta Pailit Terhitung sejak putusan pailit diucapkan, debitor pailit tidak lagi diperkenankan untuk melakukan pengurusan atas harta kekayaan yang telah dinyatakan pailit. Pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit tersebut diserahkan kepada kurator yang diangkat oleh pengadilan, dengan diawasi oleh hakim pengawas yang di tunjuk oleh hakim pengadilan. Pengangkatan tersebut harus ditetapkan dalam

71

putusan pernyataan pailit tersebut. Pengurusan harta pailit tersebut oleh kurator bersifat seketika, dan berlaku saat itu sejak tanggal putusan ditetapkan, meskipun terhadap putusan kemudian diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Sewaktu-waktu apabila putusan pailit tersebut dibatalkan oleh putusan kasasi atau peninjauan kembali, maka segala perbuatan yang telah dilakukan oleh kurator menerima pemberitahuan tentang putusan pembatalan, tetap sah dan mengikat bagi debitor pailit.

12. Hakim Pengadilan Niaga Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,

kewenangan absolut untuk menerima, memeriksa dan mengadili berpindah menjadi kewenangan Pengadilan Niaga yang berada di lingkungan peradilan umum, sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 280 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan. Ketentuan ini permohonan pernyataan pailit dan

penundaan kewajiban pembayaran utang yang diajukan setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan sebagaiman diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang ini, hanya dapat diajukan kepada Pengadilan Niaga, namun ternyata Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan juga ada kelemahan sehingga perlu dibentuk undangundang baru yang lebih sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat maka diundangkanlah Undang-Undang Nomor 37

72

Tahun

2004

tentang

Kepailitan

dan

Penundaan

Kewajiban

Pembayaran Utang yang pada tanggal 18 Oktober 2004 dengan di dasarkan pada Pasal 307 tersebut maka Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Perkara kepailitan diperiksa oleh Hakim Majelis, baik untuk tingkat pertama, tingkat kasasi maupun tingkat peninjauan kembali. Hakim Majelis tersebut merupakan hakim-hakim pada Pengadilan Niaga, yaitu hakim-hakim Pengadilan Negeri yang diangkat menjadi Hakim Pengadilan Niaga berdasarkan Keputusan Mahkamah Agung.33 Pengaturan tentang Pengadilan Niaga tercantum dalam Pasal 302 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Pasal 1 ayat (7) UndangUndang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyebutkan bahwa: Pengadilan Niaga dalam lingkungan perdilan umum. Pengadilan Niaga yang merupakan bagian dari peradilan umum, mempunyai kompetensi untuk memeriksa perkara-perkara sebagai berikut: a. Perkara kepailitan dan penundaan pembayaran b. Perkara-perkara lainnya di bidang perniagaan yang ditetapkan dengan aturan pemerintah Hakim-hakim yang bertugas di Pengadilan Niaga terdiri diri dari dua macam, yaitu sebagai berikut:

33

Munir Fuady, Op.cit. Hlm.36.

73

a. Hakim Tetap, yaitu para hakim yang diangkat berdasarkan surat Keputusan Mahkamah Agung untuk menjadi Hakim Pengadilan Niaga, dan b. Hakim Ad Hoc, yaitu merupakan hakim ahli yang diangkat khusus dengan suatu Keputusan Presiden untuk Pengadilan Niaga di tingkat Pertama Hukum acara yang berlaku bagi Pengadilan Niaga adalah Hukum Acara Pedata, tetapi dalam Undang-Undang ditetapkan adanya pengecualian.

13. Hakim Pengawas Hakim Pengawas adalah hakim yang ditunjuk oleh Pengadilan dalam putusan pailit atau putusan penundaan kewajiban pembayaran utang dan betugas mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit, kemudian salinan putusan pailit Pengadilan yang juga berisi penunjukan tersebut wajib disampikan oleh juru sita dengan surat kilat tercatat kepada Debitor, pihak yang mengajukan permohonan pailit, kurator dan Hakim Pengawas paling lambat tiga hari setelah tanggal putusan atas permohonan pernyataan pailit tersebut diucapkan. Berdasarkan salinan tersebut Hakim Pengawas kemudian

menentukan hari, tanggal dan waktu tempat rapat kreditor pertama, yang harus diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat tiga puluh hari setelah putusan pailit diucapkan, setelah itu Hakim Pengawas wajib menyampaikan rencana rapat kreditor tersebut kepada kurator dalam jangka waktu tiga hari setelah putusan pailit.

74

Kurator dalam jangka waktu paling lambat lima hari setelah tanggal putusan pernyataan pailit diterima oleh kurator dan hakim pengawas, harus mengumkan dalam berita Negara Republik Indonesia,

mengenai ikhtisar putusan pernyataan pailit yang memuat hal-hal sebagai berikut: a. Nama, alamat dan pekerjaan debitor b. Nama Hakim Pengawas c. Nama, alamat dan pekerjaan Kurator; anggota panitia kreditor sementara, apabila teah di tunjuk, dan d. Tempat dan waktu penyelenggaraan rapat pertama kreditor Hakim Pengawas berwenang untuk meminta kepada kurator agar menyerahkan bukti pengumuman berupa berita RI dan surat kabar harian yang memuat pengumuman tersebut. Hakim Pengawas berwenang untuk mendengar keterangan saksi atau memerintahkan penyelidikan oleh para ahli untuk memperoleh kejelasain mengenai kepailitan dimana para saksi tersebut di panggil atas nama hakim pengawas.

14. Panitia Kreditor Panitia kreditor dibuat untuk mengatasi kesulitan untuk dapat berhubungan dengan masing-masing kreditor dengan jumlah banyak. Pengadilan Niaga dapat membentuk suatu Panitia Kreditor. Menurut Pasal 79 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menyatakan bahwa:

75

Dalam putusan

pailit

atau

dengan

penetapan

kemudian,

Pengadilan dapat membentuk panitia kreditor sementara terdiri atas 3 (tiga) orang yang diplih dari Kreditor yang dikenal dengan maksud memberikan nasihat kepada Kurator. Pasal 80 ayat Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

menyebutkan bahwa: (1) Setelah pencocokan utang selesai dilakukan, Hakim Pengawas wajib menawarkan kepada para kreditor untuk membentuk Panitia Kreditor secara tetap. (2) Atas permintaan kreditor konkuren dengan suara terbanyak biasa dalam rapat kreditor, Hakim Pengawas: a. Mengganti panitia kreditor sementara apabila dalam putusan pernyataan pailit telah ditunjuk panitia kreditor sementara, atau b. Membentuk panitia kreditor tetap apabila dalam suatu putusan pernyataan pailit belum diangkat menjadi panitia kreditor.

15. Kurator Kurator adalah perwakilan pengadilan dan dipercayai dengan mempertaruhkan reputasi pengadilan untuk melaksanakan

kewajibannya dengan tidak memihak. Menurut Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang disebutkan bahwa: Tugas kurator adalam melakukan pengurusan dan atau

pemberesan harta pailit. Pelaksanaan tugasnya diatur dalam Pasal 69 ayat (2) Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yaitu:

76

Dalam melaksanakan tugasnya, Kurator: a. Tidak diharuskan memperoleh persetujuan dari atau menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada debitor atau salah satu organ debitor, meskipun dalam keadaan di luar kepailitan persetujuan atau pemberitahuan demikian dipersyaratkan. b. Dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga, semata-mata dalam rangka meningkatkan nilai dalam harta pailit. Tugas, wewenang, dan tanggungjawab kurator adalah sebagai berikut: a. Tugas kurator Sehubungan dengan adanya pernyataan pailit yang telah ditetapkan di Pegadilan yaitu dalam jangka waktu paling lambat lima hari sejak tanggal putusan pailit ditetapkan, kurator mengumumkan dalam Berita Negara Republik

Indonesia dan dalam sekurang-kurangnya dua surat kabar harian yang ditetapkan Pengadilan oleh Hakim Pengawas mengenai hal-hal berikut:34 (1) Ikhtisar putusan pernyataan pailit (2) Identitas, alamat dan pekerjaan debitor (3) Identitas, alamat dan pekerjaan anggota panitia sementara kreditor apabila telah ditunjuk (4) Tempat dan waktu penyelenggaraan rapat pertama kreditor (5) Identitas Hakim Pengawas b. Wewenang

34 Parwoto Wignjosumarto, Tugas dan Wewenang Hakim Pengawas dalam Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Makalah disampaikan pada pelatihan Calon Hakim Pengadilan Niaga di Hotel Bumiraksa, Jakarta, 2006.Hlm.7.

77

Secara umum dikatakan bahwa tugas utama kurator adalah untuk melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit. Seorang kurator dapat melaksanakan tugas yang diberikan tersebut kurator diberikan kewenangan sebagai berikut: (1) Dibebaskan dari kewajiban untuk memperoleh persetujuan dan atau menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada kreditor atau salah satu organ debitor, meskipun dalam keadaan diluar kepailitan, pesetujuan atau

pemberitahuan demikian persyaratannya. (2) Melakukan pinjaman dari pihak ketiga, semata-mata dalam rangka meningkatkan nilai-nilai harta pailit. Pinjaman dari pihak ketiga kurator perlu membebani harta pailit dengan hak tanggungan, gadai atau hak agunan atas kebendaan lainya, maka pinjaman persetujuan tersebut Hakim terlebih Pengawas, dahulu dan

memperoleh

pembebanan tersebut hanya dapat dilakukan terhadap bagian harta pailit yang belum dijadikan jaminan utang. Khusus untuk mengahadap dimuka Pengadilan kurator diwajibkan untuk mendapatkan ijin terlebih dahulu dari Hakim Pengawas, kecuali jika urusan yang dihadapinya di Pengadilan adalah semata-mata yang berhubungan

dengan sengketa pencocokan piutang atau hal-hal yang diatur dalam Pasal 37-39 dan Pasal 53 ayat (3) Undang

78

Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. c. Tanggung Jawab Kurator Berdasarkan Pasal 72 Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyebutkan bahwa: kurator bertanggung dalam jawab terhadap kesalahan pengurusan atas atau

kekeliruannya

melaksanakan

pemberesan yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit. Hal ini sejalan dengan besarnya tanggung jawab dan juga imbalan jasa yang diberikan kepada kurator.

C. RUANG LINGKUP PERJANJIAN Perjanjian secara umum diatur dalam dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang perikatan. Perjanjian bersifat terbuka dalam arti perjanjian boleh dibuat tanpa mengikuti semua ketentuan dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata asal tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan, dan ketertiban umum. 1. Pengertian Perjanjian Pengertian Perjanjian diatur dalam Pasal 1313 Kitab UndangUndang Hukum Perdata yaitu: Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan diri terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih.

79

Subekti

membedakan

pengertian

antara

perikatan

dengan

perjanjian. Subekti menyatakan bahwa hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber dari perikatan di samping sumber-sumber lain. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Perikatan menurut Subekti:35 Suatu perikatan atau persetujuan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dari pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu, sedangkan perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Menurut Wirjono Prodjodikoro bahwa perjanjian adalah sebagai suatu hubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal,sedangkan pihak yang lain berhak menuntut pelaksanaan perjanjian itu.36 Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian adalah suatu

persetujuan di mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan. 37 Berdasarkan pengertian perjanjian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam perjanjian harus ada para pihak yang berjanji dan kesepakatan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, atau dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa unsur yang terdapat dalam setiap perjanjian adalah:
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1994, Hlm.1 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Sumur Bandung, Bandung, 1996, Hlm.2. 37 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1990, Hlm.78.
36 35

80

a. Ada pihak yang saling berjanji b. Ada persetujuan c. Ada tujuan yang hendak di capai d. Ada prestasi yang akan dilaksanakn atau kewajibn untuk melaksanakan objek perjanjian e. Ada bentuk tertentu f. Ada syarat tertentu yaitu syarat pokok dari perjanjian yang menjadi objek perjanjian serta syarat tambahan atau

pelengkap. Perjanjian kerjasama investasi merupakan dasar hukum utama dan acuan bagi para pihak untuk melaksanakan investasi dari investor di Bursa Berjangka, dengan demikian kesepakatan dalam perjanjian kerjasama investasi antara investor dengan perusahaan pialang berjangka berlaku sebagai aturan yang harus disepakati oleh kedua belah pihak yang bersepakat dalam pelaksanaan investasi.

2. Syarat Sahnya Perjanjian Syarat sahnya suatu perjanjian terdapat dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi:38 Untuk sahnya suatu perikatan diperlukan empat syarat: a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan c. Suatu hal tertentu d. Suatu sebab yang halal Maksud dari bunyi pasal diatas ialah: a. Sepakat Mereka yang Mengikatkan Diri
Subekti, Tjirosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramitha, Jakarta, 2001, Hlm. 339.
38

81

Maksudnya bahwa kedua pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju mengenai hal-hal yang menjadi pokok dari perjanjian yang dilakukan/diadakan itu. b. Kecakapan untuk Membuat Suatu Perikatan Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, maksudnya bahwa pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut

merupakan orang yang sudah memenuhi syarat sebagai pihak yang dianggap cakap menurut hukum. c. Suatu Hal Tertentu Suatu hal tertentu yang dimaksudkan dalam persyaratan ketiga syarat sahnya suatu perjanjian ini adalah obyek dari pada perjanjian. Obyek perjanjian haruslah merupakan

barang-barang yang dapat diperdagangkan. d. Suatu Sebab yang Halal Pengertian dari suatu sebab yang halal, yaitu isi dari perjanjian tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan,

norma-norma agama, kesusilaan, dan ketertiban umum.

3. Lahirnya Suatu Perjanjian Lahirnya perjanjian dalam Hukum Perdata dikenal dengan asas konsensualisme, yaitu bahwa untuk melahirkan suatu perjanjian cukup dengan sepakat saja dan bahwa perjanjian itu sudah dilahirkan atau detik tersebut perjanjian sudah jadi dan mengikat, bukannya pada detik-detik lain yang kemudian atau sebelumnya.

82

Menurut para pakar hukum, asas tersebut harus disempurnakan dari Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu pasal yang mengatur tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian dan tidak dari Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi: Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Berdasarkan bunyi pasal di atas terdapat penjelasan Teori Pernyataan antara lain: a. Perjanjian lahir sejak para pihak mengeluarkan kehendak secara lisan b. Perjanjian lahir sejak para pihak mengeluarkan kehendak secara lisan dan tertulis. Sepakat yang diperlukan untuk melahirkan perjanjian dianggap telah tercapai, apabila

pernyataan yang dikeluarkan oleh suatu pihak diterima oleh pihak lain. Teori Penawaran menjelaskan bahwa perjanjian lahir pada detik diterimanya suatu penawaran. Seseorang yang melakukan

penawaran dan penawaran tersebut diterima oleh orang lain secara tertulis maka perjanjian harus dianggap lahir pada saat pihak yang melakukan penawaran menerima jawaban secara tertulis dari pihak lawannya. Kesimpulannya bahwa semua ketentuan ketentuan dalam

perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak mengikat dan wajib dilaksanakan oleh para pihak yang membuatnya dan hal-hal yang

83

telah

disepakati

berlaku

sebagai

undang-undang ketertiban

jika umum,

tidak dan

bertentangan

dengan

undang-undang,

kesusilaan, apabila perjanjian itu bertentangan dengan ketentuan di atas makan akan batal demi hukum.

4. Macam-Macam Perjanjian Macam-macam perjanjian dibedakan menjadi: a. Perjanjian Formal Perjanjian formal adalah perjanjian yang harus dilakukan dengan suatu bentuk tertentu yaitu dengan cara tertulis. Perjanjian formal contohnya adalah perjanjian perdamaian yang menurut Pasal 1851 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi: Perjanjian ini tidaklah sah, melainkan jika dibuat secara tertulis. b. Perjanjian Rill Perjanjian rill adalah suatu perjanjian dimana selain diperlukan adanya kata sepakat harus diserahkan. Perjanjian rill contohnya perjanjian pinjam pakai yang terdapat dalam Pasal 1740 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi: Pinjam pakai adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu barang kepada pihak yang lainnya untuk dipakai dengan cuma-cuma, dengan syarat bahwa yang menerima barang ini, setelah memakainya atau setelah lewatnya suatu waktu tertentu, akan mengembalikannya. Terciptanya perjanjian tersebut dengan diserahkan barang yang menjadi obyeknya atau perjanjian penitipan yang menurut Pasal 1694 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi:

84

Penitipan adalah terjadi, apabila seseorang menerima sesuatu barang dari orang lain, dengan syarat bahwa ia akan

menyimpannya dan mengembalikannya dalam wujud asalnya. c. Perjanjian dengan Cuma-Cuma Perjanjian dengan cuma-cuma dalam Pasal 1314 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa: Suatu pejanjian dengan cuma -cuma adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. d. Perjanjian dengan Beban Perjanjian dengan beban dalam Pasal 1314 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa: Suatu perjanjian atas beban adalah suatu perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. e. Perjanjian Bernama Perjanjian bernama adalah perjanjian khusus adalah perjanjian yang memiliki nama sendiri. Dasar hukum perjanjian bernama terdapat dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII Buku ke Tiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu: 1) Perjanjian Jual-Beli Perjanjian jual beli terdapat dalam Pasal 1457 Kitab UndangUndang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa:

85

Jual Beli adalah suatu perjanjian dengan nama pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu

kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. 2) Perjanjian Tukar-Menukar Perjanjian tukar-menukar terdapat dalam Pasal 1541 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa: Tukar-menukar ialah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara bertimbal balik, sebagai gantinya suatu barang lain. 3) Perjanjian Sewa-Menyewa Perjanjian sewa-menyewa terdapat dalam Pasal 1548 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa: Sewa-menyewa ialah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari sesuatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya. 4) Perjanjian untuk Melakukan Pekerjaan Perjanjian untuk melakukan pekerjaan terdapat dalam Pasal 1601 huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa: Perjanjian perburuhan adalah perjanjian dengan nama pihak yang satu, si buruh mengikatkan dirinya di bawah perintah pihak yang lain si majikan, untuk suatu waktu tertentu, melakukan perkerjaan dengan menerima upah.

86

Pasal 1601 huruf b Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa: Pemborongan pekerjaan adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu, si pemborong mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, yang memborongkan, ditentukan. 5) Perjanjian Persekutuan Perjanjian persekutuan terdapat dalam Pasal 1618 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa: Persekutuan adalah suatu perjanjian dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukan sesuatu dalam persekutuan, dengan maksud untuk memberikan keuntungan yang terjadi karenanya. 6) Perjanjian Perkumpulan Perjanjian perkumpulan terdapat dalam Pasal 1653 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa: Selainnya perseroan yang sejati oleh undang -undang diakui pula perhimpunan-perhimpunan orang sebagai perkumpulanperkumpulan, baik perkumpulan-perkumpulan itu diadakan atau diakui sebagai demikian oleh kekuasaan umum, maupun perkumpulan-perkumpulan itu diterima sebagai diperbolehkan, atau telah didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertetangan dengan undang-undang atau kesusilaan baik. 7) Perjanjian Hibah Perjanjian hibah terdapat dalam Pasal 1666 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa: dengan menerima suatu harga yang

87

Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya, dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan suatu benda dengan guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerah an itu. 8) Perjanjian Penitipan Barang Perjanjian penitipan barang terdapat dalam Pasal 1694 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa: Penitipan adalah terjadi, apabila seseornag menerima suatu barang dari seorang lain, dengan syarat bahwa ia akan menyimpannya dan mengembalikannya dalam wujud asalnya. 9) Perjanjian Pinjam Pakai Perjanjian pinjam pakai terdapat dalam Pasal 1740 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa: Pinjam pakai adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu barang kepada pihak yang lainnya untuk dipakai dengan cuma-cuma dengan syarat bahwa yang menerima barang ini, setelah memakainya atau setelah lewatnya suatu waktu tertentu, akan mengembalikannya. 10) Perjanjian Pinjam-Meminjam Perjanjian pinjam-meminjam terdapat dalam Pasal 1754 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa: Pinjam-meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula. 11) Perjanjian Bunga Tetap dan Bunga Abadi

88

Perjanjian bunga tetap dan bunga abadi terdapat dalam Pasal 1770 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang

menyebutkan bahwa: Memperjanjian suatu bunga abadi ialah suatu perjanjian dengan mana pihak yang member bunga pinjaman atas uang

memperjanjikan

pembayaran

pembayaran

sejumlah uang pokok dan tidak akan dimintanya kembali. 12) Perjanjian Untung-Untungan Perjanjian untung-untungan terdapat dalam Pasal 1774 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa: Suatu perjanjian untung -untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak, maupun bagi sementara pihak, bergantung pada suatu kejadian yang belum tentu. 13) Perjanjian Pemberi Kuasa Perjanjian pemberi kuasa terdapat dalam Pasal 1792 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa: Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. 14) Perjanjian Penanggungan Perjanjian penanggungan terdapat dalam Pasal 1820 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa:

89

Penanggungan

adalah

suatu

perjanjian

dengan

mana

seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya. 15) Perjanjian Perdamaian Perjanjian perdamaian terdapat dalam Pasal 1851 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa: Perdamaian adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau pun mencegah timbulnya suatu perkara. f. Perjanjian Tidak Bernama Perjanjian tidak bernama diatur dalam Pasal 1319 Kitab UndangUndang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa: Semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum, yang termuat dalam bab ini dan bab yang lalu. g. Perjanjian Campuran Perjanjian campuran adalah perjanjian yang mengandung

berbagai perjanjian yang sulit dikualifikasikan.

90

h. Perjanjian Konsensuil Perjanjian konsensuil adalah perjanjian dianggap sah apabila ada kata sepakat antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut. i. Perjanjian Sepihak Perjanjian sepihak adalah perjanjian di mana hanya terdapat kewajiban pada salah satu pihak saja. j. Perjanjian Timbal Balik Perjanjian timbal balik adalah suatu perjanjian yang memberi hak kewajiban kepada kedua belah pihak.

5. Berakhirnya Perjanjian Suatu perjanjian dapat lahir dan juga hapus atau berakhir . Ketentuan mengenai hapusnya atau berakhirnya perjajian diatur dalam Pasal 1381 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan sebagai berikut: perikatan-perikatan hapus: Karena pembayaran; Karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan; Karena pembaharuan utang; Karena penjumpaan utang atau kompensasi; Karena percampuran utang; Karena pembebasan utangnya; Karena musnahnya barang yang terutang; Karena kebatalan atau pembatalan; Karena berlakunya syarat batal, yang diatur dalam bab ke satu buku ini; Karena lewatnya waktu, hal mana akan diatur dalam suatu bab tersendiri.

91

Berdasarkan bunyi Pasal 1381 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat penjelasan dari pasal tersebut yaitu: a. Pembayaran Pembayaran adalah merupakan pelunasan dan suatu

perjanjian atau berakhirnya perjanjian dengan pembayaran sejumlah uang, atau penyerahan benda. Pembayaran dalam hal ini harus dilakukan oleh si berpiutang (kreditur) atau kepada seseorang yang dikuasakan olehnya atau juga kepada orang yang dikuasakan oleh Hakim atau undang-undang untuk menerima pembayaran bagi si berpiutang. b. Penawaran Pembayaran Tunai Diikuti oleh Penyimpanan atau Penitipan Barang. Cara ini merupakan cara untuk menolong orang yang berutang dalam hal berpiutang tidak suka menerima

pembayaran. Barang yang hendak dibayarkan diantarkan kepada orang yang berpiutang. Maksudnya adalah agar orang yang berpiutang dianggap telah dibayar secara sah atau orang yang berutang telah membayar sah dan maka supaya pembayaran itu sah maka diperlukan untuk memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:39 1) Dilakukan kepada kreditur atau kuasanya 2) Dilakukan oleh debitur yang berwenang membayar 3) Mengenai semua uang pokok, bunga, biaya yang telah ditetapkan

39

Surajiman, Perjanjian Bernama, Posbakum, Jakarta, 2001, Hlm. 22.

92

4) Waktu yang telah ditetapkan telah tiba 5) Syarat yang mana utang dibuat telah dipenuhi 6) Penawaran pembayaran dilakukan ditempat yang telah ditetapkan atau ditempat yang telah disetujui 7) Penawaran pembayaran dilakukan oleh Notaris atau Juru sita, disertai oleh dua orang saksi c. Pembaharuan Utang (Inovatie) Pembaharuan utang adalah suatu persetujuan yang

menyebabkan hapusnya suatu perikatan dan pada saat yang bersamaan timbul perikatan lainnya yang ditempatkan sebagai penggatian perikatan semula, maksudnya bahwa

pembaharuan utang ini terjadi dengan jalan mengganti utang lama dengan utang baru, debitur lama dengan debitur baru atau kreditur baru dengan kreditur lama.pembaruan utang ada tiga macam yaitu:40 1) Pembaharuan utang yang obyektif, yaitu mengganti dan merubah isi dari pada perikatan. Penggantian perikatan ini terjadi jika kewajiban debitur atas suatu prestasi tertentu diganti oleh prestasi lain. 2) Pembaharuan utang yang subyektif pasif, yaitu mengubah sebab dari pada perikatan. Misalnya ganti rugi atas dasar perbuatan melawan hukum

C. Assers, Pengajian Hukum Perdata Belanda, Dian Rakyat, Jakarta 1991, Hlm. 558.
40

93

3) Pembaharuan utang yang subyektif aktif, yaitu selalu melakukan persetujuan segitiga, karena debitur perlu mengikatkan dirinya dengan kreditur baru. d. Perjumpaan Utang Istilah perjumpaan utang apabila utang piutang debitur dan kreditur secara timbal balik dilakukan perhitungan, dengan perhitungan ini utang piutang akan berakhir. Adapun syarat suatu utang supaya dapat dijumpakan:41 1) Bahwa dua orang timbal balik saling berutang satu terhadap lainnya. 2) Bahwa persetujuan-persetujuan mempunyai sejumlah

uang sebagai obyek, atau barang-barang yang dapat diganti dengan yang sejenis 3) Bahwa tuntutan-tuntutan sudah dapat di tuntut 4) Bahwa tuntutan-tuntutan dapat dikenakan untuk pelunasan secara segera Pasal 1425 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

menyebutkan bahwa: Jika kedua orang saling berutang satu pada yang lain, maka terjadilah diantara mereka suatu perjumpaan, dengan mana utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan. e. Pencampur Utang Menurut Pasal 1346 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi:

41

Ibid, Hlm. 589.

94

Apa yang meragu-ragukan harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi kebiasaan dalam negeri atau di tempat, dimana perjanjian telah dibuat. Pencampuran utang terjadi apabila kedudukan seorang yang berpiutang dan orang yang berhutang itu menjadi satu, maka menurut hukum terjadilah pencampuran utang. Adanya pencampuran itu, maka segala utang piutang tersebut dihapuskan. f. Pembebasan Utang Pembebasan utang adalah perbuatan hukum di mana seorang kreditur melepaskan haknya untuk menangih piutang dari seorang debitur. Pembebasan utang ini dapat terjadi apabila kreditur dengan tegas menyatakan tidak menghendaki lagi prestasi dari debitur dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perjanjian, dengan pembebasan ini

perjanjian menjadi berkahir. Pasal 1439 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

menyebutkan bahwa: Pengembalian sepucuk tanda piutang asli secara sukarela, oleh si berpiutang kepada si berutang, merupakan suatu bukti tentang pembebasan utangnya, bahkan terhadap orang-orang lain yang turut berutang secara tanggung-menanggung. Seseorang yang berpiutang dengan sukarela membebaskan segala utang-utangnya orang yang berutang, dengan adanya

95

suatu pembelaan maka hal ini tidak dapat dipindah alihkan kepada hak milik. g. Musnahnya Barang yang Terutang Obyek yang diperjanjikan adalah merupakan barang tertentu dan barang tersebut musnah, maka tidak lagi dapat

diperdagangkan atau hilang sama sekali, maka apa yang telah diperjanjikan adalah hapus/berakhir. h. Kebatalan dan Pembatalan Perjanjian Menurut Subekti meskipun disebutkan batal dan pembatalan, tetapi yang benar adalah pembatalan.42 Ketentuan Pasal 1446 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang

menyebutkan bahwa: Semua perikatan yang dibuat oleh orang -ornag yang belum dewasa atu orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan, adalah batal demi hukum, dan atas penuntutan yang dimajukan oleh atau dari pihak mereka harus dinyatakan batal, semata-mata atas dasar kebelumdewasaan dan pengampuannya. Ketentuan pembatalan dalam pasal tersebut pembatalan semuanya perjanjian mengenai karena

meminta

kekurangan syarat subyektif dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: 1) Secara aktif menurut pembatalan perjanjian yang demikian di depan hakim 2) Secara pembelaan yaitu menunggu sampai digugat di depan hakim untuk memenuhi perjanjian disitulah baru mengajukan kekurangannya perjanjian itu.
42

Subekti. Op.cit. Hlm. 49.

96

i.

Berlakunya Syarat Batal Maksud dari syarat batal dalam Pasal 1265 Kitab UndangUndang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa: Suatu syarat yang apabila dipenuhi menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu, kembali kepada keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi suatu perikatan. Peristiwa demikian apabila peristiwa itu benar-benar terjadi maka orang yang berutang wajib mengembalikan apa yang diterimanya.

j.

Lewat Waktu atau Kadaluarsa Lewat waktu atau kadaluarsa dalam Pasal 1946 Kitab UndangUndang Hukum Perdata yang berbunyi: Daluwarsa adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu untuk dibebaskan dari suatu perikatan dari lewatnya suatu waktu tertentu atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Lewatnya waktu untuk dapat dikatakan kadaluarsa dapat dilihat pada Pasal 1967 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menerangkan bahwa: Segala tuntutan hukum baik yang bersifat kebendaan, maupun yang bersifat perseorangan, hapus karena daluwarsa dengan lewatnya tiga puluh tahun, sedangkan siapa yang, menunjukan akan adanya daluwarsa tidak usah mempertunjukan suatu alas hak, lagi pula tak dapatlah dimajukan terhadapnya suatu tangkisan yang didasakan pada itikad yang buruk.

97

6. Asas Perjanjian Berdasarkan teori di dalam suatu hukum perjanjian terdapat lima asas yang dikenal menurut ilmu Hukum Perdata. Kelima asas itu antara lain: a. Asas Kebebasan Berkontrak. Maksudnya setiap orang bebas mengadakan suatu perjanjian berupa apa saja, baik bentuknya, isinya, dan pada siapa perjanjian itu ditujukan. Kebebasan ini merupakan perwujudan kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia.43 b. Asas Konsensualisme Suatu perjanjian cukup ada kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian itu tanpa diikuti dengan perbuatan hukum lain kecuali perjanjian yang bersifat formal.44 c. Asas Itikad Baik Bahwa orang yang akan membuat perjajian harus dilakukan dengan itikad baik. Itikad baik dalam pengertian yang subyektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang yaitu apa yang terletak pada seseorang pada waktu diadakan pembuatan hukum. d. Asas Pacta Sun Servanda Merupakan asas yang berhubungan dengan mengikatnya suatu perjanjian. Perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak

43 Mariam Darus Badruzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bhakti, Jakarta, 2001, Hlm.1. 44 A. Qiram Syamsudin Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta, 1985, Hlm. 20.

98

mengikat bagi para pihak yang membuatnya, dan perjanjian tersebut berlaku seperti undang-undang.45 e. Asas Berlakunya Suatu Perjanjian Pada dasarnya semua perjanjian berlaku bagi mereka yang membuatnya dan tidak ada pengaruhnya bagi pihak ketiga kecuali undang-undang mengaturnya, misalnya perjanjian untuk pihak ketiga.

Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, Hlm.157.

45

BAB III PERJANJIAN INVESTASI ANTARA INVESTOR DENGAN PERUSAHAAN PIALANG BERJANGKA A. Dasar Hukum Untuk Melaksanakan Perjanjian Kerjasama Investasi Perjanjian secara umum diatur dalam dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang perikatan. Perjanjian bersifat terbuka dalam arti perjanjian boleh dibuat tanpa mengikuti semua ketentuan dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata asal tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan, dan ketertiban umum. Perjanjian investasi antara investor dengan perusahaan Pialang Berjangka merupakan dasar hukum utama dan acuan bagi para pihak untuk pelaksanaan kerjasama investasi dari investor di Bursa Berjangka, hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa: Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Kesepakatan dalam perjanjian kerjasama investasi antara investor dengan perusahaan Pialang Berjangka berlaku sebagai aturan yang harus disepakati oleh kedua belah pihak yang bersepakat dalam pelaksanaan investasi. Perjanjian kerjasama investasi sebelum disepakati dan ditandatangani terdapat beberapa tahapan yang akan dilalui oleh investor dan Pialang Berjangka yaitu: 1. Pemberitahuan Berjangka tentang Bursa Berjangka oleh Pialang

98

99

Pemberitahuan merupakan tanggung jawab dari Pialang Berjangka, di mana atau Pialang Berjangka kepada harus calon

menginformasikan

memberitahukan

investor mengenai perusahaan Pialang Berjangka yang berdasarkan, misalnya tentang izin perusahaan Pialang Berjangka, keadaan perusahaan Pialang Berjangka tersebut dan sebagainya, serta yang terpenting harus diberitahukan oleh Pialang Berjangka adalah tentang pemberitahuan adanya risiko dalam melakukan investasi di Bursa Berjangka. Pemberitahuan kepada calon investor tentang hal tersebut diatur dalam Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang menyatakan bahwa: Pialang Berjangka wajib menyampaikan Dokumen Keterangan Perusahaan dan Dokumen Pemberitahuan Adanya Risiko serta membuat perjanjian dengan Nasabah sebelum Pialang Berjangka yang bersangkutan dapat menerima hak milik Nasabah untuk perdagangan Kontrak Berjangka. Hal tersebut kemudian dijelaskan lagi dalam penjelasan Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang menyatakan bahwa: Dalam rangka perlindungan Nasabah, Pialang Berjangka wajib terlebih dahulu menyampaikan Dokumen Keterangan Perusahaan kepada Nasabahnya, yang antara lain memuat keterangan mengenai organisasi dan kepengurusan perusahaan tersebut, Pialang Berjangka juga wajib menjelasakan segala risiko yang mungkin dihadapi Nasabahnya, sebagaimana tercantum dalam Dokumen Pemberitahuan Adanya Risiko. Apabila Nasabahnya mengerti dan dapat menerima risiko tersebut.

100

Nasabah tersebut harus menandatangani dan member tanggal pada dokumen tersebut, yang menunjukan bahwa yang bersangkutan telah mengerti risiko yang akan dihadapi dan menyetujuinya. Pemberitahuan terhadap keadaan Bursa Berjangka ini juga ditegaskan dalam Pasal 106 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Perdagangan Berjangka Komoditi yang menyatakan bahwa: Sebelum membuka rekening Nasabah untuk transaksi Kontrak Berjangka, Pialang Berjangka wajib: a. Memberitahukan dan menjelaskan tentang keterangan perusahaan yang dimuat dalam Dokumen Keterangan Perusahaan, resiko yang dihadapi dalam Perdagangan Berjangka Komoditi yang dimuat dalam Dokumen Pemberitahuan Adanya Resiko, dan isi Perjanjian Pemberi Amanat yang isi dan bentuknya ditetapkan oleh Bappebti. b. Memberikan informasi yang jelas dan tidak menyesatkan tentang prosedur Perdagangan Berjangka Komoditi; c. Menjelaskan isi Kontrak Berjangka yang akan ditransaksikan oleh Nasabah; d. Menerima dokumen sebagaimana dimaksud huruf a, yang telah ditandatangani dan diberi tanggal oleh Nasabah sebagai tanda bukti telah mengerti dan menyutujui isi dokumen dan prosedur transaksi Kontrak Berjangka; e. Segera memberitahukan kepada seluruh Nasabahnya, apabila ada perubahan dalam peraturan yang berlaku; dan f. Meneliti semua informasi yang telah diberikan oleh Nasabah dalam permohonan pembukuan rekening untuk meyakinkan tidak adanya kesalahan atau kekurangan dalam pengisian. Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa Pialang Berjangka berkewajiban untuk menjelaskan semua hal dengan sejelas-jelasnya kepada investor tentang status Pialang Berjangka dan Perusahaan Pialang Berjangka tersebut maupun

101

adanya penjelasan tentang risiko yang mungkin akan dialami oleh investor dalam pelaksanaan investasinya di Bursa Berjangka. Hal ini perlu dilakukan agar investor benar-benar

mengetahui dan memahami tentang apa yang akan dilakukannya, walaupun ada sanksi jika keterangan yang diberikan tidak sebagaimana mestinya diberikan, sebenarnya pembuktiannya akan sulit karena pemberitahuan tersebut biasanya dilakukan secara tertutup, khusus untuk nasabah saja.

2. Pemprosesan Data Nasabah Data yang dikumpulkan adalah data tentang nasabah atau calon investor yang akan melakukan investasi di Bursa Berjangka. Pengumpulan data nasabah ini harus dilakukan oleh investor untuk mengetahui tentang keadaan dan latar belakang calon investor. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang menyatakan bahwa: Pialang Berjangka wajib mengetahui latar belakang, keadaan keuangan, dan pengetahuan mengenai

Perdagangan Berjangka dari Nasabahnya. Hal ini diperlukan oleh Pialang Berjangka untuk

memberikan alternatif investasi yang baik bagi nasabah. Perlu

102

diketahui pergerakan harga di Bursa Berjangka sama dengan pergerakan harga saham di Bursa Efek, sehingga diperlukan kesiapan dana dari nasabah apabila ternyata investasi yang dilakukan mengalami kerugian. Dana tersebut biasanya telah ada di rekening nasabahnya, apabila kerugian terlalu besar maka dapat diminta kepadakan kepada nasabah jika kondisi keuangannya memungkinkan untuk melakukan penambahan dana untuk menutup kerugian yang terjadi. Berdasarkan ketentuan di atas, alasan Pialang wajib mengetahui nasabahnya karena Pialang Berjangka dilarang menarik atau menerima uang dan/atau surat berharga tertentu dari kliennya, kecuali untuk pembayaran jasa atas nasihat yang diberikan kepada klien yang bersangkutan sesuai yang terdapat dalam ketentuan Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang menyatakan bahwa: Pialang Berjangka dilarang menerima amanat Nasabah apabila mengetahui Nasabah yang bersangkutan: a. Telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan; b. Telah dinyatakan melanggar ketentuan UndangUndang ini dan/atau peraturan pelaksanaannya oleh Badan peradilan atau Bappebti; c. Pejabat atau pegawai: 1) Bappebti, Bursa Berjangka, Lembaga Kliring, atau 2) Bendaharawan lembaga yang melayani kepentingan umum, kecuali yang bersangkutan mendapat kuasa dari lembag tersebut.

103

3. Pembuatan

Kesepakatan

tentang

Investasi

dan

Penandatanganan Perjanjian Kerjasama Investasi Pembuatan kesepakatan tentang investasi yang akan dilakukan merupakan hal yang sangat penting karena kesepakatan tersebut yang akan menentukan jenis investasi yang akan dilakukan nasabah di Bursa Berjangka.

Kesepakatan tersebut akan dituangkan dalam Perjanjian Kerjasama Investasi yang merupakan dasar untuk melakukan investasi. Penandatanganan Perjanjian Kerjasama Investasi tersebut akan memberikan kekuasaan kepada pialang berjangka berdasarkan amanat nasabah untuk menyalurkan investasi dari investor atau nasabah ke bursa berjangka, selanjutnya Pialang Berjangka akan melakukan penarikan margin atau dana dari nasabah. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang menyatakan bahwa: Pialang Berjangka sebelum melaksanakan transaksi Kontrak Berjangka untuk Nasabah, berkewajiban menarik Margin dari Nasabah untuk jaminan transaksi tersebut. Dana nasabah yaitu dana investor untuk diinvestasikan di Bursa Berjangka akan dikelola dalam sebuah rekening terpisah, di mana keperluan terhadap transaksi akan diambil dari rekening tersebut juga akan diberikan laporan oleh Pialang Berjangka kepada pemilik rekening atau nasabah.

104

Berdasarkan tahapan Perjanjian Kerjasama Investasi diatas terdapat juga tahapan Pelaksanaan Investasinya. Tahap ini merupakan tahap utama dalam melaksanakan investasi karena pada tahap ini menentukan untung ruginya investasi yang dilakukan. Tahapan

Pelaksanaan Investasi terbagi menjadi: 1. Tahap Pemberian Amanat dari Nasabah Kepada Pialang Berjangka Dasar bagi Pialang Berjangka untuk melakukan transaksi tersebut adalah amanat yang diberikan oleh nasabah kepada pialang berjangka, maka Pialang Berjangka akan memasukan amanat tersebut dalam bentuk transaksi atas Kontrak Berjangka atau Produk Deveratif yang sesuai dengan

kesepakatan dalam Perjanjian Kerjasama Investasi antara investor dengan perusahaan Pialang Berjangka atau sesuai dengan amanat yang diberikan oleh nasabah kepada Pialang Berjangka. Sikap Pialang Berjangka apabila menerima amanat dari nasabah yaitu sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 108 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Perdagangan Berjangka Komoditi yang menyatakan bahwa: (1) Setiap kali menerima amanat Nasabah untuk melakukan transaksi atas beban rekening Nasabah yang bersangkutan. Pialang Berjangka wajib mencatat dalam kartu amanat sebagaimana ditetapkan oleh Bappebti. (2) Apabila amanat Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui telepon, maka perintah dan pembicaraan tersebut wajib direkam.

105

Berdasarkan ketentuan Pasal 108 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Perdagangan Berjangka

Komoditi bahwa Pialang Berjangka juga harus melakukan pencatatan atau perekaman terhadap perintah yang diberikan kepadanya, hal ini akan membantu dalam melakukan pembuktian apabila ternyata apa yang diperintahkan nasabah tidak dilakukan sebagaimana mestinya oleh Pialang

Berjangka, di lain pihak pencatatan atau perekaman ini juga dapat menjadi bukti bahwa apa yang telah dilakukan oleh Pialang Berjangka sudah sesuai dengan apa yang

diamanatkan nasabahnya.

2. Penempatan Dana Nasabah Pada Rekening Terpisah Rekening terpisah adalah tempat penyimpanan atau penitipan dana nasabah oleh perusahaan Pialang Berjangka. Perkembangan dan keberadaan rekening tersebut akan selalu diaudit dan dimonitor oleh suatu Lembaga Kliring yang dikenal sebagai Kliring Berjangka Indonesia (KBI). Kliring Berjangka Indonesia berfungsi sebagai lembaga penjamin dana nasabah, artinya dana nasabah akan diberikan jaminan apabila perusahaan Pialang Berjangka telah pailit. Ketentuan

sebagaimana diatur dalam Pasal 109 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1999 tentang

106

Penyelenggaraan Perdagangan Berjangka Komoditi yang menyatakan bahwa: Pialang Berjangka wajib menempatkan dana Nasabah pada rekening terpisah di Bank yang telah disetujui oleh Bappebti dan membuat pembukuan sesuai dengan sistem akuntansi yang berlaku umum, sehingga mudah diketahui jumlah dana milik masing-masing nasabah. Berkaitan dengan kewajiban pialang berjangka untuk

menempakan dana nasabah pada rekening terpisah, maka terdapat kasus-kasus investasi dalam perusahaan pialang berjangka, berikut salah satu contoh kasus Perjanjian Kerjasama Investasi:46 Nelly Asmiwarti akan melakukan investasi di perusahaan Pialang Berjangka PT. Millennium Future yang berlokasi di Jakarta, perwakilan dari perusahaan Pialang Berjangka tersebut bernama Muhammad Riki. Riki dan Nelly sepakat untuk melakukan kontrak perjanjian kerjasama seperti yang terdapat dalam Pasal 1320 angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagai salah satu syarat sah nya suatu perjanjian dan terikat oleh ketentuan pasal-pasal dalam Surat Perjanjian Kerjasama Investasi sebagai undang-undang yang akan mengatur perjanjian yang telah disepakati. Nelly telah menginvestasikan dana sebesar Rp. 50.000.000,00 (Lima Puluh Juta Rupiah) kepada PT. Millennium Future dengan memilih jenis PRODUK 1 (3 months investment) dengan persentase keuntungan

http://kasusinvestasi.bapebbti.com. Diakses pada hari Selasa, 17 Juni 2013, pukul 21.03 WIB.

46

107

40% (empat puluh persen) pada bulan ke 1 dan ke 2 terhitung sejak perjanjian kerjasama itu dibuat. Pialang perkembangan wajib memberitahukan dengan semua informasi mengenai dan memberikan

perusahaan

transparan

pembagian keuntungan tiap bulan selama masa perjanjian dengan persentase sebesar 40% (empat puluh persen) dari nominal investasi Kerjasama investasi ini akan menimbulkan keuntungan dan kerugian pada perusahan dan nasabahnya. Pada saat itu PT. Millennium Future telah mengalami Loss Trading dan tidak menginformasikan kepada Nelly sebagai salah satu nasabahnya, sehingga Nelly dalam jangka waktu yang cukup lama tidak menerima lagi sharing profit setiap bulannya. Isi perjanjiannya mengatur apabila PT. Millennium Future

mengalami Loss Trading, maka dengan dokumentasi data yang valid akan membicarakan perihal pengembalian dana pokok investasi Nelly selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan dan apabila perusahaan dalam keadaan pailit maka aset yang dimiliki perusahaan digunakan sebagai backup dana pokok investasi nasabah. Nelly tidak mendapatkan keuntungan seperti yang sering disebutsebutkan atau dijanjikan oleh Pialang Berjangka tetapi Nelly telah mendapatkan kerugian sebesar Rp. 40.000.000.00 (Empat Puluh Juta Rupiah) dan mengajukan penuntutan kepada PT. Millennium Future untuk menuntut kerugian, akan tetapi pihak PT. Millennium Future tidak bersedia mengganti kerugian tersebut.

108

Penyelesaian perselisihan hukum akibat dari perjanjian seperti adanya pertentangan, perbedaan pendapat yang timbul dari perjanjian ini, sepanjang memungkinkan diselesaikannya terlebih dahulu secara

musyawarah dan mufakat oleh para pihak yang bersangkutan dan dapat juga menempuh jalur hukum di pengadilan, apabila tidak tercapainya musyawarah dan mufakat oleh para pihak.

B. Kasus-Kasus Tentang Investasi Di Perusahaan Pialang Berjangka 1. Kasus PT. Millennium Future Nelly Asmiwarti melakukan investasi di salah satu Perusahaan Pialang Berjangka di Jakarta yang bernama PT. Millennium Future. Nelly sepakat menandatangani surat perjanjian kerjasama investasi dengan Perusahaan Pialang Berjangka PT. Millennium Future. Nelly menyatakan dalam kasusnya mengalami kerugian sebesar US$4000 (Empat Ribu Dolar Amerika) atau setara dengan Rp.40.000.000 dari nilai investasinya sebesar US$5000 (Lima Ribu Dolar Amerika). Kerugian tersebut menurut Nelly ditimbulkan oleh ulah dari Wakil Pialang Berjangka yang pada awalnya diberikan kekuasaan oleh Nelly untuk melakukan transaksi dengan kewajiban untuk memberikan laporan apabila setiap kali akan melakukan transaksi di Bursa Berjangka. Pada awalnya semua berjalan sesuai dengan yang disepakati, namun kendala laporan yang diminta jarang diberikan oleh Wakil Pialang Berjangka yang memegang amanat Nelly untuk melakukan penyaluran amanat. Laporan baru diberikan ketika telah terjadi

109

kerugian yang sangat besar sebagaimana yang dicantumkan di atas, pada halnya waktu akan melakukan transaksi tidak pernah

diberitahukan kepada pihak Nelly. Keadaan tersebut membuat Nelly terkejut, karena keuntungan yang semula sering disebut-sebutkan atau dijanjikan oleh Pialang Berjangka dan Wakil Pialang Berjangka yang akan didapat ternyata kerugian yang sangat besar yang diterima oleh Nelly. Penyebab akibat dari kerugian tersebut Perusahaan Pialang Berjangka PT. Millennium Future telah mengalami pailit karena seluruh aset yang dimiliki oleh perusahaan telah habis karena investasi saham yang dimainkan oleh mereka mengalami kekalahan terus menerus sehingga tidak ada pemasukan sedikit pun untuk membayar amanat dari para investornya. Nelly melakukan pengaduan kepada perusahaan dengan

menuntut agar semua kerugian yang terjadi tanpa sepengetahuan Nelly dikembalikan oleh Pialang Berjangka sebagai ganti rugi. Proses penyelesaian yang dilakukan melalui Perusahaan Pialang Berjangka PT. Millennium Future tersebut, pihak perusahaan tidak bersedia untuk mengembalikan kerugian yang terjadi secara utuh.

2. Investasi Bodong Raihan Jewellery Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi menegaskan pihaknya telah mengidentifikasi kasus investasi bodong yang terjadi di Surabaya, Jawa Timur. Bayu sudah meminta Badan Pengawasan Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI) untuk menangani

110

kasus tersebut. Berkaitan dengan pemberitaan di media massa yang menyebutkan sejumlah investor berencana melaporkan manajemen Raihan Jewellery kepada Kepolisian Daerah Jawa Timur karena perusahaan investasi emas ini tidak sesuai dengan janji investasi semula.47 Raihan Jewellery menawarkan imbalan hasil 3-5 persen perbulan bagi investor yang menanamkan dana untuk investasi emas. Imbalan hasil rutin dibayarkan sejak tahun 2010, tetapi berhenti pada Januari 2013. Dana nasabah yag dihimpun diperkirakan mencapai Rp. 13,2 Triliiun untuk total emas 2,2 Ton emas. Kepala Badan Pengawasan Perdagangan Berjangka Komoditi Syahrul R Sempurnajaya mengatakan pihkanya telah memiliki satuan tugas pengawasan terhadap semua perusahaan pialang yang ada di Indonesia dan luar negeri. Satgas tersebut tidak hanya dari Badan Pengawasan Perdagangan Berjangka Komoditi tetapi melibatkan dari Badan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Kementrian Keuangan dan Bank Indonesia, dan Kepolisisan Satuan Tugas (Satgas) dibentuk karena maraknya pengaduan investasi bodong dari masyarakat.

3. Investasi Emas Bodong Golden Traders Indonesia Syariah Golden Traders Indonesia Syariah (selanjutnya disebut GTIS) perusahaan investasi emas berbasis syariah pertama di Indonesia. Kaburnya Taufiq Michael Ong pemilik GTIS yang diduga membawa
http://bisniskeuangan.compas.com/read/waspadai.inevstasi.bodong. Diakses pada hari Jumat, 03 Mei 2013, pukul 14.28 WIB.
47

111

semua uang nasabah dan menyebutkan nama petinggi Demokrat sekaligus Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Marzuki Alie. Seorang wanita yang mengaku ibu rumah tangga biasa ini mengalami kerugian investasi mencapai Rp. 70 juta. Nasabah yang dipanggil Tuti ini mengaku sangat percaya dengan investasi ini karena tergiur akan hasil investasi yang tinggi. GTIS selalu membawa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tuti mengaku atas kejadian ini belum tahu akan berbuat apa. Sebab, saat berhubungan dengan agen GTIS, Tuti juga belum mendapatkan solusi. Tuti mengaku sudah mengetahui resiko dari investasi ini. Agen GTIS pernah mengiming-imingi bonus untuk berjalan-jalan di Malaysia. Tuti berfikir Michael Ong mempunyai aset yang cukup besar, sehingga Tuti yakin mendapatkan keuntungan. Melihat kejadian ini Tuti mengaku pasrah dan belum bisa menentukan langkah selanjutnya. Marzuki Alie mengatakan mengenal pemilik GTIS sebagai seornag kebangsaan Malaysia dan Marzuki mengaku tidak

mempunyai keterkaitan bisnis secara formal dengan GTIS. Ketua Majelis Ulama Indonesia, Maarud Amin yang juga menjadi

Pengawasn dan Penasihat GTIS membenarkan ucapan Marzuki yang tidak ikut membeli emas dan memposisikan diri Marzuki sebagai penasihat GTIS.

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INVESTOR ATAS PAILITNYA PERUSAHAAN PIALANG BERJANGKA DALAM PERJANJIAN KERJASAMA INVESTASI DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PEDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN ATAS KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

A. Pelaksanaan Perlindungan Hukum Bagi Investor Atas Pailitnya Perusahaan Pialang Berjangka Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 Tentang Perdagangan Berjangka Komoditi Juncto Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepeilitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Perjanjian kerjasama investasi merupakan dasar hukum utama dan acuan bagi para pihak untuk melaksanakan investasi dari investor di Bursa Berjangka, dengan demikian kesepakatan dalam perjanjian kerjasama investasi antara investor dengan perusahaan Pialang

Berjangka berlaku sebagai aturan yang harus disepakati oleh kedua belah pihak yang bersepakat dalam pelaksanaan investasi. Berikut kasus yang terdapat dalam perjanjian investasi ini: Nelly Asmiwarti melakukan investasi di perusahaan Pialang Berjangka PT. Millennium Future yang berlokasi di Jakarta, perwakilan dari perusahaan Pialang Berjangka tersebut bernama Riki. Nelly dan Riki membuat sebuah perjanjian sebagai syarat sahnya perjanjian sesuai

113

114

dengan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa: Untuk sahnya suatu perikatan diperlukan empat syarat: a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan c. Suatu Hal tertentu d. Suatu sebab yang halal Kesepakatan kerjasama tersebut di buat ke dalam bentuk Surat Perjanjian Kerjasama Investasi sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa: Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Berkaitan dengan bunyi pasal di atas terdapat pengaturan untuk kepengurusan Direksi PT. Millennium Future sebagaimana diatur dalam Pasal 92 Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa: (1) Direksi menjalankan pengurusan Perseroan kepentingan Perseroan dengan maksud dan Perseroan. untuk tujuan

(2)

Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan/atau anggaran dasar. Direksi Perseroan terdiri atas 1 orang anggota direksi atau lebih. Perseroan yang kegiatan usahanya berkaitan dengan menghimpun dan/atau mengelola dana masyarakat, Perseroan yang menerbitkan surat pengakuan utang kepada masyarakat, atau Perseroan Terbuka wajib mempunyai paling sedikit 2 (dua) orang anggota Direksi.

(3) (4)

115

(5)

Dalam hal Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi atau lebih, pembagian tugas dan wewenang pengurusan diantara anggota Direksi ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS. Dalam hal RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak menetapkan, pembagian tugas dan wewenang anggota Direksi ditetapkan berdasarkan keputusan Direksi.

(6)

Nelly telah menginvestasikan dana sebesar Rp. 50.000.000.00 (Lima Puluh Juta Rupiah) kepada PT. Millennium Future untuk ditempatkan sebagai Margin seperti yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (19) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang menyatakan bahwa: Margin adalah sejumlah uang atau surat berharga yang harus ditempatkan oleh Nasabah pada Pialang Berjangka, Pialang Berjangka pada Anggota Kliring Berjangka, atau Anggota Kliring Berjangka pada Lembaga Kliring Berjangka untuk menjamin pelaksanaan transaksi Kontrak Berjangka. Nelly memilih jenis PRODUK 1 (3 months investment) dengan persentase keuntungan 40% (Empat Puluh Persen) pada bulan ke 1 dan ke 2 terhitung sejak perjanjian kerjasama itu dibuat. Pialang Wajib memberitahukan semua informasi dengan transparan dan memberikan pembagian keuntungan tiap bulan selama masa perjanjian dengan persentase sebesar 40% (Empat Puluh Persen) dari nominal investasi. Kerjasama investasi ini akan menimbulkan keuntungan dan kerugian pada perusahaan dan nasabahnya. Pada saat itu PT. Millennium Future telah kepada yang mengalami Nelly, cukup Loss Trading dan tidak Nelly

menginformasikan mengalami

sehingga besar

menyebabkan tidak

kerugian

karena

menerima

keuntungan dalam jangka waktu yang cukup lama. Nelly mengajukan

116

penuntutan kepada PT. Millennium Fuure untuk menuntut kerugiannya tersebut, tetapi PT. Millennium Future tidak bersedia mengganti kerugian tersebut karena perusahaan telah pailit yang artinya kemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Berdasarkan kasus diatas maka terdapat perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada pihak Nelly sebagai investor dalam

perjanjian kerjasama investasi atas pailitnya perusahaan pialang berjangka PT. Millennium Future, diantaranya melalui Pasal 97 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan terbatas yang menyatakan bahwa: Setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan dimaksud pada ayat (2). Berdasarkan pasal di atas yaitu apabila terjadinya kerugian yang dialami oleh investor karena kelalaian salah satu pihak direksi, maka pihak perseroan wajib bertanggung jawab atas kelalai tersebut. Tanggung jawab tersebut dapat berupa ganti rugi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 97 ayat (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa: Dalam hal direksi terdiri dari atas 2 (dua) anggota Direksi atau lebih, tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota Direksi. Berdasarkan bunyi pasal di atas kerugian investor yang wajib di bayar oleh perusahaan apabila terbukti sebagaimana dalam Pasal 97

117

ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, setiap direksi akan tanggung renteng untuk mengganti kerugian tersebut. Pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang

Perdagangan Berjangka Komoditi perlindungan hukum terhadap investor diatur dalam beberapa pasal: 1. Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang berbunyi: Pialang berjangka wajib menyampaikan Dokumen Keterangan Perusahaan dan Dokumen Pemberitahuan Adanya Risiko serta membuat perjanjian dengan Nasabah sebelum Pialang Berjangka yang bersangkutan dapat menerima dana milik Nasabah untuk perdagangan Kontrak Berjangka, Kontrak Deveratif Syariah, dan/atau Kontrak Deveratif lainnya. Berdasarkan bunyi pasal diatas maka pihak PT. Millennium Future wajib memberikan informasi setiap adanya

perkembangan pada perusahaan dan adanya risiko dalam melakukan suatu perjanjian investasi kepada Nelly sesuai dengan Surat Perjanjian Kerjasama yang telah disepakati.

2. Pasal 51 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang berbunyi: Dana Milik Nasabah, wajib di simpan dalam rekening yang terpisah dari Rekening Pialang Berjangka pada bank yang disetujui pihak Bappebti. Berdasarkan bunyi pasal diatas PT. Millennium Future diharuskan membuatkan rekening untuk Nelly sebagai

118

margin yang akan ditarik oleh Perusahaan dan sebagai Account Nelly.

3. Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang berbunyi: Pialang Berjangka dilarang melakukan t ransaksi Kontrak Berjangka, Kontrak Derivatif Syariah, dan/atau Kontrak Deveratif lainnya untuk rekening Nasabah, kecuali telah menerima perintah untuk setiap kali transaksi dari Nasabah atau kuasanya yang ditunjuk secara tertulis untuk mewakili kepentingan Nasabah yang bersangkutan. Berdasarkan bunyi pasal di atas, PT. Millennium Future tidak boleh melakukan transaksi yang hanya untuk menguntungkan salah satu nasabahnya atau salah satu pihak di luar perjanjian yang telah disepakati.

4. Pasal 73 A ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang berbunyi: Setiap pihak yang menjamin kerahasiaan data dan informasi mengenai, Nasabah, Klien, atau Peserta Sentra Dana Berjangka, dan mengungkapkan data dan informasi, di pidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 4.000.000.000,00 (empat milyar rupiah). Berdasarkan bunyi pasal di atas, PT. Millenium Future dilarang untuk membuka rahasia tentang informasi

perkembangan perusahaan dan identitas nasabah kepada pihak lain diluar perjanjian yang telah disepakati.

119

Perlindungan hukum yang diberikan selain terdapat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi terdapat juga dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1999 tentang Perdagangan Komoditi yaitu: Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1999 tentang Penyelenggaran Perdagangan Komoditi Berjangka yang berbunyi: Apabila Bursa Berjangka tidak berhasil mengambil langkah langkah penyelesaian atau perbaikan guna melindungi kepentingan Nasabah dan Anggota Bursa Berjangka. Bappebti agar menghentikan sebagian atau seluruh kegiatan transaksi Kontrak Berjangka di Bursa Berjangka. Berdasarkan bunyi pasal diatas, PT. Millennium Future apabila tidak dapat menyelesaikan perkara yang muncul pada perusahaannya, maka wajib menghentikan aktifitas perusahaan untuk sementara waktu ataupun mengajukan pailit pada Pengadilan. Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sebenarnya belum mengatur upaya hukum yang dapat digunakan oleh para investor pada perusahaan pialang berjangka yang dinyatakan pailit, sehingga perlindungan hukum bagi investor masih lemah walaupun kepailitan pialang berjangka telah diatur cukup jelas dalam Pasal 51 ayat (6) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang berbunyi: Apabila Pialang Berjangka dinyatakan pailit, dana Nasabah yang berada dalam penguasaan Pialang Berjangka tidak dapat

120

digunakan untuk memenuhi kewajiban Pialang Berjangka kepada pihak ketiga atau kreditornya. Berdasarkan bunyi pasal di atas PT. Millennium Future apabila telah mengalami pailit maka seluruh aset perusahaan tidak dapat digunakan sebagai ganti rugi kepada nasabah. Pengaturan yang terdapat dalam Pasal 55 ayat (1) UndangUndang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sebagai jaminan atas utang-utang yang diberikan kepada pialang berjangka yaitu: Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya dapat mengeksekusi seolaholah tidak terjadi kepailitan. Ketentuan hak eksekusi di atas terdapat dalam Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang berbunyi: Hak eksekusi kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dan pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan Debitor Pailit atau Kurator Berdasarkan bunyi pasal diatas, maka seluruh aset perusahaan PT. Millenium Future hanya dapat digunakan sebagai jaminan atas utangutangnya oleh para nasabah selama perusahaan Pialang Berjangka tersebut telah pailit dan sebelum mengganti semua kerugian para nasabahnya.

121

B. Penyelesaian Sengketa

dalam Perjanjian Kerjasama

Investasi

Sehubungan dengan Pailitnya

Perusahaan Pialang Berjangka

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 Tentang Perdagangan Berjangka Komoditi Juncto Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang. Setiap Perjanjian pasti mempunyai akibat hukum, perjanjian hanya mengikat para pihak yang membuatnya. Hal yang sama juga berlaku terhadap perjanjian tentang kerjasama investasi yang dilakukan oleh investor dengan perusahaan pialang berjangka. Akibat hukum dan perjanjian biasanya baru akan terlihat apabila salah satu pihak melakukan pelanggaran (wanprestasi) terhadap kesepakatan yang dibuat dan disepakati dalam perjanjian. Pihak yang dirugikan umumnya meminta pihak yang melakukan wanprestasi untuk memenuhi sejumlah prestasi. Biasanya apabila pihak yang melakukan wanprestasi tidak memenuhi maka, sanksi yang dapat dikenakan berupa: 1. Membayar kerugikan yang di derita oleh kreditur atau biasanya dinamakan ganti rugi; 2. Pembatalan perjanjian atau dinamakan dengan pemecahan perjanjian; 3. Peralihan resiko; 4. Membayar biaya perkara, apabila diperkarakan di Pengadilan Bedasarkan penjelasan diatas maka dapat dilakukan

penyelesaian perkara dengan cara tertentu sesuai yang disepakati dalam perjanjian, seperti yang terjadi pada kasus Nelly dengan PT. Millennium

122

Future yang tidak bersedia mengganti kerugian yang dialami Nelly sebagai nasabahnya. Pengaturan mengenai penuntutan dari investor terhadap

perusahaan diatur dalam Pasal 97 ayat (6) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa: Atas nama Perseroan,pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Negeri terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan. Berkaitan dengan kasus Nelly sebagai salah satu korban yang banyak mengalami kerugian terus-menerus dan mengajukan penuntutan karena tidak mendapatkan ganti rugi dari PT. Millennium Future, sesuai dengan Surat Perjanjian Kerjasama yang telah disepakati oleh kedua belah pihak maka dapat menyelesaikan sengketa dengan cara: 1. Penyelesaian Secara Perdata Nelly dapat melakukan penuntututan pada PT. Millennium Future untuk meminta penyelesaian kasus secara perdata sesuai dengan kesepakatan Surat Perjanjian Kerjasama yang merupakan sebuah alternatif penyelesaian sengketa yang di anjurkan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 61 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang berbunyi: Tanpa mengurangi hak para pihak untuk menyelesaikan perselisihan perdata yang berkaitan dengan Perdagangan Berjangka di Pengadilan atau melalui Arbitrase, setiap perselisihan wajib diupayakan terlebih dahulu penyelesaian melalui:

123

a. Musyawarah untuk mencapai mufakat diantara pihak yang berselisih; atau b. Pemanfaatan sarana yang di sediakan oleh Bappebti dan/atau Bursa Berjangka apabila musyawarah untuk mencapai mufakat, sebagaimana dimaksud pada huruf a, tidak tercapai. Setiap pengaduan yang dilakukan oleh nasabah atau investor maka penyelesaiannya sebagai berikut: a. Penyelesaian Berjangka Pertama-tama akan dilakukan melalui badan melalui Perusahaan Pialang

penyelesaian yang ada di setiap perusahaan pialang berjangka dimana setiap perusahaan

pialang berjangka diwajibkan untuk menyediakan suatu divisi kepatuhan (compliance) yang wajib melakukan penanganan pegaduan nasabah untuk pertama kalinya. b. Penyelesaian melalui Bursa Berjangka Sebenarnya, apabila pengaduan melalui

penyelesaian yang pertama yaitu, melalui internal perusahaan pialang berjangka tidak menghasilkan penyelesaian yang memuaskan bagi nasabah atau investor maka dapat memakai penyelesaian yang disediakan oleh pihak Bursa Berjangka, jika

nasabah atau investor masih tidak puas dengan penyelesaian yang dilakukan oleh pihak Bursa Berjangka maka dapat meminta penyelesaian

124

kepada

Badan

Pengawasan

Perdagangan

Berjangka Komoditi (selanjutnya di sebut Bappebti). c. Penyelesaian melalui Badan Pengawasan

Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Penyelesaian sengketa melalui Bappebti biasanya akan dilakukan melalui sistem mediasi. Mediasi tersebut dilakukan guna menampung aspirasi nasabah yang mengadukan kasusnya yang

biasanya menginginkan pengembailan dana melaui cara penyelesaian sengketa secara cepat. Penyelesaian di Bappebti merupakan penyelesaian pada tingkat terakhir secara perdata melalui badanbadan yang ada di internal Bursa Berjangka dan Perdagangan Berjangka Komoditi, karena jika pada tahap ini nasabah atau investor masih belum menemukan kepuasan juga terhadap penyelesaian yang ada, maka penyelesaian berikutnya dapat dilakukan melalui Badan Arbitrase atau Lembaga Peradilan.

2. Penyelesaian Secara Pidana Pada kasus yang telah terjadi pada Nelly sebagai nasabah PT. Millennium Future, karena penuntutan yang diajukan oleh Nelly tidak mendapatkan ganti rugi atau itikad baik dari pihak

125

PT. Millennium Future, maka dapat dikaitkan dengan unsurunsur perbuatan melawan hukum sebagai berikut: 1. Harus ada perbuatan 2. Perbuatan itu harus melawan hukum, dapat berupa: a) Bertentangan melanggar hak orang lain, b) Bertentangan dengan kewajiban, c) Bertentangan dengan kesusilaan, d) Bertentangan dengan kepentingan umum, 3. Ada kerugian 4. Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian yang timbul Berdasarkan penjelasan diatas maka kasus wanprestasi tersebut dapat di pidana jika terbukti terdapat kata-kata bohong atau tidak ada itikad baik sebagaimana diatur dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatakan bahwa: Barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri, atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya member hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara empat tahun. Berkaitan dengan penjelasan diatas maka dapat diuraikan lebih lanjut untuk menyelesaikan kasus wanprestasi tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi. Misalnya

pelanggaran dalam Pasal 71 sampai dengan Pasal 76

126

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi. Berikut rumusan pasal-pasalnya: Pasal 71 ayat (1), ayat (2), ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang menyebutkan bahwa: (1) Setiap pihak yang melakukan perdagangan berjangka tanpa memiliki izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), Pasal 25 ayat (2), Pasal 31 ayat (1), Pasal 34 ayat (1), atau Pasal 39 ayat (1), diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 6.500.000.000,00 (enam miliar lima ratus juta rupiah. (2) Setiap pihak yang melakukan kegiatan tanpa memiliki persetujuan sebagaimana dimaksud dengan Pasal 13, Pasal 14 ayat (2), Pasal 14 ayat (3), Pasal 32, atau Pasal 36 ayat (2), diancam dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). (3) Setiap pihak yang melakukan kegiatan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3), Pasal 34 ayat (3), atau Pasal 39 ayat (3) atau tanpa memiliki sertifikat pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4), diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 72 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang menyebutkan bahwa: Setiap pihak yang melakukan kegiatan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Pasal 73 ayat (1), ayat (2), ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang menyebutkan bahwa: (1) Setiap pihak yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf c, Pasal 27 ayat (1) huruf b, Pasal 27 ayat (1) huruf c, Pasal 36 ayat (3), Pasal 45 ayat (3), Pasal 51

127

ayat (3), Pasal 51 ayat (4), Pasal 54 ayat (3), Pasal 54 ayat (4), Pasal 55, Pasal 59, Pasal 63 ayat (2), atau melakukan kegiatan yang dlarang sebagaimana dimaksu dalam Pasal 37, Pasal 43, Pasal 49 ayat (2), Pasal 51 ayat (5), Pasal Pasal 52 ayat (1), atau Pasal 58 ayat (1) diancam dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). (2) Setiap pihak yang melakukan kegiatan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah. (3) Setiap pihak yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2), Pasal 50 ayat (4), Pasal 53 ayat (2), Pasal 53 ayat (4), Pasal 54 ayat (2) atau melakukan kegiatan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3), atau Pasal 53 ayat (3), diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 74 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang menyebutkan bahwa: Ancaman pidana penjara atau pidana kurungan dan pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, Pasal 71,Pasal 73, berlaku pula bagi setiap pihak, baik langsung maupun tidak langsung, turut serta, menyuruh, atau memperngaruhi pihak lain untuk melakukan kegiatan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal tersebut. Pasal 75 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang menyebutkan bahwa: Setiap pihak yang tidak mematuhi atau menghambat pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 atau Pasal 68 diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

128

Pasal 76 ayat (1), ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang menyebutkan bahwa: (1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3), Pasal 73 ayat (3), dan Pasal 75 adalah pelanggaran. (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1), Pasal 71 ayat (2), Pasal 72, Pasal 73 ayat (1) dan Pasal 73 ayat (2) adalah kejahatan. Cara penyelesaian kasus yang telah dialami oleh Nelly setelah proses penyelesaian secara perdata selanjutnya yaitu penyelesaian secara pidana sesuai asas ultimum remedium sebagai sarana pemulihan atau perbaikan dalam

menyelesaikan suatu kasus dalam pelaksanaan perjanjian kerjasama investasi ini, maka setiap penyelesaian terhadap kasus pidana di Bursa Berjangka akan dilakukan oleh pihak yang berwenang yaitu penyidik pegawai negeri sipil yang ada di Bappebti atau melalui Lembaga Kepolisisan dan Peradilan Pidana.

BAB V PENUTUPAN A. Simpulan Berdasarkan uraian-uraian diatas pada bab sebelumnya maka dapat diambil simpulan sebagai berikut: 1. Perlindungan Hukum Bagi Investor Atas Pailitnya Perusahaan Pialang Berjangka Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi Juncto Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Perlindungan hukum yang dapat diberikan diantaranya melalui Pasal 51 ayat (6) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi, Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Perdagangan Komoditi Berjangka, serta apabila perusahaan Pialang Berjangka tersebut telah pailit maka pelaksanaan perlindungan hukum bagi investornya melalui Pasal 516 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Atas Kewajiban Pembayaran Utang. 2. Penyelesaian Sengketa dalam Perjanjian Kerjasama Investasi Sehubungan dengan Pailitnya Perusahaan Pialang Berjangka Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi Juncto Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

129

130

Penyelesaian sengketanya dapat dilakukan diantaranya melalui, Pasal 61 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang

Perdagangan Berjangka Komoditi yaitu penyelesaian sengketa secara Perdata yang mencakup penyelesaian di internal perusahaan Pialang Berjangka atau penyelesaian melalui lembaga Bursa Berjangka dengan pemanfaatan dana kompensasi dan yang terakhir di Badan Pengawasan Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI) yang biasanya dilakukan dengan mediasi, serta menurut Pasal 71 ayat (1), (2), (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yaitu penyelesaian sengketa secara pidana yang biasanya dilakukan oleh penyidik pegawai negeri sipil yang ada di Badan Pengawasan Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI) atau melalui Lembaga Kepolisian dan Lembaga Peradilan Pidana.

B. Saran 1. Seharusnya perlindungan hukum yang diberikan sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (6) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi mengenai pemenuhan kewajiban Pialang Berjangka kepada pihak investor tentang asset perusahaan yang hanya dapat dijadikan sebagai jaminan utang oleh investor sebaiknya dapat dijadikan sebagai dana untuk pembayaran utang-utang perusahaan kepada pihak investor atas pailitnya perusahaan tersebut.

131

2. Penyelesaian sengketa sebaiknya dilakukan secara musyawarah untuk mufakat dan kedua belah pihak harus mempunyai itikad baik untuk mencari jalan penyelesaiannya karena apabila penyelesaian sengketa tersebut secara perdata atau pidana dapat merugikan kedua belah pihak, salah satunya yaitu tidak dapat memenuhi prestasi dan tuntutannya.

Anda mungkin juga menyukai