Anda di halaman 1dari 13

LEMBAR COVER TUGAS 2012

Nama NoMahasiswa No. Mahasiswa Nama Matakuliah Dosen Judul Tugas Kelompok 2 (terlampir) terlampir Masyarakat Ekonomi Pratikno, Amalinda Savirani, Erwin Endaryanta Bank Sampah Gemah Ripah Badegan Bantul :
SOCIAL-PRENEUR-VIRONMENT (SPV) BASED ECONOMIC ACTIVITIES

Jumlah Kata

3.028

CHECKLIST
Saya telah: Mengikuti gaya referensi tertentu secara konsisten ................................................................. Memberikan soft copy tugas ....................................................................................................

Deklarasi Pertama, saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa: Karya ini merupakan hasil karya saya pribadi. Karya ini sebagian besar mengekspresikan ide dan pemikiran saya yang disusun menggunakan kata dan gaya bahasa saya sendiri. Apabila terdapat karya atau pemikiran orang lain atau sekelompok orang, karya, ide dan pemikiran tersebut dikutip dengan benar, mencantumkan sumbernya serta disusun sesuai dengan kaidah yang berlaku. Tidak ada bagian dari tugas ini yang pernah dikirimkan untuk dinilai, dipublikasikan dan/atau digunakan untuk memenuhi tugas mata kuliah lain sebelumnya. Kedua, saya menyatakan bahwa apabila satu atau lebih ketentuan di atas tidak ditepati, saya sadar akan menerima sanksi minimal berupa kehilangan hak untuk menerima nilai untuk mata kuliah ini.

_____________________________
Tanda Tangan

Dede Destriyana A Satria Pratama Derinda Kusuma Astuti Dian Permana Surya Edwin Prianda Ismail Jiwo Atmoko

10 / 297156 / SP / 23938 10 / 304862 / SP / 24326 10 / 297091 / SP / 23924 10 / 299505 / SP / 24153 10 / 299377 / SP / 24115 10 / 304919 / SP / 24334

BANK SAMPAH GEMAH RIPAH BADEGAN : SOCIAL-PRENEUR-VIRONMENT (SPV) BASED ECONOMIC ACTIVITIES Oleh Kelompok 2 Mata Kuliah Masyarakat Ekonomi

Abstraksi Social-preneur-vironment (SPV) adalah temuan interseksional yang menjadi landasan konsepsional berjalannya aktivitas Bank Sampah. Social, adalah bagaimana Bank Sampah dijalankan dengan orientasi sosial yang mengedepankan semangat kultural-tradisional dan kegotong royongan warga. Preneur, yang merupakan potongan dari kata utuhnya, entrepreneur, adalah cara membaca bank sampah dari perspektif ekonomi praksis alias membaca bank sampah sebagai perusahaan. Sementara environmental adalah konsepsi dasar bank sampah yang berasal dari latar belakang mindset Bambang Suwerda, yang memang ahli lingkungan. Menarik untuk kemudian melihat interseksi ketiga konsep tersebut dalam satu implementasi organisasional bernama bank sampah. Kata kunci Sosial, entrepreneur, environment, bank sampah

Kondisi ekonomi, permasalahan sosial dan bank sampah Faktanya, data menunjukkan bahwa jumlah wirausahawan di Indonesia masih sangat rendah jika dibandingkan dengan jumlah wirausahawan di negara negara lain yang kondisi ekonominya cenderung baik dan stabil. Menurut sebuah sumber literal yang dijadikan referensi, Indonesia per hari ini baru memiliki 0,24 persen wirausaha saja dari jumlah penduduk utuhnya yang mencapai 231,83 juta jiwa. Bandingkan misalnya dengan beberapa negara seperti Amerika Serikat yang jumlah wirausahawannya mencapai 11 persen, China-Jepang 10 persen, dan Singapura 7 persen ( Kompas Online, Jumat 13 Februari 2010, jam 12:45 ). Data diatas menunjukkan bahwa ini merupakan masalah pelik dan penting untuk dicarikan solusinya. Terlebih mengingat banyak - tidaknya jumlah wirausahawan di Indonesia tentu saja akan berdampak banyak pada kestabilan makroekonomi dan mikroekonomi Indonesia. Jika jumlah wirausahawan Indonesia mengalami kenaikan, maka dampaknya akan menjadi demikian sistemik, yakni dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengurangi kemiskinan, dan mengurangi kriminalitas. Dari sudut pandang poltik pemerintahan, apabila kriminalitas menurun,

maka negara dianggap mampu menjalankan kontrol sosiopolitik dalam negeri dan oleh karenanya legitimasi kepada negara akan relatif stabil pada level yang tinggi. Disain paragraf pengantar seperti yang penulis sebutkan pada opening ini jelas menunjukkan bahwa solusi untuk mensejahterakan masyarakat itu tidak selalu menjadi domain pemerintah saja, melainkan juga idealnya menjadi domain masyarakat. Artinya, inisiasi untuk memunculkan solusi kemiskinan bukanlah harus selalu berasal dari pemerintah. Ini pun merupakan permasalahan masyarakat yang berarti menjadi permasalahan bersama. Sehingga mindset yang harus kemudian dibentuk adalah bahwa masyarakat hari ini bukan lagi hanya menjadi objek, melainkan juga subjek untuk mencapai kesejahteraan. Singkatnya, inisiasi munculnya sebuah kebijakan bisa saja dimulai secara bottom-up. Celah inilah yang kemudian dipahami dengan sangat baik oleh Bambang Suwerda, seorang dosen Politeknik Kesehatan (Poltekes) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia (RI) untuk berkotribusi secara riil : bersosial ekonomi. Bersama - sama dengan warga Badegan, Bantul, terhitung mulai 2008 beliau pribadi dan dibantu oleh banyak orang desa mendirikan Bank Sampah Gemah Ripah yang ideologi nya adalah social entrepreneur atau socialpreneur. Pembangunan bank sampah Gemah Ripah ini dimulai pada tahun 2008, mengingat dalam berita media tahun 2007 pembangunan bank sampah ini seiring dengan proses recovery pasca gempa di Bantul pada tahun 2006. Perihal bank sampah, akan ada banyak hal yang bisa penulis paparkan, termasuk bagaimana mekanisme bank modern yang mampu menjadi senjata ampuh menarik minat masyarakat pedesaan untuk mencari sampah lalu menabungkannya. Pemaparan ini akan didapat berdasarkan rumusan masalah bagaimana aktivitas ekonomi bank sampah Gemah Ripah Badegan Bantul dijelaskan melalui sudut pandang social-preneurvironment ?. Social-preneur dalam hal ini adalah aktivitas ekonomi yang dijalankan tidak pada orientasi untuk sepenuhnya mengambil untung nominal melainkan juga mengedepankan sisi-sisi sosial. Awalnya, ini nampak ironis. Kebanyakan pedagang, wirausahawan, atau profesi sejenis yang berlatar belakang niagawan selalu identik dengan orientasi keuntungan (profit). Sementara socialpreneur dikesankan tidak. Padahal tidak demikian, Sejatinya bank sampah Gemah Ripah juga merupakan unit usaha yang menjalankan aktivitas ekonomi yang berorientasi profit, hanya saja sisi sisi sosial juga dikedepankan.

Dibangun secara multidimensional : interseksi ekonomi, lingkungan dan sosial Dalam memposisikan diri sendiri sebagai seorang entrepreneur, dalam menjalankan usaha tidak mungkin terlepas dari pengaruh latar belakang siapa diri kita. Maksudnya, aspek apapun dalam berbisnis yang mencakup jenis bisnis, pengelolaan, dan target pemasaran, akan sedikit banyak dipengaruhi oleh background sang pengusaha. Bank sampah menjadi contoh riil yang membuktikan teori tersebut. Bank sampah yang menjadi salahsatu contoh konkret dari eksplanasi teoretik paragraf pengantar bagian kedua ini. Bambang Suwerda dapat disebut expert dalam ilmu lingkungan, ini dikarenakan latar belakangnya sebagai seorang pengajar di Poltekes Kemenkes RI yang paada kenyataannya juga memilih untuk tidak meninggalkan latar belakang ke-lingkungan-an dalam menjalankan perusahaannya. Jika di breakdown total, bank sampah sebenarnya bisa dibaca lebih dari sekedar perusahaan yang berdiri dan dominan fokus untuk pemberdayaan masyarakat dari aspek sosial, melainkan juga sebagai gerakan penyelamatan lingkungan melalui perpanjangan umur sampah. Pada bagian lain akan dijelaskan secara sistematis bagaimana mekanisme berjalannya bank sampah, namun dalam paragraf ini setidaknya penulis bisa mengawali satu intisari bahwa prinsip prinsip ekologis pada akhirnya juga tidak bisa dipisahkan sejak berdiri dan kemudian berjalannya bank sampah. Sebaliknya, bank sampah justru menjadikan lingkungan sebagai ideologi primer, yang kemudian diiriskan dengan orientasi ekonomi dan kepentingan sosial. Inilah mengapa praktek praktek pola pikir environmentalist , entrepreneural , dan social saling terinterseksi ke dalam ruh bank sampah. Berdasarkan wawancara tatap muka kelompok 2 pada Selasa, 8 Mei 2012 dengan Bambang Suwerda di ruang penimbangan sampah, bank sampah justru memunculkan pula aspek lain di luar aspek social, profit dan environment seperti yang sudah penulis dipaparkan di awal. Aspek lebih lanjut itu adalah aspek pendidikan yang secara khusus maksudnya adalah pendidikan bagi anak melalui mekanisme menabung. Lebih lanjut, Bambang Suwerda menjelaskan bahwa menabung sebenarnya merupakan cara anak untuk belajar mempersiapkan masa depan. Hal ini harus dilihat sebagai sesuatu yang penting, menabung adalah bentuk yang sangat baik untuk digunakan sebagai teaching method bagi anak. Ketika orang tuanya menabung sampah, maka harapannya sang anak kemudian mempunyai mindset bahwa menabung itu sesuatu yang baik karena dilakukan oleh orang tuanya. Apalagi jika yang ditabung adalah sampah.

Walaupun begitu, menurut penulis aspek pendidikan ini lebih match untuk terkategori sebagai dampak positif berjalannya bank sampah daripada unit analisis. Argumentasinya adalah bahwa memang bukan pendidikan yang menjadi primary goal Bambang, selain profit itu sendiri juga lingkungan dan sosial. Kalaupun ada kebaikan kebaikan yang muncul untuk aspek pendidikan, menurut penulis itu tetap menjadi domain dampak daripada soul. Hal ini lah yang kemudian membuat penulis tidak menempatkan keberadaan pendidikan secara elaboratif sebagai sebuah latar belakang substansi berdiri dan berjalannya bank sampah. Sehingga jelas, bank sampah tidaklah secara sederhana dan tunggal dilihat hanya dari nilai nilai ekonomisnya semata, melainkan juga dibangun di atas pondasi aspek aspek multidimensional. Bank sampah adalah contoh bagaimana sebuah entitas ekonomi menunjukkan geliat kreativitas mencari profitnya melalui miksasi aspek aspek lain yang jika dirasakan tidak bisa selalu ada hubungannya dengan ekonomi. Skala usaha, dimensi dimensi penyokong, peran stakeholders Bank Sampah bukan satu satunya entitas bisnis yang dibangun, melainkan sekaligus dengan tempat penyokong eksistensinya, yaitu rumah produksi dan gerai penjualan atau biasa disebut distro. Dalam posisi yang seperti ini, bank dilihat sebagai tempat masuknya calon uang berupa sampah, sampah itu nanti akan kembali pada penabung melalui mekanisme yang tidak sederhana dengan mengedepankan sirkulasi kesampahan yang jelas. Sedangkan substansi dari keberadaan bank sampah, sebenarnya dimulai dari ide ide environmentalist dan juga sosial : memperpanjang umur sampah dan mengkonversi sampah menjadi uang, lalu meningkatkan pendapatan masyarakat melalui kepedulian ekologis. Dari perspektif nasabah, ada mekanisme menabung yang terangkai dalam beberapa alur. Alurnya, seorang nasabah datang dengan membawa sampah yang sebaiknya sudah dipilah menjadi sampah kering, lalu dibawa ke bank untuk dicek potensi harga nya, ditimbang dan kemudian disimpankan (ditabung). Tabungan sampah tersebut kemudian akan dicatatkan oleh teller di dalam buku saku tabungan yang sudah dimiliki nasabah, lalu setelah tiga bulan akan ada uang panen dan nasabah bisa menukarkan pencapaian catatan kesampahannya pada teller untuk nantinya ditukarkan dengan uang. Demikian seterusnya hingga sirkulasi sampah yang sederhana ini secara faktual mampu memberikan penghasilan tambahan kepada nasabah.

Sementara dari sisi officer, setelah sampah terkumpul, maka kumpulan sampah tersebut akan dijual kepada pengepul dengan mempertimbangkan fluktuasi harga sampah yang tercatat secara dinamis melalui kurs pengepul. Selain dijual ke pengepul, beberapa barang ada juga yang disisihkan untuk dibuat kerajinan oleh pekerja produksi, lalu dipasarkan. Pemasaran, menurut hasil wawancara dilakukan di showroom (distro yang khusus menjual produk bank sampah) untuk dijual secara tetap, dan ada juga yang dibawa ke beberapa penyelenggaraan pameran. Sehingga jelas, sampah itu diputar sedemikian baik untuk nantinya diubah menjadi uang dan hal inilah yang menarik orang untuk kemudian bergabung menjadi nasabah bank sampah. Sekedar informasi, sejauh sampai penelitian ini dilakukan jumlah member individual bank sampah sudah lebih dari 320an orang, dan jumlah nasabah asosiasi mencapai 16 kelompok.

Skala Usaha : Menengah Ketika bank sampah sedang dibaca sebagai sebuah entitas bisnis, maka secara otomatis kita akan juga secara riil membacanya sebagai sebuah perusahaan manufaktur. sendiri Ini mengingat manufaktur industri

dipersepsikan

sebagai

pengolahan barang baku untuk akhirnya menjadi produk tertentu. Secara spesifik, perusahaan ini adalah perusahaan yang meng-handle proses produksi hingga pemasaran daur ulang sampah. Dalam cara membaca yang lebih integratif seperti ini, bank sampah otomatis tidak bisa dilihat seorang diri, melainkan ia merupakan pintu masuk bahan bakar pengolahan, yaitu sampah, yang nantinya akan didaur ulang. Jika industri dilihat dalam perspektif yang utuh, tentu saja seharusnya ia dibicarakan pada level yang sangat makro. Tidak terkecuali dengan industri ini, pengelolaan sampah, yang dalam hal ini ia juga harus dilihat sebagai industri yang potensial dijalankan pada skala besar. Namun begitu secara kontekstual, bank sampah pada kenyataannya belumlah sampai pada level ideal itu, melainkan memang masih pada taraf menengah. Melalui respon atas beberapa pertanyaan yang penulis ajukan, Bambang Suwerda menjelaskan bahwa bank sampah berikut entitas penyokong nya seperti pekerja produksi dan distro pemasaran, sesungguhnya belum sempurna betul. Semua unit tersebut

bisa dikatakan masih dalam proses menuju perkembangan yang lebih baik lagi dari apa yang sudah dicapai sekarang. Oleh karenanya menilai bank sampah sebagai perusahaan yang bergerak di skala menengah menurut penulis sangatlah tepat dan beralasan. Peran entitas penyokong : peran teknologi, peran modal dan peran kultural Peran Teknologi Seperti yang penulis sudah coba jelaskan pada bagian awal paper ini, sesungguhnya, baik bank sampah seorang diri atau ketika ia dibicarakan berbarengan dengan entitas lainnya di dalam industri pengolahan sampah gemah ripah, merupakan realisasi sangat sederhana dari ide yang sangat sederhana pula. Bank sampah menjalankan aktivitas kesehariannya memang secara modern, tetapi modernisasi itu sebenarnya hanya khusus terdapat pada model pelayanan dan tampilan luar kinerja bank sampah saja, tidak dengan teknologi pendukungnya. Untuk memperkuat argumentasi, penulis yang juga berkesempatan untuk bisa berkunjung ke kantor bank sampah, secara riil memang melihat minimnya peran teknologi dalam pengelolaan bank sampah, dimulai dari rendahnya aspek yang membutuhkan sentuhan kemajuan teknologi di dalamnya. Dipertegas bahwa ini terjadi karena secara konkret bank sampah dikelola secara sederhana dan relatif tidak membutuhkan sentuhan update teknologi, sehingga kebutuhan akan tumbuh

berkembangnya penerapan internal tidak nasabah masih warga target akan dikejar kesadaran sampah saja. ada. teknologi menjadi Lagipula, secara hampir target

sampai sejauh ini dominan pedesaan substansi adalah pada dan yang pada membuang Sehingga sangat

masuk akal apabila Bambang dan kawan kawan kemudian tidak terlalu memberikan fokusnya pada sentuhan kemajuan teknologi dalam membangun bank sampah, setidaknya sampai sejauh ini.

Peran modal dan kultural Modal tentu saja punya meaning yang sangat luas, yang tidak terbatas pada pengertian modal sebagai keberadaan uang saja, seperti selama ini mayoritas masyarakat mempeyorasikan. Hanya saja, dari yang luas itu mungkin tetap akan penulis batasi sehingga cukup dibicarakan dalam konteks modal nominal dan modal sosial saja. Secara nominal, secara common sense saja, setiap perusahaan tentu membutuhkan modal nominal, paling tidak untuk proses pendirian usaha, pembangunan usaha hingga operasionalisasi. Hanya saja ketika ditanya dari mana sumbernya lalu seberapa jauh perannya, menurut penulis bab inilah yang sebenarnya dicari sebagai substansi pada paragraf ini. Modal nominal dalam proses pembangunan dan operasionalisasi bank sampah tentu saja dibutuhkan. Sumbernya berasal dari kas desa Badegan, sebagai bukti dari mulai diterimanya bank sampah sebagai bagian dari prestasi desa Badegan dalam pengelolaan sampah. Berkaitan dengan peran modal nominal untuk bank sampah itu sendiri, sesungguhnya tidak lebih dari aktivitas aktivitas minimal perusahaan yang membutuhkan support keuangan. Ini secara argumentatif bisa dijelaskan karena operasionalisasi bank sampah aktual masih bergerak pada tataran menuju pembentukan industri pengelolaan sampah, dan fokus kajian hari ini masih berada di level menyadarkan sebanyak banyaknya masyarakat akan pentingnya menabung sampah. Berbeda halnya suatu saat nanti mungkin, ketika industri pengelolaan sampah gemah ripah sudah benar benar sampai pada level implementasi, bukan tidak mungkin secara ekonomis uang akan bisa sangat sering diwacanakan, boleh jadi karena mulai bisa dibicarakannya keberadaan donor dan investor untuk kepentingan social-preneur-vironment. Selanjutnya adalah peran kultural, di mana modal dalam bentuk seperti ini sebenarnya adalah bagian spesifik dari modal sosial. Modal sosial, menurut Fukuyama, adalah bisa munculnya sebuah kemampuan kolektif yang timbul dari adanya kepercayaan yang ada di dalam sebuah komunitas. Senada dengan yang Fukuyama teorisasikan, Putnam berpendapat tidak jauh berbeda, yaitu bahwa modal sosial bisa juga dimaknai sebagai kepercayaan yang memfasilitasi adanya koordinasi dan kerjasama bagi keuntungan bersama (Soeharto 2008, h. 97). Modal sosial pula yang kemudian menjelaskan betapa massifnya peran kultural warga dalam proses pembangunan dan bahkan operasionalisasi bank sampah. Semangat gotong royong yang diinisiasi oleh Bambang, akhirnya memang diasumsikan cukup berhasil menjalankan perusahaan pengelolaan sampah itu. Kultural kemudian

diasumsikan sebagai karakter masyarakat pedesaan yang non-individualis, yang menjadi primary catalist berkembangnya bank sampah hingga begitu populer seperti saat ini. Baru ketika bank sampah mulai go national karena prestasinya, pemerintah mulai turun tangan menawarkan bank sampah untuk menapaki peran yang lebih strategis. Menurut Bambang, bank sampah hari ini bahkan sudah dijadikan percontohan oleh kementerian Lingkungan Hidup RI untuk menjadi prototype pembangunan industri pengelolaan sampah di Indonesia. Peran peran strategis itu, dan termasuk juga kucuran nominal, pada level ini bisa dikatakan lebih banyak kuantitasnya. Kesimpulan: Mata rantai socialentrepreneurenvironment : sociopreneurvironment Rumusan masalah dari penelitian ini adalah pada pendalaman pencarian interseksi antara tiga aspek yang dominan menjelaskan siapa dan apa bank sampah gemah ripah itu. Sementara dari sekian banyak data yang penulis peroleh di lapangan lalu penulis lanjutkan dengan analisis dan pengolahan data, kenyataannya memang ketiganya menjadi aspek yang punya relevansi sangat kuat. Penulis menjelaskannya sebagai mata rantai, di mana ketiganya memang mesti dijelaskan dari pemaknaannya masing masing terlebih dahulu, baru kemudian secara integratif dimaknai hubungannya. Aspek sosial yang penulis maksud dalam konteks ini adalah ketika pada kenyataannya, bank sampah memang didirikan di atas spirit kolektivitas kultural masyarakat. Bank sampah didirikan oleh Bambang sebagai inisiator, tetapi proses pengembangannya kemudian tidak lepas dari gotong royong sebagai dampak dari ada dan munculnya kesadaran masyarakat sekitar. Atas apa kesadaran itu muncul, tentu saja penekanannya ada pada aspek yang ekologis, karena di situ intinya, tetapi itu akan penulis jelaskan pada bagiannya sendiri selanjutnya. Sehingga secara sosial, membaca bank sampah adalah sama saja dengan membaca satu entitas perekat sosial-kultural masyarakat Badegan, yang terikat karena sebuah isu, dalam hal ini adalah solusi permasalahan ekologis-tradisional, yaitu menabung sampah. Aspek kedua, adalah aspek yang menjadi inti dari proses perekatan sosial seperti yang penulis telah sebutkan pada paragraf sebelumnya. Aspek ini adalah aspek ekologis, yang mengambil fokus kajian pada pemanfaatan sampah yang diperpanjang umurnya. Menurut penulis, peran yang sangat dominan dalam penekanan substansi

environmentalist sebagai ruh bank sampah, telah dengan sangat baik dilakukan oleh Bambang mengingat latar belakang nya yang mendapatkan pendidikan lingkungan

secara teoretik. Aspek ekologis menjadi aspek yang sangat penting, karena pada aspek inilah inti perusahaan itu bisa dibicarakan. Sementara dari perspektif ekonomi sebagai aspek komplementer lainnya, berarti menjelaskan nilai jual sampah setelah ada usaha untuk memperpanjang umurnya. Sederhananya, seperti yang sudah penulis jelaskan pada bagian sebelumnya, inisiasi didirikannya bank sampah salahsatunya bermula dari keresahan Bambang karena masih minimnya pengetahuan warga Badegan akan tidak baiknya memusnahkan sampah dengan membakarnya. Sebagai solusi, kemudian muncul yang disebut umur dengan sampah, usaha berikut

memperpanjang

pengelolaannya secara komersil hingga sampai pada rumah produksi dan gerai distro daur ulang. Ini jelas mengindikasikan kemunculan cost dan price secara berbarengan, yang diikuti dengan kemunculan profit di tengahnya. Akhirnya,

pengelolaan sampah secara organisasional ini pada kenyataannya juga bisa dibaca sebagai nilai ekonomis. Sebagai penutup, mengaitkan

ketiganya adalah usaha yang sebenarnya harus dilakukan mengingat relevansi ini juga menjadi jawaban atas rumusan masalah yang penulis ajukan. Menjawab rumusan masalah melalui serangkaian pembuktian kasuistis yang runtut, berarti memberikan produk akademik. Berikut adalah kesimpulannya, penutupnya, yang sekaligus menjelaskan mata rantainya. Terminologi social-preneur-vironment sesungguhnya merupakan perpaduan dari tiga aspek yang sangat banyak penulis bicarakan pada bagian awal. Perpaduan ini adalah sebuah kenyataan, di mana bank sampah secara riil memang menjalankan operasionalisasi nya di atas interseksi tiga aspek ini. Tujuan keberadaan bank sampah sesungguhnya sangat ekologis, karena di dalamnya dijelaskan secara aksiologis bagaimana sampah itu bisa diperpanjang umurnya. Hal yang dilakukan sebenarnya sangatlah sederhana, yaitu bagaimana kebiasaan membakar sampah itu diubah menjadi menabung sampah. Secara ekologis, ini sangatlah bernilai karena tentu saja berdampak baik pada lingkungan. Lalu tidak lepas dari substansi environmentalist , berbarengan dengan itu ada pula sosial, karena di dalamnya

dapat kita temukan social values semacam gotong royong dan workship, yang secara teoretik penulis turunkan dari interpretasi terhadap modal sosial. Ini menjadi aspek yang tidak mungkin terpisahkan, karena penulis berangkat dari kondisi riil di lapangan yang memang menunjukkan hal tersebut. Sementara aspek ekonomi ( entrepreneural ) adalah aspek yang melengkapi kedua interseksi sebelumnya. Aspek ini sekaligus memberikan interpretasi alternatif tentang cara menjalankan sebuah bisnis, yang bahkan sudah menuju pada integrasi industrial. Setidaknya, Bambang memberikan pelajaran kepada khalayak bahwa menjadi seorang entreprenur sesungguhnya tidak harus melulu berorientasi pada profit semata, melainkan juga mengkompilasi perspektif lain seperti halnya sosial dan ekologis.

Daftar Pustaka Akbar, A 2010, Jumlah Pengusaha Indonesia Masih Rendah, Kompas Online, Jumat 13 Februari 2010 12:45, dilihat 13 Juni 2012,

<http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/02/13/12450552/Jumlah.Pengusaha.Indo nesia.Masih.Rendah> Soeharto, Edi 2008, Kebijakan Sosial sebagai Kebijakan Publik, Alfabeta, Bandung Komunikasi personal, 2012, Bambang Suwerda, 08 Mei 2012, Bantul- Yogyakarta

Lembar kontribusi Dede Destriyana Ikut semua wawancara dan visitasi ke Bank Sampah, membuat narasi laporan, mencari teori Dian Permana Surya Mencari artikel referensi untuk proposal awal, Ikut semua wawancara dan visitasi ke Bank Sampah, Presentasi di kelas

Edwin Prianda

Mencari atikel referensi untuk proposal awal, Ikut semua wawancara dan visitasi ke bank sampah, Presentasi di kelas

Derinda Kusuma Astuti Ikut semua wawancara, ikut presentasi Ismail Jiwo Atmoko Ikut semua wawancara dan visitasi ke bank sampah, ikut presentasi A Satria Pratama Ikut semua wawancara dan visitasi ke bank sampah, membuat narasi laporan akhir, presentasi di kelas

Anda mungkin juga menyukai