Anda di halaman 1dari 7

DERRIDA DAN DEKONSTRUKSI

Filosofi merupakan (studi) kepercayaan atau kumpulannya yang mencoba


menjelaskan arti dari kehidupan dan atau yang mengarahkan kelakuan manusia.
Maksud Heidegger (salah satu filosofer pandobrak) dengan (buku) “akhir dari
filosofi” akhir dari filosofi berawal dari berbagai metafisika (cabang filosofi yang
berhubungan dengan permulaan). Dia menekankan bahwa hanya pertanyaan filosofi
yang benar-benar berhubungan dengan me-“jadi” (ke-”ada”-an) dan bahwa
pertanyaan transenden (ketuhanan, jauh dalam jangkauan manusia) tidak ada
gunanya. Pada tahun 60-an kepercayaan akan “akhir dari filosofi” telah berkembang
menjadi kepercayaan bahwa filosofi tidak lain merupakan ideologi dari etos
(kelakuan) barat. Tradisi kemasyarakatan liberal mempersembahkan situasi de facto
(fakta) seperti situasi de jure (benar). Dalam kata lain, hal tersebut
mempersembahkan keistimewaan-tradisional sebagai superioritas alami. Posisi
seperti itu merupakan ke-ideologi-an (pikiran, kelakuan).
Derrida berpendapat bahwa Heidegger tidak keluar dari ke-transeden-talisme, bahwa
ke-“ada”-an/ ke-“jadi”-an itu sendiri merupakan keadaan transenden (jauh dari
jangkauan) sama seperti “tanda transenden” lain. Dia juga berpendapat bahwa
tuntutan melawan filosofi sebagai ideologi itu benar, tuntutan itu disejajarkan sebagai
bahasa filosofi, yang tidak bisa dihindari. Diatas semua itu, yang benar-benar
dipertanyakan adalah ideologi yang menguasai (filosofi=ideologi etos barat)
digantikan dengan ideologi yang lebih luas atau setidaknya ideologi yang berbeda
seperti Marxisme (filosofi=perkataan dari kelas berkuasa), Freudianisme
(filosofi=tanda-tanda seksual), Anti Freudianisme (filosofi=ideologi phallocratic).
Pada akhirnya, dia berpendapat, adanya alasan merupakan hal absolut (tidak dapat
dihindari), “sejak hanya dari hal itu sendiri bahwa sebuah pernyataan melawannya
bisa di ajukan, hanya di dalam itu sendiri sebuah tindakan melawannya bisa
diciptakan; dalam wilayahnya sendiri, menyebabkan kita tidak mempunyai sumber
daya lain kecuali untuk berencana/ berstrategi”.
Derrida tidak mempertanyakan Hiedegger bahwa kesejarahan, seperti di perlihatkan
dalam tradisi filosofi telah berakhir; hanya saja Hiedegger tidak dapat
menghindarinya. Derida menonjolkan pertanyaan apa yang harus dikatakan setelah
filosofi berakhir (tetapi ironisnya masih ada di tempat, karena alasan merupakan hal
yang absolut dan hanya bisa dipertanyakan dalam kompleks itu sendiri). Strategi yang
dia pilih adalah pen-dobel-an, permainan “dua”. Dia akan beroperasi di bahasa
alasan, sejak tidak ada lagi yang lain, tetapi mencoba untuk meletakkan perangkap
dengan mengajukan permasalahannya yang tidak dapat di jawab, mengekspose
sesuatu kontradiksi/ kekurangan yang tidak bisa diubah di dalam posisi yang
sepertinya cocok dan beralasan. Dia menyebut strategi ini deconstruction, dari kata
destruction-nya Heidegger.
Bagi Heidegger, destruksi sangatlah penting. Sejarah akan perkiraan sejarah. Dasein,
makhluk individual di dunia, sering terperangkap pada keterbiasaan sehari-hari
kehidupan ke dalam kepengartian hal tersebut dengan sebutan yang diketahui dunia
dan tradisi yang dia turunkan. Kondisi ini menurut Hiedegger adalah fallennes
(keterjatuhan), dan perorangan-perorangan yang telah jatuh dalam das man ( si
‘mereka’). Setiap orang yang ingin hidup dengan kepastian/ keaslian harus keluar dari
keterbiasaan hidup sehari-hari dan membayangkan kematian mereka sendiri (tidak-
me-“jadi”, atau ketertiadaan). Hal ini dilakukan melalui tugas dari angst, sebuah
kasengsaraan umum yang disebabkan karena ketakutan akan mati, dan pelatihan
intelektual akan destruction. Destruction, kemudian merupakan kombinasi dari
analisis negatif dari “hari ini”, dunia biasa sehari-hari dan analisis positif akan sejarah
yang terus mencoba untuk meraih kebenaran/ autentik melalui pertanyaan secara hati-
hati untuk menerima kekuasaan. Seringkali ini berarti memecahkan sebuah kata
sampai menjadi komponen-komponen untuk melacak sejarahnya.
Dekonstruksi Derrida lebih terbatasi tetapi bahkan bentuk pertanyaan/ interogasi yang
lebih detail dan hati-hati. Sejak “subjek pembicaraan”, ketika seseorang berbicara,
harus berbicara bahasa alasan, kemudian akan terbentuk wilayah diam dimana agen
“dobel” (“2”) dekonstruksi bisa melaksanakan strateginya melawan Logos,
peraturan akan alasan. Untuk hal tersebut bisa dilaksanakan, 2 kondisi harus dijaga:
1. supaya permainan akan “2”, keduplikasian ini bisa dilaksanakan, bahasa
filosofi harus sudah penuh akan duplikasi/ dua (keduanya dalam perasaan
ketersatuan dan perasaan akan kemunafikan atau bohong)
2. pelaksana strategi (subjek bicara, dekonstruktor) harus menolak kekuatan
akan Logos (alasan) dengan menjaga posisi tidak-bisa-melawan atas
keempirisan/ kenyataan, menghapus ke-hampir-sama-an akan kebenaran akan
fakta dan kebenaran akan alasan. Hal ini akan dilaksanakan melalui différance
(perbedaan)
bagi Heidegger, perbedaan adalah hasil dari kesementaraan. Sejak sejarah dan bahasa
melanjutkan diri-nya dan membantu membangun diri-nya, ke-diri-annya tidak akan
bisa keluar dari dirinya dan tidak bisa melihat dirinya keluar dari sejarah dan bahasa.
Ke-diri-an (dalam bahasa Hiedegger, dasein) hanya bisa mengangan-angankan masa
lalu sejarah diri, beda dari pengalaman penting sendiri di dunia masa kini. Dalam rasa
itu, ke-diri-an (sebagai subjek) selalu berbeda dengan ke-diri-an (sebagai objek).
Konsep derrida, la differance mencangkup 2 cangkupan: différance dan difference,
pemisahan dari identitas dan pemisahan dari waktu. Derrida datang ke negaranya
melalui usaha untuk memperlihatkan ketidak-mungkinan dari janji Husser atas
“phenomenology (aliran kefenomenaan) akan sejarah” dengan mendekonstruksikan
negara itu. Dia memperlihatkan bahwa phenomenology (fenomenanya) akan sejarah
harus bisa menjawab pertanyaan “bagaimanakah kebenaran itu bisa untuk kita?”
tetapi jika kebenaran itu menjadi kebenaran, itu harus absolut/ pasti, berdiri sendiri di
semua arah pandang (kecuali, tentu jika kita adalah tuhan, yang dalam kasus ini,
pertanyaan itu tidak ada gunanya). Phenomenology mencari asal mula kebenaran, dan
meletakkan asal mula ini dalam fakta permulaan yang dalam definisi hanya bisa ada
satu kali.
Penganut aliran phenomenology berpendapat bahwa yang saat inilah yang ada. Masa
lalu dikeluarkan lagi melalui peninggalan masa lalu akan kebudayaan yang tidak ada.
Masa depan di perkirakan, tetapi hanya di masa sekarang. Tetapi agar masa lalu dapat
di keluarkan lagi di masa sekarang dan masa depan untuk bisa dipengumumkan pada
masa sekarang, masa sekarang harus tidak hanya menjadi masa kini. Hal itu juga
harus juga manjadi masa sekarang yang “menunggu” (masa depan) dan “tertunggu”
(masa lalu). Pada saat ini difference muncul. Masa sekarang tidak sama dengan
dirinya.
Difference ini menonjolkan kembali masalah akan fakta kepermulaan (inaugural
fact). Misal jika kita punya jejak akan kejadian sebagai permulaan, seperti pondasi
batu di L’Anse aux Meadows. Diluar masa sekarang kita meyakinkan diri kita untuk
memperkirakan hal itu adalah peninggalan Viking, meski kita tidak bisa pasti tahu
artinya apa bagi mereka si pembuatnya. Kita tidak bisa mempertemukan arti mereka
dengan arti kita, meski kita tahu pada saat masa lalu adalah masa sekarang, masa itu
punya semua syarat akan masa sekarang. Bahwa yang lain pasti juga sama. Lagi-lagi
kegagalan akan masa lalu ini bertemu dengan dirinya adalah sumber dari différance.
Jika kita akan mengembangkan phenomenology akan sejarah kita harus meletakkan
apa yang Husser katakan “ keprinsipan akan perinsip-perinsip” (principle of
principles) dasar ini menujukkan bahwa sejarah ini masuk akal, dan bagaimanapun
bingung atau diperlui akan pemikiran, hal ini bisa di turunkan dari generasi ke
generasi. Hal itu kesatu-suaraan, meskipun tidak bisa diartikan setiap saat. Me-jadi
dan berarti tidak akan bisa bertemu kecuali pada infinitas/ ketidak-terbatasan, jadi arti
selalu dibedakan. Situasi de jure (apa yang benar) dan de facto (fakta) juga tidak
dapat bertemu. Alasannya adalah bahwa ada perbedaan yang mendasar (difference)
antara yang benar dan yang fakta, me-jadi dan arti. Konsep lain yang penting tetapi
paradoks adalah adanya penundaan dasar. Derrida berpendapat bahwa pertama kali
hanya pertama karena terkena dampak setelah itu ada yang ke dua yang mengikuti.
Yang pertama hanya dapat dikenal sebagai pertama dan tidak merupakan satu dengan
datangnya yang ke dua. Yang ke dua merupakan pendampakan dari yang pertama.
Dia mempersilahkan yang pertama menjadi yang pertama dengan kedatangannya
yang tertunda. Yang pertama, hanya dapat dikenali setelah ada ke dua, kemudian
melaju ke yang ke tiga. Asal mula (origin), kemudian ada yang seperti pelatihan
pakaian/ kostum, Derrida menyebutnya la répétition d’une premiére, dalam
keteateran, pertunjukan publik yang pertama yang masih belum dilaksanakan.
Asalnya, seperti itu, adalah merupakan copy-an. Dalam jalan ini, Derrida men-
dekons-kan “principle of principle” Husserl yang selalu tergantung pada keutamaan
dari yang pertama yang kemudian bisa di contoh/ copy.
Jika kita tekankan analisis yang sama pada tanda-tanda dan benda yang “nyata” di
dunia kita ketemu pada situasi yang paradoks, bahwa tanda-tanda meneruskan yang
lebih baik/ terpilih. Tanda “anjing” meneruskan makhluk berkaki empat yang
menggonggong karena makhluk yang bisa dikenali sebagai itu setelah tanda “anjing”
diletakkan padanya. Derrida menunjukkan perlawanan akan pikiran Husserl akan ke-
asal-mula-an, ketersadaran tidak akan pernah mendahului bahasa, dan kita tidak bisa
melihat bahasa sebagai cerminan akan pengalaman yang secara diam-diam
dihidupkan.
Inilah tiang penyangga akan pikiran dekonstruksi. Kita hanya bisa mengerti akan
pentingnya tanda dengan diperkirakan ke tulisan. Seperti di atas, kita melihat
graphemes (unit-unit tulisan) sebagai urutan kedua sistem tanda. Derrida melihat
hubungan antara tanda-tanda ini sebagai semiological (setengah tepat). Tanda-tanda
grafik menjelaskan tanda-tanda yang diucapkan. Dapat sebagai “tanda akan tanda”,
saat tanda dengan pengucapan merupakan “tanda akan benda”. Penulisan adalah yang
penambahannya/ supplementary. (bahkan jika tanda yang diucapkan merupakan
suplemen, sejak hal tersebut ada sebagai penambahan ke “dunia nyata”. Tanda-tanda
grafik dari tulisan merupakan penambahan sejak hal itu merupakan penambahan ke
penambah, tanda dari tanda). Di (buku) “off gramatologi”, Derrida berpendapat
penulisan tidak boleh diteruskan ke pembicaraan, dan penerusan ini tidak lain hanya
merupakan kemunafikan sejarah. Dia berpendapat lebih jauh bahwa untuk
mendefinisikan tanda grafik adalah untuk mendefinisikan semua tanda. Setiap tanda
adalah pengindikasian dan yang mengindikasikan adalah pengindikasian yang lain.
Ide dari penambahan itu menonjolkan berbagai pertanyaan menarik. Kita bisa
berpikir bahwa asal mula sebagai tempat dimana tidak ada ke-asal-mula-an, hanya
penambahan berada di tempat dimana ke-asal-mulaan yang kurang/ tidak cocok. Hal
ini tidak cocok untuk alasan ini. Kita bisa berpikir suplemen/penambahan itu sebagai
sumber pendapatan, sesuatu yang ditambahkan kepada keseluruhan dan diluar
konteks. Tetapi jika keseluruhan merupakan keseutuhan, maka tidak ada yang bisa
ditambahkan kepadanya. Jika penambah itu adalah sesuatu dan bukan “apa”,
kemudian dia akan mengekspose penonjolan dari keseluruhan, sejak sesuatu yang
mengisi penambahan dari suplemen harus kekurangan sesuatu di dalam dirinya.
Derrida menamai hal ini “the logic of supplement”. Dalam cara yang sama, masa
sekarang adalah masa sekarang dalam kondisi bahwa hal itu disebut pada ketiadaan
yang mana hal itu mengidentifikasikan dirinya. Derrida berpendapat, metafisik adalah
dampak/ tindakan untuk menghapus jejak pengidentifikasian itu, jejak dari yang
tiada. Kita sekarang mengartikan jejak sebagai tanda yang ditinggalkan oleh sesuatu
yang tidak datang/ada di tempat, setelah hal tersebut melewati jalan yang telah dia
lalui sebelumnya. Setiap masa sekarang, untuk mengenal dirinya sebagai masa
sekarang, menyebarkan jejak dari ketiadaan yang mengartikannya. Yang kemudian
mengikuti adalah masa sekarang yang asli harus mendapati jejak yang asli pula, jejak
masa sekarang dari masa lalu yang tidak pernah ambil bagian, adalah masa lalu.
Dengan cara ini, Derrida percaya, dia mendapat possisi diatas ilmu pasti.
Pengartian Derrida antara memikirkan pada kedatangan, yang dia artikan sebagai
filosofi, dan kemungkinan memikirkan akan ketidak-datangan. Bagaimana kedua hal
berpikir ini, yang satu mengambil tema yang lain dapat terjadi? Derrida berpendapat
bahwa filosofi selalu sudah ada di sana (tetapi tidak selalu ada di sana). Filosofi bisa
menjadi pikiran akan kedatangan/ ke-ada-an, sejak pengalaman hidup di coba pada
saat masa sekarang. Jenis pikiran yang lain yang tidak filosofikal tidak selalu terdapat
pada pengalaman individu. Malahan hal itu muncul pada pangalaman umum/ general.
Dalam tingkatan tulisan, kemenarikannya adalah untuk menulis secara umum. Setiap
teks adalah double teks. Hal itu filosofis dan dimengerti doleh pengartian klasik pada
satu tingkatan akan bacaannya. Tetapi itu juga mempunyai jejak dan kontradiksi,
indikasi akan teks kedua dengan bacaan secara biasa tidak akan dapat dibuka/
diketahui. Teks yang ke dua ini bukanlah lawan yang bisa di putar balikkan. Ini yang
derrida sebut “counterpart”(dampingan). Hal ini diperlukan pembacaan dekonstruksi
akan perbedaan (difference) yang Derrida sebut ilmu “double”/ double séance.
Pemikiran akan ketiadak-hadiran adalah pemikiran akan dirinya sebagai yang lain.
Setiap tulisan metafisik dipisahkan dari dirinya dengan apa yang Derrida sebut
“scarcely perceptible viel”. Sedikit pengalihan dalam pembacaan tulisan cukup untuk
saling menjatuhkan satu sama lain, untuk membuat kebijaksanaan menjadi komedi,
atau sebaliknya. “Permainan dobel” Derrida memisahkan teks metafisikal menjadi
dua, menunjukkan kontradiksi pastinya. Analisis Derrida memaksa kepada ketidak
mampuan kata-katanya, kontradiksi yang tidak dapat terpecahkan.
Salah satu konsep pada analisis Derrida adalah “sous rature” (dibawah kehapusan).
Heidegger sering menyilangkan kata me-jadi (dan menjadi) dan membiarkan kedua
kata pada tempat “penghapusannya”. Dia merasa bahwa me-jadi adalah utama pada
dan jauh diluar pengartian, menyebabkan pengartian itu belum mencukupi, meski
tidak ada alternatif lain lagi. Derrida mengembangkan latihan ini pada semua tanda.
Sejak semua pengartian mempunyai seperti mengartikan arti lain, itu selalu
mempunyai arti yang berbeda dan selalu membawa jejak akan arti lain. Oleh karena
itu harus dipelajari sebagai sesuatu yang cacat, tidak sempurna, dan dibawah
kehapusan.

Anda mungkin juga menyukai