Anda di halaman 1dari 164

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NO.

1 TAHUN 2008 TENTANG PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG KAWASAN BANDUNG UTARA

SKRIPSI
Diajukan untuk menempuh Ujian Sarjana pada Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Komputer Indonesia

Oleh, REGINA VIOLETA NIM. 41708022

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA BANDUNG 2013

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat ALLAH SWT atas limpahan nikmat dan karunia-Nya peneliti dapat menyusun skripsi ini dengan lancar dan tepat waktu dengan judul Implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara. Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar sarjana di Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Komputer Indonesia. Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran sangat peneliti harapkan dari berbagai pihak untuk memperoleh kesempurnaan dalam penyusunan skripsi ini. Proses penyusunan skripsi ini, peneliti banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak mulai dari mendapatkan bimbingan, dorongan dan segala fasilitas yang bermanfaat baik secara moriil maupun materiil. Oleh karena itu dalam kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati peneliti ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu peneliti dalam menyusun skripsi baik itu berasal dari lingkungan akademisi maupun lingkungan keluarga. Pada lingkungan akademisi, peneliti mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Samugyo Ibnu Redjo, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Komputer Indonesia dan Ibu Dr. Dewi Kurniasih. S.IP., M.Si selaku Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Komputer Indonesia karena telah membantu dalam memperlancar proses penyusunan skripsi ini. Ibu Nia Karniawati, S.IP., M.Si. selaku pembimbing peneliti yang selalu memberikan saran dan masukan yang bermanfaat dalam penyusunan skripsi ini serta kesabaran dalam membimbing peneliti, kemudian Dosen-dosen, staff pengajar beserta sekretaris Program Studi

vii

Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Komputer Indonesia yang selalu membatu peneliti baik secara teknis maupun administrasi dalam penyusunan skripsi ini. Peneliti tidak terlupa mengucapkan terima kasih kepada para aparatur seperti aparatur Dinas Permukiman dan Perumahan Provinsi Jawa Barat, aparatur Dinas Perumahan, Penataan Ruang dan Kebersihan Kabupaten Bandung, aparatur Dinas Pekerjaan Umum Kota Cimahi, aparatur Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kabupaten Bandung Barat serta aparatur Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Bandung yang telah membantu peneliti dalam memperoleh data dan informasi mengenai fenomena atau gejala-gejala yang mempengaruhi proses pelaksanaan Implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU sehingga peneliti dapat memperoleh obyektifitas dari proses pengendalian pemanfaatan ruang di KBU. Pada lingkungan keluarga peneliti mengucapkan terima kasih kepada Papa dan Mama yang selalu memberikan dorongan baik materiil maupun moriil dalam setiap waktu, Adikku tercinta yang selalu memberikan semangat dan mendoakan peneliti agar dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik dan lancar beserta keluarga besar peneliti baik keluarga di Bandung maupun keluarga di Subang, nenek, wa, bibi, paman beserta keponakan-keponakan. Tidak lupa sahabat dan teman-teman seperjuangan yang selalu ada disaat peneliti mengalami masa-masa sulit dalam penyusunan skripsi ini Annisa Sukma Widianti, Fiqih Permana (James), Pradita Rifqia, Mayang, Amey, Arwinda, Lia Rosmalinda, Yuni Dwi Indriyani, dan Jakaria Budiman beserta teman-teman mahasiswa/i Ilmu Pemerintahan Angkatan 2008 yang tidak bisa disebutkan satusatu. Peneliti berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Bandung, September 2013 Peneliti

viii

DAFTAR ISI

Halaman LEMBAR PERSEMBAHAN.ii LEMBAR PENGESAHAN... iii LEMBAR PERNYATAANiv ABSTRAK.. v ABSTRACT.vi KATA PENGANTAR ........................................................................................ vii DAFTAR ISI ....................................................................................................... ix DAFTAR TABEL ............................................................................................... xiii DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xv BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah .............................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah ....................................................................... 11 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian .................................................... 11 1.4 Kegunaan Penelitian.................................................................... 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Pustaka...14 2.1.1 Implementasi Kebijakan14 2.1.1.1 Definisi Implementasi....14 2.1.1.2 Definisi Kebijakan.16 2.1.1.3 Definisi Implementasi Kebijakan...24 2.1.1.4 Model Implementasi Kebijakan ................................26 2.1.2 Peraturan Daerah....35 2.1.3 Pengendalian Pemanfaatan Ruang.36 2.2 Kerangka Pemikiran...37 BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN ix

3.1 Objek Penelitian .......................................................................... 48 3.1.1 Gambaran Umum KBU................................................... 48 3.1.1.1 Kondisi Fisik Lingkungan ................................... 52 3.1.1.1.1 3.1.1.1.2 3.1.1.1.3 3.1.1.1.4 3.1.1.1.5 Kondisi Penggunaan Lahan............... 52 Kondisi Topografi ............................. 54 Kondisi Hidrogeologi ........................ 56 Kondisi Klimatologi .......................... 57 Kondisi Kebencanaan........................ 58

3.1.1.2 Kondisi Sosial Kependudukan ............................ 59 3.1.1.3 Kondisi Ekonomi ................................................ 63 3.1.2 Gambaran Umum Dinas Permukiman dan Perumahan Provinsi Jawa Barat ......................................................... 65 3.1.3 Gambaran Umum Dinas Perumahan, Penataan Ruang dan Kebersihan Kabupaten Bandung ............................. 69 3.1.4 3.1.5 Gambaran Umum Dinas Pekerjaan Umum Kota Cimahi 72 Gambaran Umum Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kabupaten Bandung Barat .............................................. 73 3.1.6 Gambaran Umum Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Bandung ................................................................. 74 3.1.7 Gambaran Umum Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara ................ 77 3.1.8 Gambaran Umum Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU ................................................................................ 81 3.2 Metode Penelitian........................................................................ 83 3.2.1 Desain Penelitian ................................................................ 83 3.2.2 Teknik Pengumpulan Data ................................................. 83 3.2.2.1 Studi Pustaka .......................................................... 83 3.2.2.2 Studi Lapangan....................................................... 84 x

3.2.3 Teknik Penentuan Informan ............................................... 85 3.2.4 Teknis Analisa Data ........................................................... 86 3.2.5 Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................. 88 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Komunikasi dalam Kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU ........................................................... 93 4.1.1 Transmisi dalam Kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU .................................................. 95 4.1.2 Kejelasan dalam Kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU .................................................. 106 4.1.3 Konsistensi dalam Kebijakan Peraturan Daerah

Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU ............................ 111 4.2 Sumber Daya dalam Kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU ........................................................... 115 4.2.1 Staf dalam Kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU .................................................. 117 4.2.2 Informasi dalam Kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU .................................................. 123 4.2.3 Kewenangan dalam Kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU ............................ 126

xi

4.2.4 Sarana dan Prasarana dalam Kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU ............................ 130 4.3 Disposisi dalam Kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU ................................................................................. 132 4.3.1 Efek Disposisi dalam Kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU ............................ 136 4.3.2 Insentif dalam Kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU .................................................. 139 4.4 Struktur Birokrasi dalam Kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU ........................................................... 142 4.4.1 Standar Operating Prosedures (SOP) dalam

Kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU ................................................................................... 147 4.4.2 Fragmentasi dalam Kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU ................................................................................... 149 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ................................................................................. 153 5.2 Saran ............................................................................................ 154 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 156 LAMPIRAN-LAMPIRAN.................................................................................. 159

xii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah menjadi sebuah pedoman dan wadah bagi fungsi-fungsi pemerintahan serta memberikan arah yang jelas kepada daerah dalam menata organisasi yang efisien, efektif dan rasional sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah masing-masing. Otonomi daerah membawa Pemerintah Daerah untuk menghasilkan produkproduk hukum daerah yang berkualitas dalam rangka mengembangkan daerahnya ke arah yang lebih maju dan untuk mencapai suatu kesejahteraan masyarakat, namun demikian produk-produk hukum yang dihasilkan dalam pelaksanaannya seringkali tidak berjalan sebagaimana mestinya. Faktor-faktor yang

mempengaruhinya adalah adanya kendala atau hambatan baik yang berasal dari pembuat kebijakan, pelaksana kebijakan maupun penerima kebijakan. Kendala atau hambatan yang signifikan biasanya terletak dalam tahap pelaksanaan seperti kurangnya kesiapan dari Pemerintah dalam menjalankan peraturan yang baru, adanya tumpang tindih atau overlapting antara peraturan pusat dan peraturan daerah, ketidaktelitian pembuat kebijakan dalam menyusun dan memformulasikan suatu peraturan, serta kurangnya sosialisasi atau komunikasi yang diberikan aparatur kepada masyarakat sehingga menyebabkan kekurangpahaman masyarakat terhadap peraturan-peraturan yang berlaku, namun demikian kendala atau hambatan tersebut bukan menjadi hal baru dalam suatu

tatanan pemerintahan baik dalam tingkat pusat maupun daerah. Implementasi kebijakan menjadi titik sentral yang perlu mendapat perhatian lebih dari berbagai pihak yang bersangkutan. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara salah satu contohnya. Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 ini merupakan suatu peraturan yang mengatur proses pengendalian pemanfaatan ruang di Kawasan Bandung Utara yang dilakukan berdasarkan asas manfaat, keseimbangan, keserasian,

keterpaduan, kelestarian, keadilan, dan peran serta masyarakat. Kawasan Bandung Utara yang selanjutnya disebut KBU adalah kawasan yang meliputi sebagian wilayah Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat. Pemanfaatan ruang disini berkaitan dengan serangkaian program kegiatan pelaksanaan pembangunan yang memanfaatkan ruang menurut jangka waktu yang ditetapkan didalam rencana tata ruang. Pola pemanfaatan ruang di KBU seperti dijelaskan dalam Perda tersebut, meliputi pemanfataan ruang di Kawasan Lindung dan pemanfaatan ruang di Kawasan Budidaya. Pemanfaatan ruang di Kawasan Lindung meliputi, pertama, kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya, yang meliputi, hutan lindung yang terletak di Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Bandung Utara, kawasan berfungsi lindung di luar hutan lindung dan kawasan resapan air. Kedua, kawasan perlindungan setempat yang meliputi sempadan sungai dan kawasan sekitar mata air. Ketiga, kawasan pelestarian alam, yaitu taman hutan raya Ir. H. Djuanda yang terletak di Kota Bandung, Kabupaten Bandung dan Kabupaten

Bandung Barat serta Taman Wisata Alam Tangkubanperahu yang terletak di Kabupaten Bandung Barat. Keempat, kawasan suaka alam, yaitu Cagar Alam Tangkubanperahu yang terletak di Kabupaten Bandung Barat. Kelima, kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan, yaitu Observatorium Bosscha, yang terletak di Kabupaten Bandung Barat. Keenam, kawasan rawan bencana alam geologi, yang meliputi, kawasan rawan bencana gunung api, kawasan rawan gerakan tanah, kawasan rawan gempa bumi, yaitu Sesar Lembang. Pola pemanfaatan ruang kawasan budidaya, meliputi, kawasan budidaya pertanian dan kawasan budidaya permukiman, yang meliputi, kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan. Berdasarkan hal tersebut, maka pengendalian pemanfaatan ruang KBU merupakan suatu upaya mencegah terjadinya penyimpangan terhadap setiap kegiatan pembangunan di KBU serta merupakan upaya dalam menertibkan penyimpangan pemanfaatan ruang yang telah terjadi di KBU dengan arah kebijakan untuk memulihkan dan menanggulangi lahan dengan kondisi fungsi hidroorologis kritis dan sangat kritis, mencegah meningkatnya kekritisan fungsi hidroorologis pada lahan dengan kondisi mulai kritis dan agak kritis, mengendalikan dan membatasi pembangunan guna mempertahankan fungsi hidroorologis pada lahan dengan kondisi normal dan baik, serta memiliki keterbatasan luas. Kondisi fungsi hidroologis merupakan keadaan yang menggambarkan naik turunnya kemampuan dalam meresapkan air sebagai akibat dari perubahan pemanfaatan ruang dengan membandingkan indeks konservasi potensial (ikp) dan indeks konservasi aktual (ika). Aparatur yang bertanggungjawab dalam mengatur

dan melaksanakan ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU meliputi Dinas Permukiman dan Perumahan Provinsi Jawa Barat, Dinas Perumahan, Penataan Ruang dan Kebersihan Kabupaten Bandung, Dinas Pekerjaan Umum Kota Cimahi, Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kabupaten Bandung Barat serta Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Bandung, dimana masing-masing dinas mempunyai kewenangan dalam menjalankan nilai-nilai penting dalam Perda KBU dan memberikan arahan yang jelas kepada masyarakat akan prosedur dan ketentuan yang benar dalam pemanfaatan ruang di KBU. Perda KBU namun demikian dalam pelaksanaannya belum berjalan dengan optimal. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Perda KBU ini belum dijalankan sepenuhnya dengan baik oleh aparatur sebagai pelaksana maupun masyarakat sebagai penerima, adapun permasalahan-permasalahan yang menjadi hambatan dalam proses jalannya pelaksanaan Perda KBU ini menyangkut baik secara teknis maupun terletak dari aparaturnya sendiri yang menjalankannya. Permasalahan secara teknis meliputi pembangunan-pembangunan yang

bermasalah secara teknis seperti berkaitan dengan pembangunan-pembangunan yang tidak sesuai dengan ketentuan teknis dalam Perda KBU dan peraturanperaturan lainnya yang bersangkutan dengan proses pengendalian pemanfaatan ruang KBU seperti Peraturan Gubernur (Pergub) Jawa Barat No. 21 Tahun 2009 tentang petunjuk teknis pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang KBU, peraturan mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota serta peraturan-peraturan lainnya.

Permasalahan yang berkaitan dengan penyimpangan ketentuan teknis dalam Perda KBU meliputi ketentuan teknis pemanfaatan ruang, ketentuan teknis penataan bangunan, ketentuan teknis rekayasa teknis dan vegetatif serta ketentuan teknis rekomendasi perizinan, sedangkan dilihat dari aparaturnya dalam melaksanakan kebijakan peneliti melihat permasalahan yang terjadi di KBU mengenai pengendalian pemanfaatan ruang mengacu kepada teori implementasi kebijakan dari Edward III bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan meliputi communication (komunikasi), resources (sumber daya), dispositions (disposisi), dan bureaucratic structure (struktur birokrasi), dimana masing-masing aspek tersebut saling mempengaruhi satu sama lain yaitu seperti komunikasi mempengaruhi sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi dan seterusnya. Peneliti memilih teori implementasi kebijakan dari George Edward III karena teori ini tepat dan sesuai dengan permasalahan yang terjadi di lapangan mengenai pengendalian pemanfaatan ruang KBU yang didasarkan dari data informan. Permasalahan pertama, berkaitan dengan komunikasi bahwa komunikasi yang disampaikan oleh aparatur kepada masyarakat pada dasarnya masih kurang, terbukti dengan kurangnya sosialisasi yang didapat oleh masyarakat, baik sosialisasi yang berasal dari aparatur dinas Kabupaten/Kota, aparatur Kecamatan maupun aparatur desa. Kedua, berkaitan dengan sumber daya yang meliputi kemampuan aparatur dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang menimpa serta kelengkapan sarana dan prasarana. Berdasarkan hasil penelitian bahwa seringkali aparatur kurang mengerti mengenai permasalahan yang terjadi

terutama aparatur dalam tingkat desa ditambah dengan sarana dan prasarana, kualitas dan kuantitas aparatur yang kurang memadai. Ketiga, berkaitan dengan disposisi yaitu sikap dari para pelaksana kebijakan berkaitan dengan bagaimana pelaksana kebijakan dalam menjalankan Perda KBU dan bagaimana insentif yang diberikan. Bahwa berdasarkan penelitian dan observasi awal bahwa para pelaksana kebijakan di KBU tidak mendapat insentif seperti yang tercantum dalam peraturan, namun demikian pembahasan mengenai insentif masih simpangsiur apakah insentif tersebut berupa bonus atau reward atau berupa hal lainnya. Keempat, kebijakan mengenai Perda pengendalian pemanfaatan ruang KBU ini bagi sebagian aparatur dinilai kurang tepat, dikarenakan tidak sesuai dengan keadaan atau kondisi KBU. Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan aparatur, permasalahan terakhir berkaitan dengan struktur birokrasi yaitu berkaitan dengan kewenangan masingmasing aparatur, seringkali aparatur mengerjakan bukan yang menjadi tugas pokok dan fungsinya, hal ini disebabkan karena kuantitas aparatur yang masih kurang. Permasalahan lainnya berkaitan dengan keadaan KBU sebagai wilayah strategis. Kondisi KBU yang strategis bukan menjadi hal positif, namun sebaliknya keadaan KBU yang strategis menjadikan penyalahgunaan

pembangunan. Volume pembangunan di KBU semakin bertambah. Hal ini dikarenakan KBU merupakan dataran tinggi dengan suasana asri dan tentram serta udara yang masih sejuk, dan jauh dari aktivitas kota yang padat menjadikan KBU daya tarik tersendiri bagi para pengguna lahan maupun bagi para pengembang,

khususnya pengembang kegiatan komersil untuk menarik minat konsumen. Besarnya volume pembangunan dan besarnya alih fungsi lahan hutan di KBU, menyebabkan kondisi fungsi hidroologis KBU saat ini menjadi semakin kritis dan berdampak kepada kerusakan lingkungan seperti banjir, longsor dan kerusakan lingkungan lainnya. Tingginya pembangunan di KBU disebabkan oleh nilai ekonomi yang tinggi. Permasalahan lainnya adalah berkaitan dengan permasalahan teknis dalam proses pemanfaatan ruang seperti adanya penyimpangan dalam ketentuan teknis penataan bangunan, ketentuan teknis rekayasa teknis dan vegetatif serta ketentuan teknis rekomendasi perizinan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Hal-hal demikian yang menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan. Ketentuanketentuan tersebut berkaitan dengan penggunaan lahan, dimana ketidaksesuaian penggunaan lahan ini dapat diklasifikasikan ke dalam 4 (empat) kelas besar, yaitu penyimpangan penggunaan lahan menjadi kawasan permukiman, sawah irigasi, sawah tadah hujan, dan kebun. Diantara empat kelas penyimpangan tersebut, sebagian besar wilayah mengalami perubahan guna lahan menjadi permukiman mengingat tempat tinggal merupakan kebutuhan primer manusia. Pergub No.21 Tahun 2009 mengenai Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU terdapat arahan pemanfaatan atau pola ruang KBU. Pergub tersebut menjelaskan bahwa KBU diarahkan untuk berfungsi sebagai kawasan lindung dan konservasi, sehingga sebagian besar lahannya tidak diperbolehkan untuk dibangun, terutama di wilayah non-perkotaan. Pada kondisi eksistingnya, terjadi beberapa jenis

penyimpangan yang terjadi di KBU berdasarkan arahan dari Pergub No. 21 Tahun 2009. Penyimpangan yang terjadi di KBU berdasarkan arahan Pergub No. 21 Tahun 2009 terjadi karena banyaknya permintaan akan tempat tinggal sehingga sebagian besar lahan yang diperuntukan bagi kegiatan non-permukiman beralih fungsi menjadi permukiman. Lahan seluas 1.450,44 ha atau 3,7% dari luas KBU mengalami penyimpangan menjadi permukiman, dari empat jenis penyimpangan guna lahan yang terjadi di KBU, penyimpangan terbesar adalah dari peruntukan lahan sebagai budidaya pertanian lahan kering menjadi permukiman yang mayoritas terjadi di kawasan perkotaan, meliputi wilayah Kota Bandung dan wilayah lain yang berbatasan dengannya (Sumber: DISKIMRUM, 2011). Permasalahan pemanfaatan ruang KBU yang selanjutnya adalah berkaitan dengan penyimpangan ketentuan teknis KWTa terhadap KWT maksimal. Koefisien Wilayah Terbangun Aktual (KWTa) adalah perbandingan antara luas wilayah terbangun saat ini terhadap luas wilayah secara keseluruhan. Berdasarkan kondisi fisik lingkungannya, KBU termasuk dalam kawasan tertentu yang memiliki nilai Koefisien Wilayah Terbangun (KWT) maksimal 20 %, namun pada kenyataannya sebagian besar desa/kelurahan yang termasuk dalam KBU memiliki nilai Koefisien Wilayah Terbangun aktual (KWTa) jauh di atas nilai KWT maksimalnya. Sesuai dengan pasal 7 ayat 1 dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Jawa Barat No. 21 Tahun 2009 disebutkan bahwa desa/kelurahan dengan KWTa yang telah mencapai KWT maksimal dilarang melakukan penambahan luas kawasan terbangun.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Permukiman dan Perumahan Provinsi Jawa Barat bahwa pada tahun 2011 terdapat beberapa wilayah di KBU yang mengalami penyimpangan dalam ketentuan KWT, seperti yang terjadi di Kota Cimahi tepatnya Kecamatan Cimahi Utara tepatnya di Kelurahan Pasirkaliki dengan KWT maksimal 30% dan KWTa sebesar 86,75%. Wilayah selanjutnya yang mengalami penyimpangan terhadap KWT maksimal dan KWTa adalah Kabupaten Bandung Barat yaitu di Kecamatan Cikalong Wetan desa Mekarjaya KWT maksimal 30% dan KWTanya sebesar 12,45%, Kecamatan Cisarua Desa Sadangmekar KWT maksimal 30% dan KWTanya 7,61%, Kecamatan Ngamprah Desa Cimanggu KWT maksimal 30% dan KWTanya sebesar 9.78% dan Desa Bojong Koneng KWT maksimal 30% dan KWTanya 15,41% dan Kecamatan Padalarang Desa Tagogapu KWT maksimal 30% dan KWTanya 11.01%. Kabupaten/Kota di KBU yang selanjutnya mengalami penyimpangan dalam KWT adalah Kota Bandung yang terletak di Kecamatan Cicendo Kelurahan Husen Sastranegara KWT maksimal 30% dan KWTanya 85,32% dan Kelurahan Sukaraja KWT maksimal 30% dan KWTanya 40,69%, Kecamatan Coblong Kelurahan Lebakgede KWT maksimal 30% dan KWTanya 25,87% dan Kelurahan Lebak Siliwangi KWT maksimal 30% dan KWTanya 87,92% dan terakhir Kecamatan Sukajadi Kelurahan Cipedes, Paster, Sukabungah dan Sukawarna, dimana paling tinggi terletak di Kelurahan Sukabungah KWT maksimal 30% dan KWTanya sebesar 87,08% (Sumber: DISKIMRUM, 2011). Berdasarkan data tersebut bahwa daerah yang paling banyak dan paling tinggi mengalami penyimpangan dalam KWT adalah Kota Bandung.

10

Ketentuan berikutnya yang menyimpang dalam pemanfaatan ruang di KBU adalah ketentuan teknis IKp terhadap IKa. Indeks Konservasi Potensial (IKp) adalah parameter yang menunjukkan kondisi hidroologis ideal untuk konservasi yang dihitung berdasarkan variabel curah hujan, jenis batuan dan kelerengan, sedangkan Indeks Konservasi Aktual (IKa) adalah parameter yang menunjukkan kondisi hidrologis yang ada saat ini (eksisting) untuk konservasi yang dihitung berdasarkan variabel curah hujan, jenis batuan, kelerengan dan penggunaan lahan. Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan pada tahun 2011 ini, IKa KBU untuk kelas sangat tinggi lebih besar atau mengalami peningkatan luas dari hasil perhitungan pada tahun 2004, yaitu meningkat dari 12% tahun 2004 menjadi 40,03% tahun 2011. Selain itu terdapat pula peningkatan luas wilayah dengan IKa rendah, dari 11% tahun 2004 menjadi 25,02% tahun 2011. Hal tersebut menandakan banyak pula wilayah yang mengalami penurunan fungsi konservasi atau hidroorologis, seperti yang dijelaskan pada tabel di bawah ini: Tabel 1.1 Perbandingan IKp dan IKa KBU
Klasifikasi Tingkat Luas (ha) IKa % (2004) 4.626 12 63 14 11 100

No Indeks Konservasi 1 2 3 4
Sangat Tinggi (> 0,8) Tinggi (0,6 - 0,8) Sedang (0,4 - 0,6) Rendah (0,0 - 0,4) TOTAL

IKp (2011)

IKa (2011) 15.419,33 12.335,47 1.156,45 9.637,08 38.548,33

% 40,03 31,83 3,12 25,02 100

12.335,47 31.58

22.358,03 58,40 24.285 3.083,87 7,96 5.397 770,97 2,06 4.240 38.548,33 100 38.548,33

(Sumber: DISKIMRUM, 2011)

11

Berdasarkan tabel 1.1 mengenai perbandingan IKp dan IKa bahwa setiap tahun IKp dan IKa mengalami kenaikan serta dalam status sangat tinggi. Hal ini menjelaskan bahwa IKp dan IKa di KBU mengalami penyimpangan dari ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Perda maupun Pergub KBU. permasalahan-permasalahan tersebut, merupakan permasalahan-permasalahan yang melarbelakangi peneliti untuk mengkaji lebih mendalam mengenai pengendalian pemanfaatan ruang di KBU. Dengan demikian peneliti memberi judul penelitian ini adalah Implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara.

1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan pada latar belakang di atas, rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimana implementasi kebijakan Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara?

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis Implementasi kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara, adapun tujuan dari penelitian ini sebagai berikut:

12

1.

Untuk mengetahui communication dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara

2.

Untuk mengetahui resources dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara

3.

Untuk mengetahui dispositions dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara

4.

Untuk mengetahui bureaucratic structure dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara

1.4 Kegunaan Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan memberikan manfaat baik bersifat praktis maupun teoritis, sebagai berikut: 1. Untuk kepentingan peneliti, penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah keilmuan, pengetahuan, pemahaman serta memberi pengalaman yang tidak ternilai harganya dalam mengkaji suatu kasus atau fenomena khususnya mengenai implementasi kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara

13

2. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah kepustakaan dan mengembangkan teori-teori yang sudah ada khususnya mengenai implementasi kebijakan dan memberikan kontribusi yang positif bagi Ilmu Pemerintahan. 3. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang positif bagi pihak-pihak yang berkepentingan khususnya bagi aparatur-aparatur yang terkait dalam proses pengendalian pemanfaatan ruang KBU seperti Dinas Permukiman dan Perumahan Provinsi Jawa Barat, BPPT Provinsi/Kab/Kota, Dinas Perumahan, Penataan Ruang dan Kebersihan Kabupaten Bandung, Dinas Pekerjaan Umum Kota Cimahi, Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kabupaten Bandung Barat serta Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Bandung, Kecamatan di KBU, Aparatur desa dan masyarakat KBU, serta penelitian ini diharapkan dapat memberikan sedikit solusi atas permasalahan dalam proses implementasi kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Implementasi Kebijakan 2.1.1.1 Definisi Implementasi Studi implementasi merupakan suatu kajian mengenai studi kebijakan yang mengarah pada proses pelaksanaan dari suatu kebijakan. Implementasi merupakan suatu proses pelaksanaan terhadap program-program tertentu yang telah dirumuskan serta ditetapkan dalam suatu aturan untuk mencapai suatu hasil (outcome) yang telah ditetapkan dalam aturan tersebut (Agustino, 2008:138). Proses tersebut berjalan secara dinamis mengikuti perkembangan kondisi dan situasi yang terjadi. Hal ini sejalan dengan pendapat Leo Agustino sebagai berikut: Implementasi merupakan suatu proses yang dinamis, dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri (Agustino, 2008:139). Berdasarkan pengertian tersebut, proses pelaksanaan kebijakan

dilaksanakan oleh berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik yang bekerja secara bersama-sama sebagai upaya dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Aktor disini beragam, bisa diartikan sebagai Lembaga Negara maupun pemerintah yang berwenang membuat perundang-undangan seperti badan legislatif, eksekutif dan yudikatif yang meliputi MPR, DPR, Presiden, Gubernur, Walikota dan lain sebagainya ataupun badan non pemerintah. Hal ini sejalan dengan pendapat

14

15

Donald S. Van Meter dan Carl E. Vanhorn dalam bukunya yang berjudul The Policy Implementation Process: A Conceptual Framework yaitu: Policy implementation encompasses those action by public and private individuals (or groups) that are directed at the achievement of objectives set forth in prior policy decision. This includes both one-time efforts to transform decisions into operational terms, as well as continuing efforts to achieve the large and small changes mandates by policy decisions (Meter dan Vanhorn, 1975:447). Menurut pandangan Donald S. Van Meter dan Carl E. Vanhorn bahwa suatu proses implementasi merupakan sebuah abstraksi implementasi kebijakan yang pada dasarnya sengaja dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan melalui berbagai keputusan yang dilakukan oleh aktor kebijakan dan akhirnya memberikan kantribusi yang besar terhadap perubahan kondisi masyarakat yang lebih baik. Definisi mengenai implementasi sangatlah kompleks. Berbagai pakar ilmu pengetahuan mempunyai pandangan masing-masing terhadap definisi implementasi, mulai dari pandangan yang sederhana sampai pandangan yang luas. Sejalan dengan pendapat tersebut Mazmanian, D.A dan Paul A. Sabatier dalam bukunya Implementation and Public Policy mengemukakan Implementasi sebagai berikut: Implementation of the basic policy decision, usually in the form of laws, but can also form commandments or the decision important executive or judicial bodies or decision. Typically, this decision identifies the problem you want addressed, explicitly mention the purpose or objectives to be achieved, and various ways to structure or organize the implementation process. (Mazmanian, 1983:61). Menurut pernyataan tersebut bahwa keputusan yang dilakukan oleh aktor kebijakan dirumuskan dalam suatu undang-undang atau keputusan-keputusan yang dibuat oleh yang berwenang seperti oleh badan eksekutif, peradilan atau

16

yudikatif untuk menemukan solusi atas permasalahan yang terjadi atau dapat diartikan sebagai kemampuan dalam mengidentifikasi variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi. Implementasi sesungguhnya bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedurprosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, implementasi menyangkut masalah konflik, keputusan, dan apa yang dapat diperoleh dari suatu program/kebijakan. Berdasarkan pada beberapa pengertian di atas, maka implementasi berkaitan dengan proses, hasil, aktivitas dan tindakan untuk memberikan kontribusi yang besar terhadap kondisi dan situasi yang lebih baik. Proses merupakan suatu jenjang waktu dari pelaksanaan terhadap program-program yang telah dirumuskan dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Berjalan tidaknya suatu implementasi tergantung dari prosesnya. Hasil merupakan suatu yang didapatkan setelah suatu program dilaksanakan. Aktivitas berkaitan kegiatan yang dilakukan oleh aparatur dalam melaksanakan program-program. Tindakan merupakan prilaku dari aktor yang melaksanakan implementasi dalam hal ini adalah aparatur pemerintahan untuk mencapai tujuan dan sasaran.

2.1.1.2 Definisi Kebijakan Kebijakan pada dasarnya diartikan sebagai suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan tindakan-tindakan yang terarah. Kebijakan mempunyai definisi yang kompleks dan beragam yang tidak hanya menitikberatkan pada satu

17

disiplin ilmu saja, namun harus didasarkan pada berbagai disiplin ilmu lainnya seperti ilmu politik, ilmu ekonomi, ilmu sosiologi, ilmu psikologi, ilmu antropologi dan lain-lain. Hal ini terkait dengan fokus perhatian kebijakan pada suatu proses tindakan dari seseorang dalam membuat suatu peraturan, oleh karena itu kebijakan tidak akan berjalan efektif, apabila kebijakan hanya bertumpu kepada satu aspek saja. Kebijakan diciptakan untuk mewujudkan suatu keadaan dan kondisi yang lebih baik. Keadaan dan kondisi yang dimaksud adalah suatu keadaan kesejahteraan. Kesejahteraan disini menitikberatkan kepada suatu kebutuhan masyarakat yang harus dipenuhi. Kebutuhan masyarakat akan sarana dan prasarana, pelayanan publik yang efektif, efisien dan ekonomis, pembangunan dan lain sebagainya. Sejalan dengan Marshall bahwa kebijakan adalah kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan tindakan yang memiliki dampak langsung terhadap kesejahteraan warga negara, melalui pelayanan sosial atau bantuan keuangan (Marshall 2003:21). Definisi lain mengenai kebijakan yang diungkapkan oleh Carl Friedrich dalam bukunya Man His Government yang mengemukakan kebijakan adalah: kebijakan adalah serangkaian tindakan atau kegiatan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dimana terdapat hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan) dan kemungkinan-kemungkinan (kesempatan-kesempatan) dimana kebijakan tersebut diusulkan agar berguna dalam mengatasinya untuk mencapai tujuan yang dimaksud (Friedrich, 1963:79) Berdasarkan pengertian di atas bahwa kebijakan merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh seorang individu, kelompok atau pemerintah dalam menghadapi sebuah masalah dalam ruang lingkup suatu lingkungan. Kebijakan ini

18

digunakan sebagai alat untuk menyelesaikan masalah-masalah sehingga dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Melihat kepada pengertian mengenai kebijakan di atas maka kebijakan itu berbeda dengan keputusan, kebijakan tidak sepenuhnya dapat dibedakan dari administrasi, tapi kebijakan mencakup perilaku dan harapan, serta ada tidaknya tindakan, kebijakan mempunyai hasil akhir, kebijakan mempunyai tujuan dan sasaran baik secara ekplisit maupun implisit, kebijakan muncul dari suatu proses, kebijakan meliputi hubungan antar organisasi maupun intra organisasi, kebijakan publik menyangkut lembaga-lembaga pemerintah serta kebijakan dirumuskan dan didefinisikan secara subyektif. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Solichin Abdul Wahab bahwa untuk memperluas cakrawala pandang dan memperdalam pemahaman kita mengenai konsep kebijakan, ada baiknya kita harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut: 1. Kebijakan harus dibedakan dari keputusan 2. Kebijakan sebenarnya tidak secara serta merta dapat dibedakan dari administrasi 3. Kebijakan mencakup perilaku dan harapan-harapan 4. Kebijakan mencakup ketiadaan tindakan ataupun adanya tindakan 5. Kebijakan biasanya mempunyai hasil akhir yang akan dicapai 6. Kebanyakan para penulis buku kebijakan publik dalam mendefinisikan kebijakan (policy) tidak lupa memasukkan ke dalam definisinya itu akan perlunya setiap kebijakan memiliki tujuan atau sasaran tertentu baik eksplisit maupun implisit 7. Kebijakan muncul dari suatu proses yang berlangsung sepanjang waktu 8. Kebijakan meliputi hubungan-hubungan yang bersifat antar organisasi dan yang bersifat intra organisasi (antar unit-unit dalam lingkungan organisasi tertentu) 9. Kebijakan publik, meski tidak eksekutif, menyangkut para kunci lembaga-lembaga pemerintah 10. Kebijakan itu dirumuskan atau didefinisikan secara subyektif (Wahab, 2008:41-50)

19

Kebijakan tidak hanya menyangkut kebijakan yang dibuat oleh swasta saja namun kebijakan dibuat oleh instansi pemerintahan juga. Kebijakan yang dibuat oleh instansi pemrintahan disebut dengan kebijakan public. Kajian mengenai kebijakan publik lebih khusus pemaparannya dibanding dengan kajian kebijakan saja yang dinilai masih umum. Definisi kebijakan dengan kebijakan publik pada dasarnya mempunyai arti yang sama yaitu berkaitan dengan suatu alat dalam mencapai tujuan baik oleh individu maupun kelompok. Hal ini dipertegas dengan pendapat Edi Suharto dalam bukunya Kebijakan Sosial sebagai Kebijakan Publik bahwa kebijakan merupakan sebuah instrument pemerintahan, bukan saja dalam arti government yang hanya menyangkut aparatur negara, melainkan pula government yang menyentuh pengelolaan sumber daya publik (Suharto, 2008:03). Hal dasar yang membedakan antara kebijakan publik dengan kebijakan lainnya adalah dilihat dari sisi pembuat kebijakannya, apabila kebijakan publik seseorang yang berwenang dalam membuat kebijakannya berasal dari lembagalembaga pemerintah dan pejabat-pejabat pemerintah, sedangkan kebijakan lain yang berwenang dalam membuat kebijakannya adalah pihak swasta diluar lingkup pemerintahan, namun demikian hal tersebut belum cukup membedakan antara kebijakan publik dengan kebijakan lainnya. Ada beberapa hal yang harus ditekankan juga seperti isi dan muatan dari kebijakan itu sendiri, sehingga bisa membedakan antara kebijakan publik dengan kebijakan lainnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Budi Winarno bahwa: Preposisi yang menyatakan bahwa kebijakan publik merupakan kebijakan yang dikembangkan oleh lembaga-lembaga pemerintah dan pejabat-

20

pejabat pemerintah harus mendapat perhatian sebaik-baiknya agar kita bisa membedakan kebijakan publik dengan bentuk-bentuk kebijakan yang lain seperti misalnya kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak swasta. Kebijakan tersebut akan dipengaruhi oleh aktor-aktor dan faktor-faktor bukan pemerintah, seperti misalnya kelompok-kelompok penekan (pressure group), maupun kelompok-kelompok kepentingan (interest group) (Winarno, 2012:22-23) Kebijakan publik tersebut diartikan sebagai tindakan yang dilakukan lembaga-lembaga pemerintah dalam membuat suatu kebijakan melalui suatu alur tahapan dan proses dalam kebijakan. Hal tersebut dipertegas oleh Charles O. Jones bahwa kebijakan publik sebagai hubungan di antara unit pemerintah tertentu dengan lingkungannya (Jones, 1991 : 3). Seiring dengan definisi-

definisi kebijakan publik tersebut bahwa dari sekian banyaknya definisi mengenai kebijakan publik, kita tidak bisa menentukan satu dari definisi kebijakan publik yang dianggap paling benar atau sempurna, namun demikian definisi-definisi kebijakan publik tersebut sudah dapat memberikan penjelasan mengenai kebijakan publik itu sendiri. Riant Nugroho mengatakan bahwa kebijakan publik dalam arti luas meliputi dua kelompok yaitu : Kebijakan dalam bentuk peraturan-peraturan pemerintah yang tertulis dalam bentuk peraturan perundangan dan peraturan-peraturan yang tidak tertulis, namun disepakati, yaitu yang disebut dengan konvensi-konvensi. Kebijakan publik yang kedua adalah yang dibuat dalam bentuk kerjasama antara legislatif dengan yudikatif. Kebijakan ketiga adalah kebijakan yang dibuat oleh eksekutif saja(Nugroho, 2003:57-61) Definisi di atas memberikan makna lain dari kebijakan publik yaitu dilihat dari jenis dan pembuat kebijakan publik. Jenis kebijakan publik tersebut meliputi kebijakan tertulis dan kebijakan tidak tertulis, sedangkan pembuat kebijakan publik tersebut meliputi badan legislatif dan eksekutif. Kebijakan tertulis merupakan suatu kebijakan yang di kodifikasikan atau dibukukan, seperti

21

perundang-undangan. Kebijakan tidak tertulis merupakan kebijakan yang tidak dikodifikasikan hanya sebatas perintah dari pihak yang berwenang (pemerintah). Badan legislatif maupun badan eksekutif mempunyai wewenang dalam membuat suatu kebijakan, namun badan legislatif tetap yang mempunyai wewenang lebih banyak dalam membuat suatu kebijakan karena melihat kepada fungsi dari badan legislatif yaitu sebagai pembuat kabijakan. Kebijakan publik di Indonesia terbentuk dalam suatu Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,

Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Kepala Daerah dan lain sebagainya. Riant Nugroho mengatakan bahwa kebijakan publik yang terbaik adalah kebijakan yang mendorong setiap warga masyarakat untuk membangun daya saingnya masing-masing, dan bukan semakin menjerumuskan ke dalam pola ketergantungan (Nugroho, 2003:50), dengan demikian masyarakat merupakan tolak ukur keberhasilan suatu kebijakan publik. Efektif atau tidaknya suatu kebijakan publik tergantung kepada tepat tidaknya tujuan dan sasaran kebijakan publik tersebut kepada masyarakat, sehingga masyarakat terpenuhi hak-haknya sebagai warga negara. Wiliiam N. Dunn menyebutkan istilah kebijakan publik dalam bukunya yang berjudul Analisis Kebijakan Publik, sebagai berikut: Kebijakan Publik (Public Policy) adalah Pola ketergantungan yang kompleks dari pilihan-pilihan kolektif yang saling tergantung, termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak, yang dibuat oleh badan atau kantor pemerintah. (Dunn, 2003:132) Dunn berpendapat bahwa kebijakan publik merupakan suatu pola ketergantungan antara masyarakat dengan aparatur pemerintah terhadap suatu kebijakan. Ketergantungan masyarakat terhadap suatu kebijakan adalah harapan

22

masyarakat yang menginginkan suatu kehidupan yang lebih baik. Adanya suatu kebijakan menimbulkan suatu harapan besar dari masyarakat yaitu dapat mengubah/memperbaiki kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik. Kebijakan diharapkan menjadi kunci dalam membuka lembaran baru masyarakat ke arah yang lebih baik. Berdasarkan beberapa pandangan tentang kebijakan negara tersebut, dengan mengikuti paham bahwa kebijakan publik itu adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh pemerintah untuk mencapai suatu cita-cita atau tujuan demi kepentingan seluruh rakyat. Sejalan dengan pendapat Riant Nugroho yang menyimpulkan bahwa kebijakan publik meliputi: 1. Kebijakan publik mudah untuk dipahami, karena maknanya adalah halhal yang dikerjakan untuk mencapai tujuan nasional 2. Kebijakan publik mudah diukur karena ukurannya jelas yakni sejauh mana kemajuan pencapaian cita-cita sudah ditempuh. (Nugroho, 2003:52) Berhasil tidaknya kebijakan publik dapat diukur dari sudah tercapainya tujuan yang dirumuskan atau belum. Apabila tujuan yang telah ditetapkan belum tercapai maka kebijakan publik tersebut dikatakan belum berhasil hal ini terkait dengan proses dari kebijakan publik sendiri meliputi proses perumusan kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan. Pembuatan suatu kebijakan oleh suatu lembaga pemerintah dalam upayanya menyelesaikan suatu persoalan yang dihadapi baik menyangkut kepentingan instasi organisasi maupun kepentingan umum, tidak terlepas dari adanya proses terlebih dahulu mulai dari kegiatan analisis permasalahan sampai pada proses pembuatan kebijakan itu sendiri. Proses pembuatan kebijakan dimulai dari analisis yaitu melalui serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan didalam proses kegiatan

23

yang pada dasarnya bersifat politis. Aktivitas politis tersebut dikatakan sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut waktu, penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, dan implementasi kebijakan. (Jones, 1996:22) Keterangan ini menunjukan perlunya analisis kebijakan agar dapat menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan pada suatu, beberapa, atau seluruh tahap, dan proses pembuatan kebijakan, tergantung pada tipe masalah yang dihadapi. Tahap-tahap kebijakan tersebut harus dilaksanakan dengan benarbenar dan melalui perencanaan yang matang agar maksud dan sasaran dari kebijakan dapat disampaikan dengan tepat. M. Irfan Islamy menguraikan beberapa elemen penting lain dalam kebijakan publik, yaitu: 1.) Bahwa kebijakan publik itu dalam bentuk perdanya berupa penetapan tindakan-tindakan pemerintah; 2.) Bahwa kebijakan publik itu tidak cukup hanya dinyatakan tetapi dilaksanakan dalam bentuk yang nyata; 3.) Bahwa kebijakan publik, baik untuk melakukan sesuatu ataupun tidak melakukan sesuatu itu mempunyai dan dilandasi maksud dan tujuan tertentu; 4.) Bahwa kebijakan publik itu harus senantiasa ditujukan bagi kepentingan seluruh anggota masyarakat (M. Irfan Islamy 1997:20) Berdasarkan pengertian tersebut elemen-elemen penting yang harus ada dalam sebuah kebijakan publik adalah tindakan-tindakan pemerintah yang dilakukan secara obyektif tidak hanya sekedar wacana untuk mencapai suatu tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan secara bersama sesuai dengan keinginan masyarakat dan untuk kepentingan masyarakat.

24

2.1.1.3 Definisi Implementasi Kebijakan Implementasi kebijakan merupakan suatu kunci paling penting dalam proses kebijakan publik. Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya, tidak lebih dan tidak kurang. Cara tersebut ditransformasikan melalui program-program kebijakan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Riant Nugroho mengatakan bahwa; Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, maka ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program-program atau melalui formulasi derivat atau turunan dari kebijakan publik tersebut.(Nugroho, 2003:158) Berdasarkan pengertian tersebut bahwa dalam proses mengimplementasikan kebijakan public ada dua pilihan yaitu, langsung mengimplemntasikan dari bentuk program-program atau mengimplementasikan dari suatu kebijakan yang telah ditetapkan. Implementasi kebijakan sesungguhnya bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat jalur birokrasi, melainkan lebih dari menyangkut masalah konflik, keputusan dan dampak yang akan timbul jika suatu kebijakan diimplementasikan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa implementasi kebijakan merupakan tahap yang penting dari keseluruhan proses kebijakan. Kebijakan dapat berjalan dengan efektif apabila implementasi kebijakan dilaksanakan dengan maksimal. Tachjan mengatakan implementasi kebijakan dalam bukunya yang berjudul Implementasi Kebijakan Publik bahwa: Implementasi kebijakan publik merupakan proses kegiatan administratif yang dilakukan setelah kebijakan ditetapkan dan disetujui. Kegiatan ini terletak diantara perumusan kebijakan dan evaluasi kebijakan. Implementasi kebijakan mengandung logika top-down maksudnya menurunkan atau menafsirkan alternatif-alternatif yang masih abstrak atau

25

makro menjadi alternatif yang bersifat kongkrit atau makro (Tachjan, 2006:25). Menurut pernyataan tersebut, bahwa implementasi merupakan proses pelaksanaan yang dilakukan setelah kebijakan ditetapkan atau proses pelaksanaan kebijakan setelah kebijakan selesai dirumuskan. Implementasi merupakan tahap paling penting karena pada tahap ini kebijakan dapat dinilai berhasil atau tidak. Pengertian implementasi kebijakan menurut Dwiyanto Indiahono dalam bukunya Kebijakan Publik Berbasis Dynamic Policy Analisys sebagai berikut: Implementasi kebijakan adalah tahap yang penting dalam kebijakan. Tahap ini menentukan apakah kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah benar-benar aplikabel dilapangan dan berhasil untuk menghasilkan output dan outcomes seperti yang telah direncanakan. Output adalah keluaran kebijakan yang diharapkan dapat muncul sebagai keluaran langsung dari kebijakan. Output biasanya dapat dilihat dalam waktu yang singkat pasca implementasi kebijakan. Outcome adalah dampak dari kebijakan, yang diharapkan dapat timbul setelah keluarnya output atau waktu yang lama pasca implementasi kebijakan. (Indiahono, 2009:143) Implementasi kebijakan merupakan suatu tahapan paling penting dalam suatu kebijakan publik, karena berhasil tidaknya suatu kebijakan terletak bagaimana aktor-aktor kebijakan publik aktor melaksanakan kebijakan atau publik

mengimplementasikan

kebijakan,

apakah

mengimplementasikan suatu kebijakan dengan optimal atau tidak dapat dilihat dari hasilnya. Berdasarkan pada definisi-definisi di atas bahwa implementasi kebijakan merupakan suatu proses pelaksanaan kebijakan-kebijakan untuk mencapai suatu tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Pada tahap implementasi kebijakan kita dapat mengetahui berhasil tidaknya suatu kebijakan dilihat dari hasil yang diperoleh dalam jangka waktu tertentu.

26

2.1.1.4 Model Implementasi Kebijakan Model-model implementasi kebijakan dari berbagai para ahli pada dasarnya adalah untuk memberikan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi keberhasilan suatu implementasi kebijakan. George C. Edward III mengemukakan beberapa hal yang dapat mempengaruhi keberhasilan suatu Implementasi kebijakan, yaitu: 1. Communication 2. Resources 3. Dispositions 4. Bureaucratic Structure (Edward III, 1980:10). Model implementasi menurut Edward III di atas jelas bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi implementasi, yaitu Communication,

Resources, Dispositions, dan Bureacratic Structure. Masing-masing faktor tersebut saling berhubungan satu sama lainnya, kemudian secara bersama-sama mempengaruhi terhadap implementasi, melainkan secara tidak langsung mempengaruhi masing-masing dari faktor lainnya. Berikut model gambar implementasi kebijakan oleh Edward III:

27

Gambar 2.1 Model Pendekatan Implementasi Menurut Edward III

COMMUNICATION

RESOURCES

IMPLEMENTATION

DISPOSITIONS

BUREAUCRATIC STRUCTURE

Sumber : Edward III (1980:148)

Berdasarkan kepada tabel diatas bahwa proses ini merupakan sebuah abstraksi atau performansi dari suatu kebijakan yang pada dasarnya dilakukan untuk meraih kinerja implemenntasi kebijakan publik yang tinggi, yang berlangsung dalam hubungan berbagai variabel. Model ini mengumpamakan implementasi kebijakan berjalan secara linier dari komunikasi, sumber daya yang tersedia, disposisi dan pelaksanaan implementasi kebijakan. Pertama, yang mempengaruhi keberhasilan implementasi dari suatu kebijakan, adalah

Communicaions (komunikasi), menurut Edwad III Communicaions mempunyai peranan yang penting sebagai acuan pelaksanaan kebijakan mengetahui persis apa yang akan dikerjakan, ini berarti komunikasi juga dinyatakan dengan perintah dari atasan terhadap pelaksanan kebijakan, sehingga komunikasi harus dinyatakan dengan jelas, cepat dan konsisten. (Edward III, 1980:10)

28

Berdasarkan definisi tersebut, maka komunikasi sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan publik. Implementasi yang akan terjadi apabila para pembuat keputusan (decision maker) sudah mengetahui apa yang akan dikerjakan. Pengetahuan atas apa yang akan dikerjakan baru dapat berjalan manakala komunikasi berjalan dengan baik, sehingga setiap keputusan kebijakan dan peraturan implementasi harus ditransmisikan (atau dikomunikasikan) kepada bagian personalia yang tepat. Selain itu, kebijakan yang dikomunikasikan pun harus tepat, akurat dan konsisten. Komunikasi (atau pentransmisian informasi) diperlukan agar para pembuat keputusan dan para implementor semakin konsisten dalam melaksanakan setiap kebijakan yang akan diterapkan dalam masyarakat. Kedua, menurut Edward III yang mempengaruhi keberhasilan

implementasi suatu kebijakan adalah sumber daya (Resources). Resources, bukan hanya menyangkut sumber daya manusia semata melainkan juga mencakup kemampuan sumber daya mineral lainnya yang mendukung kebijakan tersebut dan faktor dana (Edward III, 1980:10). Berdasarkan hal tersebut maka Sumber daya merupakan hal penting lainnya dalam mengimplementasikan kebijakan dengan baik. Indikator-indikator yang digunakan untuk melihat sejauhmana sumberdaya dapat berjalan dengan baik dan rapi, yaitu staf, informasi, wewenang dan fasilitas. Ketiga, variabel yang mempengaruhi tingkat keberhasilan suatu kebijakan adalah disposisi. Menurut Edward III Dispositions, sebagai kegunaan dikalangan pelaksana untuk menerapkan kebijakan, jika penerapan dilaksanakan secara efektif. Pelaksana bukan hanya harus tahu apa yang harus dikerjakan, tetapi harus memiliki kemampuan untuk menerapkan kebijakan itu. (Edward III, 1980:11)

29

Mengacu kepada pernyataan tersebut disposisi merupakan sikap dari pelaksana kebijakan adalah faktor penting ketiga dalam pendekatan mengenai implementasi suatu kebijakan. Jika implementasi suatu kebijakan ingin efektif, maka para pelaksana kebijakan tidak hanya harus mengetahui apa yang akan dilakukan tetapi juga harus memiliki kemampuan untuk melaksanakannya, sehingga dalam prakteknya tidak menjadi bias. Hal-hal penting yang perlu dicermati pada variabel disposisi adalah pengangkatan birokrat dan insentif. Keempat, menurut Edward III yang mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan adalah struktur birokrasi. Bureaucratic Structure, mempunyai dampak terhadap penerapan kebijakan dalam arti bahwa penerapan kebijakan tidak akan berhasil jika terdapat kelemahan dalam struktur. Dalam hal ini ada 2 karakteristik birokrasi yang umum, penggunaan sikap dan prosedur yang rutin, serta transpormasi dalam pertangungjawaban di antara unit organisasi (Edward III, 1980:11) Berdasarkan pernyataan tersebut bahwa apabila sumber-sumber untuk melaksanakan suatu kebijakan tersedia, atau para pelaksana kebijakan mengetahui apa yang harusnya dilakukan dan mempunyai keinginan untuk melaksanakan suatu kebijakan, namun kebijakan tersebut tidak akan terlaksana atau terealisasi apabila terdapat kelemahan atau hambatan dalam struktur atau struktur birokrasi tidak dijalankan secara optimal. Kebijakan yang begitu kompleks menuntut adanya kerjasama dari setiap orang, ketika struktur birokrasi tidak kondusif pada kebijakan yang tersedia, maka hal ini akan menyebabkan faktor-faktor lainnya tidak berjalan dengan lancar. Model selanjutnya adalah model Mazmania dan Sabtier di sebut model kerangka analisis implementasi. Mereka

mengkalsifikasikan proses implementasi kebijakan ke dalam tiga variabel:

30

1. Mudah tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan indikator masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman objek, dan perubahan seperti apa yang di kehendaki. 2. Kemampuan kebijakan untuk merekstruktur proses implementasi dengan indikator kejelasan dan konsistensi tujuan, dipergunakannya teori kausal, ketepatan alokasi sumber dana, keterpaduan hirarkis di antara lembaga pelaksana, aturan pelaksanan dari lembaga pelaksana, dan perekrutan pejabat pelaksana dan keterbukaan kepada pihak luar dan variable di luar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi yang berkenaan dengan indikator kondisi sosio-ekonomi dan teknologi, dukungan public, sikap dan risorsis konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi, dan komitmen dan kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana. 3. Tahapan dalam proses implementasi dengan lima tahapan, pemahaman dari lembaga/badan pelaksana dalam bentuk disusunnya kebijakan pelaksana, kepatuhan objek, hasil nyata, penerimaan atas hasil nyata tersebut, dan akhirnya mengarah pada revisi atas kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan tersebut ataupun keseluruhan kebijakan yang bersifat mendasar. (Mazmania, Sabatier,1983:20-39) Berdasarkan pemaparan tersebut bahwa suatu implementasi kebijakan dapat berhasil apabila kita mengetahui isi kebijakan secara jelas sehingga dalam pelaksanaannya dapat berjalan dengan mudah, jelas disini yaitu jelas sasaran dan tujuannya serta adanya pemahaman pelaksana kebijakan dalam menjalankan kebijakannya. Model lain mengatakan bahwa faktor-faktor keberhasilan suatu implementasi menurut pendapat Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn dalam bukunya The Policy Implementation Process: A Conceptual Framework yaitu: 1. Policy standards and objectives; 2. Policy resources; 3. Interorganizational communication and enforcement activites; 4. The characteristics of the implementing agencies; 5. Economic, social, and conditions; 6. The disposition of implementers. (Van Meter dan Van Horn, 1975:462-478)

31

Berdasarkan faktor-faktor keberhasilan dalam implementasi kebijakan diatas, dapat dijelaskan bahwa implementasi kebijakan, pertama standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisasikan. Apabila standar dan kebijakan hilang, maka akan terjadi konflik diantara para agen pelaksana implementasi. Kedua, implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya, baik sumber daya manusia maupunsumber daya lainnya. Ketiga, komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas dalam implementasi perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu diperlukan koordinasi dan kerjasama antara instansi bagi keberhasilan suatu kebijakan. Keempat, karakteristik agen pelaksana mencakup struktur birokrasi, norma-norma, dan polapola hubungan yang terjadi dalam birokrasi yang semuanya akan mempengaruhi implementasi suatu kebijakan. Kelima, kondisi sosial, ekonomi dan politik variabel ini mencakup struktur sumber daya ekonomi, lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauhmana kelompok-kelompok kepentingan dapat memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan, karakteristik para partisipan yaitu mendukung atau menolak. Keenam, disposisi implementor ini mencangkup tiga hal yaitu respon implementor terhadap kebijakan yang akan dipengaruhi keinginannya untuk melaksanakan kebijakan, kognisi yakni pemahaman terhadap kebijakan dan intensitas disposisi implementor yakni prefansi nilai yang dimiliki oleh implementor. Variabel-variabel kebijakan bersangkutan dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dari sumber-sumber yang tersedia. Pusat perhatian pada badan-badan pelaksana baik organisasi formal maupun informal. Sedangkan

32

komunikasi antara organisasi terkait dengan kegiatan-kegiatan pelaksanaan mencangkup hubungan didalam lingkungan sistem politik. Berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan Subarsono dalam bukunya Analisis Kebijakan Publik (Konsep, Teori dan Aplikasi) sebagai berikut: 1. Kondisi lingkungan Lingkungan sangat mempengaruhi implementasi kebijakan, yang dimaksud lingkungan ini mencangkup lingkungan sosio kultural serta keterlibatan penerima program. 2. Hubungan antar organisasi Dalam banyak program, implementasi sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain, untuk itu diperlukan koordinasi dan kerjasama antar instansi bagi keberhasilan suatu program. 3. Sumber daya organisasi untuk implementasi program Implementasi kebijakan perlu didukung sumber daya baik sumber daya manusia (human resources) maupun sumber daya non-manusia (non human resources). 4. Karekteristik dan kemampuan agen pelaksana Yang dimaksud karakteristik dan kemampuan agen pelaksana adalah mencakup struktur birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi yang semuanya itu akan mempengaruhi implementasi suatu program. (Subarsono, 2006:101) Faktor-faktor diatas menunjukkan keberhasilan dalam pelaksanaan kebijakan yang dibuat dan ditetapkan oleh pemerintah. Kebijakan tersebut dapat berhasil apabila terdapat faktor-faktor tersebut dengan memberi fokus pada tujuan yang sudah ditetapkan. Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gun mengemukakan faktor keberhasilan implementasi kebijakan sebagai berikut: 1. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh Badan atau instansi pelaksana tidak akan mengalami gangguan atau kendala yang serius. Hambatan-hambatan tersebut mungkin sifatnya baik, politis dan sebagainya, 2. Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber-sumber yang cukup memadai, 3. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia, 4. Kebijaksanaan yang akan diimplementasikan didasarkan oleh suatu hubungan kualitas yang handal,

33

5. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubungnya, 6. Hubungan saling ketergantungan kecil, 7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan, 8. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat, 9. Komunikasi dan koordinasi sempurna, 10. Pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna. (Hogwood dan Lewis, 1997-71-78) Berdasarkan pengertian tersebut maka kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak hanya ditujukan dan dilaksanakan untuk intern pemerintah saja, akan tetapi ditujukan dan harus dilaksanakan pula oleh seluruh masyarakat yang berada dilingkungannya dengan disertai komunikasi dan koordinasi yang sinergis antarpihak-pihak yang berkaitan. Hubungan sinergis yang terjadi antara pemerintah dengan masyarakat, adanya komunikasi yang selaras menjadi penentu keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Berdasarkan kepada pengertian-pengertian di atas mengenai implementasi kebijakan beserta faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan bahwa suatu implementasi tidak dapat berjalan secara lancar, efektif dan efisien apabila variabel-variabel implementasi kebijakan tidak saling berkesinambungan, seperti dalam penelitian ini peneliti memilih faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan dari George Edward III yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi berjalan atau tidaknya suatu kebijakan dilihat dari 4 (empat) faktor yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi. Faktor-faktor tersebut saling berhubungan satu sama lain seperti komunikasi berhubungan erat dengan sumber daya, disposisi maupun struktur birokrasi dan seterusnya maka apabila ada salah satu faktor yang tidak berjalan maka akan mempengaruhi faktor

34

lainnya sehingga proses implementasi kebijakan tidak berjalan dengan efektif dan efisien. Model implementasi kebijakan dari Edward III diumpakan seperti sebuah sistem yang berkaitan satu dengan yang lainnya, sehingga apabila ada aspek yang tidak berjalan maka sistem tersebut tidak akan berjalan. Faktor komunikasi menurut Edward III berkaitan dengan bagaimana proses penyampaian kebijakan dari aparatur kepada masyarakat, dimana Edward memberikan faktor lain untuk mendukung terlaksananya faktor komunikasi ini yaitu terdiri dari transmisi, kejelasan, dan konsistensi. Transmisi berkaitan dengan bagaimana alur penyampaian informasi yang diberikan oleh aparatur kepada masyarakat. Kejelasan berkaitan dengan apakah informasi yang diberikan kepada masyarakat sudah jelas dan dimengerti oleh masyarakat. Konsistensi bahwa informasi yang disampaikan sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku. Faktor selanjutnya adalah sumber daya. Sumber daya berkaitan dengan sumber-sumber yang mendukung jalannya kebijakan meliputi sumber daya aparatur, sumber daya finansial dan sumber daya lainya seperti sarana dan prasarana. Sumber daya aparatur berkaitan dengan kemampuan aparatur dilihat dari kualitas dan kuantitasnya dan sumber daya finansial berhubungan dengan bagaimana dana yang mendukung proses jalannya kebijakan. Faktor berikutnya adalah disposisi yang terdiri dari efek disposisi dan insentif. Terakhir berkaitan dengan struktur birokrasi struktur yang berkaitan dengan kewenangan masingmasing aparatur dalam menjalankan kebijakan yang terdiri dari fragmentasi dan SOP.

35

2.1.2 Peraturan Daerah Daerah dalam konteks otonomi daerah mempunyai wewenang dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Berdasarkan pada bunyi tersebut maka daerah mempunyai wewenang dalam membuat serta menetapkan suatu peraturan daerah. Hak untuk menetapkan Peraturan Daerah disebut hak legislatif (legislatieve bevoegdheid, legislative power). Sebagai badan hukum publik, Daerah dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan khusus yaitu : a. Kewenangan untuk membuat Peraturan Daerah yang berlaku umum dan dapat bersifat memaksa. b. Hak budget c. Dan sebagainya (Soejito, 1983: 6) Berdasarkan pendapat tersebut maka daerah mempunyai kewenangan terhadap pembuatan suatu peraturan daerah serta dalam pengaturan suatu keuangan daerah, dimana hal ini dilakukan untuk mewujudkan daerah ke arah yang lebih maju, aman, tertib, serta sejahtera, kebutuhan-kebutuhan masyarakat terpenuhi. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 1 nomor 5, pengertian peraturan daerah adalah peraturan yang ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Peraturan Daerah sebagai salah satu kewenangan Daerah menurut Soejito adalah : Peraturan Daerah adalah keputusan yang merupakan norma yang ditetapkan oleh penguasa tertentu, yakni Kepala Daerah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan, dan harus memenuhi syarat-syarat formal tertentu untuk dapat mempunyai kekuatan hukum dan mengikat. (Soejito, 1983 : 9) Berdasarkan pengertian tersebut Peraturan Daerah merupakan suatu hasil keputusan yang ditetapkan secara bersama dalam ruang lingkup daerah untuk

36

mencapai suatu cita-cita bersama. Aktor pembuat Peraturan Daerah adalah Kepala Daerah dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

2.1.3

Pengendalian Pemanfaatan Ruang Berdasarkan Pergub Provinsi Jawa Barat No. 21 Tahun 2009,

pengendalian merupakan serangkaian upaya terpadu dalam pemanfaatan ruang yang dilakukan secara efektif, efisien, responsif, komprehensif, dan konsisten, dengan mengutamakan koordinasi, kerjasama antardaerah, partisipasi, dan kemitraan di antara pihak-pihak terkait. Dengan demikian pengendalian merupakan suatu upaya dalam mengatasi suatu permasalahan atau penyimpangan yang terjadi. Sejalan dengan pendapat Ibrahim bahwa dengan kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang, maka dapat diidentifikasi sekaligus dapat dihindarkan kemungkinan terjadinya penyimpangan pemanfaatan ruang

(Ibrahim, 1998 : 27). Sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, Pasal 17 pengendalian pemanfaatan ruang diselenggarakan melalui kegiatan pengawasan dan penertiban. Menurut Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 bahwa pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya mencegah terjadinya

penyimpangan pemanfaatan ruang dan menertibkan penyimpangan pemanfaatan ruang yang telah terjadi. Pemanfaatan ruang berdasarkan Perda Provinsi No. 1 Tahun 2008 ini merupakan rangkaian program kegiatan pelaksanaan

pembangunan yang memanfaatkan ruang menurut jangka waktu yang ditetapkan didalam rencana tata ruang. Proses pemanfataan ruang ini berkaitan dengan

37

berbagai aktivitas penataan bangunan. Penataan bangunan merupakan upaya pengaturan untuk mewujudkan lingkungan permukiman yang tertib, aman, nyaman, serasi, dan seimbang melalui tertib pembangunan dan keselamatan perumahan dan permukiman. Dengan kata lain, pengendalian pemanfaatan ruang adalah kegiatan yang berkaitan dengan pengawasan dan penertiban agar pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Proses alur pengawasan biasanya dilaksanakan dalam bentuk suatu pelaporan, pemantauan serta evaluasi terhadap aktivitas-aktivitas yang sedang berlangsung maupun aktivitas yang telah dilaksanakan.

2.2 Kerangka Pemikiran Implementasi pada dasarnya berkaitan dengan proses, hasil, aktivitas dan tindakan untuk mencapai suatu tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan agar dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap kondisi dan situasi yang lebih baik. Proses merupakan suatu jenjang waktu dari pelaksanaan terhadap programprogram yang telah dirumuskan dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Berjalan tidaknya suatu implementasi tergantung dari prosesnya. Hasil merupakan suatu yang didapatkan setelah suatu program dilaksanakan. Aktivitas berkaitan dengan kegiatan yang dilakukan oleh aparatur dalam melaksanakan program-program. Tindakan merupakan prilaku dari aktor yang melaksanakan implementasi dalam hal ini adalah aparatur pemerintahan untuk mencapai tujuan dan sasaran.

38

Suatu implementasi biasanya berkaitan dengan suatu peraturan atau kebijakan dalam suatu daerah. Kebijakan merupakan suatu program-program yang dibuat oleh aktor-aktor baik itu instansi pemerintahan maupun instansi swasta dalam rangka memberikan solusi terhadap permasalahan yang sedang terjadi. Definisi kebijakan tersebut masih bersifat luas karena pembuatnya dapat berasal dari swasta maupun pemerintah, namun dalam penelitian ini kebijakan yang dimaksud adalah kebijakan publik, karena peneliti mengkaji suatu kebijakan yang dibuat oleh pemerintah untuk kepentingan masyarakat dan mampu untuk mengembangkan sumber daya masyarakat secara optimal. Suatu kebijakan tidak akan berarti apabila kebijakan tersebut belum dilaksanakan dengan optimal. Proses pelaksanaan suatu kebijakan disebut dengan implementasi kebijakan, dalam tahapan ini kita dapat mengetahui berhasil atau tidaknya suatu kebijakan. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil pelaksanaan kebijakan dalam jangka waktu tertentu. Implementasi kebijakan dalam penelitian ini adalah implementasi kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara merupakan suatu peraturan yang mengatur bagaimana upaya untuk mengatasi penyimpangan pemanfaatan ruang di KBU. KBU merupakan Kawasan Bandung Utara yang meliputi Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung Barat, dan Kabupaten Bandung. Pengendalian pemanfaatan ruang di KBU dilakukan dengan cara memperketat ketentuan-ketentuan dalam proses pemanfaatan ruang di KBU,

39

meliputi ketentuan teknis penataan bangunan, ketentuan teknis pembuatan izin dan ketentuan teknis dalam mendapatkan rekomendasi gubernur. Adanya peraturan ini diharapkan segala aktivitas pembangunan di KBU dapat dikendalikan sehingga dapat mengembalikan kondisi fungsi hidroologisnya. Kajian peneliti dalam melihat berhasil tidaknya implementasi kebijakan Perda tersebut peneliti menggunakan model Edward III. Faktor-faktor yang

mempengaruhi implementasi kebijakan dari model implementasi kebijakan Edward III meliputi komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi. Menurut Edward III, komunikasi kebijakan memiliki beberapa macam dimensi antara lain, yaitu dimensi transformasi atau penyampaian informasi kebijakan publik, kejelasan, dan konsistensi. Semakin baik koordinasi komunikasi diantara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proses implementasi, maka terjadinya kesalahan-kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi dan begitu pula sebaliknya. Komunikasi adalah proses penyampaian informasi, ide, dan gagasan dari satu pihak kepada pihak lain. komunikasi merupakan syarat utama dalam implementasi kebijakan untuk berjalan lebih efektif. Para pelaksana kebijakan harus dapat mengetahui apa yang seharusnya mereka lakukan. Keputusankeputusan dan perintah-perintah harus dilanjutkan oleh para pelaksana dengan tepat sebelum keputusan-keputusan dan perintah-perintah itu dapat diikuti. Terdapat tiga dimensi yang termasuk kedalam komunikasi Menurut pendapat George C. Edwards III dalam bukunya Implementing Public Policy bahwa komunikasi terdiri dari transmision (penyampaian informasi), clarity (kejelasan), dan consistency (konsistensi). (Edwards III, 1980:10).

40

Berdasarkan pendapatnya bahwa dalam komunikasi harus terdapat tiga hal yang sangat penting yaitu terdiri dari transmision (penyampaian informasi), clarity (kejelasan), dan consistency (konsistensi). Transmision (penyampaian informasi) adalah penyampaian informasi kebijakan publik yang disampaikan oleh para pelaksana kebijakan kepada kelompok sasaran atau disebut dengan masyarakat. Pengabdian atau kesalahpahaman mengenai keputusan sering kali terjadi, salah satu penyebab dalam menstransmisikan perintah-perintah dalam implementasi adalah penolakan implementor atau pelaksana kebijakan melakukan diskresi yang tidak bisa dihindarkan didalam aturan umum. Clarity (kejelasan) merupakan faktor kedua dari komunikasi yang merupakan tujuan yang telah ditentukan dan tidak menyimpang dari ketentuan dalam pelaksanaannya harus jelas dan konsisten dan sesuai dengan kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah dan harus jelas. Consistency (konsisten) merupakan faktor ketiga yaitu unsur kejelasan dimana perintah-perintah implementasi yang tidak konsisten akan mendorong pelaksanaan mengambil tindakan dalam menafsirkan dan

mengimplementasikan kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah. Sumber daya merupakan suatu sarana dan prasarana maupun kemampuan aparatur yang mendukung berjalannya suatu kebijakan. Faktor-faktor dalam sumber daya menurut pendapat George C. Edwards III dalam bukunya Implementing Poblic Policy yaitu staff (aparatur), information (informasi), Authotity (wewenang), dan Facilities (fasilitas). (Edwards III, 1980:10-11). Staff (aparatur) adalah pelaku kebijakan dan memiliki kewenangan yang diperlukan dalam suatu kebijakan agar dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang telah

41

direncanakan. Information (informasi) adalah data yang diolah menjadi suatu bentuk lain yang lebih berguna yaitu pengetahuan atau keterangan yang ditujukan bagi penerima dalam pengambilan keputusan baik pada masa sekarang atau yang akan datang dalam melaksanakan dan mematuhi apa yang telah menjadi tugas dan kewajibannya. Authority (kewenangan) adalah kewenangan yang bersifat formal yang dikeluarkan dalam melaksanakan kebijakan. Sedangkan facilities (fasilitas) adalah sumber daya peralatan pendukung dalam melakukan tugas operasionalnya (sarana dan prasarana) hal terpenting yang harus dimiliki oleh pelaksana kebijakan. Disposition (sikap pelaksana) adalah kecenderungan-kecenderungan, keinginan atau kesepakatan para pelaksana untuk melaksanakan kebijakan secara sungguh-sungguh apa yang menjadi tujuan kebijakan untuk dapat diwujudkan. Menurut George C. Edwards III dalam bukunya Implementing Public Policy terdapat dua faktor dalam Disposition (sikap pelaksana) yaitu Effects Of Disposition (tingkat kepatuhan pelaksana) dan Incentives (insentif). (Edwards III, 1980:11). Effect Of Disposition (tingkat kepatuhan pelaksana) adalah

kecenderungan-kecenderungan pelaksana menimbulkan hambatan-hambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan. Sedangkan Incentives (pemberian insentif) adalah kecenderungan yang ada pelaksana melalui manipulasi incentives oleh pembuat kebijakan melalui keuntungan-keuntungan atau biaya-biaya akan membuat pelaksana melaksanakan perintahnya dengan baik. Kualitas dari suatu kebijakan dipengaruhi oleh kualitas atau ciri-ciri dari para aktor, kualitas tersebut

42

adalah tingkat pendidikan, kompetensi dalam bidangnya, pengalaman kerja, dan integritas moralnya. Bureaucratic structure (struktur birokrasi) merupakan sumber-sumber dalam mengimplementasikan suatu kebijakan yang sudah mencukupi dan para pelaksananya mengetahui apa dan bagaimana cara melakukannya serta mempunyai keinginan untuk melakukannya akan tetapi implementasi kebijakan masih belum dapat dikatakan efektif karena ketidakefisienan struktur birokrasi yang ada. Hal-hal yang penting dalam struktur birokrasi yaitu Standard Operating procedure (SOP) dan Fragmentation (penyebaran tanggung jawab). Standard Operating Procedures (SOP) adalah mekanisme, sistem dan prosedur pelaksanaan kebijakan, pembagian tugas pokok, fungsi kewenangan dan tanggung jawab yang dilaksanakan oleh pelaksana kebijakan. Sedangkan fragmentation (fragmentasi) adalah penyebaran tanggung jawab atas suatu kebijakan antara beberapa unit organisasi oleh pelaksana kebijakan. Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka definisi operasional dalam penelitian ini adalah: 1. Implementasi merupakan suatu proses, tindakan, hasil dan aktivitas dalam pelaksanaan program-program yang telah ditetapkan pemerintah untuk mencapai tujuan bersama. Implementasi kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU bertujuan untuk mengendalikan serangkaian proses

pembangunan di KBU

43

2.

Kebijakan merupakan serangkaian konsep atas pelaksanaan programprogram pengendalian pemanfaatan ruang KBU untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan.

3.

Peraturan Daerah adalah suatu aturan yang bersifat mengikat karena mempunyai kekebalan hukum yang ditetapkan oleh DPRD bersama Kepala Daerah untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Peraturan Daerah Provinsi Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU mengatur bagaimana proses pengendalian pembangunan di KBU.

4.

Pengendalian merupakan suatu upaya untuk mencegah dan menanggulangi penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam pemanfaatan ruang di KBU.

5.

Pemanfaatan ruang adalah serangkaian proses pembangunan dalam jangka waktu tertentu.

6.

KBU adalah Kawasan Bandung Utara yang meliputi Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung Barat, dan Kabupaten Bandung

7.

Pengendalian pemanfaatan ruang KBU adalah upaya untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya penyimpangan dalam pemanfaatan ruang di KBU

8.

Implementasi Kebijakan adalah pelaksanaan kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara. Untuk mengukur suatu keberhasilan implementasi kebijakan dilihat dalam indiator berikut: 1) Komunikasi adalah proses penyampaian informasi dari aparatur Kota Cimahi, Kota Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Dan Kabupaten

44

Bandung selaku pelaksana kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara kepada masyarakat. Komunikasi dalam penelitian ini meliputi: a. Transmisi adalah alur penyampaian informasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah Kota Cimahi, Kota Bandung, Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Bandung selaku pelaksana kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara. b. Kejalasan adalah tujuan yang telah ditetapkan jelas adanya dan sesuai dengan kebijakan yang buat oleh Pemerintah Kota Cimahi, pemerintah Kota Bandung, Pemerintah Kabupaten Bandung Barat dan Pemerintah Kabupaten Bandung selaku pelaksana kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara. c. Konsistensi adalah ketetapan tujuan sesuai dengan kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Kota Cimahi, pemerintah Kota Bandung, Pemerintah Kabupaten Bandung Barat dan Pemerintah Kabupaten Bandung selaku pelaksana kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara. 2) Sumber daya adalah sumber-sumber dalam pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian

45

Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara yang bertanggung jawab untuk melaksanakan kewenangan dalam pengendalian pemanfaatan ruang di KBU. Sumber daya dalam penelitian ini meliputi: a. Staf adalah aparatur Pemerintah Kota Cimahi, pemerintah Kota Bandung, Pemerintah Kabupaten Bandung Barat dan Pemerintah Kabupaten Bandung selaku pelaksana kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara yang memiliki wewang dalam pengendalian pemanfaatan ruang KBU. b. Informasi adalah informasi yang diperlukan aparatur guna ditunjukan kepada penerima dalam pengambilan keputusan dalam melaksanakan apa yang menjadi tugas dan kewajibannya sesuai dengan Peraturan Daerah Provinsi Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU. c. Kewenangan adalah kewenangan yang bersifat formal dalam mejalankan kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU. d. Sarana dan Prasarana adalah fasilitas pendukung dalam

melaksanakan kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU. 3) Disposisi adalah kecenderungan, keinginan atau kesepakatan para

pelaksana pembuat Peraturan Daerah Provinsi Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara

46

untuk

melaksanakan

kebijakan

secara

sungguh-sungguh

dalam

pengendalian pemanfaatan ruang KBU. Dispositions dalam penelitian ini meliputi: a. Efek disposisi adalah pengaruh yang ditimbulkan oleh pelaksana kebijakan dalam pengendalian pemanfaatan ruang KBU. b. Insentif adalah upah lebih yang diberikan kepada pelaksana kebijakan kebijakan dalam hal ini adalah Pemerintah Kota Cimahi, pemerintah Kota Bandung, Pemerintah Kabupaten Bandung Barat dan Pemerintah Kabupaten Bandung. 4). Struktur birokrasi adalah struktur atau hierarki atau pembagian kewenangan dalam pelaksanaan implementasi kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara. Bureaucratic Structure dalam penelitian ini meliputi: a. Fragmentasi adalah penyebaran tanggung jawab beberapa unit di dalam Pemerintah Kota Cimahi, Pemerintah Kota Bandung, Pemerintah Kabupaten Bandung Barat dan Pemerintah Kabupaten Bandung dalam perkembangan pengendalian pemanfaatan ruang KBU. b. Standard Operating Procedur (SOP) adalah prosedur pelaksanaan kebijakan oleh Pemerintah Kota Cimahi, Pemerintah Kota Bandung, Pemerintah Kabupaten Bandung Barat dan Pemerintah Kabupaten

47

Bandung dalam perkembangan pengendalian pemanfaatan ruang KBU. Berikut ini merupakan bagan yang telah dimodifikasi oleh peneliti untuk memperjelas dan mempertajam sebagai tambahan dari kerangka teori yang telah diuraikan sebagai berikut: Gambar 2.2 Model Kerangka Pemikiran Implementasi kebijakan peraturan daerah provinsi jawa barat no. 1 tahun 2008 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU, meliputi : 1. Komunikasi a. Transmisi b. Kejelasan c. Konsistensi Sumber daya a. Staf b. Informasi c. Kewenangan d. Sarana dan prasaran Disposisi a. Efek disposisi b. Insentif Struktur birokrasi a. Fragmentasi b. SOP

2.

3.

4.

Terlaksananya kebijakan peraturan daerah provinsi jawa barat no. 1 tahun 2008 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU dengan efektif dan efisien.

BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN

3.1 Objek Penelitian 3.1.1 Gambaran Umum KBU Kawasan Bandung Utara yang biasa disebut KBU adalah kawasan disebelah utara dan timur dibatasi oleh punggung topografi yang menghubungkan Puncak Gunung Burangrang, Masigit, Gedongan, Tangkubanperahu, dan Manglayang, sedangkan di sebelah barat dan selatan dibatasi oleh garis (kontur) 750m di atas permukaan air laut. Secara Geografis Kawasan Bandung Utara terletak antara 1070270 1070 Bujur Timur dan 06044' 06056' Lintang Selatan. Berdasarkan Perda KBU tahun 2008, wilayah KBU meliputi 10 kecamatan (30 kelurahan) di Kota Bandung, 3 kecamatan (18 desa dan 2 kelurahan) di Kab. Bandung, 2 kecamatan (8 kelurahan) di Kota Cimahi, dan 6 kecamatan (49 desa) di Kab. Bandung Barat. Secara administratif KBU berada di wilayah administrasi dengan jumlah total 21 kecamatan dan 107 desa/kelurahan, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 3.1 Nama Kecamatan dan Desa/Kelurahan serta Luas Desa/Kelurahan yang Terdapat di KBU
Kota/ Kabupaten Luas Desa/Kelurahan yang Terdapat di KBU (Ha) 76.6 54.54 27.58 18.67

No

Kecamatan

Desa/Kelurahan Cimahi

1 2 3 4 KOTA CIMAHI CIMAHI TENGAH

Sebagian Karangmekar Sebagian Padasuka SebagianSetiamanah

48

49

No

Kota/ Kabupaten

Kecamatan

Desa/Kelurahan Sebagian Cibabat Sebagian Cipageran

5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 CISARUA KABUPATEN BANDUNG BARAT CIKALONG WETAN CIMENYAN KABUPATEN BANDUNG CILEUNYI CILENGKRANG CIMAHI UTARA

Luas Desa/Kelurahan yang Terdapat di KBU (Ha) 273.07 528.74 325.62 141.77 428.18 1156.31 558.9 492.11 51 265.5 308.02 128.49 468.12 126.21 86.95 821.98 321.53 866.04 363.51 68.68 207.22 1544.84 758.84 130.23 1106.32 13.61 160.81 1176.83 108.77 23.07 533.97 6.24 891.62 145.75 1045.36 761.87 292.81

Citeureup Sebagian Pasirkaliki Cilengkrang Cipanjalu Ciporeat Sebagian Girimekar Sebagian Jatiendah Malatiwangi Sebagian Cibiru Wetan Sebagian Cileunyi Kulon Sebagian Cileunyi Wetan Sebagian Cimekar Sebagian Cinunuk Ciburial Sebagian Cikadut Cimenyan Sebagian Cibeunying Sebagian Padasuka Mandalamekar Mekarmanik Mekarsaluyu Sebagian Sindanglaya Sebagian Cipada Sebagian Ciptagumanti Sebagian Cisomang Sebagian Ganjarsari Mandalamukti Mandalasari Mekarjaya Wangunjaya Cipada Jambudipa Kertawangi Padaasih Pasirhalang

50

No

Kota/ Kabupaten

Kecamatan

Desa/Kelurahan Pasirlangu Sebagian Sadangmekar Tugumukti Cibodas Cibogo Cikahuripan Cikidang Cikole Gudangkahuripan Jayagiri Kayuambon

42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 KOTA BANDUNG CIBEUNYING KALER PARONGPONG PADALARANG NGAMPRAH LEMBANG

Luas Desa/Kelurahan yang Terdapat di KBU (Ha) 1027.12 535.95 835.94 757.48 384.11 847.51 1033.01 800.71 222.5 896.52 213.67 473.83 322.33 377.24 592.79 268.32 1350.67 839.13 321.6 241.51 391.35 445.71 91.9 150.98 317.11 62.53 93.85 17.55 176.36 348.35 383.26 184.17 572.16 635.76 1992.31 348.58 134.26

Langensari Lembang Mekarwangi Pagerwangi Sukajaya Suntenjaya Wangunharja Wangunsari Sebagian Bojong Koneng Sebagian Cilame Sebagian Cimanggu Sebagian Mekarsari Sebagian Ngamprah Sebagian Pakuhaji Sebagian Sukatani Sebagian Tanimulya Campakamekar Tagogapu Cigugur Girang Cihanjuang CIhanjuang Rahayu Cihideung Ciwaruga Karyawangi Sariwangi Sebagian Cigadung

51

No

Kota/ Kabupaten

Kecamatan

Desa/Kelurahan Sebagian Pasir Impun

79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 UJUNGBERUNG SUKASARI SUKAJADI COBLONG CIDADAP CICENDO CIBIRU CIBEUNYING KIDUL MANDALAJATI

Luas Desa/Kelurahan yang Terdapat di KBU (Ha) 39.36 22.18 40.06 14.86 186.4 117.31 58.6 8.76 73.31 297.73 264.44 189 34.23 261.66 37.92 61.6 64.25 92.09 75.38 8.9 134.85 89 167.77 179.68 157.06 123.02 47.72 69.49 77.32

Sebagian Sindang Jaya Sebagian Jatihandap Pasirlayung Sebagian Cisurupan Sebagian Palasari Sebagian Pasirbiru Sebagian Husen Sastranegara Sebagian Sukaraja Ciumbuleuit Hegarmanah Ledeng Sebagian Cipaganti Dago Sebagian Lebakgede Sebagian Lebak Siliwangi Sebagian Sekeloa Sebagian Cipedes Sebagian Pasteur Sebagian Sukabungah Sebagian Sukagalih Sukawarna Gegerkalong Isola Sarijadi Sukarasa Sebagian Pasanggrahan Sebagian Pasirjati Sebagian Pasirwangi

(Sumber: BPS Kabupaten/Kota 2011) Berdasarkan tabel 3.1 di atas secara administrasi KBU terbagi menjadi empat wilayah, yaitu Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi, dimana masing-masing wilayah mempunyai daerah bawahannya masing-masing. Kota Bandung terdiri dari 10 Kecamatan dan 30

52

kelurahan dengan total keseluruhan luas wilayah sebesar 3128,21 Ha. Kabupaten Bandung terdiri dari 3 Kecamatan dan 20 Kelurahan dengan total keseluruhan luas wilayah sebesar 9152,66 Ha. Kabupaten Bandung Barat terdiri dari 6 Kecamatan dan 40 Kelurahan dengan total keseluruhan luas wilayah sebesar 23605,9 Ha. Kota Cimahi terdiri dari 2 Kecamatan dan 9 Kelurahan dengan total keseluruhan luas wilayah sebesar 1446,28 Ha. Dengan demikian luas total keseluruhan wilayah KBU adalah 37333,05 Ha.

3.1.1.1 Kondisi Fisik Lingkungan 3.1.1.1.1 Kondisi Penggunaan Lahan

Kawasan Bandung Utara (KBU), lahannnya sebagian besar diperuntukkan kawasan konservasi dengan nilai Koefisien Wilayah Terbangun (KWT) sebesar 20%. Dalam prakteknya, banyak terjadi penyimpangan guna lahan eksisting dari rencana yang telah dibuat. Penyimpangan guna lahan banyak terjadi di kawasan perkotaan, dimana aktivitas yang ada di dalamnya lebih beragam. Untuk KBU, penggunaan lahannya dapat dibedakan menjadi hutan, kebun, tanah

ladang/tegalan, sawah tadah hujan, sawah irigasi, belukar/semak, rumput, air tawar, permukiman, dan wilayah terbangun selain permukiman. Tabel 3.2 Luas Penggunaan Lahan Eksisting di KBU Tahun 2010 No 1 2 3 4 5 6 Jenis Guna Lahan Hutan Kebun Tanah Ladang/Tegalan Sawah Tadah Hujan Sawah Irigasi Belukar/Semak Luas (ha) 4.498,92 9.233,42 11.381,69 2.130,63 1.982,22 2.492,83

53

No Jenis Guna Lahan Luas (ha) 7 Rumput 463,90 8 Tanah Berbatu 23,87 9 Air Tawar 14,53 10 Permukiman 2.273,85 11 Kawasan Terbangun 4.047,47 TOTAL 38.543,33 (Sumber: Hasil Digitasi Peta Quickbird KBU Tahun 2010) Penggunaan lahan di KBU, dari total wilayah KBU seluas 38.543,33 ha, didominasi secara keseluruhan oleh pengunaan lahan jenis tanah ladang/tegalan, dengan luas 11.381,69 ha atau sebesar 29,53% dari luas total wilayah KBU. Selain itu, jenis kebun juga turut mendominasi penggunaan lahan di KBU dengan luas mencapai 9.233,42 ha atau 23,96% dari luas total wilayah KBU. Kedua penggunaan lahan ini memiliki porsi luas terbesar dibandingkan penggunaan lahan lainnya, dimana sebarannya hampir merata di setiap desa/kelurahan di bagian timur dan utara KBU. Penggunaan lahan jenis hutan pun masih cukup luas, yaitu 4.498,92 ha atau setara dengan 11,67% dari luas wilayah KBU. Hutan di wilayah KBU lebih banyak terkonsentrasi di bagian utara KBU, khususnya wilayah Kabupaten Bandung Barat, namun luasannya kini semakin berkurang karena adanya alih fungsi lahan hutan menjadi permukiman, sawah irigasi, dan sawah tadah hujan, meskipun banyak lahan yang mengalami alih fungsi, luas lahan non-terbangun di KBU masih lebih besar dibandingkan dengan luas lahan terbangunnya. Namun demikian, jika dilihat dari kondisi fisik lingkungannya yang diperuntukan sebagai kawasan konservasi, proporsi luasan lahan terbangun dan lahan non-terbangun di KBU tidak memenuhi aturan yang ada, untuk lebih jelas mengenai penggunaan lahan di KBU akan dijelaskan pada tabel di bawah ini:

54

Gambar 3.1 Persentase Penggunaan Lahan di KBU Tahun 2011


Hutan Kebun 0.04% 0.06% 1.20% 6.47% 5.14% 29.53% 23.96% 5.90%

10.50%

11.67%

Tanah Ladang/Tegalan Sawah Tadah Hujan Sawah Irigasi Belukar/Semak

Rumput
Tanah Berbatu Air Tawar Permukiman Kawasan Terbangun

5.53%

(Sumber: DISKIRUM, 2011) Berdasarkan pada gambar 3.1 di atas, luas lahan permukiman di wilayah KBU adalah 2.273,85 ha atau 5,90% dari luas KBU, sedangkan luas lahan terbangunnya mencapai 10,50% atau seluas 4.047,47 ha. Luas penggunaan lahan permukiman di KBU ternyata masih lebih kecil dibandingkan luas lahan belukar/semak yang mencapai 6,47% dari luas KBU atau seluas 2.492,83 ha. Guna lahan permukiman dan kawasan terbangun lebih banyak terkonsentrasi di bagian selatan KBU yang merupakan wilayah perkotaan.

3.1.1.1.2

Kondisi Topografi

Kondisi topografi Kawasan Bandung Utara (KBU) jika dilihat dari konturnya berada pada ketinggian antara 750 m dpl hingga 2.200 m dpl. Sebagian besar wilayah KBU terletak pada ketinggian 750 m dpl hingga 1.112,5 m dpl baik di Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, maupun Kota

55

Cimahi. Semakin ke utara, yaitu wilayah yang termasuk dalam administrasi Kabupaten Bandung Barat memiliki ketinggian yang semakin tinggi, yaitu terletak pada ketinggian antara 1.112,5 m dpl hingga 2.200 m dpl. Wilayah dengan kontur tertinggi terletak pada bagian selatan Desa Karyawangi dan bagian utara Desa Sukajaya, Cikahuripan, serta Jayagiri. Selain itu kontur tertinggi juga terletak di bagian utara Desa Pasirlangu, Tugumukti, Kertawangi, dan Wangunharja Kabupaten Bandung Barat. Wilayah dengan kontur terendah (750 m dpl - 1.112,5 m dpl) mayoritas terletak di bagian selatan Kawasan Bandung Utara. Jika dilihat dari kelerengannya, Kawasan Bandung Utara (KBU) memiliki kelerengan wilayah yang beragam, yang diklasifikasikan ke dalam 6 (enam) kelas. Wilayah dengan kelerengan antara 0 2%, 2 5%, dan 5 15% sebagian besar terletak pada bagian barat daya dan bagian tengah KBU yang didominasi oleh Kota Bandung dan sebagian Kabupaten Bandung Barat. Untuk kelerengan 15 25% dan 25 40% sebagian besar terletak di wilayah yang termasuk Kabupaten Bandung serta di bagian barat Kabupaten Bandung Barat. Wilayah dengan kelerengan tertinggi (>40%) terletak di bagian timur dan utara KBU yang notabene merupakan wilayah Kabupaten Bandung Barat. Kontur dan kelerengan di sebagian besar wilayah KBU yang relatif tinggi maka peruntukan lahannya pun diarahkan pada kegiatan-kegiatan yang tidak merusak lingkungan. Kondisi KBU saat ini yang semakin kritis menuntut dilakukannya pemanfaatan ruang yang diarahkan agar tidak terlalu banyak melakukan cut and fill untuk memimimalisasi perubahan kontur lahan namun justru memanfaatkan kontur lahan untuk desain arsitektur bangunan. Selain itu

56

juga dianjurkan untuk menerapkan rekaya teknis maupun vegetatif dalam melakukan pemanfaatan ruang sebagai bentuk upaya konservasi di KBU.

3.1.1.1.3

Kondisi Hidrogeologi

Kondisi KBU berada pada bagian dataran tinggi Bandung yang terkenal cukup makmur, karena tanahnya yang subur yang dicirikan dengan tingginya unsur hara dan iklimnya yang sejuk. Kesuburan tanah itu telah membuat KBU ditumbuhi berbagai jenis tanaman dengan variasi yang beragam. Sekitar 27.000 ha atau 70% dari luas KBU yang mencapai 38.550 ha di 21 kecamatan dan 107 desa/kelurahan di Kab. Bandung, Kota Bandung, Kab.Bandung Barat, dan Kota Cimahi, sudah dalam kondisi rusak sehingga tak lagi berfungsi lindung. Pada saat musim penghujan, KBU tidak mampu lagi menahan air hujan untuk diresapkan ke dalam tanah melainkan langsung melepaskannya dalam bentuk air permukaan. Lebih dari 75% intensitas air hujan di KBU sebanyak 2.250 mm/tahun (tahun 2006) dihanyutkan ke Kota Bandung yang memiliki saluran drainase yang buruk. Hal ini menyebabkan hampir setiap musim hujan terjadi banjir di beberapa titik Kota Bandung. Tingginya run off air yang menuju Kota Bandung diakibatkan karena telah rusaknya daerah tangkapan air di Kawasan Bandung Utara. Kondisi lahan yang rusak mengakibatkan semakin kecilnya volume hujan yang diresapkan ke dalam tanah di daerah tangkapan air KBU, dengan demikian semakin kecil pula potensi air tanah bagi cadangan di saat musim kemarau tiba. Di sisi lain terjadi fluktuasi yang besar pada volume air permukaan pada musim

57

hujan dan musim kemarau. Berdasarkan pengukuran yang dilakukan oleh K3A dan USAID-ESP pada bulan Mei sampai Juli 2007 yang merupakan musim kemarau, debit air sungai Cikapundung terus mengalami penurunan. Data di titik pengukuran Maribaya, menunjukkan debit air pada bulan Mei sebesar 1.357,9 liter/detik turun menjadi 977,26 liter/detik pada bulan Juni 2007. Angka ini kembali mengalami penurunan pada bulan Juli 695,14 liter/detik. Kerusakan lahan yang terjadi ini menyebabkan KBU yang merupakan kawasan lindung kehilangan funsi hidroorologisnya, yaitu memberikan perlindungan terhadap daerah bawahannya sebagai pengatur tata air dan mencegah terjadinya banjir dan longsor. Penelitian menunjukkan bahwa potensi air yang bisa dimanfaatkan di musim kemarau tinggal 10 % saja atau 28.750.000 m3/tahun. Itu pun kualitasnya sangat jelek karena tercemar oleh limbah, padahal kebutuhannya sudah mencapai 182.500.000 m3/tahun. Jadi, dapat dikatakan bahwa ketersediaan air sudah sangat defisit. Apalagi prediksi National Geographic, pada tahun 2015 Kota Bandung berpenduduk 5,3 juta jiwa dengan kebutuhan air bersihnya 386.900.000 m3/tahun, maka krisis air bersih menjadi ancaman yang tak terhindarkan.

3.1.1.1.4

Kondisi Klimatologi

Ditinjau dari sisi klimatologi, Kawasan Bandung Utara (KBU) memiliki curah hujan yang tinggi, yaitu berkisar antara 1500 hingga 4500 mm. Faktor yang menentukan tinggi rendahnya intensitas curah hujan salah satunya adalah ketinggian tempat. Curah hujan terbanyak umumnya berada pada ketinggian

58

antara 600 900 m di atas permukaan laut (m dpl). Hal ini yang menyebabkan mengapa hujan di KBU tinggi, yaitu karena wilayah KBU yang terletak pada ketinggian 750 m dpl atau lebih. Wilayah dengan curah hujan terendah (1500 2000 mm) terletak di wilayah perkotaan, meliputi, Kota Bandung, sebagian Kota Cimahi, dan sebagian Kabupaten Bandung. Semakin mengarah ke bagian utara, curah hujan di wilayah tersebut semakin tinggi. Wilayah dengan curah hujan tertinggi terletak di wilayah bagian utara Kabupaten Bandung Barat, terutama di Kecamatan Parongpong dan Cikalong Wetan.

3.1.1.1.5

Kondisi Kebencanaan

Pengaturan mengenai guna lahan perlu memperhatikan lokasi-lokasi yang diduga/diperkirakan memiliki potensi untuk menimbulkan bencana alam. Untuk itu penting kiranya diketahui kawasan-kawasan yang memiliki potensi bencana alam. Bencana alam yang terjadi di Wilayah Bandung Utara ini, antara lain: Letusan Gunung Api, Longsoran tebing, Aliran lahar, Erosi, Gempa bumi dan Gerakan tanah, melihat berbagai potensi bencana di KBU tersebut maka disarankan agar dalam memberikan izin pengembangan kawasan dan/atau pembangunan bangunan di KBU, harus menerapkan rekayasa teknik dan/atau eko arsitektur dan/atau rekayasa vegetatif, untuk menghindari penurunan kapasitas penyerapan air ke dalam tanah dan meminimalkan potensi bencana kelongsoran tanah.

59

3.1.1.2 Kondisi Sosial Kependudukan Penduduk di dalam suatu wilayah merupakan salah satu komponen yang membentuk kegiatan-kegiatan yang ada di dalam wilayah tersebut. Di samping itu, kegiatan yang ada di dalam suatu kota pun akan mempengaruhi dinamika penduduk yang tinggal di dalamnya baik secara kualitas maupun kuantitas. Tabel 3.3 Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kota Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bandung, Kota Cimahi yang Termasuk Kawasan Bandung Utara Tahun 2002
No Kecamatan Jumlah Penduduk (Jiwa) KOTA BANDUNG 60396 22589 4856 23229 9722 79933 17795 21441 11120 12197 17380 22803 42967 19400 14482 9085 97096 21830 9860 12735 25368 3745 19470 91066 t.a.d. 16413 85704 15322 16120 Luas Wilayah (Ha) 627,524 157,060 123,021 167,766 179,677 439 119 52 89 130 49 132 612,316 125,586 297,730 189,000 745,3 258 34 103,3 117 100 264,46 512,34 t.a.d 125 867 260 205 Kepadatan Penduduk (Jiwa/Ha) 96 144 39 138 54 182 150 412 125 94 355 173 70 154 49 48 130 85 290 123 217 37 74 178 t.a.d. 131 99 59 79

Sukasari Sarijadi Sukarasa Gegerkalong Isola 2 Sukajadi Pasteur Cipedes Sukawarna Sukagalih Sukabungah* Sukaraja* Wil.Cibeunying 3 Cidadap Hegarmanah Ciumbuleuit Ledeng 4 Coblong Dago Cipaganti* Lebak Gede* Sekeloa* LebakSiliwangi* Cigadung 5 Cibeunying Kidul Cibeunying Pasirlayung# Wil.Ujung Berung 6 Cicadas Karang Pamulang Mandalajati #

60

No 7

Kecamatan

Jumlah Penduduk (Jiwa)

Arcamanik 69816 Sindangjaya# 18855 8 Ujung Berung 59598 Pasir Wangi# 8641 Pasirjati# 8110 Pasanggrahan# 7445 9 Cibiru 58985 Cisurupan 5795 Palasari * 9394 Pasir Biru* 8001 413203 4563,35 TOTAL TOTAL K. BANDUNG 1.867.010 17027,53 KAWASAN BANDUNG UTARA DI KABUPATEN BANDUNG 1 Ngamprah Ngamprah* Cilame* Tanimulya* Cimanggu Bojongkoneng Mekarsari* Pakuhaji Cileunyi Cileunyi kulon Cileunyi wetan Cimekar* Cinunuk* Cibiru wetan Cimenyan Cimenyan Mandalamekar Cikadut Ciburial Sindanglaya Kel.Padasuka# Kel.Cibeunying Mekarsaluyu Mekarmanik Cilengkrang Cilengkrang Cipanjalu Malatiwangi Ciporeat Girimekar Cikalong Wetan Cipada Ganjarsari Lembang Kayuambon Lembang 112443 4408 16467 22792 5003 10185 8172 5354 86360 13162 15726 14025 26079 10689 74503 9760 4407 6045 8951 3999 10080 22487 2536 6238 31807 2696 4369 3186 3608 6982 94895 6236 5990 129869 6280 13281 3608,07 150,98 673,02 228,88 610,87 463,27 199,43 317,11 3157,5 628,76 881,13 401,07 464,97 487,44 5287,12 909,42 207,22 398,79 821,98 130,23 103,79 412,02 758,84 1544,84 2990,66 428,18 1156,31 265,5 558,9 492,11 11203,66 1106,32 1773,18 9701,4 213,67 322,33

Luas Wilayah (Ha) 880,440 263,075 1035,411 111,468 123,380 225 1,082,025 220,610 217,215 125

Kepadatan Penduduk (Jiwa/Ha) 79 72 58 78 66 33 55 26 43 64


91

110

31 29 24 100 8 22 41 17 27 21 18 35 56 22 14 11 21 15 11 31 97 55 3 4 11 6 4 12 6 14 8 6 3 13 29 41

61

No

Kecamatan

Jumlah Penduduk (Jiwa) 5884 7457 7117 10836 14834 8348 8395 4982 6455 8021 6483 7637 6057 7802 53163 9534 4787 9262 4680 8138 7252 4950 4560 67529 6610 11864 6321 10792 10586 10212 11144
510193

Cikidang Cikahuripan Cikole Gudangkahuripan Jayagiri Cibodas Langensari Mekarwangi Pagerwangi Sukajaya Suntenjaya Wangunsari Wangunharja Cibogo 7 Cisarua Jambudipa Cipada Kertawangi Pasirhalang Pasirlangu Padaasih Tugumukti Sadangmekar 8 Parongpong Karyawangi Cihanjuang Cihanjuang Rahayu Cihideung Ciwaruga Cigugurgirang Sariwangi TOTAL TOTAL KAB BANDUNG

Luas Wilayah (Ha) 1033,01 847,51 800,71 222,5 896,52 757,48 473,83 377,24 592,79 268,32 1350,67 321,6 839,13 384,11 5536,41 145,75 891,62 1045,36 292,81 1027,12 761,87 835,94 535,95 4464,6 1992,31 383,26 184,17 572,16 635,76 348,35 348,58
36276,99

Kepadatan Penduduk (Jiwa/Ha) 6 9 9 49 17 11 18 13 11 30 5 24 7 20 10 65 5 9 16 8 10 6 9 15 3 31 34 19 17 29 32


14

3.587.522

307400

12

KAWASAN BANDUNG UTARA DI KOTA CIMAHI Cimahi Utara 114.838 1.348,32 85 Cipageran 32.512 571,25 57 Citeureup 23.932 325,62 73 Cibabat 42.756 309,68 138 Pasirkaliki 15.638 141,77 110 2 Cimahi Tengah 123.614 1.096,88 113 Padasuka# 28.413 243,67 117 Cimahi 10.659 76,60 139 Setiamanah# 20.358 111,67 182 Karangmekar* 14.471 120,73 120 TOTAL 188.739 1900,99 99 TOTAL KOTA CIMAHI 413.588 4.061,51 102 Sumber: Bandung Dalam Angka, 2002; Data dan Potensi Kota Bandung, 2002; Basis Data Pembangunan Daerah Kabupaten Bandung, 2002; Monografi-monografi Kelurahan di Kota Cimahi, 2002 1

62

Keterangan : t.a.d. : tidak ada data * : Proporsi wilayah yang masuk Kawasan Bandung Utara sebesar dari luas wilayah seluruhnya # : Proporsi wilayah yang masuk Kawasan Bandung Utara kurang dari luas wilayah seluruhnya

Karakter sosial kependudukan wilayah Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat serta Kota Cimahi adalah sebagai berikut: 1. Kelurahan Cipedes yang berada di Kecamatan Sukajadi memiliki kepadatan penduduk terbesar (412 jiwa/ha) dibandingkan dengan Kota Bandung dan kecamatan serta kelurahan lainnya. Kepadatan penduduk terendah berada di Kelurahan Cisurupan (26 jiwa/ha), Kecamatan Cibiru. 2. Kepadatan penduduk terbesar di Kabupaten Bandung berada di Kelurahan Tanimulya (100 jiwa/ha), Kecamatan Ngamprah. Angka tersebut melebihi kepadatan penduduk di Kabupaten Bandung, kecamatan dan kelurahan lainnya di Kabupaten Bandung. 3. Kecamatan Cimahi Utara (85 jiwa/ha) memiliki kepadatan penduduk paling sedikit dibandingkan Kota Cimahi (102 jiwa/ha) dan Kecamatan Cimahi Tengah (113 jiwa/ha). Rendahnya kepadatan penduduk tersebut disebabkan hampir sebagian besar wilayahnya merupakan kawasan lindung. Dalam lingkup Kawasan Bandung Utara, kepadatan penduduk terbesar berada di Kota Bandung (99 jiwa/ha) dibandingkan dengan Kota Cimahi (91 jiwa/ha) dan Kabupaten Bandung (14 jiwa/ha).

63

Gambar 3.2 Kepadatan Penduduk Kawasan Bandung Utara Tahun 2002


120 100 80 jiwa/ha 60 40 20 0 Kota Bandung Kota Cimahi Kabupaten Bandung

Sumber: Bandung Dalam Angka, 2002; Data dan Potensi Kota Bandung, 2002; Basis Data Pembangunan Daerah Kabupaten Bandung, 2002; Monografi-monografi Kelurahan di Kota Cimahi, 2002

Angka kelahiran (fertilitas), kematian (mortalitas), dan migrasi merupakan tiga komponen demografi yang dapat mempengaruhi perubahan penduduk. Informasi mengenai komponen demografi ini sangat diperlukan antara lain untuk proyeksi penduduk guna perencanaan pembangunan. Perubahan penduduk dipengaruhi oleh dua hal, yaitu melalui pertumbuhan alamiah dan migrasi netto. Pertumbuhan alamiah merupakan selisih antara jumlah kelahiran dengan jumlah kematian. Sementara migrasi neto merupakan selisih antara jumlah penduduk yang masuk dengan jumlah keluar ke suatu wilayah tertentu.

3.1.1.3 Kondisi Ekonomi Kondisi ekonomi kabupaten/kota yang termasuk dalam wilayah KBU adalah sebagai berikut:

64

1. Kota Bandung memiliki nilai PDRB terbesar di antara yang lain dengan didominasi oleh sektor tersier, khususnya jenis lapangan usaha

perdagangan/hotel/restoran yang memberi kontribusi terbesar. 2. Kabupaten Bandung memiliki nilai PDRB terbesar kedua setelah Kota Bandung dengan sektor sekunder sebagai unggulannya, khususnya jenis lapangan usaha industri yang memang merupakan kegiatan dominan di wilayah ini. 3. Kabupaten Bandung Barat (KBB) memiliki nilai PDRB yang jauh lebih rendah di bawah Kota Bandung dan Kabupaten Bandung. Sektor sekunder menjadi sektor dominan penyumbang kontribusi tertinggi, khususnya subsektor industri pengolahan. Meskipun wilayahnya paling luas jika dibandingkan dengan tiga kota/kabupaten lainnya, hasil dari kegiatan perekonomian di KBB belum mampu mencapai titik optimalnya mengingat wilayah ini baru berdiri pada tahun 2008. 4. Kota Cimahi memilki luas wilayah terkecil di antara tiga kabupaten/kota lainnya sehingga nilai PDRB yang diterimanya pun lebih kecil dibandingan yang lain. Besarnya nilai PDRB Kota cimahi mendapat banyak pengaruh dari sektor sekundernya, terutama industri pengolahan.

65

Tabel 3.4 Nilai PDRB Kota/Kabupaten di KBU Tahun 2009 Atas Dasar Harga Berlaku (Juta Rupiah) Nilai PDRB Tahun 2009 Atas Dasar Harga Berlaku (Juta Rupiah) Kab.Bandung Kota Bandung Kab.Bandung Kota Cimahi Barat 168.080,00 3.539.042,23 1.835.945,41 17.820,00 1.773.336,83 168.080,00 3.013.007,10 17.820,00 62.608,58 0,00 526.035,13 0,00 22.049.079,00 26.093.093,22 8.304.598,12 8.186.850,00 6.921.771,98 17.208.403,00 24.721.851,70 6.948.740,00 1.003.988,45 1.616.732,00 674.520,69 382.300,00 378.837,69 3.223.944,00 696.720,83 855.810,00 48.064.003,00 11.569.765,22 5.307.414,29 3.475.840,00

Jenis Lapangan Usaha

PRIMER Pertanian Pertambangan SEKUNDER Industri Listrik Gas dan Air Bangunan TERSIER Perdagangan/Hotel/ 3.041.115,57 Restoran 28.781.328,00 6.780.385,10 2.252.050,00 Pengangkutan/ 1.036.131,90 Telekomunikasi 8.272.059,00 1.795.161,77 204.920,00 Lembaga 413.541,07 Keuangan 4.402.111,00 820.502,95 264.990,00 Jasa-jasa 816.625,75 6.608.505,00 2.173.715,40 753.880,00 TOTAL 15.447.957,82 11.680.510,00 70.281.162,00 41.201.900,67 (Sumber: PDRB Kota Bandung 2010, PDRB Kab.Bandung 2010, PDRB Kab. Bandung Barat 2010, PDRB Kota Cimahi 2010)

3.1.2

Gambaran Umum Dinas Permukiman dan Perumahan Provinsi Jawa Barat Dinas Permukiman dan Perumahan Provinsi Jawa Barat merupakan salah

satu unsur Organisasi Pemerintah Daerah (OPD) Provinsi Jawa Barat yang mempunyai Tugas pokok melaksanakan urusan pemerintahan daerah bidang permukiman dan perumahan berdasarkan asas otonomi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, serta kebijakan teknis urusan bidang permukiman dan perumahan yang meliputi tata ruang kawasan, permukiman, perumahan, dan jasa konstruksi. Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 21 Tahun 2008 tentang

66

Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Provinsi Jawa Barat, Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor 061/01/Org tentang Singkatan Nomenklatur Organisasi Perangkat Daerah, serta Keputusan Guburnur Jawa Barat Nomor 821.27/Kep.1301-A/Peg.2008, maka Dinas Permukiman dan Perumahan

(DISKIMRUM) merupakan unsur dinas ke-Cipta Karya-an di Provinsi Jawa Barat yang sebelumnya bernama Dinas Tata Ruang dan Permukiman Provinsi Jawa Barat (DISTAKIM) Provinsi Jawa Barat. Dinas Permukiman dan Perumahan Provinsi Jawa Barat dalam menjalankan tugasnya mempunyai visi dan misi yaitu

Dengan Pelayanan Prima Dinas Permukiman Dan Perumahan Menjadi Andalan Menuju Terwujudnya Permukiman & Perumahan Yang Produktif, Harmonis Dan Berkelanjutan. Maksud dari penjelasan di atas adalah sebagai berikut: 1. Pelayanan Prima adalah Dinas Permukiman mengutamakan upaya untuk memberikan pelayanan yang prima dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya sebagai OPD bidang permukiman dan perumahan 2. Andalan adalah Dinas Permukiman dan Perumahan menjadi OPD utama dan unggulan dalam mewujudkan permukiman dan perumahan yang produktif, harmonis dan berkelanjutan 3. Produktif adalah mendorong pemenuhan perumahan dan permukiman sebagai sarana pendidikan keluarga, persemaian budaya dan pengembangan ekonomi dengan partisipasi penuh masyarakat menuju kemandirian 4. Harmonis adalah mendorong harmonisasi antar wilayah dan antar sektor, antar jenjang pemerintahan, antar daerah, dan antar pelaku pembangunan.

67

5. Berkelanjutan adalah mendukung pembangunan berwawasan lingkungan dan berbasis mitigasi bencana yang mengacu pada tata ruang dan budaya lokal Misi Dinas Permukiman dan Perumahan provinsi Jawa Barat adalah sebagai berikut: 1. Meningkatkan kinerja penataan ruang yang berkualitas dan implementatif 2. Meningkatkan ketersediaan dan kualitas prasarana dan sarana permukiman 3. Meningkatkan fasilitasi ketersediaan dan kualitas perumahan yang terjangkau 4. Meningkatkan kualitas dan tertib penyelenggaraan jasa konstruksi dan peningkatan uji mutu 5. Meningkatkan kinerja penyelenggaraan pemerintahan berbasis pemberdayaan, kemitraan dan kemandirian Dinas Permukiman dan Perumahan Provinsi Jawa Barat mempunyai tugas pokok dan fungsi adalah melaksanakan urusan pemerintahan daerah bidang permukiman dan perumahan berdasarkan asas otonomi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan sedangkan Fungsi Dinas Permukiman dan Perumahan Provinsi Jawa Barat:
1.

Perumusan dan penetapan kebijakan teknis urusan bidang permukiman dan perumahan;

2.

Penyelenggaraan urusan bidang permukiman dan perumahan yang meliputi tata ruang kawasan, permukiman, perumahan, dan jasa konstruksi;

3.

Penyelenggaraan pembinaan dan pelaksanaan tugas-tugas bidang permukiman dan perumahan yang meliputi tata ruang kawasan, permukiman, perumahan, dan jasa konstruksi;

68

4.

Penyelenggaraan koordinasi dan pembinaan UPTD; Dinas Permukiman dan Perumahan Provinsi Jawa Barat dalam mendukung

proses jalannya visi dan misi serta tugas pokok dan fungsinya, Diskimrum mempunyai struktur birokrasi sebagai berikut: Gambar 3.3 Struktur Organisasi Dinas Permukiman dan Perumahan Provinsi Jawa Barat

(Sumber: Diskimrum, 2013) Berdasarkan kepada struktur organisasi tersebut bahwa Diskimrum terdiri dari beberapa bidang yang mempunyai tugas pokok dan fungsi masing-masing, dimana bidang-bidang tersebut terdiri dari bidang tata ruang dan kawasan, bidang permukiman bidang perumahan, dan bidang jasa kontruksi yang dipimpin langsung oleh kepada dinas, selain itu kepala dinas juga mengepalai sekretarian yang terdiri dari sub bagian perencanaan dan program, sub bagian keuangan, dan

69

sub bagian kepegawaian dan umum, di dalam sekretariat tersebut juga terdapat bagian jabatan fungsional.

3.1.3

Gambaran

Umum

Dinas

Perumahan,

Penataan

Ruang

dan

Kebersihan Kabupaten Bandung Dinas Perumahan, Penataan Ruang dan Kebersihan Kabupaten Bandung adalah badan atau lembaga yang mempunyai wewenang dalam dalam pengurusan dan penataan permukiman atau pembangunan di Kabupaten Bandung, untuk memperoleh kinerja yang maksimal, Dinpertasih mempunyai visi dan misi, adapun visi Dinas Perumahan, Penataan Ruang dan Kebersihan adalah : Permukiman Yang Layak, Tertata Dan Berkelanjutan Tahun 2015 Diharapkan dengan terumuskannya visi Dinas Perumahan, Penataan Ruang dan Kebersihan Kabupaten Bandung tersebut, maka dapat menjadi motivasi seluruh elemen dinas untuk mewujudkannya, melalui peningkatan kinerja sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing. Penjelasan dari visi tersebut : a. Permukiman adalah tempat bermukim masyarakat baik di perkotaan maupun di perdesaan. b. Layak adalah permukiman perkotaan dan perdesaan yang mempunyai persyaratan kecukupan prasarana dan sarana permukiman sesuai dengan standar pelayanan minimal (SPM) sebagai tempat bermukim warganya c. Tertata adalah permukiman perkotaan dan perdesaan yang serasi, harmoni, saling menunjang dan mendukung

70

d. Berkelanjutan adalah permukiman perkotaan dan perdesaan yang asri, nyaman dan aman sebagai tempat bermukim warganya untuk jangka panjang Misi adalah rumusan umum mengenai upaya-upaya yang akan dilaksanakan dan diwujudkan agar tujuan dapat terlaksana dan berhasil dengan baik sesuai dengan visi yang telah ditetapkan. Berdasarkan Tugas Pokok dan Fungsi serta dilandasi oleh visi , maka misi Dinas Perumahan, Penataan Ruang dan Kebersihan Kabupaten Bandung 2015, dirumuskan dalam 6 ( enam ) misi sebagai berikut: 1. Meningkatkan kinerja penataan, pemanfaatan dan pengendalian ruang yang berkualitas dan implementatif 2. Meningkatkan kualitas sarana dan prasarana dasar lingkungan permukiman (yang bersifat khusus, tradisional, strategis, cagar), ruang publik, bangunan gedung, dan sarana prasarana kebersihan. 3. Meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan bencana kebakaran di lingkungan perumahan dan permukiman melalui peningkatan partisipasi masyakat. 4. Meningkatkan pembinaan dan pengendalian pembangunan perumahan dan permukiman, bangunan gedung serta sarana prasarana kebersihan. 5. Meningkatkan pembangunan dan pengelolaan air minum, air limbah, drainase permukiman dan persampahan melalui peningkatan peran serta masyarakat 6. Meningkatkan perbaikan kualitas perumahan dan permukiman melalui kegiatan perbaikan berbasis pada masyarakat dan kemitraan dengan swasta. 7. Meningkatkan pelayanan di bidang keciptakaryaan

71

Dinas Perumahan, Penataan Ruang dan Kebersihan Kabupaten Bandung, terdiri dari beberapa bagian sebagai berikut: 1. Bidang pengembangan kawasan a. Seksi pengembangan kawasan khusus; b. Seksi kerjasama pengembangan kawasan 2. Bidang pengembangan perumahan, membawahkan: a. Seksi pembangunan perumahan; b. Seksi pembinaan perumahan; c. Seksi pengembangan fasilitas umum. 3. Bidang penataan ruang membawahkan : a. Seksi perencanaan tata ruang; b. Seksi pemanfaatan ruang; c. Seksi pengendalian pemanfaatan ruang. 4. Bidang penataan dan pengendalian bangunan, membawahkan : a. Seksi pembangunan bangunan gedung; b. Seksi pembinaan teknis bangunan gedung; c. Seksi pengendalian bangunan. 5. Bidang permukiman, membawahkan : a. Seksi pembangunan; b. Seksi pembinaan teknis; c. Seksi pengembangan teknologi dan industri. 6. Bidang kebersihan, membawahkan : a. Seksi pelayanan kebersihan;

72

b. Seksi kerjasama pengelolaan persampahan; c. Seksi pengembangan sarana dan prasarana.

3.1.4

Gambaran Umum Dinas Pekerjaan Umum Kota Cimahi Dinas Pekerjaan Umum Kota Cimahi merupakan unsur pelaksana otonomi

daerah yang menyelenggarakan sebagian urusan pemerintahan daerah di bidang pekerjaan umum, penataan ruang dan perumahan. Dinas Pekerjaan Umum Kota Cimahi dipimpin oleh Kepala Dinas. Pada Dinas Pekerjaan Umum Kota Cimahi dapat dibentuk unit pelaksana teknis dinas untuk mlaksanakan sebagian kegiatan teknis operasional dan/atau kegiatan teknis penunjang yang mempunyai wilayah kerja. Dinas Pekerjaan Umum Kota Cimahi mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian urusan pemerintahan daerah di bidang pekerjaan umum, penataan ruang dan perumahan, sedangkan fungsi Dinas Pekerjaan Umum Kota Cimahi, sebagai berikut: 1. Perumusan kebijakan teknis bidang pekerjaan umum, penataan ruang dan perumahan 2. Penyelenggaraan sebagian urusan pemerintahan dan pelayanan umum di bidang pekerjaan umum, penataan ruang dan perumahan 3. Pembinaan dan pelaksanaan tugas di bidang pekerjaan umum, penataan ruang dan perumahan, meliputi tata ruang, bina marga, perumahan dan gedung 4. Pelaksanaan urusan kesekretariatan 5. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh walikota sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.

73

Dinas Pekerjaan Umum Kota Cimahi mempunyai susunan organisasi sebagai berikut: 1. Kepala Dinas 2. Sekretariat, membawahi: a. Sub bagian program dan pelaporan b. Sub bagian keuangan c. Sub bagian umum dan kepegawaian 3. Bidang Tata Ruang, membawahi: a. Sub bagian perencanaan tata ruang b. Sub bagian pemanfaatan pengendalian tata ruang 4. Bidang Bina Marga, membawahi: a. Sub bagian perencanaan jalan dan jembatan b. Seksi jalan dan jembatan c. Seksi pengendalian dan pengawasan 5. Bidang Perumahan dan Gedung, membawahi: a. Seksi perencanaan dan pembangunan perumahan dan gedung b. Seksi pengendalian dan pengawasan 6. Unit Pelaksana Teknis 7. Kelompok Jabatan Fungsional

3.1.5

Gambaran Umum Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kabupaten Bandung Barat Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kabupaten Bandung Barat mempunyai

wewenang dan tugas pokok memberikan pelayanan dalam bidang penataan ruang

74

dan pembangunan di Kabupaten Bandung barat dipimpin oleh seorang Kepala Dinas Kepala Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang membawahkan:

a. Sekretariat, membawahkan: 1. Sub Bagian Penyusunan Program 2. Sub Bagian Umum dan Kepegawaian 3. Sub Bagian Keuangan b.Kelompok Jabatan Fungsional c. Bidang Perumahan d. Bidang Prasarana dan Permukiman e. Bidang Tata Ruang f. Bidang Penataan dan Pengendalian Bangunan g. UPTD Pemadam Kebakaran h. UPTD Pemakaman dan Pertamanan i. UPTD Kebersihan

3.1.6

Gambaran Umum Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Bandung Dinas Tata Kota dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah (Perda)

Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung Nomor 12/PD/1980. Perda ini kemudian direvisi oleh Perda Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung Nomor 8 Tahun 1997 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung yang kemudian direvisi untuk terakhir kalinya oleh Perda Kota Bandung Nomor 5 tahun 2001 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja

75

Dinas Daerah Kota Bandung. Dinas Tata Kota merupakan pecahan dari biro pembangunan pada Ekbangpal (ekonomi, pembangunan dan peralatan) yang dibentuk pada tahun 1973 sebagai pengganti Biro Planologi. Biro Planologi sendiri dibentuk pada tahun 1970 sebagai pengganti dari Dinas Perencanaan dan Pembangunan Kota (DPPK). DPPK dibentuk pada tahun 1965 yang merupakan pengembangan dari Seksi Perencanaan dan Gambar pada Dinas PU. Dinas PU sendiri merupakan pecahan dari Djawatan Teknik yang dalam perkembangannya dipecah menjadi Dinas PU, Dinas Kebakaran dan Kebersihan Kota (DK3). Dinas Tata Kota mempunyai fungsi: pertama, merumuskan kebijakan teknis bidang tata ruang kota, kedua, melaksanakan tugas operaasional bidang tata kota yang meliputi survey dan pemetaan, perencanaan tata ruang kota dan perizinan pemanfaatan ruang kota, dan ketiga, melaksanakan pelayanan teknis administratif meliputi administrasi umum dan keuangan serta administrasi kepegawaian dinas. Tugas pokok dari cipta karya dan tata ruang Kota Bandung memberikan pelayanan kepada masyarakat, swasta dan pemerintah dalam hal-hal sebagai berikut: 1. Pemberian informasi rencana kota; 2. Survey dan perencanaan trase jalur jalan, jembatan, saluran dan utilitas; 3. Cetak ulang peta; 4. Pengukuran situasi tanah; 5. Pematokan untuk penerapan rencana kota;

76

6. Penetapan lokasi penggunaan tanah bagi rencana pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah; 7. Pemberian Izin Lokasi 8. Pemberian Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT) Visi Dinas cipta karya dan tata ruang Kota Bandung adalah" Terwujudnya Tata Ruang Kota yang Bermartabat". Visi ini ditetapkan sebagai upaya mendukung perwujudan visi Kota Bandung sebagai Kota Jasa yang Bermartabat (Bersih, Makmur, Taat dan Bersahabat). Misi yang akan dilaksanakan meliputi: 1. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Misi ini memiliki makna bahwa dalam rangka mewujudkan pelayanan prima kepada masyarakat, diperlukan aparatur yang memiliki kompetensi serta dapat mengakses dan menyesuaikan dengan perkembangan teknologi. 2. Meningkatkan prasarana dan sarana kerja aparatur. Misi ini memiliki makna bahwa dalam rangka mewujudkan pelayanan prima kepada masyarakat, diperlukan fasilitas yang sesuai dengan dinamika perkembangan kota. 3. Meningkatkan kualitas manajemen data. Misi ini memiliki makna bahwa dalam rangka menyusun rencana kota dan mengendalikannya harus didukung dengan data dan analisis yang baik. 4. Mengembangkan manajemen perencanaan kota. Misi ini memiliki makna bahwa rencana kota harus disusun secara antisipatif, transparan, akuntabel dan implementatif. Antisipatif berarti bahwa rencana yang disusun harus dapat mengantisipasi permasalahan yang diperkirakan akan terjadi. Transparan berarti bahwa rencana kota harus dapat diakses oleh seluruh warga

77

masyarakat. Akuntabel berarti bahwa rencana kota harus dapat dipertanggung jawabkan baik secara teknis maupun sosial. Implementatif berarti bahwa rencana kota harus dapat dilaksanakan. 5. Mengembangkan sistem pengendalian pemanfaatan ruang kota. Misi ini memiliki makna bahwa untuk mewujudkan tujuan dari rencana tata ruang kota, perlu didukung dengan sistem pelayanan administratif yang mudah dipahami dan diakses oleh masyarakat sebagai suatu sistem pengendalian pemanfaatan ruang kota.

3.1.7

Gambaran Umum Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 Tentang

Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara merupakan suatu peraturan yang mengatur pengendalian pemanfaatan ruang di Kawasan Bandung Utara (KBU) yang meliputi ketentuan pemanfaatan ruang di KBU, perizinan, pengawasan, pemberian insentif dan disinsentif, penertiban, dan pengenaan sanksi yang dilakukan berdasarkan asas manfaat, keseimbangan, keserasian,

keterpaduan, kelestarian, keadilan, dan peran serta masyarakat. Kawasan Bandung Utara yang selanjutnya disebut KBU adalah kawasan yang meliputi sebagian wilayah Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat dengan di sebelah utara dan timur dibatasi oleh punggung topografi yang menghubungkan puncak Gunung Burangrang, Masigit, Gedongan, Sunda, Tangkubanparahu dan Manglayang, sedangkan di sebelah barat dan

78

selatan dibatasi oleh garis (kontur) 750 m di atas permukaan laut (dpl) yang secara geografis terletak antara 107 27 - 107 Bujur Timur, 6 44 - 6 56 Lintang Selatan. Tujuan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara adalah mewujudkan keseimbangan pemanfaatan ruang di KBU untuk menjamin pembangunan yang berkelanjutan, mewujudkan peningkatan fungsi lindung terhadap tanah, air, udara, flora dan fauna, dan mengendalikan dan membatasi pembangunan guna mempertahankan fungsi hidrologis pada lahan dengan kondisi normal dan baik, serta memiliki keterbatasan luas. Sasaran Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara berdasarkan Perda No. 1 Tahun 2008 adalah perkuatan peran dan fungsi Pemerintah Kabupaten/Kota di wilayah KBU dalam pengendalian perkembangan KBU, terwujudnya penataan,

perlindungan dan keberlangsungan fungsi konservasi air, tanah, flora dan fauna di KBU serta memulihkan daur karbon dan iklim mikro, berfungsinya KBU sebagai daerah tangkapan air, peresap dan pengalir air bagi daerah bawahannya dan terkendalinya perubahan bentuk permukaan dan tutupan tanah. Pengaturan mengenai Pengendalian Pemanfaatan Ruang di KBU dalam Perda No. 1 Tahun 2008 ini merupakan dasar bagi pengaturan pemanfaatan ruang di KBU, penetapan perizinan, penyusunan evaluasi terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung Barat dan pemberian hak atas tanah yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang. Arah kebijakan pengendalian pemanfaatan ruang KBU berdasarkan Perda No.1 Tahun 2008 adalah memulihkan dan menanggulangi lahan dengan kondisi

79

fungsi hidroorologis kritis dan sangat kritis, mencegah meningkatnya kekritisan fungsi hidroorologis pada lahan dengan kondisi mulai kritis dan agak kritis, mengendalikan dan membatasi pembangunan guna mempertahankan fungsi hidroorologis pada lahan dengan kondisi normal dan baik, serta memiliki keterbatasan luas. Pola pemanfaatan ruang di KBU seperti dijelaskan dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara, meliputi pemanfataan ruang di Kawasan Lindung dan pemanfaatan ruang di Kawasan Budidaya. Pemanfaatan ruang di Kawasan Lindung meliputi, pertama, kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya, yang meliputi, hutan lindung yang terletak di Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Bandung Utara, kawasan berfungsi lindung di luar hutan lindung, kawasan resapan air. Kedua, kawasan perlindungan setempat yang meliputi sempadan sungai dan kawasan sekitar mata air. Ketiga, kawasan pelestarian alam, yaitu taman hutan raya Ir. H. Djuanda yang terletak di Kota Bandung, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat serta Taman Wisata Alam Tangkubanperahu yang terletak di Kabupaten Bandung Barat. Keempat, kawasan suaka alam, yaitu Cagar Alam

Tangkubanperahu yang terletak di Kabupaten Bandung Barat. Kelima, kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan, yaitu Observatorium Bosscha, yang terletak di Kabupaten Bandung Barat. Keenam, kawasan rawan bencana alam geologi, yang meliputi, kawasan rawan bencana gunung api, kawasan rawan gerakan tanah, kawasan rawan gempa bumi, yaitu Sesar Lembang. Pola pemanfaatan

80

ruang kawasan budidaya, meliputi, kawasan budidaya pertanian dan kawasan budidaya permukiman, yang meliputi, kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan. Dalam memberikan izin pengembangan kawasan dan/atau pembangunan bangunan di KBU, harus menerapkan rekayasa teknik dan/atau eko arsitektur dan/atau rekayasa vegetatif, untuk menghindari penurunan kapasitas penyerapan air ke dalam tanah dan meminimalkan potensi bencana kelongsoran tanah, Izin pemanfaatan ruang di KBU diterbitkan oleh Bupati/Walikota, Sebelum Bupati/Walikota menerbitkan izin pemanfaatan ruang di KBU perlu mendapat rekomendasi dari Gubernur dan Proses pemberian rekomendasi dari Gubernur sebagaimana dilakukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan yang telah dilengkapi dengan persyaratan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemerintah Daerah memberikan insentif dan disinsentif terhadap kinerja Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengendalian pemanfaatan ruang KBU dan kepada masyaraka dan/atau kelompok masyarakat yang melaksanakan peran aktif dalam pengendalian pemanfaatan ruang di KBU. Di KBU Setiap orang dilarang mendirikan bangunan di KBU tanpa izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, mengubah fungsi pemanfaatan ruang di kawasan lindung. melakukan alih fungsi lahan pertanian beririgasi teknis, dan melakukan kegiatan pertambangan tanpa izin. Pengawasan terhadap pemanfaatan ruang di KBU diselenggarakan melalui kegiatan pemantauan, evaluasi dan pelaporan. Penertiban terhadap pemanfaatan ruang dilaksanakan oleh Gubernur dan Bupati/Walikota sesuai kewenangannya.

81

Penertiban terhadap pelanggaran pemanfaatan ruang di KBU dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan Satuan Polisi Pamong Praja di lingkungan Pemerintah Daerah, berkoordinasi dengan Pemerintah

Kabupaten/Kota setempat. Pemberina sanksi dilakukan terhadap penyimpangan dalam pemanfaatan ruang KBU. Sanksi yang diberikan bisa berupa sanksi administrasi maupun sanksi pidana.

3.1.8

Gambaran Umum Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU KBU merupakan kawasan yang perlu mendapat perhatian khusus

mengingat perannya yang sangat penting bagi kelangsungan hidup masyarakat Kota Bandung dan sekitarnya. Untuk itu dilakukan pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan ini. Kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang KBU saat ini dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota yang juga dibantu oleh pemerintah provinsi mengingat wilayahnya yang tersebar di empat kabupaten/kota. Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan dengan mengacu pada Perda No. 1 Tahun 2008 dan Pergub No. 21 Tahun 2009. Berdasarkan pada hasil evaluasi pemanfaatan ruang, baik yang menyangkut evaluasi fungsi konservasi, pemanfaatan ruang sekarang, produk rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota, maka dalam konteks pengendalian pemanfaatan ruang dapat direkomendasikan : 1. Kebijakan pengendalian pemanfaatan ruang 2. Penanganan teknis operasional.

82

Kebijakan pengendalian pemanfaatan ruang di Kawasan Bandung utara berdasarkan hasil evaluasi terhadap fungsi konservasi pada dasarnya diarahkan upaya untuk melindungi kawasan konservasi potensial yang tergolong sangat tinggi dan tinggi (mencakup 87 % dari luasan KBU). Kebijakan ini mencakup : 1. Mempertahankan kawasan berfungsi konservasi potensial sangat tinggi dan tinggi, dengan kondisi baik/normal 2. Memulihkan kawasan berfungsi konservasi sangat tinggi dan tinggi, dengan kondisi mulai kritis dan agak kritis 3. Mengendalikan/membatasi pembangunan pada kawasan berfungsi konservasi potensial sangat tinggi dan tinggi, dengan kondisi kritis dan sangat kritis. Kebijakan ini akan menjadi landasan bagi upaya-upaya pengendalian pemanfaatan ruang dengan prioritas pada kawasan konservasi potensial sangat tinggi dan tinggi : 1. Penetapan Koefisien Wilayah Terbangun (KWT atau Koefisian Dasar Bangunan/KDB Wilayah) maksimum pada kawasan yang belum terbangun 2. Evaluasi/revisi RTRW Kabupaten/Kota (penyesuaian rencana pemanfaatan ruang). a. Persyaratan teknis pembangunan kawasan atau rekayasa teknis untuk menjamin fungsi konservasi tetap dapat dipertahankan (sumur resapan, penanaman vegetasi sesuai dengan kaidah konservasi, dan penerapan ecoarchitecture). Berdasarkan kebijakan umum pengendalian pemanfaatan ruang,

selanjutnya dapat dirumuskan rekomendasi penanganan teknis operasional yang

83

menyangkut

penertiban

pemanfaatan

ruang

(perijinan

lokasi

kegiatan),

pemenuhan persyaratan teknis pembangunan kawasan serta sosialisasi penanaman vegetasi yang memperhatikan kaidah-kaidah konservasi. Rekomendasi

pengendalian pemanfaatan ruang ini dilakukan pada tiapa kecamatan yang tercakup dalam Kawasan Bandung Utara menurut unit desa/kelurahan sehingga diharapkan dapat lebih operasional.

3.2

Metode Penelitian

3.2.1 Desain Penelitian Metode penelitian yang digunakan peneliti adalah metode penelitian deskriptif, karena peneliti disini menggambarkan serta memaparkan secara menyeluruh keadaan, kondisi dan peristiwa dari obyek kajian peneliti yaitu mengenai Implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara, kemudian peneliti memberikan analisa terhadap hasil penelitian berdasarkan datadata obyektif dilapangan yang disusun secara sistematis.

3.2.2 Teknik Pengumpulan Data 3.2.2.1 Studi Pustaka Studi Pustaka yang dilakukan peneliti yaitu dengan cara menelaah, membaca, mencari serta membandingkan berbagai sumber kepustaan yang bersifat teoritis seperti buku-buku, jurnal, penelitian-penelitian terdahulu, majalah, surat kabar dan kajian elektronik yang berhubungan dengan

84

Implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara serta dokumenter, yaitu berupa format pencatatan dokumen dan modul yang tersedia di instansi-instansi pemerintahan yang menjadi obyek kajian penelitian.

3.2.2.2 Studi Lapangan Studi Lapangan yang dilakukan peneliti adalah dengan cara mengamati secara langsung ke lapangan untuk mengetahui fenomena atau peristiwa yang sedang terjadi mengenai Implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara. Studi lapangan ini terdiri dari: a. Observasi non partisipan, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara peneliti berada di luar subjek yang diteliti dan tidak ikut dalam kegiatankegiatan yang mereka lakukan, sehingga peneliti dapat lebih mudah mengamati tentang data dan informasi yang diharapkan. Peneliti disini tidak ikut secara langsung dalam proses pengendalian pemanfaatan ruang KBU. b. Wawancara, wawancara yang dilakukan oleh peneliti adalah wawancara terbuka peneliti dalam hal ini melakukan tanya jawab dengan informan yang mengetahui dan memahami mengenai Implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara tanpa

85

menentukan pilihan jawaban terlebih dahulu. Informan ini berasal dari aparatur maupun masyarakat KBU.

3.2.3 Teknik Penentuan Informan Penentuan informan dalam penelitian ini dilakukan secara purposive yaitu dengan menentukan informan berdasarkan kriteria-kriteria tertentu yang sesuai dengan kebutuhan peneliti untuk mendapatkan data yang obyektif. Penentuan informan secara purposive ini dilakukan baik kepada aparatur maupun kepada masyarakat. Informan aparatur terdiri dari 1 (satu) Kepala Bidang di Dinas Pekerjaan Umum Kota Cimahi, 1 (satu) Kepala Bidang Dinas Perumahan, Penataan Ruang dan Kebersihan Kabupaten Bandung, 1 (satu) Kepala Bidang Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Bandung, 1 (satu) Kepala Seksi Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kabupaten Bandung Barat, 1 (satu) Kepala Seksi Dinas Permukiman dan Perumahan Provinsi Jawa Barat, 1 (satu) Bagian Fungsional Umum Diskimrum, 1 (satu) Bagian Fungsional Umum KPPT Kota Cimahi, 1 (satu) Bagian Fungsional Umum Dinas Perumahan, Penataan Ruang dan Kebersihan Kabupaten Bandung, 1 (satu) Bagian Fungsional Umum Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kabupaten Bandung Barat, 1 (satu) Tim Teknis Dikimrum, 1 (satu) Staff Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Bandung dan 5 (lima) Camat dengan kriteria-kriteria tertentu yang telah peneliti rumuskan sebelumnya. Peneliti memilih Kepala Bidang dengan kriteria mempunyai kewenangan penuh secara umum baik aparatur maupun pelaksanaan peraturan tentang

86

pemanfaatan ruang di daerah, kredibilitas, informasi yang dibutuhkan serta masa jabatan. Kepala Seksi seperti melihat kepada informasi yang ingin didapat, kewenangannya dalam proses pemanfaatan ruang KBU, masa jabatan dan kredibilas dari aparatur. Kepala Seksi dipilih karena mempunyai kewenangan secara khusus dalam mengatur bagiannya sendiri dan kredibilitas yang diperhitungkan. Bagian Fungsional Umum dipilih karena mempunyai pemahaman yang lebih mengenai baik peraturan maupun teknis mengenai pemanfaatan ruang. Tim teknis dipilih karena mempunyai pemahaman pelaksanaan pemanfaatan ruang selama dilapangan dan Camat karena mempunyai kewenangan umum dalam memberikan izin pelaksanaan pemanfaatan ruang. Peneliti dalam memilih informan masyarakat dengan memperhatikan kriteria-kriteria seperti masyarakat yang sedang melakukan proses perizinan di KBU baik itu tentang izin lokasi, IPPT, IMB, maupun izin perancanaan, masyarakat yang mendukung pelaksanaan Perda KBU serta masyarakat yang saat peneliti ke lapangan sedang mengolah lahan yang diteliti seperti melakukan pembangunan terkait dengan lahan di KBU. Masyarakat yang dijadikan informan dalam penelitian ini terdiri dari 10 (sepuluh) orang yang diambil dari masingmasing daerah di KBU.

3.2.4 Teknis Analisa Data Teknik analisa data yang sesuai dengan penelitian ini adalah analisis deskriptif kualitatif, yaitu teknik analisis data yang meliputi reduksi data, penyajian data dan menarik kesimpulan. Reduksi data dilakukan dengan cara

87

proses pemilihan, penyederhanaan terhadap data kasar dari hasil penggunaan teknik dan alat pengumpulan data di lapangan. Reduksi data dilaksanakan secara bertahap dengan cara membuat ringkasan data dan menelusuri tema yang tersebar. Setiap data yang dipilih disilang melalui komentar dari informasi yang berbeda untuk menggali informasi dalam wawancara dan observasi. Masyarakat merupakan informan lain yang peneliti butuhkan untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Penyajian data merupakan upaya penyusunan sekumpulan informasi menjadi pernyataan. Data kualitatif disajikan dalam bentuk teks yang tersusun secara sistematis yang pada mulanya terpencar dan terpisah dari berbagai sumber informasi, kemudian data diklasifikasikan menurut pokok-pokok permasalahan yang terkait dengan Implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara. Proses terakhir dari teknik analisis data adalah menarik kesimpulan. Penarikan kesimpulan yang peneliti lakukan berdasarkan data yang telah diolah hasil reduksi, interpelasi, dan penyajian data yang telah dilakukan pada setiap tahap sebelumnya selaras dengan mekanisme logika pemikiran deduktif yaitu penarikan kesimpulan dari hal-hal yang umum kepada rumusan kesimpulan yang bersifat khusus terkait dengan Implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara.

88

3.2.5 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi yang dijadikan sebagai obyek penelitian terkait dengan Implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara instansiinstansi pemerintahan dan LSM yang berkaitan dalam proses pengendalian pemanfaatan ruang KBU seperti DISKIMRUM Provinsi Jawa Barat, Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Provinsi Jawa Barat, Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kota Bandung, Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Kota Cimahi, Badan Penanaman Modal dan Perizinan Kabupaten Bandung, Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Bandung Barat, Dinas Pekerjaan Umum Kota Cimahi, Dinas Perumahan, Tata Ruang dan Kebersihan Kabupaten Bandung, Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kabupaten Bandung Barat, Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Bandung, Kecamata di Wilayah KBU serta Kelurahan dan Kantor Desa di KBU

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara merupakan suatu peraturan yang mengatur bagaimana proses pengendalian pemanfaatan ruang di Kawasan Bandung Utara yang dilakukan berdasarkan asas manfaat, keseimbangan, keserasian, keterpaduan, kelestarian, keadilan, dan peran serta masyarakat. Kawasan Bandung Utara yang selanjutnya disebut KBU adalah kawasan yang meliputi sebagian wilayah Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat. Pemanfaatan ruang disini berkaitan dengan serangkaian program kegiatan pelaksanaan pembangunan yang

memanfaatkan ruang menurut jangka waktu yang ditetapkan didalam rencana tata ruang. Pola pemanfaatan ruang di KBU seperti dijelaskan dalam Perda tersebut, meliputi pemanfataan ruang di Kawasan Lindung dan pemanfaatan ruang di Kawasan Budidaya. Pemanfaatan ruang di Kawasan Lindung meliputi, pertama, kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya, yang meliputi, hutan lindung yang terletak di Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Bandung Utara, kawasan berfungsi lindung di luar hutan lindung dan kawasan resapan air. Kedua, kawasan perlindungan setempat yang meliputi sempadan sungai dan kawasan sekitar mata air. Ketiga, kawasan pelestarian alam, yaitu taman hutan raya Ir. H. Djuanda yang terletak di Kota Bandung, Kabupaten Bandung dan Kabupaten

90

91

Bandung Barat serta Taman Wisata Alam Tangkubanperahu yang terletak di Kabupaten Bandung Barat. Keempat, kawasan suaka alam, yaitu Cagar Alam Tangkubanperahu yang terletak di Kabupaten Bandung Barat. Kelima, kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan, yaitu Observatorium Bosscha, yang terletak di Kabupaten Bandung Barat. Keenam, kawasan rawan bencana alam geologi, yang meliputi, kawasan rawan bencana gunung api, kawasan rawan gerakan tanah, kawasan rawan gempa bumi, yaitu Sesar Lembang. Pola pemanfaatan ruang kawasan budidaya, meliputi, kawasan budidaya pertanian dan kawasan budidaya permukiman, yang meliputi, kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan. Berdasarkan hal tersebut, maka pengendalian pemanfaatan ruang KBU merupakan suatu upaya mencegah terjadinya penyimpangan terhadap setiap kegiatan pembangunan di KBU dan bagaimana cara menertibkan terhadap penyimpangan pemanfaatan ruang yang telah terjadi di KBU dengan arah kebijakan untuk memulihkan dan menanggulangi lahan dengan kondisi fungsi hidroorologis kritis dan sangat kritis, mencegah meningkatnya kekritisan fungsi hidroorologis pada lahan dengan kondisi mulai kritis dan agak kritis, mengendalikan dan membatasi pembangunan guna mempertahankan fungsi hidroorologis pada lahan dengan kondisi normal dan baik, serta memiliki keterbatasan luas. Seiring dengan perjelasan tersebut, pada prakteknya pelaksanaan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara belum berjalan sebagaimana mestinya. Ketentuanketentuan yang terdapat dalam perda tersebut belum dapat dijalankan dengan

92

sepenuhnya dikarekan oleh berbagai faktor yang mempengaruhinya. Pertama, melihat kondisi KBU sebagai daerah yang padat akan penduduk. Semakin padat suatu daerah akan aktivitas penduduk maka semakin banyak proses pembangunan baik itu berkaitan dengan permukiman, obyek wisata, perkebunan atau fasilitas publik lainnya. Kedua, penerapan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara dilaksanakan setelah pembangunan-pembangunan itu ada, oleh karena itu dalam hal ini Pemerintah baik Provinsi maupun Kab/Kota menjadi bimbang, karena harus mentaati peraturan yang berlaku, namun di sisi lain pemerintah juga memperhatikan aspekaspek lainnya seperti hak asasi manusia atau hak-hak masyarakat. Misalnya setelah ditetapkannya Perda ini banyak pembangunan-pembangunan yang menyalahi aturan atau menyimpang dari ketentuan yang berlaku, di dalam Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU apabila pembangunan tersebut menyalahi aturan akan diberikan konsekuensi yaitu mulai dari teguran, pencabutan izin sampai penghancuran bangunan. Ketiga, KBU merupakan daerah pemasok APBD tinggi, mengapa demikian, melihat kepada sebagian besar wilayah KBU sebagai pusat kota dan obyek wisata. Dalam hal ini berdasarkan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU, pembangunan di KBU harus dikendalikan bahkan dihentikan karena untuk mengembalikan keadaan fungsi hidroologis namun di sisi lain pembangunan ini tidak dapat dihentikan

93

karena dapat mengurangi pemasukan APBD, seperti pembangunan-pembangunan hotel, tempat makan dan fasilitas publik lainnya yang dapat menambah APBD, oleh karena itu pembangunan-pembangunan ini tidak dapat dihentikan namun harus dikendalikan sedemikian rupa. Keempat, permasalahan terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhi aparatur dalam menjalankan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU yang meliputi proses penyampaian komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi. Permasalahan ini untuk lebih jelasnya akan dijelaskan sebagai berikut:

4.1 Komunikasi dalam Kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU Permasalahan pertama yang mempengaruhi belum berjalannya

implementasi kebijakan Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU adalah berkaitan dengan komunikasi. Komunikasi merupakan salah satu faktor yang sangat penting dan berpengaruh dalam terciptanya suatu efiensi kerja. Terwujudnya suatu komunikasi yang baik antara pemerintah dengan pemerintah maupun pemerintah dengan masyarakat akan mewujudkan adanya hubungan yang sinergis dan terhindar dari kesalahpahaman atau miss komunikasi sehingga tujuan yang telah dirumuskan dapat tercapai. Komunikasi dikonsepsikan sebagai proses penyampaian pesan dari seseorang kepada orang lain atau pemberian pesan dari sumber kepada penerima. Komunikasi dilihat sebagai proses linear yang menggambarkan adanya proses

94

pemindahan sesuatu yang kongkret dari suatu tempat ketempat lain. Pesan-pesan dalam berkomunikasi dianggap sebagai suatu yang konkrit dan relatif bersifat tetap, sehingga ketika dipindahkan akan tetap dengan jumlah yang sama dan relatif bersifat tetap. Komunikasi dalam kebijakan Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU diwujudkan dalam suatu penyampaian berupa informasi mengenai apa itu Perda KBU beserta isi, kenapa KBU harus dikendalikan serta bagaimana tata cara, prosedur dan ketentuanketentuan mengenai pemanfaatan ruang di KBU yang meliputi Kota Cimahi, Kota Bandung, Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Bandung yang disampaikan melalui media baik secara langsung maupun tidak langsung. Proses komunikasi dalam pelaksanaan kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU, berdasarkan mekanisme yang telah ditetapkan terdiri dari transmission (penyampaian informasi), clarity (kejelasan), dan consistency (konsisten). Mekanisme yang digunakan dalam komunikasi kebijakan oleh aparatur Provinsi dan Kab/Kota apabila dijalankan dengan baik maka akan membawa perubahan pada akselerasi pelaksanaan kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU. Komunikasi dalam implementasi kebijakan Perda Jabar No. 1/2008 masih belum berjalan secara optimal baik itu di dinas Provinsi maupun di Kab/Kota yang mempunyai wewenang dalam proses pengaturan pengendalian pemanfaatan ruang di KBU,untuk lebih jelasnya sebagai berikut:

95

4.1.1 Transmisi dalam Kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU Transmisi merupakan suatu penyampaian informasi dari pihak satu ke pihak lainnya. Penyampaian informasi disini adalah cara aparatur dalam menyampaikan informasi mengenai pemanfaatan ruang di KBU kepada masyarakat. Penyampaian informasi ini harus dilakukan dengan baik untuk menghasilkan suatu pelaksanaan kebijakan yang optimal. Penyampaian informasi tentunya tidak selalu berjalan dengan baik seringkali terjadi masalah dalam penyampaian informasi seperti adanya salah pengertian atau kesalahpahaman yang disebabkan oleh human error atau faktor lainnya seperti banyaknya tingkatan birokrasi yang harus dilalui dalam proses penyampaian informasi. Proses penyampaian informasi mengenai Perda Jabar No. 1/2008 dilakukan dengan cara beberapa hal yaitu sosialisasi, penyebaran brosur, papan informasi, reklame, maupun media internet tergantung kepada masing-masing wewenang yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Penyampaian informasi ini dilakukan oleh aparatur baik aparatur Provinsi maupun aparatur Kab/Kota kepada masyarakat maupun aparatur yang berada dibawahnya. Maksud Provinsi disini yaitu Dinas Permukiman dan Perumahan Provinsi Jawa Barat, dan tingkat Kab/Kota seperti di Kota Bandung adalah Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Bandung, untuk di Kabupaten Bandung adalah Dinas Perumahan, Penataan Ruang dan Kebersihan Kabupaten Bandung, untuk di Kota Cimahi adalah Dinas Pekerjaan Umum Kota Cimahi, dan untuk di Kabupaten Bandung Barat adalah Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kabupaten Bandung Barat. Tujuan yang

96

direncanakan provinsi dan Kab/Kota dalam proses penyampaian informasi adalah untuk memberikan pengetahuan, pemahaman serta pelayanan yang prima kepada masyarakat akan tata cara dan prosedur proses pengendalian pemanfaatan ruang KBU, oleh karena itu dibutuhkan suatu penyampaian informasi yang jelas, mudah dimengerti dan mudah dipahami agar masyarakat yang menerimanya bisa mudah mengerti dan paham akan maksud dari kebijakan tersebut. Penyampaian informasi pertama mengenai kebijakan Perda Jabar No. 1/2008 dilaksanakan melalui sosialisasi. Sosialisasi disini adalah suatu penyampaian informasi melalui proses penyuluhan kepada masyarakat untuk memberitahukan akan adanya perubahan dalam suatu aturan. Sosialisasi dilakukan oleh aparatur baik oleh aparatur Provinsi maupun oleh aparatur Kab/Kota dalam jangka waktu tertentu tergantung kepada keperluan masyarakat serta adanya permasalahan terhadap pelaksanaan Perda KBU tersebut, seperti hasil wawancara dengan aparatur Dinas Pekerjaan Umum Kota Cimahi bahwa sosialisasi ini dilaksanakan tidak secara rutin, hal ini disesuaikan dengan anggaran yang tersedia (1/062013). Berdasarkan hal tersebut maka sosialisasi ini tidak tentu jadwalnya terkadang dalam setahun hanya dilakukan satu kali, dua kali atau bahkan tidak sama sekali tergantung kepada dana yang tersedia. Padahal sosialisasi ini sangat penting adanya agar masyarakat dapat paham dan mengerti akan bagaimana pemanfaatan ruang di KBU yang baik dan benar. Setiap daerah mempunyai kewenangan masing-masing untuk

melaksanakan proses penyampaian informasi mengenai Perda KBU ini, diantara 4 (empat) wilayah yang termasuk di KBU, terdapat satu wilayah yang berbeda yaitu

97

wilayah Kabupaten Bandung Barat. Kabupaten Bandung Barat berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu aparatur Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kabupaten Bandung Barat bahwa Kabupaten Bandung Barat berbeda dengan daerah lainnya yang termasuk dalam KBU Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kabupaten Bandung Barat tidak memiliki wewenang yang besar, kami disini hanya berwenang dalam pembuatan site plan saja, yang lainya diserahkan kepada Bappeda(21/062013). Berdasarkan wawancara tersebut maka proses pemberian informasi mengenai Perda KBU ini dilaksanakan oleh Bappeda, Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kabupaten Bandung Barat hanya berwenang dalam pembuatan site plan saja untuk aturan-aturan lainnya mengenai proses pemanfaatan ruang di daerah Kabupaten Bandung Barat diserahkan kepada Bappeda. Site plan merupakan suatu gambar atau sketsa mengenai daerah dengan lahan yang hendak dibangun, oleh karena itu yang lebih berwenang dalam proses penyampaian informasi mengenai tata cara dan prosedur pemanfaatan ruang adalah Bappeda, namun demikian dalam hal ini masyarakat belum mengetahui dan seringkali masyarakat kebingungan dalam proses pemanfaatan ruang. Berbeda dengan Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi, Kota Bandung dan Kabupaten Bandung mempunyai kewenangan dalam proses pemanfaatan ruang tidak hanya dalam pembuatan Site plan, tetapi dalam hal penyampaian informasi mengenai tata cara dan prosedur mengenai pemanfaatan ruangpun mereka mempunyai wewenang, walaupun mereka tidak mempunyai kewenangan penuh akan proses

98

pemanfaatan ruang. Kewenangan yang lainnya berada pada Bappeda untuk proses peninjauan maupun evaluasi akan pemanfaatan ruang. Sosialisasi baik yang dilakukan oleh Dinas Perumahan, Penataan Ruang dan Kebersihan Kabupaten Bandung, Dinas Pekerjaan Umum Kota Cimahi maupun Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Bandung dilaksanakan dengan cara penyuluhan kepada masyarakat serta rapat koordinasi antar aparatur. Penyuluhan kepada masyarakat ini berisi pengetahuan dan pemahaman mengenai Perda KBU yang meliputi tata cara dan prosedur dalam pemanfaatan ruang, persyaratan apa saja dalam pemanfaatan ruang, larangan dan sanksi apa saja apabila ada yang melanggar mengenai ketentuan dalam Perda KBU. Sosialisasi ini melalui beberapa tingkatan sebelum sampai kepada masyarakat yaitu mulai dari Pemerintah Provinsi kepada Pemerintah Kab/Kota kemudian dari Pemerintah Kab/Kota kepada Kecamatan lalu kepada Pemerintah Desa lalu kepada masyarakat, namun demikian terkadang sosialisasi itu langsung dilaksanakan kepada masyarakat umum apabila dari salah satu elemen Pemerintah tersebut belum menjalankan sosialisasi yang menjadi wewenangnya. Berdasarkan hasil wawancara dengan bagian fungsional Diskimrum Provinsi Jawa Barat mengenai penyampaian informasi dalam kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU, bahwa penyampaian informasi yang dilakukan Diskimrum Provinsi Jawa Barat terdapat beberapa tahapan dimulai dari Provinsi mengundang perwakilan dinas Kab/Kota di KBU untuk diberikan sosialisasi mengenai tata cara proses pengendalian pemanfaatan ruang KBU, kemudian aparatur Dinas Kab/Kota mengundang seluruh Camat di KBU untuk

99

memberikan sosialisasi kembali kepada Lurah atau Kades beserta elemen-elemen Pemerintahan Desa lainnya untuk berpartisipasi dalam menyampaikan informasi dengan cara melakukan penyuluhan-penyuluhan kepada masyarakat mengenai pemanfaatan ruang di KBU dengan menjelaskan bagaimana tata cara pemanfaatan ruang di KBU dan menjelaskan keadaan atau kondisi KBU pada

sekarang(17/06/2013). Penyampaian informasi yang dilaksanakan oleh Provinsi, Kab/Kota, Kecamatan, Kelurahan beserta elemen-elemen masyarakatnya untuk membantu masyarakat mengetahui informasi-informasi mengenai ketentuan-ketentuan dalam proses pemanfaatan ruang KBU sehingga tidak menimbulkan kerusakan bagi lingkungan. Ketentuan-ketentuan tersebut harus disampaikan secara terperinci oleh aparatur kepada masyarakat agar jelas dan mudah dimengerti, mengingat ketentuan-ketentuan dalam proses pemanfaatan ruang di KBU terbilang rumit dan susah seperti penentuan koefisien dasar bangunan, luas wilayah terbangun dan pengurusan izin yang harus melalui rekomendasi gubernur. Proses yang terbilang sulit membutuhkan kejelasan dalam penyampaian informasinya namun demikian dalam kenyataannya sosialisasi yang dilakukan kepada masyarakat jarang. Masyarakat disini harus mencari tahu dan mempelajari sendiri mengenai ketentuan-ketentuan baru dalam proses pemanfaatan ruang di KBU dengan cara melihat papan informasi, brosur, website maupun layanan telepon. Walaupun fasilitas-fasilitas tersebut diberikan oleh aparatur. Melihat kepada keadaan sosial masyarakat yang tidak seimbang tidak semua masyarakat dapat menerima dan mengerti dari informasi-informasi tersebut, oleh karena itu

100

penyampaian informasi ini harus dilaksanakan langsung bertatap muka dengan masyarakat. Seiring dengan hal tersebut sosialisasi ini belum berjalan dengan lancar dikarenakan kurangnya anggaran dalam sosialisasi, ketidakmerataan penyampaian informasi kepada masyarakat sehingga hanya sebagian masyarakat yang mengerti, seringkali masyarakat enggan mengikuti proses sosialisasi ini. Akibat dari permasalahan tersebut penyampaian informasi itu tidak berjalan dengan semestinya, masih banyak masyarakat yang belum mengetahui bagaimana proses pemanfaatan ruang di KBU yang benar. Kurangnya anggaran dalam sosialisasi ini juga menyebabkan proses pelaksanaan sosialisasi tidak dapat dijalankan secara rutin. Sosialisasi ini dilaksanakan terkadang hanya sekali katika peraturan yang baru diterapkan sedangkan untuk kemudian hari sosialisasi ini jarang dilaksanakan. Kedua, Proses penyampaian informasi yang berikutnya adalah dilakukan dengan cara penyebaran brosur. Penyebaran brosur ini dilaksanakan oleh Diskimrum Provinsi Jawa Barat kepada Dinas Perumahan, Penataan Ruang dan Kebersihan Kabupaten Bandung, Dinas Pekerjaan Umum Kota Cimahi, Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kabupaten Bandung Barat serta Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Bandung, Kecamatan di KBU, dan Aparatur desa. Brosur ini biasanya diletakkan di dinas-dinas maupun kantor-kantor agar mudah untuk dilihat oleh masyarakat. Isi dari brosur itu adalah penjelasan mengenai KBU, apa itu Perda KBU, bagaimana prosedur pelaksanaan pemanfaatan ruang, apa larangan dan sanksi, namun demikian brosur tersebut menurut peneliti belum

101

memberikan kejelasan mengenai bagaimana proses pemanfaatan ruang di KBU, brosur tersebut hanya sedikit memberikan penjelasan mengenai KBU serta brosurbrosur ini hanya disimpan di kantor-kantor yang berwenang tidak dibagikan kepada masyarakat umum. Seiring dengan hal tersebut seringkali masyarakat enggan untuk mengambil brosur yang telah disediakan. Kebiasaaan masyarakat yang kurang minat dalam membaca serta malas menyebabkan brosur ini kurang efektif dalam menyampaikan informasi mengenai pengendalian pemanfaatan ruang KBU, oleh karena itu dibutuhkan kinerja lebih dari aparatur untuk menyebarkan brosur atau memberikan brosur kepada masyarakat langsung agar informasi ini dapat diketahui secara merata oleh masyarakat. Tidak hanya terbatas oleh masyarakat tertentu saja tetapi merata kepada masyarakat umum lainnya. Ketiga, penyempaian informasi dengan cara rapat koordinasi,

penyampaian informasi ini dilakukan secara internal yaitu antar aparatur saja, tidak melibatkan masyarakat. Rapat koordinasi ini dilakukan sebagai salah satu cara dari aparatur provinsi untuk mensosialisasikan program-program terkait dengan proses pengendalian pemanfaatan ruang KBU, namun terkadang dalam proses rapat koordinasi ini tidak semua aparatur Kab/Kota menghadiri seringkali rapat koordinasi ini hanya dihadiri oleh beberapa perwakilan Kab/Kota saja sehingga menyebabkan terhambatnya proses penyampaian informasi dan menyebabkan kesimpangsiuran informasi/ketidaktahuan informasi yang terbaru mengenai proses pengendalian pemanfaatan ruang KBU. Rapat koordinasi yang dilakukan oleh Provinsi tidak menentu terkadang satu bulan sekali maupun enam

102

bulan sekali dengan aparatur Kab/Kota tergantung dari peraturan yang baru yang muncul. Rapat koordinasi ini dilaksanakan untuk menilai bagaimana kinerja yang telah dilakukan oleh aparatur apakah implementasi Perda itu telah berjalan dengan baik atau sebaliknya, namun rapat koordinasi ini alangkah lebih baik apabila dilaksanakan secara rutin sehingga kita tahu apa penyebab utama yang mengakibatkan Perda KBU belum berjalan secara maksimal dan dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang menghambat jalannya Perda KBU ini. Rapat koordinasi tidak hanya dilakukan oleh pihak Provinsi tetapi juga dilaksanakan oleh Kab/Kota, baik di Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung Barat maupun di Kabupaten Bandung, setiap daerah melaksanakan rapat koordinasi untuk menilai apakah Perda KBU telah dilaksanakan dengan baik atau belum terus untuk melaksanakan evaluasi terhadap apa yang telah terjadi. setiap daerah mempunyai jadwal masing-masing untuk mengadakan rapat koordinasi, namun setiap daerah itu tidak pasti jadwalnya tergantung permasalahan yang terjadi. Rapat koordinasi ini dipimpin oleh kepala dinas dan dihadiri oleh setiap aparatur di bawahannya, namun demikian seperti yang telah dijelaskan sebelumnya rapat koordinasi ini belum berjalan secara optimal dikarenakan masih adanya aparatur yang tidak bisa menghadiri rapat koordinasi tersebut baik itu karena adanya jadwal yang bentrok, kesibukan maupun lainnya. Keempat, penyampaian informasi dengan cara pemasangan papan informasi. Pemasangan papan informasi dilakukan baik oleh aparatur provinsi maupun aparatur Kab/Kota kepada dinas-dinas atau kantor-kantor bawahannya.

103

Pemasangan papan informasi ini di pasang baik di dinas-dinas Kab/Kota, kantor kecamatan, kantor kelurahan maupun di jalan-jalan besar yang dapat dilihat dengan mudah oleh masyarakat banyak. Pemasangan papan informsasi ini terutama papan informasi yang berada di jalan-jalan besar belum terlaksana secara menyeluruh di KBU hanya beberapa kawasan saja yang telah memasang papan informasi seperti di Kota Bandung papan informasi mengenai Perda KBU sudah terpasang di beberapa daerah dengan pemasangan papan informasi di tempattempat yang strategis seperti papan informasi yang terletak di depan mall PVJ. Hal ini bertujuan agar masyarakat dapat dengan mudah melihat mengenai keberadaan Peraturan yang baru. Keberadaaan papan informasi ini memberi pengetahuan sedikit kepada masyarakat akan peraturan yang berlaku tentang KBU, sedangkan untuk papan informasi yang berada didinas-dinas terkait dan kantor-kantor yang terkait seperti Kecamatan maupun Kelurahan telah dipasang secara menyeluruh setiap dinas yang mempunyai wewenang dalam proses pemanfaatan ruang di KBU, dimana sebelum memasuki kantor, papan informasi mengenai KBU telah terpampang. Keempat, Proses penyampaian komunikasi yang selanjutnya disampaikan melalui pencetakan buku peraturan daerah dan peraturan gubernur mengenai tata cara pengendalian pemanfaatan ruang KBU kepada dinas-dinas Kab/Kota di KBU untuk mempelajarinya secara cermat dan menjalankannya. Pencetakan buku Perda ini dilakukan oleh Diskimrum untuk dibagikan kepada aparatur-aparatur yang berwenang dalam proses pemanfaatan ruang. Hal ini bertujuan agar aparatur paham dengan proses pemanfaatan ruang yang benar dan dapat menyampaikannya

104

kepada masyarakat. Pencetakan buku Perda ini belum berjalan secara optimal dikarenakan terkadang aparatur enggan untuk membacanya sehingga maksud dan tujuan yang tercantum dalam peraturan-peraturan tersebut tidak tersampaikan. Kelima, masyarakat dapat mengetahui mengenai informasi pengendalian pemanfaatan ruang KBU ini melalui website yang tersedia, namun sayangnya website ini sekarang tidak berjalan lagi, sehingga proses komunikasi langsung dengan masyarakat terhambat mengingat bahwa website merupakan bagian dari teknologi informasi yang dapat berhubungan langsung dengan masyarakat tanpa harus bertatap muka, walaupun tidak semua masyarakat yang mengerti akan internet, namun adanya website ini membantu sedikitnya kepada masyarakat akan pemanfaatan ruang di KBU yang baik dan benar. Proses penyampaian komunikasi terakhir dilakukan dengan cara layanan telepon, hal ini dilakukan untuk melayani masyarakat yang ingin memperoleh informasi langsung mengenai kejelasan tentang prosedur dan tata cara pemanfaatan ruang di KBU dan untuk melayani masyarakat dalam hal keluhan mengenai pelayanan yang diberikan oleh aparatur dalam proses pemanfaatan ruang. Layanan telepon ini belum berjalan dengan optimal, banyak masyarakat yang belum mengetahui mengenai layanan telepon ini. Proses penyampaian komunikasi tersebut yang telah dijelaskan di atas masih terdapat permasalahanpermasalahan lainya seperti yang terjadi antara Provinsi dengan Kab/Kota, dimana Provinsi dan Kab/Kota mempunyai persepsi masing-masing mengenai batas wilayah KBU. Hal ini menyebabkan kesimpangsiuran bagi masyarakat akan kejelasan batas wilayah KBU yang sebenarnya. Perbedaan pendapat ini

105

disebabkan oleh pengukuran batas-batas wilayah KBU ini dilakukan oleh masingmasing dinas baik itu Provinsi, Kab. Bandung, Kab, Bandung Barat, Kota Bandung dan Kota Cimahi, mereka mempunyai ukuran tersendiri dan tidak adanya keselarasan antara Provinsi dengan Kab/Kota. Melihat kendala-kendala yang terjadi dilapangan, aparatur terkadang tidak menjalankan peraturan sebagaimana mestinya. Hal ini dengan melihat faktorfaktor lain kepada masyarakat seperti memperhatikan hak asasi manusia seperti dalam kasus ketentuan luas bangunan. Berdasarkan ketentuan yang berlaku luas bangunan yang boleh dibangun minimal sebesar 110 m2, sedangkan dibawah luas tersebut masyarakat tidak boleh membangun. Memperhatikan hal tersebut aparatur menjadi bimbang dan akhirnya aparatur dengan memperhatikan hak-hak masyarakat membolehkan masyarakat membangun dengan mengeluarkan kebijakan diluar ketentuan kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU. Berdasarkan uraian tersebut bahwa penyampaian informasi yang dilakukan oleh aparatur Kab/Kota mengenai penerapan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU belum berjalan dengan baik terbukti dengan sebagian besar masyarakat belum mengetahui mengenai Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU sehingga masyarakat melakukan proses pembangunan masih dengan ketentuan yang lama tidak memperhatikan ketentuan-ketentuan yang baru dalam proses pemanfaatan ruang KBU.

106

4.1.2 Kejelasan dalam Kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU Syarat komunikasi berikutnya adalah komunikasi yang diterima oleh pelaksana kebijakan haruslah jelas dan tidak membingungkan atau ambigu. Penyampaian informasi harus disampaikan dengan benar-benar jelas supaya tidak akan terjadi kesalahpahaman antara individu yang satu dengan individu lainnya. Kejelasan dalam memberikan informasi dan berkomunikasi dapat menentukan keberhasilan suatu implementasi kebijakan, maka dari itu dibutuhkannya suatu komunikasi yang benar-benar jelas. Kejelasan dalam berkomunikasi bukan hanya ditujukan kepada aparatur pelaksana kebijakan atau implementor melainkan kepada masyarakat. Hal tersebut juga sangat penting untuk masyarakat agar dapat memahami apa yang dimaksud aparatur dalam kebijakan tersebut dan dapat memahami pelayanan yang diberikan sehingga masyarakat mendapatkan kemudahan dalam proses pemanfaatan ruang di KBU. Kejelasan informasi merupakan suatu ukuran dalam proses penyampaian informasi. Informasi yang jelas menjadi faktor keberhasilan dalam menyampaikan informasi, dengan informasi yang jelas pula dapat menyebabkan maksud dan tujuan dalam suatu program dapat terlaksana dengan baik dan lancar. Kejelasan informasi haruslah bersifat terbuka dan menyeluruh kepada pihak-pihak yang membutuhkan, supaya aparatur maupun masyarakat mudah mengetahui, memahami, dan mengerti satu sama lain. Hal tersebut merupakan suatu keterbukaan dalam semua mekanisme yang dilalui dan keterbukaan aparatur dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

107

Berdasarkan wawancara peneliti dengan aparatur Diskimrum Provinsi Jawa Barat, Dinas Pekerjaan Umum Kab/Kota beserta Camat mengenai kejelasan informasi dalam penyampaian kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU bahwa penyampaian informasi yang dijelaskan oleh Provinsi telah jelas disampaikan baik kepada Kab/Kota maupun Kecamatan mengenai pengendalian pemanfaatan ruang KBU, namun demikian pada pelaksanaannya penerapan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU susah untuk dijalani ada beberapa daerah yang secara konsep harus menjadi taman kota atau hutan kota tetapi pada kenyataannya daerah tersebut sudah pada oleh permukiman, contohnya Kota Cimahi yang secara data yang peneliti dapat dari Diskimrum bahwa ada sebagian wilayah Cimahi Utara yang beralih fungsi menjadi permukiman, namun setelah dikonfirmasi dengan aparatur Dinas Pekerjaan Umum di Kota Cimahi memang seluruh kawasan Cimahi Utara diperuntukkan untuk permukiman tidak ada lagi pertanian ataupun hutan kota(17/06/2013). Berdasarkan hal tersebut maka proses komunikasi yang terjadi antar internal itu belum berjalan secara jelas. Disini masih terdapat miss komunikasi antara Provinsi dengan kab/Kota. Perbedaan persepsi antar aparatur di Provinsi dan Kab/Kota menyebabkan ketidakjelasan kepada masyarakat akan bagaimana pengaturan di KBU. Kejelasan dalam hal ini juga peneliti lihat dari bagaimana isi dari Perda KBU itu sendiri yaitu Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tahun 2008 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU. Berdasarkan kepada Perda tersebut ada beberapa bagian yang tidak ada penjelasannya seperti bagian insentif,

108

maksud insentif disini tidak jelas apakah insentif disini diartikan dalam hal bonus atau reward yang akan didapat oleh aparatur apabila melaksanakan pengaturan mengenai KBU dengan baik dan benar atau insentif dalam artian lain. Insentif ini menjadi perbincangan diantara para aparatur karena ketidakjelasannya. Akibat dari ketidakjelasan ini pula sehingga menimbulkan berbagai persepsi baik aparatur maupun masyarakat yang pada akhirnya maksud dan tujuan itu tidak terlaksana. Selain dengan isi Perda yang kurang dimengerti ditambah dengan penyampaian informasi yang kurang jelas, seperti yang telah disampaikan sebelumnya mengenai penyampaian informasi baik itu brosur, papan informasi, layanan telepon maupun website belum tersampaikan dengan jelas dan dimengerti. Brosur merupakan salah satu media cetak mengenai pengaturan di KBU. Menurut peneliti brosur ini belum secara jelas dan lengkap dalam menjelaskan mengenai KBU, disini hanya dibahas secara singkat apa KBU, aturan, tata cara pemanfaatan ruang, larangan dan sanksi. Brosur tersebut seharusnya bisa dijelaskan lebih terperinci namun singkat seperti bagaimana prosedur pemanfaatan ruang di KBU bagaimana ketentuan teknis bangunannya, bagaimana perizinan serta apa saja persyaratannya. Brosur dalam hal ini belum menjelaskannya. Papan informasi yang berada di jalan-jalan mengenai KBU belum jelas adanya papan informasi tersebut hanya berisi peta KBU dan aturan yang berlaku serta ajakan untuk melestarikan KBU, namun demikian tidak menjelaskan bagaimana prosedur dan tata cara dalam melestarikan KBU tersebut. Website, melihat kepada kondisi masyarakat yang tidak menyeluruh mengetahui akan

109

internet membuat website itu belum efektif dalam menyampaikan informasi, ditambah dengan website KBU yang tidak aktif lagi dikarenakan tidak ada yang menjalankannya. Hambatan atau kendala yang terjadi adalah terkadang Provinsi dengan Kab/Kota mempunyai tujuan masing-masing, dimana dalam sisi yang satu menginginkan untuk terus dijalani peraturan yang ada dengan berbagai konsekuensi, namun di sisi lain juga peraturan tersebut harus dikesampingkan mengingat kepada batas-batas masyarakat sehingga agar peraturan tersebut tetap berjalan maka Dinas Pekerjaan Umum Kab/Kota tetap melaksanakan sosialisasi kepada masyarakat, namun dalam pelaksanaannya berbeda. Hambatan lainnya adalah ketika Diskimrum terus menggalakan program pengendalian pemanfaatan ruang KBU kepada dinas-dinas Pekerjaan Umum di Kab/Kota, namun disisi lain provinsi membangun jalan yang menghubungkan Ciumbuleuit dengan Lembang. Hal ini menyebabkan bertambahnya proses pembangunan lagi, yang seharusnya pembangunan itu dikendalikan namun seiring dengan adanya fasilitas publik proses pembangunan itu akan selalu ada mengingat kepada faktor ekonomi masyarakat. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat KBU di Kota Cimahi mengenai kejelasan dalam kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU bahwa informasi yang diberikan belum jelas adanya sehingga masyarakat seringkali mengalami kebingungan dan ketidakpahaman mengenai kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU ini (17/06/2013). Kurangnya komunikasi

110

yang jelas dari Dinas Kab/Kota mengenai ketentuan-ketentuan baru dalam proses pemanfaatan ruang di KBU kepada masyarakat menyebabkan masih banyaknya masyarakat yang tidak mengetahui secara jelas bagaimana proses pemanfaatan ruang di KBU, mengingat sosialisasi mengenai Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU dilakukan terkadang hanya 1 tahun sekali atau bahkan kurang. Padahal volume untuk membangun masyarakat setiap tahun banyak, kandala pokok adalah anggaran yang kurang memadai. Masyarakat banyak yang mengeluh tentang ketentuan baru dalam proses pemanfaatan ruang KBU mulai dari alur pelayanan yang bertambah panjang, kesimpangsiuran batas wilayah KBU dan pelayanan yang lama. Hal ini membuat masyarakat enggan berurusan dengan birokrat yang akhirnya masyarakat menempuh jalan pintas untuk proses pengurusan pemanfaatan ruangnya dan akhirnya membangun tempat tinggal atau tempat usaha dengan sendirinya tanpa memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Penyampaian informasi yang jelas tidak hanya menjadi tugas Provinsi tetapi menjadi tugas Kab/Kota, kecamatan, kelurahan serta elemen-elemen desa lainnya untuk menyampaikan informasi yang jelas mengenai Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU kepada masyarakat. Berdasarkan penjelasan di atas bahwa komunikasi yang disampaikan atau diberikan oleh aparatur kepada masyarakat belum jelas adanya, terbukti dengan banyaknya masyarakat yang belum mengatahui apa itu Perda KBU, bagaimana bunyi Perda KBU, serta apa saja isi dari Perda KBU. Akibat dari ketidakjelasan ini juga terjadinya miss komunikasi baik antar aparatur maupun aparatur dengan

111

masyarakat, oleh karena itu dibutuhkan suatu peran aktif dari aparatur dan kredibilitas aparatur dalam menjalankan Perda KBU.

4.1.3 Konsistensi dalam Kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU Syarat komunikasi berikutnya adalah konsisten, bahwa komunikasi yang diberikan dalam pelaksanaan suatu kebijakan haruslah bersifat konsisten dan jelas untuk ditetapkan atau dijalankan, jika perintah yang diberikan sering berubahubah dan dalam pelaksanaannya tidak sesuai, maka hal tersebut dapat menimbulkan ketidakjelasan dan kebingungan bagi pelaksana kebijakan dilapangan dalam menjalankan suatu kebijakan. Konsistensi ini terkait dengan sikap, persepsi, dan respon dari aparatur pelaksana dalam memahami secara jelas dan benar terhadap mekanisme-mekanisme dan pedoman yang dilaksanakan. Tingkat keefektifan kebijakan tergantung kepada konsistensi dan kejelasan perintah pelaksanaanya. Walaupun perintah yang disampaikan kepada pelaksana kebijakan mempunyai unsur kejelasan, tetapi apabila perintah tersebut bertentangan maka perintah tersebut tidak akan memudahkan para pelaksana kebijakan menjalankan tugasnya dengan baik. Disisi lain, perintah implementasi kebijakan yang tidak konsisten akan mendorong para pelaksana mengambil tindakan yang sangat longgar dalam menafsirkan dan mengimplementasikan kebijakan. Konsistensi sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan kerja. Konsistensi dimaksudkan untuk menjaga kinerja aparatur agar tetap pada alur pelayanan

112

kepada masyarakat. Pelaksanaan kerja akan sesuai dengan prosedur kerja apabila tujuan yang telah dirumuskan dilaksanakan secara konsisten. pelaksanaan kerja yang sesuai dengan prosedur akan menghasilkan kualitas kerja yang berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi kebijakan. Aparatur Diskimrum Provinsi jawa Barat dengan segenap Dinas Perumahan, Penataan Ruang dan Kebersihan Kabupaten Bandung, Dinas Pekerjaan Umum Kota Cimahi, Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kabupaten Bandung Barat serta Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Bandung dalam menjalankan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU dilakukan dengan cara penetapan tujuan yang ingin dicapai terlebih dahulu. Setiap dinas mempunyai tujuan yang berbeda-beda terkait dengan penerapan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU. Pada dasarnya tujuan-tujuan tersebut untuk memberikan kontribusi yang baik kepada aparatur pelaksana kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU untuk menjalankan tugas pokok dan fungsinya masing-masing tentunya berdasarkan peraturan, pedoman dan mekanisme-mekanisme yang sudah ditentukan. Pelayanan yang dilaksanakan baik oleh Provinsi maupun Kab/Kota adalah untuk memberikan pelayanan baik secara administratif maupun teknis mengenai proses pemanfaatan ruang di KBU. Pelayanan secara administratif berhubungan dengan persyaratan-

persyaratan yang harus masyarakat lengkapi dalam proses pembuatan bangunan di KBU, sedangkan secara teknis itu pelayanan diberikan berupa penjelasan mengenai hal-hal apa saja yang harus dilakukan dan dipenuhi oleh masyarakat

113

seperti ketentuan-ketentuan dalam proses pemanfaatan ruang, misalnya pemberian pengetahuan akan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh masyarakat sebelum melakukan pembangunan seperti pembangunan harus mempunyai sumur resapan, KDB yang tidak boleh lebih dari 40%, luas wilyahnya harus minimal 120 m2 dan lain sebagainya. Proses pelayanan ini baik secara administratif maupun secara teknis harus diberikan dengan mudah dan efisien tanpa memerlukan waktu yang lama, namun pada kenyataannya alur birokrasi yang panjang dan persyaratan yang sulit membuat proses pelayanan menjadi lama dan lambat. Tujuan dari semakin ketatnnya ketentuan-ketentuan pemanfaatan ruang KBU adalah untuk membatasi atau mengendalikan volume pembangunan yang semakin meningkat di setiap tahunnya serta untuk menjaga kelestarian lingkungan dengan mengembalikan kondisi fungsi hidroloogis di KBU. Dengan ketatnya ketentuan juga bertujuan agar masyarakat tidak dapat sembarang membangun di KBU dan meminimalisir terhadap penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan dalam hal pemanfaatan ruang di KBU terus aparatur upayakan dengan kemampuan dan keterbatasan sumber daya yang dimiliki untuk merespon berbagai perubahan tuntutan yang terus tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Konsistensi dalam proses implementasi kebijakan Perda Jabar No. 1/2008 terlihat dalam suatu sikap aparatur dalam menjalankannya. Aparatur harus konsisten dengan wewenang atau tugas pokok masing-masing dan tujuan yang telah dirumuskan, apabila aparatur

114

tidak konsisten dengan hal tersebut maka tujuan yang telah dirumuskan tidak dapat tercapai. Aparatur Diskimrum dalam menjalankan wewenangnya telah konsisten berdasarkan kepada tugas pokok dan tujuan masing-masing, namun yang menjadi permasalahan adalah ketika kita memasuki aparatur di Kab/Kota terkadang aparatur tidak konsisten dengan apa yang tertera dalam peraturan. Hal ini disebabkan oleh kondisi dan keadaan pada saat pelaksanaannya. Kondisi dan keadaan yang tidak memungkinkan membuat aparatur harus membuat keputusan sendiri, seperti peraturan yang menyebutkan bahwa luas bangunan yang kurang dari 100 m2, masyarakat tidak dibolehkan untuk membangun, namun demikian aparatur tidak bisa memutuskan begitu saja, aparatur harus melihat kepada sisi lain seperti kondisi dan keadaan masyarakatnya. Apabila masyarakat tersebut merupakan masyarakat yang kurang mampu serta hanya mempunyai lahan terbatas, maka aparatur memberikan izin untuk membangun dengan catatan harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku yang tidak menyebabkan kerusakan pada lingkungan. Setiap dinas mempunyai tujuan masing-masing dan setiap waktu pula tujuan tersebut dapat berubah sesuai dengan kondisi dan keadaannya. Perubahan tersebut dimaksudkan untuk menuju ke arah yang lebih baik. Penentuan tujuan yang berjalan secara dinamis harus dilaksanakan secara konsisten oleh pelaksana kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU dengan berdasarkan pada prosedur dan mekanisme-mekanisme dalam tujuan tersebut untuk mendukung tercapainya tujuan yang telah ditetapkan secara

115

efektif dan efisien dan memberikan kemudahan bagi masyarakat sehingga masyarakat tidak mengalami kebingungan dan tidak berbelit-belit pada saat melakukan proses pemanfaatan ruang di KBU oleh para pelaksana kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU. Berdasarkan kepada penjelasan di atas bahwa aparatur belum konsisten dalam menjalankan poin-poin penting dalam Perda Jabar No. 01/2008. Hal ini disebabkan oleh kondisi dan keadaan pada saat pelaksanaannya yang mengharuskan aparatur mampu membuat keputusan sendiri yang tepat untuk menghadapi keadaan di luar perkiraan tanpa menyimpang dan menyalahgunakan wewenang. Permasalahan berikutnya terkadang terdapat oknum aparatur yang menyalahgunakan wewenangnya untuk memanfaatkan masyarakat, oleh karena itu suatu kebijakan haruslah tepat sesuai dengan apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh masyarakat sehingga pelaksana dapat menjalankan kebijakan dengan optimal.

4.2 Sumber Daya dalam Kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU Sumber daya dalam kebijakan merupakan kebutuhan yang mutlak harus dilaksanakan pada setiap organisasi melalui perwujudan dan interaksi yang sinergis, sistematis dan terencana atas dasar kemitraan. Pengembangan sumber daya dalam kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU di Dinas-dinas yang terkait dalam proses pemanfaatan ruang diarahkan kepada pembentukan birokrasi yang bermartabat. Birokrasi

116

pemerintahan yang bersih, makmur, taat dan bersahabat. Bersih dalam artian bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Makmur dalam artian mampu memenuhi kebutuhan dasar dan berkeinginan untuk mencapai kehidupan dan penghidupan yang lebih baik. Taat dalam artian birokrasi memahami dan mentaati serta menjalankan norma-norma agama dan budaya serta peraturan-peraturan yang menjadi landasan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan bersahabat dalam arti mampu bersosialisasi memberikan teladan dan menjadi panutan masyarakat serta ramah dan bersahabat dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pengembangan sumber daya aparatur bertujuan agar dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terus berjalan secara dinamis dalam melaksanakan tugasnya. Pengembangan sumber daya aparatur diterapkan supaya aparatur mampu menyesuaikan dengan keadaan dan kondisi yang senantiasa berubah. Untuk mendukung jalannya implementasi kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU dibutuhkan suat sumber daya yang optimal baik itu sumber daya manusianya maupun sumber daya finansial. Dalam implementasi kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU, sumber daya belum mamadai, baik meliputi sumber daya staf, sumber daya informasi, sumber daya kewenangan serta sarana dan prasarana. Untuk lebih jelasnya sebagai berikut:

117

4.2.1 Staf dalam Kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU Sumber daya manusia merupakan potensi yang terkandung dalam diri manusia untuk mewujudkan perannya sebagai mahkluk sosial yang mampu mengelola dirinya sendiri serta seluruh potensi yang terkandung didalamnya menuju tercapainya kesejahteraan kehidupan. Sumber daya manusia yang bermutu dan profesional merupakan kunci utama dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik. Sumber daya manusia adalah unsur penting dalam suatu proses pengolahan data. Peran sumber daya manusia didalam suatu organisasi sangat menentukan bagi terwujudnya tujuan organisasi. Staff selain diharapkan mampu, pandai, dan terampil, staff juga hendaknya berkeinginan dan mempunyai kesungguhan untuk bekerja secara efektif dan efisien. Sebaliknya apabila staff yang kurang mampu, kurang cakap, dan kurang terampil dapat mengakibatkan pekerjaan tidak dapat terselesaikan secara optimal tepat dan cepat sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Staff ini merupakan aset yang sangat penting dan berharga untuk instansi-instansi khususnya pada dinasdinas yang berwenang dalam proses pemanfaatan ruang KBU. Faktor sumber daya manusia ini mendapatkan perhatian yang besar dalam rangka meningkatkan pelayanan publik. Staff merupakan faktor yang sangat penting dalam keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kebijakan. Hal ini dikarenakan manusia adalah unsur penggerak dan pelaksana dari kebijakan itu sendiri. Staff dapat dikatakan berhasil jika dalam suatu lembaga birokrasi, aparaturnya memiliki keahlian, pengetahuan,

118

keterampilan, dan kemampuan dalam melaksanakan tugas atau pekerjaannya. Aparatur bertanggung jawab terhadap pekerjaannya dan memiliki kepatuhan terhadap atasan dalam melaksanakan tugas atau pekerjaan yang diembannya. Kebijakan tidak akan berhasil apabila jumlah staff tidak memadai dan staff tidak ahli dalam proses pelaksanaan kebijakannya. Perkembangan yang terus berjalan secara dinamis menuntut aparatur harus ahli dalam segala hal. Hal ini untuk menciptakan pelayanan prima dan maksimal kepada masyarakat. Sumber daya staff atau sumber daya manusia dalam mendukung jalannya Perda Jabar No. 1/2008 dilihat dari kualitas dan kuantitas aparatur Dinas Perumahan, Penataan Ruang dan Kebersihan Kabupaten Bandung, Dinas Pekerjaan Umum Kota Cimahi, Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kabupaten Bandung Barat serta Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Bandung. Melihat kepada kualitas aparatur peneliti melihat masih terdapat beberapa aparatur yang kurang mengerti dan paham akan Perda KBU. Hal ini terlihat ketika peneliti melakukan proses wawancara. Peneliti mendapatkan kesusahan dalam memperoleh informasi yang diperlukan dan peneliti harus berusaha keras memberikan bahasa yang mudah dimengerti oleh aparatur. Peneliti melihat ada beberapa hal yang menyebabkan kurangpahamnya aparatur dalam memahami betul tentang bunyi Perda KBU tersebut diantaranya adalah pendidikan, kurangnya pelatihan, aparatur yang baru masuk dan belum berpengalaman serta malas untuk mempelajari kebijakan tersebut secara mendalam, namun demikian untuk aparatur Diskimrum peneliti menilai sebagian besar aparatur telah paham dan mengerti akan Perda KBU ini.

119

Aparatur yang berada di Kab/Kota masih terdapat aparatur yang belum mengerti betul tentang bagaimana pelaksanaan Perda KBU, untuk pendidikanpun belum merata masih terdapat pendidikan SMA untuk jabatan yang tinggi, namun demikian Berdasarkan wawancara dengan aparatur Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Bandung bahwa staff dalam proses implementasi kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU di Provinsi maupun Kab/Kota dipilih dan berdasarkan pada kriteria-kriteria tertentu, proses pemilihan itu benar-benar dijalankan berdasarkan kepada kriteria-kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Penentuan kriteria didasarkan pada kebutuhan publik dan kemampuan dalam menjalankan tugas dan fungsinya(18/06/2013). Oleh karena itu pemilihan staff di Diskimrum maupun di Dinas-dinas Pekerjaan Umum Kab/Kota tidak secara sembarangan. Hal ini dilakukan agar staff itu sesuai dan mampu mengemban tugas pokoknya dalam proses pengendalian pemanfaatan ruang KBU. Kuantitas aparatur sudah dengan jelas belum memadai. Hal itu terlihat dari jumlah aparatur di Diskimrum, Dinas Perumahan, Penataan Ruang dan Kebersihan Kabupaten Bandung, Dinas Pekerjaan Umum Kota Cimahi, Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kabupaten Bandung Barat serta Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Bandung yang masih minim. Diskimrum yang mempunyai wewenang dalam pengaturan pemanfaatan ruang KBU hanya terdapat 6 (enam) orang, Dinas Perumahan, Penataan Ruang dan Kebersihan Kabupaten Bandung terdiri dari 7 (tujuh) aparatur, Dinas Pekerjaan Umum Kota Cimahi 6 (enam) aparatur, Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kabupaten Bandung Barat 7 (tujuh)

120

aparatur serta Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Bandung 8 (delapan) aparatur. Melihat kepada jumlah aparatur tersebut, dengan jelas bahwa jumlah tersebut tidak sesuai dengan tugas yang dibebannya. Akibat dari jumlah aparatur yang minim menimbulkan beberapa permasalahan seperti adanya kewenangan ganda, pelemparan wewenang dan penyalahgunaan wewenang sehingga pelayanan terhadap pemanfaatan ruang seringkali lamban. Proses implementasi kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU yang dinilai begitu sulit dan rumit membutukan aparatur yang ahli dan profesional dalam bidangnya. Hal ini untuk mendukung terlaksananya tujuan, visi dan misi instansi. Kriteria-kriteria tersebut seperti melihat kepada pendidikan harus lulusan tekhnik yang cakap dengan permasalahan tekhnik, berpengalaman dalam bekerja dan harus mengikuti tes terlebih dahulu baik tes kemampuan maupun kesehatan baik jas mani maupun rohani, meskipun Kepala Dinas telah memilih staff-staff yang profesional namun staff tersebut harus mengikuti pelatihan-pelatihan, pembinaan dan pendidikan staff. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan profesionalisme kerja dan memperluas wawasan staff serta dapat melakukan tindakan disiplin staff. Staff yang melanggar peraturan diberikan teguran bahkan pemecatan untuk staff yang benar-benar tidak mematuhi aturan dan menyimpang dari kaidah yang sudah ditetapkan sebelumnya dalam peraturan-peraturan. Staff merupakan hal penting yang harus diprioritaskan dalam kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU

121

yang harus dinilai dari segi pendidikan, keahlian, keterampilan, inovasi dan kreativitas. Staff yang menangani kebijakan pemanfaatan ruang ini tentunya dibutuhkan keahlian yang profesional dalam menjalankan suatu program untuk keberhasilan kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU. Namun berdasarkan pengamatan peneliti, beberapa staff yang bertugas dalam proses pengendalian pemanfaatan ruang KBU belum benarbenar memahaminya ketika berada dilapangan. Beberapa diantaranya hanya dapat memahami konseptual tetapi dalam pelaksanaannya terkadang staff merasa bingung dan tidak memahaminya. Pemahaman mengenai ketentuan-ketentuan dalam proses pengendalian

pemanfaatan ruang ini penting misalnya seperti penentuan luas bangunan, penentuan letak bangunan, penentuan perizinan serta apabila ada yang melanggar atau menyimpang harus segera diatasi sesuai dengan peraturan yang berlaku. karena apabila staff ini ahli dalam hal tersebut maka ketika pada saat dilapangan ditemukan permasalahan staff itu mampu untuk menanganinya sendiri tanpa menyusahkan orang lain yang lebih berpengalaman. Hal tersebut tentunya akan membuat pelayanan menjadi lebih cepat didukung dengan sumber daya lainnya. Selain kendala yang dialami staff dalam proses penangan masalah dilapangan, terdapat kendala lain seperti terkadang staff kurang teliti dan jeli dalam melakukan proses pencatatat luas banguanan pembutan sketsa bangunan, penghitungan Ikp dan Ika dan lain sebagaiya. Seperti halnya yang dialami oleh beberapa masyarakat yang melakukan proses pemanfaatan ruang KBU. Beberapa masyarakat yang mengalami masalah seperti ini langsung mendatangi kantor

122

Dinas Pekerjaan Umum untuk complain atas ketidaksesuaian data mereka. Selain disebabkan oleh aparatur, masyarakatnya juga terkadang tidak jeli dan teliti dalam melakukan proses administrasinya seperti terkait dengan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhinya. Proses pemenuhan persyaratan tersebut terkadang memakan waktu yang lama sehingga menambah lamanya proses penyelesaian pemanafaatan ruang. Permasalahan yang dialami masyarakat ini tentunya membuat aparatur turun tangan untuk menjelaksan kepada masyarakat yang mengalami masalah tersebut untuk segera melakukan proses pelengkapan data persyaratan dalam proses pemanfaatan ruang, namun disini dinas tidak dapat memberikan janji akan selesai dengan waktu yang cepat, karena melihat proses yang begitu panjang dan rumit kemudian dengan infrasturktur yang terbatas membuat proses penerbitan izin menjadi lama. Berdasarkan uraian diatas bahwa ketersediaan staff yang dipilih belum merata terkait dengan kurangnya jumlah staff yang bertugas ke lapangan sehingga proses implementasi kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU belum berjalan dengan lancar, namun dilihat dari sumber daya staff sudah memadai dengan melihat kepada rata-rata pendidikan lulusan S1 dan lulusan universitas ternama seperti ITB. Namun hal tersebut masih dinilai kurang apabila kuantitas Staffnya masih belum memadai sehingga menghambat keberhasilan dalam implementasi kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU. Staff juga harus mempunyai sifat lebih teliti dan kesabaran menangani masyarakat guna

123

menciptakan pelayanan yang baik lagi untuk masa yang akan datang, khususnya dalam menjalankan implementasi kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU.

4.2.2 Informasi dalam Kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU Informasi merupakan sumber daya yang penting bagi pelaksanaan kebijakan. Ada dua bentuk informasi yaitu informasi mengenai bagaimana cara menyelesaikan kebijakan atau program serta bagaimana pelaksana harus mengetahui tindakan apa yang harus dilakukan dan informasi tentang data pendukung kepatuhan kepada peraturan pemerintah dan Undang-undang. Informasi mempunyai peranan yang penting dalam menyediakan informasi bagi aparatur pelaksana kebijakan, supaya informasi yang dihasilkan oleh sistem informasi dapat digunakan aparatur pelaksana. Pengembangan dan analisis sistem informasi pada suatu organisasi bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas informasi yang akan dihasilkan, meningkatkan kontrol pada organisasi dan penghematan daya perolehan informasi. Informasi yang relevan tentang bagaimana cara mengimplementasikan suatu kebijakan khususnya dalam kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU harus terintegrasi dengan baik. Hal ini dimaksudkan agar pelaksana kebijakan tidak akan melakukan suatu kesalahan dalam menginterpretasikan bagaimana cara mengimplementasikan atau

melaksanakan kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian

124

pemanfaatan ruang KBU tersebut, disamping itu informasi sangat penting untuk menyadarkan aparatur yang terlibat dalam implementasi kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU supaya diantara mereka dapat melaksanakan dan mematuhi apa yang sudah menjadi tugas dan kewajibannya masing-masing sesuai dengan prosedur standar operasional yang sudah ditetapkan oleh Kepala Dinas. Implementasi kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU diperlukan waktu yang cukup lama supaya kebijakan tersebut dapat berhasil sesuai target yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, akan tetapi bukan hanya waktu saja yang diperlukan melainkan sumber daya manusia juga penting. Oleh karena itu faktor tersebut sangat mendukung keberhasilan kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU. Waktu merupakan suatu penentuan supaya kebijakan yang telah ada dapat dilaksanakan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, sedangkan dalam menentukan waktu untuk mencapai keberhasilan kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU tidak bisa ditentukan dengan cepat karena tidak hanya waktu saja yang diperlukan melainkan hal-hal lain yang dapat mendorong keberhasilan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU juga perlu diperhatikan. Berdasarkan wawancara dengan para aparatur Diskimrum dan aparatur Dinas Perumahan, Penataan Ruang dan Kebersihan Kabupaten Bandung, Dinas Pekerjaan Umum Kota Cimahi, Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kabupaten

125

Bandung Barat serta Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Bandung bahwa informasi yang telah ditentukan oleh Kadis mengenai prosedur pemanfaatan ruang di KBU harus tetap memperhatikan aspek-aspek lainnya selain yang tertera dalam Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU seperti hak asasi manusia hal ini untuk mewujudkan keadilan dan pemenuhan hak-hak masyarakat. Informasi yang didapatkan oleh aparatur pelaksana kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU disampaikan kembali kepada masyarakat supaya masyarakat dapat mengetahui dengan jelas mengenai informasi tentang kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU. Hal ini dilakukan karena dengan memberikan informasi yang diberikan kepada masyarakat maka kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU dapat terlaksana dengan baik dan dapat mencapai tujuan yang sudah ditetapkan oleh masing-masing dinas baik Provinsi maupun Kab/Kota. Informasi yang diberikan aparatur pelaksana kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU kepada masyarakat sudah jelas dan konsisten sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam masing-masing dinas. Prosedur-prosedur dalam melaksanakan kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU sudah diinformasikan dengan baik melalui berbagai elemen Pemerintah dari Provinsi, Kab/Kota, Kecamatan sampai kepada elemen

126

Pemerintah Desa. Proses pelayanan pemnfaatan ruang di KBU dijalankan sesuai prosedur yang sudah ditetapkan. Informasi-informasi yang diberikan kepada masyarakat belum secara jelas masyarakat pahami, mengerti dan diikuti sesuai dengan prosedur dalam menginformasikan kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU. Hal ini disebabkan karena proses penyampaian informasi yang dilakukan tidak secara tatap muka hanya melalui media massa, kalaupun dilakukan secara tatap muka atau langsung hal itu dilakukan hanya oleh perwakilan-perwakilan saja dan terkadang tidak sampai kepada masyarakat luas. Proses sosialisasi yang melibatkan permakilanaperwakilan masyarakatpun tidak dilaksanakan dengan rutin tidak tentu bahkan setahun sekalipun jarang. Berdasarkan uraian tersebut informasi mengenai implementasi kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU masih belum tersampai secara merata dan menyeluruh kepada masyarakat sehingga banyak masyarakat yang belum mengetahui, mengerti, dan paham akan ketentuan-ketentuan baru dalam proses pengendalian pemanfaatan ruang KBU.

4.2.3 Kewenangan dalam Kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU Kewenangan untuk membuat keputusan sendiri yang dimiliki oleh suatu lembaga akan mempengaruhi lembaga itu dalam melaksanakan suatu kebijakan. Kewenangan menjadi penting kehadirannya ketika mereka dihadapkan kepada

127

suatu masalah dan mengharuskan mereka mengambil suatu keputusan yang pada saat itu lembaga tidak memberikan kewenangan untuk membuat keputusan itu sendiri dalam memecahkan masalah yang dihadapi yang menyebabkan wibawa lembaga itu merosot dimata masyarakat. Kewenangan yang dimiliki Diskimrum Seksi Pengendalian dan

pengawasan dan Dinas Perumahan, Penataan Ruang dan Kebersihan Kabupaten Bandung, Dinas Pekerjaan Umum Kota Cimahi, Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kabupaten Bandung Barat serta Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Bandung dalam kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU bersifat formal. Kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi bagi para pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang sudah ditetapkan, ketika wewenang itu nihil maka kekuatan para pelaksana tidak terlegitimasi sehingga dapat menggagalkan proses pelaksanaan itu sendiri. Tetapi, dalam konteks yang lain ketika wewenang formal tersebut sering terjadi kesalahan dalam melihat efektivitas dari kewenangan itu sendiri. Disatu pihak, efektivitas kewenangan diperlukan dalam pelaksanaan implementasi kebijakan, tetapi disisi lain efektivitas akan menyusut pada saat wewenang diselewengkan oleh para pelaksana demi kepentingannya sendiri atau demi kepentingan kelompoknya. Kewenangan Diskimrum Provinsi Jawa Barat dalam kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU adalah pertama, melaksanakan pengawasan atau pemantauan terhadap proses kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang KBU yang dilakukan oleh Kab/Kota. Kedua, memberikan penyuluhan atau sosialisasi tentang implementasi kebijakan Perda

128

Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU kepada dinas-dinas di Kab/Kota, Kecamatan, Kelurahan dan elemen-elemen masyarakat. Ketiga, membuat laporan akhir akan hasil dari kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang KBU. Keempat, memberikan fasilitas-fasilitas penunjang proses pengendalian pemanfaatan ruang KBU seperti meteran, GPS dan peta kepada Kab/Kota. Kelima, memeriksa persyaratan-persyaratan rekomendasi gubernur. Keenam, membuat kebijakan baru untuk pelaksanaan kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU. Ketujuh, memberikan teguran kepada Kab/Kota yang tidak mentaati aturan yang telah ditetapkan Kewenangan Dinas Pekerjaan Umum Kab/Kota dalam pelaksanaan kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU adalah melaksanakan penertiban kepada bangunan-bangunan yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang berlaku, memberikan sosialisasi kepada Kecamatan, Kelurahan, elemen-elemen Pemerintah Desa dan kepada masyarakat, melaksanakan pemantauan langsung ke lapangan kepada lahan yang hendak dibangun, serta memeriksa peryaratan-persyaratan dalam proses pemanfaata ruang KBU. Kewenangan-kewenangan yang telah diuraikan tersebut terkadang tidak dijalankan sepenuhnya karena ada yang memiliki kewenangan ganda seperti di Dinas Pekerjaan Umum Kab/Kota yang seharusnya kewenangan mereka hanya sebatas pemeriksaan berkas persyaratan-persyaratan pembangunan menjadi memegang wewenang pula dalam proses perizinan yang dahulunya masuk ke

129

Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu, namun berdasarkan kepada peraturan baru berkas izin pun menjadi kewenangan Dinas Pekerjaan Umum. Akibatnya aparatur Dinas Pekerjaan Umum menjadi kewalahan dan keteteran dalam pelaksanaan tugas pokoknya, ditambah dengan kuantitas pegawai yang kurang, menambah lambat pelayanan terhadap pengendalian pemanfaatan ruang KBU. Setiap instansi mempunyai staf dan kewenangan yang berbeda-beda atau mempunyai kewenangan masing-masing, namun karena keterbatasan kuantitas pegawai menyebabkan setiap pegawai mempunyai kewenangan yang sama. Kewenangan Dinas Pekerjaan Umum selain untuk memproses data administrasi pemanfaatan ruang namun sebagai pemberi layanan juga yang dituntut untuk memberikan pelayanan yang optimal dan prima. Keberhasilan implementasi kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU tidak terlepas dari kewenangan dinas-dinas terkait dalam melaksanakannya. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kewenangan yang dimiliki Diskimrum Provinsi Jawa Barat dengan Dinas Perumahan, Penataan Ruang dan Kebersihan Kabupaten Bandung, Dinas Pekerjaan Umum Kota Cimahi, Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kabupaten Bandung Barat serta Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Bandungmasih belum berjalan dengan lancar, dikarenakan adanya kewenangan ganda sehingga sering menyebabkan tugas utamanya terabaikan dan kewenangan yang dimiliki oleh aparatur pelaksana dijalankan tidak sesuai dengan struktur organisasinya dan tugas pokok dan fungsinya masing-masing.

130

4.2.4 Fasilitas dalam Kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU Pelayanan yang ditunjang dengan peralatan dan perlengkapan yang memadai dapat menjadi modal yang dapat diwujudkan pada setiap program dan tujuan lembaga pemerintah kearah yang lebih baik. Fasilitas fisik merupakan sumber daya yang penting dalam implementasi kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU, disamping fasilitas sebagai penunjang aparatur pelaksana untuk melaksanakan kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU, tentunya harus memiliki sumber daya yang handal dan memahami perangkatperangkat berbasis teknologi. Selain itu fasilitas seperti kantor dan kondisi tempat pelayanan tidak memadai kemungkinan kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU tidak akan terlaksana dengan baik. Fasilitas-fasilitas yang berada di Diskimrum Provinsi Jawa Barat dengan Dinas-dinas Pekerjaan Umum di Kab/Kota pada umumnya memiliki beberapa fasilitas yang dibutuhkan aparatur pelaksana kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU dan menunjang berjalannya Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU. Fasilitas-fasilitas yang ada baik yang berada di Diskimrum maupun Dinas Pekerjaan Umum belum memadai untuk mendukung aparatur untuk menjalankan tugasnya masing-masing. Adapun fasilitas yang belum memadai adalah meliputi peta dengan skala besar, kendaraan dinas, GPS dan meteran.

131

Fasilitas yang kurang memadai membuat proses pelaksanaan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU menjadi terhambat. Peta dengan skala besar dibutuhkan untuk melihat batas wilayah KBU diserta dengan GPS sehingga dapat menentukan dengan jelas batas wilayah kBU yang sebenarnya. Kendaraan dinas yang terbatas sehingga manghambat arus pemantauan lapangan yang biasanya pemantauan lapangan itu dalam sehari bisa mencapai sampai 5 lokasi dengan kendaraan dinas yang terbatas menjadi tidak dapat memantau dalam satu hari. Meteran dibutuhkan untuk mengukur luas tanah atau bangunan dan manjadi alat yang sangat penting karena apabila tidak terdapat meteran aparatur akan sulit untuk menentukan luas lahan. Fasilitas-fasilitas yang terpenuhi tentunya akan mendukung keberhasilan kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU. Selain dipengaruhi oleh keterbatasan fasilitas dalam mendukung proses pemanfaatan ruang terkadang fasilitas-fasilitas ini mengalami gangguan kerusakan. Fasilitas yang rusak ini tidak begitu langsung dibenarkan tetapi pembenaran atau pembetulan fasilitas ini juga harus menunggu anggaran. Keterbatasan anggaran pula yang sampai saat ini menghambat pengadaan fasilitas-fasilitas baru yang mendukung proses penerapan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU. Berdasarkan wawancara dengan masyarakat mengenai fasilitas-fasilitas ruangan terdapat beberapa Dinas Pekerjaan Umum di Kab/Kota yang belum memadai seperti di Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bandung Barat seperti ruang tunggu yang disatukan dengan kantor tidak ada tempat ruang tunggu,

132

tempat duduk yang masih minim sehingga pemohon yang akan melakukan proses pemanfaatan ruang harus menunggu diluar ruangan. Pelayanan yang diberikan Dinas Pekerjaan Umum Kab/Kota merupakan pelayanan untuk membantu beban pemohon dalam mengajukan proses pemanfataan ruang di KBU seperti pembuatan izin dan pemenuhan berkas-berkas persyaratan, maka dari itu fasilitas-fasilitas yang dipersiapkan oleh Dinas harus dilakukan semaksimal mungkin untuk menunjang masyarakat yang akan melakukan proses pemanfaatan ruang di KBU. Berdasarkan uraian diatas, Fasilitas pendukung untuk melaksanakan kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU belum lengkap dan belum terpenuhi sesuai dengan SOP yang sudah ditentukan oleh Pusat maupun Dinas Pekerjaan Umum sendiri. Meskipun terdapat kendala-kendala yang dialami Kepala Dinas selalu mengintruksikan petugas untuk tetap memberikan pelayanan prima kepada masyarakat, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa facilities dalam hal ini belum baik.

4.3 Disposisi dalam Kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan adalah sikap implementor atau sikap para pelaksana kebijakan. Jika aparatur setuju dengan bagian-bagian isi dari kebijakan yang akan dan harus dilaksanakan maka mereka akan melaksanakan dengan senang hati tetapi jika pandangan aparatur pelaksana berbeda dengan pembuat kebijakan maka proses

133

implementasi akan mengalami banyak masalah dan tidak tercapainya program yang telah dibuat. Diposisi atau sikap pelaksana kebijakan dalam melaksanakan kebijakan mengenai KBU dapat dilihat melalui tingkat kepatuhan pelaksana dan pemberian upah kepada para pelaksana kebijakan, jika pelaksana ingin efektif maka para pelaksana tidak hanya mengetahui apa yang akan dilakukan tetapi juga harusmemiliki kemampuan untuk melaksanakannya. Disposisi ini merupakan keinginan dan kecenderungan sikap para pelaksana untuk melaksanakan secara sunguh-sungguh sehingga apa yang menjadi tujuan dapat diwujudkan. Disposisi ini akan muncul diantara para pelaksana, sehingga yang diuntungkan tidak hanya organisasinya saja melainkan diri sikap pelaksana tersebut. Pengetahuan, pemahaman menimbulkan sikap menerima, acuh tak acuh dan menolak terhadap kebijakan. Sikap menerima, acuh tak acuh dan menolak akan menimbulkan disposisi pada diri pelaksana kebijakan dan disposisi yang tinggi berpengaruh pada tingkat keberhasilan pelaksanaan tersebut. Karakteristik dari sikap pelaksana kebijakan dalam melaksanakan kebijakan KBU dapat dilihat melalui komitmen, norma-norma atau aturan dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, jika pelaksanaan ingin efektif maka para pelaksana tidak hanya mengetahui apa yang akan dilakukan tetapi juga harus memiliki kemampuan untuk melaksanakannya. Komitmen-komitmen aparatur dalam melakukan proses pemanfaatan ruang di KBU telah sesuai dengan visi dan misi dalam memberikan pelayanan yang efektif dan efisien kepada masyarakat. Komitmen yang ditunjukan oleh aparatur selalu diimbangi dengan

134

pola-pola hubungan-hubungan antar sesama aparatur dan hubungan bawahan kepada pimpinan yang baik agar mendukung proses implementasi kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU. Sikap merupakan salah satu dari budaya birokrasi, sikap ini merupakan individu tentang nilai-nilai bersama dalam kehidupan organsiasi dan

mengikatsemua pelaksana kebijakan. Penerapan norma-norma oleh Provinsi dan Kab/Kota sudah dilakukan sesuai dengan peraturan atau tata tertib yang sudah ditetapkan dan masih berlaku. Prinsip ini selalu diingatkan oleh Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil dalam setiap rapat koordinasi. Oleh karena itu, norma-norma akan menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh aparatur Provinsi atau Kab/Kota dalam proses pemanfaatan ruang di KBU. Norma menentukan batas-batas normatif perilaku anggota organisasi, menentukan sifat dan bentuk-bentuk pengendalian dan pengawasan, menentukan gaya manajerial yang dapat diterima oleh aparatur, dan menetukan cara-cara kerja yang tepat. Berdasarkan wawancara dengan Kepala Bidang Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Bandung mengenai Disposition bahwa sikap pelaksana aparatur dalam menjalankan Perda KBU sesuai dengan peraturan-peraturan yang sudah ditetapkan.(20/06/2013) Sikap pelaksana dapat mempengaruhi keberhasilan untuk mencapai tujuan dari suatu kebijakan sama hal nya dengan pendapat Kepala Bidang di Dinas Pekerjaan umum di Kota Cimahi bahwa sikap pelaksana aparatur dalam proses pemanfaatan ruang di KBU telah sesuai dengan SOP yang telah

135

ditentukan. Para aparatur pelaksana harus mempunyai sikap yang baik sehingga aparatur dengan aparatur maupun aparatur dengan masyarakat dapat tercipta hubungan yang harmonis, rukun, tertib dan disiplin. Secara spesifik peran norma-norma penting dilaksanakan oleh birokrasi, dengan adanya norma tersebut diharapkan aparatur yang melaksanakan proses Pemanfaatan ruang di KBU dapat menciptakan rasa memiliki terhadap organisasi, menciptakan jati diri para anggota organisasi, menciptakan rasa memiliki terhadap organisasi, menciptakan keterikatan emosional antara organisasi dan pekerja yang terlibat didalamnya, membantu menciptakan stabilitas organisasi sebagai suatu sistem dan menemukan pola pedoman perilaku sebagai hasil dari norma-norma kebiasaan yang terbentuk dalam keseharian. Dukungan dari pimpinan sangat mempengaruhi pelaksanaan program dapat mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Wujud dari dukungan pimpinan ini adalah menepatkan kebijakan menjadi prioritas program, penempatan pelaksana dengan orang-orang yang mendukung program, memperhatikan kesimbangan daerah, agama, suku, jenis kelamin, dan karakteristik demografi yang lain. Selain itu penyediaan dana yang cukup guna memberikan insentif bagi para pelaksana program agar mendukung dan bekerja secara total dalam melaksanakan kebijakan atau program tersebut. Karakteristik sikap pelaksana kebijakan dalam melaksanakan kebijakan pemanfaatan ruang di KBU dapat dilihat melalui struktur organisasi, normanorma atau aturan dan pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi. Struktur birokarasi merupakan acuan dasar bagi pelaksana kebijakan mengenai pembagian

136

tugas dan kewenangan yang ditanggungnya. Struktur organisasi mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan kebijakan Pemanfaatan ruang di KBU. Berdasarkan uraian diatas mengenai sikap pelaksana dalam kebijakan

pemanfaatan ruang di KBU melaksanakan tugasnya berdasarkan tugas pokok dan fungsinya masing-masing. Kedisiplinan dalam struktur birokrasi ini merupakan piroritas utama agar implementasi kebijakan pengendalian pemanfaatan ruang di KBU.

4.3.1 Efek Disposisi dalam Kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU Pengaruh disposisi atau tingkat kepatuhan pelaksana dalam implementasi kebijakan menimbulkan hambatan-hambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU pada dinas-dinas terkait. Hambatan-hambatan yang sering muncul adalah maksud umum dari suatu standar dan tujuan suatu kebijakan ketika para pelaksana khusunya aparatur tidak sepenuhnya menyadari dan memahami terhadap tujuan umum dari suatu standar dan tujuan kebijakan merupakan hal yang sangat penting. Pemahaman terhadap standar dan tujuan kebijakan merupakan sebuah potensi yang besar dalam keberhasilan implementasi kebijakan. Tingkat komitmen dan kejujuran dalam implementasi kebijakan adalah hal terpenting dari pengaruh disposisi, karena dalam melaksanakan suatu kebijakan

137

dapat mempengaruhi keinginan dan kemauan untuk melaksanakan suatu kebijakan, pemahaman dan pendalaman suatu kebijakan dan penerimaan aparatur bisa dilihat dari pengetahuan suatu kebijakan apakah menerima, menolak ataukah netral. Sebagaimana diamanatkan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU bahwa pengendalian pemanfaatan ruang KBU bahwa tujuan pengendalian pemanfaatan ruang KBU adalah untuk mewujudkan keseimbangan pemanfaatan ruang di KBU untuk menjamin pembangunan yang berkelanjutan serta untuk mewujudkan peningkatan fungsi lindung terhadap tanah, air, udara, flora dan fauna. Selain peraturan Perda tersebut Pemerintah Daerah berpaku pada Peraturan Pusat tentang penataan ruang dan RTRW. Peraturan-peraturan tersebut dijadikan pedoman umum yang dijadikan komitmen aparatur Diskimrum dan Dinas Pekerjaan Umum Kab/Kota di KBU. Komitmen merupakan suatu keputusan yang harus dicapai, sikap ini yang harus dimiliki oleh pelaksana kebijakan karena dengan berkomitmen mereka dapat melaksanakan kebijakan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan tanpa menyelewengkan suatu pekerjaan apapun. Pelaksanaan proses pemanfaatan ruang di KBU sepenuhnya mengacu pada prosedur, dasar hukum dan peraturan yang telah ditetapkan, namun pada kenyataannya berdasarkan penelitian yang peneliti lakukan di lapangan bahwa proses pemanfaatan ruang di KBU pada pelaksanaannya belum sesuai dengan ketentuan, dasar hukum maupun peraturan yang ditetapkan khususnya Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU. Komitmen dari para pelaksana implementasi kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU,

138

dimana aparatur sebagai pelaksana kebijakan tersebut selalu menjalankan apa yang menjadi tugasnya sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya sesuai struktur organisasinya masing-masing. Para aparatur menjalankan komitmennya dengan didasari untuk

memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat pada saat pelaksanaan pemanfaatan ruang di KBU. Namun, berdasarkan pengamatan peneliti kendala yang sering terjadi pada saat proses pelaksanaan pemanfaatan ruang di KBU adalah kesalahan dalam administrasi, kurangnya komunikasi yang disampaikan kepada masyarakat, kurangnya sumber daya aparatur serta tidak tepatnya Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU dengan kondisi ekonomi KBU. KBU sebagai daerah yang strategis menjadikan wilayah ini sebagai pusat pembangunan baik itu permukiman maupun fasilitas publik, oleh karena proses untuk mengendalikan pembangunan-pembangunan di KBU sangatlah sulit, walau memang secara konseptual Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU bagus untuk mengembalikan kondisi fungsi hidroologis KBU mengingat KBU sebagai daerah resapan air atau tangkapan air. Namun sebisa mungkin para aparatur atau pertugas tetap

memberikan pelayanan yang terbaik pada saat melakukan proses pemanfaatan ruang KBU dengan tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Berdasarkan keterangan masyarakat pada saat proses pemanfaatan ruang di KBU misalnya dalam proses pembuatan izin di Dinas Pelayanan Perizinan di KBU sikap pelaksana dalam melakukan pemberian informasi mengenai proses pembuatan izin sesuai dengan prosedur pelayanan yang bersifat transparan tidak

139

ada pungutan liar dan tidak ada penyimpangan-penyimpangan yang merugikan masyarakat di KBU. Pada saat ini kewenangan Dinas Pelayanan Perizinan sebagai konsultan dan proses administrasi pembuatan izin saja sedangkan arah yang lebih lanjutnya akan diserahkan kepada Dinas Pekerjaan Umum dan Bappeda. Sikap kepatuhan pelaksana Diskimrum atau Dinas Pekerjaan Umum dilihat dari tingkat kepatuhan semua aparatur sangat mematuhi prosedur-prosedur dan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh dinas tersebut. Sifat pelayanan yang transparan telah menjadi komitmen dalam tingkat kepatuhan dari aparatur pelaksana kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU di setiap dinas yang mengurusi proses pemanfaatan ruang. Melihat kepada sikap kepatuhan yang didasarkan pada ketentuan dalam ruang internal atau ketentuan yang berlaku di dalam dinas tersebut baik DISKIMRUM maupun Dinas Pekerjaan Umum sudah patuh terhadap peraturan yang berlaku.

4.3.2 Insentif dalam Kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU Insentif yang ada pada pelaksana kebijakan disampaikan melalui keuntungan-keuntungan atau biaya-biaya tambahan yang akan membuat pelaksana kebijakan melaksanakan perintah dengan baik khususnya mengenai implementasi kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU. Merubah aparatur dalam birokrasi pemerintahan merupakan pekerjaan tersulit dan terkadang tidak menjamin proses implementasi

140

berjalan sesuai tujuan. Umumnya para aparatur bertindak menurut kepentingannya sendiri dengan menambah keuntungan-keuntungan atau biaya tertentu akan mendorong pelaksanaan menjadi lebih baik meskipun itu diluar peraturan yang telah ditetapkan dimana para aparatur tidak diperbolehkan meminta sesuatu kepada masyarakat diluar administrasi dengan alasan untuk mempercepat proses pekerjaan. Aparatur yang melakukan proses pelayanan pemanfaatan ruang KBU dalam melaksanakan kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU juga dapat menerima masukan atau aspirasi dari masyarakat apabila dalam pelaksanaan kebijakan dinilai menyimpang dari kebijakannya. Sikap tersebut adalah sikap demokratis yang dimiliki oleh pelaksana kebijakan yang mampu menerima masukan dari pihak lain, karena pelaksana kebijakan juga harus mempunyai sifat yang demokratis dalam mengambil keputusan agar keputusan yang dibuat sesuai dan tepat serta tidak merugikan pihak lain. Sifat demokratis yang dimiliki aparatur yang bertugas melaksanakan proses pemanfaatan ruang KBU merupakan bukti bahwa mereka menerima masukan atau aspirasi dari pihak lain. Berdasarkan hasil wawancara dalam implementasi kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang bahwa sikap keterbukaan dan kejujuran merupakan salah satu ciri yang dimiliki oleh aparatur di Diskimrum dan Dinas-dinas Pekerjaan Umum di Kab/Kota. Melalui sikap tersebut, pelaksanaan kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang

141

pengendalian pemanfaatan ruang KBU dapat terlaksana, sehingga akselerasi pelayanan kepada masyarakat menjadi efektif dan efisien. Berdasarkan ketentuan yang berlaku mengenai insentif sebagaimana tertera dalam Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU pasal 33 menyebutkan bahwa Pemerintah daerah memberikan insentif terhadap kinerja Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengendalian pemanfaatan ruang KBU, selanjutnya Pemerintah Daerah memberikan insentif kepada masyarakat dan/atau kelompok masyarakat yang melaksanakan peran aktif dalam pengendalian pemanfaatan ruang di KBU. Berdasarkan hal tersebut seharusnya baik aparatur maupun masyarakat yang menjalankan proses pengendalian pemanfaatan ruang KBU secara maksimal mendapatkan insentif. Namun pada kenyataannya baik masyarakat maupun aparatur tidak mendapat insentif bahkan tidak ada sama sekali. Akibat dari kurangnya anggaran untuk proses pengendalian pemanfaatan ruang KBU menyebabkan kinerja aparatur yang kurang maksimal. Sehingga menyebabkan implementasi kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU tidak berjalan dengan lancar, efektif dan efisien disamping dipengaruhi oleh permasalahan lainnya. Mengubah aparatur dalam birokrasi merupakan pekerjaan yang tidak mudah dan penuh rintangan yang dihadapi karena budaya yang tercipta sebelumnya telah menjadi budaya yang benar-benar mengakar dan mendarah daging. Proses kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah terkadang menjadi hambatan karena budaya aparatur yang tumbuh tidak mendukung dalam kebijakan

142

yang telah ditetapkan. Berdasarkan uraian diatas bahwa mengenai insentif untuk diberikan kepada aparatur beserta masyarakat yang aktif dalam menggalakan program pengendalian pemanfaatan ruang KBU tidak ada sama sekali.

4.4 Struktur birokrasi dalam Kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU Struktur organisasi mempunyai pembagian tugas dan tanggung jawab kepada masing-masing orang yang ada dalam organisasi, struktur organisasi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kinerja organisasi publik. Struktur organisasi menjelaskan bagaimana kedudukan, tugas, dan fungsi dialokasikan dalam organisasi. Hal ini mempunyai dampak yang signifikan terhadap cara setiap individu melaksanakan tugasnya dalam organisasi. Ketika arah dan strategi organisasi secara keseluruhan telah ditetapkan serta struktur organisasi telah dibentuk, maka hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana organisasi tersebut melakukan kegiatan atau menjalankan tugas dan fungsinya. Struktur organisasi merupakan suatu gambar yang menggambarkan tentang jenis atau tipe organisasi, pembagian bidang-bidang, kedudukan dan jenis wewenang pejabat, bidang hubungan pekerjaan yang terkait, garis perintah dan tanggung jawab serta rentang kendali sistem pimpinan organisasi. Struktur organisasi sebagai pelaksana kebijakan memiliki peranan penting dalam kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU. Salah satu aspek yang terpenting dalam organisasi

143

adalah adanya standar operasional prosedur. SOP adalah suatu standar atau pedoman tertulis yang dipergunakan untuk mendorong dan menggerakkan kebijakan tersebut untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Struktur birokrasi yang sudah ada di Diskimrum dan Dinas Perumahan, Penataan Ruang dan Kebersihan Kabupaten Bandung, Dinas Pekerjaan Umum Kota Cimahi, Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kabupaten Bandung Barat serta Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Bandung sudah menjalankan tugas pokok beserta fungsinya sesuai dengan aturan-aturan yang ada di Dinas masing-masing. Para pelaksana kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU sudah melaksanakan tugasnya sesuai dengan struktur yang telah ditetapkan, apabila ada yang melakukan tugas diluar kewenangannya hal tersebut sudah mempunyai penjelasan dan konfirmasi sebelumnya kepada Kepala Dinas. Struktur birokrasi Diskimrum terdiri dari beberapa bidang yang mempunyai tugas pokok dan fungsi masing-masing, dimana bidang-bidang tersebut terdiri dari bidang tata ruang dan kawasan, bidang permukiman bidang perumahan, dan bidang jasa kontruksi yang dipimpin langsung oleh kepada dinas, selain itu kepala dinas juga mengepalai sekretarian yang terdiri dari sub bagian perencanaan dan program, sub bagian keuangan, dan sub bagian kepegawaian dan umum, di dalam sekretariat tersebut juga terdapat bagian jabatan fungsional. Dinas Perumahan, Penataan Ruang dan Kebersihan Kabupaten Bandung mempunyai struktur birokrasi yang terdiri dari Bidang pengembangan kawasan yang membawahkan seksi pengembangan kawasan khusus dan seksi kerjasama pengembangan kawasan. Bidang pengembangan perumahan, membawahkan seksi

144

pembangunan perumahan, seksi pembinaan perumahan dan seksi pengembangan fasilitas umum. Bidang penataan ruang membawahkan seksi perencanaan tata ruang, seksi pemanfaatan ruang dan seksi pengendalian pemanfaatan ruang. Bidang penataan dan pengendalian bangunan, membawahkan seksi pembangunan bangunan gedung, seksi pembinaan teknis bangunan gedung dan seksi pengendalian bangunan. Bidang permukiman, membawahkan, seksi

pembangunan, seksi pembinaan teknis dan seksi pengembangan teknologi dan industri. Bidang kebersihan, membawahkan eksi pelayanan kebersihan, seksi kerjasama pengelolaan persampahan dan seksi pengembangan sarana dan prasarana. Dinas Pekerjaan Umum Kota Cimahi Kepala Dinas terdiri dari Sekretariat, membawahkan sub bagian program dan pelaporan, sub bagian keuangan dan sub bagian umum dan kepegawaian. Bidang Tata Ruang, membawahkan sub bagian perencanaan tata ruang dan sub bagian pemanfaatan pengendalian tata ruang. Bidang Bina Marga, membawahkan sub bagian perencanaan jalan dan jembatan, seksi jalan dan jembatan dan seksi pengendalian dan pengawasan. Bidang Perumahan dan Gedung, membawahkan seksi perencanaan dan pembangunan perumahan dan gedung dan seksi pengendalian dan pengawasan, Unit Pelaksana Teknis serta Kelompok Jabatan Fungsional Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kabupaten Bandung Barat mempunyai struktur organisasi yang terdiri dari Sekretariat, membawahkan Sub Bagian Penyusunan Program, Sub Bagian Umum dan Kepegawaian dan Sub Bagian Keuangan, Kelompok Jabatan Fungsional, Bidang Perumahan, Bidang Prasarana

145

dan Permukiman, Bidang Tata Ruang, Bidang Penataan dan Pengendalian Bangunan, UPTD Pemadam Kebakaran, UPTD Pemakaman dan Pertamanan dan UPTD Kebersihan Berdasarkan struktur organisasi dari masing-masing dinas tersebut bahwa setiap dinas sudah mempunyai struktur organisasi yang cukup baik dengan adanya bagian-bagian tersendiri dalam pengaturan dan pengurusan masing-masing yang menjadi tugasnya dan wewenang masing-masing. Dengan adanya bagian-bagian tersebut maka setiap orang sudah dengan jelas mempunyai kewenangan masingmasing, namun seringkali aparatur yang satu menjalankan tugas aparatur yang lainnya hal ini. Hal ini disebabkan oleh kurangnya jumlah aparatur. Hal ini dilakukan apabila salah satu aparatur tidak bekerja. Hal tersebut dilakukan agar proses pelayanan terus berjalan dengan lancar dan telah melakukan konfirmasi terlebih dahulu. Struktur organisasi dalam pelaksana kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU di Diskimrum Provinsi Jawa Barat adalah Bidang tata ruang dan kawasan bagian seksi pengendalian dan pengawasan dimana seksi ini bertugas dalam pelaksanaan penyusunan bahan kebijakan dan strategi operasional tentang pengendalian pemanfaatan ruang serta pengawasan bidang permukiman dan perumahan, pelaksanaan pemberian bantuan teknis dan fasilitasi pengendalian pemanfaatan ruang dan pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis, kawasan pesisir, kawasan perkotaan dan perdesaan yang bersifat lintas batas.

146

.Berdasarkan hal tersebut seksi pengendalian dan pengawasan di Diskimrum Provinsi Jawa Barat merupakan bagian yang mengurus semua seluk beluk tentang tata ruang di KBU, mulai dari pengawasan, pembuatan laporan, fasilitasi, sampai kepada pengurusan rekomendasi gubernur. Dalam struktur birokrasi yang ada pada Diskimrum sudah bertugas sesuai dengan prosedur dan ketentuan tugas pokok dan fungsinya masing-masing, sedangkan yang berwenang dalam proses implementasi kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU dalam ruang lingkup Kab/Kota adalah Dinas Pekerjaan Umum yang bekerja sama dengan Dinas Pelayanan Perizinan dan Bappeda, dimana para aparatur itu telah sesuai dengan prosedur dan ketentuan tugas pokok dan fungsinya masing-masing. Setiap aparatur mempunyai tugas pokok dan fungsi masing-masing yang berbeda-beda, aparatur satu dengan yang lainya mepunyai tugas pokok yang berbeda walaupun di bidang yang sama. Hal ini disesuaikan dengan kewenangan dalam struktur organisasi tersebut. jika aparatur pelaksana kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU melakukan tugas diluar kewenangannya, maka akan mendapatkan sanksi. Aparatur sebelum menjalankan tugas pokok dan fungsinya, sebelumnya telah memiliki pelatihan-pelatihan dan pedoman-pedoman serta aturan-aturan yang berbeda-beda. Berdasarkan uraian diatas bahwa bureaucratic structure atau struktur birokasi di Diskimrum maupun dinas-dinas terkait dengan pengurusan proses pengendalian pemanfaatan ruang KBU, baik itu SOP dan fragmentation atau

147

penyebaran tanggung jawab dilaksanakan sesuai prosedur dan ketentuan yang terdapat pada struktur birokrasi dalam pelaksanaan kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU baik dan aparatur-aparatur tersebut melaksanakan pelayanan publik berdasarkan pada wewenang masing-masing.

4.4.1 Standar Operating Prosedures dalam Kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU Struktur organisasi sebagai pelaksana kebijakan memiliki peranan penting dalam implementasi kebijakan Perda Jabar No. 01/2008, salah satu aspek yang terpenting dalam organisasi adalah adanya standard operational procedures (SOP). SOP adalah suatu standar atau pedoman tertulis yang dipergunakan untuk mendorong dan menggerakan suatu dinas untuk mencapai tujuan. SOP merupakan tata cara atau tahapan yang dibakukan dan harus dilalui untuk menyelesaikan suatu proses kerja tertentu. SOP di Diskimrum, Dinas Pekerjaan Umum Kab/Kota di KBU berpedoman kepada rencana strategis yang terdiri dari pernyataan visi dan misi, tujuan dan sasaran strategis masing-masing dinas. SOP di Diskimrum dan Dinas-dinas Pekerjaan Umum Kab/Kota bertujuan untuk kedepan dengan mempertimbangkan sumber daya dan kemampuan yang dimiliki, serta faktor lingkungan yang mempengaruhinya. Pelayanan prima merupakan tolak ukur dalam proses pemberian pelayanan. Pelayanan prima ini dibentuk dengan memberikan kemudahan dalam mengurus administrasi proses

148

pemanfaatan ruang, memberikan pelayanan secara wajar kepada masyarakat, memberikan perlakuan yang jujur dan memberikan pelayanan yang sama terhadap setiap masyarakat yang sedang melakukan proses pemanfaatan ruang di KBU. Berdasarkan hasil penelitian mengenai SOP ini bahwa semua aparatur telah melaksanakan tugas-tugasnya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berada dalam SOP yang berlaku. SOP ini dibentuk untuk mempelancar proses jalannya implementasi kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU, dimana dalam Perda ini setiap orang yang akan melakukan proses pemanfaatan ruang di KBU harus melalui beberapa tahapan atau ketentuan yang berlaku. Hal ini meliputi proses pengurusan izin baik itu izin mendirikan bangunan, izin lahan, IPPT dan sebagainya, dimana proses pengurusan izin ini berjalan panjang karena berdasarkan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU setiap orang yang akan memanfaatkan ruang di KBU harus melalui rekomendasi gubernur untuk bangunan dalam taraf yang besar seperti pembangunan hotel, mall dan fasilitas publik lainnya. Ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dijalankan oleh aparatur pelaksana kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU. Standard operational procedures (SOP) ini dijalankan oleh aparatur dengan ketentuan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dalam struktur birokrasinya. Apabila mereka melanggar, maka akan mendapat sanksi tegas yang diberikan oleh Kepala Dinas masing-masing kepada petugas yang melanggarnya. Hal tersebut dilakukan agar

149

mereka bekerja sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing sehingga tidak ada satupun petugas melakukan tugasnya melebihi prosedur yang sudah ditetapkan, kecuali dengan adanya konfirmasi terlebih dahulu. Berdasarkan uraian diatas proses SOP merupakan pedoman yang digunakan untuk mendorong aparatur dalam meningkatkan pelayanan secara prima dan untuk mendukung jalannya kinerja aparatur yang optimal dalam menjalan tugas pokok dan fungsinya masing-masing, baik itu Diskimrum maupun Dinas-dinas Pekerjaan Umum Kab/Kota mempunyai struktur birokrasi yang lengkap terdiri dari Kepala Dinas, Kepala Bidang, Kepala Seksi, dan petugas operator yang bertugas di lapangan untuk melaksanakan kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU. Setiap aparatur sudah ditetapkan tugasnya masing-masing sehingga tidak dibenarkan melaksanakan tugas yang bukan bagiannya, mengenai SOP dalam kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU di Diskimrum dan Dinas Pekerjaan Umum sudah baik.

4.4.2 Fragmentasi dalam Kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU Struktur birokrasi merupakan pembagian tugas dan tanggung jawab kepada masing-masing orang yang ada dalam organisasi, struktur biorkrasi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kinerja organisasi publik. Struktur organisasi menjelaskan bagaimana kedudukan, tugas, dan fungsi yang dialokasikan dalam organisasi. Hal ini mempunyai dampak yang signifikan

150

terhadap cara setiap individu melaksanakan tugasnya dalam organisasi, ketika arah dan strategi organisasi secara keseluruhan telah ditetapkan serta struktur organisasi telah dibentuk maka hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana organisasi tersebut melakukan kebiatan atau menjalankannya tugas dan fungsinya. Fragmentation atau penyebaran tanggung jawab yang terjadi didalam lingkungan Diskimrum dan Dinas Pekerjaan Umum berlangsung terwujud melalui pola kinerja mereka yang saling bekerja sama untuk mensukseskan pelaksanaan kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU. Aparatur pelaksana kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU dalam menjalankan tugas saling membantu dan bekerjasama serta berkompetisi secara sehat. Hal itu dilakukan dalam mencapai keberhasilan kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU guna meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Aparatur pelaksana kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU ini dalam menjalankan tugasnya saling melengkapi dan mendukung masing-masing dari mereka, sehingga pola hubungan yang terjadi bersifat saling bekerjasama. Mereka tetap berkompetisi dalam melaksanakan tugasnya, akan tetapi kompetisi yang mereka lakukan dengan positif dan sehat. Berdasarkan wawancara dengan mengenai fragmentation bahwa

penyebaran tanggung jawab tersusun berdasarkan bagian-bagian masing-masing yang terdapat pada struktur organisasinya. Setiap struktur birokrasi tersebut melaksanakan tugasnya sesuai dengan tugas yang diberikan kepada masing-

151

masing bagiannya. Dalam hal penyebaran tanggung jawab baik itu di Diskirmrum maupun Dinas Pekerjaan Umum di Kab/Kota KBU dilakukan secara merata tidak ada kesenjangan-kesenjangan atau pilih kasih kepada para aparatur pelaksana. Penyebaran tanggung jawab diberikan sesuai dengan struktur birokrasi yang sudah ditetapkan sebelumnya oleh setiap masing-masing Kepala Dinas. Penyebaran tanggungjawab aparatur pelaksana kebijakan dalam

menjalankan tugasnya saling membantu dan bekerjasama serta berkompetisi secara sehat, hal itu dilakukan untuk membangkitkan semangat aparatur pelaksana kebijakan dalam mencapai keberhasilan menerapkan kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU. Aparatur pelaksana kebijakan menjalankan tugasnya saling melengkapi dan mendukung masing-masing dari mereka sehingga hubungan yang terjadi adalah hubungan kerjasama. Penyebaran tanggung jawab tersebut dapat diwujudkan dalam kinerja antara bagian yang satu dengan bagian yang lain, antara bagian tersebut saling bekerjasama dalam melaksanakan tugasnya masing-masing. Misalnya petugas lapangan bekerja sama dengan bagian fungsional untuk melakukan proses pengecekan ke lapangan mengenai bangunan yang hendak dibangun. Penyebaran tanggung jawab yang diberikan oleh Kepala Dinas kepada aparatur pelaksana kebijakan lainnya tersusun sesuai dengan struktur organisasi yang sudah ditetapkan sebelumnya, sehingga aparatur pelaksana kebijakan dapat mengetahui tugas pokok dan fungsinya supaya penyebaran tanggung jawab ini dapat terlaksana dan membawa keberhasilan dalam kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat

152

No. 1 Tahun 2008 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU. Namun berdasarkan pengamatan peneliti bahwa terdapat ketidaksingkronan penyebaran tanggung jawab apabila dilihat dari struktur birokrasi beserta tugas pokok dan fungsinya, seperti ada beberapa aparatur yang mengemban tugas aparatur lain dengan alasan untuk saling membantu dalam melaksanakan kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU. Berdasarkan wawancara dengan masyarakat mengenai penyebaran tanggung jawab secara umum dapat dilihat dari kinerja aparatur yang dilakukan dengan tahapan-tahapan dan penuh hati-hati serta tidak ceroboh. Masyarakat cukup merasa senang, aman dan nyaman melihat cara kinerja yang dipraktekan oleh aparatur pelaksana kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU yang diberikan kepada masyarakat yang sedang melakukan proses pengurusan pemanfaatan ruang di KBU. Rasa senang ditunjukkan oleh masyarakat dengan bertindak sopan santun terhadap aparatur. Berdasarkan uraian tersebut mengenai fragmentation atau penyebaran tanggung jawab dalam kebijakan Perda Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU baik di dinas provinsi maupun dinas Kab/Kota sudah cukup baik.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai Implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Komunikasi dalam Kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU belum berjalan dengan efektif. Hal ini dikarenakan masih kurangnya sosialisasi kepada masyarakat luas disertai dengan kurangnya proses pembinaan kepada aparatur sehingga menyebabkan terjadinya kesimpangsiuran aparatur dalam menjalankan Kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU ini dan ketidakpahaman masyarakat terhadap pemanfaatan ruang di KBU. 2. Sumber Daya yang kurang memadai meliputi sumber daya aparatur dan sarana dan prasarana dalam proses pelaksanaan Kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU. Sumber daya aparatur menyangkut baik kualitas maupun kuantitas aparatur yang balum memadai. 3. Sikap dan perilaku pelaksana Kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU yang belum optimal serta ketidakpastian mengenai insentif yang diberikan kepada aparatur.

153

154

4.

Struktur Birokrasi di dinas-dinas yang bertugas dalam implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU sudah cukup baik karena telah melaksanakan tugasnya sesuai dengan tugas dan fungsinya.

5.

Pelaksanaan Kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU belum berjalan secara efektif dan efisien.

5.2

Saran Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian tersebut, maka peneliti

memberikan saran sebagai berikut: 1. Meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat dengan lebih tertata serta menjalin hubungan yang sinergis antara aparatur dengan aparatur maupun aparatur dengan masyarakat harus terjalin lebih sinergis. 2. Mengadakan pelatihan dan pembinaan bagi setiap aparatur untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusianya serta melengkapi sarana dan prasara yang mendukung jalannya Kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU. 3. Melakukan revisi terhadap Kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU khususnya mengenai insentif yang tidak begitu jelas.

155

4.

Menambah kuantitas aparatur dalam menjalankan Kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU agar tidak terjadi pelemparan wewenang atau penyalahgunaan wewenang serta lebih meningkatkan pola-pola hubungan dan menaati peraturan yang ada untuk dapat menciptakan pegawai yang professional dan handal.

DAFTAR PUSTAKA BUKU-BUKU Agustino, Leo. 2008. Dasar Dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta. Ar. Mustopadidjaja. 2003. Manajemen Proses Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi dan Evaluasi. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara. Badudu, J. Sdan Sutan Mohammad Zain. 2001. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Dunn, William. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Dye, Thomas R. 1975. Understanding Public Policy. Englewood Cliff,N.J: Printice-Hall 2nd ed. Edward III, George C.1980. Implementing Public Policy.Washington DC: Congresional Quarterly Press. Faisal, Sanapiah. 1999. Format-Format Penelitian Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Friedrich, Carl J. 1963. Man and His Government. Newyork:McGraw-Hill.

Grindle, M.S. 1980. Politics and Policy Implementation in the third world. New Jersey:Princeton University Press Indiahono. Dwiyanto. 2009. Kebijakan Publik Berbasis Dynamic Policy Analisys.Yogyakarta: Gava Media. Jones, Charles O. 1991. Pengantar Kebijakan Publik. (terjemahan): Jakarta. Rajawali Press Jones, G.R. 1995. Organizational Theory: Structure, Take and Case. New York: Addison-Wasley Pub;ishing Company. Hogerwerf. 1983. Ilmu Pemerintahan. Jakarta: Erlangga Islamy,M.Irpan.1995.Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara. Jakarta: Sinar Grafika. Mazmanian, D.A and Sabatier, P.A. 1983. Implementation and public policy.London:Scoot, Foresman and company

156

Nugroho, Rian. 2003. Kebijakan Publik, formulasi, Implementasi dan evaluasi. Jakarta: Media Komputindo. Poerwadarminta, W. J. S. 1996. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Pressman, J.L. and Wildavsky, 1973.Implementation. Barkley and Los Angeles: University of California Press. Pudyatmoko. Sri. 2009. Perizinan Problem Dan Upaya Pembenahan. Jakarta: PT. Grasindo. Soejito. Irawan. 1983. Pengawasan terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah. Jakarta: Bina Aksara Subarsono, AG. 2006. Analisis Kebijakan Publik:Konsep, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta:Pustaka Pelajar. Tachjan. 2006. Implementasi Kebijakan Publik. Bandung: Aipi Puslit KP2W Lemlit UNPAD. Tangkilisan. Hesel Nogi S. 2003. Kebijakan Publik yang Membumi. Yogyakarta: Lukman Offset danYayasan pembaruan administrasi publik Indonesia. Van Meter, D.S. and Van Horn, C.E. 1975. The Policy Implementation Process : A Conceptual framework. Administration And Society. February Wahab, Solichin Abdul. 2005. Analisis Kebijakan: dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara. Jakarta:PT. BumiAksara. Widodo. 2007. Analisis Kebijakan Publik. Jakarta: Bayu Media. Winarno, Budi. 2012. Teori Dan proses Kebijakan Publik.Yogyakarta: Media press. DOKUMEN-DOKUMEN Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara

157

Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 22 Tahun 2010 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat Tahun 2009-2029 Peraturan Gubernur Jawa Barat No. 21 Tahun 2009 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara Peraturan Gubernur Jawa Barat No. 58 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Jawa Barat No. 21 Tahun 2009 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara Lampiran IV Peraturan Gubernur Jawa Barat No. 21 Tahun 2009 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara Lampiran VI Peraturan Gubernur Jawa Barat No. 58 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Jawa Barat No. 21 Tahun 2009 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor : 18 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung Tahun 2011-2031 Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (Rtrw) Kabupaten Bandung Tahun 2007 Sampai Tahun 2027 Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Barat Nomor 2 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bandung Barat Tahun 20092025 Peraturan Daerah Kota Cimahi Nomor 32 Tahun 2003 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Cimahi
Dinas Tata Ruang Dan Permukiman Propinsi Jawa Barat (2011). Laporan Akhir Evaluasi Pemanfaatan Ruang dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara. Ibrahim, Syahrul (1998). Pengendalian Pemanfaatan Ruang Terpadu, Konsisten dan Berkualitas. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol 9 No. 2.

158

Anda mungkin juga menyukai