Anda di halaman 1dari 2

Pembahasan

Gagal napas merupakan kondisi gawat darurat yang memerlukan tindakan medis segera. Tindakan medis ini memerlukan tenaga dan peralatan medis yang memadai. Hal ini menimbulkan beberapa permasalahan karena penanganannya perlu mempertimbangkan aspek hukum, budaya, dan etika. Ketentuan tentang pemberian pertolongan dalam keadaan darurat telah tegas diatur dalam pasal 51 UU No.29/2004 tentang Praktik Kedokteran, di mana seorang dokter wajib melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan. Dengan demikian, setiap dokter yang mendapatkan kasus gagal napas wajib untuk memberikan penanganan. Di USA, terdapat doktrin Good Samaritan. Doktrin tersebut terutama diberlakukan dalam fase pra-rumah sakit untuk melindungi pihak yang secara sukarela beritikad baik menolong seseorang dalam keadaan gawat darurat. Apabila pasien menggugat dokter yang menangani oleh karena suatu cedera yang dialaminya, maka pasien tersebut harus membuktikan bahwa hanya tindakan tersebut yang membuatnya cedera. Namun jika sudah terbukti, bukan berarti dokter yang menangani langsung dinyatakan bersalah karena situasi dan kondisi gawat darurat juga perlu dipertimbangkan. Selain itu, permintaan persetujuan dari keluarga pasien juga perlu dilakukan karena pasien tidak dapat dimintai persetujuan oleh karena penurunan kesadaran. Namun pada pasien gagal napas yang tidak didampingi siapapun, tidak perlu diminta persetujuan karena merupakan tindakan life saving. Tindakan medis ini pun memerlukan biaya untuk tenaga kerja maupun untuk peralatan yang telah terpakai. Hal ini akan menjadi masalah bagi pasien yang tidak mampu. Namun karena tindakan ini termasuk life saving pada fase pra-rumah sakit, maka tindakan ini termasuk public goods yang sejajar dengan prasarana umum. Dalam hal ini, pemerintah bertanggungjawab atas pembiayaannya. Biaya tersebut didapatkan dari pajak yang diberikan oleh rakyat untuk sarana dan prasarana umum, termasuk penatalaksanaan kegawatdaruratan yang bersifat life saving.

Dalam aspek etika, segala tindakan medis yang dilakukan untuk menangani pasien gagal napas harus mempertimbangkan kaidah dasar bioetika, yaitu beneficence, non-maleficence, otonomi dan justice. Dalam hal otonomi, tentu seorang dokter harus menghargai hak pasiennya, termasuk memberikan informed consent dan meminta persetujuan. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, persetujuan hanya diminta jika pasien dalam keadaan sadar penuh dan bisa dimintai persetujuan. Atau, pasien tidak sadar namun ada keluarga yang mendampingi. Yang menjadi masalah adalah jika seorang pasien dengan gagal nafas yang menggunakan haknya untuk meminta dibiarkan meninggal dengan tenang tanpa peralatan bantuan (letting die naturally). Ditinjau dari aspek etika, hal tersebut sesungguhnya dapat dilihat dari dua sisi, dimana di satu sisi perbuatan tersebut ialah tindakan amoral karena menyebabkan hilangnya nyawa seseorang, namun di sisi lain dapat dianggap sebagai perbuatan mulia karena bermaksud untuk tidak memperpanjang penderitaan yang dialami oleh pasien. Dijelaskan dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) dalam pasal 7d, yang berbunyi: Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menurut Kode Etik Kedokteran Indonesia, seorang dokter harus tetap mengupayakan peringanan atas penderitaan pasien, namun tidak diperbolehkan untuk mengakhiri nyawa sang pasien.

Anda mungkin juga menyukai