Kelompok 1: Iman Hakim W Imelda Widyasari S MutiaMilidiah GilangRara A Irma Nuraeni H RadityaBagas W Isnila F Kelilauw Yefta Nyimas Eva F FiskaPraktika W FickryAdiansyah G1A011001 G1A011002 G1A011003 G1A011004 G1A011005 G1A011006 G1A011007 G1A011066 G1A011009 G1A011010 G1A009008
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN JURUSAN KEDOKTERAN 2013
BAB I PENDAHULUAN
INFORMASI 1 Pada saat anda bertugas di poliklinik anak, seorang anak laki-laki berusia 7 tahun diantar ibunya dengan keluhan utama BAK berwarna merah kehitaman sejak 3 hari sebelum datang ke poliklinik. Selain itu ibu pasien menuturkan BAK sedikit daripada biasanya sekitar gelas belmbing tiap kali BAK, dan hanya 2 kali dalam 24 jam. Nafsu makan sangat menurun, namun masih mau minum banyak.
INFORMASI 2 Anak tersebut mempunyai riwayat kesehatan yang baik, hanya saja 2 minggu yang lalu mengeluhkan panas, batuk, pilek dan nyeri pada
tenggorokannya namun sudah berobat ke Puskesmas dan sudah membaik. Riwayat bengkak di tangan dan di kaki disangkal. Riwayat trauma disangkal. Hasil pemeriksaan fisik: KU Kesadaran : tampak sakit sedang dan lelah : compos mentis
Tekanan darah : 140/90 mmHg Nadi Respirasi Suhu Kepala Thorax Abdomen Ekstremitas : 100x/menit : 20x/menit : 36,70C : edema periorbital ringan. Faring dalam batas normal : jantung dan paru dalam batas normal : nyeri ketok (-), massa suprapubik (-), nyeri tekan (-) : edema (-)
INFORMASI 3 Pemeriksaan laboratorium Hb 10 gr/dl; Ht 31%; leukosit 8000/mm3; BUN 23 mg/dl; serum kreatinin 0,7 mg/dl Urin : warna merah kehitaman
Analisis urin : Proteinuria (+2), eritrosit 22-24/lp, silinder eritrosit (+), leukosit 510 per LP
INFORMASI 5 Penatalaksanaan: 1. Pemberian cairan intravena 2. Untuk penanggulangan edema dan hipertensi ringan disamping diit rendah garam, diberikan furosemid (1-2) mg/kgBB/hari oral dibagi atas 2 dosis sampai edema dan tekanan darah turun. 3. Antihipertensif Bila hipertensi derajat sedang sampai berat disamping pemberian diuretik ditambahkan obat anti hipertensi oral (propanolol atau kaptopril). 4. Antibiotik Penisilin Prokain (PP) 50000 U/KgBB/hari atau eritromisin oral 50 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis 5. Makanan rendah protein (1 gr/kgBB/hari) dan rendah garam (1 gr/hari) 6. Istirahat total selama 3-4 minggu
Epilog Setelah dirawat selama 3 hari anak tersebut diperbolehkan pulang dan kondisinya berangsur membaik
BAB II PEMBAHASAN
A. Klarifikasi Istilah 1. Nafsu makan sangat menurun Anoreksia; patah selera, hilangnya atau berkurangnya nafsu makan (Widyatamma, 2011). B. Batasan Masalah 1. Identitas a. Nama b. Jenis kelamin c. Umur : Anak X : laki-laki : 7 tahun
2. Riwayat penyakit sekarang a. Keluhan utama : BAK merah kehitaman b. Onset c. Kualitas d. Kuantitas : 3 hari sebelum dating ke poliklinik : Warna merah kehitaman : Sedikit sekitar gelas belimbing tiap BAK, 2 kali dalam 24 jam e. Progresifitas f. Faktor memperberat g. Faktor memperingan h. Gejala penyerta C. Analisis Masalah 1. Mengapa pada pasien ini BAK hanya 2x/hari gelas sedangkan minumnya masih banyak ? 2. Apakah penyebab BAK berwarna merah ? 3. Sebutkan berbagai macam warna urin dan penyebabnya ! 4. Apa sajakah komposisi urin normal ? 5. Berapakah volume gelas belimbing dan volume urin normal pada anak? 6. Berapakah tekanan darah normal pada anak? 7. Sebutkan faktor yang mempengaruhi produksi urin! 8. Apakah sajakah diagnosis banding berdasarkan kasus? 9. Apakah diagnosis kerja dari kasus PBL 3? 4 :::: Nafsu makan turun
a. Definisi b. Etiologi c. Epidemiologi d. Penegakan diagnosis e. Patogenesis f. Patofisiologi g. Tata laksana h. Komplikasi i. Prognosis D. Pembahasan Analisis Masalah 1. Penyebab keluhan BAK sedikit dengan minum yang tetap banyak a. Adanya suatu inflamasi yang disebabkan oleh bakteri sehingga dapat membuat suatu proses kompleks imun dimana antibodi dari tubuh akan bereaksi dengan antigen bakteri yang beredar dalam darah dan komplemen untuk membentuk suatu kompleks imun. Kompleks imun yang beredar dalam darah dalam jumlah yang banyak dan waktu yang singkat melekat pada kapiler-kapiler glomerulus dan terjadi perusakan mekanis melalui aktivasi sistem komplemen, reaksi peradangan dan mikrokoagulasi. Kerusakan ini menyebabkan kontraksi yang reversible dari sel mesangial, angiotensin 2 dan leukotrien yang menyebabkan teraktivasinya sistem rennin angiotensin aldosteron. Dengan demikian pasien merasakan haus dan banyak minum akan tetapi urin yang dikulerkan sedikit (Wiguno et al, 2009). b. Pada tumor hipofisis, dapat terjadi sekresi dari hormon ADH yang berlebihan. Dampaknya, hormone tersebut akan menimbulkan rasa haus yang menyebabkan minum banyak. Sedangkan pada ginjal, hormon ini bekerja di tubulus distal mereabsorpsi air tanpa didahului oleh Na. Akibatnya urin yang dikeluarkanpun menjadi sedikit walaupun asupannya banyak (Glassock &Barry, 2000). 2. Buang air kecil berwarna merah kehitaman bisa dikarenakan adanya eritrosit di dalam urin (hematuria). Hematuria adalah didapatkannya sel darah merah atau eritrosit di dalam urin. Secara visual menurut Purnomo
(2011), terdapatnya eritrosit di dalam urin dibedakan dalam dua keadaan yaitu : a. Hematuria makroskopik atau gross hematuria dan hematuria mikroskopik, yaitu yang bisa dilihat secara kasat mata sebagai urin yang berwarna merah. b. Hematuria mikroskopik, yang secara kasat mata tidak dapat dilihat sebagai urin yang berwarna merah tapi secara mikroskopik ditemukan >2 eritrosit. Hematuria dapat disebabkan oleh berbagai kelainan yang berasal dari dalam maupun luar sistem urogenitalia. Kelainan yang berasal dari luar sistem urogenitalia antara lain kelainan pembekuan darah, SLE, dan kelainan sistem hematologik lainnya. Sedangkan yang berasal dari sistem urogenitalia antara lain infeksi/inflamasi (pielonefritis, glomerulonefritis, ureteritis, sistitis, dan uretritis); tumor jinak maupun tumor ganas (tumor Wilm, tumor Grawitz, tumor pielum, tumor ureter, tumor buli-buli, tumor prostat, dan hiperplasia prostat jinak); kelainan bawaan sistem urogenitalia (kista ginjal dan ren mobilis); trauma; dan batu saluran kemih (Purnomo, 2011). Menurut Lestariningsih (2009), beberapa etiologi hematuria adalah: a. Vaskular 1) Gangguan koagulasi 2) Trombosi atau emboli arterial 3) Trombosis vena renalis 4) Malformasi arteri-vena 5) Fistula arteri-vena b. Glomerular 1) Nefropati IgA 2) Glomerulonefritis primer dan sekunder 3) Alport sindrom c. Uroeptithelium 1) Keganasan ginjal dan saluran kemih
2) Latihan yang berlebihan 3) Trauma 4) Nekrosis papilaris 5) Sistitis/utretrits/prostatitis 6) Nefrolitihiasis Sedangkan menurut Rauf, 2002, etiologi hematuria dapat dibedakan sebagai berikut : a. Berasal dari ginjal 1) Perdarahan glomerulus 1) Glomerulonefritis akut 2) Glomerulonefritis membranoproliferatif 3) Nefritis herediter (sindrom Alport) 4) Nefropati IgA 5) Hematuria familial 6) Hematuria benigna rekuren atau persisten 2) Perdarahan ekstra glomerulus a) Pielonefritis akut atau kronik b) Tbc ginjal c) Tumor ginjal d) Hemangioma ginjal e) Ginjal polikistik f) Hidronefrosis g) Nekrosis papil ginjal h) Kelainan vaskular (trombosis vena renalis) i) Trauma ginjal j) Hiperkalsiuria idiopatik b. Berasal dari luar ginjal (external renal bleeding) 1) Infeksi saluran kemih : sistitis, ureteritis, uretritis 2) Batu saluran kemih 3) Trauma saluran kemih 4) Kelainan kongenital saluran kemih 5) Fimosis
6) Stenosis meatus 7) Intoksikasi jengkol c. Penyakit sistemik 1) Sindrom Henoch Schonlein 2) Lupus eritematosus sistemik 3) Poliarteritis nodosa 4) Endokarditis bakterial subakut d. Penyakit darah 1) Leukemia 2) Sindrom hemolitik uremik 3) Trombositopenia purpura idiopatik 4) Hemofilia 5) Penyakit sel sabit e. Olahraga. Dengan mengetahui asal perdarahan, etiologi hematuria lebih mudah ditentukan. Suatu pemeriksaan sederhana yang dipakai untuk menentukan asal perdarahan yaitu: a. Uji tabung 3 gelas Urin ditampung pada awal, pertengahan, dan akhir miksi dalam tabung yang berbeda: 1) Hematuria awal : bila tabung pertama lebih merah dari tabung lain. Menunjukan perdarajan dari uretra posterior atau stenosis meatus 2) Hematuria akhir : bila tabung ketiga lebih merah, menunjukan perdarahan berasal dari leher buli-buli atau uretra bagian proksimal 3) Hematuria total : bila semua tabubg berwarna merah, menunjukan perdarahan berasal dari ginjal atau buli-buli yang hebat. Misalnya pada sistitis hemoragik akut yang disebabkan oleh virus (Rauf, 2002) b. Pemeriksaan dibawah mikroskop 1) Bila ditemukan torak eritrosit atau torak granuler berarti hematuria berasal dari ginjal
2) Morfologi eritrosit: bila hematuria berasal dari glomerulus, maka tampak eritrosit dengan bentuk besar, dan kandungan hemoglobin yang tidak sama. Sebaliknya bila perdarahan berasal dari non glomerulus, seperti dari tumor, batu, ISK bagian bawah dll. Maka tampak eritrosit dengan besar, bentuk, dan kandungan hemoglobin yang sama (Rauf, 2002). 3. Berbagai warna urin dan penyebabnya Tabel 2.1. Berbagai penyebab warna urin (Sacher, 2004). Warna Merah 1. 2. 3. 4. 1. Penyebab Patologik Hemoglobin Mioglobin Porfobilinogen Porfirin Pigmen empedu Penyebab Nonpatologik Banyak obat dan zat warna Bit, rhubarb (kelembak), senna Obat untuk saluran kemih, terutama piridium Obat lain termasuk fenotiazin Wortel Fenasetin, cascara, nitrofurantoin Preparat vitamin Obat psikoaktif Diuretik Diuretik Nitrofuran Levodopa Nitrofuran Beberapa obat sulfa Cascara Kompleks besi Fenol
Oranye
Kuning
1. Urin yang sangat pekat 2. Bilirubin 3. Urobilin 1. Biliverdin 2. Bakteri, terutama pseudomonas Tidak ada
Hijau
Biru
Coklat
1. Hematin asam 2. Mioglobin 3. Pigmen empedu 1. 2. 3. 4. 5. Melanin Asam homogentisat Indikans Urobilinogen Methemoglobin
4. Urin terdiri dari 95 % air, dan sisanya merupakan zat-zat sisa metabolisme. Tabel 2.2. Komposisi rata-rata urin (Makfoeld et al, 2002). a. Klorida b. Natrium c. Posanum d. Kalsium e. Magnesium f. Sulfur g. Nitrogen total h. Urea 28 a. Kreatinin b. Asam hipurat c. Asam urat d. Amonia e. Puris basa f. Kreatinin g. Urobilin h. Asam organik : 1) Asetat 2) Sitrat 3) Formit 4) Oxalat 5) Piruvat 0,03 0,50 0,015 0,02 0,25 8 6 2,75 0,2 0,15 2 14 2 1 0,75 0,75 0,4 0,2 0,05
5. 1 gelas belimbing = 200 ml, gelas belimbing adalah 50 ml. Dikasus BAK 2xsehari,maka dalam waktu 24 jam anak tersebut hanya BAK sebanyak 100 ml. Sedangkan volume urin normal pada anak yaitu sebanyak 1cc/kgBB/jam dan untuk pasien pada kasus ini yaitu sebanyak 528 cc/hari. Dengan demikian pasien ini merupakan oliguri (Lazuardi, 2002).
10
6. Tekanan darah pada Anak Tabel 2.3. Interpretasi tekanan darah pada anak (Bahrun, 2002) Kelompok Umur Neonatus 7 hari 8 30 hari Bayi - < 2 tahun Hipertensi Bermakna Td S 96 Td S 104 Td S 112 Td D 74 Anak-anak 3-5 tahun Td S 116 Td D 75 Anak-anak 6-9 tahun Td S 122 Td D 78 Anak-anak 10-12 tahun Td S 126 Td D 82 Remaja 13-15 tahun Td S 136 Td D 86 Remaja 16-18 tahun Td S 142 Td D 92 Hipertensi Berat Td S 106 Td S 110 Td S 118 Td D 82 Td S 124 Td D 84 Td S 130 Td D 86 Td S 134 Td D 90 Td S 144 Td D 92 Td S 150 Td D 98
Pada kasus tekanan darah anak dengan usia 7 tahun (140/90 mmHg) termasuk hipertensi berat. 7. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi produksi urin a. Jumlah air yang diminum, apabila banyak air yang diminum maka penyerapan air ke dalam darak sedikit, sehingga pembuangan air jumlahnya lebih banyak dan urin akan terlihat bening dan encer.
11
b. Jumlah garam yang dikeluarkan dari darah sehingga tekanan osmotik tetap. Semakin banyak garam yang dikonsumsi, makan pengeluaran urin akan semakin banyak c. Konsentrasi hormon insulin yang rendah akan meningkatkan jumlah produksi urin d. Hormon antidiuretik (ADH). Jika darah sedikit mengandung air, maka ADH akan diproduksi yang mengakibatkan penyerapan air meningkat sehingga urin yang terjadi jumlahnya sedikit dan pekat. e. Suhu lingkungan, jika suhu lingkungan dingin, maka tubuh akan berusaha menjaga suhu tubuh dengan mengurangi jumlah darah yang mengalir ke kulit sehingga darah akan lebih banyak yang menuju organ tubuh, di antaranya adalah ginjal. Apabila darah yang menuju ginjal jumlah semakin banyak, maka pengeluaran urin pun banyak. f. Emosi dan stress di mana tekanan darah akan meningkat, sehingga darah yang menuju ginjal meningkat dan produksi urin pun meningkat. g. Minuman alkohol dan kafein yang dapat menghambat pembentukan hormon ADH (Alatas et al, 2009). 8. Diagnosis banding berdasarkan kasus a. Glomerulonefritis pasca streptococcus (GNAPS) Glomerulonefritis akut terutama terjadi pada anak usia sekolah. Penyakit ini secara khas terjadi 7-14 hari setelah infeksi tenggorokan oleh kuman stretptokokus beta hemolitikus grup A, tetapi terdapat peningkatan presentase kejadian karena penyebab lain, misalnya virus. Sebagian besar anak dengan penyakit ini tidak menunjukkan gejala. Gejala yang khas berupa malaise, sakit kepala, dan rasa tidak enak di daerah pinggang yang tidak jelas. Namun, urin yang keruh mungkin merupakan gejala pertama yang dikeluhkan. Edema cenderung tampak di sekitar mata, punggung tangan, dan punggung kaki. Pada pemeriksaan mikroskopik urin, tampak hematuria makroskopik dengan silinder granuler dan silinder sel darah merah. Dapat juga ditemukan proteinuria. Oliguria biasanya ringan di sebagian besar kasus, tetapi retensi cairan yang berat kadang-kadang dapat menimbulkan hipertensi
12
akut, disertai ensefalopati dan kejang, atau gagal jantung (Hull & Johnston, 2008). 1) Tanda dan gejala : a) Didahului infeksi saluran nafas atau kulit oleh kuman streptokokus dari strain nefritogenik. Masa laten antara faringitis dan timbulnya glomerulonefritis pascastreptokokus biasanya 10 hari dan pada penyakit kulit dalam waktu 21 hari. b) Sembab mata atau sembab anasarka c) Hematuria nyata d) Gejala sakit kepala, muntah, letargi, disorientasi, dan kejang. e) Oliguria serta anuria f) Tampak gejala anemia (Rauf, 2002). 2) Gambaran laboratorium: a) Proteinuria ( + 1 sampai +4) b) Hematuria c) Kelainan sedimen urin dengan eritrosis dismorfik, leukosituria, serta torak selular, granular dan eritrosit d) Kadang-kadang ureum dan kreatinin serum meningkat dengan tanda gagal ginjal seperti hiperkalemia, asidosis,
hiperfosfatemia, dan hipokalsemia. e) Tampak adanya proteinuria masif dengan gejala sindrom nefrotik f) Rendahnya kadar komplemen C3 mendukung bukti untuk menegakkan diagnosis. Normal C3 : 50 140 mg/dl (Rauf, 2002). b. Hepatitis Pada penderita hepatitis, gambaran klinis yang bisa ditemukan yaitu (Sudoyo, 2010): 1) Anamnesis: a) Mual b) Muntah c) Anoreksia
13
d) Malaise e) Gejala flu f) Urin berwana gelap g) Feses berwarna seperti dempul 2) Pemeriksaan fisik a) Ikterus b) Hepatomegali c) Sedikit nyeri tekan pada hepar 3) Pemeriksaan laboratorium : SGOT/SGPT meningkat. c. Sindroma nefrotik Menurut Pudjosudjadi (2009), sindroma nefrotik merupakan salah satu manifestasi klinik glomerulonefritis yang ditandai dengan : 1) Edema anasarka 2) Proteinuria masif 3,5g/dL 3) Hipoalbuminemia 3,5g/dL 4) Hiperkolesterolemia 5) Lipiduria 6) Gangguan keseimbangan nitrogen 7) Hiperkoagulabilitas 8) Ganguan metabolisme kalsium dan tulang Tanda dan gejala yang bisa ditemukan antara lain (Wirya, 2002) : 1) Edema 2) Gangguan gastrointestinal (seperti diare, hepatomegali, nyeri diperut, nafsu makan berkurang, malnutrisi) 3) Gangguan pernafasan Oleh karena adanya distensi abdomen dengan atau tanpa efusi pleura maka pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat. Keadaan ini dapat dibatasi dengan pemberian infus albumin dan obat furosemid. 4) Gangguan fungsi psikososial
14
Kecemasan dan rasa bersalah merupakan respon emosional, tidak saja pada orangtua pasien, namun juga dialami oleh anak sendiri . Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita sindrom nefrotik adalah (Purnomo, 2011) : 1) Infeksi sekunder, mungkin karena kadar immunoglobulin yang rendah akibat hipoalbuminemia 2) Syok, terjadi terutama hipoalbuminemia berat (< 1mg/100ml) yang menyebabkan hipovolemi berat sehingga terjadi syok 3) Thrombosis vaskuler, mungkin karena gangguan system koagulasi sehingga terjadi peninggian fibrinogen atau faktor V,VII,VIII dan X. Trombus lebih sering terjadi pada sistem vena apalagi bila disertai pengobatan kortikosteroid. 4) Malnutrisi 5) Gagalginjal d. Sindrom Nefritik Sindrom Nefritik Akut (SNA) merupakan kumpulan gambaran klinis berupa oliguria, edema, hipertensi yang disertai adanya kelainan urinalisis (proteinuri kurang dari 2 gram/hari dan hematuri serta silinder eritrosit). Etiologi SNA sangat banyak, diantaranya kelainan glomerulopati primer (idiopati), glomerulopati pasca infeksi, DLE, vaskulitis dan nefritis herediter (sindroma Alport) (Messina et al, 2004). SNA merupakan salah satu manifestasi klinis Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus (GNAPS). Sindrom nefritik akut pasca infeksi streptokokus dengan gejala klinis yang jelas termasuk penyakit dengan insiden yang tidak terlalu tinggi, sekitar 1 : 10.000. Sindrom nefritik akut pasca infeksi streptokokus tanpa gejala insidennya mencapai jumlah 4 . 5 kali lebih banyak. Umumnya menyerang semua usia, namun terutama laki-laki usia 3 . 7 tahun. Diagnosis sindroma nefritik akut dibuat berdasarkan adanya: (i) oliguri (ii) edema (iii) hipertensi serta (iv) kelainan urinalisis berupa proteinuri kurang dari 2 gram/hari dan hematuri serta silinder eritrosit (Messina et al, 2004).
15
Namun pada beberapa kepustakaan disebutkan proteinuri masif dapat terjadi pada 2 . 5% penderita GNAPS usia muda, bahkan dapat menyerupai suatu gambaran proteinuri pada sindrom nefrotik. Pada penderita (kasus) tersebut diatas, ditemukan tiga dari empat kriteria yang terpenuhi yaitu adanya edema pada seluruh tubuh, hipertensi grade II, serta kelainan urinalisis berupa hematuria 22 . 24/lapang pandang dan proteinuria 3,25 gram/liter/hari (Messina et al, 2004). Tabel 2.4. Perbedaan sindrom nefrotik dan nefritik (Meadow & Simon, 2003). Marker Edema Tekanan darah Albumin (urin) Eritrosit (urin) Leukosit (urin) Silinder Bakteri Serum albumin Sindroma Nefritik Wajah (ringan) ++ ++++ ++ Seluler/granuler 0 N Sindroma Nefrotik Nyata N ++++ 0/0 Hialin 0
9. Diagnosis kerja berdasarkan kasus pada pbl ini adalah Glomerulonefritis akut pasca streptococcus (GNAPS). a. Definisi Glomerulonefritis merupakan penyakit ginjal dengan suatu inflamasi dan proliferasi sel glomerulus. Pada anak kebanyakan kasus glomerulonefritis akut adalah pasca infeksi, paling sering infeksi streptokokus beta hemolitikus grup A. Dari perkembangan teknik biopsi ginjal per-kutan, pemeriksaan dengan mikroskop elektron dan imunoflouresen serta pemeriksaan serologis, glomerulonefritis akut pasca streptokokus telah diketahui sebagai salah satu contoh dari penyakit kompleks imun. Penyakit ini merupakan contoh klasik
16
sindroma nefritik akut dengan awitan gross hematuria, edema, hipertensi dan insufisiensi ginjal akut (Lumbanbatu, 2003). b. Etiologi Peradangan pada glomerulonefritis disebabkan oleh mekanisme imunologis yang menimbulkan kelainan patologis glomerulus. Pada anak, Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus (GNAPS) paling sering disebabkan oleh Streptococcus beta hemolyticus group A tipe nefritogenik. Tipe antigen protein M berkaitan erat dengan tipe nefritogenik. Serotipe streptokokus beta hemolitik yang paling sering dihubungkan dengan glomerulonefritis akut (GNA) yang didahului faringitis adalah tipe 12, tetapi kadang-kadang juga tipe 1, 4, 6, dan 25. Tipe 49 paling sering dijumpai pada glomerulonefritis yang didahului infeksi kulit/pioderma, walaupun galur 53, 55, 56, 57, dan 58 dapat berimplikasi. Protein streptokokus galur nefritogenik yang merupakan antigen antara lain endostreptosin, antigen presorbing (PA-Ag), nephritic strain-assosiated protein (NSAP) yang dikenal sebagai streptokinase dan (Lumbanbatu, 2003). c. Epidemiologi GNAPS dapat terjadi secara epidemik atau sporadik, paling sering pada anak usia sekolah yang lebih muda, antara 5-8 tahun. Perbandingan anak laki-laki dan anak perempuan adalah 2 : 1. Di indonesia, penelitian multisenter selama 12 bulan pada tahun 1988 melaporkan 170 orang pasien yang dirawat di rumah sakit pendidikan, terbanyak di Surabaya (26,5 %) diikuti oleh Jakarta (24,7 %), Bandung (17,6 %), dan Palembang (8,2 %). Perbandingan pasien laki-laki dan perempuan 1,3 : 1 dan terbanyak menyerang anak usia 6-8 tahun (40,6 %) (Lumbanbatu, 2003). nephritic plasmin binding protein (NPBP)
17
d. Penegakan diagnosis Diagnosa Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus dapat ditegakkan dengan melihat beberapa tanda, antara lain (Wiguno et al, 2009): 1) Anamnesis a) Kencing berwarna kemerahan b) Panas, demam c) Usia 3-10 tahun d) Oliguria e) Faringitis, tonsillitis 2) Pemeriksaan Fisik a) Hematuria b) Hipertensi ringan sedang c) Edema anasarka, edema pretibial, edema periorbital 3) Pemeriksaan Laboratorium a) Hematuria b) Proteinuria c) Silinder hialin, granular, eritrosit d) Nilai GFR menurun e) Nilai BUN menurun f) Anemia normokromik g) Nilai titer ASTO meningkat h) Hipoalbuminemia Tabel 2.5 Nilai normal ASTO (Meadow dan Simon, 2003). USIA 6 bln 2tahun 2-4tahun 5-12 tahun Dewasa NILAI NORMAL 80 Todd unit/mL 16 Todd unit/mL 170 Todd unit/mL 160 Todd unit/mL
18
e. Patogenesis
Gambar 2.1. Patogenesis GNAPS (Alatas, 2002; Behrman, 2004; Price, 2006).
19
f. Patofisiologi
20
g. Tata laksana Tatalaksana GNAPS menurut Meadow dan Simon (2003): 1) Suportif a) Tirah baring selama 3-4 minggu b) Asupan elektrolit c) Diet protein hewani 0,5-0,7 gr/kgBB/hari d) Lemak tidak jenuh e) Asupan K <70-70meq/hari f) Natrium 20meq/hari g) Aktivitas h) Rujuk i) Higienitas 2) Pemantauan a) Terapi : pengobatan, cek vital sign b) Komplikasi : hipertensi, payah jantung, CRF 3) Farmakologi a) Cairan intravena b) Furosemide (1-2)mg/kgBB per oral dibagi dalam 2 dosis sampai edema dan tekanan darah turun c) Antihipertensi derajat sedang-berat diberi propanolol atau captopryl (2x25mg/kgBB) d) Antibiotik penisilin prokain (PP) 50000 U/kgBB (BB 22kg = 1jt/kgBB/hari) atau eritromisin oral 50mg/kgBB/ hari dalam 3 dosis selama 10 hari h. Komplikasi 1) Oliguria sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari. Terjadi sebagia akibat berkurangnya filtrasi glomerulus. Gambaran seperti insufisiensi ginjal akut dengan uremia, hiperkalemia,
hiperfosfatemia dan hidremia. Walau aliguria atau anuria yang lama jarang terdapat pada anak, namun bila hal ini terjadi maka dialisis peritoneum kadang-kadang di perlukan (Wahab, 2000).
21
2) Ensefalopati hipertensi yang merupakan gejala serebrum karena hipertensi. Terdapat gejala berupa gangguan penglihatan, pusing, muntah dan kejang-kejang. Ini disebabkan spasme pembuluh darah lokal dengan anoksia dan edema otak (Wiguno et al, 2009). 3) Gangguan sirkulasi berupa dispne, ortopne, terdapatnya ronki basah, edema paru, pembesaran jantung dan meningginya tekanan darah yang bukan saja disebabkan spasme pembuluh darah, melainkan juga disebabkan oleh bertambahnya volume plasma. Jantung dapat membesar dan terjadi gagal jantung akibat hipertensi yang menetap dan kelainan di miokardium (Wiguno et al, 2009). 4) Anemia yang timbul karena adanya hipervolemia di samping sintesis eritropoetik yang menurun (Wiguno et al, 2009). i. Prognosis Banyak faktor yang berperan dalam menetapkan prognosis GNAPS antara lain umur saat serangan, derajat berat penyakit, jenis streptokukus tertentu, pola serangan sporadik atau epidemik, tingkat penurunan fungsi ginjal dan gambaran histologis glomerulus. Anak kecil memiliki prognosis lebih baik dibanding anak yang lebih besar atau orang dewasa hal ini disebabkan oleh GNAPS pada dewasa sering disertai lesi nekrotik glomerulus (Lumbanbatu, 2003). Perbaikan klinis yang sempurna dan urin yang normal menunjukkan prognosis yang baik. Insiden gangguan fungsi ginjal berkisar 1-30%. Kemungkinan GNAPS berlanjut menjadi kronik 5-10 %, sedangkan sekitar 0,5-2% kasus menunjukkan penurunan fungsi ginjal cepat dan progresif dan dalam beberapa minggu atau bulan jatuh ke fase gagal ginjal terminal. Angka kematian pada GNAPS bervariasi antara 0-7 % (Lumbanbatu, 2003).
22
DAFTAR PUSTAKA
Alatas, Husein., Taralan T., Partini P.T., dan Sudung O.P. 2009. Buku Ajar Nefrologi Anak. Jakarta: Balai Penerbit FK UI Bahrun, Dahler. 2002. Buku Ajar Nefrologi Anak Edisi 2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia. Behrman, Kliegman, Arvin. 2004. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 17. Philadelphia. Glassock, RJ., Barry MB. 2000. Glomerulopati Mayor dalam : Harrison PrinsipPrinsip Ilmu Penyakit Dalam Edisi 13. Jakarta : EGC Hull, David., Derek IJ. 2008. Dasar-Dasar Pediatri Edisi 3. Jakarta: EGC. Lazuardi S. 2002. Buku Ajar. Nefrologi Anak dalam: Glomerulonefritis. Jakarta: BP IDAI. Lestariningsih. 2009. Sindrom Nefrotik dalam :Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing Lumbanbatu, Sondang Maniur. 2003. Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus pada Anak. Sari Pediatri, Vol. 5, No. 2, September 2003: 58-63 Makfoeld, D., Djagal WM., Pudji H., Sri A., Sri R., Sudarmanto S, et al. 2002. Kamus Istilah Pangan dan Nutrisi. Yogyakarta : Kanisius. Meadow, Roy., Simon, Newell. 2003. Lecture Notes Pediatrika Edisi Ketujuh. Jakarta: Erlangga Messina, LM., Pak LK, Tierney LM. 2004. Glomerulonephropathies. In: Lange Current Medical Diagnosis & Treatment 43rd ed. Philadelphia: Lange Medical Books/McGraw Hill. Price SA., Wilson LM. 2006. Patologi Konsep Klinik Proses-proses Penyakit. Jakarta: EGC. Progjosudjadi, Wiguno. 2009. Sindrom Nefrotik Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Interna Publishing. Purnomo, Basuki B. 2011. Dasar-Dasar Urologi Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto Rauf, Syarifuddin. 2002. Buku Ajar Nefrologi Anak Edisi 2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
23
Sacher R.A, Richard A.M. 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Jakarta: EGC. Sudoyo, et al. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta: InternaPublishing Wahab, A. Samik 2000, vol 3, ed, Ed 15, Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus dalam : Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Jakarta: EGC. Widyatamma. 2011. Kamus Saku Kedokteran. Jakarta: Widyatamma. Wirya, Wila. 2002. Buku Ajar Nefrologi Anak Edisi 2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia. Wiguno, P., et al. 2009. Glomerulonefritis dalam : Ilmu Penyakit Dalam II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
24