Anda di halaman 1dari 5

Muhammad Bayu Hadi Erlangga 1006693773 LTM Kapita Selekta Dr. Ita Syamtasiyah Ahyat, S.S., M.Hum.

. Bahan Bacaan: Poerwanto, Hari. 1990. Orang Khek di Singkawang: Suatu Kajian Mengenai Masalah Asimilasi Orang Cina Dalam Rangka Integrasi Sosial di Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia - Disertasi. Sulistyawati, Rr. 2000. Bahasa Komunitas Etnis Cina Hakka di Singkawang Kalimantan Barat. Depok: Universitas Indonesia - Tesis Suparlan, Parsudi. 2003. Kesukubangsaan dan Posisi Orang Cina dalam Masyarakat Majemuk Indonesia dalam Jurnal Antropologi Indonesia No. 71. Jakarta: Universitas Indonesia. Etnis Cina di Indonesia : Kota Singkawang Kalimantan Barat Kota Singkawang merupakan kota yang terletak di sebelah utara Kalimantan Barat. Singkawang berbatasan dengan Serawak (Malaysia) di sebelah utara, dengan Kota Pontianak di sebelah selatan, sebelah barat dengan laut Natuna dan di sebelah timur dengan Kabupaten Sanggau. Asal kata Singkawang berasal dari bahasa Cina dialek Hakka (Khek). Bahasa ini merupakan bahasa yang dipergunakan oleh orang-orang Cina yang bertempat tinggal di Singkawang. Dalam bahasa Hakka, kata Singkawang berasal dari kata San Kheu Yong. Ketiga suku kata tersebut memiliki arti dalam bahasa Cina dialek Madarin, yaitu Shan yang artinya gunung, Kou yang artinya lautan dan Yang yang artinya lautan. Jadi San Kou Yang (Mandarin) dan Shan Kheu Yong (Hakka/Khek) berarti sebuah tempat yang terletak di muara sungai, yang dilatarbelakangi oleh gunung dan lautan. Penamaan tersebut sangat sesuai dengan kondisi Singkawang yang dikelilingi oleh gunung-gunung, seperti gunung Niut dan gunung Poteng. Kota ini juga terletak di muara sungai yang membelah kota menjadi dua, dan dikelilingi oleh laut Natuna. Sejarah etnis Cina di Singkawang berawal sejak abad 18 dimana Kalimantan Barat dianggap sebagai salah satu daerah tujuan perdangan oleh

bangsa Cina. Dengan tujuan berdagang, mereka membawa porselin, serta ramuan obat-obatan menuju daerah pesisir pantai, salah satunya di Singkawang. Menurut catatan Cina, mereka yang datang ke Singkawang kebanyakan berasal dari Cina bagian Selatan yaitu dari provinsi Guangdong. Di daerah asalnya, orang-orang Cina ini terkenal karena mempuyai sifat pekerja keras dan mempunyai tingkat adaptasi yang sangat tinggi. Di Singkawang, mereka hidup secara berkelompok. Mereka menggunakan bahasa Hakka sebagai bahasa untuk berkomunikasi seharihari dengan sesama kelompoknya. Semakin lamanya mereka merantau ke wilayah Singkawang, banyak dari mereka yang menetap di Singkawang. Hal ini kemudian diperkuat lagi dengan adanya pembukaan tambang emas yang dilakukan oleh Kesultanan Sambas di daerah Monterado pada 1750 dan Mandor pada 1770. Kedua daerah tersebut berada dekat dengan Singkawang. Dengan adanya pembukaan tambang ini, banyak para perantau yang tadinya bertujuan berdagang beralih menjadi penambang. Peralihan tersebut mengakibatkan perubahan tempat tinggal di pesisir pantai, menuju lokasi pertambangan di daerah pedalaman. Di pedalaman mereka berhubungan dengan penduduk asli setempat, yaitu orang-orang Dayak dan Melayu yang tentunya sudah terlebih dahulu melakukan penambangan di lokasi tersebut. Seiring berjalannya waktu, mereka juga mulai mengembangkan usaha mereka di Singkawang. Bukan hanya di bidang pertambangan, mereka juga mengembangkan usaha mereka di bidang perkebunan, pertanian dan peternakan. Banyak dari mereka juga yang mendirikan pemukiman-pemukiman disepanjang jalan darat. Rumah-rumah itu selain digunakan sebagai tempat tinggal, digunakan juga untuk tempat usaha. Seperti contohnya menjual kebutuhan hidup sehari-hari. Keberadaan etins Cina di Singkawang ini bukannya tanpa masalah. Terdapat beberapa masalah yang dialami oleh orang-orang Cina yang menetap di Indonesia. seperti contohnya adalah masalah status kewarganegaraan orang-orang Cina di Indonesia pada awal tahun 1950 hingga 1996. Permasalahan ini menunjukan suatu hal yang rumit. Di mulai dengan adanya kebijakan One China Policy (orang-orang Cina di Indonesia memiliki kewarganegaraan Cina), Perjanjian Dwi Kewarganegaraan (Orang-orang Cina di Indonesia memiliki dua

kewarganegaraan), SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia; dibatalkannya Perjanjian Dwi Kewarganegaraan), hingga tidak diberlakukannya SBKRI. Terlepas dari masalah tersebut, terdapat aspek lain yang perlu diperhatikan tentang kehidupan masyarakat Cina di Singkawang. Seperti halnya aspek kebudayaan, yang antara lain adalah bahasa, tempat tinggal, pendidikan, pekerjaan, kesenian dan keagamaan. Bahasa Cina sebagai identitas etnis, sebetulmya mempunyai perbedaan di setiap kalangan yang memakai bahasa tersebut. Bahasa Cina dialek Hakka/Khek berbeda degan bahasa etnis Teo Chiu, Hokkian, Hwayu, maupun mandarin. Oleh karena itu, untuk berkomunikasi antar sesama etnis Cina, mereka harus menggunakan dialek yang sama. Seperti contohnya, etnis Hakka lebih sering menggunakan dialek bahasanya di Singkawang, dan etnis Teo Chiu lebih sering menggunakan dialek bahasanya di Pontianak. Akibatnya, bila orang Cina Pontianak berbicara dengan Cina Singkawang di Singkawang, maka

kecenderungan bahasa yang digunakan adalah dialek Hakka, begitu juga sebaliknya. Namun bila keduanya hanya menguasai dialek dari etnisnya saja, bukan tidak mungkin mereka akan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa percakapan mereka. Untuk lingkungan tempat tinggal, komunitas etnis Cina Hakka di Singkawang kebanyakan tinggal berkelompok dengan sesama kelompok etnisnya. Secara sederhana, terdapat empat kategori tempat tinggal etnis Cina Hakka di Singkawang. Yaitu; perumahan berbentuk ruko di pasar-pasar, ruko di jalan utama, perumahan di komplek-komplek tertentu, serta perumahan yang berada di gang atau jalan kecil yang letaknya agak dalam. Kelompok etnis Hakka, kebanyakan tinggal di kategori rumah pertama. Di tempat tersebut mereka membangun rumah yang digunakan sebagai tempat tinggal dan usaha. Mereka hidup secara berdampingan dengan membentuk blokblok panjang, sehingga mereka tinggal saling bersebelahan. Hal ini juga senada

dengan kategori rumah kedua, hanya saja letak dari rumah kedua berada di jalan utama. Untuk etnis Cina yang tinggal di kategori rumah ketiga biasanya mereka yang berpenghasilan tinggi. Sedangkan yang tinggal di kategori keempat biasanya mereka yang hidup dari hasil berkebun dan bertani. Ada perbedaan dari ketiga kategori sebelumnya, kategori keempat ini memungkinkan mereka hidup berdampingan dengan kelompok etis lain seperti Dayak dan Melayu. Meskipun mereka juga berdampingan dengan kelompok etnisnya. Masyarakat Cina menganggap bahwa pendidikan merupakan hal yang penting. Tak terkecuali etinis Cina Hakka di Singkawang. Mereka juga menganggap pendidikan merupakan hal yang penting, apalagi untuk anak lakilaki. Bagi kelompok etnis Cina hakka di Singkawang yang memiliki tingkat ekonomi yang tinggi, biasanya mereka menyekolahkan anak-anaknya di sekolah yang dikelola oleh yayasan Kristen atau Katolik. Namun jika mereka berasal dari kelompok yang berekonomi tidak tinggi, biasanya mereka menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah negeri, pilihan terbanyak umumnya sekolah kejuruan. Untuk pekerjaan dan profesi, sebagian besar kelompok etnis Hakka hidup dari usaha berdagang, buruh, pengraji dan bertani. Sektor perdagangan menjadi sektor yang paling banyak dipilih karena Singkawang merupakan kota ramai yang menjadi tempat transit bagi setiap orang yang akan menempuh perjalanan darat ke seluruh kabupaten di Kalimantan Barat. Usaha dagang ini kebanyakan berlangsung di pasar-pasar kota Singkawang maupun di jalan utama. Untuk meningkatkan usahanya, mereka saling bekerja sama dengan sesama kelompok etnisnya. Mereka biasanya saling mempertahankan harga (saling membuat kesepakantan harga jual, sehingga tidak dikenal istilah di bawah harga pasar). Kerjasama ini cenderung dilakukan dengan melihat garis keturunan atau keluarga mereka. Sering juga disebut dengan Shiang. Dalam menjalankan usahanya kelompok etnis ini juga sering mengguakan bahasa etnisnya. Sehingga pembeli yang bukan berasal dari kelompok etnisnya akan belajar memahami bahasa etnis ini, bila ingin mendapat harga yang lebih murah.

Untuk bidang kesenian, umumnya kelompok etnis Hakka di Singkawang ini menggeluti usaha kerajian yang masih memiliki hubungan kekeluargaan. Seperti contohnya kerajinan keramik di daerah Shakok (Nama lokasi pembuatan keramik di Singkawang yang dikerjakan secara turun-temurun). Mereka biasanya memproduksi guci, tempayan, piring dan mangkok yang berhias ornamen kepala naga yang berkesan antik. Kesan antik ini merupakan karena mereka meniru desain yang sudah ada sejak lama dari tanah leluhurunya (biasanya corak-corak lama dari dinasti Ming). Situasi keagamaan kelompok etnis Cina Hakka di Singkawang awalnya sempat mendapatkan masalah. Karena etnis Hakka kebanyakan adalah mereka yang menganut agama Khonghucu pada masa orde baru harus menyembunyikan agamanya dan mengaku bahwa mereka beragama Budha. Meskipun begitu mereka tetap menjalankan syariat dan peraturan agama Khonghucu dan beribadah di kelenteng. Karena banyaknya etnis Hakka yang menganut agama Khonghucu, dapat dengan mudah ditemukan kelenteng di Singkawang. Selain beragama, banyak diantara mereka juga yang menganut agama Budha. Banyak juga vihara di Singkawang yang menggunakan dialek bahasa Hakka dalam bahasa pengatar dalam pelakasanaan peribadatan. Agama Katholik dan Protestan juga turut dianut oleh beberapa etnis Hakka di Singkawang. Ajaran Khonghucu yang memiliki hubungan sangat kental dengan Cina, menjadikan perayaan imlek diperingati dengan sangat meriah di Singkawang.

Anda mungkin juga menyukai