Anda di halaman 1dari 21

MATERI KULIAH TEKNOLOGI PAKAN

POTENSI DAN BAHAN PAKAN

PENDAHULUAN Pakan menjadi salah satu faktor penentu dalam usaha peternakan, baik terhadap produktivitas ternak, kualitas produk peternakan, dan keuntungan pengusaha ternak. Oleh karenanya, program pembangunan peternakan akan tercapai bila mendapat dukungan pemenuhan pakan yang kualitas dan kuantitasnya terjamin sehingga pakan dapat dinyatakan sebagai faktor dominan yang mempengaruhi efisiensi dan kesuksesan dalam usaha peternakan baik secara jumlah maupun mutunya. Untuk memenuhi kebutuhan pakan yang memadai jumlahnya bagi ternak, saat ini pengembangan ternak ruminansia (sapi, kerbau, kambing, dan domba) menghadapi persoalan fluktuasi ketersediaan pakan hijauan. Demikian pula ternak unggas yang dihadapkan pada ketergantungan impor bahan baku pakan. Hal ini terjadi akibat tergusur oleh kepentingan ekonomi yang lebih prospektif, seperti pembangunan rumah tinggal, pasar swalayan sehingga sumber pakan utama ternak ruminansia hanya dapat mengandalkan limbah pertanian, seperti jerami padi, tongkol jagung, dan pucuk tebu. Tentunya kualitas nutrien limbah pertanian mempunyai kualitas yang lebih rendah. Hal ini dicirikan oleh rendahnya tingkat kecernaan, kadar protein kasar, kadar karbohidrat non struktural, dan tingginya kadar serat utama (lignoselulosa) dari limbah pertanian. Demikian pula untuk ternak unggas lebih berorientasi kepada produk impor, seperti tepung ikan, bungkil kedelai, bungkil kelapa, dan jagung. Dalam modul 2, membahas tentang Potensi dan Sumber Bahan Pakan khususnya potensi dan bahan pakan lokal, baik sebagai pakan konvensional maupun inkonvensional melalui hasil penelitian terhadap komoditas potensi tanaman lokal yang bisa dijadikan

sebagai alternatif bahan pakan yang dapat dimaksimalkan penggunaannya, juga bahan pakan lokal berbasis limbah yang implementasinya melalui konsep zero-waste.

POTENSI DAN SUMBER BAHAN PAKAN

Komponen-komponen utama bahan pakan sebenarnya dapat dipenuhi dengan memanfaatkan potensi lokal, karena potensi bahan pakan lokal mempunyai prospek ketersediaan yang tinggi dengan harga relatif murah, namun komposisi zat makanan yang dikandungnya dapat bersaing dengan bahan yang konvensional. Pemanfaatan bahan pakan lokal yang berbasis limbah dan implementasi konsep zero-waste, akan memberi dampak yang ramah lingkungan. Limbah pertanian, perkebunan, agro-industri, limbah pabrik, sisa hasil pemotongan hewan, dan sisa restoran dapat diolah menjadi bahan pakan. Limbah tersebut diantaranya: pucuk tebu, jerami kedelai, batang dan tongkol jagung, kulit singkong, kulit kopi, ampas tebu, dedak padi, bungkil sawit, ampas tahu, ampas tempe (Muhardini, 2006 dalam Mariyono dkk, 2007). Ironisnya, dengan pertimbangan untuk memperoleh devisa jangka pendek, beberapa limbah yang ada di dalam negeri dan cukup surplus, seperti pucuk tebu (wafer), bungkil inti sawit, onggok atau gaplek, dan tongkol jagung atau silase jagung sudah dilakukan ekspor, disamping itu juga banyak yang terbuang, seperti bahan pakan sumber serta yang dibakar bahkan menjadi masalah dalam usaha tani dan agroindustri, seperti jerami padi dan limbah sawit. Potensi pakan ini harus dimanfaatkan sebagai basis pengembangan ternak, baik melalui suatu inovasi teknologi, strategi pengembangan, atau kebijakan yang lebih berpihak dalam menguatkan industri peternakan yang tangguh berbasis sumber daya lokal. Banyak daerah di Indonesia yang mempunyai bahan pakan sumber energi dan sumber protein (hewani dan nabati). Potensi bahan pakan sumber energi selain jagung antara lain ubi kayu dan hasil sampingnya, sagu, serta bungkil. Bahan pakan sumber

protein yang berpotensi dioptimalkan pemakaiannya adalah bungkil kacang koro yang banyak tersebar dalam jumlah besar sebagai alternatif pengganti bungkil kedele, bungkil kelapa, dan bungkil inti sawit. Gambaran potensi bahan-bahan pakan lokal yang dapat dioptimalkan adalah sebagai berikut : 1. Jagung Sejak Indonesia berhasil menjadi negara swasembada jagung tahun 2008 dengan jumlah produksi 16,3 juta ton, peluang untuk kebutuhan dalam negeri bahkan ekspor akan semakin terbuka pada tahun 2009 ini. Diperkirakan produksi jagung dalam negeri tahun 2009 ini mencapai 17,1 juta ton. Artinya, potensi ekspor bisa mencapai 1,1 juta ton dari kebutuhan jagung nasional yang hanya 16,3 juta ton (Dewan Jagung Indonesia, 2009).

Membaiknya produksi jagung dalam negeri tersebut salah satunya karena didukung oleh bibit jagung jenis hibrida yang penyebarannya sudah mencapai 45 persen dari total areal perkebunan jagung dalam negeri. Produksi jagung pada 2014 ditaksir mencapai 32 s/d 34 juta ton atau naik sekitar 80 persen dari produksi tahun 2008. Jika produksi tersebut tercapai, potensi ekspor jagung pada tahun 2014, bisa mencapai 50 persen dari kebutuhan jagung dalam negeri yakni 16,3 juta ton. Kalau produksi jagung di Indonesia sudah dicapai dua kali lipat dari kebutuhan dalam negeri maka potensi ekspor jagung bisa mencapai 50 persen sehingga negara Indonesia sudah mampu mengisi sebagian dari perjagungan dunia. Produksi jagung dunia sebanyak 612,5 juta ton. Amerika Serikat masih menguasai produksi yakni mencapai 256,9 juta ton menyusul China yakni 114 juta ton (Dewan Jagung Indonesia, 2009). Perbedaan produksi negara-negara produsen jagung tersebut salah satu keunggulan karena produksi mereka sudah mencapai 8 ton per hektar. Sementara Indonesia masih sangat rendah yakni 3,7 ton per hektar. Jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman pangan (sumber karbohidrat utama) dunia yang terpenting, selain gandum dan padi, juga menjadi alternatif sumber pangan di Amerika Serikat. Penduduk beberapa daerah di Indonesia (misalnya di Madura dan Nusa Tenggara) juga menggunakan jagung sebagai pangan pokok. Selain sebagai sumber karbohidrat, jagung juga ditanam sebagai pakan (termasuk hijauan maupun tongkolnya), diambil minyaknya (dari bijinya), dibuat tepung (dari butir, dikenal dengan istilah tepung jagung atau maizena), dan bahan baku industri (dari tepung biji dan tepung tongkolnya). Tongkol jagung kaya akan pentosa, yang dipakai sebagai bahan baku pembuatan furfural. Jagung yang telah direkayasa genetika juga sekarang ditanam sebagai penghasil bahan farmasi. Selain sebagai bahan pangan dan bahan baku pakan, saat ini jagung juga dijadikan sebagai sumber energi alternatif. Lebih dari itu, saripati jagung dapat diubah menjadi polimer sebagai bahan campuran pengganti fungsi utama plastik. Salah satu perusahaan di Jepang telah mencampur polimer jagung dan plastik menjadi bahan baku casing komputer yang siap dipasarkan. Jagung merupakan tanaman semusim (annual). Satu siklus hidupnya diselesaikan dalam 80-150 hari. Paruh pertama dari siklus merupakan tahap pertumbuhan vegetatif dan paruh kedua untuk tahap pertumbuhan generatif. Tinggi tanaman jagung sangat bervariasi, umumnya berketinggian antara 1m sampai 3m bahkan ada varietas yang dapat mencapai

tinggi 6m. Tinggi tanaman biasa diukur dari permukaan tanah hingga ruas teratas sebelum bunga jantan. Produsen jagung terbesar saat ini adalah Amerika Serikat (38,85% dari total produksi dunia), diikuti China 20,97%; Brazil 6,45%; Mexico 3,16%; India 2,34%; Afrika Selatan 1,61%; Ukraina 1,44% dan Canada 1,34%, sedangkan untuk negara-negara Uni Eropa sebanyak 7,92% dan negara-negara lainnya 14,34%. Total produksi jagung pada tahun 2008/2009 adalah sebesar 791,3 juta MT. Provinsi penghasil jagung di Indonesia : Jawa Timur : 5 juta ton; Jawa Tengah : 3,3 juta ton; Lampung : 2 juta ton; Sulawesi Selatan: 1,3 juta ton; Sumatera Utara : 1,2 juta ton; Jawa Barat : 700 800 ribu ton, sisa lainnya (NTT, NTB, Jambi dan Gorontalo) dengan rata-rata produksi jagung nasional 16 juta ton per tahun. Biji/bulir jagung kaya akan karbohidrat, yang sebagian besar berada pada endospermium. Kandungan karbohidrat dapat mencapai 80% dari seluruh bahan kering biji. Karbohidrat dalam bentuk pati umumnya berupa campuran amilosa dan amilopektin. Jagung manis diketahui mengandung amilopektin lebih rendah tetapi mengalami peningkatan fitoglikogen dan sukrosa. Kandungan gizi Jagung per 100 gram bahan adalah : Kalori 355 Kalori, protein 9,2 gr, lemak 3,9 gr, karbohidrat 73,7 gr, kalsium 10 mg, fosfor 256 mg, ferrum 2,4 mg, vitamin A 510 SI, vitamin B1 0,38 mg, air 12 gr, dan bagian yang dapat dimakan 90 %. 2. Ubi Kayu

Indonesia termasuk negara penghasil ubi kayu terbesar ke tiga di dunia (13.300.000

ton), setelah negara Brazil (25.554.000 ton), dan Thailand (13.500.000 ton), disusul negara-negara, seperti Nigeria (11.000.000 ton), dan India (6.500.000 ton) dari total produksi dunia sebesar 122.134.000 ton per tahun (Bigcassava.com, 2007). Berdasarkan kontribusi terhadap produksi nasional terdapat sepuluh propinsi utama penghasil singkong yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, Sumatera Selatan dan Yogyakarta yang menyumbang sebesar 89,47 % dari produksi nasional, sedangkan dari propinsi lainnya sekitar 11-12 % (Agrica, 2007). Ubi kayu yang juga dikenal sebagai ketela pohon atau singkong, adalah pohon tahunan tropika dan subtropika yang berasal dari Amerika tropis. Nama lain singkong dikenal dengan berbagai nama,seperti ubi kayee, kasapean, tela pohong, tela belada, lame kayu, pangala, dan sampeu. Singkong merupakan tanaman yang mudah hidup hampir di semua jenis tanah, tahan terhadap hama penyakit, mudah dikembangbiakkan (stek batang) dan relatip cepat panen (umur 8 bulan). Singkong merupakan bahan pangan utama setelah padi dan jagung sehingga ketersediaannya cukup terjamin.

Salah satu produk dari singkong yang paling terkenal adalah Gaplek (dried cassava chips), yaitu singkong segar yang dikupas, dipotong kecil-kecil, dicuci, dicacah dan dikeringkan atau dijemur, untuk selanjutnya dapat diproses lagi menjadi beberapa produk turunan. Selain itu ada Pelet, yang dibuat dari umbi singkong kering yang digiling dan dibentuk menjadi bentuk silinder dengan panjang sekitar 23 cm dan diameter sekitar 48 mm. Dibandingkan dengan gaplek, pelet memiliki beberapa kelebihan yaitu kualitas lebih seragam, mudah disimpan. Limbah yang dihasilkan dari pengolahan singkong juga cukup beragam, seperti : bonggol umbi (sisa pembuatan tape), kulit dan onggok (limbah industri tapioka), dan daun singkong. Di Indonesia, limbah berbentuk onggok banyak digunakan sebagai bahan pakan sapi potong, karena dianggap penggunaan limbah onggok dapat menekan biaya produksi. Namun seiring dengan berkembangnya waktu, permintaan onggok sebagai pakan semakin meningkat, akibatnya harga onggok terus melambung. Nilai nutrien singkong tidak terlalu tinggi, namun cukup baik sebagai pakan ternak sapi karena merupakan bahan pakan sumber karbohidrat mudah larut dan diserap oleh tubuh. Melalui fermentasi nilai nutrien singkong dapat ditingkatkan. Hasil penelitian membuktikan bahwa pemberian pakan yang mengandung tepung singkong afkir sebesar 50 dan 60% pada sapi jantan lepas sapih mampu menghasilkan PBB sebesar 0,76 dan 0,81 kg/ ekor/hari. Pakan diberikan sebanyak 3,5 % berat badan (BB) berdasarkan bahan kering (BK) dengan imbangan 20% jerami kering dan 80% pakan penguat, sedangkan bahan pakan yang lain adalah dedak padi, bungkil kopra, bungkil inti sawit, dan mineral. Hasil analisis ekonomi menujukkan bahwa penggunaan singkong afkir sebesar 50% dalam pakan penguat mempunyai nilai RC ratio 1,83 sedangkan pada pemberian singkong afkir sebesar 60% mempunyai nilai RC ratio yang lebih tinggi yakni sebesar 2,20. Pada sapi betina, pakan diberikan untuk mencapai target PBB sebesar 0,5 kg/ekor/hari, agar dapat mencapai bobot badan 225 kg pada umur pubertas (<18 bulan). Pemberian pakan dengan kandungan singkong afkir 50% ternyata dapat menghasilkan PBB sebesar 0,54 kg/ekor/hari. Hasil analisis ekonomi menunjukkan bahwa penggunaan

singkong afkir sebesar 60% mempunyai RC ratio 1,40. Nilai ini lebih tinggi dari penggunaan singkong afkir sebesar 50% dengan RC ratio sebesar 1,02. Namun, pemberian singkong afkir 60%, justru memperoleh tingkat PBB yang lebih rendah.

3. Sagu Tepung sagu dapat diolah untuk kebutuhan pakan ternak sehingga komponen impor bisa berkurang. Sekitar 2 juta hektar tanaman sagu di dunia ini, 1 juta hektar berlokasi di Indonesia dan berpotensi menghasilkan sekitar 3.5juta ton tepung sagu. Lokasi utama

penghasil sagu di Indonesia antara lain tersebar di Irian Jaya sekitar 800.000 hektar, Maluku sekitar 50.000 hektar, Sulawesi 30.000 hektar, Kalimantan 45.000 hektar, Sumatera 72.000 hektar, dan sekitar 2.000 hektar di pulau jawa. (Ilmu Tanah UGM, 2006). 4. Sawit Tanaman sawit banyak terdapat di Indonesia untuk menghasilkan minyak sawit, limbahnya berupa bungkil kelapa sawit juga bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku pakan pengganti bungkil kedelai. Kelapa sawit selain sebagai penghasil utama minyak sawit mentah (CPO) dan minyak inti sawit (PKO) juga sebagai penghasil limbah dan produk samping terbesar, seperti limbah pelepah daun kelapa sawit dan bungkil inti sawit, lumpur sawit (sludge), serabut perasan buah sawit, tandan kosong dan cangkang (Corley, 2003). Biomasa atau produk samping yang dihasilkan tanaman dan pengolahan kelapa sawit untuk setiap satu satuan luas tanaman kelapa sawit (ha) dalam setahun adalah 10.011 metrik kg bahan kering (Manti et al, 2003). Indonesia merupakan produsen minyak sawit kedua terbesar dunia setelah Malaysia dengan total produksi 9,9 juta ton pada 2003. Areal penanaman kelapa sawit Indonesia terkonsentrasi di lima propinsi yakni Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Jambi dan Aceh. Areal penanaman terbesar terdapat di Sumatera Utara (dengan sentra produksi di Labuhan Batu, Langkat, dan Simalungun) dan Riau. Pada 1997, dari luas areal tanam 2,5 juta hektar, kedua propinsi ini memberikan kontribusi sebesar 44%, yakni Sumatera Utara 23,24% (584.746 hektar) dan Riau 20,76% (522.434 hektar). Sementara Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Jambi dan Aceh masing-masing memberikan kontribusi 7% hingga 9,8%, dan propinsi lainnya 1% hingga 5%. (Ditjenbun, 2004). 5. Bungkil Kelapa Bungkil kelapa dapat diolah sebagai bahan pakan dan banyak terdapat di Indonesia. Pada tahun 2004, luas areal pertanaman kelapa sebesar 3.872 ribu hektar terdiri atas Perkebunan Rakyat seluas 3.760 ribu hektar (97,07%), Perkebunan Besar Negara seluas 5 ribu hektar (0,14%), dan Perkebunan Besar Swasta seluas 107 ribu hektar (2,79%). Sedangkan untuk produksi kelapa (equivalent kopra) tahun 2004 sebesar 3.304 ribu ton terdiri dari perkebunan rakyat sebesar 3.191 ribu ton (82,39%), perkebunan besar negara 4 ribu ton (0,10%) dan perkebunan besar swasta 109 ribu ton (2,81%). (Ditjenbun, 2004).

6. Dedak Padi Dedak padi diperoleh dari penggilingan padi menjadi beras. Banyaknya dedak yang dihasilkan tergantung dari cara pengolahannya. Sebanyak 4% dedak kasar dan 2.5% dedak halus dapat dihasilkan dari berat gabah kering. Dedak padi cukup disenangi ternak. Pemakaian dedak padi dalam ransum sapi perah umumnya sampai 15% dari campuran konsentrat. Pembatasan dilakukan karena pemakaian dedak padi dalam jumlah besar dapat menyebabkan susahnya pengosongan bowel karena adanya sifat pencahar pada dedak. Pemakaian dedak padi dalam jumlah besar dalam campuran ransum dapat memungkinkan ransum tersebut mudah mengalami ketengikan selama penyimpanan. Dedak padi tidak mempunyai anti nutrisi, tetapi penggunaannya perlu dibatasi. Ada beberapa alasan tentang pembatasan penggunaan dedak padi dalam ransum sapi perah. Pertama karena dedak padi mempunyai sifat pencahar yang bila digunakan berlebih akan menyebabkan gangguan pencernaan. Kedua karena dedak mempunyai kadar lemak relatif tinggi apabila dipergunakan tinggi dalam ransum akan membuat ransum tidak tahan untuk disimpan. Dedak padi mempunyai sifat pencahar yang dapat menyebabkan susahnya penggosongan perut. Bulk density untuk dedak padi sebesar 337.2-350.7 g/l. Dedak padi umumnya tidak tahan disimpan dan cepat menjadi tengik. Hal ini disebabkan oleh tingginya kandungan lemak. Ketengikan ini dpaat diakibatkan oleh enzim lipase yang dihasilkan oleh bahan itu senditri maupun oleh mikroorganisme (jamur). Selain itu reaksi dedak dengan oksigen juga dapat mengakibaykan ketengikan. Ketengikan akan mengakibatkan kehilangan vitamin-vitamin arut dalam lemak khususnya vitamin A. melalui pengeringan dan pemanasan pad a penggilingan dapat memperpanjang waktu daya simpan. Pemanasan dan pengeringan serta pelarutan lemak dedak padi merupakan pengolahan yang sering dilakukan untuk memperpanjang daya tahan dedak padi selama penyimpanan. Secara kualitatif kualitas dedak padi dapat diuji dengan menggunakan bulk density ataupun uji apung. Bulk density dedak padi yang baik adalah 337.2-350.7 g/l. makin banyak dedak padi yang mengapung selama uji floating, makin jelek kualitas dedak tersebut. Selain uji organoleptik seperti tekstur, rasa, warna, bau dan uji sekam (flouroglucinol) dapat dipakai untuk mengetahui kualitas dedak padi yang baik. Bau tengik merupakan indikasi yang baik untuk dedak yang sudah mengalami kerusakan. Kualitas dedak padi secara kuantitatif dapat dilakukan dilaboratorium dengan menggunakan metode proksimat. Minimum data kadar bahan kering, protein kasar dan serat kasar atau NDF dan ADF (dengan metode Van Soest) harus diketahui setiap kali pengiriman dedak padi. Pengujian zat lainnya apabila dilakukan lebih baik.

Dedak padi yang berkualitas baik mempunyai protein rata-rata dalam bahan kering adalah 12.4%, lemak 13.6%, dan serat kasar 11.6%. Dedak padi menyediakan protein yang lebih berkualitas dibandingkan dengan jagung. Dedak padi kaya akan thiamin dan sangat tinggi dalam niacin. Abu (%) Protein(%) Lemak (%) 12.070.95 SK (%) 15.398.19 ADF (%) NDF (%) BETN (%) 43.0112.54

13.581.68 13.713.19

Ca (%)

P(%)

TDN (%)

DE (Mcal/kg)

DP (%)

ME (Mcal/kg)

Nelc (Mcal/kg) 1.3

0.08

1.59

71

2.67

9.5

2.4

Dari Berbagai Sumber. Gambar dari : http://www.mdidea.com/products/proper/proper05902.htm)

BAHAN PAKAN ASAL LIMBAH 1. Jerami Padi Sumber pakan yang belum dimanfaatkan secara optimal, yaitu limbah produksi padi berupa jerami. Ketersediaan jerami padi cukup melimpah, namun pemanfaatannya untuk pakan ternak belum banyak dilakukan di Indonesia. Hal ini disebabkan karena jerami yang tersedia umumnya tidak dalam keadaan baik untuk digunakan sebagai pakan, karena busuk dan basah terendam air sawah atau hujan. Kandungan Gizi Jerami padi merupakan hasil ikutan pertanian terbesar di Indonesia, jumlahnya sekitar 20 juta ton per tahun. Produksinya per hektar sawah padi bisa mencapai 1215 ton, atau 4-5 ton bahan kering setiap kali panen, tergantung lokasi dan varietas tanaman padi. Sejauh ini, pemanfaatan jerami padi sebagai pakan baru mencapai 31-39 %, sedangkan yang dibakar atau dikembalikan ke tanah sebagai pupuk 36-62 %, dan sekitar 7-16 % digunakan untuk keperluan industri. Oleh karena itu, jerami padi mempunyai potensi yang sangat baik untuk dimanfaatkan menjadi pakan ruminansia agar dapat meningkatkan produktivitasnya sehingga swasembada daging dapat tercapai. Penggunaan jerami padi sebagai pakan ternak kerap dilakukan di daerah tropik, terutama pada musim kemarau. Tapi penggunaannya itu mengalami kendala berupa nilai nutrien yang rendah. Mulai dari kandungan

nitrogen, kalsium, hingga fosfor. Sebaliknya, kandungan serat kasar (lignin, selulosa, dan silika) tinggi sehingga mengakibatkan daya cerna rendah dan konsumsinya menjadi terbatas. Kandungan gizi jerami padi terdiri atas protein kasar 4,5 %, serat kasar 35 %, lemak kasar 1,55 %, abu 16,5 %, kalsium 0,19 %, fosfor 0,1 %, energi TDN ( Total Digestible Nutrients) 43 %, energi DE (Digestible Energy) 1,9 kkal/kg, dan lignin yang sangat tinggi. Jika jerami padi langsung diberikan kepada ternak, daya cernanya rendah dan proses pencernaannya lambat sehingga total yang dimakan per satuan waktunya menjadi sedikit. Amoniasi merupakan langkah rekayasa teknologi teknologi pakan yang mudah, murah, dan ekonomis. Amoniasi merupakan salah satu pilihan terbaik. Prinsip amoniasi adalah penggunaan urea sebagai sumber amoniak yang dicampurkan dalam jerami. Amoniasi bisa dilakukan dengan cara basah dan kering. Cara basah dengan melarutkan urea ke dalam air, kemudian dicampurkan dengan jerami. Pada cara kering, urea langsung ditabur ke jerami secara berlapis. Pencampurannya harus dilakukan dalam kondisi hampa udara (anaerob) dan dibiarkan/disimpan selama satu bulan. Urea dalam proses amoniasi berfungsi untuk menghancurkan ikatan-ikatan lignin, selulosa, dan silica yang terdapat pada jerami. Sebab, ketiga komponen itu merupakan factor penyebab rendahnya daya cerna jerami. Amoniasi dapat meningkatkan kualitas gizi jerami agar dapat bermanfaat bagi ternak. Proses ini dapat menambah kadar protein kasar dalam jerami. Kadar protein kasar diperoleh dari amonia yang terdapat dalam urea. Amonia berperan memuaikan serat selulosa. Pemuaian selulosa akan memudahkan penetrasi enzim selulase dan peresapan nitrogen, sehingga meningkatkan kandungan protein kasar jerami. Jerami yang telah diamoniasi memiliki nilai energi yang lebih besar dibandingkan jerami yang tidak diamoniasi. Sebab kandungan senyawa karbohidrat yang sederhana menjadi lebih besar. Amoniasi juga sangat efektif untuk membebaskan jerami dari kontaminasi

mikroorganisme dan menghilangkan aflatoksin yang ada di dalamnya. 2. Tongkol jagung Tinggi tanaman jagung sangat bervariasi. Meskipun tanaman jagung umumnya berketinggian antara 1m sampai 3m, ada varietas yang dapat mencapai tinggi 6m. Tinggi tanaman biasa diukur dari permukaan tanah hingga ruas teratas sebelum bunga jantan. Meskipun beberapa varietas dapat menghasilkan anakan (seperti padi), pada umumnya jagung tidak memiliki kemampuan ini.

Akar jagung tergolong akar serabut yang dapat mencapai kedalaman 8 m meskipun sebagian besar berada pada kisaran 2 m. Pada tanaman yang sudah cukup dewasa muncul akar adventif dari buku-buku batang bagian bawah yang membantu menyangga tegaknya tanaman. Batang jagung tegak dan mudah terlihat, sebagaimana sorgum dan tebu, namun tidak seperti padi atau gandum. Terdapat mutan yang batangnya tidak tumbuh pesat sehingga tanaman berbentuk roset. Batang beruas-ruas. Ruas terbungkus pelepah daun yang muncul dari buku. Batang jagung cukup kokoh namun tidak banyak mengandung lignin. Daun jagung adalah daun sempurna. Bentuknya memanjang. Antara pelepah dan helai daun terdapat liqula. Tulang daun sejajar dengan ibu tulang daun. Permukaan daun ada yang licin dan ada yang berambut. Stoma pada daun jagung berbentuk halter, yang khas dimiliki familia Poaceae. Setiap stoma dikelilingi sel-sel epidermis berbentuk kipas. Struktur ini berperan penting dalam respon tanaman menanggapi defisit air pada sel-sel daun. Tongkol dan daun jagung merupakan pahan pakan potensial, khususnya untuk ternak ruminansia. Tongkol jagung kaya akan pentosa, yang dipakai sebagai bahan baku

pembuatan furfural.
3. Limbah singkong Limbah industri pengolahan singkong bisa bermanfaat sebagai pakan ternak. Limbah industri singkong yang sering disebut limbah tapioka atau onggok, harus melalui proses pengolahan terlebih dahulu untuk menjadi pakan ternak yang mempunyai nilai gizi tinggi. Keadaan ini sangat menguntungkan untuk menjaga keseimbangan lingkungan di sekitar pabrik tapioka. Limbah industri pengolahan singkong bisa bermanfaat sebagai pakan ternak. Limbah industri singkong yang sering disebut limbah tapioka atau onggok, harus melalui proses pengolahan terlebih dahulu untuk menjadi pakan ternak yang mempunyai nilai gizi tinggi. Keadaan ini sangat menguntungkan untuk menjaga keseimbangan

lingkungan di sekitar pabrik tapioka.

Peternak sudah biasa memanfaatkan limbah tapioka atau onggok untuk pakan ternak ruminansia (sapi, domba), karena onggok masih memiliki kandungan karbohidrat sebagai sumber energi, protein, lemak, dan air yang tinggi. Selain itu, onggok juga disulap menjadi bahan baku obat nyamuk bakar. Proses pembuatan onggok dilakukan dengan cara fermentasi dengan menggunakan Aspergillus niger (semacam kapang atau jamur). Ada juga campuran urea dan amonium sulfat sebagai sumber nitrogen anorganik. Ini akan membuat onggok memiliki kandungan energi lebih tinggi sebagai pakan. Proses fermentasi akan membutuhkan waktu sekitar 5-7 hari. Sebelum onggok difermentasikan, terlebih dahulu dijemur di bawah terik matahari. Untuk fermentasinya, onggok yang telah kering dicampur dengan mineral dan diaduk rata tambahkan campuran air hangat 5-8 liter dan biarkan beberapa menit. Ini untuk menambah unsur mineral dalam onggok. Setelah onggok sudah dingin barulah dicampur Aspergillus niger. Campuran kapang inilah yang membuat onggok memiliki protein tinggi. Setelah didiamkan selama 5-7 hari, onggok diremas-remas dan dikeringkan, baru setelah itu siap dikemas dan dijual ke pabrik pakan ternak. Pengeringan adalah bagian penting sebelum dilakukan fermentasi pada onggok. Itu sebabnya, proses pengeringan onggok harus betul-betul sempurna dan dilakukan di bawah terik matahari. Pengeringan yang dilakukan di bawah terik matahari akan membuat onggok yang basah berubah bentuk seperti pasir kasar dan berwarna putih, sedangkan onggok yang setengah kering atau masih basah akan berbentuk seperti batu kerikil dengan warna coklat dan hitam. Memasuki musim hujan, proses pengeringan dengan bantuan oven akan membuat hasil onggok tidak bagus. Inilah yang membuat kualitas onggok berbeda. Makin putih dan kering, harga jual onggok akan makin mahal. Sebagai patokan harga onggok tergantung dari kualitas onggok yang dibedakan para penjualnya berdasarkan warna dan tingkat kekeringan onggok itu sendiri.

4. Kulit Singkong Hampir semua bagian dari pohon singkong bisa dimanfaatkan mulai dari umbi hingga daunnya, sedangkan kulitnya dibuang begitu saja atau dijadikan pakan. Kulit singkong selama ini memang dianggap sebagai limbah dari tanaman singkong. Padahal, kulit singkong ini memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi yang dapat dikonsumsi pula oleh manusia. Presentase limbah kulit bagian luar sebesar 0,5-2% dari berat total singkong segar dan limbah kulit bagian dalam sebesar 8-15%.

Sampah kulit singkong termasuk dalam kategori sampah organik karena sampah ini dapat terdegradasi (membusuk/hancur) secara alami. Pengolahan limbah kulit singkong dapat dimanfaatkan sebagai: 1) pupuk organik yang kemudian disebut kompos, 2) bioenergi (bioetanol) melalui proses hidrolisa asam dan enzimatis merupakan suatu alternatif dalam rangka mendukung program pemerintah tentang penyediaan bahan bakar non migas yang terbarukan yaitu BBN ( bahan bakar nabati ) sebagai pengganti bensin, 3) pakan yang mengandung karbohidrat tinggi, dan 4) olahan kuliner, yaitu keripik kulit singkong. Mayoritas kulit singkong sudah banyak dimanfaatkan untuk ternak sapi dan kambing, sebagai makanan tambahan dengan harga rendah. Namun, kulit singkong mulai dijadikan sebagai peluang bisnis kulit singkong goreng ataupun keripik.

5. Tepung Bulu Salah satu produk limbah yang tersedia dalam jumlah banyak dan belum dimanfaatkan secara optimal sebagai bahan baku pakan adalah bulu ayam/unggas. Bulu ayam berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai sumber protein pakan alternatif pengganti sumber protein konvensional seperti bungkil kedele dan tepung ikan. Bulu-bulu itu dapat dimanfaatkan untuk campuran pakan ruminansia, non ruminansia, dan unggas.

Dukungan sangat

ketersediaan

limbah

berupa

bulu

terjamin

kontinuitasnya

sehubungan

jumlah ayam yang dipotong dari tahun ke tahun semakin meningkat sehingga bulu ayam yang dihasilkan juga meningkat. Pemanfaatan limbah bulu menjadi pakan ternak sangat memberikan dampak positif karena sekaligus mampu

mengatasi permasalahan limbah bulu apabila tidak dikelola dengan baik. Bulu ayam mengandung protein kasar sekitar 80-91 % dari bahan kering (BK) melebihi kandungan protein kasar bungkil kedelai 42,5 % dan tepung ikan 66,2 % (Anonimus, 2003). Namun, kandungan protein kasar yang tinggi tersebut tidak diikuti oleh nilai biologis yang tinggi. Tingkat kecernaan bahan kering dan bahan organik bulu ayam secara in vitro masing-masing hanya 5,8 % dan 0,7 %. Nilai kecernaan yang rendah disebabkan bulu ayam sebagian besar terdiri atas keratin yang digolongkan ke dalam protein serat. Keratin merupakan protein yang kaya asam amino bersulfur, dan sistin. Ikatan disulfida yang dibentuk di antara asam amino sistin menyebabkan protein bulu sulit dicerna, baik oleh mikroorganisme rumen maupun enzim proteolitik dalam saluran pencernaan pasca rumen. Keratin dapat dipecah melalui reaksi kimia dan enzim sehingga pada akhirnya dapat dicerna oleh tripsin dan pepsin di dalam saluran pencernaan. Oleh karenanya, bila bulu ayam akan dimanfaatkan sebagai bahan pakan sumber protein, sebaiknya perlu diolah terlebih dahulu untuk meningkatkan kecernaannya. Tepung Bulu Terolah/ Terhidrolisa sebagai bahan pakan harus melalui suatu proses pengolahan terlebih dahulu dan hasilnya inilah yang dinamakan tepung bulu terolah sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu bahan pakan asal hewan yang potensial untuk mengurangi harga ransum yang berasal dari pemanfaatan limbah. Berbagai metode pengolahan untuk meningkatkan nilai nutrien bulu unggas, yaitu 1) perlakuan fisik dengan pengaturan temperatur dan tekanan, 2) secara kimiawi dengan penambahan asam dan basa (NaOH, HCL), 3) secara enzimatis dan biologis dengan mikroorganisme dan 4) kombinasi ketiga metode tersebut. Hidrolisat bulu ayam adalah bahan pakan sumber protein yang dapat diproduksi secara lokal dengan kandungan protein kasar sebesar 8190,60% (NRC, 1985; Sutardi, 2001 dalam Siregar, 2005). Protein hidrolisat bulu ayam kaya asam amino bercabang yaitu leusin, isoleusin, dan valin dengan kandungan masing-masing sebesar 4,88, 3,12, dan 4,44%, namun defisien asam amino metionin dan lisin. Untuk memenuhi kebutuhan asam lemak rantai cabang bagi pertumbuhan bakteri selulolitik maka dilakukan suplementasi hidrolisat bulu ayam sebagai

sumber asam amino rantai cabang yang berperan sebagai prekusor asam lemak rantai cabang. Beberapa hasil penelitian menunjukkan nilai biologis bulu ayam dapat ditingkatkan dengan pengolahan dan pemberian perlakuan tertentu. Contoh, bulu ayam yang diolah dengan proses NaOH 6 % dan dikombinasikan dengan pemanasan tekanan memberikan nilai kecernaan 64,6 %. Lama pemanasan juga dapat meningkatkan kecernaan pepsin bulu ayam hingga 62,9 %. Namun, pemanasan yang terlampau lama dapat merusak asam amino lisin, histidin dan sistin serta menyebabkan terjadinya reaksi kecoklatan (browning reaction). Kandungan nutrisi tepung bulu terolah tertera pada Tabel 1. Tabel 1. Kandungan nutrien tepung bulu terolah/terhidrolisa Nutrien Protein Kasar Serat Kasar Abu calium Phospor Garam Rasyaf, 1990. Kandungan 85% 0,3 1,5% 3,0 3,5% 0,20 0,40% 0,20 0,65% 0,20%

Keunggulan penggunaan tepung bulu ayam untuk ternak ruminansia adalah tepung mengandung protein yang tahan terhadap perombakan oleh mikroorganisme rumen (rumenund egradable protein/RUP), tetapi mampu diurai secara enzimatis pada saluran pencernaan pasca rumen. Nilai RUP berkisar 53-88 %, sementara nilai kecernaan dalam rumen hanya 12-46 %. Penggunaan tepung bulu ayam sebagai bahan pakan sumber protein ternak ruminansia merupakan salah satu pilihan yang perlu mendapat pertimbangan. Pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroba rumen terutama bakteri selulolitik membutuhkan asam lemak rantai cabang(BCFA). Bakteri selulolitik menggunakan asam lemak rantai cabang sebagai kerangka karbon untuk sintesis protein tubuhnya. Asam lemak rantai cabang yakni isobutirat, isovalerat dan 2- metil butirat diperoleh dari protein pakan. Asam lemak rantai cabang ini adalah hasil deaminasi dan dekarboksilasi dari asam amino rantai cabang (BCAA) yakni leusin, isoleusin, dan valin. Bila kandungan asam amino rantai cabang pakan rendah maka asam lemak rantai cabang merupakan faktor pembatas pertumbuhan bakteri selulolitik. hidrolisat bulu ayam kaya akan asam amino bercabang yaitu leusin, isoleusin, dan valin dengan kandungan masing-masing sebesar 4,88, 3,12, dan 4,44%, namun defisien akan asam amino metionin dan lisin. Untuk memenuhi kebutuhan asam lemak rantai cabang bagi pertumbuhan bakteri selulolitik maka dilakukan suplementasi hidrolisat bulu ayam sebagai sumber asam amino rantai cabang yang berperan sebagai prekusor asam lemak

rantai cabang. Bagi ternak ruminansia mineral merupakan nutrien yang esensial, selain digunakan untuk memenuhi kebutuhan ternak juga memasok kebutuhan mikroba rumen. Hidrolisat bulu ayam adalah bahan pakan sumber protein yang dapat diproduksi secara lokal dengan kandungan protein kasar sebesar 8190,60% (NRC, 1985; Sutardi, 2001). Hasil pengujian biologis, tepung bulu dapat digunakan sebagai pengganti komponen bahan pakan penyusun konsentrat untuk ternak ruminansia. Penggunaan tepung bulu ayam untuk ransum unggas sebagai pengganti sumber protein pakan konvensional (bungkil kedelai) sampai dengan taraf 40 % dari total protein ransum memberikan respons sebaik ransum kontrol. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa tepung bulu dapat digunakan pada level tidak lebih dari 4 % dari total formula ransum tanpa membuat produktivitas unggas merosot. Semakin baik pengolahannya, semakin baik pula hasilnya. Semakin banyak digunakan tepung ini justru akan menekan prestasi unggas, produksi telur berkurang dan pertambahan berat badan juga merosot (Rasyaf, 1992). Sebagai bahan makanan unggas dan juga babi, tepung bulu ini memang tergantung pada kemampuan mengolah tepung bulu itu. Hasil Penelitian Erpomen et al. (2005) Ransum perlakuan dengan susunan sebagai berikut : A = Ransum tanpa TBA (kontrol), B = Penggantian 25 % protein tepung ikan dengan TBA, C = Penggantian 50 % protein tepung ikan dengan TBA, D = Penggantian 75 % priotein tepung ikan dengan TBA, E = Penggantian 100 % protein tepung ikan dengan TBA. Peubah yang diamati selama penelitian : konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, konvensi ransum. Hasil penelitian tahap I menunjukkan tidak terdapat interaksi (P>0,05) antara dosis NaOH dengan lama pengukusan terhadap BK, PK, LK dan pengukusan fermentasi TBA memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,05) terhadap BK, PK, LK dan daya cerna protein (TBA). Hasil analisis tahap 2 menunjukkan bahwa bulu ayam yang telah diolah pada tahap I memberikan pengaruh berbeda nyata (P<0,05) terhadap konsumsi ransum, PBB dan konversi ransum. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa : Konsentrasi NaOH dan lama pemanasan yang terbaik adalah 0,2 % dengan lama pemanasan 90 menit yang memberikan daya cerna protein tertinggi 45,02 % dan kandungan lemak kasar terendah 13,37 % serta protein kasar 53,79 %. Bulu ayam yang diolah dengan NaOH dapat dipakai sampai level 15 % (75 % pengganti tepung ikan) dalam ransum broiler. Hal ini dilihat dari konsumsi ransum, PBB, dan konversi ransum yang sama dengan ransum tanpa bulu ayam. Jadi dapat disimpulkan bahwa : Konsentrasi NaOH dan lama pemanasan yang terbaik adalah 0,2 % dengan lama pemanasan 90 menit yang memberikan daya cerna protein tertinggi 45,02 % dan kandungan lemak kasar terendah 13,37 % serta protein kasar 53,79 %. Bulu ayam yang diolah dengan NaOH dapat dipakai sampai level 15 % (75 % pengganti tepung ikan) dalam

ransum broiler. Hal ini dilihat dari konsumsi ransum, PBB, dan konversi ransum yang sama dengan ransum tanpa bulu ayam. Kesimpulan : 1) Penggunaan tepung bulu unggas dapat menggantikan pakan sumber protein konvensional seperti bungkil kedelai dan tepung ikan, 2) Pemanfaatan tepung bulu ayam sebagai pakan dapat mengurangi pencemaran lingkungan akibat pembuangan bulu ayam yang tidak tepat, dan 3) Pemberian tepung bulu unggas tidak boleh lebih dari 4 % dari total formula ransum. 6. Isi Rumen Isi rumen merupakan salah satu limbah rumah potong hewan yang belum dimanfaatkan secara optimal bahkan ada yang dibuang begitu saja sehingga menimbulkan pencemaran lingkungan. Padahal limbah isi rumen sebenarnya sangat potensial bila dimanfaatkan sebagai bahan pakan karena isi rumen disamping merupakan bahan pakan yang belum tercerna juga terdapat organisme rumen yang merupakan sumber vitamin B. Kandungan zat makanan yang terdapat pada isi rumen sapi meliputi: air (8,8%), protein kasar (9,63%), lemak (1,81%), serat kasar (24,60%), BETN (38,40%), Abu (16,76%), kalsium (1,22%) dan posfor (0,29%) dan pada domba meliputi: air (8,28%), protein kasar (14,41%), lemak (3,59%), serat kasar (24,38%), Abu (16,37%), kalsium (0,68%) dan posfor (1,08%) (Suhermiyati, 1984). Widodo (2002) menyatakan zat makanan yang terkandung dalam rumen meliputi protein sebesar 8,86%, lemak 2,60%, serat kasar 28,78%, fosfor 0,55%, abu 18,54% dan air 10,92%. Berdasarkan komposisi zat yang terkandung di dalamnya maka isi rumen dalam batas tertentu tidak akan menimbulkan akibat yang merugikan bila dijadikan bahan pencampur ransum berbagai ternak. Di dalam rumen ternak ruminansia (sapi, kerbau, kambing dan domba) terdapat populasi mikroba yang cukup banyak jumlahnya. Cairan rumen mengandung bakteri dan protozoa. Konsentrasi bakteri sekitar 10 pangkat 9 setiap cc isi rumen, sedangkan protozoa bervariasi sekitar 10 pangkat 5 - 10 pangkat 6 setiap cc isi rumen (Tillman, 1991). Beberapa jenis bakteri/mikroba yang terdapat dalam isi rumen adalah (a) bakteri/mikroba lipolitik, (b) bakteri/mikroba pembentuk asam, (c) bakteri/mikroba amilolitik, (d) bakteri/mikroba selulolitik, (e) bakteri/mikroba proteolitik Sutrisno dkk, 1994). Jumlah mikroba di dalam isi rumen sapi bervariasi meliputi: mikroba proteolitik 2,5 x 10 pangkat 9 sel/g isi rumen, mikroba selulolitik 8,1 x 10 pangkat 4 sel/gram isi rumen, amilolitik 4,9 x 10 pangkat 9 sel/g isi, mikroba pembentuk asam 5,6 x 10 pangkat 9 sel/g isi, mikroba lipolitik 2,1 x 10 pangkat 10 sel/g isi dan fungi lipolitik 1,7 x 10 pangkat 3 sel/g isi

(Sutrisno dkk, 1994). Mikroorganisme tersebut mencerna pati, gula, lemak, protein dan nitrogen bukan proein untuk membentuk mikrobial dan vitamin B. Berdasarkan hasil penelitian Sanjaya (1995), penggunaan isi rumen sapi sampai 12% mampu meningkatkan pertambahan bobot badan dan konsumsi pakan ayam pedaging dan mampu menekan konversi pakan ayam pedaging.

Potensi Sumber Pakan Lainnya 1.Tanaman Murbei Salah satu sumber bahan pakan yang berpotensi menggantikan konsentrat adalah murbei. Tanaman murbei berpotensi sebagai bahan pakan yang berkualitas karena potensi produksi, kandungan nutrien dan daya adaptasi tumbuhnya yang baik. Potensi produksi daun murbei mencapai 22 ton BK/ha/tahun. Kandungan protein kasar daun murbei sebesar 20.4%, merupakan salah satu indikator kualitas daun murbei yang baik. Pada daun murbei juga teridentifikasi adanya kandungan asam askorbat, karotene, vitamin B1, asam folat, pro vitamin D, mineral Mg, P, K, Ca, Al, Fe dan Si. Selain kandungan nutriennya yang lengkap, tanaman murbei juga mengandung senyawa aktif 1-deoxynojirimycin (DNJ) yang berpotensi menjadi agen slow release RAC. Senyawa DNJ ditemukan terdapat pada tanaman murbei sebanyak 0.24%. Senyawa ini mampu menghambat proses hidrolisis oligosakarida menjadi monomer-monomernya, namun penghambatannya tidak komplit. Senyawa DNJ masuk ke sisi aktif enzim glukosidase sehingga menghambat kinerja enzim untuk menghidrolisis substrat. Karena itu, senyawa DNJ diduga dapat melepas RAC secara perlahan. Khusus pada ternak ruminansia, mekanisme slow release RAC dalam sistem rumen akan menjaga kesinambungan penyediaan RAC sehingga mikroba-mikroba penghasil enzim pencerna karbohidrat struktural dapat berkembang optimal. Namun demikian potensi senyawa DNJ pada tanaman murbei dapat dimanfaatkan secara optimal bila murbei sebagai pengganti sebagian konsentrat dikombinasikan dengan jenis konsentrat yang tepat. Hal ini terkait dengan kemampuan senyawa DNJ untuk menghambat hidrolisis karbohidrat yang spasifik. Upaya ini juga dimaksudkan untuk mencari formula ransum yang ekonomis dan mudah tersedia bagi peternak yakni dengan memanfaatkan sumberdaya lokal. Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji potensi murbei mensubstitusi konsentrat bila dikombinasikan dengan jenis konsentrat yang tepat untuk mendapatkan sumber pakan yang murah dan mudah terjangkau peternak. Diharapkan penelitian ini menghasilkan pakan komplit sapi potong yang murah, berkualitas, mudah disediakan serta dapat meningkatkan produktivitas ternak dengan memanfaatkan bahan sumber daya lokal. Karena itu hasil penelitian ini mendukung program swasembada daging dengan menyempurnakan model sistem integrasi tanaman-ternak berdasarkan sosial budaya dan agroklimat setempat dengan introduksi tanaman murbei sebagai sumber pakan berkualitas. Penelitian disusun berdasarkan

rancangan acak lengkap dengan 4 perlakuan dan 4 kali ulangan, menggunakan 16 ekor sapi PO jantan. Ransum terdiri atas sumber serat berupa rumput lapang dan konsentrat dengan perbandingan 40:60. Konsentrat disusun menggunakan daun murbei sebanyak 33% dan bahan lain sebanyak 67% sebagai perlakuan. Hasil penelitian menginformasikan bahwa kombinasi daun murbei dengan bahan yang berbeda sebagai komponen konsentrat memberikan respon yang berbeda terhadap sapi potong. Kombinasi daun murbei dengan jagung-urea menghasilkan produktivitas yang terbaik, akan tetapi kombinasi daun murbei dengan onggok-urea juga dapat menjadi salah satu alternatif yang baik untuk diaplikasikan, karena kombinasi tersebut menghasilkan R-C rasio yang tinggi. 2. Keong Bagi masyarakat yang tinggal di wilayah pedesaan, pasti tidak asing lagi dengan yang namanya keong. Sebagian besar masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani, tentu tidak sulit untuk menemukan keong disawah-sawah mereka. Keong banyak ditemukan terutama pada saat sawah petani dialiri oleh air. Banyaknya keong-keong yang bertebaran di sawah biasanya membuat banyak petani kesal, karena keong-keong tersebut memakan tanaman padi milik petani yang relatif kebanyakan masih muda. Sampai sekarang memang keong merupakan hama yang menjadi momok bagi petani padi, terutama pada saat musim menanam padi. Banyak upaya yang telah dilakukan oleh petani untuk menghilangkan dan membuat keong tidak mengganggu tanaman padi miliknya. Tapi, keong juga bisa bermanfaat terutama bagi petani di pedesaan yang memelihara ternak itik atau lebih umum dikenal dengan nama bebek. Keong bisa dijadikan pakan tambahan sebagai sumber protein untuk meningkatkan produksi telur bebek. Adapun keong yang umum dimanfaatkan sebagai pakan tambahan biasanya keong mas. Berdasarkan antaranews.com (2010), keong mas yang banyak dijumpai di persawahan atau pada tanaman yang cukup basah mengandung protein cukup tinggi, yakni 44 - 46,2 %. Oleh karena itu, keong mas bisa dijadikan alternatif sebagai pakan tambahan untuk ternak bebek untuk meningkatkan produksi telur. Perawatan ternak bebek tidak sulit, jenis makanan apapun asal tidak basi bebek tidak akan ragu-ragu untuk memakannya. Bebek juga terkenal dengan unggas yang lebih kebal terhadap serangan penyakit dibandingkan dengan unggas yang lainnya. Pakan yang diberikan kepada ternak bebek sekurang-kurangnya harus memenuhi 2 unsur sumber pakan, yaitu pakan sumber energi dan pakan sumber protein.

Pakan ternak sumber energi yang dapat diberikan kepada bebek diantaranya yaitu dedak padi, jagung, pollard, tepung singkong, nasi kering, dan mie/roti afkir. Sedangkan pakan sumber protein yang dapat diberikan untuk ternak bebek diantaranya ikan rucah, cangkang udang dan keong. Pemberian keong pada ternak bebek dapat meningkatkan jumlah produksi telur bebek. Keong mas ini juga sangat disukai bebek dan diyakini dapat merangsang bebek untuk bertelur. Untuk mengambil keong disawah sebaiknya dilakukan pada pagi hari, karena setelah terkena sinar matahari biasanya keong akan bersembunyi. Adasnya pemeliharaan bebek, diharapkan petani tidak kesulitan lagi untuk membasmi keong, karena justru keong bisa membantu diusaha sampingan ternaknya. Oleh karena itu, terjadi integrasi yang baik bidang pertanian-peternakan. 3. Sumber Daya Pakan Air Potensi lain yang sangat besar adalah dari sumber daya pakan dari air. Produksi penangkapan ikan Indonesia masih dapat ditingkatkan. Potensi sumber daya pakan dari air seperti tumbuh-tumbuhan air seperti rumput laut, azolla, ganggang ataupun hewan air dan hasil sampingnya, seperti kepala udang, hasil samping pengalengan ikan, kerang, dan ketam. Tumbuh tumbuhan air adalah sumber protein tinggi yang dapat dipanen sepanjang waktu dan penanganan pasca panen relatif mudah. Sampai saat ini potensi sumber daya pakan dari air belum tergarap secara optimal. Padahal sentra-sentra untuk memproduksi produk pakan dari sumber ini sangat luas, seperti di pantai Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Pemanfaatan bahan pakan lokal akan memberi dampak positif pada stabilitas neraca ekspor-impor peternakan. Angka defisit impor bahan pakan ternak (terutama bahan pakan unggas) sangat mendominasi defisit impor peternakan secara keseluruhan, yaitu sekitar 52,3%. Pemanfaatan bahan pakan lokal dapat mengurangi dan atau bahkan menutup nilai defisit impor bahan baku pakan yang jumlahnya pada tahun 2007, sebesar US$ 1.102.373.548,52 atau Rp 10,2 triliun dari total defisit impor peternakan sebesar Rp 19,5 triliun. (Ditjend Peternakan, 2008).

Daftar Pustaka Adiati, umi.dkk 2004.peluang Pemanfaatan Tepung Bulu Ayam Sebagai Bahan Pakan Ternak Ruminansia. Wartazoa vol. 14 no. 1 Anonimus, 2003. Bulu Unggas Untuk Pakan Ruminansia. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Volume 25 No. 6. http://lp.unand.ac.id/?pModule=home&psub=home&pAct=view&_haeder=home http://yunilasyarja.blogspot.com/2009/2/potensi-limbah-bulu-ayam-sebagai-bahan.html. HOGAN, J. 1996. Ruminant Nutrition and Production in the Tropics and Subtropics. Australian Centre for International Agricultural Research. Canberra. Muhtarudin dan Ali H, 2004. Pengaruh Suplementasi Hidrolisat Bulu Ayam dan Mineral Organik terhadap Kecernaan Zat Makanan, Pertambahan Bobot Badan, dan Efisiensi Ransum Kambing Peranakan Etawah Jantan. Laporan Penelitian Hibah Bersaing Perguruan Tinggi.UNILA MCDOWELL, L.R. 1992. Minerals in Animal and Human Nutrition. Academic Press, London. NATIONAL RESEARCH COUNCIL. 1985. Nutrient Requirements of Sheep. National Academy Press. Washington D.C. Siregar, zulfikar.2005. Pengaruh suplementasi hidrolisat bulu ayam, mineral esensial dalam ransum berbasis limbah perkebunan terhadap penggunaan, nilai hayati protein dan efisiensi ransum (the effect of hidrolyzed poultry feather and mineral essential supplementation in plantation by-product based ration on utilization, biological value of protein, and efficiency of ration).seminar nasional teknologi peternakan dan veteriner 2005 .

Anda mungkin juga menyukai