Anda di halaman 1dari 11

6

Sistem respirasi Semua opioid yang dapat merangsang reseptor u dengan dosis bebas dapat menyebabkan depresi pernapasan.hal ini diakibatkan oleh karena konsentrasi dari reseptor opioid yang ditemukan pada pusat pernapasa supraspinal seperti di nucleus ambigus. Opioid juga menekan pernapasan melalui pontin dan pusat pernpasan di medulla.karena reseptor opioid endogen konsentrainya tinggi di nucleus batang otak. Efek opiod menginduksi laju dan pola pernapasan termasuk : keterlambatan dalam ekspirasi, jeda pernapasan panjang, ireguler dan/ tidak siklus bernapas, apnu, penurunan volume tidal. Induksi opioid yang berkepanjangn dapat menyebabkan penurunan lebih besar laju pernapasan pada volume tidal.

Gambar 14.21: perpindahan atau pergeseran kurva co2 ke bawah dan ke kanan setelah penggunan morfin Opioid dapat merangsang ventilasi CO2 secara signifikan. PaCO2 meningkat dan respon terhadap CO2 tumpul sehingga kurve respon CO2 menurun dan bergeser ke kanan, selain itu juga mampu menimbulkan depresi pusat nafas. Opioid juga menurunkan kemoreseptor karotis dan hipoksia. Dosis tinggi pada opioid dapat meneliminasi pernapasan spontan tanpa menyebabkan ketidaksadaran. Sehingga, pasien hanya menindak lanjuti verbal dan pernapasan. Dari segi jenis kelamin, wanita lebih sering mengalami efek depresi pernapasan. Opioid mengurangi rasa nyeri dan kecemasan akibat hiperventilasi dan mencegah terjadinya alkalosis respirasi, meskipun dosis tinggi dari opioid dapat menurunkan penyesuaian paru-paru dan merusak ventilasi karena rididitas pada oto dan efek depresi pernapasan. Di sisi lain, terapi analgesic opioid memperbaiki pola pernapasan

akibat mengurangi rasa nyeri dan menurunkan kontraksi otot yang berhubungan dengan nyeri dimana merupakan hasil dari perbaikan dinamik penyesuaian paru-paru. Opioid, khususnya dextrometorfan meningkatkan ambang rangsang reflex batuk

secara sentral tetapi tidak selalu terkait dengan depresi pernapasan. Batuk dapat dipresipitasi setelah diberikan secara bolus intravena. Ini disebabakan karena adanya stimulasi dari reseptor yang mengiritasi otot polos trakea. Namun batuk tidak pre- treatment atrofin tidak berefek seperti ini.

dimediasi oleh vagus, karena

Pretreatment dengan inhalasi b- agonis adrenergic secara signifikan mengurangi kejadian batuk yang berhubungan dengan pemberian injeksi opioid intravena. Opioid lemah merangsang saraf somatic dan autonom ketika intubasi trakea akibat depresi pada saluran napas atas dan reflex trakea. Dengan demikian memungkinkan pasien mentolerir lebih baik dengan pemasangan selang ET tanpa batuk dan perlawanan. Oleh karenanya, pada keadaan darurat dari GA di mana pasien dibius hanya dengan agen inhalasi kuat dan non opioid. Dengan sering batuk dan adanya perlawanan dapat mengembalikan kesadara. Sedangkan ketika pasien dengan opioid adekuat akan sadar tanpa ada gangguan walaupun masih dengan intubasi. Morfin dan meperidin dapat menyebabkan bronkospasme akibat sekresi histamine. Meskipun, opioid dapat menimbulkan respon kontraksi pada otot polos saluran

napas, tetapi klinis secara signifikan dan relevan resistensi pada saluran napas masih controversial. Karena opioid dapat juga membantu dalam meningkatkan pola bronkomotor pada asma. Opioid dapat menurunkan pola otot polos saluran napas dan sebagai terapi jangka panjang pada asma. Fentanil sebagai antimuskarinik, antihistamin dan antiserotoninergik. Sehingga dapat dikatakan lebih efektif dari morfin untuk terapi asma atau penyakit bronkospame lainnya. Anastesi intravena tertentu, seperti opioid, minimal dapat mengubah fungsi pertukaran gas di paru-paru. Dampak minimla dari opioid adalah vasokonstriksi paru hipoksi ( berbeda dengan efek anastesi inhalasi), berhubungan dengan kestabilan hemodinamik, dan stabilitas pola bronkomotor, semua berhubungan dengan

intervensi minimal dengan pertukaran gas di paru-paru yang diobservasi setelah penggunaan opioid dan agen anastesi intravena lainnya. Faktor yang menyebabkan opioid dapat menginduksi depresi pernapasan: i. ii. Dosis : opioid dapat menyebabkan depresi pernapasan pada dosis toksik. Tidur : dengan tidur pasien akan lebih sensitive dan dapat menambah resiko apneu iii. Usia lanjut : respirasi pasien berusia lanjut lebih sensitif terhadap opioid untuk depresi dan kemungkinan menyebabkan penurunan clearance, meningkatkan paruh eliminasi,meningkatkan sensitivitas otak. iv. Neonatus : neonates lebih sensitive pada morfin atas dasar berat badan disbanding dengan dewasa. Kelarutan lemak yang rendah pada morfin menyebabkan hambatan penetrasi ke sawar darah otak. Tetapi pada neonates dan bayi, morfin dengan mudah dapat penetrasi dibanding orang dewasa. Di sisi lain, anak-anak opioid lebih mudah larut dalam lemak (mepridin, fentanil sufentanil) karena penetrasi obat ke dalam sawar darah otak tidak memiliki efek pada maturitas otak. v. Depresi system saraf sentral lainnya : anastesi inhalasi poten, alcohol, barbiturate, BDZ, dan lain-lain, yang dapat berpotensi pada depresi pernapasa. Kecuali droperidol dan clonidin vi. vii. Nyeri : opioid menghilangkan nyeri yang berfek pada depresi pernapasa. Hiperventilasi dan hipokarbia mempertinggi aktivitas dari opioid. hiperkarbia memiliki efek sebaliknya. Namun, kemungkinan penjelasan ini meningkat respon negara serikat mengenai penetrasi opioid ke otak dan sebaliknya. Sistem Kardiovaskular Opioid tidak hanya sebagai analgesik namun juga meperbaiki kondisi hemodinamik dengan atau tanpa stimulus. Dosis besar dari opioid, berfungsi sebagai analgesic yang menghasilkan hemodinamik stabil pada saat operasi. Hubungan antara reseptor

opioid dengan pusat regulasi kardivaskular ( N. solitaries, nucleus vagus dorsal, N.ambigus, nucleus parabrakhial) dan pusat regulasi autonom pada sistem sarah pusat menjelaskan penyebab hemodinamik stabil dari opioid. Peptida endogen opioid jugan menjelaskan hubungan dengan pusat saraf simpatik dan parasimpatik di otak yang mana sebagai pusat control kardiovaskular.perbedaan reseptor opioid, pada region medulla spinalis vemtrolateral periakuaquadectus merupakan pusat analgesic, juga sebagai kontraol hemodinamik stabil. aktivasi reseptor u menekan refleks simpatik somatik yang ditransmisikan oleh serat C-aferen unmyelinated pada medulla spinalis dan memodulasi di batang otak. Tindakan ini juga berkontribusi terhadap kemampuan anestesi opioid. Sehingga memodulasi respon stree oleh aksinya pada sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal. Sebagian besar opioid mengurangi stimulus simpatik dan meningkatkan tonus vagus. Ablasi simpatik dapat terjadi oleh semua opioid yang modern. Secara signifikan kerja langsung opioid pada miokardium kurang bila dibanding dengan anestesi intra vena dan inhalasi. Namun efek opioid terhadap kontraktilitas miokardium dengan opioid lainnya berbeda dan controversial. Meperidine dilaporkan dapat meningkatkan, menurunkan dan dapat melakukan keduanya dalam

kontraktilitas miokardium. Di sisi lain, morfin berefek inotropik positif. Namun dalam hemodinamik HR, BP, CO,SVR,PVR biasanya tetap tidak berubah setelah fentanil, sufentanil dan ramefentanil. Morfin menurunkan tonus arteri dan vena. Perubahan penurunan afterload, aliran balik vena dan preload. Dilatasi arteri durasinya lebih singkat dan kurang intensif dibandingkan venodiltasi. Vasodilatasi disebabkan pelepasan histamine dan menyebabkan hipotwnsi. Hipotensi menstimulus sistem simpatik sebagai mekanisme kompensasi. Hipotensi memproduksi opioid yang dapat mengurangi atau

meminimalkan volume loading, H1 DAN H2 antagonis histamine, posisi trendelenburg dan obat infuse.

Beberapa laporan menunjukkan bahwa pasien dengan fungsi ventricular baik menjadi sering hipertensi akibat opioid dibanding pasien dengan fungsi ventricular buruk ketika operasi. Fenomena ini menjelaskan bahwa: pasien dengan fungsi miokardium baik kadiak indeks meningkat dan induksi SVR meningkat saat terdapat stimulus bedah. Demikian pasien dengan cadangan miokardium tidak dapat menjaga CO dalam menghadapi peningkatan SVR. Sehingga, tekanan darah (BP) tidak boleh meningkat ataupun menurun. Peningkatan tekanan darah setelah opioid, khususnya ketika intubasi dan stimulus bedah yang sering disebabkan oleh anastesi umum yangmana diakibatkan oleh dosis dan waktu opioid yang salah. Sehingga opioid diberikan pada waktu puncak dan sebelum stimulus. Efek predominan dan normal opioid pada laju jantung adalah bradikardi, merupakn hasil stimulus dari nervus vagus. Bradikardi yang diinduksi oleh opioid dapat

mencegah blok vagus dengan atrofin. Kerja blok simpatik kronotropik oleh opioid merupakan hal penting dalam terjadinya bradikardi. Meperidin berbeda dengan opioid lainnya yang menyebabkan bradikardi tetapi menyebabkan takikardi. Takikardi setelah pemberian meperidine disebabkan oleh kesamaan structural atropine dan normeperidin atau akibat manifestasi aksi cepat toksik pada sistem saraf pusat. opioid menekan konduksi jantung dan dengan demikian memperlambat konduksi AV nodal, memperpanjang interval PR, meningkatkan AV nodal periode refrakter, memperpanjang durasi potensial aksi serat purkinye dan memperpanjang interval QT. efek ini mungkin berhubungan dengan peningkatan Ca2++ yang masuk selama fase plateau dari potensial aksi atau depresi dari K+ yang keluar selama repolarisasi terminal pada potensial aksi. Secara klinis, gangguan konduksi jantung karena opioid jarang terjadi, tetapi mungkin terjadi bila adanya Ca2++ entry atau b bloker adrenergik. Perbedaan dengan agen anestesi inhalasi, opioid meyebabkan preservasi fungsi miokar yang lebih baik. Hipotensi akibat morfin bukan karena depresi miokar seperti anestesi inhalasi. Reseptor opioid menstimulus pengurangan ukuran infark. Dosis

tinggi opioid mempertahankan perfusi miokar lebih baik dan suplai O2/ kebutuhan lebih baik dari anestesi inhalasi. Morfin dan meperidin menyebabkan pelepasan histamine yang disebabkan oleh aktivasi adrenal simpatik. Pernyataan ini secara signifikan meningkatkan level epinefrin dan norepinefrin di plasmauntuk merespon opioid. Perubahan hormonal ini berkontribusi pada perubahan kardiovaskular terlihat setelah pemberian morfin dan juga meningkatkan kardiak indeks. Penurunan tekanan darah arteri dan SVR juga merupakan efek dari histamine. Meperidin menyebabkan pelepasan histamine lebih banyak dari opioid, termasuk morfin, fentanil, sufentanil, dan remifentanil. Tidak seperti morfin dan mepridin, fentanil, sufentanil remifentanil tidak meningkatkan produksi histamine dan hipotensi. Meskipun, agonis u opioid modulasi respon sekresi adrenal terhadap rasa nyeri juga respon sekresi adrenal untuk perdarahan.

Respon hormonal Respon stress merupakan proses fisiologis yang terjadi pada pasien akibat dari cedera atau pun pembedahan.Bagian utama dari respon stres ini adalah komponen meuroendocrine yang bekerja melalui beberapa pusat, terletak di otak dan melepaskan corticotropin releasing hormone dari para ventrikel nukleus hipotalamus dan lokus caeruleus, bertanggung jawab atau ephinephrin / sistem saraf otonom. Ketika stress atau pembedahan hypothalamus mengeluarkan hormone tropic yang selanjutnya menstimulus pituitary untuk mensekresi ACTH, GH, renin, prolaktin ADH dan hormone lainya. Meskipun kortisol, katekolamin, glucagon, tiroksin meningkat. Namun jumlah plasma dari hormone anabolic seperti insulin dan testosterone menurun. Peningkatan level dari hormone stress ketika GA dan pembedahan akibat ketidak stabilan hemodinamik dan perioperatif metanolisme katabolic berkontribusi trhadap kejadian mortalitas pada operasi.

Secara umum, anestesi inhalasi tidak dapat menekan respon stress, tetapi hanya menutupinya. Tetapi, opioid dapat melakukan dalam tingkat tertentu. Kombinasi agen anestesi yang berbeda dan teknik procedure dapat mengontrol respon stress dengan baik. Opioid adalah inhibitor hipotalamus pada adrenal aksis. Menghalangi respon stress dengan menblok nosisepsi pada tingkat yangberbeda dari aksis neural. Fentanil dan kandungannya lebih efektif daripada morfin dan meperidin dalam modifikasi respon hormonal untuk pembedahan. Meningkatkan respon stress merugikan dan sakit saat dilakukan prosedur mayor. Peningkatan katekolamin meningkatkan resiko jantung dan meningkatkan penundaan pemulihan katabolisme protein. Sehingga menurunkan respon stress pada opioid dapat menurungkan morbiditas dan mortalitas.

Efek pada renal Morfin dan meperidin mencegah pelepasan ADH yang akan merespon stress. Dengan demikian, tidak adanya peningkatan ADH, renin, dan aldosteron plasma akibat opioid mencegah atau meminimalkan perubahan fungsi renal pada seseorang. Opioid menurunkan tonus pada otot polos vesika urinarius, tetapi meningkatkan meningktkan tonus spingter vesika urinarius, menyebabkan retensi urin. Opioid juga menyebabkan peningktan kontraksi pada otot polos ureter.

Efek pada gastrointestinal Reseptor opioid dan opioid endogen ditemukan pada traktus GI. Sehingga produksi opioid efeknya menyebar luas pada traktus GI oleh supraspinal (dimediasi oleh nervus vagus), spinal dan mekanisme perifer. Opioid meningkatkan tonus dan menurunkan otilitas daritraktus GI dan seperti perut terasa penuh, tanpa memperhatikan status NPM. Opioid menurunkan aktivitas sfingter esophagus

sehingga terjadinya relaksasi namun menimbulkan spasme pada pylorus, ileocaecal dan anal sfingter. Hal ini menyebabkan penurunan sekresi pada semua traktus GI. Epidural dan intratekal opioid juga mengurangi motilitas saluran pencernaan. Nalokson bekerja antagonis dari opioid yang memperlambat pengosongan dari lambung. Opioid menginduksi spasme CBD dan pfingter oddi dan dengan demikian mengurangi caliber CBD dan meningktkan tekanan saluran empedu. Opioid yang mengurangi caliber CBD paling baik adalah morfin dan tidak signifikan setelah fentanil, atau sufentanil. Spasme dari sistem bilier ini dapat dinetralkan oleh nalokson, glucagon, nitrat, teofilin dan sebagian dari atrofin. Meperidin memiliki efek ganda. Dalam konsebtrasi yang lebih tinggi menghasilkan spasme bilier. Salah satu respon ini diakibatkan oleh efek nalokson. Hal kecil tapi masalah besar bila selama periode perioperatif adalah mual dan muntah pasca operasi yang disebabkan oleh opioid.opioid menstimulasi pada pusat CTZ di area postrema medulla oblongata dan mungkin melalui resetor o. kerja opioid di pusat dan dikombinasikan dengan efek aksi di GI menstimulus mual dan muntah. Ada bukti menunjukkan bahwa salah satu opioid dengan pemakainan terus menerus berefek emetogenik dari lainnya. Namun demikian, pada pasien tertentu, berubah dari satu opioid pengaruh lain kejadian mual dan muntah yang berhubungan. Factor yang meningkatkan insiden mual dan muntah adalah umur ( kelompok anak-anak lebih rentan), jenis kelamin ( cenderung pada wanita), obesitas, riwayat sering mabuk, cemas, prosedur pembedahan tertentu (laparatomi), premedikasi opioid, intensitas nyeri, distensi gaster dan N2O. propofol secara signifikan mengurangi kejadian mula dan muntah. Mual dan muntah disebabkan oleh opioid setelah dilakukan pembedahan. Sehingga hal yang dilakukan adalah meminimalkan kejadiannya. Beberapa terapi antiemetic yang digunakan sebagai anatesi adalah :

i.

Obat

antikolnergik

seperti

scopolamine

dapat

diberikan

secara

intramuscular(IM) dan intravena (IV0 atau plester transdermal untuk mengurangi mula dan muntah setelah pembedahan. Glikopirolat tidak efektif untuk respon ini karena tidak dapat penetrasi ke sawar darah otak. Atrofin cukup efektif. ii. Droperidol (0,005 sampai 0,007 mg/kg IV) lebih efektif untuk mengurangi mual dan muntah setelah pembedahan oleh karena opioid. Kerjanya sebagai anti dopaminergik iii. Dopamine antagonis seperti metoklopramid juga efektif diberikan.

Bekerja pada pusat CTZ dan perifer pada traktus GI. iv. Serotonin antagonis seperti ondansentron mungkin lebih efektif. Ini

berhubungan dengan kejadian sakit kepala (3%), peningkatan enzim hati dan perbandingan keuntungan yang tinggi. Efek Obstetric Morfin dan meperidin (bukan fentanil, sufentanil, alfentanil) mempunyai efek buru pada IVF (in vitor fertilisasi) yang bersifat tertogenik. Sehingga, tidak digunakan untuk tujuan ini. Pemberian secara parenteral dari opioid tetap digunakan walaupun berefek pada ibu, janin dan neonates karena dikatakan lebih unggul bila dibandingkan dengan analgesia epidural. Meperidin (50 mg IV) diyakini efek depresinya kurang dibanding morfin. Ini adalah karena ketidakmatangan sawar darah otak janin yang memungkinkan penetrasi lebih besar dari otak normal dimana morfin relatif kurang lopophobic dibandingkan dengan meperidin. Sesaat setelah injeksi, morfin dan

meperidin dengan kerja cepat bersilang pada sawar plasenta dan menyebabkan level darah yang signifikan pada bayi baru lahir. Eliminasi waktu paruh pada meperidin pada bayi baru lahir dapat memanjang hingga 2 jam. Sufentanil sangat terikat pada protein plasma sehingga menghambat transfer ke plasenta. Plasenta dibutuhkan lebih banyak pada sufentanil dibanding dengn opioid lainnya dan bertindak sebagai cadangan obat. Dengan demikian, sufentanil dapat

mengurangi waktu transfer ke plasenta dan transfer ke janin setelah pemberian obat ini membutuhkan waktu 45 menit. Meperidine meningkatkan kontraksi uterus dan dengan dosis tettentu dapat memperlambat kerja dan tidak dapat dibantu dengan nalokson. Meskipun dari segi kebiasaan opioid tidak digunakan pada GA untuk seksio sesar, namun baru-baru ini pasien dengan PIH berat dan masalah CVS dapat menstabilkan CVS dengan golongan opioid baru. Efek maternal nya dianggap menguntungkan, karena nalokson digunakan sebagai antagonis dalam depresi pernapasan pada neonates. Opioid mengeluarkan ASI dan depresi pada saraf. Bayi baru lahir dengan ibu yang mengkonsumsi opioid akan menimbulkan gejala dan memerlukan pengobatan yang tepat. Efek ocular Semua golongan opioid mencegah peningkatan intraocular, yang berhubungan dengan sukinikolin dan /atau intubasi trakea. Reaksi alergi Reaksi anafilaksis dari opioid jarang terjadi. Namun sering terjadi reaksi lokal dan ini diakibatkan mugkin karena preservasi dari pelepasan histamine. Nalokson dan antihistamin mengurangi induksi histamine oleh reaksi opioid.

Farmakokinetik Opioid termasuk basa lemah dan bila dilarutkan, maka opioid dapat terdisosiasi menjadi fraksi terprotonasi atau terionisasi. Proporsi relative dari terprotonasi (pada terionisasi) dan basa bebas (pada fraksi nonionised) tergantung pada pH larutan dan nilai pKa. Basa bebas atau bentuk non terionisasi lebih larut dalam lemak daripada bentuk terionisasi atau terprotonasi. Kelarutan dalam lipid tinggi meningkatkan

masuknya opioid di lokasi aksi yaitu sistem saraf pusat dan memfasilitasi aksi opioid

yang cepat. Di sisi lain, reseptor opioid mengenali molekul opioid dalam bentuk terprotonasi dan intensitas efek opioid berkaitan erat dengan konsentrasi bagian terionisasi dari obat dalam sel.

Dengan demikian, kecepatan onset dan intensitas tindakan adalah fungsi kompleks soluability lipid dan persentase ionisasi yang lagi tergantung pada pH jaringan dan pKa value obat seperti agen anestesi lokal yang dibahas dalam bab 13. Opioid terikat pada protein plasma sampai batas tertentu. Molekul opioid yang terikat dengan protein plasma tidak bisa lewat dari darah ke SSP atau jaringan lain. hanya fraksi terionisasi dan fraksi tidak terikat (basa bebas) melewati dari darah ke jaringan di mana ia terionisasi dan membuat gradien konsentrasi yang mempromosikan difusi lebih lanjut. Karenanya, gradien konsentrasi, kelarutan lemak dan koefisien partisi jaringan plasma menentukan tingkat di mana difusi opioid dalam jaringan berlangsung. Morfin memiliki fraksi diffusible rendah dan merupakan onset opioid lambat. Ini adalah karena kelarutan lemak rendah. Di sisi lain, alfentanil memiliki fraksi diffusable tinggi dan merupakan opioid onset yang cepat. Ini adalah karena kelarutan lemak lebih tinggi daripada morfin.

Anda mungkin juga menyukai