Anda di halaman 1dari 7

Nama : Lourina C. O.

Tambottoh Nim : 09 313 684 Tugas Mandiri Fisiologi Hewan Tingkah Laku Hewan

A. Tingkah Laku Hewan Tingkah laku merupakan hasil aktivitas terkoordinasi dan terarah akibat adanya rangsang. Tingkah laku ini melibatkan reseptor dan efektor, kondisi saraf dan hormonal. Refleks adalah gerakan atau respon sederhana, umumnya proporsional terhadap besarnya stimulus. Refleks merupakan unsur dasar penting dalam tingkah laku hewan untuk lulus hidup. Berbagai stimulus yang menyebabkan respon, digunakan istilah foto untuk cahaya, galvano untuk elektrivitas, untuk arus, stato untuk tekana, termo untuk suhu, dan tigmo untuk sentuhan. Gerakan melengkung atau menggerakkan tubuh ke arah atau membelokkan tubuh kearah atau menjauhi stimulus disebut tropisme. Naluri merupakan salah satu bahasan dalam etologi. Istilah naluri digunakan dalam maksud tingkah laku atau motif pendorong yang menghasilkan aksi tingkah laku itu. Naluri dapat diartikan sebagai pola tingkah laku yang bersifat kompleks, khas spesies, testereotipe, herediter. Pada dasarnya setiap spesies hewan mempunyai kebutuhan pokok tertentu yang sama dimana kebutuhan pokok yang utama ialah agar tetap bertahan hidup. Tingkah laku satwa adalah kebiasaan-kebiasaan satwa dalam melakukan aktivitas hidupnya yang disebabkan oleh faktor yang mempengaruhinya baik dari dalam maupun dari luar tubuh satwa tersebut. Sebagai contoh sifat mengelompok cara mencari makanan dan membuat sarang. Untuk praktisnya tingkah laku dapat diartikan sebagai gerak organisme. Sehingga tingkah laku merupakan gerak atau perubahan gerak termasuk perubahan dari bergerak atau tidak bergerak sama sekali, atau membeku. Terjadinya tingkah laku pemangsaan disebabkan karena adanya makanan (rangsangan dari lingkungan dan adanya kebutuhan lapar). Sama halnya juga tingkah laku kawin. Disebabkan karena adanya rangsangan dari dalam kemudian baru terjadi rangsangan dari lawan jenisnya. Hewan mempunyai berbagai tingkah laku dalam proses fisiologik. Untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan. Untuk mempertahankan

kebutuhanbnya mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang agresif, melakukan persaingan dan bekerja sama untuk mnendapatkan makanan, perlindungan, pasangan untuk kawin reproduksi dan sebagainya. Sehingga dapat dikenal adanya prilaku makan (ingesif), perilaku membuang kotoran (elimunatif) perilaku seksual, aperilaku pemeliharaan (epimeletik), perilaku menentang/konflik, perilaku memilih (alelolimentik), perilaku mencari perlindungan dan perilaku memeriksa. Berkaitan dengan hal tersebut fungsi tingkah laku adalah menyesuaikan diri terhadap beberapa perbedaan keadaan baik dari luar maupu dari dalam. Perilaku merupakan suatu aktivitas, oleh karena itu melibatklan fungsi fisiologis. Setiap macam perilaku melibatkan penerimaan rangsangan melalui panca indera dan setiap perubahan ini diteruskan sehingga menjadi aktivitas saraf, aksi integrasi susunan saraf dan akhirnya terhadap organ motor.

B. Mekanisme Terjadinya Tingkah Laku Tinbergen (1969) menjelaskan bahwa tingkah laku adalah reaksi terhadap keadaan tertentu yang faktor penyebabnya dapat berasal dari luar dan dari dalam tubuh. Faktor dari dalam tubuh terjadinya sebagai faktor motivasional yang menetukan arah dan intensitas dari penampilan tingkah laku. Reaksi dari suatu hewan ditentukan oleh kemampuan potensial indera. Potensial indera itu menyangkut beberapa aspek : 1) kepekaan, 2) diskriminasi, dan 3) lokalisasi. Kepekaan adalah kekuatan untuk menangkap rangsangan, misalnya penglihatan burung hantu sangat peka karena dapat melihat pada cahaya yang kurang terang, sedangkan penglihatan kekelawar tidak peka karena tidak dapat melihat meskipun pada siang hari yang sangat terang. Deskriminasi adalah kemampuan untuk membedakan rangsang, baik kekuatan maupun macamnya. Kemampuan untuk membedakan kekuatan rangsang sangat penting untuk menentukan perlu tidaknya respons dan tinggi rendahnya responsnya. Rangsanan yang mengenai hewan dalam satu waktu lebih dari satu macam. Dengan kemampuan diskriminasi hewan dapat menentukan rangsangan mana yang perlu direspon terlebih dahulu, dan rangsang mana yang tidak perlu direspons atau direspons kemudian. Lokalisasi adalah kemampuan untuk menenpatkan/menentukan sumber rangsang dalam ruang. Lokalisasi meliputi aspek arah dan jarak. Dalam aspek arah, hewan dapat menetunkan asal rangsang yang mengenai dirinya yaitu dari depan, kiri, kanan, atas dan bawah. Dengan mengetahui arah rangsang hewan dapat menetukan arah respons, yaitu arah gerakan yang dilakukan untuk menanggapi rangsang yang ada. Aspek jarak menentukan kekuatan rangsang. Makin dekat jarak

rangsang makin besar kekuatannya. Misalnya, seekor kijang mendengar suara auman harimau.

C. Tingkah laku Makan pada Hewan Secara umum hewan mempunyai tiga cara dalam memperoleh makanan, yaitu ; (1) tetap berada ditempat dan makanan datang sendiri, (2) berjalan untuk mencari makan dan (3) menjadi parasit pada organisme lain (Arms dan Camp, 1979). Salah satu contoh pada monyet hitam (Macaca nigra) digolongkan sebagai pemakan buah-nuahan dan serangga dimana selama melakukan perjalanan mencari makanan paling banyak makan buah-buahhan dan sesudah makan buah-buahan kemudian mencari serangga dan kadang juga terlihat makan daun mudah. Pengambilan makanan dilakukan dengan melakukan dua kaki dengan cara memetik dan memungut buah, menangkap serangga dan mencipratkan air kemulutnya. Ia memperoleh air dari buah-buahan, air yang tergenang didedaunan, batu yang berlubang, dan mungkin juga pada sungaisungai. Tingkah laku makan kasuari seperti halnya tingkah laku lainnya, dipengaruhi oleh faktor genetik, suhu lingkungan, jenis makanan yang tersedia dan habitat. Faktor genetik seperti telah diuraikan diatas. Faktor suhu lingkungan dapat mempengaruhi jumlah makanan yang dikonsumsi. Pada suhu rendah, kasuari akan menkonsumsi makanan lebih banyak dari pada saat suhu lingkungan tinggi. Faktor jenis makanan yang tersedia berpengaruh terhadap tingkah laku makan, terutama dalam menggunakan anggota tubuhnya untuk mendapatkan, mengambil dan memakan. Faktor habitat, baik insitu (alami) maupun eksitu (penangkaran) mempengaruhi tingkah laku makan yang berbeda. Kasuari dalam mengkonsumsi makanan, mengambil makanan dengan paruh, menjepitnya dan langsung menelannya tanpa mengalami pengunyahan dalam mulut. Cara makan seperti ini sama halnya dengan burung pemakan biji-bijian lainnya (Burton, 1985). Menurut Coates (1985), makanan kasuari di habitat alaminya berupa buah-buahan dan biji-bijian, serangga dan jaringan tumbuh-tumbuhan serta hewan kecil seperti udang dan ikan yang diperoleh dipinggiran sungai atau kali yang terdapat di hutan. Kasuari menghasilkan feces berupa tumpukan sisa buah atau biji yang tidak tercerna. Aktivitas makan ini berlangsung hampir sepanjang hari selama persediaan makanan masih ada. Aktivitas makan akan berkurang atau berhenti jika makanan tidak tersedia, temperatur udara meningkat (siang hari) atau jika hari gelap. Pada keadaan

suhu udara meningkat di siang hari, kasuari akan mengkonsumsi air minum melebihi dari biasanya dan cenderung akan membasahi seluruh tubuhnya dengan cara berendam di kolam air atau berbaring ditempat-tempat yang becek, berair atau basah. Hal ini diduga merupakan usaha kasuari untuk mengurangi panas tubuhnya karena tidak memiliki kelenjar keringat. Tingkah laku tersebut sesuai dengan habitat kasuari yang menyenangi tempat-tempat yang berair seperti hutan rawa, sungai dan daerah yang dingin atau sejuk seperti daerah pegunungan, tetapi dapat juga beradaptasi di dataran rendah (Coates, 1985).

D. Tingkah laku Kawin (Reproduksi) Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa masa kawin kasuari di dalam penangkaran terjadi pada bulan Januari sampai Maret. Masa kawin ini mengalami pergeseran waktu dibandingkan hasil penelitian Setio (1995) yang mengamati musim kawin terjadi pada bulan Juli sampai Desember dan intensitas tertinggi pada bulan Agustus, November dan Desember. Sedangkan pada habitat alaminya, masa kawin terjadi pada bulan Maret, April, Juli dan Agustus (Coates, 1985). Pergeseran pola reproduksi (masa kawin) ini diduga disebabkan oleh faktor makanan dan habitatnya. Jumlah makanan yang mencukupi dapat mempengaruhi pola reproduksi, karena energi dari makanan yang cukup dapat digunakan untuk hidup pokok, pertumbuhan dan berkembang biak dengan baik. Demikian halnya terhadap perubahan habitat dapat menyebabkan proses adaptasi terhadap lingkungan baru yang dapat mempengaruhi dalam proses fisiologis hewan, termasuk fisiologi reproduksi. Selama pengamatan terlihat bahwa pada saat musim kawin, kasuari jantan dan betina akan selalu berjalan bersama. Cara bercumbu dimulai oleh pejantan yang mencoba mendekati betina secara bertahap dan perlahan. Pada awalnya kasuari jantan akan diusir oleh kasuari betina. Namun jantan hanya menghindar sebentar dan tidak jauh dari betina, kemudian mendekat lagi. Proses ini terjadi berulang sampai kasuari betina memperlihatkan gejala birahi. Gejala birahi kasuari betina ditunjukkan mulai dari tingkah laku duduk dengan melipat kedua kaki kedepan, badan ditundukkan kedepan sejajar dengan kedua kakinya dan posisi leher dan kepala hampir rata dengan tanah, bila didekati oleh pejantan ataupun manusia. Apabila betina telah menunjukkan gejala birahi tersebut, kasuari jantan akan segera menghampiri betina secara perlahan sambil mematuk-matuk benda disekitarnya. Setelah dekat, kasuari jantan akan mulai mencumbu betina dengan cara meatuk-matuk pelan kepala betina, menisik-nisik (membelai) bulu-bulu bagian belakang dan kadang-kadang mematuk-matuk kaki betina dengan hati-hati, seakan-akan mengatur posisi/kedudukan betina. Bila kedudukan betina dirasa sudah cukup baik, jantan akan segera mulai merapatkan tubuhnya, merangkak maju perlahan sambil menggeser-geser kakinya yang telah ditekuk kedepan dengan posisi badan

tegak sampai daerah bagian organ reproduksi jantan menempel pada daerah bagian organ reproduksi betina. Tahap berikutnya, bagian ekor jantan akan digeser-geser hingga organ reproduksi jantan dan betina bertemu dan terjadi proses kopulasi (kawin). Pada saat ini, jantan melakukan kopulasi (intersupsio) dengan cara menekan berulangkali selama kurang lebih satu menit. Setelah proses kopulasi selesai, baik jantan dan betina segera berdiri dan mengibasngibaskan bulunya dan setelah itu kadang-kadang kasuari betina tampak marah dan segera mengusir atau mengejar kasuari jantan. Tetapi kasuari jantan hanya menghindar sebentar dan tidak jauh dari tempat betina berada. Tingkah laku ini (mengusir jantan) juga akan ditunjukkan betina bila dalam proses percumbuan kasuari jantan gagal melakukan perkawinan. Apabila hal ini terjadi, kasuari jantan akan menghindar agak jauh dari betina beberapa saat. Selanjutnya proses aktivitas percumbuan akan berulang kembali mulai dari berjalan bersama, percumbuan sampai perkawinan. Proses percumbuan sampai terjadi perkawinan pada kasuari berlangsung selama kurang lebih 10 menit.

E. Tingkah laku Teritori Mayr, pada tahun 1935 mengusulkan definisi bahwa teritori adalah sebuah area yang didiami oleh sebuah spesies dengan satu induk jantan, yang melawan induk jantan lainnya dari satu jenis. Induk jantan ini sangat mencolok sehingga membuat dirinya tampak berbeda dalam populasi tersebut. Timbergen (1936) mendefinisikan teritori seks adalah suatu area yang dipertahankan dengan cara perkelahian burung satu spesies perkelahian dimaksud untuk pengamanan pada masa reproduksi. Banyak kejadian yang menunjukkan bahwa burung mempertahankan daerah teritori dari serangan spesies lain dari pada serangan burung sejenis. Pettingin (1946) menambahkan bahwa daerah teritori dibuat berdasarkan empat fungsi besar yaitu : a. Menjamin perlindungan b. Membatasi populasi dalam komunitas burung sehingga kapasitasnya tidak berlebihan c. Melindungi sarang dan burung betina d. Memacuh reproduksi Berdasarkan keterangan fungsi daerah teritori ternyata muncul berbagai pendapat terhadap konsep ini. Bahwa tingkah laku hewan tidak dapat didefinisikan secara mutlak berarti untuk memahami daerah teritori lebih baik diternagkan dengan menggunakan sampel terpilih. Contoh lain pada ikan tingkah laku teritori banyak ditemukan pada musim reproduksinya.

F. Tingkah laku Istirahat Pohon untuk istirahat tidur pada Macaca nigra berupa pohon-pohon yang tinggi dan mempunyai batang-batang yang mendatar dimana Macaca nigra tidur

pada pucuk-pucuk pohon tersebut. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Eimerl dan devore, (1984), bahwa ular dan karnivora tertentu termasuk binatang pemanjat yang pandai sebagai musuh monyet dapt bergerak cepat dan tak bersuara. Sehingga beberapa monyet lebih senang tidur sejauh mungkin dari batang pohon dari ranting-ranting yang masih dapat menahan berat badannya. Dengan demikian, bila ada ular yang mendekatinya, ayunan dahanya akan memperingatkan monyet tersebut akan adanya bahaya. Aktivitas Macaca nigra naik dipohon tidur pada jalan yang sama dengan yang awal naik. Apabila pohon tidur berubah, maka macaca nigra akan melakukan aktivitas makan terlebih dahulu sebelum tidur. Aktivitas macaca nigra dilakukan pagi hingga sore hari, tapi selama beraktivitas ada waktu yang digunakan untuk istirahat. Selama waktu istirahat dipergunakan oleh Macaca nigra dengan duduk-duduk diatas batang dan akar pohon serta tidur-tiduran diatas tanah. Mereka dapat terlibat dalam kegiatan sosial seperti mencari kut. Bermain serta merawat anak serta menangkap serangga atau hewan kecil yang kebetulan terlihat berada ditempatnya berada didekat tempatnya beristiraha.

G. Contoh tingkah laku hewan Seekor gajah memiliki jiwa sosial yang tinggi Hal ini karena gajah sangat sensitif. Ketika salah seekor (kalo manusia: tidak canggung lagi kawanan gajah lain akan menolong atau menyelamatkannya. Jika ternyata anak gajah yang terperosok tersebut cidera sehingga tidak dapat berjalan sendiri, maka gajah-gajah yang lain akan menolongnya berjalan dengan menggunakan belalai-belalai mereka atau bahkan mengangkatnya bersama-sama. Sang induk gajah akan merawatnya dengan penuh kasih sayang, tidak hanya terhadap anak gajah yang cidera, akan tetapi terhadap semua anak-anaknya. Sang induk akan menyediakan fasilitas untuk anaknya yang cidera. Sementara itu, anak-anak gajah yang lain akan selalu berada di samping induknya sampai saudaranya yang cidera sembuh dan dapat bermain lagi dengan mereka. Kodok Bisa Prediksi Gempa Sebuah penelitan di Inggris menemukan bahwa kodok ternyata bisa memprediksi gempa bumi. Benarkah itu? Tingkah laku kodok bisa dijadikan sebuah acuan untuk mengetahui tanda-tanda akan terjadi gempa di lingkungan kita.

Banyak ciri-ciri umum saat akan datangan gempa bumi, diantaranya dengan melihat tingkah laku hewan. Burung-burung yang terbang ke arah yang tidak biasa hingga anjing gelisah selama beberapa hari sesaat sebelum gempa. Namun, kebanyakan tanda-tanda tersebut tidak dibarengi dengan penelitian ilmiah. Peneliti menemukan indikator baru untuk mengetahui kedatangan gempa, yaitu dengan memperhatikan tingkah laku kodok. Menurut peneliti Inggris, kodok yang tengah berkembangbiak bisa menjadi indikator perubahan lingkungan sebelum terjadi gempa. Ketua tim ahli zoologi Rachel Grant asal Inggris, menemukan bahwa gangguan yang terjadi di lapisan atmosfer yang lebih tinggi sebelum gempa, ternyata berhubungan dengan tingkah laku pergerakan kodok. "Ini adalah studi pertama yang menggali perilaku hewan sebelum gempa dengan cara ilmiah dan metodologis. Kami melakukan studi sesuai prosedur dan ilmiah secara konsisten dengan melihat perilaku mereka (kodok)," kata Grant seperti yang dikutip dari LiveScience.

Menurutnya kodok sangat sensitif mengetahui kedatangan gempa sehingga mudah bagi mereka untuk segera melarikan diri dan melompat ke tempat aman sebelum gempa datang. Studi ini menguak fakta bahwa kodok melepaskan telur-telur mereka lima hari sebelum gempa bumi menghantam L'Aquila, Italia, pada April 2009. "Kodokkodok itu baru kembali beberapa hari setelah goncangan terjadi. Hal ini dianggap tidak lazim karena biasanya kodok tidak pernah meninggalkan telur-telurnya dalam waktu yang lama,"tukas Grant. (tribunnews. com/ adi suhendi).

Literatur http://organisasi.org/contoh-bentuk-adaptasi-tingkah-laku-behavioral-padamakhluk-hidup-ilmu-biologi http://web.ipb.ac.id/~tpb/tpb/files/materi/biologi/Kuliah%2012%20Struktur%20da n%20Fungsi%20Hayati%20Hewan2.pdf Dharmawan, A. 2005. Ekologi Hewan. Malang: UM Press

Anda mungkin juga menyukai