Anda di halaman 1dari 50

8.

7 Penyakit Imunologi

Prinsip Umum Penyakit Imunologi Ilmu imunologi, Pernah menjadi cabang kecil dari ilmu mikrobiologi, telah tumbuh menjadi salah satu ilmu utama yang bersangkutan dengan penyakit manusia. Dalam beberapa tahun terakhir,banyaknya informasi di bidang imunologi telah meningkatkan pengertian tentang proses penyakit dan menyediakan alat dimana alat tersebut untuk menyelidiki sejumlah kondisi klinis. Kekayaan pengetahuan ini telah menyebabkan perkembangan tes diagnostik menjadi lebih baik dan perawatan terhadap penyakit dapat ditentukan secara spesifik. Konsep penyakit berubah sangat cepat karena informasi-informasi yang terbaru dalam bidang imunologi. Seorang dokter yang kompeten harus memahami konsep-konsep dasar imunologi modern dan bagaimana mereka berhubungan dengan penyakit. Sebagian besar penelitian saat ini berurusan dengan karies gigi, penyakit periodontal, dan ulser oral menggunakan teknik imunologi untuk menyelidiki etiologi dan pengobatan dari penyakit ini. Dalam bab ini, prinsip-prinsip dasar imunologi klinis yang bersangkutan diperiksa, penyakit yang melibatkan sistem kekebalan tubuh dibahas, dan hubungan penyakit-penakit ini dengan penyakit pada mukosa oral disorot.

Imunitas : Perlindungan terhadap Penyakit Lingkungan berisi berbagai macam agen mikroba (virus, bakteri, jamur, protozoa, dan parasit) yang dapat menyebabkan penyakit jika mereka berkembang biak tak terkendali. Fungsi dari sistem imunitas ini adalah untuk membedakan agen penginfeksi yang berpotensi ini sebagai substansi asing dan untuk menghilangkan mereka dari tubuh. Respon imun melibatkan pengidentifikasian zat asing ini dan reaksi yang berfungsi untuk menghilangkan agen asing ini. Respon ini dapat dibagi menjadi dua sistem fungsional: (1) sistem bawaan,

atau baris pertama pertahanan, dan (2) sistem adaptif, respons spesifik untuk masing-masing agen penginfeksi, untuk menghilangkan infeksi. Kedua sistem ini bekerja sama untuk menghilangkan bakteri pathogen. . Respon imun bawaan adalah sistem pertahanan kekebalan tubuh yang tidak memiliki

memori sementara pertahanan kekebalan tubuh yang diperoleh tergantung pada perlawanan sebelumnya terhadap patogen. Karakteristik yang unik dari respon imun yang diakuisisi adalah spesifisitas tinggi terhadap patogen tertentu. Kekhususan ini meningkatkan encounter dengan patogen yang sama, sehingga menciptakan suatu "memori" yang memungkinkan tubuh untuk mencegah agen infeksius yang sama dan menyebabkan penyakit. Namun, respon bawaan tidak berubah dengan pemaparan berulang-ulang untuk agen infeksius tertentu dan karenanya tidak memiliki pengenelan antigen khusus.

Innate Immunity Konstituen utama dari kekebalan bawaan adalah komponen selular, yang diwakili oleh phagocytes; sel natural killer (NK) dan komponen tingkat molekul yang meliputi komplemen cascade dan sitokin. Sel fagositik mengekspresikan permukaan glikoprotein dan scavenger receptor yang digunakan untuk mengenali dan menelan mikroba dan partikel asing. Ada dua jenis phagocytes: phagocytes mononuklear atau makrofag jaringan dan neutrofil polymorphonuclear. Fagositik mononuklear sel berasal dari sel-sel induk sumsum tulang, dan fungsi mereka adalah untuk menelan, internalisasi, dan menghancurkan partikel. Monosit yang strategis ditempatkan di mana mereka akan menghadapi partikel asing. Pada saatnya, mereka bermigrasi ke dalam jaringan, di mana mereka berkembang menjadi makrofag jaringan. Makrofag mengaktifkan limfosit T oleh sekresi interleukin dan hadir pada limfosit antigen asing. Makrofag bertindak bersama-sama limfosit granular yang besar untuk memediasi lisis pada sel yang dilapisi dengan antibodi dan sel natural killer. Neutrophils

mayoritas terisi oleh leukosit darah dan berkembang dari prekursor yang sama seperti monosit dan makrofag. Mereka diaktifkan oleh produk bakteri untum memfagosit dan membunuh bakteri. Lebih jauh, fagositosis dapat meningkat lebih lanjut oleh opsonization dari bakteri dengan imunoglobulin dan produk komplemen. Neutrofil adalah sel berumur pendek yang menelan dan menghancurkan materi dan kemudian mati. Sel-sel natural killer terdapat 10 hingga 15% pada limfosit darah dan dirancang untuk membunuh sel-sel yang tidak mengekspresikan diri histocompatibility utama kompleks (MHC) antigen. Mereka umumnya terbatas pada darah dan limpa. Tanggung jawab mereka adalah untuk melisiskan sel yang terinfeksi virus, sel-sel asing, atau sel-sel ganas, tanpa bantuan antibodies. Sistem komplemen menggunakan sistem simple self-or-non-self-discriminatory: jaringan host memiliki molekul permukaan sel yang menghambat aktivasi komplemen, dan organisme mikroba kurang akan molekul penghambat ini. Sistem komplemen memiliki banyak fungsi, termasuk pembunuhan langsung mikroorganisme atau lisis sel tumor, opsonisasi dari mikroorganisme untuk fagositosis, chemotaxis dan aktivasi leukosit dan sel mast, pengolahan immunocomplexes, dan regulasi produksi antibodi oleh sel B.

Acquired Immunity Limfosit sangat penting untuk semua respon imun adaptif sebagai individu mengenali mereka secara khusus dalam sel inang patogen dan / atau dalam cairan jaringan atau darah. Limfosit adalah sel induk yang tidak dibedakan derivedfrom prekursor yang berasal dalam tulang sumsum. Sel-sel induk ini membedakan menjadi dua populasi berbeda limfosit, untuk membentuk dua komponen dari imunitas adaptif. Satu populasi induk limfoid cellscontacts timus dan bentuk-bergantung timus atau sel T-sistem. Hubungi sel-sel lain setara manusia

dari bursa dari Fabricius burung, kemungkinan jaringan limfoid usus Peyer's patch, untuk membedakan ke dalam bursa atau B-sistem sel. Keragaman sel-sel ini luar biasa, dan telah diperkirakan bahwa B dan limfosit T mampu merespons selama 10 sampai 15 berbeda antigen.

T-Cell System (Cell-Mediated Immunity) Area paracortical kelenjar getah bening dipadati okeh T sel dan pulp putih dari limpa dan merupakan 70-80% dari limfosit dalam darah perifer. Sel T memiliki berbagai kegiatan. Satu kelompok berinteraksi dengan sel B dan membantu mereka untuk membagi, membedakan, dan membuat antibodi. Kelompok lain berinteraksi dengan sel fagositik untuk membantu mereka menghancurkan patogen yang telah tertelan. Kedua kelompok ini adalah sel T pembantu (T helper). Kelompok ketiga dari limfosit T, yaitu sel T sitotoksik, mengenali sel yang terinfeksi oleh virus dan menghancurkan mereka. Sistem T-sel bertanggung jawab pada kekebalan imun sel, yang berfungsi sebagai pertahanan utama tubuh melawan virus dan jamur dan yang juga bertanggung jawab untuk reaksi hipersensitivitas yang tertunda. Penggunaan antibodi monoklonal lanjutan oleh limfosit T telah diizinkan. Limfosit T diklasifikasikan sebagai CD1 ke CD8, menurut molekul permukaan sel, dengan masingmasing sel dan fungsi berbeda dalam tahap pembangunan. Kedua jenis sel T yang paling penting bagi dokter untuk memahami adalah CD4 (T4) dan CD8 (T8) sel. Sel-sel dengan molekul permukaan CD4 (limfosit T4) sangat penting dalam mengarahkan respon imun dengan menginduksi proliferasi limfosit T8 baik dan B limfosit. Molekul CD4 hadir pada limfosit T4 adalah molekul yang digunakan oleh human immunodeficiency virus (HIV) untuk menembus dan menginfeksi sel. T8 limfosit (dengan permukaan CD8 molekul) menekan sintesis antibodi dan sitotoksik untuk sel tumor dan sel terinfeksi virus, jamur, atau protozoa. Mereka juga sel-sel yang aktif dalam penolakan cangkok. Limfosit T menunjukan

banyaknya fungsi mereka dengan melepaskan protein cytokines.Cytokines adalah mediator dari interaksi sel ke sel dan bertindak sebagai hormon lokal. Sitokin diproduksi oleh hampir semua sel nukleasi dan disebut lymphokines ketika diproduksi oleh limfosit. Interleukin, koloni-faktor merangsang, dan interferons adalah salah satu jenis utama sitokin. Interleukin adalah kelompok besar sitokin yang terutama terlibat dalam mengarahkan sel lain untuk membagi dan membedakan. Merangsang koloni-faktor yang terlibat dalam mengarahkan pembagian dan diferensiasi dari sel-sel induk sumsum tulang dan prekursor leukosit darah. Interferons diproduksi pada awal infeksi dan baris pertama dari perlawanan terhadap banyak virus. Jenis tertentu dan interleukin interferons juga memainkan peran dalam stimulasi sel -B dan modulasi.

B-sel System (imunitas humoral) Mengisi sel B follicles di sekitar pusat-pusat germinal kelenjar getah bening, limpa, dan amandel. B limfosit memiliki imunoglobulin reseptor pada permukaannya. Ketika reseptor ini menggabungkan dengan antigen, mereka berdiferensiasi menjadi sel plasma dan memproduksi antibodi, yang sangat penting untuk pertahanan tubuh terhadap infeksi bakteri dan zat-zat asing beracun lainnya. Lima kelas utama antibodi atau imunoglobulin sekarang diakui: imunoglobulin (Ig) M, IgG, IgA, IGD, dan IgE. Masing-masing berbeda imunoglobulin memiliki sifat kimia dan biologis. Antibodi IgM makromolekul antibodi terdiri dari lima monomer dan diproduksi terutama dalam tubuh utama terhadap antigen asing. IgM juga memainkan peranan penting dalam aktivasi komplemen dan dalam pembentukan immunocomplexes. IgG merupakan 75% dari imunoglobulin serum dan merupakan komponen utama dari respons antibodi sekunder. IgG juga merupakan imunoglobulin yang melintasi plasenta, memberikan perlindungan kepada bayi yang baru lahir. Empat subkelompok IgG telah diidentifikasi. Antibodi IgA ditemukan di dalam darah

dalam jumlah kecil, tetapi sekretorik IgA adalah antibodi utama yang ditemukan dalam sekresi eksternal seperti air liur, air mata, dan empedu. Tingkat sekretorik IgA dalam ludah mungkin memiliki peran penting dalam melindungi jaringan oral terhadap penyakit dengan mencegah mikroorganisme dari mukosa melekat. Disfungsi dari sistem IgA dapat membantu menjelaskan penyakit lisan tertentu, dan di masa depan, induksi spesifik antibodi IgA sekretorik liur dapat melindungi pasien dari karies gigi dan penyakit periodontal. Jumlah yang rendah dari kedua IGD dan IgE yang normal ditemukan dalam serum manusia. IGD bertindak sebagai reseptor untuk antigen pada B limfosit; mengikat IgE sel mast dan basofil, memicu pelepasan histamin pada reaksi alergi seperti anafilaksis, demam, dan asma.

Kekebalan Penyakit Respon kekebalan, yang diperlukan untuk perlindungan terhadap penyakit, juga bisa menyebabkan penyakit atau konsekuensi yang tidak diinginkan lainnya ketika bereaksi terhadap jaringan. Sistem kekebalan tubuh dapat gagal dengan tiga cara:

a. Immunodeficiency (tidak efektif respon kekebalan tubuh) Respon imun terdiri dari banyak sel, sitokin, dan reaksi. Jika salah satu bagian dari sistem kekebalan tubuh individu adalah cacat, individu mungkin tidak mampu melawan infeksi secara memadai. Immunodeficiency dapat diperoleh dari keturunan, setelah kelahiran, atau dapat berasal dari virus (misalnya, HIV) infeksi atau obat-obatan (yaitu, kemoterapi).

b. Autoimun (Reaksi terhadap tubuh sendiri ) Autoimun adalah fungsi normal dari system imun kita dalam mengenali antigen asing dan bereaksi melawan mereka. Apabila system tadi bereaksi dengan tubuh kita sendiri, penyakit autoimun terjadi. Autoantiobodi ini memiliki peranan yang signifikan pada

patogenesis penyakit Pemphigus, Pemphigoid, dan penyakit Hasyimoto thyroid. Penyakit imunokompleks adalah subdivisi dari penyakit autoimun. Pada penyakit ini, kompleks antigen-antibodi bersatu untuk membentuk vaskulitis nonspesifik. Contoh penyakit-penyakit yang disebabkan oleh autoimun adalah Systemic lupus erythematosus, glomerulonephritis, Behets syndrome, and erythema multiforme. Antibodi juga dapat mengakibatkan penyakit dari blocking receptor sites dan mencegah agen kimia yang normalnya menempel, contohnya Myasthenia gravis dan insulin-resistant diabetes.

c. Hipersensitif (Respon imun yang berlebihan) Normalnya, reaksi imun melawan patogen dalam tubuh kita dengan pembentukan antigen-antigen dan tubuh, ketika imun system kita bereaksi pada antigen tertentu, hipersensitif ini dapat terjadi. Reaksi tipe 1 (cepat) contohnya adalah anafilaktik shock, angioedema, dan alergi lebah yang terjadi akibat IgE dan antigen lain yang mengikat basofil dan mast cell dan menyebabkan bebasnya mediator kimia seperti histamine dan plateletactiviting factor. Substansi ini akan mengakibatkan kontraksi otot halus dan menyebabkan akumulasi cairan ekstravaskular dengan meningkatkan permeabilitas vaskuler. Dua contoh dari reaksi ini dapat dilihat dari tuberculin test dan kontak alergi pada antigen topical.

8.7.1 Imunodefisiensi Primer Imunodefisiensi primer adalah suatu keabnormalan herediter yang dikarakteristikkan sebagai defek inborn dari system imun kita. Penyakit ini dapat mengenai system sel-B dengan hasil defisiensi antibody humoral ataupun hanya sel-T saja dengan defisiensi dari imunitas seluler.

8.7.1.1 Penyakit Immunodefisiensi dengan Defek Primer pada Imunitas Humoral

X-Linked Agammaglobulinemia Penyakit herediter pada anak laki-laki, X-linked agammaglobulinemia (XLA), atau Brutons agammaglobulinemia terjadi pada 1 dari 50.000 kelahiran yang disebabkan oleh defek fungsi dari sel-B. Gejala muncul pada usia 6 bulan ketika antibody maternal dudah dimetabolisme. Serum pada bayi biasanya mengandung IgA, IgM, IgE dan jumlah ynag sedikit dari IgG (< 100 mg/dl), defek primer XLA adalah lesi pada gen yang meregulasi produksi dari immunoglobulin heavy chains. Hal ini akan membuat individu mampu mensintesis semua kelas antibody termasuk sekretori immunoglobulin dan rentan terhadap infeksi bakteri. Gen peyakit XLA didentifikasi pada tahun 1993 sebagai Bruton Tyrosine Kinase (BTK). BTK ini menyebabkan tidak bisa berkembangnya sel pre-B menjadi sel-B. Pasien XLA biasanya memeliki beberapa infeksi bakteri rekuren yang umumnya sering terjadi, misalnya infeksi pada paru, meninges dan sinus. Recurrent sinopulmonary adalah infeksi yang paling umum terjadi. Diagnosis dari XLA ditentukan oleh sedikit tidaknya immunoglobulin dan sedikit tidaknya sel-B. Eksaminasi dari pasien akan menunjukkan hypoplasia dari lymphnodes, tonsil, dan adenoid. Walapun dengan terapi yang baik, hidup pasien akan terganggu dengan adalnya rekurensi dari beberapa infeksi. Terapi agresif antimikroba biasanya penting untuk digunakan sebagai pengganti intravena immunoglobulin.

Selective Immunoglobulin Deficiences Defisiensi selektif immunoglobulin adalah sebuah grup dari kelainan yang ditandai dengan keabnormalan sel-B system antibody yang tidak nampak secara klinis hingga dewasa. Biasanya hanya terdapat 1 atau 2 kelas immunoglobulin yang asimptomatik pada saat kanak-

kanak. Oleh karena itu, defisiensi immunoglobulin sulit dideteksi. Biasanya diagnosis dilakukan dengan serum protein elektrophoesis yang normal dan tes spesifik untuk level imunglobulin. Defisiensi primer pada orang dewasa jarang terlihat hingga usia sekitar 30 tahun. Gejala umum yang biasanya tejadi adalah infeksi rekuren dari bakteri gram positif terutama pada traktus respiratorius. Sistem organ lain yang biasanya juga terkena adalah sendi, GIT dan kulit. Defisiensi IgA adalah imunodefisiensi yang paling sering terjadi dengan estimasi 1 dari 400 orang terkena. Kelainan yang paling umum yang berkaitan dengan defisiensi IgA adalah sinusitis kronis, infeksi paru-paru kronis, dan sindrom

malabsorpsi.Penderita defidiensi IgA juga lebih rentan terkena penyakit collagen vascular, lupus erythematous, dan rheumathoid atritis, penyebabnya belum jelas, namun dikaitkan dengan pengeblokan antigen oleh sekretori IgA pada orang normal.

Common Variable Immunideficiency (CVID) Individu dengan CVID biasanya terkena agammaglobulinemia yang baru akan terlihat pada decade 2 atau 3 bahkan lebih. Kebanyakan pasien dengan CVID ini memiliki sel-B yang tidak matur sehingga tidak berfungsi dengan baik. Sel ini tidak defektif namun sel ini gagal menerima sinyal dari sel-T. Defek sel-T tidak banyak terlihat pada CVID. Banyak pasien mengidap penyakit auto imun tetapi etiologinya tidak diketahui.

8.7.1.2 Immunodeficiency Disease with Primary Defect in Cellular Immunity

Digeorge Syndrome (Velocardiofacial Syndrome) Sindrom DiGeorge merupakan salah satu gangguan yang disebabkan oleh penghapusan kromosom 22q11.15. Cacat genetik ini menyebabkan perkembangan abnormal pada wajah dan jaringan nenural crest, menyebabkan perkembangan abnormal derivativ dari

pharyngeal pouched ketiga dan keempat. Hasil dari cacat ini dalam pertumbuhan embrio adalah kelainan timus, kelenjar paratiroid, dan pembuluh darah besar di jantung. Kerusakan yang terjadi pada organ-organ ini menjelaskan ciri dari sindrom DiGeorge yaitu variable immunodeficiency, neonatal Hipoparatiroidisme hypocalcemia sekunder, dan cacat jantung bawaan. Abnormalitas pada telinga, palatal (cleft palate), maxila, dan perkembangan mandibula menentukan karakteristik gangguan. Ciri-ciri ini termasuk celah palpebral pendek, small mouth, dan dahi menonjol. Hubungan Immunodeficiency dengan sindrom DiGeorge terlihat jelas di bulan-bulan pertama kehidupan. Kebanyakan pasien memiliki fungsi Leukocyte dan imunitas humoral yang normal tapi imunitas selularnya sangat kurang. Akibatnya, pasien menjadi rentan terhadap infeksi virus dan jamur. Terutama infeksi Candida albicans. Sindrom DiGeorge penting dalam pengembangan konsep sistem kekebalan tubuh yang terpisah untuk hipersensitivitas humoral dan selular, karena hypoplasia dari timus hanya menghasilkan gangguan imunitas selular. Defisiensi T-sel bervariasi, tergantung seberapa parah timus terpengaruh. Sebagian besar sindrom DiGeorge terjadi dengan aplasia parsial timus dan kelenjar paratiroid.

Severe Combined Immunodeficiency Severe combined immunodeficiency (SCID) (Swiss-type agammaglobulinemia) adalah penyakit genetik yang diwariskan baik melalui hubungan-seksual atau sifat resesif autosom yang menyebabkan berbagai kerusakan molekul defects. Lebih dari 50% kasus disebabkan oleh cacat genetik pada kromosom X. SCID lebih sering terjadi pada bayi laki-laki daripada bayi perempuan (rasio 3:1). Kasus SCID lainnya disebabkan oleh gen resesif kromosom lain; satu-setengah dari pasien ini memiliki kekurangan genetik adenosin deaminase atau fosforilase nukleosida purin. Kekurangan enzim degradasi purin ini merupakan hasil

akumulasi metabolit yang bersifat racun terhadap sel-sel induk limfoid. Pasien-pasien ini mempunyai jumlah limfosit perifer yang rendah, defisiensi imunoglobulin, dan kurangnya imunitas selular. Gejala penyakit ini dimulai beberapa minggu pertama kehidupan dan mencakup infeksi bakteri, virus dan jamur. Candidiasis local dan sistemik umum terjadi. Granuloma cutaneous mungkin juga terjadi. Bayi juga berisiko lethal graft-versus-host disease (GVHD) jika diberikan tranfusi dengan produk darah nonirradiated. Tingkat keparahan gangguan immunology ini diberikan terapi seperti transplantasi sumsum tulang dan terapi penggantian gen therapy. Terapi gen terbukti berhasil, tapi terbatas pada individu dengan defisiensi adenosin deaminase. Diagnosis dini dan ketersediaan donor yang cocok untuk transplantasi sumsum tulang tetap menjadi faktor paling penting dalam harapan prognosis untuk pasien dengan gangguan ini.

8.7.1.3 Partial Combined Immunodeficiencies

Ataxia Telangiectasia Ataksia telangiectasia (AT) adalah suatu kelainan yang ditandai oleh cerebellar ataxia, oculocutaneous telangiectasia, dan immunodeficiency. Ataksia biasanya dimulai pada masa bayi dan progresif. Telangiectasias pada kulit dan mata tampak jelas pada umur 3 sampai 6 tahun. Meskipun tidak semua pasien AT memiliki imunodefisiensi, AT secara klinis dimanifestasikan oleh infeksi sinopulmonary kronis dan rekuren. Gen AT (ATM), yang diidentifikasi pada tahun 1995, mengkodekan protein yang terlibat dalam perbaikan rantaiganda dalam asam deoksiribonukleat (DNA). Karena karakteristik AT in vitro adalah radiosensitive, memahami mekanisme kerja ATM memberikan informasi tambahan mengenai sinyal radiasi pada sel manusia; dapat dibuat ke sel tumor peka radiasi dan

kemudian meningkatkan manfaat terapi radioterapi. Selain itu, ATM locus umum terjadi di beberapa jenis tumor, menunjukkan bahwa peran umum ATM dalam kanker. Biasanya mekanisme reparasi DNA yang rusak pada pasien-pasien ini mungkin menjelaskan tingginya insiden keganasan. Gen ATM sangat banyak berperan, misalnya mendeteksi kerusakan DNA, mencegah pembentukan kembali genomic saat malignancy, dan mencegah kematian sel terprogram. Kelainan imunologi AT termasuk defisiennsi T-sel dan B-sel, menyebabkan kedua respon selular tidak normal dan defisiensi imunoglobulin. Walaupun jumlah dan distribusi dari B limfosit ini biasanya normal, sekitar 70% dari pasien AT kekurangan serum IgA dan dapat juga kekurangan IgG2 dan IgG4. Kelainan imunologi ini mungkin merupakan hasil dari kromosom sel-sel yang menunjukkan jeda (biasanya dalam kromosom 7 dan 14) di lokasi gen T-sel reseptor dan gen yang mengkodekan rantai berat immunoglobulin.

Wiskott-Aldrich Syndrome Wiskott-Aldrich syndrome (WAS) adalah gangguan rantai-X yang ditandai oleh limfosit dan platelet yang rusak karena permukaan sel glikoprotein yang terbagi berubah. Tanda klinis klasik adalah microcytic trombositopenia, severe eczema, dan infeksi piogenik dan oportunistik. Temuan imunologi dari WAS adalah hasil dari kedua T-sel cacat dan tingkat imunoglobulin abnormal. T-Sel memiliki penampilan abnormal yang unik karena cacat cytoskeletal. Selain itu, T-sel juga cacat dalam fungsi, dan malfungsi ini menjadi semakin buruk. Gangguan respons terhadap antigen polisakarida, peningkatan tingkat serum IgA dan IgE, tingkat normal IgG, dan penurunan jumlah IgM adalah salah satu efek variabel pada imunitas humoral. Selain itu, kolaborasi antara sel-sel imunologi juga gagal pada pasien dengan WAS. Selama kolaborasi normal antara sel T dan sel B dalam pembentukan antibodi, Sitoskeleton dari sel T terpolarisasi menuju sel B. Reorientasi dari sel T dan sel B gagal

terjadi pada pasien dengan sindrom Wiskott-Aldrich, kemungkinan besar karena terjadi cacat cytoskeletal pada sel T. Hasil akhirnya adalah sebuah kolaborasi respon imun yang buruk.

Manifestasi oral Pasien dengan kelainan T-limfosit memiliki insidensi yang lebih tinggi dibandingkan pasien oral disease dengan kelainan B-limfosit. T-limfosit kronis menimbulkan kelainan jamur dan infeksi virus, yang lebih mungkin terjadi pada mukosa oral daripada infeksi bakteri yang terlihat pada defisiensi lymposit-B. Tanda-tanda oral tercatat pada pasien dengan penyakit sel T seperti thymic hypoplasia atau AT yaitul kandidiasis oral kronis. Infeksi virus herpes simpleks juga umum terjadi pada pasien dengan penyakit sel-T. Infeksi dapat terjadi ke mulut tetapi bisa menyebarluas dan berpotensi mematikan jika tidak diobati dengan obat antivirus. Tanda-tanda oral lainnya terlihat dengan defisiensni T-sel termasuk telangiectases dermal dan mukosa dari AT. Cacat bawaan mulut dan rahang (termasuk cleft palate, micrognathia, bifid uvula, and short philtrum of the upper lip) juga telah terlihat pada pasien dengan thymic hypoplasia. Tanda utama pada pasien dengan kelainan sel B adalah infecksi bakteri rekuren yang sering melibatkan saluran res- piratory. Bukti menunjukkan bahwa pasien dengan defisiensi imunoglobulin primer tidak memiliki peningkatan karies gigi atau penyakit periodontal. Meskipun kadang-kadang ulserasi oral terdapat pada pasien dengan defisiensi IgA dan CVID. Neutropenia dan sindrom disfungsi neutrofil biasanya menyebabkan ulser pada oral, tetapi tidak defisiensi imunoglobulin. Faktor lain selain immunodeficiency primer dapat menyebabkan kandidiasis dan sinusitis maxilaris, tetapi untuk pasien dengan infeksi ini yang tidak berhasil diobati dengan antibiotik atau terapi antijamur atau yang mempunyai riwayat infeksi berulang, imunodefisiensi harus dikesampingkan.

Penelitian laboratorium harus dilakukan saat terjadi immunodeficiency. Dengan pengecualian yang jarang, defisiensi imunitas humoral disertai dengan berkurangnya konsentrasi serum dari satu atau lebih kelas imunoglobulin. Studi laboratorium untuk menyingkirkan disfunsi B-limfosit harus mencakup kuantitas imunoglobulin utama, dengan menggunakan teknik immunodiffusion. Dalam kasus dipertanyakan, imunologi klinis akan menguji kemampuan pasien untuk mensintesis antibodi spesifik setelah imunisasi dengan antigen standar. Perkiraan jumlah limfosit B beredar juga sangat berguna dalam menentukan patogenesis jenis immunodeficiency tertentu. Skrining untuk disfungsi T-limfosit harus dilakukan oleh seorang dokter yang berpengalaman dalam melakukan tes tersebut. Fungsi Tsel dapat diukur dengan delayed hypersensitivity skin testing, menggunakan berbagai antigen seperti purified protein derivative (PPD) dari tuberkulin, Candida, dan Trichophyton. Reaksi negatif antigen ini member kesan cacat imunitas selular (T-sel). Studi laboratorium yang digunakan untuk memeriksa aktivitas sel T adalah proliferasi limfosit, kuantifikasi subset sel T, dan tes cytotoxic T-sel.

Dental Management Perawatan gigi bagi pasien dengan primary immunodeficiency harus meminimalisasi perubahan dari local infeksi atau bakterimia. Pasien dengan gejala abnormalitas sel B biasanya diberikan terapi bulanan dengan konsentrasi gamma globulin yang telah diteliti untuk hepatitis B dan HIV. Untuk perawatan gigi, tingkat gamma globulin harus diperiksa untuk memastikan bahwa setidaknya 200 mg/dL. Saat diperlukan pembedahan oral, dosis tambahandari gamma globulin harus diberikan satu hari sebelum pembedahan, biasanya dalam dosis antara 100 dan 200 mg/kg dari berat badan.

Reaksi

transfusi

yang

tidak

biasa

menyerang

pasien

dengan

primary

immunodeficiency dan harus dimasukkan dalam hitungan saat menggunakan terapi pencucian darah. Pasien dengan defideficiency sel B menghasilkan pertikular

immunoglobulins mungkin menunjukkan reaksi transfusi saat menerima darah dari pasien yang memiliki tingkat immunoglobulin yang normal. Immunoglobulin bereaksi sebagai protein lokal dan menyebabkan respon alergi. Karena alasan ini, pasien kekurangan selectif IgA harus diberikan darah deplet. Masalah selanjutnya dalam transfusi kepada pasien dengan primary

immunodeficiency adaah pembentukan dari GVHD. Sel immunokompeten dalam transfusi darah akan bereaksi melawan karingan dari pasien immunodefisiensi penerima. Hanya darah yang segar dimana limfosit immunokompeten telah dihancurkan yang dapat digunakan. Ingeksi gigi pada pasien dengan primary immunodeficiencies harus dirawat dengan hati-hati. Kultur dan sensitivitas dari bakteri dan jamur harus diteliti untuk terapi antibiotik. Beberapa dokter gigi melakukan ini secara rutin pada pasien yang normal dengan abses, tetapi secara partikuler penting untuk pasien immunodefisiensi karena pasien ini mendapat infeksi yang tidak biasa dengan jamur dan bakteri gram negatif.

8.7.2 Immunodefisiensi Sekunder Secondary immuno defisiensi dapat disebabkan oleh terapi obat immunosuppressive, infeksi HIV,penyakit ganas atau granuloma dari sitem limfoid, atau kelainan deplet protein. Penyakit spesifik yang dihasilkan pada secondary immunodeficiency termasuk

leukemia,Hodgkin's disease, non-Hodgkin's limfoma, acquired immunodeficiency syndrome (AIDS), nephrotic syndrome, multiple myeloma, and sarcoidosis.

Kelainan ini didiskusikan secara detail dalam chapter lain pada teks ini. Bagian ini mendiskusikan aspek immunologi dari penyakit ini. Infeksi adalah penyebab utama kematian pada pasien dengan leukemia. Mayoritas dari infeksi ini disebabkan oleh mikroorganisme yang jarang menyebabkan penyakit fatal pada individu normal (contoh, gram negatif basil, fungi, and virus herpes).

8.7.2.1 Leukimia Infeksi pada pasien dengan leukimia akut disebabkan oleh penurunan fungsi granulosit. Fungsi limfosit B dan limfosit T muncul untuk menjadi intake sampai kemoterapi sitotoksik berinisiasi. Penelitian dari neutrofil dari pasien dengan leukimia akut menunjukkan kemampuan berpasangan untuk migrasi dan menghilangkan bakterial dan fungsi kemotaksis. Leukimia limfositik kronik melibatkan limfosit B dalam kebanyakan kasus, menyebabkan respom antibodi manusia dan menghasilkan hypogammaglobulinemia dengan infeksi secondary bakterial, particular infeksi pernapasan. Infeksi dengan encapsulated bakteri (pneumococci,Haemophilus influenzae, and group A streptococci) termasuk, diasumsikan karena pasien tidak mampu memproduksi antibodi. Tingkat serum immunoglobulin dalam frekuensi rendah. Pasien dengan leukimia myelogenous akut memiliki insidensi infeksi yang rendah.

8.7.2.2 Hodgkin's Disease Pasien dengan Hodgkin's disease kehilangan fungsi limfosit T yang memperburuk kemajuan penyakit. Radioterapi dan kemoterapi digunakan untuk perawatan penyakit untuk lebih lanjut menekan fungsi kekebalan normal. Penelitian dari pasien dengan Hodgkin's disease menunjukkan perubahan konsistensi dengan defisien respon sel T, termasuk ketidakresponan terhadap tes kulit. Penelitian in vitro dari limfosit pada pasein dengan

menunjukkan respon abnormal untuk antigen. Infeksi klinis mayor terlihat pada pasien dengan Hodgkin's disease terdiri dari fungal, viral, and protozoal. Infeksi fungal terbanyak adalah histoplasmosis dan infeksi dengan Cryptococcus neoformans, Candida albicans, and actinomycetes. Infeksi viral dengan herpes simplex termasuk virus, varicella-zoster dan virus, and

Cytomegalovirus.

Infeksi

protozoal

toxoplasmosis

infeksi

dengan

Pneumocystis carinii. Kemoterapi dan radioterapi mungkin menekan neutrophil dan fungsi antibodi untuk beberapa tahun, meningkatkan kelemahan pasien dalam infeksi bakteri.

8.7.2.3 Non-Hodgkins lymphoma Beberapa pasien dengan non-Hodgkin's lymphoma memiliki defisiensi sistem sel B atau sel T, disebabkan oleh penyakit itu sendiri atau karena kemoterapi. Defisiensi ini menjadi lebih hebat dalam perjalanan dari penyakit, contoh pada pasien Lymphoma memiliki peningkatan infeksi dengan bakteri, virus, dan fungi.

8.7.2.4 Nephrotic Syndrome Pasien dengan nephrotic syndrome kehilangan serum protein karena hancur atau kerusakan glomeruli, menyebabkan secondary hypogammaglobulinemia. Infeksi bakteri secondary to hypogammaglobulinemia telah dideskripsikan menjadi penyebab kematian pada anak-anak dengan nephrotic syndrome. Lokasi tersering dari infeksi pada pasien ini meliputi oropharynx, kulit, dan the paru-paru. Pemakaian prophylactic dari gamma globulin dan antibiotik menurunkan insidensi dari infeksi.

8.7.2.5 Multiple Myeloma

Multiple myeloma adalah keganasan sel plasma, sel primarily bertanggungjawab terhadap respon antibodi. Protein myeloma menawarkan tidak proteksi melawan infeksi, dan pengulangan penyakit dari infeksi bakteri, termasuk particularly pneumococcal pneumonia. Supresi bone marrow dengan sel plasma malignan dan kemoterapi meningkatkan kemampuan pasien dalam infeksi. Infeksi viral yang menyerang meningkatkan frekuensi pada pasien multiple myeloma adalah infeksi virus varicella-zoster, yang mungkin menyerang sebagai localized herpes zoster atau sebagai generalized varicella.

8.7.2.6 Sarcoidosis Sarcoidosis adalah penyakit granulomatous sistemik yang berefek primer menyerang paru-paru dan sistem limfatik tetapi menyerang permukaan mucocutaneous, mata, dan kelenjar ludah. Diagnosis ditegakkan saat klinik dan lesi radiografi didukung dengan penemuan histologi dari epitel granuloma noncaseating dalam lebih dari satu sistem organ. Sarcoidosis sering kali menyerang orang dewasa muda antara 20 tahun - 40 tahun dan menunjukkan bilateral hilar lymphadenopathy, pulmonary infiltration, and ocular and skin lesions. Terkadang obsevasi tampilan immunologi dari depresi cutaneous delayed-type

hypersensitivity and a heightened helper T cell type 1 (Th1). Sirkulasi immunocomplexes, dengan tanda hiperaktivitas dari sel B. Sarcoidosis dikarakterisasikan dari hyperglobulinemia, tingkat elevasi dari serum angiotensin-converting enzim, evidence of depressed cellular immunity (manifestasi dari cutaneous anergy), hypercalcemia dan hypercalciuria.

8.7.3 Penyakit Jaringan Ikat Penyakit jaringan ikat terdiri dari penyakit kolagen, penyakit kolagen vascular, penyakit hyperimmune, atau penyakit autoimmune. Termasuk lupus erythematosus sistemik,

rheumatoid arthritis, scleroderma (progressive sclerosis sistemik), dermatomyositis, dan polyarteritis nodosa. Demam rheumatic terkadang juga terklasifikasi dengan penyakit ini. "Autoimmune" digunakan untuk mendeskripsikan grup ini dari penyakit karena autoantibodies bereaksi dengan jaringan normal invitro telah dideteksi menjadi kuantitas pada pasien dengan penyakit ini. Pernytaan ini muncul untuk mendeskripsikan pemphigus atau Hashimoto's thyroiditis, penyakit autoantibodies yang muncul untuk menyebabkan penyakit spesifik dari jaringan. Vasculitis dan kerusakan jaringan dihasilkan saat immunocomplexes ditunjukkan dalam kuantitas. Penyakit serum, alergi sistemik generalized, adalah contoh klasik dari penyakit yang dapat sembuh sendiri yang disebabkan oleh sirkulasi immunocomplexes.

8.7.3.1 Systemic Lupus Erythematosus Systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan penyakit autoimun protype yang diproduksi oleh numerous antibodi. Cedera organ merupakan reaksi sekunder karena terjadinya deposit immunokompleks pada pembuluh atau jaringan. Diperkirakan sekitar 15 17 % kasus lupus terjadisebelum umur 16 tahun, 37% dengan umur sekitar 20 - 40 tahun. SLE terjadi dengan frekuensi 10 kali lebih banyak pada wanita dan insidensi lebih banyak pada orang kulit hitam. Autoantibodi pada SLE dihubungkan dengan nucleoproteins, eritrosit, leukosit, platelet, faktor koagulasi, dan organ seperti hati, ginjal, dan jantung. SLE mempunyai variasi pada manifestasi klinis.

Nomenclatures (subtipe) Sudah bertahun tahun yang lalu, klasifikasi lupus sudah dimodifikasi dengan beberapa bentuk tambahan. Discoid lupus erythematosus (DLE) hanya terbatas pada kulit dan

submukosa. Lesi kulit DLE dimulai seperti lesi eritema dengan batas tegas yang sedikit membesar membentuk telangiectasias dan terkadang depigmented scar. Malar atau ruam seperti kupu-kupu umumnya akan terjadi tapi tidak selalu terjadi dan bukan pathognomonic untuk DLE itu dapat terlihat pada penyakit kulit yang lain seperti dermatitis seborrheik kronik dan subakut kutaneu lupus erythematosus merupakan penyakit kulit yang hampir selalu berbatasan dengan kulit (paling sering terjadi pada wajah dan kulit kepala) dan pada mukosa oral. Neonatal lupus erythematosus paling sering transien self-limited disease.

Dermatologik, hepatic, dan hematologik keterlibatannya biasanya hilang sekitar pada umur 6 bulan. Drug-induced lupus erythematosus terdapat banyak macam. Sejauh ini, obat yang memiliki resiko paling tinggi adalah procainamide dan hidralazine, dengan insidensi sekitar 20 % untuk procainamide dan 5-8% untuk hydralazine. Faktor resiko yang mengembangkan lupus karna obat lain sangat rendah seperti quinidine sebagai obat yang beresiko sedang. Sedangkan sulfasalazine, chlorpromazine, penicillamine, methyldopa, carbamazepine, acebutalol, isoniazid, captopril, propylthiuracil, dan mincycline adalah obat yang beresiko rendah.

Etiologi dan patogenesis Etiologi spesifik SLE belum diketahui dengan pasti, tapi ini merupakan immunokompleks, autoantibody, genetik menginfeksi, lingkungan dan faktor endocrine.

Faktor Genetik Insidensi terbesar adalah antibody, immunodifesiensi, dan penyakit jaringan ikat. Gen yang meningkatkan terjadinya SLE dapat diidentifikasi (HLA-DR2 and HLA-DR3).

Faktor Infeksi dan Lingkungan Virus yang menyerupai RNA virus telah dapat dideteksi pada jaringan ikat pasien SLE dan diinisiasi juga oleh respon imun yang abnormal. . Epstein-Barr

virus,Cytomegalovirus, varicella-zoster virus, and other endogenous / exogenous retroviruses terlah dilaporkan terjadi pada pasien SLE.

Faktor Endrokin Komponen hormonal SLE disugesti oleh insidensi yang tinggi pada wanita dimasa kehamilannya, Banyak laporan yang menyebutkan meningkatan estrogen pasien SLE yang sedang hamil.

Immunocomplexes and Autoantibodies Immunocomplexes terdiri dari nucleic acid and antibody dimana pada pasien SLE ini merupakan penyebab utama terjadinya kerusakan jaringan. Terdapak kompleks reaksi immunologic yang mengaktifkan komponen dan mengikat neutrophils and macrophages. Hasinya terjadi vasculitis, fibrosis, and tissue necrosis. Pasien yang sirkulasi

immunocomplexes meningkat mempunyai penyakit yang lebih parah terutama ginjal. immunocomplexes juga menyebabkan kerusakan jaringan pada CNS, kulit dan paru-paru. Autoantibodi merupakan penyebab hemolytic anemia, thrombocytopenia, and lymphopenia yang dapat dilihat pada pasien SLE,. Pembentukan antibody berhubungan dengan menurunnya fungsi suppressor

Terbakar matahari atau kerusakan dari bahan kimia juga dikontibusi dari antigen. adanya kerusakan pada normal supresor fungsi limfosit T dan hyperaktif limfosit B untuk pembentukan autoantibodies dan immunocomplexes;menyebabkan kerusakan jaringan.

Manifestasi Klinis SLE merupakan penyakit dengan banyaknya organ yang terlibat. Deposit Immunocomplex disebabkan vaskulitis pembuluh kecil yang kemudian menyeabkan ginjal, jantung, hematologic, mukokutaneus, dan destruksi CNS. Terdapat pasien yang terlihat dengan dermatitis dan penyakit ginjal dan terlihat juga arthritis, anemia, and pleurisy. SLE harus mempunyai diagnosis banding, terutama pada wanita berusia 20 - 40 tahun.

Renal Manifestations Ginjal terlibat pada pembentukan destruksi glomerular yang dapat terlihat sekitar 50% pada pasien. glomerulonephritis merupakan hasil dan deposit komplemen dan

imunnokompleks pada dasar membran glomerolus. Nephrotic sindrom dihasilkan dari destruksi massif dan umumnya menyebabkan kematian pada pasien SLE.

Cardiac Manifestations. Atherosclerosis dan valvular heart disease merupakan masifestasi utama pada SLE. Umumnya semua lesi kardiak pda pasien SLE melibatkan endokardium. Lupus-related valvular pathoses dapat dimasukan sebagai valve leaflet thickening dengan atau tanpa regurgitation.

Hematologic Manifestations

Penyakit hematologik utama pada apasien SLE adalah leukopenia, anemia, and thrombocytopenia. Leukopenia (< 4,000/mm3) ini umum terjadi dan biasanya direfleksikan dengan lymphonpenia, yang dapat diobati dengan terapi immunosupresif. Anemia pada penyakit kronis terjadi pada peride aktif tapi disebabkan hemodialisis. Ketika antiphospholipid antibodies atau lupus anticoagulant dan anticardiolipin antibodies terlihat pasien pada periode rawan thrombosis, thrombocytopenia, dan keguguran spontan.

Mucocutaneous Manifestations Manifestasi kutaneus pada SLE termasuk photosensitive rashes, alopecia, periungual telangiectasias, Raynauds phenomenon, dan ulserasi kulit. malar atau ruam kupu-kupu (menginfeksi lebih sedikit pada setengah pasien SLE) dan ruam discoid terlihat menempel secara datar atau ruam eritema pipi bagian atas dan jembadan hidung, sering termasuk dagu dan telingga. Biasanya terjadi ekserbasi Karenna sinal ultraviolet. Lesi mukosa oral dapat ditemukan sebagai area annular leukoplakic dan atau erosi eritema atau ulserasi kronik, seing menyerupai Linchen Planus.

Musculoskeletal Manifestations Arthritis and arthropathies adalah ganguan utama muskoskeletal pada pasien SLE. Lebih dari 75 % pasien SLE terjadi true arthritis dengan bentuk simetris, tidak erosi, dan biasanya terdapat pada tangan, pergelangan tangan, dan lutut. Deformasi arthritis tidak umum pada pasien SLE.

Central Nervous System Manifestations

Tanda dan gejala signifikan neuropsychiatric ditemukan 10 - 20 % pasien SLE. Difuse dan focal cerebral dysfunctions (termasuk psychoses, seizures, and cerebrovascular accidents) merupakan tambahan untuk peripheral sensorimotor neuropathies. CNS termasuk prognosis yang buruk.

Diagnosis dan evaluasi Laboratory Tes lab SLE adalah test antinuclear antibody (ANA) pada serum, positif untuk 96-100 % pasien SLE. Klinis harus mengingat ANA test juga positif pada sebagian pasien scleroderma or rheumatoid arthritis. Sebagai tambahan, SLE mempunyai karakteristik karna memproduksi numerous autoantibodies, termasuk ANAs, antinative DNA, rheumatoid factor, antibody to Smith (Sm) antigen, antibody to Ro (SS-A) antigen,dan antibody to La (SS-B) antigen. banyak pada autoantibody ini terlihat abnormalitas secara klinis dan juga dapat dilihat varietas lain pada penyakit rheumatologic. Temuaan penting pada tes lab yang rutin ialah anemia, thrombocytopenia, meningkatnya globulin, dan hasil yang false positif pada serologic test for syphilis (STS).

Manifestasi Oral Pasien SLE sering menderita berbagai gangguan mulut dan muka, termasuk lesi khas pada mulut, tukak non spesifik, penyakit kelenjar saliva, dan gangguan temporomandibular. Terjadinya manifestasi oral ini cukup bervariasi, tergantung pada kriteria penyelidik. Laporan pertama adanya manifestasi oral pada SLE ditemukan oleh ahli kulit Monash pada tahun 1931, yang melaporkan adanya lesi oral pada 50% pasien. Baru-baru ini, Rhodus dan Johnson menemukan berbagai lesi oral (81.3 - 87.5%) termasuk tukak, cheilosis angular, mukositis dan glositis. Mereka juga menemukan adanya (75.0 - 87.5%) tanda dan gejala kondisi oral seperti glossodynia, dysgeusia, dysphagia, dan mulut kering. Lesi mulut pada penderita SLE

disebabkan oleh vaskulitis dan nampak sebagai tukak biasa atau radang mukosa. Beberapa penderita SLE atau lupus diskoid mempunyai lesi oral berbentuk diskus. Lesi pada bibir sering mempunyai pusat yang atrofik dan terkadang daerah tukak dengan bintik-bintik putih, yang dikelilingi kerak yang terdiri dari serabut putih yang memancar keluar. Lesi di dalam mulut nampak sedikit berbeda karena lapisan epitelnya yang lebih tipis; terdiri dari daerah tengan yang cekung merah karena atrofi dikelilingi oleh zona kerak yang timbul setinggi 2 hingga 4 mm yang melebur menjadi garis-garis putih. Lesi oral pada SLE biasanya dikelirukan sebagai lesi lichen planus, baik secara klinis maupun histologi. WHO telah membuat kriteria diagnosa histologi dari SLE oral, namun kriteria ini tidak dapat membedakan antara lupus dengan lichen planus. Karjalainen dan Tomich48 membuat perbandingan dari 17 kasus SLE yang menderita lichen planus dan menghasilkan lima kriteria histologi untuk membedakan kedua gangguan ini dengan menggunakan mikroskop cahaya: (1) vascularisasi dari keratinosit (2) adanya subepithel dari penumpukan periodic acidSchiff (PAS)-positif (3) pembengkakan pada lamina propria atas (4) penebalan dinding pembulung dara positif PAS (5) infiltrasi radang perivaskular berat. Sanchez dan rekan menunjukkan bahwa infiltrasi radang pada lesi oral pada SLE terutama terdiri dari induktor limfosit T. Penodaan floresen antibodi langsung pada spesimen biopsi telah menjadi alat bantu penting dalam diagnosa lesi mukosa atau kulit pada penderita SLE. Lebih dari 90% pasien penderita DLE atau SLE mempunyai endapat imunoglobulin dan C3 pada zona membran dasar. Uji sabuk lupus ini merupakan alat yang sempurna untuk membedakan lesi lupus dari lichen planus, yang sulit dibedakan secara klinis dan histologi dari berbagai bentuk

leukoplakia lainnya. Endapan imunoglobulin dapat ditemukan pada lesi oral penderita SLE dan DLE, sedangkan endapan tersebut tidak akan ditemui pada lichen planus atau leukoplakia. Namun ada sejumlah kasus dimana DLE dan lichen planus saling bersinggungan. Tanda lain lesi oral pada SLE adalah xerostomia yang diakibatkan sindroma Sjorgen. Xerostomia dapat meningkatkan terjadinya karies gigi dan kandidiasis, terutama jika pasien bersangkutan sedang menjalani pengobatan dengan steroid atau senyawa imunosupresif. Sendi temporomandibular juga sering terjangkit pada pasien SLE pada perjalanan penyakit mereka sehingga dapat menyebabkan rasa sakit dan disfungsi mekanis.

Pengobatan Belum ada laporan mengenai pengobatan pada serangkaian besar pasien yang mengidap lesi oral SLE. Pada umumnya, tukak mulut/sariawan pada SLE bersifat sementara, dan terjadi bersama kambuhnya lupus akut. Gejala lesi dapat diobati dengan salep kortisteroid berpotensi tinggi atau suntikan steroid intralesi.

Pertimbangan dental Karena SLE dapat meluas pada berbagai sistem organ, maka perawatan gigi pada pasien SLE membutuhkan pemahaman yang baik terhadap teori kedokteran umum. Masalahmasalah yang umum ditemui pada pasien SLE dibahas berikut.

Supresi Adrenal Pasien SLE mungkin diberi dosis kortisteroid yang menyebabkan supresi adrenal, sehingga pasien rentan mengalami shock. Terapi glucocortisteroid dapat menyebabkan supresi adrenal yang mempengaruhi fungsi adrenal hingga 12 bulan, namun reaksi stres

pasien akan kembali dalam tempo 14 hingga 30 hari. Belum ada keperluan untuk memberikan terapi pengganti untuk perawatan gigi pasien yang tidak minum

glucocortisteroid selama 30 hari sebelumnya. Pasien yang menjalani terapi seling sehari dapat dirawat pada hari off tanpa suplemen jika mereka telah menjalani terapi tersebut selama sekurangnya 2 minggu. Pasien yang diberi terapi cortisteroid dosis rendah (setara < 30 mg hidrocortisone) tidak memerlukan terapi pengganti. Pasien yang diberi terapi corticosteroid dosis tinggi (setara > 30 mg hydrocortisone) harus diperlakukan seakan-akan mengalami supresi adrenal total tanpa mampu bereaksi stres secara normal. Dosis ini perlu digandakan pada hari perawatan. Dokter utama sang pasien perlu dikonsultasikan terlebih dulu jika dosis pengganti tidak pasti atau jika prosedur yang sangat mengundang stres akan dilakukan (misalnya anestesi total)

Infeksi Pasien yang diberi obat cytotoxic atau obat imunosupresif menghadapi risiko infeksi yang lebih besar. Pasien yang mempunyai jumlah netrofil antara 500 hingga 1,000 sel/mm3 membutuhkan antibiotik profilaktik sebelum operasi. Meski terjadinya infeksi karena patogen perlu dipertimbangkan pada pasien yang menjalani steroid dosis tinggi (terutama pasien yang menjalani terapi adjuvant/tambahan imunosupresif, belum ada protokol tetap penggunaan antibiotik untuk pencegahan (profilaktik).

Kelainan darah Pasien dengan SLE seringkali mempunyai anemia normositik normochromik, anemia hemolitik, leukopenia, dan trombositopenia. Adanya peningkatan waktu endap tromboplastin parsial dapat diakibatkan oleh sirkulasi antikoagulan. Sebelum melakukan prosedur perawatan gigi yang besar, penghitungan butir darah sebelum operasi dapat mendeteksi

adanya trombositopenia, anemia dan leukopenia, dan pengukuran laju endap protrombin dapat mendeteksi adanya koagulopati.

Kondisi buruk akibat bedah Dokter gigi perlu bertindak dengan hati-hati saat melakukan bedah atau prosedur dental, terutama pada pasien yang mempunyai sejarah kambuhan lupus paska bedah.

Kondisi buruk akibat Terapi Obat Obat-obatan yang dihubungkan dengan kambuhnya penyakit lupus termasuk penisilin, sulfonamida, dan obat non-steroid anti radang (NSAID) yang berpotensi fotosintesa. Semua obat ini harus digunakan sewajarnya.

8.7.3.2 Scleroderma Scleroderma adalah penyakit jaringan otot multisistem yang mencakup pengerasan pada kulit dan mukosa, atrofi urat halus, dan fibrosis organ dalam. Scleroderma diperkirakan menjangkit sekitar 250 orang per satu juta orang, dan perempuan lebih mudah terjangkiti daripada pria. Beberapa penelitian di AS menunjukkan bahwa pasien berkulit hitam mempunyai tingkat kejadian sesuai umur yang lebih tinggi dan keadaan yang lebih parah daripada pasien berkulit putih.

Nomenklatur (subtipe) Scleroderma lokal adalah scleroderma yang umumnya melibatkan kulit dan sedikit fitur sistemik (jika ada). Hanya beberapa pasien tertentu mempunyai scleroderma lokal yang berkembang menjadi sklerosis sistemik. Ada 3 jenis scleroderma lokal: morfea, morfea

tersebar, dan scleroderma linear. Morfea dimulai dengan bercak-bercak berwarna ungu yang semakin membesar, mengeras, dan akhirnya kehilangan rambut dan kemampuan untuk berkeringat. Pada tahap selanjutnya, lesi ini hangus dan nampak sebagai daerah hipo atau hiperpigmen yang agak mencekung dengan permukaan lebih rendah dari kulit sekitarnya. Sejumlah kecil pasien mempunyai lesi yang lebih besar yang menyatu, karenanya pasien demikian disebut memiliki morfea menyebar. Pasien dengan morfea jenis lain biasanya bersifat jinak yang dicirikan melembutnya lesi tersebut dengan berjalannya waktu. Scleroderma linear merupakan bentuk dari penyakit terlokalisir yang mungkin berkembang selama kanak-kanak yang biasanya mencakup lengan, kaki atau kepala. Bentuk penyakit ini berkembang sebagai sabuk tipis sklerosis yang mungkin terbentang di sepanjang tubuh, termasuk otot di bawahnya, tulang dan sendi. Jika penyakit ini melewati suatu sendi, gerak menjadi terbatas, selain pertumbuhan yang abnormal. Lesi scleroderma linear di kepala dan wajah disebut en coup de sabre, dan luka ini mengakibatkan hemiatrofi wajah. Skleroderma yang terlokalisir di tangan disebut akrosklerosis. Sklerosis sistemik progresif (SSP) merupakan penyakit multisistem yang dicirikan oleh radang dan fibrosis berbagai organ. SSP terjadi 3 hingga 4 kali lebih banyak pada wanita, dan terbanyak pada usia 25 hingga 50 tahun. Ada dua subset utama: skleroderma kulit terbatas (dulu disebut calcinosis cutis, fenomena Raynaud, dismolitas esofagus, sklerodatili, dan telangiektasia (sindroma CREST) dan skleroderma kulit terdifusi/menyebar. Perbedaan pokok antara skleroderma terbatas dengan menyebar adalah laju penyebaran penyakit. Pasien penderita skleroderma terbatas seringkali menderita fenomena Raynaud jangka lama sebelum muncul gejala-gejala lainnya. Kulit mereka menebal sekitar tangan dan seringkali mempunyai masalah dengan tukak digital dan dismotiliti esofagus. Meski lebih ringan daripada skleroderma difusi, skleroderma terbatas juga dapat menjadi fatal jika terjadi komplikasi. Penderita skleroderma difusi mempunyai gejala awal yang lebih akut, dengan

gejala bawaan, artritis, sindroma lorong carpal, dan pembengkakna tangan dan kaki. Ciri lain adalah penebalan kulit secara menyeleruh (mulai dari jari hingga ke tubuh) selain terlibatnya organ dalam (termasuk fibrosis pencernaan dan paru-paru) dan gagal jantung maupun ginjal yang mengancam jiwa. Variasi lainnya adalah sindroma yang tumpang tindih dengan SLE, yaitu sindroma Sjorgen, atritis rematoid dan dermatomiositis.

Etiologi dan patogenesis Etiologi SSP belum jelas namun patogenesis dicirikan oleh kerusakan vaskular dan produksi kolagen yang berlebihan. Fibrosis dinding pembuluh dari arteriol kecil dan sedang merupakan perubahan SSP yang sangat jelas dan memainkan peran penting pada patogenesis hipertensi pulmonari, gagal ginjal, disfungsi miokardia, dan gangren digital pada penyakit ini. Penumpukan kolagen yang berlebihan pada jaringan yang terinfeksi juga merupakan peristiwa pokok pada patogenesis SSP dan menjadi penyebab sebagian besar manifestasi klinis penyakit ini. Regulasi ke atas dari expresi gen kolagen pada fibroblast SSP dan expresi menyimpang dari sitokinese yang secara positif atau negatif mempengaruhi sintesa fibroblast kolagen nampaknya merupakan kejadian penting pada perkembangan dari fibrosis patologi jaringan yang merupakan ciri SSP. Peran dari faktor lingkungan pada patogenisis SSP dapat diketahui dari meningkatnya ratio SSP dan penyakit mirip SSP yang terdeteksi pada individuindividu yang terpapar debu, vinil klorida, benzene dan tryptofan.

Manifestasi Klinis

PSS sclerosis adalah kelainan multisystem yang dikarakteristikkan dengan fibrosis yang melibatkan kulit, vasculature, synovium, otot rangka,dan organ internal. Berikut adalah ringkasan dari berbagai manifestasi klinis yang ditemui.

Fenomena Raynaud Fenomena Raynaud adalah kejang pembuluh (paroxysmal vasospasm) jari sebagai reaksi terhadap dingin atau emosi yang sering ditemui pada PSS (progressive systemic sclerosis) . Lebih dari 95% pasien skleroderma pada akhirnya akan mengalami digital cyanosis dan pucat yang diakibatkan hiperplasia intima (membran dalam pembuluh). Fenomena Raynaud mungkin sekedar bersifat mengganggu, namun beberapa pasien sering mengalami kambuh sehubungan carut digital (digital pitting scars), infark lekukan kuku, atau ulcer digital.

Manifestasi pada kulit Penebalan kulit penderita PSS selalu berawal dari jari. Perubahan pada kulit yang dimulai dari pembengkakan pada jari yang akhirnya menyebar ke seluruh tangan dan anggota tubuh. Setelah beberapa bulan, pembengkakan ini diganti oleh pengencangan dan pengerasan kulit, yang mengakibatkan kesulitan gerak pada bagian yang terkena. Hiperpigmentasi, telangiectases (Gambar 18-10), dan kalsifikasi di bawah kulit juga mungkin terjadi yang mengakibatkan cacat dan masalah kosmetik parah.

Manifestasi Otot Tulang Polyarthralgias dan rasa kaku di pagi hari pada sendi kecil maupun besar sering terjadi pada pasien penderita radang skleroderma yang ditandai pembengkakan pada jari

tangan yang sering nampak sebagai synovitis asli sehingga dapat mengakibatkan diagnosa prematur sebagai rematik/artritis.

Manifestasi Gastrointestinal Disfungsi motorik esophageal distal adalah temuan gastrointestinal yang sering terjadi; dihasilkan dari lemahnya atau tidak adanya koordinasi pata otot-otot halus esophageal dan dapat menyebabkan distal dysphagia. Fibrosis usus dapatmenyebabkan malabsorbsi usus yang parah.

Manifestasi Kardiak Bukti klinis adanya keterlibatan jantung pada scleroderma merupakan hal yang tidakumum, tetapi keterlibatan tertentu lebih sering terjadi pada pasien scleroderma menyebar (diffuse scleroderma). Gambaran klinis dari keterlibatan jantung diantaranya pericarditis, problem konduksi dan gagal jantung kongesti. Penggantian sebagian myocardium dan system konduksi oleh jaringan fibrosa terjadipada hampir semua pasien

Manifestasi Pulmonar Pulmonary interstitial fibrosis sekarang ini merupakan penyebab kematian yang paling sering terjadi pada pasien scleroderma karena penyakit ginjal pada pasien scleroderma telah dapat ditangani. Pasien dengan scleroderma terbatas atau difus dapat mengalami penyakit interstitial walaupun cenderung lebih parah pada pasien scleroderma difus. Pada pasien dengan fibrosis parah, kerusakan terbesar terjadi selama 5 tahun pertama penyakit ini terjadi, seringkali tidak terdapat gejala-gejala penyakit pulmonary. Penebalan pleura, pleural effusions, dan pneumothorax adalah manifestasi penyakit paru-paru yang jarang terjadi pada pasien scleroderma.

Manifestasi ginjal Sampai saat ini, keterlibatan ginjal merupakan komplikasi sclerodermayang paling ditakuti dan mematikan. Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi pada perawatan scleroderma dapat menyebabkan krisis ginjal pada beberapa pasien. Dah perubahan patologis karena penyakit ini memperlihatkan perubahan yang menyerupai hypertensive nephrosclerosis pada mucinoid hyperplasia and necrosis fibrinoid vascular pada arteri interlobular.Krisis ginjal dikarakteristikkan dengan adanya hipertensi malignan, yang dengan cepat menyebabkan gagal ginjal. Penggunaan angiotensin-converting enzyme inhibitors membantu penyakit

ginjal pada scleroderma menjadikondisi yang dapat ditangani.

Evaluasi Laboratorium ANAs ditemukan pada hampir 90% pasien scleroderma dan memiliki karakteristik adanya antibody antinucleolar atau anticentromere. Anti-ribonucleic acid (RNA)

polymerase III adalah antibody yang paling sering ditemukan pada pasien scleroderma. Temuan laboratorium lainnya adalah anemia, meningkatnya kecepatan sedimentasi eritrosit, dan hypergammaglobulinemia.

Pengobatan Pengobatan PSS tergantung pada luas dan parahnya keadaan kulit dan organ yang terlibat. D-penicillamine, obat yang efektif untuk rematik artritis dan penyakit Wilson telah menunjukkan keberhasilan penanganan PSS dengan mengurangi penebalan kulit dan keterlibatan organ. Obat ini mempunyai dua mekanisme tindakan: melakukan intervensi dengan melakukan hubungan silang (cross-linking) antara kolagen dan imunosupresi.

Nifedipine merupakan penghambat saluran kalsium yang diketahui efektif mengobati Fenomena Raynaud dan perfusi miokardia. Fotokemoterapi ekstracorporeal (di luar tubuh) juga menunjukkan hasil menjanjikan pada pasien sklerosis kulit tahap awal PSS.

Manifestasi Oral Tanda-tanda klinis pada skleroderma mulut dan rahang konsisten dengan temuan pada bagian lain tubuh. Bibir menjadi kaku dan pembukaan mulut menjadi sempit secara signifikan. Lipatan kulit sekitar mulut menghilang sehingga wajah nampak seperti topeng. Lidah juga dapat menjadi kaku sehingga sulit berbicara dan menelan. Terlibatnya esofagus mengakibatkan dysphagia. Oral telangiectasia juga sering ditemukan pada PSS terbatas maupun menyebar dan sering didapati pada langit-langit dan bibir. Ketika jaringan lembut di sekitar sendi temporomandibular terkena, gerakan mandible menjadi terbatas sehingga mengakibatkan pseudoankylosis. Bentuk linier dari skleroderma terbatas dapat mencakup seluruh wajah maupun tulang dan gigi di bawahnya. Hasil rontgen gigi menunjukkan penebalan membran periodontal yang seragam, terutam di sekitar gigi posterior, yang ditemukan pada 10% pasien (Gambar 18-12). Temuan citra rontgen lainnya termasuk kalsinosis jaringan lembut di sekitar rahang. Daerah kalsinosis dapat dideteksi radiografi gigi dan dapat disalah-tafsirkan sebagai luka antar tulang. Pemeriksaan klinis menyeluruh akan menunjukkan adanya pengapuran pada jaringan halus. Jika jaringan wajah dan otot kunyah (mastication) terkena secara luas, maka tekanan yang dikeluarkan akan mengakibatkan resorpsi tulang mandible. Resorpsi ini sangat nyata pada sudut mandible pada perlekatan otot masseter. Proses koronoid, condyle, atau daerah pengait otot digastric juga mungkin rusak akibat tekanan terus menerus. Pasien juga mungkin mengalami penyakit mulut akibat pemakaian terapi obat atau xerostomia. Gingival hyperplasia dapat muncul akibat penggunaan penghambat saluran

kalsium; pemfigus, diskrasia darah atau reaksi lichenoid akibat penggunaan penicilamin. Hipofungsi kelenjar saliva yang sering dihubungkan dengan keratoconjunctivitis sicca terjadi pada 14 dari 32 pasien yang diteliti Nagy dkk. Meski beberapa pasien mempunyai sindroma Sjorgen dan mempunyai antibodi anti SS-A dan suatu biopsi bibir yang meradang akan menunjukkan adanya kelenjar fibrotik yang mengakibatkan berkurangnya saliva atau air mata. Xerostomia menyebabkan meningkatnya kerentanan terhadap karies gigis, infeksi Candida dan penyakit periodontal.

Perawatan Gigi Hal paling umum pada pengobatan gigi pasien skleroderma adalah keterbatasan fisik yang diakibatkan menyempitnya rongga mulut dan kakunya lidah. Tindakan seperti endodontik molar, prostesi dan segala tindakan perbaikan pada bagian posterior mulut menjadi sulit sehingga rencana pengobatan gigi mungkin perlu dialihkan karena masalah akses pada mulut. Rongga mulut dapat diperlebar sekitar 5mm melalui latihan pelenturan. Salah satu teknik paling efektif adalah penggunaan bilah lidah antara gigi posterior untuk meregangkan otot wajah. Selain itu, alat mekanik yang membantu pasien melakukan latihan peregangan juga tersedia. Jika pendekatan ini kurang memadai, maka commissurotomy bilateral mungkin perlu dilakukan. Saat mengobati pasien dengan skleroderma difusi (menyebar), maka seberapa jauh jantung, paru-paru atau ginjal terkena perlu dipertimbangkan dan tindakan penyesuaian perlu dilakukan sebelum, selama dan sesudah pengobatan. Pasien yang mengalami resorpsi meluas pada sudut mandible menghadapi risiko mengalami fraktur patologik akibat trauma minor, termasuk pencabutan gigi. Pasien penderita Sindroma Sjorgen perlu diberi florida tambahan setiap hari dan sering berkunjung pada oral hygienist.

8.7.3.3 Dermatomyositis Dermatomyositis (DM) merupakan penyakit radang degeneratif yang dicirikan luka pada kulit dan atrofi otot progresif. Penyakit ini sering terjadi pada masa kanak-kanak dan antara usia 40-60 tahun. Banyaknya kejadian dan prevalensi sulit ditentukan karena langkanya penyakit ini dan kurangnya kriteria diagnosa yang konsisten. Kebanyak penelitian menunjukkan kecenderungan pasien perempuan daripada laki-laki. Manifestasi kulit telah ditemui pada 30 - 40% pasien dewasa dan pada 95% anak-anak sakit. DM digolongkan bersama penyakit jaringan otot penghubung karena fitur klinis yang tumpang tindih dan kenyataan bahwa penyakit ini sering terjadi bersamaan dengan skleroderma, SLE, rematik artritis atau Sindroma Sjgren.

Nomenklatur (subtipe) Tiga jenis idiopathic inflammatory myopathies (radang jaringan otot idiopatik) adalah DM, polymyositis (PM), dan inklusi badan myositis. Subtipe khusus dari DM atau PM dapat digolongkan sebagai adult idiopathic, juvenile, atau amyopathic. Juga terdapat bentuk DM yang dihubungkan dengan penyakit jaringan otot atau keadaan malignan.

Etiologi dan Petogenesis Etiologi DM belum diketahui namun faktor genetik, kekebalan dan lingkungan kemungkinan sangat berpengaruh. Penelitian tentang adanya antigen yang cocok histologinya telah menunjukkan bahwa antigen leukosit manusia HLA-B8, HLA-B14, dan HLA-DR3 berkaitan dengan dermatomyositis, namun penelitian tersebut gagal menghubungkan haplotipe HLA dengan penyakit.

Fungsi kekebalan memainkan peran penting pada awal penyakit, terutama sirkulasi imunokompleks, kekebalan sel, dan autoantibodi hingga myoglobin atau myosin otot tulang. Berjangkitnya penyakit telah dihubungkan dengan infeksi seperti influensa, hepatitis, infeksi virus coxsackie, dan infeksi protozoa Toxoplasma gondii. DM juga pernah dihubungkan dengan terapi obat dan kanker.

Tampak Klinis DM biasanya dimulai dengan rasa lemah pada otot proximal kedua lengan, kaki dan badan. Rasa lemah ini menyebar dan biasanya meluas ke wajah, leher, larynx, pharynx, dan jantung. Keterlibatan otot dapat menjadi cukup parah sehingga pasien terpaksa tidur atau dapat menyebabkan kematian akibat gagal bernafas. Tanda lesi kulit yang klasik adalah eritema macular (memar) berwarna ungu yang menyebar secara simetris. Saat penyakit berlanjut, memar ini berangsur mengeras karena penumpukan mucin. Manifestasi patognomonik kulit terjadi pada sekitar 70% pasien, adalah papula Gottron, yaitu papula berwarna ungu yang menyelimuti sendi belakang, lutut, atau sendi interfalangeal atau metakarpofalangeal. Perubahan pada wajah dapat menyerupai

bentuk kupu-kupu yang mirip dengan SLE atau hanya mencakup kedua kelopak mata dan dahi. Perubahan kulit lainnya adalah difusi eritema non spesisik, plak eritematus, macule, papule, telangiectases, dan fenomena Raynaud. Diagnosa dengan melihat luka pada kulit seringkali tak mungkin. Manifestasi selain kulit pada DM termasuk penyakit paru-paru interstitial, kelainan konduksi jantung, bengkak konjungtival, dan kerusakan ginjal.

Diagnosis dan Evaluasi Laboratorium Sebuah diagnosis dari PM atau DM diberikan jika terdapat kriteria-kriteria sebagai berikut: 1. Kelemahan otot proksimal simetrik, baerkembang dari mingguan hingga bulanan.

2. Terdapat inflamasi myopathy pada biopsi otot. 3. Meningkatnya serum enzim otot. 4. Electromyographic (+) dari myopathy 5. Pemunculan erupsi kutaneous yang merupakan ciri khas dari DM.

Diagnosis ditegakkan PM atau DM apabila 3 dari criteria di atas ditemui. Laboratorium melaporkan kerusakan otot karena meningkatnya amino aspartat (yang dahulu disebut serum glutamic-oxaloacetic transaminase), dehidrogenase lactat, alanin aminotransferase (dahulu disebut glutamic-pyruvic transaminase) dan kreatin fosfokinase

Pengobatan Kemungkinan adanya carcinoma perlu diabaikan untuk semua kasus DM karena keberadaannya selalu ada pada 10-25% pasien. Terapi utama terdiri dari istirahat digabung pemberian kortikosteroid sistematik dosis tinggi. Pada kasus-kasus resisten, obat-obatan plasmaferesis atau imunosupresif seperti methotrexate atau azathiprine diketahui cukup membantu.68

Aspek Oral Keterlibatan oral jarang merupakan bagian dari proses perkembangan DM. Manifestasi klinis yang paling umum pada kepala dan leher termasuk lemasnya otot pharyngeal dan palatal, yang mengakibatkan sulit menelan (dysphagia) dan bicara sengau (dystonia). Otot kunyah dan otot wajah mungkin juga terkena, sehingga mengakibatkan sulit mengunyah. Keterlibatan mukosa oral juga disebutkan, namun luka-lukanya tidak dapat didiagnosa. Lukaluka ini antara lain tukak dangkal, bercak eritematus, dan telangiectasis. Yang lebih umum adalah luka pada kulit wajah yang berwujud ruam berbentuk kupu-kupu (mirip lesi pada

SLE) atau berwujud bengkak pada kelopak mata, wajah, atau bibir. Kelopak mata berwarna lembayung setelah terjadinya telangiectasis majemuk juga sering ditemui. Calcinosis pada jaringan halus terlihat, terutama pada anak-anak. Nodul pengapuran ini dapat muncul pada wajah dan baru terlihat pada rontgen gigi sehingga mengakibatkan salah interpretasi. Lidah juga menjadi kaku akibat calcinosis akut.

Pengobatan Gigi Proses penyakit DM tidak menjadi hambatan bagi dokter gigi. Perlakuan yang sama dengan semua pasien yang sedang menjalani terapi steroid dan antimetabolit dosis tinggi jangka panjang perlu diperhatikan.

8.7.3.4 Rheumatoid Arthritis Rheumatoid arthritis (RA) merupakan penyakit yang dicirikan radang pada membran synovial. Perempuan 3x lebih mudah terjangkiti daripada laki-laki, dan 80% penderita RA mulai menunjukkan gejala penyakit tersebut pada usia 35-50 tahun. Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa kejadian penyakit tersebut berkurang pada usia lebih muda karena faktor-faktor yang belum diketahui. Tidak seperti penyakit degenerasi sendi tulang (osteoarthritis), yang terbatas pada sendi-sendi orang tua dan manula, RA dapat mengenai semua orang pada kelompok usia manapun dan dapat mengenai organ-organ lain, termasuk otot dan sistem hematopoietik. Walau penyakit ini diberi nama artritis, namun manisfestasinya sering bersifat extra-articular (selain tulang).

Etiologi dan patogenesis

Patogenesis RA belum diketahui, namun nampaknya disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk genetik, kekebalan, dan etiologi infeksi.

Faktor Genetik Penelitian terhadap kembar identik menunjukkan bahwa faktor genetik memainkan peran penting pada patologi RA. Hal ini ditegaskan oleh temuan adanya kecocokan histologi (histocompatibility) kompleks HLA-DR4 pada 70% pasien RA. Faktor Kekebalan Sebagian besar penelitian terhadap penyebab RA mencakup penelitian terhadap sistem kekebalan. RA diduga merupakan penyakit yang disebabkan limfosit-T dimana terjadi semburan sel T yang mendadak pada sendi yang terkena, yang diikuti oleh meningkatnya jumlah makrofage dan fibroblast. Faktor pemicu reaksi kekebalan ini belum diketahui. Adapun bukti keterlibatan faktor kekebalan pada penyakit ini adalah: 1. Adanya faktor rematoid (antibodi antigammaglobulin yang membentuk kompleks larut, yang terukur dalam serum dengan memberikan lapisan partikel latex dengan IgG dan menguji unsur aglutinasi dalam serum pasien) pada serum dan cairan synovial dari pasien yang terkena. 2. Adanya sejumlah besar sel plasma dan limfosit pada pemeriksaan histologi jaringan yang terkena. 3. Berkurangnya tingkat komplemen pada cairan synovial pasien (saran penggunaan komplemen selama reaksi hipersensitif) 4. Tumpang tindih gejala RA dengan SLE dan penyakit-penyakit lain yang diduga mempunyai patogenesis kekebalan.

Faktor infeksi

Berbagai pembawa infeksi (termasuk bakteri streptococci dan Mycoplasma, maupun virus-virus seperti virus Epstein-Barr) diduga sebagai penyebab terjadinya semburan sel-T.

Tampak Klinis Gejala awal pada sebagian besar RA adalah lemas dan mudah lelah, yang kemudian disusul gejala sendi beberapa bulan kemudian. Gejala berikutnya adalah symmetric polyarthritis yang dicirikan keluhan rasa kaku dan ditemukannya pembengkakan berbentuk memanjang pada sendi yang terkena. Sendi proximal interphalangeal pada jari dan sendi metacarpophalangeal pada tangan paling sering terkena (Gambar 18-13); pergelangan

tangan, siku, lutut dan pergelangan kaki juga sering terkena (Gambar 18-14). Pada beberapa pasien, semua sendi mungkin terkena, termasuk sendi temporomandibular dan sendi cricoarytenoid pada larynx. Sendi-sendi yang terkena RA menjadi merah, bengkak dan hangat bila disentuh. Atrofi jaringan di sekitar sendi yang sakit umum terjadi. Pembentukan kapsul luar (extracapsular) termasuk nodul bawah kulit (Gambar 18-15) (terutama di atas sendi yang mengalami tekanan), dan terjadi pada 20 - 25% pasien, pembesaran noda limfa dan limpa; tukak kulit akibat difusi arteritis; efusi pleural; dan fibrosis pulmonari. Granuloma rematoid dapat menyerang jantung, mata, atau otak. Beberapa pasien mungkin mengalami penyakit melumpuhkan jangka pendek, sementara lainnya mengalami penurunan fungsi tubuh dan cacat yg tak tersembuhkan. Fase remisi/kambuh dan memburuk sering terlihat pada sebagian besar pasien, dan ini membuat upaya pemilihan terapi pengobatan menjadi sulit.

Gejala Oral

Pengobatan RA dapat mengakibatkan gejala oral. Penggunaan methotrexate dan obat anti rematik lainnya dalam jangka panjang seperti D-penicillamine dan NSAID dapat mengakibatkan stomatitis. Cyclosporine dapat menyebabkan pertumbuhan gingival berlebih. Efek langsung dari penyakit juga terlihat. Pasien yang mempunyai RA berlanjut lebih sering terkena penyakit periodontal, termasuk hilangnya tulang alveolar dan gigi. Kesamaan dengan reaksi kekebalan pada RA dan penyakit periodontal, yaitu berkurangnya aktifitas sel dan meningkatnya aktifitas humoral sudah dilaporkan 72 walau meningkatnya penyakit gigi dan periodontal mungkin terutama disebabkan berkurangnya kemampuan menjaga kebersihan gigi. Sindroma Sjgren merupakan komplikasi yang umum terjadi pada. RA pada sendi temporomandibular sudah dibahas sebelumnya

Pengobatan Gigi Komplikasi umum pada pengobatan gigi adalah kadar toksitas dari obat-obatan yang digunakan untuk mengobati RA. Dokter gigi perlu mengetahui pengobatan apa yang sedang dijalani pasien dan kemungkinan efek sampingan maupun interaksinya dengan obat-obatan lain. Efek negatif yang paling umum dari NSAID adalah sakit pada saluran pencernaan dan ginjal. Selain itu, banyak pasien yang minum obat aspirin dengan dosis mendekati 5 g per hari atau dosis NSAID yang setara itu. Obat-obat ini mempengaruhi fungsi lempeng darah, menyebabkan waktu beku darah yang lebih lama dan kemungkinan pendarahan setelah pembedahan. Dosis intramaskular dari gold salts digunakan untuk pasien yang kebal terhadap bentuk perawatan lainnya. Efek samping dari terapi ini termasuk stomatitis, diskrasias darah, dan sindroma nefrotik. Pasien kebal lainnya bereaksi baik terhadap Dpenicillamine, obat yang dapat menyebabkan berkurangnya sumsum tulang dan toksitas ginjal, heptotoksitas, atau pemfigus akibat obat. Karenanya, setiap pasien yang meminum obat-obat tersebut harus dilakukan penghitungan sel dan kimia darah sebelum dilakukan pengobatan gigi.

Pasien penderita RA akut yang pernah mengalami pembedahan/penggantian sendi mungkin membutuhkan terapi antibiotik profilaktik sebelum dilakukan tindakan pada gigi. Profilaksis tidak diperlukan untuk pasien sehat 2 tahun setelah penggantian prostesis. Namun pasien perlu mendapat pengobatan antibiotik profilaktik setelah 2 tahun jika mereka minum obat imunosupresif atau mengalami infeksi paska bedah sendi. Profilaktik antibiotik perlu dipertimbangkan untuk diberikan pada pasien yang menjalani pengobatan gigi yang melibatkan lingkup bakteremia yang tinggi. Pengobatan demikian termasuk pencabutan gigi, bedah periodontal, implantasi gigi, penggantian gigi yang tanggal, terapi endodontik melampaui apex, suntikan anestesi intraligamen, penggantian karet ortodontik, dan tindakan apapun yang dapat mengakibatkan pendarahan. Pasien penderita sindroma Sjgren mungkin membutuhkan pengarahan mengenai perawatan kebersihan gigi, penetapan diet dan modifikasi diet, terapi florida klinis di rumah untuk xerostomia, kunjungan yang lebih sering ke dokter dan radiografi, dan perencanaan perawatan yang lebih konservatif . Dokter gigi perlu menentukan apakah pasien RA mengidap penyakit yang mempengaruhi sumsum tulang (seperti sindroma Felty) karena pasien demikian mempunyai risiko lebih besar terkena infeksi karena netropenia dan pendarahan akibat trombositopenia.

8.7.3.5 Penyakit Jaringan Ikat Penghubung Campuran (Mixed Connective-Tissue Disease) Istilah mixed connective-tissue disease (MCTD) pertama kali dipakai pada tahun 1972 pada kondisi yang menunjukkan kombinasi tampilan klinis dari SLE, PSS, dan DM. Ahli medis pernah mengusulkan berbagai istilah untuk menjelaskan penyakit pada pasien yang menunjukkan gejala rematik berganda. Kalimat-kalimat tersebut mencakup overlap syndrome, sclerodermatomyositis, rheumatoid arthritis dan systemic lupus erythematosus (RUPUS), mixed collagenosis, dan systemic lupus erythematosus dan scleroderma

(lupoderma). Penyebab MCTD, seperti halnya penyakit rematik lainnya masih belum diketahui. Jumlah prevalensi MCTD juga tidak diketahui, namun MCTD diyakini lebih sering ditemui daripada DM, namun tidak sesering SLE, dan sama seringnya dengan SSP. Kebanyakan penderita MCTD adalah perempuan dan umur rata-rata pada saat diagnosa adalah 37 tahun. Fitur klinis umum pada MCTD termasuk fenomena Raynaud, polyarthritis, sclerodactyly, dan radang myositis. Limfadenopati umum juga ditemui pada 50% pasien MCTD. Pericarditis, penyikit ginjal, dan pulmonari/paru juga umum ditemui. Penggunaan tipe HLA untuk meramalkan MCTD, beberapa peneliti berpendapat bahwa MCTD adalah tahap menengah dalam perjalanan penyakit jaringan penghubung yang diketahui, dan bahwa penyakit yang masih belum dibedakan mungkin dapat dianggap sebagai subset tersendiri. 78 Pada tahun 1992, Black mengusulkan bahwa konsep MCTD sebagai penyakit yang tersendiri lebih baik diganti dengan sebutan gangguan jaringan penghubung/rematik autoimun tak terbedakan karena kondisi sebagian besar pasien tersebut kemudian berubah menjadi SSP atau SLE. Syarat diagnosa MCTD adalah adanya titrasi autoantibadi terhadap antigen nuklear ribonukleoprotein kecil (small nuclear ribonucleoprotein/SnRNP). Hasil lab dari adanya kelainan MCTD adalah jumlah titer tinggi (> 1:1,000) dari bintik ANAs, jumlah tinggi antibodi pada ribonuclease (RNase)- sensitive extractable nuclear antigen, dan adanya antigen antibodi snRNP.

8.7.4 Alergi Dokter gigi masa kini menggunakan berbagai macam obat untuk merawat pasiennya, termasuk antibiotik, hipnotis, dan anestesi. Semua ahli kesehatan yang menggunakan obatobat ini harus tahu bagaimana menangani reaksinya. Pada bagian ini, reaksi alergi akut dan

penanganannya akan dibahas. Stomatitis yang berhubungan dengan alergi telah dibahas pada Bab 4. Reaksi alergi akut disebabkan reaksi hipersensitas langsung. Contoh baik untuk memahami mekanisme ini adalah anaphylaxis. Seorang pasien yang sebelumnya terpapar obat atau antigen lain yang mempunyai antibodi (terutama IgE) tetap pada basofil dan sel mast. Saat antigen (dalam bentuk obat, makanan, atau substansi yang dibawa udara) dihadirkan dalam tubuh, tubuh akan bereaksi dengan antibodi tetap, mengikat komplemen, dan membuka sel mast, melepas mediator aktis seperti histamin dan senyawa bereaksi lambat dari anaphylaxis (slow reacting substance of anaphylaxix/SRSA). Materi-materi ini mengakibat vasodilasi dan meningkatkan permeabilitas kapiler, sehingga cairan dan leukosit meninggalkan pembuluh darah, terakumulasi pada jaringan dan membentuk edema. Penyempitan pada otot halus pada bronchi terjadi jika IgE terikat di daerah paru/pulmonari. Reaksi anapylactik mungkin terlokalisir dan membentuk urticaria dan angioneurotic edema, atau reaksi umum terjadi yang mengakibatkan shock anaphylactic

8.7.4.1 Anaphylaxis Terlokalisir Reaksi anaphylactic yang terlokalisir melibatkan pembuluh darah superfisial yang mengakibatkan urticaria (kulit memerah karena gatal). Urticaria dimulai dengan pruritus (rasa gatal) pada daerah pelepasan histamin dan senyawa aktif lainnya. Wheals (welts)/ bercak merah kemudian muncul pada daerah edema terlokalisir pada dasar eritematous. Luka-luka ini muncul dimanapun pada kulit atau selaput mukosa. Urticaria bibir dan mukosa oral kerap terjadi akibat makanan oleh seseorang yang alergi. Alergen makanan umum seperti coklat, kacang, kerang, dan tomat. Obat-obatan seperti penisilin dan aspirin dapat menyebabkan

urticaria, dan cuaca dingin, panas atau tekanan dapat menimbulkan reaksi pada invididu yang rentan. Angioneurotic edema (angioedema) terjadi ketika pembuluh darah yang lebih dalam pada jaringan subcutaneous terkena, sehingga menimbulkan pembengkakan subcuteneous yang luas di bawah lapisan kulit normal. Reaksi ini dapat disebabkan oleh persentuhan dengan alergen namun sejumlah kasus bersifat idiopathic (spontan tanpa sebab jelas). Bentuk kambuhan diturunkan sebagai sifat dominan autosomal. Angioedema turunan bersifat fatal pada seperempat kasus karena terjadinya edema laryngal akut. Mekanisme penyakit turunan ini adalah kurangnya inhibitor esterase C1, yang biasanya bekerja sebagai inhibitor pada komponen pertama dari complement dan kallikrein. Angioedema biasanya muncul di bibir dan lidah dan sekitar mata (Figure 18-18). Dampaknya merusak penampilan sementara namun tidak serius kecuali bagian belakang dari lidah atau larynx menghambat pernapasan. Pasien yang mengalami kesulitan bernapas harus segera diberi 0.5ml epinephrine (1:1,000) dibawah kulit, atau infus 0.2 mL epinephrine, yang dimasukkan perlahan. Jika bahaya sudah lewat, 50 mg diphenhydramine hydrochloride (Benadryl [Pfizer, Parsippany, N.J.]) perlu diberikan 4x sehari hingga bengkak hilang.

8.7.4.2 Demam Serum Demam Serum dinamai demikian karena sering terjadi setelah penyuntikan serum asing, yang diberikan untuk mengatasi penyakit infeksi sebelum antibiotik dikenal. Reaksinya jarang terjadi namun masih muncul pada pasien yang sensitif setelah diberi antitoxin tetanus, antiserum rabies, atau obat-obatan yang mengikat protein tubuh membentuk alergen. Penisilin, obat yang umum digunakan dokter gigi, terkadang menimbulkan reaksi demam serum. Patogenesis demam serum berbeda dari anaphylaxis. Antibodi membentuk imunokompleks dalam pembuluh darah yang diberi antigen. Kompleks mengisi komplemen, yang menarik leukosit dan mengakibatkan kerusakan jaringan langsung. Demam serum dan

vaskulitis biasanya terjadi 7-10 hari setelah terkena alergen, namun waktu ini dapat berkisar antara 3 hari hingga 1 bulan. Berbeda dengan penyakit alergi lainnya, demam serum dapat terjadi pada saat awal pemberian obat. Gejala umum termasuk antara lain demam, bengkak, lymphadenopathy, sakit pada sendi dan otot, dan ruam kulit. Gejala yang kurang umum termasuk peripheral neuritis, sakit ginjal, dan myocardial ischemia. Demam serum bersifat terbatas dan pulih dengan sendirinya dalam tempo 1 3 minggu. Pengobatan bersifat symptomatic; aspirin diberikan untuk arthralgia, dan antihistamin diberikan bila terjadi ruam kulit. Kasus akut perlu diobati dengan kortikosteriod sistemik jangka pendek yang berfungsi memperpendek berlangsungnya penyakit. Walau reaksi ini cukup langka, seorang dokter gigi yang memberikan penisilin harus mewaspadai kemungkinan terjadinya demam serum beberapa minggu setelah obat digunakan.

8.7.4.3 Anaphylaxis Umum Anaphylaxis umum adalah darurat alergi. Mekanisme anaphylaxis umum merupakan reaksi antibodi IgE melawan alergen yang mengakibatkan pelepasan histamin, bradykinin, dan SRS-A (slow releasing serum A?). Mediator kimia ini menyebabkan kontraksi pada otot halus saluran pernapasan dan pencernaan, dan meningkatkan permeabilitas vaskular. Faktor-faktor berikut mempertinggi risiko pasien terhadap anaphylaxis: 1. Catatan sejarah alergi terhadap obat atau makanan 2. Mempunyai asma 3. Mempunyai alergi turunan 4. Pemberian obat selain diminum 5. Pemberian alergen risiko tinggi seperti penisilin Reaksi anaphylactic dapat terjadi dalam tempo detik setelah pemberian obat atau 3040 menit sesudahnya, sehingga menyulitkan diagnosa. Gejala anaphylaxis umum perlu

diketahui agar pengobatan segera dapat dilakukan. Misalnya, pasien didiagnosa alergi terhadap anestesi lokal jika reaksi psikis terhadap suntikan atau reaksi terhadap pemberian epinephrine terjadi. Diagnosa yang salah akan mempersulit penanganan gigi di masa yang akan datang. Reaksi anaphylaxis umum dapat melibatkan kulit, sistem kardiovaskular, sistem pencernaan, dan sistem pernapasan. Gejala awal terjadi pada kulit dan mirip dengan anaphylaxis terlokalisir (urticaria, angioedema, erythema, dan pruritus). Gejala

pulmonari/paru termasuk dyspnea, nafas berbunyi (wheezing), dan asthma. Penyakit saluran GI (misalnya muntah, kram perut, dan diare) sering mengikuti gejala kulit. Jika tidak diobati, gejala hipotensi akan muncul sebagai akibat hilangnya cairan melalui pembuluh (intravascular) yang dapat mengakibatkan shock. Pasien yang mengalami reaksi anaphylaktik umum (AU) dapat meninggal karena gagal bernafas, shock hipotensi, atau pembengkakan laryngal. Terapi terpenting untuk AU adalah pemberian epinephrine. Semua ahli medis yang memberikan obat-obatan perlu mempunyai persediaan ampul aqueous epinephrine (1:1,000 dilution) dan alat suntik steril yang segera dapat digunakan. Untuk dewasa, dosis 0.5 mL epinephrine perlu diberikan secara intramuskuler atau di bawah kulit; dosis yang lebih kecil 0.1 - 0.3mL dapat diberikan untuk anak-anak, tergantung besar badannya. Jika alergen diberikan pada anggota tubuh, torniket/bebat dapat ditempatkan di atas lokasi suntikan untuk menghambatan penyebarannya ke dalam darah. Penyebaran selanjutnya dapat dikurang dengan menyuntikkan 0.3mL epinephrine (1:1,000) langsung pada bekas suntikan. Torniket/bebat ini harus dilepas setiap 10 menit. Epinephrine akan membalikkan semua gejala akut dari AU. Jika tidak ada perbaikan dalama tempo 10 menit, ulangi pemberian epinephrine. Jika keadaan pasien terus memburuk, beberapa langkah dapat diambil, tergantung apakah pasien mengalami kram paru-paru (bronchospasm) atau edema. Pada bronchospasm, perlahan suntikkan 250 mg aminophylline secara intravenous dalam tempo 10 menit. Pemberian yang terlalu cepat dapat mengakibatkan

arrythmia jantung yang fatal. Jangan berikan aminophylline jika shock akibat hipotensi adalah bagian dari reaksi klinis. Inhalasi sympathomimetic dapat digunakan untuk mengobati bronchospasm, dan oksigen harus diberikan untuk mengatasi hipoksia. Pasien yang mengalami laryngeal edema, segera buat saluran pernapasan. Hal ini mungkin memerlukan perlakuan endotracheal intubation (pemasukan selang melalui trachea); dan pada beberapa kasus, perlu dilakukan cricothyroidotomy.

8.7.4.4 Alergi Latex Meningkatnya penggunaan sarung tangan karet telah mengakibatkan berbagai reaksi kulit dan mukosa. Sayangnya, sejumlah metoda untuk memverifikasi iritasi kulit atau mukosa masih sangat sedikit. Walau penelitian mengungkapkan banyak kejadian prevelansi, sifat non spesifik dari gejala ini dan kurangnya pengetahuan tentang alergi latex menyebabkan terjadinya salah diagnosa pada banyak orang yang sensitif terhadap latex dan berisiko mengalami perburukan reaksi alelrgi. Pada awalnya, urticaria, rhinitis, dan pembengkakan kelopak mata ditengarai sebagai dampak langsung dari alergi latex. Reaksi sistemik akut (seperti asma dan anaphylaxis) yang dapat mengakibatkan cacat permanen atau kematian, kini mulai dikenali. Di bidang kesehatan, ada dua strategi utama penanganannya, yaitu (1) perawatan hatihati terhadap pasien alergi latex dan (2) pencegahan dan pengobatan pegawai alergi latex yang harus menggunakan latex dalam pekerjaannya. Dalam menangani pasien yang sensitif terhadap latex, perbedaan antara reaksi hipersensitif langsung terhadap latex dan alergi kontak dermatitis karena alergen lain perlu ditetapkan. Pada pemeriksaan awal, status alergi latex perlu ditetapkan dari catatan sejarah kesehatannya dan diarsipkan sejak awal pada bagan. Catatan hipersensitas terhadap latex mengharuskan orang tersebut bekerja pada lingkungan bebas latex. Ruang operasi harus menyertakan produk non-latex; sarung tangan

latex hipoalergi atau produk yang mengandung latex (seperti sabuk pengukur tekanan darah dan torniket sekali pakai) tidak boleh digunakan di sekitar orang yang alergi latex. Obat pencegah dengan antihistamin, steroid, dan senyawa penghambat histamin H2 terkadang diberikan di ruang operasi, namun reaksi anaphylactic tetap terjadi meski sudah diberi obat tersebut. Pekerja yang mengalami iritasi sarung tangan perlu mengganti jenis sarung tangan yang digunakan, atau mengganti jenis sabun yang digunakan untuk menggosok. Selain itu, penggunaan lapisan katun dan losion mungkin dapat mencegah reaksi hipersensitif tersebut. Pada kasus alergi latex, menghindari berbagai produk latex adalah satu-satunya cara untuk menghindari reaksi alergi yang serius. Semua orang yang alergi latex harus membawa perangkat auto-injeksi epinephrine dan menggunakan identitas MedicAlert (WaspadaMedis). Reaksi sistemik akut terhadap latex perlu diobati seperti halnya reaksi anaphylaktik lainnya (a.l. memeriksa saluran dan sirkulasi napas, pemberian oksigen, dan penyuntikan epinephrine dan steroid sesuai keperluan). Pada tindakan resusitasi, semua sentuhan dengan benda latex harus dihindari.

Anda mungkin juga menyukai